Inventarisasi Tegakan Hutan dan Cadangan
Inventarisasi Tegakan Hutan dan Cadangan Karbon di KPH Kapuas Hulu
Solichin Manuri (GIZ-Forclime) Indra Kumara (Disbunhut/DPMU) Welli Azwar (KPH) Muhamad Irwan (DPMU) Supriyanto (Konsultan GIZ) Muhamad Firdaus (Konsultan GIZ) Erik Somala (Konsultan GIZ)
Samarinda, November 2012
Forests and Climate Programe – German International Cooperation
Inventarisasi Karbon dan Tegakan Hutan di KPH Kapuas Hulu
Kata Sambutan
Kita patut bersyukur kepada Allah SWT dengan selesainya laporan Inventarisasi Karbon dan Tegakan Hutan di wilayah KPH Model ini. Sebagai salah satu kabupaten yang mempunyai hutan yang masih luas dan sebagai lumbung keanekaragaman hayati yang tinggi di bumi Kalimantan, potensi hutan yang dimiliki kabupaten Uncak Kapuas ini dipandang penting untuk dapat dikembangkan menjadi motor penggerak pembangunan untuk mendapatkan nilai manfaat yang optimal, guna mewujudkan tujuan pembangunan daerah di era otonomi daerah yang bertanggung jawab dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kami mengapresiasi terbitnya laporan ini, disamping sebagai laporan hasil teknis, laporan ini juga merupakan wujud dukungan implementasi tugas pengukuran dan pemantauan simpanan karbon di Kabupaten Kapuas Hulu dalam rangka pengembangan Demonstrations Activities REDD+. Meskipun baru dilaksanakan dalam unit KPH Model Kapuas Hulu, namun telah menunjukkan hasil yang bagus dan merupakan pembelajaran yang baik bagi Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kab. Kapuas Hulu tentang langkah, tahapan dan metode yang telah digunakan, serta kami harapkan hal ini akan dapat terus dilanjutkan di wilayah hutan lainnya untuk menambah keakurasian serta keterpercayaan data di tingkat kabupaten.
Kami memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada seluruh tim lapangan, meskipun menemui dan menghadapi berbagai tantangan yang besar, namun tim tetap konsisten dan dapat melaksanakan kegiatan sesuai standar nasional yang ada, bahkan pendataan juga dikombinasikan dengan data inventarisasi hutan sesuai prosedur di Kementerian Kehutanan, sehingga pada akhirnya data dan informasi hasil inventarisasi tegakan hutan dan karbon ini akan digunakan sebagai dasar penghitungan REL serta MRV di tingkat kabupaten.
Akhirnya atas nama Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kab. Kapuas Hulu, kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Kepala Biro Perencanaan beserta jajaran, pimpinan GIZ dan para tenaga ahlinya beserta tim, serta pihak-pihak yang telah berpartisipasi dan memberikan kontribusi serta berkarya dalam dinamika pembangunan kehutanan di Kab. Kapuas Hulu.
Putussibau, November 2012 Kepala Dinas Perkebunan dan KehutananKab. Kapuas Hulu
Drs. H. HASAN M, M.Si Pembina Utama Muda
NIP. 19571010 198203 1 034
Inventarisasi Karbon dan Tegakan Hutan di KPH Kapuas Hulu
Kata Pengantar
Pengelolaan hutan secara lestari memerlukan data dan informasi akurat dan aktual mengenai kondisi tegakan hutan yang berkaitan dengan tujuan dan rencana pengelolaan. Berbagai perangkat penilaian tegakan telah banyak dikembangkan dan diterapkan pada tingkat unit pengelolaan hutan maupun kawasan hutan secara luas.
Forclime-GIZ mendukung upaya pengembangan pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) melalui pengembangan kapasitas serta mekanisme implementasi pengelolaan hutan lestari yang efektif dan efisien serta kegiatan REDD Readiness. Salah satu mekanisme penilaian tegakan hutan yang akan dikembangkan adalah dengan mengintegrasikan prosedur yang ada seperti Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB), dengan mekanisme penilaian biomasa atau karbon hutan, sekaligus melakukan penyesuaian untuk meningkatkan keakurasian data sekaligus mengurangi beban kerja di lapangan. Selain itu metode yang dikembangkan juga mengacu pada SNI Pengukuran Cadangan Karbon No. 7724:2011.
