STRATEGI KELANGSUNGAN HIDUP RUMAH TANGGA PETANI MISKIN DESA SERUT SADANG KECAMATAN WINONG KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

MISKIN DESA SERUT SADANG KECAMATAN WINONG KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

Disusun Oleh : INDAH SETYANINGSIH NIM D0304004 SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Sosiologi FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

PERSETUJUAN

Telah Disetujui Untuk Dipertahankan Di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dosen Pembimbing

Dra. Hj. Trisni Utami, Msi. NIP.19631014 198803 2 001

PENGESAHAN

Skripsi Ini Diterima dan Disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari

Tanggal

Panitia Penguji

1. Drs. Bambang Santosa, M.Si

) NIP. 19560721 198303 1 002

Ketua

2. Siti Zunariyah, S.Sos, M.Si

) NIP.19770719 200801 2 016

Sekretaris

3. Dra. Hj.Trisni Utami, M.Si

) NIP. 19631014 198803 2 001

Penguji

Disahkan Oleh: Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dekan

Prof.Drs. Pawito, Ph.D

MOTTO

“Allah tidak akan mengubah suatu kaum jika kaum tersebut tidak mau mengubah dirinya ” (Al-Qur’an)

”Sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan maka, apabila kamu telah selesai dari suatu urusan kerjakan dengan sungguh-sungguh pula urusan yang lainnya” (Q.S Asy-syarh : 6,7)

“hidup Adalah Pilihan...... “ (Penulis)

PERSEMBAHAN

Karya Sederhana Ini Aku Persembahkan Teruntuk :

“Yang tercinta Ayah, Ibu, Kakak-kakakku dan adikku” (terima kasih atas kasih sayang, cinta, pengertian, kesabaran dan

pengorbanan selama ini)

“Untuk Masa Depanku dan Segala hal Yang Mengisinya”

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr Wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan kenikmatan dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Strategi Kelangsungan Hidup Rumah Tangga Petani Miskin Desa Serutsadang Kecamatan Winong Kabupaten Pati Jawa Tengah”.

Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Skripsi ini dapat selesai dengan baik tidak lain dikarenakan bantuan dan dukungan yang telah diberikan dari berbagai pihak. Sehingga tidak berlebihan apabila penulis dalam lembaran ini menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-sebesarnya. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesaikannya karya kecil ini. Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih setulus hati kepada :

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini :

1. Prof. Drs. Pawito Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dr. Bagus Haryono, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta dan sebagai ketua penguji skripsi.

3. Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku selaku pembimbing dengan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. Pandjang Sugiharjono selaku pembimbing akademis yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulis melaksanakan kuliah.

5. Petugas Perpustakaan FISIP UNS yang telah membantu penulis dalam 5. Petugas Perpustakaan FISIP UNS yang telah membantu penulis dalam

7. Teman-teman Sosiologi FISIP UNS khususnya angkatan 2004, terima kasih atas kebersamaan kita selama ini.

8. Segala pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca Penulis berharap skripsi ini dapat berguna untuk pembelajaran yang lebih baik. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Surakarta, April 2012

Penulis

B. Definisi Konseptual ................................................................ ..

C. Kerangka Pemikiran ............................................................... ..

BAB III. METODE PENELITIAN ................................................... ..

A.Lokasi Penelitian .................................................................. ..

B. Jenis Penelitian .................................................................... ..

C.Sumber Data ......................................................................... ..

D. Teknik Pengumpulan Data .................................................. ..

E. Populasi dan Sampel ............................................................ ..

F. Teknik Pengambilan Sampel ............................................... ..

G. Validitas Data ...................................................................... ..

H. Teknik Analisa Data ............................................................ ..

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................. ..

A. Diskripsi Lokasi .................................................................. ..

1. Kondisi Geografis ........................................................... ..

2. Komposisi Penduduk dalam Kelompok Umur Menurut. .. Pendidikan dan Tenaga Kerja ......................................... ..

3. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian ........... ..

4. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ........ ..

5. Komposisi Penduduk Menurut Agama ............................ ..

B. Biodata Secara Umum ......................................................... ..

1. Jumlah Anggota Keluarga ................................................ ..

2. Luas Rumah ..................................................................... ..

4. Tabungan Keluarga .......................................................... ..

5. Uang Konsumsi ................................................................. ..

6. Iuran Sekolah .................................................................... ..

C. Kondisi, Sarana dan Prasarana ............................................ ..

D. Permasalahan Kemiskinan di Desa Serut Sadang ............... ..

E. Profil Informan .................................................................... ..

F. Strategi Kelangsungan Hidup Rumah Tangga Petani Miskin

G. Pembahasan ......................................................................... .. 119

BAB V. PENUTUP ............................................................................... ..

A. Kesimpulan ......................................................................... .. 134

B. Implikasi .............................................................................. .. 135

1. Implikasi Teoritis ............................................................. .. 135

2. Implikasi Metodologis ..................................................... .. 138

3. Implikasi Empiris ............................................................. .. 139

C. Saran .................................................................................... .. 141 DAFTAR PUSTAKA ........................................................... ..

143 LAMPIRAN – LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tebel 1 Jumlah Persebaran Kemiskinan Kabupaten Pati ............................... 1 Tabel 2 Jumlah Penduduk Dalam Kelompok Umur dan Kelamin ................

