Petani Miskin di Pinggiran Perkotaan dan Strategi Bertahan Hidup Rumah Tangga (Studi Kasus Petani Lahan Tidur di Kabupaten Bekasi)

PETANI MlSKlN Dl PlNGGlRAN PERKOTAAN DAN
STRATEGI BERTAHAN HlDUP RUMAH TANGGA
(Studi Kasus Petani Lahan Tidur di Kabupaten Bekasi)

OLEH :
NURMALINDA

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK
NURMALINDA. Petani Miskin di Pinggiran Perkotaan dan Strategi
Bertahan Hidup Rumah Tangga (Studi Kasus Petani Lahan Tidur di
Kabupaten Bekasi). Dibimbing oleh Titik Sumarti dan Bambang S. Utomo.

Berkurangnya lahan pertanian di daerah pinggiran perkotaan merupakan
suatu fenomena yang umum terjadi karena perluasan kota ke daerah pinggiran.
Hal ini menyebabkan semakin banyak jumlah petani yang berlahan sempit atau
bahkan menjadi petani tak berlahan. Oleh karena itu, kaum muda di pinggiran
perkotaan tidak lagi tertarik berusaha di bidang pertanian dan saat ini yang tetap

bertahan di bidang pertanian adalah petani-petani yang sudah berusia tua.
Ketiadaan lahan disiasati dengan mengolah lahan-lahan milik orang lain yang
belum dimanfaatkan oleh pemiliknya.
Keterbatasan lahan yang dimiliki dan dikuasai akan tidak memungkinkan
bagi petani untuk bisa hidup layak. Untuk mengatasi ha1 tersebut ada dua
strategi yang biasa dilakukan, yaitu strategi ekonomi dan strategi sosial. Adapun
strategi ekonomi berkaitan dengan optimalisasi penggunaan tenaga kerja dan
pola nafkah ganda; dan strategi sosial melalui pemanfaatan kelembagaan sosial
yang ada di wilayah setempat. Optimalisasi penggunaan tenaga kerja tergambar
dari kerja reproduksi dan produksi, dimana kerja reproduksi lebih banyak
dilakukan perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sebaliknya dengan kerja
produksi. Pola nafkah ganda dilakukan melalui penganekaragaman bidang mata
pencaharian dan jumlah orang yang terlibat dalam berbagai bidang produksi.
Pemanfaatan lembaga kesejahteraan asli yang hidup di wilayah setempat
memberikan dua manfaat yang berbeda bagi masyarakat setempat. Manfaat
ekonomi didapatkan melalui keterlibatan dalam kelembagaan arisan, dimana
dengan arisan bisa memupuk modal untuk pengembangan usaha atau untuk
konsumsi. Manfaat sosial didapatkan melalui kelembagaan pengajian dan
pertukaran tenaga kerja, yaitu dengan semakin eratnya hubungan silaturahmi
diantara sesama masyarakat setempat.

Petani sebagai anggota masyarakat yang melakukan usaha di bidang
pertanian, secara sosial dan ekonomi akan selalu berhubungan dengan pihak
lain dalam berbagai bentuk hubungan. Dalam kaitan dengan usaha yang
dijalani, antara petani dengan petani hubungan yang terbentuk lebih banyak
berupa hubungan sosial, dibandingkan dengan hubungan antara petani dengan
pedagang yang lebih dominan terbentuk hubungan ekonomi. Pola hubungan
sosial yang terbentuk antara petani dengan petani
dan petani dengan
pedagang masih cenderung menunjukkan cara-cara produksi tolong menolong
antara sesama.
Desa Jatimulya pada saat ini merupakan desa jasa dan perdagangan, ha1
ini menyebabkan bantuan pemerintah di bidang pertanian boieh dikatakan tidak
pernah diterima oleh petani setempat.
Bantuan yang diberikan untuk
masyarakat miskinpun baru sebatas bantuan untuk kesehatan, pendidikan. Di
bidang pertanian, penciptaan peluang kerja baru dalam batas penyediaan lahan
tidur untuk bisa diolah oleh masyarakat setempat, jadi belum ke arah
peningkatan jaminan berusaha dan pemberdayaan petani.

SURAT PERNYATAAN


Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:
PETANI MlSKlN Dl PlNGGlRAN PERKOTAAN DAN
STRATEGI BERTAHAN HlDUP RUMAH TANGGA (Studi
Kasus Petani Lahan Tidur di Kabupaten Bekasi)

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah
dipublikasikan.

Semua sumber data dan informan yang digunakan telah

dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2002

Nurmalinda
NRP 99144

PETANI MlSKlN Dl PlNGGlRAN PERKOTAAN DAN
STRATEGl BERTAHAN HIDUP RUMAH TANGGA

(Studi Kasus Petani Lahan Tidur di Kabupaten Bekasi)

OLEH:

NURMALINDA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Judul Tesis

: Petani Miskin di Pinggiran Perkotaan dan Strategi
Bertahan Hidup Rumah Tangga (Studi Kasus Petani
Lahan Tidur di Kabupaten Bekasi)


Narna Mahasiswa

: Nurmalinda

Nomor Pokok

: 99144

Program Studi

: Sosiologi Pedesaan

Menyetujui :
1. Komisi Pembimbing,

(Dr. Ir. Titik Sumarti. MS)
Ketua

L


(Ir. Bambana S. Utomo. MDS)
Anggota

Mengetahui
2. Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan,

3. Direktur Program Pascasarjana
t Pertanian Bogor

-(Dr. Ir. M. T. Felix Sitorus, MS)
Tanggal Lulus : 4 Juni 2002

Syafrida Manuwoto, M.Sc)

2 3 AU (3

21i02


Penulis adalah anak terakhir dari empat bersaudara dari ayah St. Sayuti
Sulaiman (Alm) dan ibu Zulbaiti Nur (Alm). Penulis dilahirkan pada tanggal 15
Juli 1965 di sebuah kota kecil

pinggir pantai yaitu Pariaman,

Kab.

PadangIPariaman (Sumbar). Pada tanggal 3 September 1993, penulis menikah
dengan Guno A1 Chaidir SE, dan dikaruniai dua orang puteri yaitu Pratiwi Al
Guno dan Camilia Al Guno.
Pendidikan dasar, penulis selesaikan pada tahun 1976 di SD Negeri 5
Pariaman, kemudian dilanjutkan ke SMP Negeri 1 dan lulus pada tahun 1980.
Sekolah Menengah Atas penulis selesaikan pada tahun 1983 di SMA Negeri 1
Pariaman dan pada tahun yang sama, penulis diterima pada jalur Proyek perintis

II (PP II) di lnstitut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1988 dari jurusan
Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis), Fakultas Pertanian. Pada tahun 1989
penulis diangkat menjadi staf peneliti dengan status calon pegawai di Balai
Penelitian Hortikultura Lembang, Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian dan pada tahun 1993 penulis pindah tugas ke Balai Penelitian
Tanaman Hias Jakarta, sampai sekarang.
Pada tahun 1999, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi
pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, lnstitut Pertanian Bogor, dengan
mendapatkan dana bantuan dari proyek PAATP.