Sebagai salah satu kabupaten percontohan, KPH di Kapuas Hulu dipilih menjadi salah satu lokasi dimana akan dilakukan uji coba sekaligus implementasi kegiatan inventarisasi karbon dan hutan. Kegiatan pelatihan pengukuran dan penghitungan cadangan karbon telah dilakukan sebelumnya bagi stakeholder di Kapuas Hulu. Design sampling dikembangkan berdasarkan kondisi di lapangan, kapasitas yang ada serta masukan dari berbagai pihak.
Inventarisasi hutan dan karbon telah dilaksanakan di sebagian wilayah KPH, yaitu di kecamatan Embaloh Hulu, Batang Lupar dan Badau. Sebanyak 58 plot telah diukur melalui kegiatan inventarisasi karbon hutan yang dilaksanakan secara bertahap. Diharapkan hasil dari kegiatan ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar penghitungan potensi kayu untuk pengelolaan hutan secara lestari maupun penghitungan cadangan karbon yang akurat sebagai dasar penetapan REL dalam sistem MRV REDD di tingkat kabupaten.Laporan ini juga diharapkan dapat menjadi bagian dari proses dokumentasi methodologi dan hasil pengukuran cadangan karbon di kabupaten Kapuas Hulu yang diperlukan sebagai dasar verifikasi kegiatan pemantauan cadangan dan emisi karbon tekait upaya penurunan emisi dari sektor kehutanan.
Kami sangat menghargai kerjasama yang baik dan mengucapkan terima kasih kepada pemerintah daerah khususnya Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kapuas Hulu serta District Project Management Unit yang telah memfasilitasi dan secara aktif melaksanakan bersama kegiatan ini. Melalui kegiatan bersama seperti ini, diharapkan terjadi transfer pengetahuan dan kemampuan, sehingga ke depan pihak kabupaten dapat melaksanakan kegiatan pemantauan cadangan dan emisi karbon secara lebih mandiri.
Samarinda, November 2012 Team Leader GIZ-Forclime TC2
Dr. Helmut Dotzauer
Inventarisasi Karbon dan Tegakan Hutan di KPH Kapuas Hulu
Ucapan Terima KasihIMA
Kegiatan inventarisasi karbon dan hutan yang dilakukan di areal KPH Kapuas Hulu dilaksanakan selama 2 tahap. Tahap pertama dilakukan pada bulan April 2012 dan tahap kedua pada bulan Oktober-November 2012. Kegiatan tersebut didanai oleh GIZ-Forclime dan dana monitoring karbon dari KfW/DPMU.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tim GIZ-Forclime khususnya kepada Markus Mueller dan Klothilde Sikun yang telah membantu menyiapkan peta kerja yang diperlukan oleh para regu inventarisasi karbon. Apresiasi bagi Andreas Mench yang telah memberikan masukan berharga terkait dengan disain dan metode inventarisasi melalu diskusi dan workshop. Juga kepada Tunggul Butarbutar yang mendukung kegiatan ini sejak awal dan mas Edy Marbyanto yang membantu memfasilitasi mulai dari inisiasi dan pelatihan pengukuran karbon.
Kami mengucapkan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada para ketua regu dan pendamping dari Dishutbun dan DPMU yaitu: Yustinus Embah, Dery dan Sipriandus Roni. Juga kepada para ketua regu yang merupakan mahasiswa dan alumni Fahutan Untan: Marjan Saputra, A.H Syukri, Muhammad Sardi dan Ari Wibowo, kami sangat menghargai kerja keras mereka di lapangan. Penulis juga berterima kasih kepada staf administrasi di Disbunhut dan staf DPMU yang membantu proses administrasi dan kegiatan sosialisasi di lapangan: Gita, Oni, Erik dan Hari.
November 2012
Penulis
iii
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pengelolaan hutan secara lestari memerlukan data dan informasi akurat dan aktual mengenai kondisi hutan yang berkaitan dengan tujuan dan rencana pengelolaan. Berbagai perangkat penilaian potensi hutan telah banyak dikembangkan dan diterapkan pada tingkat unit pengelolaan hutan maupun kawasan hutan secara luas. Sistem pemantauan hutan nasional (national forest monitoring system) juga dikembangkan secara berjenjang mulai dari tingkat nasional seperti: National Forest Inventory (NFI), tingkat unit pengelolaan (Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala–IHMB), hingga tingkat blok atau tapak seperti Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP).