(Dalam Jiwa) ..................................................................................... 72

Tabel 3 Usia Penduduk Menurut Pendidikan................................................. 73 Tabel 4 Usia Penduduk Menurut Tenaga Kerja ............................................. 74 Tabel 5 Tabel Pencaharian (Bagi Umur 10 tahun ke atas)............................. 75 Tabel 6 Penduduk Menurut Pendidikan (bagi Umur 5 tahun ke atas) ........... 76 Tabel 7 Penduduk Menurut Agama ............................................................... 77 Tabel 8 Jumlah Anggota Keluarga Responden .............................................. 78 Tabel 9 Luas Rumah Responden.................................................................... 79 Tabel 10 Status Rumah Responden.................................................................. 79 Tabel 11 Tabungan Keluarga Responden ........................................................ 80 Tabel 12 Uang Konsumsi Responden .............................................................. 81 Tabel 13 Iuran SPP Responden ........................................................................ 82

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Kerangka Berpiki ..........................................................................62 Bagan 2. Analysis Interactive Model……………………………………….71

Matrik 1 Strategi Hidup Rumah Tangga Petani Miskin Menurut kategori

Kemiskinan .............................................................................. 132

Matrik 2 Pokok Bahasan Bab IV ............................................................

133

Indah Setyaningsih, D0304004. 2012. Strategi Kelangsungan Hidup Rumah Tangga Petani Miskin Desa Serut Sadang Kecamatan Winong Kabupaten Pati. Skripsi: Fakultas ISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Perlu diketahui bahwa pertanian merupakan salah satu kegiatan paling mendasar bagi manusia, kenyatannya penduduk Indonesia yang 220-an juta orang hampir semuanya mengkonsumsi nasi. Indonesia dikenal dengan negara agraris dimana mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah petani, dan sekitar 63,25% tinggal di pedesaan yang notabene petani itu tergolong masyarakat miskin. Dalam sejarah pertanian Indonesia, sejak zaman penjajahan sampai sekarang pun petani selalu saja terlindas dan termajinalkan. Gejala konversi lahan memerlukan pertanian yang lebih luas dari semua pihak. Manakala luas lahan sawah semakin berkurang atau lebih terkikis sama sekali serta berbagai dampak negatif bermunculan, barulah arti penting aspek lingkungan dan sosial dari fungsi sawah tersebut dirasakan.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah strategi kelangsungan hidup rumah tangga petani miskin di desa Serutsadang Kecamatan Winong Kabupaten Pati Jawa?

Penelitian yang dilakukan ini berjenis deskriptif kualitatif. Yaitu penelitian yang dimaksud untuk menguraikan mengenai suati gejala berdasarkan pada indikator-indikator yang dijadikan dasar gejala yang diteliti. Bentuk penelitian mengikuti cara yang dilakukan Weber melalui verstehen yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Penelitian lebih banyak memberi nuansa atau aspek subyektif dari tindakan individu.

Hasil dari penelitian ini adalah strategi kelangsungan hidup yang dilakukan petani miskin desa Serut sadang Kecamatan Winong Kabupaten Pati adalah antara lain strategi kelangsungan kelangsungan hidup yang berupa menghemat pengeluaran, mencari penghasilan tambahan atau pekerjaan lain, mencari pinjaman hutang, serta menjalin kehidupan gotong royong dengan tetangga atau kerabat. Hal ini sesuai dengan teori Weber tentang tindakan sosial.

Kata Kunci : Pertanian, Kemiskinan, Strategi Kelangsungan Hidup

ABSTRACT

Indah Setyaningsih, D0304004. 2012. Household Survival Strategies of Poor Farmers in Serut Sadang Village of Winong Sub District of Pati Regency. Thesis: Social and Politic Science Faculty of Sebelas Maret University Surakarta.

Keep in mind that agriculture is one of humankind's most basic activities, given the fact that the population of Indonesia's 220 million people mostly consume rice. Indonesia is known as an agricultural country where the livelihoods of the majority of its population are farmers, and about 63.25% live in rural areas that in fact farmers were classified as poor. In the agricultural history of Indonesia, since colonial times until now was just run over and the farmers are always marginalized. Symptoms requiring agricultural land conversion is wider than all the parties. When diminishing wetland or completely eroded, and a variety of negative effects emerge, then the significance of environmental and social aspects of the perceived functions of paddy fields.

Formulation of the problem in this study is how the survival strategies of poor households in Serutsadang Village of Winong Sub District of Pati Regency?

This study conducted a qualitative descriptive type. Research that is intended to describe a phenomenon based on the indicators against which the phenomenon under study. Follow the form of research conducted by Weber Verstehen the interpretive understanding of human understanding. More studies are giving the feel or subjective aspects of individual actions.

The results of this study was carried out survival strategies of poor rural farmers Serut Sadang Winong Sub District Pati is among other survival strategies of survival that save money, extra income or looking for another job, looking for a loan debt, and maintain the life of mutual cooperation with neighbors or relatives . This is consistent with Weber's theory of social action.

Keywords: Agriculture, Poverty, Survival Strategies

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perlu diketahui bahwa pertanian merupakan salah satu kegiatan paling mendasar bagi manusia, kenyatannya penduduk Indonesia yang 220-an juta orang hampir semuanya mengkonsumsi nasi. Indonesia dikenal dengan negara agraris dimana mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah petani, dan sekitar 63,25% tinggal di pedesaan yang notabene petani itu tergolong masyarakat miskin. Di Kabupaten Pati dari hasil data BKKBN Kabupaten Pati dapat diketahui tingkat persebaran kemiskinan secara jelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1

Sebaran Kemiskinan di Kabupaten Pati

KK Pra Sejahtera

Kemiskinan (%)

Jaken

915 70,50 Tambakromo

909 64,21 Winong

969 61,59 Pucakwangi

710 58,20 Jakenan

814 50,75 Margoyoso

683 48,58 Tlogowungu

682 47,69 Sukolilo

777 43,68 Batangan

809 42,74 Trangkil

296 39,53 Dukuhseti

751 38,32 Gunungwungkal

335 36,80 Kayen

Kab. Pati

(Sumber data diolah: BKKBN, 2009)

Pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi suatu bangsa karena terkait dengan persediaan makanan rakyat. Apabila negara tidak mampu menyediakan pangan yang cukup bagi rakyatnya, maka akan timbul keresahan sosial yang pada akhirnya dapat mengganggu kestabilan ekonomi dan politik. Kelompok tani merupakan salah satu kelompok yang mempunyai kecenderungan sebagai kelompok yang berada dalam dalam garis kemiskinan (Wisnis Septiarti, 1995). Pada tahun 2011 jumlah petani di Indonesia adalah sejumlah 17.830.832. jumlah tersebut telah mengalami penuruan sebesar kurang lebih dua juta petani dibandingkan tahun tersebut, sedangkan jumlah petani di dunia secara umum berjumlah 60 juta an petani, yang diklasifikasikan sebagai petani perkebunan dna petani sawah.