Alhamdulillah studi tersebut

dapat penulis selesaikan pada bulan Juni tahun 2002.

PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan kesehatan yang diberikanNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada lbu Dr. lr. Titik Sumarti,
MS (Ketua Komisi Pembimbing) dan Bapak Ir. Bambang S. Utomo, MDS
(Anggota Komisi Pembimbing), Bapak Dr. Ir. M. T. Felix Sitorus, MS. (Ketua
Program Studi Sosiologi Pedesaan), serta Bapak-Bapak dan Ibu-lbu dosen
yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu dalam
penyelesaian tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis juga menghaturkan banyak terimakasih

kepada Bapak Kepala Desa Jatimulya beserta aparatnya, Ibu Ketua PKK, Bapak

RW 08 beserta staf, Bapak Supriadi, dan Bapak-bapak nara sumber, serta
bapak-bapak dan ibu-ibu petani pengolah lahan tidur PT.ASABRI yang telah
bersedia menerima penulis dengan tangan terbuka untuk rnendapatkan datadata yang penulis butuhkan untuk penyelesaian tesis ini. Tidak lupa juga penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Kepala Balithi, Bapak Kepala
Puslitbanghort, Bapak Kepala Badan Litbang Pertanian beserta staf, Bapak
Pimpro PAATP beserta staf, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan
kepada penulis untuk melanjutkan studi pada program studi SPD, IPB.
Selain itu juga, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada staf
rektorat Program Pascasarjana IPB dan juga staf sekretariat SPD, serta temanteman

SPD angkatan 1999 yang telah banyak membantu. Semoga Tuhan

membalas semua kebaikan yang telah diberikan oleh Bapak-bapak, ibu-ibu dan
teman-teman semuanya. Amin.
Terakhir, terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan khususnya
kepada suami tercinta dan kedua puteri tersayang yang telah berkorban lahir
dan batin selama penulis menuntut ilmu dan selarna penyelesatan tesis ini.
Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dar~tultsan In1 yang perlu

disempurnakan lebih lanjut. Untuk itu penulls mengharapkan krltik dan saran
untuk penyempurnaannya, sehingga terwujud sebuah tultsan yang berrnanfaat
bagi banyak pihak. Amin Ya Rabbul Alamin.
Bogor. Agustus 2002

DAFTAR IS1
Halaman

................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .................................................................. xi
DAFTARLAMPIRAN ............................................................... xii

DAFTAR TABEL

PENDAHULUAN ........................................................................
Latar Belakang ..................................................................

1
1


............................................................... 6
Tujuan Penelitian ............................................................... 7
Kegunaan Penelitian .......................................................... 8
Permasalahan

TINJAUANPUSTAKA .................................................................. 9
Karakteristik Kerniskinan Rumah Tangga Petani ......................

9

Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan .....................................

12

Wilayah Pinggiran Perkotaan ............................................... 14
Strategi Bertahan Hidup Rumah Tangga Petani Miskin ............
PENDEKATAN PENELITIAN .........................................................

17
23

Kerangka Pemikiran ......................................................... 23
Hipotesis Pengarah ............................................................

27

.....................................................

27

Metodologi Penelitian

.....................

27

......................................

28

Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode dan Subjek Kasus

Pengolahan dan Analisa Data ....................................
JATIMULYA: KARAKTERISTIK DESA PINGGIRAN PERKOTAAN .........
Letak Geografis Desa Jatimulya ............................................
Pola Penggunaan dan Penguasaan Lahan ............................
Pola Penggunaan Lahan ..........................................
Pola dan Struktur Penguasaan Lahan .........................
Penduduk ........................................................................
Karakteristik Demografi dan Kepadatan Penduduk .........
Pendidikan dan Kesehatan .......................................

32

.

Mata Pencaharian dan Gerak Penduduk ......................
Mata Pencaharian Penduduk ...........................
Gerak penduduk ...........................................
Pola Pemukiman ...................................................
Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat .................................
Kelembagaan Sosial ..........................................................
Kelembagaan Formal ...............................................
Kelembagaan Informal .............................................
Rangkuman .....................................................................
JATIMULYA: GAMBARAN KEMlSKlNAN DAERAH PlNGGlRAN
PERKOTAAN .............................................................................
Ukuran Kemiskian menurut Pandangan Setempat ....................
Penyebab Kemiskinan di Wilayah Pinggiran Perkotaan .............
Akses Penduduk Miskin terhadap I-ahan di Desa Jatimulya ........
Akses Penduduk Miskin terhadap Mata Pencaharian .................
Pola Pemukiman Masyarakat Miskin di Jatimulya .....................
Akses Penduduk Miskin terhadap Kelembagaan ......................
Rangkuman .....................................................................
KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA PETANI MlSKlN DAN FAKTOR
PENYEBAB KEMlSKlNAN DALAM RUMAH TANGGA ........................
Latar Belakang rumah Tangga ............................................
Struktur Internal Rumah Tangga ..........................................
Penguasaan Aset Produksi dalam Rumah Tangga ...................
Penguasaan Aset Produksi Pertanian ...........................
Penguasaan Aset Produksi Peternakan ........................
Penguasaan Aset Produksi Perdagangan .....................
Pola Konsumsi .................................................................
Perumahan .....................................................................
Faktor Penyebab Kemiskinan dalam Rumah Tangga Kasus ......
Pengaruh Konversi Lahan terhadap Kehidupan Rumah Tangga
Petani .............................................................................
Pengaruh Struktur Internal terhadap Kehidupan Rumah Tangga
Petani ............................................................................
Rangkuman .....................................................................

STRATEGI BERTAHAN HlDUP RUMAH TANGGA PETANI MlSKlN
PlNGGlRAN PERKOTAAN .........................................................
Strategi Ekonomi ...........................................................

105
106

Optimalisasi Penggunaan 'Tenaga Kerja dalam Kerja
Reproduksi ........................................................

107

Optimalisasi Penggunaan Tenaga Kerja dalam Kerja
Produksi .............................................................

109

Pola Nafkah Ganda ...............................................

111

Strategi Sosial ................................................................
Pemanfaatan Kelembagaan Sosial ............................

115
116

Pola Hubungan Produksi dan Pengaruhnya terhadap Strategi
Bertahan Hidup ...............................................................

119

lntervensi PemerintahILSMlSwasta terhadap Masyarakat Miskin

123

Rangkuman .....................................................................

126

KESIMPUIAN DAN IMPLlKASl KEBIJAKAN ...................................

130

Kesimpulan ....................................................................

130

lmplikasi Kebijakan ..........................................................

132

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................