Forclime-GIZ mendukung upaya pengembangan pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) melalui pengembangan kapasitas serta mekanisme implementasi pengelolaan hutan lestari yang efektif dan efisien serta kegiatan REDD Readiness. Salah satu mekanisme penilaian tegakan hutan yang akan dikembangkan adalah dengan mengintegrasikan prosedur yang ada seperti IHMB, dengan mekanisme penilaian biomasa atau karbon hutan, sekaligus melakukan penyesuaian untuk meningkatkan keakurasian data sekaligus mengurangi beban kerja di lapangan.
Sebagai salah satu kabupaten percontohan, KPH model di Kapuas Hulu dipilih menjadi salah satu lokasi dimana akan dilakukan uji coba sekaligus implementasi kegiatan inventarisasi karbon dan hutan. Kegiatan pelatihan pengukuran dan penghitungan cadangan karbon telah dilakukan sebelumnya bagi stakeholder di Kapuas Hulu. Pengembangan kapasitas dilakukan tidak hanya melalui pelatihan tetapi juga melalui sosialisasi dan diskusi teknis kepada para pihak.
Sebagian besar metode yang digunakan mengadopsi dari metode inventarisasi yang dikembangkan oleh proyek GIZ di SumateraSelatan, yaitu Merang REDD Pilot Project (MRPP). Disain sampling dikembangkan juga berdasarkan kondisi di lapangan, kapasitas yang ada serta masukan dari berbagai pihak terkait, khususnya Dinas Perkebunan dan Kehutanan.
1.2. Tujuan Kegiatan
Dalam rangka persiapan pengelolaan KPH, kegiatan inventarisasi karbon dan hutan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan informasi potensi yang diperlukan terkait dengan penyusunan rencana pengelolaan hutan. Selain itu terkait dengan upaya readiness REDD+ di Kabupaten Kapuas Hulu, pengukuran cadangan karbon yang akurat dan aktual diperlukan sebagai dasar penghitungan emisi karbon yang terjadi serta penyusunan Reference Emission Level (REL).
1.3. Cakupan Dokumen
Tujuan dari dokumen ini adalah untuk mendokumentasikan proses perencanaan, prosedur pelaksanaan hingga hasil dari kegiatan inventarisasi karbon hutan di KPH model Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sehingga diharapkan pada saat proses verifikasi, yang termasuk dalam sistem MRV (monitoring, reporting and verification) upaya penurunan emisi karbon, dokumen ini dapat dijadikan salah satu perangkat verifikasi (means of verification) terkait dengan data penghitungan cadangan karbon.
Kegiatan inventarisasi ini direncanakan untuk seluruh kawasan KPH model Kapuas Hulu, namun hasil kegiatan inventarisasi yang ditulis dalam dokumen ini hanya mencakup KPH model yang berada di wilayah kecamatan Badau, Batang Lupar danEmbaloh Hulu. Sedangkan kegiatan inventarisasi di kecamatan Embaloh Hilir dan Putussibau Utara belum dilaksanakan saat laporan ini ditulis.
2. Kondisi Umum KPH Kapuas Hulu
2.1. Kondisi Geografis dan Biofisik
Kawasan KPH Kapuas Hulu terbagi dalam 5 kecamatan yaitu Batang Lupar, Badau, Embaloh Hulu, Embalih Hilir dan Putussibau Utara. Kawasan ini terletak antara 0 o 48’0” sampai dengan
1 o 24’0” LU dan 111 o 47’0” sampai dengan 113 o 20’0” BT. Kawasan tersebut meliputi dua Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu: Sub DAS Kapuas Hulu dan Sub DAS Embaloh.
Sebagian besar (62%) kawasan KPH memiliki tingkat kelerengan yang sangat landai (0-25 %) yang sebagin besar berada di bagian selatan kawasan, yang merupakan lahan gambut dan berdekatan dengan Taman Nasional Danau Sentarum. Sekitar 27 % dari kawasan memiliki tingkat kelerengan sedang (25-40%). Sisanya hanya sekitar 11% yang memiliki tingkat kelerengan sangat curam (lebih dari 40%), yang sebagian besar berada di bagian utara kawasan yang berbatasan dengan Taman Nasional Betung Kerihun.
