Hasil dan Pembahasan

6.3. Potensi Kayu

Salah satu bentuk kegiatan pengelolaan hutan di kawasan hutan produksi adalah pemanfaatan produk hutan, yang salah satunya adalah kayu. Untuk menjamin penerapan azas kelestarian pemanfaatan tegakan hutan, informasi mengenai potensi kayu merupakan informasi mendasar Salah satu bentuk kegiatan pengelolaan hutan di kawasan hutan produksi adalah pemanfaatan produk hutan, yang salah satunya adalah kayu. Untuk menjamin penerapan azas kelestarian pemanfaatan tegakan hutan, informasi mengenai potensi kayu merupakan informasi mendasar

Berdasarkan inventarisasi karbon dan hutan yang dilakukan, potensi kayu dengan diameter 40 cm lebih di KPH Kapuas Hulu masih sangat tinggi, rata-rata 215,5 + 65,9 m3 per hektar. Potensi rata- rata terbesar berada di tipe hutan dataran rendah dengan 311 m3 per hektarnya. Hutan rawa gambut dan hutan sub pegunungan memiliki potensi kayu rata-rata sebesar 185 dan 169 m3 per hektar. Kelas tutupan lahan “non hutan” pun cenderung memiliki potensi yang masih baik, yaitu sebesar 94 m3 per hektar.

Seperti yang dibahas sebelumnya, pendugaan potensi pada ke 4 kelas tutupan lainnya masih memiliki tingkat kesalahan sampling yang sangat tinggi dan masih memerlukan tambahan pengukuran pada plot-plot yang direncanakan. Hal ini juga menyebabkan dugaan nilai yang tidak realistis yang diindikasikan dengan nilai yang terlalu over estimate (pada hutan gambut sekunder) atau mungkin cenderung under estimate pada hutan sekunder dataran rendah.

Tabel 10. Nilai statistik pendugaan potensi kayu (m3/ha) dengan diameter kayu 40 cm lebih

Vol 40 cm Strata

up m 3 n Plot

Lowland Forest

Non Forest

Peat Forest

Hill - Sub Forest

Sec Heath Forest

Heath Forest

Sec Low Forest

Sec P Swamp Frst

Pengelompokkan kayu berdasarkan tingkat kerusakan atau cacat pada batang juga dilakukan untuk mengetahui potensi aktual yang dapat dan tidak bisa dimanfaatkan. Kualitas kayu dilihat dari 2 kategori yaitu tingkat kelurusan batang (lurus, melengkung, bengkok dan terpilin) dan tingkat kerusakan batang (sehat, cacat kecil dan cacat besar) (Hinrichs dkk, 1998; Dephut, 2009). Kategori kayu yang dapat dimanfaatkan dikelompokkan berdasarkan kelurusan batang dan cacat kayu (lihat sub bab 3.3.3).

Potensi kayu 40 cm up berdasarkan kualitas

m3/ha 350

Volume 40 cm up

Bisa dimanfaatkan

Tidak bisa dimanfaatkan

Gambar 14. Potensi kayu rata-rata diameter 40 cm lebih berdasarkan kualitas kayu

Pada gambar 14 ditampilkan grafik potensi rata-rata kayu per hektar (diameter 40 cm lebih) dari setiap strata hutan yang dipisahkan berdasarkan jenis kayu yang dapat dimanfaatkan dan tidak dapat dimanfatkan.

6.4. Konversi Nilai Tegakan Hutan ke Karbon

Selain bertujuan untuk pendugaan potensi kayu dan cadangan karbon, hasil kegiatan ini juga dapat digunakan untuk melihat hubungan antara keduanya. Hubungan yang erat dan signifikan dapat digunakan untuk menduga nilai cadangan karbonnya. Hal ini akan angat berguna pada saat kita ingin menduga nilai cadangan karon dari data potensi kayu yang telah diketahui sebelumnya, tanpa harus mengolah kembali data hasil inventarisasi.

Pendekatan konversi nilai tegakan karbon hutan (volume kayu) menjadi nilai cadangan karbon dikenal dengan Biomass Conversion and Expansion Factor (BCEF). IPCC (2006) juga menggunakan pendekatan ini sebagai salah satu cara untuk menduga nilai cadangan karbon pada areal hutan.

Hubungan antara volume tegakan dengan total cadangan karbon per hektar tiap plot dianalisa dari hasil inventarisasi hutan dan karbon di KPH Kapuas Hulu (Gambar 15). Menggunakan regresi

polynomial, hubungan antara kedua nilai tersebut memiliki korelasi yang paling baik, dengan R 2

mulai dari 0,948 (untuk volume pohon dari semua diameter) hingga 0,748 (volume pohon 60 cm up). Dengan demikian, pendugaan cadangan karbon dapat diduga menggunakan nilai volume tegakan. Korelasi semakin kuat jika data volume pohon yang digunakan dihitung dari semua pohon mulai diameter kecil. Sebaliknya, keterkaitan semakin lemah saat menggunakan volume kayu dari penghitungan pohon berdiameter besar.

A. Vol (all) to C

y = -0.000x 2 + 0.42x + 3.687

B. Vol (10 up) to C

y = -0.000x 2 + 0.440x + 8.277

y = -0.000x 2 + 0.417x + 44.66 R² = 0.852

D. Vol (40 up) to C

y = -9E-05x 2 + 0.386x + 64.18 R² = 0.812

y = -6E-05x 2 + 0.353x + 84.11 R² = 0.767

F. Vol (60 up) to C

y = -4E-05x 2 + 0.358x + 91.75 R² = 0.748

Gambar 15. Hubungan antara nilai volume tegakan dengan total cadangan karbon

Basal area (BA) merupakan salah satu parameter tegakan hutan yang digunakan untuk memahami tingkat okupasi pohon dalam suatu tegakan hutan. Basal area atau dikenal juga dengan bidang dasar merupakan proporsi luas bidang dasar batang pohon yang diukur pada ketinggian sesuai DBH yang diperoleh dari hasil inventarisasi hutan. Karena itu, nilai BA banyak dihitung dan digunakan untuk menilai kondisi tegakan hutan.

Gambar 16. Hubungan antara nilai basal area dengan cadangan karbon

Berdasarkan data hasil inventarisasi karbon dan hutan di Kapuas Hulu, kami mencoba melihat hubungan antara nilai BA dengan total cadangan karbon di tiap plotnya (Gambar 16). Hubungan antara nilai BA dengan korelasi paling tinggi dapat digambarkan secara linier. Gambar 16a merupakan grafik hubungan antara nila BA (yang dihitung dari pohon-pohon dengan diameter 2 cm lebih) dengan total cadangan karbon tiap plotnya. Sedangkan Gambar 16b menggambarkan grafik dan persamaan antara nilai BA sesuai metode IHMB (diameter pohon yang diukur 10 cm lebih) dengan total cadangan karbon per plotnya. Dengan demikian pendugaan cadangan karbon juga dapat dilakukan menggunakan nilai BA per plot dari hasil inventarisasi hutan sebelumnya atau hasil IHMB yang sudah ada. Tabel 10 memperlihatkan statistic hasil perhitungan cadangan karbon per plot berdasarkan nilai BA per plot dari data IHMB PT KRBB dan PT BDK di Kabupaten Kapuas Hulu.

Tabel 11. Hasil perhitungan cadangan karbon dari data basal area per plot dari IHMB