134

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

Jenis Data Primer yang Diarnbil dan Metode yang Digunakan ...
Luas Wilayah Desa Jatimulya rnenurut Fungsi dan Penggunaan .
Karakteristik Dernografis Desa Jatimulya, 2000
(10.782 Rumah Tangga) .. . . .. .. . .. . . .. ... ... . .. ... ... ... .. . .. . ... ., . . . . . .. ..

Pola Nafkah Ganda yang Dilakukan Petani Pengolah Lahan Tidur .
Profil Kepala Rurnah Tangga Kasus ... ... ... ...... ... ... ... ... ... ... .... ..
Jumlah Keluarga Inti, Ukuran Rurnah Tangga, Jurnlah Anggota Usia
Kerja dan Rasio Beban Tanggungan dalarn Rurnah Tangga Kasus
Pola Nafkah Ganda dalarn Rurnah Tangga Kasus ... ... ... ... ... ... ... .
Kelernbagaan Informal yang Diikuti oleh RT Kasus ... ... ............ ...

DAFTAR GAMBAR
Nomor
1.

Halaman

Karakteristik Kemiskinan dan Strategi Bertahan Hidup
dalam Rumah Tangga Petani

................ ... ......................

27

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1.

Peta Desa Jatimulya ........................................................

2.

Kasus Rumah Tangga Petani Miskin Pinggiran Perkotaan......
Rumah Tangga Bapak Rohim .................................
Rumah Tangga Bapak Udin ...................................
Rumah Tangga Bapak Sanip...................................
Rumah.Tangga Bapak Saman ...............................
Rumah Tangga Bapak Amin ...................................
Rumah Tangga Bapak Makmun .............................
Rumah Tangga Bapak Amat ..................................
Rumah Tangga Bapak Tarjo ....................................
Rumah Tangga Bapak Karto ....................................
Rumah Tangga Bapak Ma'ruf ..................................

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kemiskinan bisa dijumpai di belahan manapun di dunia, tidak hanya di
perkotaan, tetapi juga di pedesaan. Chambers (1988) melihat bahwa ada lima
"ketidakberuntungan" yang melingkari kehidupan orang miskin, yaitu: (1)
kemiskinan (poverty); (2) kelemahan fisik (physical weakness); (3) kerentanan
(vulnerability); (4) isolasi ( isolation) dan; (5) ketidakberdayaan (powerlessness).

Menurut Sajogyo (1991), di daerah pedesaan, rumah tangga miskin umumnya
adalah rumah tangga nelayan, petani berlahan sempit, buruh tani dan pengrajin.
Di daerah perkotaan, golongan miskin bukan hanya mereka yang tidak
mendapatkan kesempatan kerja di sektor perkotaan yang populer, juga terdapat
petani-petani yang mengusahakan lahan-lahan sempit milik orang lain yang
belum dimanfaatkan.
Menurut Nasoetion (1996), kemisk~nandapat dibedakan atas kemiskinan
alamiah dan kemiskinan struktural.

Kemiskinan alamiah berkaitan dengan

rendahnya kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Hal ini
didukung oleh pendapat Mintoro dan Gatoet (1995), yang menyatakan bahwa
terjadinya kemiskinan di daerah pedesaan sangat terka~tdengan ketersed~aan
sumberdaya alam yang mendukung kehidupan, serta rendahnya mutu
sumberdaya manusia. Demikian juga dengan daerah perkotaan, kemisk~nan
juga terkait dengan rendahnya mutu sumberdaya manusia untuk b~samenuju
pada kehidupan yang lebih baik.

Berbeda dengan kemisk~nan alam~ah,

kemiskinan struktural berkaitan secara langsung ataupun tidak langsung dengan
tatanan kelembagaan, dan salah satu terjadinya konversi penggunaan lahan dar~
penggunaan pertanian ke penggunaan non-pertanian yang menyertal proses

transformasi struktural. Di pulau Jawa misalnya, pada kurun waktu 1993-1998,
rata-rata setiap tahunnya 22.800 ha lahan sawah telah dikonversikan

ke

penggunaan pernukiman dan industri. Di daerah-daerah pinggiran perkotaan,
masyarakat yang tadinya hidup di bidang pertanian dan merupakan petani
pemilik, karena menjual tanahnya berubah menjadi petani penggarap, sehingga
secara tidak langsung berpengaruh pada kehidupannya secara ekonomi dan
sosial.
Berbeda dengan Nasoetion, Lewis (1995) memahami kerniskinan dan
ciri-cirinya sebagai suatu kebudayaan, atau sebagai suatu sub-kebudayaan
dengan struktur dan hakikatnya sebagai suatu cara hidup yang diwarisi dari
generasi ke generasi melalui garis keluarga. Menurut Lewis, berkernbangnya
kebudayaan kemiskinan di tengah masyarakat disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu karena: (1) sistem ekonomi, buruh upahan dan sistem produksi untuk
keuntungan; (2) tetap tingginya tingkat

pengangguran dan

setengah

pengangguran bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak
berhasilnya golongan berpenghasilan rendah rneningkatkan organisasi sosial,
ekonorni dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5)
sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral; dan (6)
kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan
pemupukan harta kekayaan dan rnemungkinkan adanya rnobilitas vertikal dan
s~kaphernat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai
has11 ketidaksanggupan pribadi atau mernang pada dasarnya sudah rendah
kedudukannya
Oar1 sudut pandang pembangunan wilayah, Sutomo (1995) menyatakan
bahwa faktor-faktor penyebab kemiskinan tidak hanya berasal dari faktor faktor
internal, tetapt juga faktor eksternal.

Faktor internal

berhubungan dengan

sumberdaya manusia, yaitu rendahnya keahlian sehingga rendahnya tingkat
upah, sedangkan faMor eksternal berkaitan dengan buruknya prasarana dan
sarana transportasi yang menyebabkan sulitnya pemasaran hasil, rendahnya
aksesibilitas terhadap modal, rendahnya sumberdaya alam, penggunaan
sumberdaya yang terbatas, serta sistem kelembagaan yang kurang sesuai
dengan kondisi masyarakat, yang kesemua itu menyebabkan rendahnya
pendapatan yang diterima.
Di pedesaan Jawa, terbatasnya sumberdaya alam (lahan) telah
berlangsung semenjak masa kolonial

Belanda, yaitu karena semakin

meningkatnya jumlah penduduk di daerah pedesaan.