Dalam sejarah pertanian di Indonesia, sejak zaman penjajahan sampai sekarang pun petani selalu saja terlindas dan termajinalkan. Pada masa penjajahan, penindasan terhadap rakyat kecil terutama petani terjadi sedemikian rupa hanya untuk kepentingan pemerintah kolonial.

kopi sebagai tanaman perdagangan ekspor. Pemaksaan penanaman tebu dan kopi dipandang oleh Van Den Bosch sebagai hal yang wajar, mengingat bahwa pemerintah kolonial menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja mataram yang menguasai tanah Jawa. Bertolak dari pemikiran tersebut maka rakyat dipaksa untuk menyerahkan hasil tanah dan tenaganya untuk pemerintah kolonial (Huskun,1998:76).

Politik cultuurstelsel telah membuat sumber penghidupan petani menjadi sempit. Petani merupakan kelompok pekerjaan bercocok tanam di pedesaan yang produksinya terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumsi dan ia merupakan bagian dari masyarakat yang lebih luas (Scott, 1984:238). Sehingga apabila diharuskan menyerahkan sebagian tanah, hasil panen dan tenaganya kepada pemerintah kolonial akan sangat mengganggu kelangsungan hidup petani.

Seiring dengan diakuinya kedaulatan Negara Republik Indonesia di tahun 1945, tanah-tanah petani dikembalikan. Dengan pengembalian tanah-tanah tersebut petani diberikan kebebasan untuk menggarapnya. Dengan adanya kebebasan untuk menggarap tanah pertaniannya itu, petani sedikit mempunyai harapan untuk mencukupi segala kebutuhan yang sekian lama tertindas pemerintah kolonial. Dalam perkembangan selanjutnya untuk saat ini, jumlah penduduk semakin bertambah.

maka akan terjadi pengurangan terhjadap luas lahan pertanian. Pengurangan luas lahan pertanian tidak hanya disebabkan oleh tekanan penduduk saja, pelaksanaan pembangunan yang kurang terkendali pun telah memberikan andil yang sangat besar dalam konversi lahan pertanian. Saat ini luas sawah hanya 8,11 juta hektar. Dari tahun ketahun bukan perluasan yang terjadi, tetapi justru luas sawah semakin kian menyusut.

Gejala konversi lahan memerlukan pertanian yang lebih besar dari semua pihak. Manakala luas lahan sawah semakin berkurang atau lebih terkikis sama sekali serta berbagai dampak negatif bermunculan, barulah arti penting aspek lingkungan dan sosial dari fungsi sawah tersebut dirasakan. Bagi masyarakat Indonesia, sektor pertanian, khususnya lahan sawah memilki aneka fungsi. Bagi petani, hilangnya lahan sawah akan berakibat hilangnya sumber air bersih, meningkatnya kerawanan banjir, kenaikan suhu udara sekitar, dan berkurang atau hilangnya berbagai jenis satwa. Dari aspek non teknis, hilangnya lahan sawah bisa menyebabkan terganggunya kelembagaan hubungan antar petani, petani cenderung semakin bersifat individual, menurunnya jumlah pengunjung ke pedesaan, bahkan ada kekhawatiran akan timbul kelaparan terutama bagi anggota masyarakat yang memiliki ketergantungan yang tinggi pada usaha tani di sawah. Dari aspek sosio ekonomi, selain akan menghilangnya produksi pertanian dan nilai Gejala konversi lahan memerlukan pertanian yang lebih besar dari semua pihak. Manakala luas lahan sawah semakin berkurang atau lebih terkikis sama sekali serta berbagai dampak negatif bermunculan, barulah arti penting aspek lingkungan dan sosial dari fungsi sawah tersebut dirasakan. Bagi masyarakat Indonesia, sektor pertanian, khususnya lahan sawah memilki aneka fungsi. Bagi petani, hilangnya lahan sawah akan berakibat hilangnya sumber air bersih, meningkatnya kerawanan banjir, kenaikan suhu udara sekitar, dan berkurang atau hilangnya berbagai jenis satwa. Dari aspek non teknis, hilangnya lahan sawah bisa menyebabkan terganggunya kelembagaan hubungan antar petani, petani cenderung semakin bersifat individual, menurunnya jumlah pengunjung ke pedesaan, bahkan ada kekhawatiran akan timbul kelaparan terutama bagi anggota masyarakat yang memiliki ketergantungan yang tinggi pada usaha tani di sawah. Dari aspek sosio ekonomi, selain akan menghilangnya produksi pertanian dan nilai

Selain dengan dampak dari konversi lahan pertanian, permasalahan lain yang dihadapi petani sangatlah kompleks. Mulai dari masalah modal, gagal panen karena banjir maupun kekeringan dan hama, serta anjloknya harga hasil pertanian saat panen. Permasalahan yang terakhir ini akan bertambah parah jika kebijakan impor hasil pertanian dibuka lebar-lebar. Di pasar, hasil pertanian menumpuk yang menyebabkan harganya semakin jatuh.