2.2. Penataan Kawasan Hutan
Di dalam kawasan KPH Model terdapat berbagai pemanfaatan baik legal maupun illegal menurut dokumen izin pengelolaan yang sah. Pemegang hak yang sah adalah perusahaan hutan pemegang IUPHHK-HA dan IUPHHK-HTI terdapat 5 buah perusahaan (lihat Tabel IV 5). Selain itu terdapat pula usulan Hutan Adat yang secara formal belum mempunyai dokumen legal. Di beberapa titik terdapat juga kebun karet dan kebun campuran serta pemukiman masyarakat di dalam kawasan hutan.dengan luas hutan produksi (HPT, HP, HPK) + 249.490 ha (55,7%) dan hutan lindung (HL) + 198.474 ha (44,3%) atau luas total + 447.964 ha;
Sub DAS Kapuas Hulu, yang meliputi :
1. Hutan Lindung Nyaban-Pangihan-Lambuanak,
2. Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas Sungai Mendalam
Sub DAS Embaloh, yang meliputi:
1. Hutan Lindung Nanga Embaloh,
2. Hutan Lindung D. Temtayane, Gn. Kantuk, Pangur Dulang, Lanjak,
3. Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Nanga Badau
4. Hutan Produksi Selat Nanga Kantuk
2.3. Kondisi Tutupan Lahan
Berdasarkan analisa tutupan lahan dari citra Landsat tahun 20120, lebih dari 70% wilayah KPH didominasi oleh hutan primer. Terdapat lebih dari 34% dari wilayah KPH atau hampir mencapai 150 ribu hektar merupakan hutan dataran rendah yang kondisinya relatif masih primer. Hutan sub pegunungan yang masih belum tersentuh juga relatih masih luas sekitar 95 ribu hektar atau Berdasarkan analisa tutupan lahan dari citra Landsat tahun 20120, lebih dari 70% wilayah KPH didominasi oleh hutan primer. Terdapat lebih dari 34% dari wilayah KPH atau hampir mencapai 150 ribu hektar merupakan hutan dataran rendah yang kondisinya relatif masih primer. Hutan sub pegunungan yang masih belum tersentuh juga relatih masih luas sekitar 95 ribu hektar atau
Tabel 1. Tutupan lahan kawasan KPH Kapuas Hulu
Tutupan Lahan
Luas (ha)
Persen
Bare areas
0.0 Lowland Forest
34.8 Secondary Lowland Forest
6.2 Hill and submontane forest
21.3 Secondary Hill and submontane forest
0.9 Lower montane forest
0.1 Peat swamp forest
15.4 Secondary Peat swamp forest
4.3 Heath forest
12 0.0 Secondary Heath forest
0 0.0 Riparian forest
1.1 Secondary Riparian forest
0.1 Gambar 1. Luas berbagai tipe tutupan lahan di KPH yang digunakan sebagai dasar
stratifikasi (sumber: Navratil, 2012)
2.4. Kondisi IUPHH
Hanya tinggal sebagian kecil IUPHHKHA yang masih beroperasi di KPH Kapuas Hulu, salah satunya PT Toras Banua Sukses dan PT Bumi raya Utama Industry. PT Lanjak Deras baru saja dikeluarkan SK pencabutan izinnya dan PT Banua Indah masih dalam proses pencabutan. Diharapkkan kawasan yang izinnya telah dicabut menjadi kawasan yang dikelola oleh KPH.
Tabel 2. Daftar perusahaan HPH yang berada di KPH Kapuas Hulu
Beberapa desa masih dalam proses pengajuan Hutan Desa di dalam kawasan KPH, seperti Desa Manua Sadap. Verifikasi lapangan telah dilaksanakan, Namun SK penetapan masih belum turun.
3. Metodologi
3.1. Disain Inventarisasi Karbon Hutan
3.1.1. Tujuan Inventarisasi
Sebagai salah satu data dasar utama yang diperlukan di dalam penyusunan rencana pengelolaan KPH, data potensi hutan yang diperoleh melalui inventarisasi terestris atau pengukuran lapangan sangat lah diperlukan. Selain pengelolaan hutan lestari, pengembangan mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) juga merupakan salah satu komponen penting yang dikembangkan oleh FORCLIME-GIZ. Pengukuran cadangan karbon dan penetapan referensi emisi juga menjadi salah satu kegiatan prioritas bagi pengelolaan hutan oleh KPH dan Kabupaten Kapuas Hulu. Karena itu kegiatan inventarisasi ini dikembangkan dengan multi tujuan (multi-purpose inventory), yaitu untuk menilai kondisi tegakan hutan (standing stock) sekaligus cadangan karbon (carbon stock) di KPH Kapuas Hulu. Selain itu data lainnya seperti keanekaragaman hayati, penebangan liar atau areal bekas terbakar juga dapat dikumpulkan secara simultan.