Dari data Sensus

Pertanian 1983, jumlah rumah tangga yang memiliki lahan kurang dari 0,5
hektar adalah sekitar 7.024.207 rumah tangga dan dari data Sensus Pertanian
tahun 1993 meningkat menjadi 9.104.747 rumah tangga. Dengan terbatasnya
lahan-lahan yang dapat diusahakan tersebut, menyebabkan semakin sulitnya
petani dari golongan

bawah mendapatkan mata pencaharian di bidang

pertanian yang bisa menghidupi diri dan keluarganya. Untuk mengatasi ha1 itu,
berbagai upaya dilakukan, misalnya: melakukan pola nafkah ganda dengan
memasuki berbagai jenis pekerjaan; menambah jumlah anggota rumah tangga
yang bekerja; ataupun memanfaatkan lembaga kesejahteraan asli (lembaga
informal hasil bentukan masyarakat sendiri) yang ada di lingkungannya.
Berkaitan dengan pola nafkah ganda, di daerah pedesaan, selain dilakukan di
lingkungan desanya sendiri, juga dilakukan di luar lingkungan desa dengan
tujuan yang sama yaitu untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Pola

nafkah ganda yang umum dilakukan oleh masyarakat pedesaan adalah dengan
menggabungkan pekerjaan di bidang pertanian dan non pertanian, seperti
berdagang, menjadi kuli bangunan, dsb, sedangkan di luar desa,

mereka

melakukan pekerjaan-pekerjaan di sektor informal, seperti yang dikemukakan
Sajogyo (1978), bahwa kadang-kadang mereka yang berasal dari lapisan bawah
berusaha sampai ke kota dengan menggeluti usaha-usaha berskala kecil atau
usaha di sektor informal. Hasil penelitian Kolopak~ng(1988) yang dilakukan di
desa-kotal, juga menunjukkan bahwa pola nafkah yang dilakukan oleh
masyarakat lapisan bawah selain bekerja di bidang pertanian, juga bekerja di
sektor informal non-pertanian. Peluang kerja di sektor informal non-pertanian
yang dimasuki ada juga sektor informal yang menyimpang dari hukum, misalnya
menjadi pencuri. Akan tetapi usaha sektor informal yang menyimpang dari
hukum ini sering memberikan pendapatan yang bisa menghidupi diri dan
keluarga masyarakat lapisan bawah. Sedikit berbeda dengan wilayah pedesaan
dimana sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama penduduk, di
wilayah pinggiran perkotaan, seperti Bekasi, pertanian bukan lagi merupakan
sektor utama yang dimasuki penduduknya. Namun demikian, bukan berarti
pertanian tidak lagi menjadi mata pencaharian penduduk, keterbatasan lahan
tidak menghalangi sebagian masyarakat untuk tetap berusaha di bidang
pertanian, dengan mengolah lahan-lahan yang belum dimanfaatkan oleh
pemiliknya (lahan terlantarllahan tidur). Dari hasil beberapa tulisan dan juga dari
pantauan sendiri, lahan-lahan tersebut adalah lahan-lahan yang ada dl bantaran
kali, di pinggiran re1 kereta api, lahan-lahan milik pengembang, dsb

Lahan-

lahan tersebut umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat lap~sanbawah yang
tidak mempunyai lahan untuk usaha, dengan ditanami tanaman-tanaman
berumur pendek, seperti: kangkung, bayam, sawi, dsb.

'

Menurut klasifikasi BPS, desa kota merupakan desa yang mempunyai ciri-ciri ko~a,dcrlgarl
persyaratan: (I) kepadatan penduduk >= 5000 jiwa/km2; (2) paling banyak 25 O h rurnnh tanggo
bekerja di bidang pertanian; (3) mempunyai 8 atau lebih fasilitas yang menunjukkan ciri Lora.

Hasil penelitian Siregar &k

(1999) menunjukkan bahwa petani yang

berusahatani di daerah pinggiran perkotaan, selain merupakan penduduk
setempat, juga dijumpai petani yang berasal dari luar wilayah (luar kabupaten
bahkan luar provinsi).

Di daerah Bekasi, petani luar yang dijumpai

mengusahakan lahan-lahan pertanian tersebut berasal dari Indramayu, Cirebon
dan Brebes (Jawa Tengah). Bagi petani pendatang, alasan mereka melakukan
usahatani di daerah perkotaan adalah karena tidak memiliki lahan di daerah
asal, serta karena kalah bersaing dengan pekerja-pekerja dari daerah lain di
perkotaan menyebabkan mereka terdampar jadi petani di pinggiran perkotaan.
Bagi sebagian penduduk setempat, bertani memang merupakan pekerjaan
utama dan bagi sebagian lainnya bertani lebih disebabkan untuk memanfaatkan
lahan yang belum dimanfaatkan oleh pemiliknya guna menambah penghasilan
dari bidang lain yang telah ditekuni semenjak lama.
pinggiran

perkotaan, sangat

ironis

sekali,

Di beberapa wilayah

penduduk

setempat

yang

memanfaatkan lahan-lahan terlantar tersebut tadinya adalah pemilik lahan, tetapi
karena dijual maka berubahlah status mereka dari petani pemilik menjadi petani
penggarap.
Pemanfaatan lahan-lahan terlantar yang ada di pinggiran perkotaan, bagi
sebag~an petani sudah lama dilakukan, namun semenjak terjadinya krisis
ekonom~dl Indonesia sekitar tahun 1998, tindakan masyarakat memanfaatkan
lahan terlantar atau lahan tidur tersebut mendapat dukungan dari pemerintah,
yaltu dengan adanya Peraturan Menteri Negara AgrariaIKepala Badan
Pertanahan Nasconal No. 311998. Peraturan tersebut berisi tentang kewajiban
pemegang hak atas tanah atau pihak yang memperoleh penguasaan atas tanah
untuk memanfaatkan lahan kosong yang dimiliki atau dikuasainya. Lahan-lahan
tersebut terdiri dar~lahan atau tanah yang dikuasai dengan hak milik, Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan, serta tanah hak pengelolaan dan tanah yang
sudah diperoleh dasar penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas
tanahnya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau
yang belum dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya
ataupun menurut Tata Ruang Wilayah yang berlaku (Pasal 1, Ayat 1 pp Menneg.
Agraria No. 311998).
Selain strategi ekonomi seperti yang dijelaskan di atas, strategi nonekonomi dilakukan dengan memanfaatkan lembaga kesejahteraan asli yang ada
di lingkungannya. Pemanfaatan lembaga kesejahteraan asli dilakukan melalui
keterlibatan anggota masyarakat dalam berbagai lembaga yang ada, misalnya
dalam lembaga arisan, gotong royong dalam perbaikan saluran, bagi hasil, dsb.
Dari hasil penelitian Sitorus (1999) di beberapa desa di Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Nusa Tenggara Timur, serta penelitian lstiani dkk (1992) di dua
desa di Jawa Tengah, menunjukkan bahwa dengan terlibatnya anggota
masyarakat dalam lembaga kesejahteraan asli dapat membantu masyarakat
dalam upaya

mempertahankan atau memperbaiki taraf kesejahteraan

masyarakat.

Pertnasalahan

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa di
daerah pinggiran perkotaan, lahan-lahan pertanian semakin berkurang dari
waktu ke waktu yang disebabkan oleh terjadinya konversi penggunaan lahan,
sehingga menyebabkan terjadinya perubahan status sebagian petani dari petani
pemilik

menjadi petani penggarap.