Pemerintah tidak bisa hanya melihat kepentingan petani. Dalam urusan beras, yang merupakan makanan pokok bangsa ini, harus juga dilihat dari kepentingan konsumen. Pemerintah harus menjamin ketersediaan beras dan harga yang terjangkau. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan jaminan kesejahteraan bagi kelompok tani.

Namun tidakkah kita sadari ketika kita takut produksi tidak mencukupi, bukankah yang harus dilakukan pemerintah adalah mendorong agar produksi itu meningkat. Apalagi, sekarang pun sebenarnya produksi itu sudah melebihi kebutuhan. Sebuah data menyebutkan bahwa stok beras di Indonesia cukup memadai. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa produksi beras tahun 2011

33,5 juta ton. Dengan demikian, akan terjadi surplus beras nasional 4,3 juta ton. Selain itu Pemerintah berencana tahun ini mengimpor beras hingga 1,7 juta ton beras. Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan di Jakarta, mengemukakan bahwa jumlah penduduk tahun ini diprediksi 241,1 juta orang dengan tingkat konsumsi 139,15 kilogram beras per kapita per tahun. Perkiraan surplus beras itu merupakan hasil kumulatif produksi beras. Hanya, surplus beras tidak terjadi sepanjang tahun karena ada siklus paceklik. Karena itu, patut diwaspadai penurunan stok beras pada musim paceklik. Pasokan beras berlimpah berlangsung Januari-April, sedangkan defisit pada Mei-Juli (Kompas, Rabu, 2 Maret 2011).

Nasib petani memang tidak sesuai dengan lapisan sosialnya, sebagai masyarakat kecil atau wong cilik, petani selalu termajinalkan, bahkan cenderung dilupakan oleh negara. Kalau ada kebijakan yang pro dengan petani, itu hanya semu belaka. Pemerintah oder baru telah mengeluarkan kebijakan tentang adanya Revolusi Hijau, atau di Indonesia dikenal dengan gerakan Bimas (Bimbingan Masyarakat). Gerakan Bimas tersebut merupakan program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Usaha- usaha yang dilakukan pemerintah adalah antara lain : program subsidi terhadap pupuk, kredit pertanian, penetapan harga dasar gabah, mendirikan Bulog, pembangunan irigasi dari pinjaman dari luar negeri,

1984 Indonesia berhasil melaksanakan swasembada beras, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984-1989 (www. Pustaka-deptan.go.id).

Gerakan Bimas ini telah memberikan perubahan sosial bagi petani. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan pola pikir dan pola tingkah laku para petani, yang dahulu sebelum mengenal pupuk kimia, petani menggunakan kearifan lokal seperti pemuliaan benih secara alami, penanaman secara bergilir serta pennggunaan pupuk alami, kemudian pada tahun 1970-an petani dikenalkan dengan pupuk kimia melalui program bantuan pemerintah. Kenyataan memang hasil produksinya meningkat, hingga saat itu Indonesia bisa mengekspor beras/ swasembada pangan, akan tetapi tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, setelah itu negeri ini kembali menjadi pengimpor beras terbesar. Maka dari itu masalah petani yang sebenarnya tidak akan pernah tersentuh.

Namun, di era sekarang saat ini nasib petani semakin memperihatinkan. Pangkal munculnya masalah petani adalah masalah politik atau tepatnya masalah struktural. Kekurangan tanah merupakan akibat ketimpangan struktur politik. Kekurangan tanah akan mengaibatkan terjadi perubahan pada rumah tangga petani dari rumah tangga ‘uang’ ke rumah tangga kredit dan terakhir ke rumah tangga

Petani selalu dianalisa melalui pendekatan ekonomi pedesaan dan ekonomi pertanian ataupun sosiologi pertanian. Mulai dari Boeke, Vries, Gertz sampai ke Muyarto selalu melihat permasalahan petani sebagai permasalahan produksi pertanian. Oleh sebab itu, program pertanian ditujukan untuk pemecahan masalah produksi, dalam hal ini tanah, pasar, bibit dan teknologi pertanian. Sementara petani yang menjadi pengelola produksi pertanian tersebut tidak tersentuh.

Kesalahan alat analisa terhadap petani tersebut menimbulkan permasalahan baru, yaitu sentralisasi konsep. Petani diseluruh Indonesia dianggap sama, didefinisikan dengan satu definisi. Petani di pinggir kota, petani dipedalaman, petani di Jawa, petani di pegunungan dan petani tepi pantai didefinisikan dengan satu definisi. Karena sentral kekuasaan di Jawa berada pada tahapan perkembangan dan kondisi yang berbeda. Selain itu, petani di desa tersebut dianggap homogen, tanpa kelas dan tanpa konflik. Sentralisasi definisi ini, bukan saja dilakukan pemerintah Indonesia, hal ini juga terjadi pada badan dunia (PBB) pada program pemberdayaan petani dari tahun 1940-an sampai tahun 1980-an yang dinyatakan gagal.

Cerita dan kisah keterkungkungan petani dalam lembah kemiskinan bukanlah kisah baru yang didramatisir secara spekulatif, tetapi sebagai realitas kehidupan yang empirik. Kemiskinan yang dialami petani Indonesia dapat merupakan kemiskinan alamiah ataupun

adalah kemiskinan yang disebabkan kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia yang rendah sehingga peluang produksi menjadi kecil. Apabila mereka memproduksi, hal itu dilakukan dengan efisiensi yang rendah sehingga hasilnya tidak optimal. Dalam lingkup pertanian, sumber daya yang mempengaruhi munculnya kemiskinan adalah kualitas lahan dan iklim. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang secara langsung atau tidak disebabkan tatanan kelembagaan. Dalam hal ini tatanan kelembagaan dapat diartikan sebagai tatanan organisasi maupun aturan permainan yang diterapkan. Kemiskinan itu bukan karena petani tidak produktif maupun aturan permainan yang diterapkan. Kemiskinan itu bukan karena petani tidak produktif atau malas. Tetapi kemiskinan petani disebabkan oleh karena memang dimiskinkan oleh struktur sosial yang menindas dan tidak humanis. Akibat dari manajemen pemerintah sendiri yang kurang serius terhadap komitmennya untuk tetap mempertahankan citra Indonesia sebagai negara agraris.