3.1.2. Target Populasi yang Diukur
Di dalam sistem monitoring, reporting dan verification (MRV), completeness merupakan salah satu azas penting yang perlu dipertimbangkan di dalam pengukuran emisi karbon. Berdasarkan IPCC (2006), sumber karbon dikategorikan ke dalam 5 jenis, yaitu:
• Biomass Atas Permukaan (BAP) yang terdiri dari pohon, tumbuhan bawah, liana dan
palem • Biomassa bawah Permukaan (BBP) atau bagian akar dari vegetasi
• Kayu mati merupakan bagian dari Bahan organik mati (BOM) termasuk kayu mati dan
pohon mati yang masih berdiri • Serasah yang berada di atas permukaan tanah dengan diameter kurang dari 10 cm
• Karbon tanah
Dalam kegiatan inventarisasi ini, sumber karbon (carbon pools)yang diukur meliputi: - BAP termasuk pohon, liana, palem dan tumbuhan bawah; - BOM termasuk kayu mati, pohon mati dan serasah, serta - Tanah gambutdirencanakan untuk diukur, namun belum terlaksana saat laporan ini ditulis.
BBP tidak diukur secara langsung, namun akan dihitung berdasarkan persamaan yang menggunaan BAP sebagai parameter penghitungannya.
3.1.3. Tehnik Sampling
Secara umum terdapat 2 jenis metode sampling yang sering digunakan di Indonesia dan juga diakomodasi dalam SNI pengukuran karbon (BSN, 2010), yaitu: Random Sampling danSystematic Sampling with random start. Sistematic sampling banyak diterapkan dalam metode penilaian tegakan hutan di Indonesia, seperti IHMB dan NFI. Dalam kegiatan inirandom samplingjugaditerapkan dalam inventarisasi karbon di hutan rawa gambut Merang, Sumatera Selatan.Dalam kegiatan ini diterapkan tehnik Stratified Random Sampling.
3.1.4. Stratifikasi
Stratifikasi diperlukan untuk mengelompokkan sub-populasi yang memiliki cadangan AGB yang seragam, sehingga dapat mengurangi jumlah unit contoh (sampling unit). IPCC Guidelines menyarankan untuk menggunakan stratifikasi di dalam inventarisasi karbon hutan. Stratifikasi dapat memberikan alokasi jumlah unit sampling secara proporsional berdasarkan prioritas dan jumlah total sub populasi.Karenanya stratifikasi dapat menghindari hilangnya peluang sampling pada strata-strata yang memiliki jumlah populasi kecil.
Stratifikasi dilakukan dengan mengelompokkan tegakan-tegakan hutan dan lahan yang diduga memiliki kesamaan nilai cadangan karbon (AGB). Karena itu peta tutupan lahan yang diperoleh dari citra satelit, digunakan untuk keperluan tersebut. Ketinggian di atas permukaan laut juga dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan sebagai salah satu dasar stratifikasi. Berdasarkan interpretasi citra Landsat tahun 2010 yang dilakukan oleh GIZ Forclime/RSS, terdapat 14 strata tutupan lahan KPH model Kapuas Hulu dengan total luas sekitar 463 ribu hektar (Navratil, 2012).
3.1.5. Luas dan Bentuk Plot
Ukuran plot yang digunakan dalam inventarisasi karbon dan hutan mengadaptasi dari ukuran plot yang dikembangkan untuk IHMB, yaitu
2500 m 2 , 400 m 2 dan 100 m 2 . Ditambah sub plot ukuran 25 m 2 dan 4 m 2 untuk pancang dan tumbuhan bawah.
D Nested plot atau plot gabungan dirasa sesuai dengan kondisi tegakan di
hutan tropis.
B Untuk membuat plot di lapangan, selalu menggunakan jarak datar.
A Sehingga tidak diperlukan pengukuran kelerengan untuk mendapatkan
Starting point
slope correction.
Gambar 2. Pengukuran jarak datar untuk mengatasi koreksi kemiringan lereng (slope correction)
3.1.6. Penggunaan Plot Cluster
2-plot cluster digunakan pada strata-strata lainnya, jika memungkinkan dilakukan dalam waktu 1 hari, jika tidak memungkinkan gunakan single plot. 4-plot cluster digunakan 2-plot cluster digunakan pada strata-strata lainnya, jika memungkinkan dilakukan dalam waktu 1 hari, jika tidak memungkinkan gunakan single plot. 4-plot cluster digunakan
Single plot juga diterapkan pada titik plot random yang berada di dekat batas strata, sehinga jika menggunakan cluster, akan terpotong oleh batas strata.