Berkurangnya lahan yang dimiliki atau

bahkan habisnya iahan garapan yang dimiliki, ditambah lagi terbatasnya akses

rumah tangga (dalam ha1 ini petani lapisan bawah) terhadap sumberdaya
ekonomi (dalam ha1 ini modal), maka banyak diantara mereka memanfaatkan
lahan-lahan terlantar untuk tetap bertahan hidup.

Namun demikian,

memanfaatkan lahan tidur tidak bisa memberi jaminan rasa aman bagi petani
untuk kelangsungan sumber nafkahnya, karena sewaktu-waktu lahan tersebut
bisa saja diambil oleh pemiliknya. Oleh karena itu, tidaklah mungkin untuk tetap
bertahan hidup dengan hanya mengandalkan hidup dari pengolahan lahan tidur
saja, karena untuk luasan yang terbatas sangatlah tidak mungkin untuk bisa
bertahan hidup kalau tidak ada sumber nafkah lain yang membantu untuk
memenuhi kebutuhan hidup secara sosial dan ekonomi.
Berkaitan dengan ha1 tersebut di atas, maka timbul suatu pertanyaan
untuk dicari kejelasannya, yaitu: bagaimana strategi yang dilakukan rumah
tangga (RT) petani tak berlahan (memiliki lahan sempit) untuk tetap bertahan
hidup di wilayah pinggiran perkotaan ?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian
yang akan dilakukan ini adalah:
1. Untuk mengkaji bagaimana karakteristik desa pinggiran perkotaan dan

kemiskinannya.
2. Untuk mengkaji bagaimana karakteristik rumah tangga miskin pinggiran

perkotaan dan faktor-faktor penyebab kemiskinan yang dialaminya.

3. Untuk mengkaji strategi yang dilakukan oleh rumah tangga miskin untuk
tetap bertahan hidup dan mengkaji sampai sejauh mana peranan

"stakeholder" (pemerintah, swasta dan organisasi IokalILSM) dalam upaya
mengatasi kemiskinan di daerah pinggiran perkotaan.

Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini diharapkan:
1. Dapat menambah pengetahuan pembaca dalam kaitannya dengan upaya

pemanfaatan lahan terlantar (lahan kosong) di daerah pinggiran kota;
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam ha1

pengembangan petani miskin pinggiran kota;

3. Sebagai informasi yang bisa digunakan untuk penelitian lanjutan dalam
kaitannya dengan pemanfaatan lahan-lahan terlantar (lahan-lahan tidur)
sebagai lahan pertanian.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Kemiskinan Rumah Tangga Petani
Bila ditinjau dari kerangka ekonomi, rumah tangga dapat dipandang
sebagai suatu unit ekonomi (unit konsumsi), yang terdiri dari individu-individu
yang mempunyai sejumlah hak dan tanggung jawab yang saling berkaitan satu
sama lainnya, serta saling berbagi daiam ha1 tenaga kerja dan konsumsi. Unit
konsumsi dalam ha1 ini berkaitan dengan empat ha1 utama, yaitu: (1) standar
hidup, yang tergantung pada kesamaan (custom), kebiasaan, emulasi, rasa dan
arti dari konsumsi keuangan, misalnya pekerjaan dan pendapatan; (2) status
sosial-ekonomi dan ranking dari sejumlah indikator, misalnya pekerjaan, sumber
pendapatan, pendidikan, perumahan, serta barang-barang materi dan jasa; (3)
prilaku konsumen, keinginan serta kebutuhan yang merupakan suatu motivasi
disamping konsumsi; dan (4) kondisi ekonomi masyarakat, yaitu kesejahteraan
relatif masyarakat dan lingkungan yang bisa menjatuhkan keluarga (Rice, 1967).
Sedangkan menurut Sensus Pertanian (SP) tahun 1993, petani diartikan sebagai
orang yang mengusahakan atau mengelola satu atau lebih usahatani yang
menggunakan lahan, baik penanamanlpemeliharaan tanaman padilpalawija,
hortikultura, pekerbunan, budidaya kayu-kayuanltanaman kehutanan, budidaya
ikanlbiota lainnya di tambak, air payau, dan juga usaha penangkapan ikanlbiota
lain di laut, penangkapan ikanlbiota lain di perairan urnum, pemungutan hasil
hutan dan atau penangkapan sahva liar dan jasa pertanian.

Rumah tangga

pertanian sendiri diartikan sebagai rumah tangga yang sekurang-kurangnya satu
anggota rumah tangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam
tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, karamba maupun tambak,

menjadi nelayan,

melakukan perburuan, menangkap

satwa

liar

atau

mengusahakan ternaklunggas, atau berusaha dalam pertanian dengan tujuan
sebagianlseluruhnya

hasilnya

untuk

dijual

atau

memperoleh

pendapatanlkeuntungan atas resiko sendiri
Adapun karakteristik rumah tangga (RT) terutama di pedesaan (Jawa)
adalah:
1. Memiliki fungsi rangkap sebagai unit produksi, unit konsumsi, unit reproduksi

dan juga unit interaksi sosial ekonomi politik.
2. Mempunyai tujuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan anggotanya.

Konsekuensi dari tujuan ini mendorong rumah tangga untuk mengambil
keputusan dan berprilaku ekonomi secara rasional, terutama dalam usaha
produksi.
3. Di daerah padat seperti pulau Jawa, banyak rumah tangga yang menghadapi
kekurangan tanah dan modal.

Oleh karena itu, untuk menaikkan

penghasilannya dilakukan dengan menambah unit tenaga kerja, sebagai
satu-satunya unit ekonomis yang relatif tidak langka. Dalam rumah tangga
petani, ukuran rumah tangga berkaitan erat dengan nilai ekonomis anak,
artinya semakin banyak anak dalam suatu rumah tangga pedesaan,
terutama anak-anak yang berada dalam usia kerja (>I0 tahun), akan
semakin besar nilainya dalam kaitannya untuk membantu kegiatan ekonomi
RT (Prasodjo, 1993).
Selain itu, Sumitro (1986) mengemukakan bahwa rumah tangga
masyarakat pedesaan Jawa ditandai oleh "pencaharian nafkah yang berganda"
pada semua lapisan, baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah. Bila dilihat
dari penguasaan aset dalam rumah tangga, maka dapat dikatakan bahwa

penguasaan aset produksi bisa menjadi petunjuk tentang bagaimana potensi
sumberdaya suatu rumah tangga. Bagi rumah tangga miskin, penguasaan aset
produksi umumnya bersifat terbatas, seperti yang dikemukakan Sajogyo (1979)
bahwa bila dilihat dari pola penguasaan lahan di pedesaan, petani lapisan
bawah merupakan buruh tani yang tak bertanah; petani lapisan menengah
merupakan petani yang penguasaan lahannya kurang dari 0,5 hektar; dan petani
lapisan atas adalah petani yang penguasaan tanahnya lebih dari 0,5 ha. Hasil
penelitian Sitorus (1999) di daerah Cirebon (Jabar), Jepara (Jateng) dan Sikka
(NTT), menggambarkan bahwa rumah tangga nelayan miskin hanya memiliki