Dari uraian di atas, kita dapat melihat cerita panjang mengenai nasib petani yang tak putus dirundung malang. Fenomena tersebut menunjukkan beban pada sektor pertanian menjadi lebih berat (Prayitno dan Aryad, 1987:64). Beban pertanian yang lebih berat akan mendorong terjadinya perubahan petani untuk bisa mencukupi segala kebutuhannya.

cara berfikir untuk mencukupi kebutuhan tidak hanya dari sektor pertanian, tetapi juga mengandalkan sektor non pertanian. Walaupun para petani pada umumnya mengerjakan berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian, namun dalam masyarakat pedesaan juga terdapat beberapa jenis pekerjaan yang tidak merupakan kegiatan pertanian. Banyak petani melakukan kegiatan kedua-duanya, masing- masing sebagai pekerjaan utama dan sekunder (Koentjaraningrat, 1984:194).

Perubahan orientasi petani dari sektor agraris ke sektor nonagraris biasanya didomonasi oleh generasi muda. Dari survey terhadap 2010 petani padi di pulau Jawa, ternyata sebanyak 82% petani berusia diatas

50 tahun. Sementara sebanyak 10% berusia 30-49 tahun dan hanya 8% yang berusia di bawah 30 tahun (Kompas, 20 Januari 2010). Hasil survey tersebut mengindikasikan bahwa orientasi kerja generasi muda di sektor nonpertanian. Mata pencaharian bertani dipandang tidak menarik generasi muda di pedesaan. Bertani dapat dianggap sebagai pekerjaan yang sia-sia bahkan merugi (Solopos, 10 Februari 2010). Selain itu ada kecenderungan mereka enggan bekerja di sektor pertanian dengan anggapan status rendah (Efendi,1995:122).

Perkembangan sektor nonpertanian yang sedemikian pesat memang lebih banyak menyerap tenaga kerja. Fenomena ini juga terjadi di daerah penelitian, di Kabupaten Pati sektor pertanian hanya

menyerap tenaga kerja terbanyak, yaitu 20.711 (72%) tenaga kerja, sedangkan sebanyak 6.007 (21%) tenaga kerja diserap oleh beberapa sektor lainnya. Data diatas menjelaskan seberapa jauh sektor nonpertanian mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan sektor pertanian. Apabila ditarik kedalam garis kesimpulan berarti sedang terjadi proses konversi pekerjaan dalam sektor pertanian pada sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya dan di daerah penelitian khususnya.

Pangan khususnya beras, di Indonesia memang menempati posisi yang strategis, karena sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Tetapi petani sebagai penghasil beras, ternyata nasibnya kurang beruntung. Bahkan kalau sedikit lebih ekstrim, kita dapat mengatakan kehidupan mayoritas rumah tangga petani di negeri ini berada dibawah garis kemiskinan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan hampir tidak memberikan harapan kepada masyarakat untuk menyelesaikan kesulitan ekonomi yang ia hadapi melalui instansi pemerintah.

Adanya proses pembangunan yang sedang dilaksanakan di negara Indonesia memberikan dampak terhadap penggiringan masyarakat petani. Hal ini dapat terjadi karena dalam prosesnya adanya pengembangan, pembangunan yang menggeserkan nilai-nilai dan Adanya proses pembangunan yang sedang dilaksanakan di negara Indonesia memberikan dampak terhadap penggiringan masyarakat petani. Hal ini dapat terjadi karena dalam prosesnya adanya pengembangan, pembangunan yang menggeserkan nilai-nilai dan

Gorege Young mengatakan bahwa dampak negatif yang ditimbulkan dari pembangunan adalah adannya perubahan tata guna lahan, bangunan yang terjadi yang seharusnya digunakan oleh lahan pertanian, namun yang terjadi adalah pengembangan kawasan perumahan, yang acapkali terjadi penggusuran penduduk secara paksa dan tidak adil.

Dalam khasanah ilmu sosial, ada beberapa definisi dan penjelasan teoritis mengenai marginalisasi. Menurut Mullaly, marginalisasi merupakan sebuah proses sosial yang membuat masyarakat menjadi marginal, baik terjadi secara alamiah maupun dikreasikan sehingga masyarakat memiliki kedudukan sosial yang terpinggirkan.

Marginalisasi di level masyarakat (community) terjadi dalam dimensi yang lebih luas. Ia terjadi karena program-program dan kebijakan pembangunan lebih memihak pada kalangan sosial atas daripada kalangan bawah. Misalnya masyarakat kelas bawah tidak memiliki akses yang cukup luas untuk masuk dalam pasar kerja karena eligibility yang terlalu kompetitif sementara pemerintah tidak berhasil memberdayakan mereka.