aset produksi dalam jumlah yang sedikit, misalnya dari 30 rumah tangga sampel

h yang menguasai perahu kecil, 42 % menguasai pukatljaring, dan 23
hanya 43 O
% yang menguasai pancing. Sedangkan untuk bidang pertanaman, hanya 12 %
petani yang memiliki sawah (rata-rata 0,4 ha), 39 persen menguasa lahan kering
(rata-rata 0,3 ha).
Berkaitan dengan tingkat pendidikan, anggota keluarga petani dari rumah
tangga miskin berpendidikan rendah. Dari hasil penelitian Prasodjo (1993) di
daerah pedesaan Jawa, tingkat pendidikan anggota rumah tangga umumnya
hanya sampai SD. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh anggda
rumah tangga petan~lni, merupakan faktor penting mengapa rantai kemiskinan
sul~td~putus Dengan pendidikan rendah, para petani tidak bisa bersaing di
pasar tenaga kerja dengan mereka yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi,
sehlngga bila d~kaltkandengan tingkat upah yang diterimanya, akan tetap
rendah.

Selain ~tu, bila ditinjau dari segi perumahan yang dihuni, maka

umumnya masih sangat sederhana, yaitu berdinding setengah tembok, beriantai
tanah, beratap genteng atau rumbia, berventilasi buruk, serta kondisi
pembuangan limbah yang kadangkala juga buruk.

Bila dilihat pola konsumsi rumah tangga miskin dipedesaan, dari hasil
penelitian lstiani & (1992), pada musim paceklik terjadi pengurangan
makanan, yaitu dari tiga kali sehari pada musim panen menjadi dua kali sehari
pada musim paceklik. Pada pagi hari, mereka memakan ubi, jagung atau bubur
atau bahkan ada yang tidak makan sama sekali.

Untuk memperoleh

makananpun dilakukan dengan cara berhutang di warung-warung desa.

Faktor-faktor Penyebab Kerniskinan
Berdasarkan pandangan kelompok agrarian populism, kemiskinan pada
hakekatnya adalah masalah campur tangan yang terlalu luas dari negara dalam
kehidupan masyarakat pada umumnya dan masyarakat pedesaan khususnya.
Dalam ha1 ini masyarakat miskin dianggap mampu
sendiri

apabila pemerintah

mau

membangun

dirinya

memberikan kebebasan bagi kelompok

tersebut untuk mengatur dirinya sendiri. Sedangkan kelompok pejabat melihat
masalah kemiskinan sebagai masalah budaya, orang miskin dianggap tidak
memiliki etos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta dan berpendidikan
rendah (Soetrisno, 1999).

Selain itu Mubyarto

(1994) mengemukakan

bahwa kemiskinan dapat dibedakan ke dalam tiga dimensi yang berbeda, yaitu:
(1) dimensi kemiskinan fisik alamiah, yang merupakan rintangan-rintangan yang

bersifat fisik yang sudah "terwarisi" pada suatu daerah tertentu, misalnya
berkaitan dengan kondisi fisik alam setempat yang kurang mendukung; (2)
dimensi struktural-kultural, yang berkaitan dengan hubungan dan interaksi sosial
yang khas dalam masyarakat yang membius dan membatasi inisiatif dan
semangat untuk berkembang; (3) dimensi sistemik, yang merupakan salah satu
penyebab kemiskinan yang prosesnya berlangsung dalam waktu yang cukup

lama, misalnya karena proses eksploitasi dari orang yang berkuasa terhadap
golongan lemah.
Nasoetion (1996) yang membedakan kemiskinan atas kemiskinan
alamiah dan kemiskinan struktural menyatakan bahwa penyebab kemiskinan
alamiah adalah karena rendahnya kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia.

Rendahnya kualitas sumberdaya tersebut menyebabkan peluang

produksi menjadi relatif kecil atau jika bisa dilakukan kegiatan produksi tersebut
pada umumnya dengan tingkat efisiensi yang relatif rendah. Pada lingkungan
pertanian, sumberdaya alam yang paling utama yang mempengaruhi fenomena
kemiskinan adalah lahan dan iklim.

Sedangkan berdasarkan kemiskinan

struktural, faktor tatanan kelembagaanlah yang menyebabkan terjadinya
kemiskinan. Berkaitan

dengan

faktor

tatanan

kelembagaan tersebut,

penyebab terjadinya kemiskinan struktural dapat dibedakan atas beberapa,
yaitu:

1. Terjadinya ketimpangan dalam struktur perekonomian nasional.
2. Akibat

konversi penggunaan lahan dari penggunaan pertanian ke

penggunaan non-pertanian yang menyertai terjadinya proses transformasi
struktural.
3. Akibat perkembangan ekonomi di dalam dan luar negeri yang menyebabkan

terjadinya inflasi.
4. Akibat pengintroduksian teknologi yang bersifat undivisible dan padat modal.

Hasil penelitian lstiani &( (1992) di desa Kancilan (Kecamatan Bangsr~)
dan di desa Karangaji (Kecamatan Kedung), Kabupaten Jepara, menunjukkan
bahwa telah terjadi kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural di daerah
tersebut. Kemiskinan alamiah disebabkan oleh kondisi ekologis, yaitu karena

keringnya lahan serta kurangnya ketersediaan air untuk mengairi lahqn-lahan
kering tersebut.

Sedangkan kemiskinan struktural karena rendahnya

penguasaan aset produksi serta dampak dari pembangunan pertanian dengan
diperkenalkannya teknologi baru berupa introduksi alat pasca panen yang
menyebabkan semakin berkurangnya lapangan kerja bagi kaum wanita. Selain
itu terdapat kerniskinan yang disebabkan oleh aspek sosial-budaya seperti
karena warisan kerniskinan dari orang tua, karena judi atau hidup berfoya-foya,
memiliki sikap hidup yang pasrah terhadap nasib, serta karena sistem pewarisan
yang berpengaruh pada semakin sempitnya lahan yang dimiliki.