Salah satu kelompok yang mendapatkan dampak terhadap adanya proses pembangunan adalah kelompok petani. Kondisi ini kelompok petani mendapatkan hambatan besar dalam mengembangkan usahanya, Salah satu kelompok yang mendapatkan dampak terhadap adanya proses pembangunan adalah kelompok petani. Kondisi ini kelompok petani mendapatkan hambatan besar dalam mengembangkan usahanya,

Untuk dapat mengetahui tingkat kemiskinan dari kelompok petani, maka dapat digunakan indikator tingkat kemiskinan menurut International Fund For Agricultural Development (IFAD) menyatakan bahwa ada delapan indikator kemiskinan pada tingkat rumah tangga diantaranya: (1) Kekurangan materi (material deprivation) diukur dengan ketidakcukupan makanan, gizi buruk, ketidakmampuan menyediakan kebutuhan kesehatan dan pendidikan dasar, kekurangan pakaian dan tempat tingal; (2) Isolasi (isolation) direfleksikan dalam letak geografis rumah tangga yang terisolasi dan rumah tangga yang secara sosial dan politik tersisihkan (marginalization ); (3) Keterbelakangan (alienation), si miskin terbelakang dari proses perkembangan teknologi dan mereka tidak dapat mengambil keuntungan dari peluang tersebut; (4) Ketergantungan (dependence) melemahkan daya si miskin dalam hubungan sosial yang tidak berimbang diantara tuan tanah dan penggarap lahan, majikan dan buruh, kreditor dan penghutang; (5) Ketidakberdayaan membuat keputusan memilih produk, konsumsi, pekerjaan dan keterwakilan sosial politik direfleksiskan adanya ketidakmampuan (tidak memiliki) fleksibilitas

assets ) yang memaksa orang miskin bekerja dengan tingkat produktivitas sangat rendah (7) Rentan miskin (vulnerability) yang muncul dari faktor alam (kekeringan, banjir dan bencana), faktor perubahan pasar (penurunan harga komoditi), faktor demografi (kehilangan anggota keluarga pencari nafkah), faktor kesehatan (anggota keluarga pencari nafkah sakit berkepanjangan), faktor status perkawinan (perceraian dan janda) dan faktor pasar kerja (PHK) dan (8) ketidakamanan (insecurity) berupa resiko akibat kekerasan fisik (perkelahian massal) karena status sosial lemah atau kekuatan fisik rendah, gender, agama, ras dan etnis (Jazairy, 997).

Munculnya fenomena tersebut, kemudian berbagai strategi dan tindakan yang dilakukan melalui lembaga-lembaga pedesaan yang mereka bentuk maupun melalui relasi perseorangan atau kekerabatan. Strategi kelangsungan hidup seperti itu sebenarnya sudah lama dilakukan sendiri oleh warga miskin tanpa adanya intervensi negara. Kemiskinan yang mereka hadapi dari generasi ke generasi telah memunculkan respons dan strategi penanganan yang berbeda-beda dari setiap kelompok masyarakat. Gambaran yang menyatakan bahwa penduduk miskin itu lemah, tidak berdaya, stagnan, bodoh dan pasif, ternyata tidak semuanya benar. Dalam kerangka inilah penelitian tentang stategi kelangsungan hidup rumah tangga petani di pedesaan dalam menghadapi tekanan ekonomi menarik untuk dikaji.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi kelangsungan hidup rumah tangga petani miskin di desa Serut Sadang, Kecamatan Winong, Kabupaten Pati?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi kelangsungan hidup rumah tangga petani miskin di Desa Serut Sadang, kecamatan Winong, Kabupaten Pati.

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah tentang permasalahan petani di pedesaan serta dapat sebagai pembanding bagi penelitian dalam bidang yang sama pada waktu yang akan datang.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan oleh pemerintah ataupun pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap pemecahan masalah kemiskinan, khususnya dalam perumusan kebijakan yang menyangkut program-program pengentasan kemiskinan di pedesaan. Pemahaman terhadap potensi dan kemampuan orang miskin dalam mengatasi tekanan kemiskinan perlu dijadikan dasar untuk menyusun setiap program- 1) Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan oleh pemerintah ataupun pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap pemecahan masalah kemiskinan, khususnya dalam perumusan kebijakan yang menyangkut program-program pengentasan kemiskinan di pedesaan. Pemahaman terhadap potensi dan kemampuan orang miskin dalam mengatasi tekanan kemiskinan perlu dijadikan dasar untuk menyusun setiap program-

2) Bagi Masyarakat Petani Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat petani dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan petani.

3) Bagi Pengambil Kebijakan Hasil penelitian ini diharapkan dalam memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait yang turut berkepentingan dalam pengelolaan pertanian sekaligus perdagangan hasil pertanian untuk dapat melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik sehingga tidak merugikan pihak lain khususnya petani.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

1. Konsep Yang Digunakan

a. Petani

Petani dapat didefinisikan sebagai penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam kegiatan cocok tanam dan membuat keputusan yang otonom tentang proses cocok tanam. Kategori ini mencakup penganggaran atau penerimaan bagi hasil maupun pemilikan penggarap selama mereka berada dalam posisi pembuat keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka (Lansburger dan Alexandrov, 1984: 9-10). Petani merupakan seseorang yang benar-benar menendalikan tanah secara efektif yang dia sendiri sudah lama terikat oleh ikatan- ikatan tradisi dan perasaan (Redfield, 1985:20). Dengan demikian petani sendiri sudah terikat oleh tradisi masyarakat petani berupa pengelolaan tanah yang dikerjakannya sendiri dan budaya yang melingkupinya. Senada dengan pendapat di atas Mubyarto(1973) menyatakan petani adalah orang yang mengerjakan sebidang tanah, baik tanahnya sendiri maupun sebagai penyewa dengan imbalan bagi hasil, keadaan yang demikian dikarenakan dalam Petani dapat didefinisikan sebagai penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam kegiatan cocok tanam dan membuat keputusan yang otonom tentang proses cocok tanam. Kategori ini mencakup penganggaran atau penerimaan bagi hasil maupun pemilikan penggarap selama mereka berada dalam posisi pembuat keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka (Lansburger dan Alexandrov, 1984: 9-10). Petani merupakan seseorang yang benar-benar menendalikan tanah secara efektif yang dia sendiri sudah lama terikat oleh ikatan- ikatan tradisi dan perasaan (Redfield, 1985:20). Dengan demikian petani sendiri sudah terikat oleh tradisi masyarakat petani berupa pengelolaan tanah yang dikerjakannya sendiri dan budaya yang melingkupinya. Senada dengan pendapat di atas Mubyarto(1973) menyatakan petani adalah orang yang mengerjakan sebidang tanah, baik tanahnya sendiri maupun sebagai penyewa dengan imbalan bagi hasil, keadaan yang demikian dikarenakan dalam

1) Pemilik penggarap murni, yaitu petani yang hanya

menggarap tanahnya sendiri.

2) Penyewa dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak mempunyai tanah tapi mempunyai tanah garapan melalui sewa dan atau bagi hasil.

3) Pemilik penyewa dan atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang disamping menggarap tanahnya sendiri juga menggarap tanah milik orang lain.

4) Pemilik bukan penggarap.

5) Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak mempunyai tanah garapan dan tidak memiliki tanah sendiri, yang sebagian besar terdiri dari buruh tani (Gunawan Wiradi dalam Tjondronegoro, 1984:303). Di dalam masyarakat Jawa, yang sangat kuat agrarisnya,

membagi masyarakat petani di pedesaan menjadi beberapa golongan berdasarkan penguasaan tanah. Pertama, petani kenceng, adalah para petani yang memiliki tanah dan pekarangan sekaligus. Kedua, petani setengah kenceng yang berarti hanya memiliki pekarangan saja. Ketiga, gundukan, yaitu mereka yang hanya mempumyai sawah saja. Terakhir dari golongan petani pedesaan adalah pengindung, yaitu mereka yang hanya mempunyai rumah

M.P.Tjondronegoro. 1984:261). Sedangkan Aidit dalam Aminudin Kasdi (2001:8) membagi masyarakat petani berdasarkan penguasaan tanah secara nyata di lapangan yaitu sebagai berikut :

1) Tuan tanah, terdiri dari para pemilik tanah seluas sepuluh

sampai ratusan hektar.

2) Petani kaya, yaitu petani yang memiiliki tanah dari 5-10 hektar yang dikerjakannya sendiri. Meskipun mereka tergolong kaya, namun lebih suka mengerjakan tanahnya sendiri dengan memakai tenaga buruh daripada menyakapkannya kepada orang lain.

3) Petani sedang, yaitu memiliki tanah sampai dengan lima hektar, sekedar untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak menggunakan buruh ataupun menyakapkannya.

4) Petani miskin, yaitu mereka yang tidak memiliki tanah dan alat-alat pertanian sama sekali. Mereka tinggal diatas tanah orang lain atau menumpang (Kasdi, 2001:8).

Petani-petani yang mengerjakan pertanian untuk penanaman modal dan usaha melihat tanahnya sebagai modal dan komoditi bukanlah petani melainkan pengusaha petanian (Redfield, 1985:19). Petani merupakan pencocok tanam di pedesaan yang produksinya terutama ditujukan untuk memenuhi

masyarakat yang lebih luas (Scoot, 1984: 238). Eric R. Wolf lebih lanjut memperjelas kedua pengetian diatas dengan membedakan pengertian farmer (penguasaha pertanian) dengan peasant (petani pedesaan). Petani sebagai orang desa yang bercocok tanam, artinya mereka bercocok tanam dan berternak di daerah pedesaan, tidak dalam ruangan-ruangan tertutup (green house) di tengah- tengah kota atau dalam kotak-kotak aspidistra yang diletakkan di ambang jendela. Mereka bukanlah farmer (pengusaha pertanian) seperti yang kita kenal di AS. Farmer mengkombinasikan faktor produksi yang dibeli di pasar untuk memperoleh laba dengan jalan menjual hasil produksinya secara menguntungkan di pasar hasil bumi. Peasant (petani pedesan) tidak melakukan usaha dalam arti ekonomi, ia mengelola sebuah rumah tangga, bukan sebuah bisnis (Wolf, 1985:2).

Tanah pertanian terdiri dari tegalan dan sawah. Tegalan adalah tanah pertanian kering yang biasanya terdapat di daerah curam sehingga tidak dapat digunakan untuk sawah, juga karena sifat tanahnya yang tidak dapat menahan air. Sawah sendiri ada dua jenis, yaitu sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Sawah tadah hujan merupakan sawah yang pengairannya tidak berasal dari irigasi, melainkan hanya mengandalkan

curah hujan (Koentjaraningrat, 1984:72). Siklus pertanian di sawah dimulai

bulan Oktober atau November. Kehidupan petani yang tidak lepas dari masalah membuat petani memiliki suatu konsep kepemilikan tanah tersendiri. Adapun sistem kepemilikan tanah yang ada di masyarakat ada beberapa jenis. Menurut Koentjaraningrat dalam Soediono M.P Tjondronegoro (1984:254) setidaknya ada empat sistem kepemilikan tanah di Jawa, yaitu milik umum atau komunal dengan pemakaian beralih (norowito), sistem pemakaian bergilir (norowito gilir), sistem komunal dengan pemakaian tetap (bengkok), dan sistem individu (yasan). Senada dengan Koentjaraningrat, Gunawan Wiradi dalam Soediono M.P Tjondronegoro (1984) juga membagi sistem kepemilikan tanah menjadi empat, yaitu :

1) Tanah yasan, yasa, atau yoso : yaitu tanah dimana hak seseorang atas tanah itu berasal dari kenyataan bahwa dia dan leluhurnyalah yang pertama-tama membuka atau mengerjakan tanah tersebut.