Wilayah Pinggiran Perkotaan
Daerah pinggiran kota merupakan daerah yang terdapat di sekitar
perkotaan, sebagai akibat dari perluasan kota. Ditinjau dari segi demografi,
Ginsburg, Koppel dan McGee (1991 dalam Jones dan Mamas, 1996)
menyatakan bahwa ciri dari wilayah perluasan metropolitan adalah wilayah
dirnana populasinya padat dan terdapat interaksi antara aktivitas pertanian
dengan aktivitas non-pertanian. Browder & & (1995) mengartikan daerah
pinggiran perkotaan diartikan sebagai daerah penambahan dari pusat
metropolitan. Selain itu, Office of Rural and Institutional Development (ORID)
mengadops~ konsep pinggiran perkotaan sebagai zona dinamis, yang
menghubungkan antara desa dengan kota, dimana beragam aktivitas bantuan
b~samerangsang pertumbuhan ekonom~yang sangat cepat bagi kedua daerah
tersebut

Lenskap plngglran perkotaan dicirikan oleh beragam penggunaan

lahan, d~manaser~ngkal~
terdapat beragam hubungan fungsional dengan sektor
perkotaan

dan

sektor

pedesaan

Daerah

pinggiran

perkotaan

ini

dipertimbangkan untuk rnenjad~'transls~onal"dalam rangkaian penggunaan yang

terpola sehingga menjadi daerah pertanian progresif dalam orientasinya sebagai
salah satu pemecahan masalah karena penyusutan daerah pertanian di daerah
pusat perkotaan.
Bila ditinjau dari segi perencanaan wilayah, Firman dan Dharmapatni
(1995), mengemukakan bahwa munculnya daerah pinggiran perkotaan (periurban) sebagai dampak pertumbuhan perkotaan, dicirikan
hubungan yang kuat dengan desa dan kota,

oleh adanya

serta mempunyai aktivitas

campuran antara aktivitas perkotaan dan aktivitas pedesaan.

Selanjutnya

Firman (1992) menambahkan bahwa daerah peri-urban dan koridor yang
menghubungkan kota-kota besar masih merupakan area dimana pertanian
merupakan sektor utama.

Pertanian tradisional dilakukan pada lokasi yang

berdampingan dengan area industri, kota-kota baru, bahkan lapangan golf.
Selain itu lsarankura (1990 dalarn Firman, 1992) menyatakan bahwa konfigurasi
spasial baru tersebut (daerah peri-urban) mempunyai beragam ciri yang berbeda
dengan wilayah perkotaan konvensional.

Daerah tersebut secara normal

dicirikan oleh adanya suatu percampuran aktivitas perkotaan dan aktivitas
pedesaan (pertanian dan non pertanian), tetapi dengan interaksi yang meningkat
sebagai tipe-urban.
Selanjutnya McGee (1987 galam Firman, 1992) mengidentifikasikan
daerah peri-urban sebagai daerah desa-kota, yang dicirikan oleh: (1) kepadatan
populasi tinggi; (2) secara umum tetapi tidak ekslusif merupakan daerah sawah
dengan sangat sedikit pemilik lahan (landholding); (3) daerah tersebut
menyediakan kesempatan kerja bagi para migran dari pedesaan dan pasar bagi
produk pertanian; (4) daerah tersebut dicirikan oleh beragam aktivitas nonpertanian, termasuk industri, transportasi dan perdagangan; (5) ada interaksi
antara aktivitas perkotaan dengan aktivitas pedesaan; (6) penggunaan lahan

merupakan suatu campuran yang kuat sebagai daerah pemukiman, daerah
industri, pembangunan suburban dan penggunaan-penggunaan lainnya yang
saling berdampingan.

Sedangkan desa sendiri dapat diartikan sebagai

pemukiman manusia yang letaknya di luar kota dan penduduknya sebagian
besar hidup di bidang agraris (Daldjoeni, 1987). Bila ditinjau dari segi geografis,
desa bisa diartikan sebagai suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok
manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan ini adalah suatu wujud
atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi,
sosial, ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut,
dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah lain (Bintarto, 1984).
Pada studi komunitas2yang dikemukakan Arensberg dan Kimball (1972),
dikatakan bahwa setiap komunitas menggunakan ruang geografis sebagai
karakteristiknya, yang disebut sebagai pola pemukiman (settlement pattern).
Selain itu, komunitas tidak eksis di dalam ruang kosong, setiap orang menempati
latar belakang fisik masing-masing, dan secara spasial dikitari oleh komunitaskomunitas lain yang relatif sama organisasi, budaya dan fungsinya.

Pada

komunitas, aturan-aturan lembaga memberikan suatu framework, dimana
beragam anggota

dari komunitas yang berbeda berhubungan satu sama lain

dalam kegiatan-kegiatan kerjasama yang permanen. Dalam settap komunttas,
setiap orang akan menemukan aktivitas-aktivitas ekonomi, polltlk, rellgl, soslal,
bahkan juga

familial yang menyajikan keterpaduan diantara anggota-

anggotanya, serta terdapat perluasan ke dalam komunitas lain. Selanjutnya

7

Murdock (1949)
Arensberg dan Kimbail (1972), menganikan komunitas sebagai
sekelompok orang-orang yang secara nonnal tinggal bersama dalam asosiasi yang saling bertatap
n~ukafice to face u.s.sosiution). Soekanto (1999) mengartikan komunitas sebagai masyarakat
setempat, dimana setiap anggota dalam kelompok masyarakat tersebut hidup bersatna sedeti~ikian
rupa, sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingari
hidup yang utama.

dikatakan oleh Arensberg dan Kimball, bahwa pengkajian tentang lingkungan
juga termasuk kedalam studi komunitas.

Selain itu, Soekanto (1999)

mengemukakan bahwa dalam kehidupan suatu komunitas terdapat tiga unsur
utama yang selalu ada, yaitu: (1) seperasaan, yang menyebabkan seseorang
berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain yang ada dalam
kelompok tersebut dengan sebutan "kelompok kami", "perasaan kami", dsb; (2)
sepenanggungan, dimana setiap individu sadar akan peranannya dalam
kelompok dan keadaan masyarakat sendiri memungkinkan peranannya dalam
kelompok dijalankan, sehingga dia mempunyai kedudukan yang pasti di dalam
kelompok tersebut; (3) saling memerlukan, dimana individu yang tergabung
dalam komunitas tersebut merasa dirinya tergantung pada komunitasnya, baik
dalam kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikologis.

Strategi Bertahan Hidup Rumah Tangga Petani Miskin

Seperti yang dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa dengan
terbatasnya

sumberdaya alam, dalam ha1 ini lahan, dan juga langkanya

kesempatan kerja di pedesaan, maka pendapatan rumah tangga petani tidak
hanya bersurnber dari pertanian saja, tetapi juga bersumber dari berbagai
sumber di luar pertanian. Menurut White (1977 &lam

Sumitro, 1986), untuk

dapat memenuh~kebutuhan hidupnya yang paling minimum mereka terpaksa
mengerahkan hampir seluruh anggota rumah tangganya termasuk anak-anak
untuk mencari nafkah

optimal is as^ sumberdaya rumah tangga3).

Mereka

--

h e n u r u t Sitorus ( 19119). optimalisasi sumbcrdaya rumah tangga rnengandung beberapa proposisi,
yaitu: ( I ) Suatu rumall tangga mcmiliki sumbcrdaya tcnaga Lcrja dalam jumlali dan mutu tertentu;
(2) Suatu rumah tangga dilladapkan pada scjumlah pcluang kcgiatan sosial dan ekonomi yang
merniliki ciri tertentu dalam ha1 pcnnintaarl tcnaga maupurl inibalan: (3) Untuk tnencapai hasil
yang optimal bagi perticnuhan kcbutuhan sorial tkonom~.suatu rumall tangga nicngalokasikari

banyak terjun ke dalam kegiatan ekonomi bukan hanya untuk mendukung
usahataninya, tetapi dalam beragam kegiatan nafkah, termasuk pekerjaan buruh
serabutan.
mata

Selain itu mereka juga melakukan perubahan-perubahan dalam

pencahariannya, dimana

pencaharian tersebut

salah

satu

perubahan-perubahan mata

disebabkan oleh tekanan pertambahan penduduk

terhadap tanah pertanian (Sumitro, 1986). Akibat pertambahan penduduk dan
angkatan kerja yang lebih cepat daripada pertambahan luas areal di satu sisi
dan tuntutan peningkatan taraf hidup di sisi lain, maka mereka perlu merubah
pola mata pencahariannya atau rnenambah jenis pekerjaan lain yang tidak hanya
di sektor pertanian tetapi juga di sektor luar pertanian. Pola pekerjaan seperti ini
umum dikatakan sebagai pola nafkah ganda.

Strategi pola nafkah ganda ini

berbeda-beda dari satu lapisan ke lapisan lainnya dalam rumah tangga
petani.

Seperti yang dikemukakan oleh Sajogyo (1991), strategi pola nafkah

ganda tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Strategi akumulasi, yang
umumnya merupakan strategi petani lapisan atas, yaitu upaya mentransfer
surplus pertanian untuk membesarkan usaha di luar sektor pertanian; (2)
Strategi konsolidasi, yang umumnya merupakan strategi petani lapisan
menengah, yaitu upaya mempertimbangkan

sektor luar pertanian sebagai

pengembangan ekonomi; dan (3) Strategi bertahan hidup, yang merupakan
strategi petani lapisan bawah, yaitu menunjuk pada pentingnya struktur di luar
sektor pertanian sebagai sumber nafkah untuk menutupi kekurangan di sektor
pertanian.
Menurut Sitorus (1999), strategi yang bisa diterapkan rumah tangga
miskin untuk mengatasi kehidupannya hingga tidak semakin jatuh ke kemiskinan

sirriibcrdaya tcnaga kerja yang ditnilikinya secara rasional ke dalam sejumlah kegiatan sosial
cLonorii i.

yang semakin dalam ada dual yaitu di bidang produksi meialui pola nafkah
ganda dan di bidang non-produksi melalui lembaga kesejahteraan asli. Dalam
pola nafkah ganda ini sejumlah anggota rumah tangga usia kerja terlibat dalam
usaha mencari nafkah dalam berbagai sumber, baik di sektor pertanian sendiri
maupun di luar sektor pertanian dan bisa merupakan usaha sendiri ataupun
bekerja sebagai buruh. Sayogyo (1991) menyatakan bahwa bagi rumah tangga
miskin, arti pola nafkah ganda adalah strategi bertahan hidup, dimana sektor luar
pertanian merupakan sumber nafkah penting untuk menutup kekurangan dari
sektor pertanian. Sumitro (1986), dari hasil penelitiannya di salah satu pedesaan
Jawa Barat menyatakan bahwa pada saat jumlah penduduk belum begitu
banyak dan lahan pertanian masih luas, umumnya mata pencaharian penduduk
hanya satu jenis saja, yaitu pertanian.

Akan tetapi dengan semakin

meningkatnya jumlah penduduk dan juga meningkatnya kebutuhan ekonomi,
maka mata pencaharian penduduk juga berubah menjadi semakin kompleks.
Spesialisasi pekerjaan perorangan adalah masih mungkin, akan tetapi
spesialisasi mata pencaharian rumah tangga adalah tidak memungkinkan,
karena untuk mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga tidak bisa
diandalkan dari satu jenis mata pencaharian saja, tetapi harus dari berbagai
mata pencaharian.
Sitorus (1999) selanjutnya mengemukakan bahwa keterlibatan prla dan
wanita anggota rumah tangga pada beragam kegiatan ekonomi juga menunjuk
pada gejala nafkah ganda pada rumah tangga miskin. Pola nafkah ganda
sebagai salah satu strategi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga,
sangat terkait dengan ketersediaan waktu berlebih dalam rumah tangga
tersebut. Pembagian peran antara pria dan wanita dalam kegiatan reproduktif
sangat penting sekali dalam menentukan ketersediaan waktu dalam kegiatan

produktif.

Dalam pembagian peran antara pria dan wanita ini sangat perlu

adanya koordinasi dalam alokasi tenaga kerja dalam rumah tangga, sehingga
strategi nafkah ganda ini dapat berlangsung secara optimal. Berkaitan dengan
adanya pembagian peran tersebut, maka dalam kerja reproduktif peranan wanita
masih lebih dominan dari pada pria. Hal ini juga ditunjukkan oleh hasil penelitian
Prasodjo (1993), yang meneliti tentang pola kerja wanita dan pria dalam
pertanian berdasarkan musim normal dan paceklik, bahwa dalam kedua musim
tersebut wanita masih tetap lebih dominan dalam bekerja di sektor reproduktif
dibandingkan dengan pria.

Namun tidak demikian halnya dengan sektor

produktif, dimana antara pria dan wanita mempunyai kedudukan seimbang
dalam bekerja.
Berkaitan

dengan

sektor

yang

dimasuki

RT,

Sumitro

(1986)

mengemukakan bahwa, karena pada umumnya rumah tangga petani miskin
mempunyai pendidikan dan keahlian yang terbatas, maka sektor infomal
merupakan sektor yang sering dimasuki, terutama sektor informal yang
berteknologl sederhana, seperti menjadi buruh pada industri rumah tangga,
sebagai pengojek, perdagangan, dsb. Dari hasil penelitian Prasodjo (1993), di
desa Pengarengan dan Japura Lor (Astanajapura, Cirebon), bidang pekerjaan
yang umum dlmasuki keluarga selain bidang pertanian adalah kontruksi dan
perdagangan. Kesempatan menjadl buruh merupakan sumber nafkah yang
sangat penting bag1 rumah tangga m~sk~n,
karena dengan kesempatan itu berarli
telah member1 pekerjaan dan pendapatan bag1 mereka.
Selain strategi dengan pola nafkah ganda strategi lain yang dilakukan
adalah memanfaatkan lembaga kesejahteraan ash Dalam sektor non-produksi,
menurut Sitorus (1999) salah satu sektor yang penting bagi rumah tangga miskin
adalah lembaga sosial, baik lembaga formal (bentukan pihak "atas-desa")

maupun lembaga informal (bentukan masyarakat sendiri). Lembaga informal
bentukan masyarakat sendiri disebut sebagai lembaga kesejahteraan asli. Dari
hasil penelitian Sitorus di Cir