2) Tanah norowito, gogolan, pekulen, pelayangan, kesikepan, dan sejenisnya: yaitu tanah pertanian milik bersama, yang daripadanya para warga desa dapat memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir atau secara tetap, dengan 2) Tanah norowito, gogolan, pekulen, pelayangan, kesikepan, dan sejenisnya: yaitu tanah pertanian milik bersama, yang daripadanya para warga desa dapat memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir atau secara tetap, dengan

3) Tanah nitisari, bondo deso, kas desa : adalah tanah milik desa yang mau menggarapnya yang hasilnya nanti sebagian dapat digunakan sebagai kas desa.

4) Tanah bengkok : yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa terutama lurah, yang hasilnya dapoat digarap sebagai “gaji” selama mereka menduduki jabatan itu (Tjondronegoro, 293-294).

Pola pertanian telah mengalami perkembangan dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Menurut Smith (1972) ada enam sistem atau cara bertani yang mencakup sistem bertani yang mencakup sistem paling sederhana dan dianggap paling modern. Keenam tahapan atau tingkatan usaha tani tersebut antara lain :

1) Bercocok tanam di pinggir kali,

2) Pertanian yang berpindah-pindah,

3) Sistem pertanian dengan teknologi cangkul,

4) Penggunaan bajak sederhana,

5) Sistem Bajak modern. Tahapan atau pola sistem pertanian seperti ini merujuk pula pada tahapan perubahan sosial atau perkembangan masyarakat modern yang dilihat dari sudut perubahan hubungan 5) Sistem Bajak modern. Tahapan atau pola sistem pertanian seperti ini merujuk pula pada tahapan perubahan sosial atau perkembangan masyarakat modern yang dilihat dari sudut perubahan hubungan

b. Kemiskinan

Menurut Sayogya, rumah tangga buruh tani dan petani sempit sudah lama diketahui tergolong miskin disamping rumah tangga nelayan dan perajin (Ihromi, 1999:240). Mubyarto mengartikan kemiskinan sebagai :

Situasi kekurangan yang terjadi karena bukan dikehendaki oleh si miskin, melainkan tidak dapat dihindari dengan kekuatan atau kemampuan yang ada padanya. Kemiskinan itu ditandai dengan sikap dan tingkah laku yang mau menerima keadaan yang seakan-akan tidak dapat berubah, yang tercermin dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya produktifitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan, serta kesempatan untuk berpartisipasi (Mubyarto, 1997: 17).

Sedangkan menurut Syahrial Syarbaini, yang dimaksud dengan kemiskinan adalah: Suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup untuk memelihara dirinya sendiri yang sesuai dengan kehidupan kelompoknya dan juga tidak mampu untuk memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompoknya itu (Syarbaini, 2002:21).

yang tidak saja melibatkan faktor ekonomi, tetapi juga sosial, budaya dan politik. Pertama, yang paling kelas adalah bahwa kemiskinan berdimensi ekonomi atau material. Dimensi ini menjelma alam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya material, yaitu seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan lain-lain. Dimensi dapat diukur dalam rupiah meskipun harganya akan selalu berubah-ubah setiap tahunnya tergantung dari tingkat inflasi rupiah itu sendiri.

Kedua , kemiskinan berdimensi sosial budaya. Ukuran kuantitatif kurang dapat dipergunakan untuk memahami dimensi ini sehingga ukurannya sangat bersifat kualitatif. Lapisan yang secara ekonomis miskin akan membentuk kantong-kantong kebudayan yang disebut budaya kemiskinan demi kelangsungan hidup mereka. Budaya kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, keterberdayaan dan lain-lain. Untuk itu serangan terhadap kemiskinan sama pula artinya dengan pengikisan budaya ini. Apabila budaya ini tidak dihilangkan maka kemiskinan ekonomi juga sulit ditanggulangi.

Ketiga , kemiskinan berdimensi struktural atau politik, artinya orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan struktural atau politis.

memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak mempunyai kekuatan politik, sehingga menduduki struktural sosial paling bawah. Ada asumsi yang paling menegaskan bahwa orang yang miskin secara struktural atau politis akan berakibat pula miskin dalam bidang material (ekonomi). Untuk itu langkah pengentasan kemiskinan apabila ingin efektif juga harus mengatasi hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan politis.

Dimensi-dimensi kemiskinan ini pada hakikatnya merupakan gambaran bahwa kemiskinan bukan hanya dalam pengertian ekonomi saja. Untuk itu program pengentasan kemiskinan seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan ekonomi tetapi memperhatikan dimensi yang lain. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapatkan prioritas, namun bersamaan dengan itu seyogyanya juga mengejar target mengatasi kemiskinan non-ekonomi. Ini sejalan dengan pergeseran strategi pembangunan nasional, bahwa yang dikejar bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pembangunan kualitas manusia seutuhnya dalam tataran sosial, budaya, dan politik (Nugroho,2001:191-192).

Kesulitan akan timbul ketika fenomena kemiskinan diobyektifkan dalam bentuk angka-angka. Ini seperti halnya

hanya kini menjadi perdebatan. Dengan kata lain, tidaklah mudah untuk menentukan berapa rupiah pendapatan yang harus dimiliki oleh setiap orang agar terhindar dari garis batas kemiskinan. Jadi dalam hal ini kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan- persoalan kuantitatif tetapi juga kualitatif. Sebab di dalam masyarakat kadang ada orang yang secara kuantitatif atau obyektif (apabila dihitung pendapatannya dengan rupiah) tergolong miskin tetapi tinggal dalam lingkup budaya tertentu, orang tersebut merasa tidak miskin. Bahkan merasa cukup dan justru berterima kasih kepada nasibnya. Hal ini biasanya berkaitan dengan nilai- nilai budaya tertentu seperti nilai nrimo, takdir, nasib dll (Dewanta, 1995:29-30).