Starting point Startingpoint
Gambar 3. Kaidah penempatan cluster plot
3.1.7. Jumlah Plot
Jumlah plot yang akan diukur tergantung dari banyak faktor antara lain: - Tingkat presisi yang diharapkan atau kesalahan sampling yang diperbolehkan (allowable sampling error)
- Luas areal yang akan disurvey - Keragaman antar plot atau sub-populasi - Jumlah strata yang akan diukur
Penghitungan jumlah plot berdasarkan persamaan berikut (Avery and Burckhart, 1994):
n = Jumlah plot total nh = Jumlah plot pada strata h Nh = Ukuran populasi dalam strata h Sh = keragaman dalam strata h
SE = Allowable sampling error N = Total populasi
Gambar 4. Penghitungan jumlah plot menggunakan program excel (Winrock International)
3.2. Data yang Dikumpulkan dan Diukur
Di titik awal, beberapa data dan informasi perlu dicatat antara lain: Koordinat GPS: menggunakan GPS, yang sebelumnya digunakan untuk navigasi menuju
plot, untuk menyimpan lokasi aktual titik awal plot yang diukur. Tekstur tanah mineral / kedalaman gambut: Untuk tanah mineral, lakukan pendugaan tekstur tanah mineral menggunakan kaidah yang dijelaskan dalam prosdur IHMB (Gambar 5) Informasi tentang penebangan yang terjadi di sekitar plot. Perkiraan tahun terakhir terjadi penebangan baik secara legal maupun ilegal. Tahun kebakaran hutan yang terjadi. Biasanya masyarakat setempat mengetahui secara pasti tahun berapa lokasi tersebut terbakar. Juga bisa diduga dari bekas kebakaran yang
pernah terjadi hingga 10 tahun ke belakang. Satwa liar yang dijumpai dicatat jumlah dan jenisnya. Diutamakan jenis-jenis seperti
mamalia dan burung yang merupakan jenis endemik, langka, atau jenis-jenis penting baik lainnya.
Gambar 5. Alur penentuan pendugaan tekstur tanah secara cepat (Poerwowidodo, 1992
dalam Hinrichs dkk, 1998)
Data biomasa dan bahan organik yang diukur meliputi:
1. Serasah: bahan organik mati yang berada di permukaan tanah yang berasal dari daun, ranting, batang atau bagian tumbuhan mati lainnya dengan diameter < 10 cm.
2. Kayu mati: bahan organik mati yang berasal dari batang, cabang atau ranting pohon mati yang sudah rebah di permukaan tanah dengan diameter >10 cm
3. Pohon mati: termasuk tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan pohon, yang sudah mati (tidak menunjukkan adanya bagian pohon yang hidup) tetapi masih berdiri tegak.
4. Pohon: tumbuhan berkayu termasuk semua tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan pohon yang masih hidup. Diameter minimal yang diukur adalah 2 cm.
5. Liana : tumbuhan yang merambat dan melilit (baik epipit maupun parasit). Diameter minimal yang diukur adalah 2 cm.
6. Palem: Tumbuhan monokotil yang memiliki batang tanpa kambium. Diameter minimal yang diukur adalah 2 cm
7. Tumbuhan bawah: semua tumbuhan hidup seperti rumput, herba serta pohon, liana dan palem yang memiliki diameter kurang dari 2 cm.
Secara rinci, parameter-parameter biomasa dan bahan organik yang diukur di setiap sub plot dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 3. Parameter yang diukur di lapangan
Sub Plot Serasah
Biomasa Atas Permukaan A: 2 x 2
Kayu Mati
Pohon Mati
Serasah (daun kering, Biomasa atas (tumbuhan bawah, kayu mati ø <10 cm)
semai< 2 cm DBH) - ketebalan rata-rata
- estimasi tinggi rata-rata serasah
- estimasi % kerapatan - tingkat kelembaban serasah - berat basah total - ambil sampel
B: 5 x 5
Kayu mati (10 cm
Pohon mati (2 cm <
Tingkat Pancang (2 cm < DBH <10
- timbang berat
- ukur DBH
- ukur DBH
atau ukur volume
- tentukan tingkat
- tentukan nama pohon
- Tentukan tingkat
keutuhan
Liana (2 cm < DBH <10 cm)
pelapukan (lihat
- ukur diameter
Palem (2 cm < DBH <10 cm)
- ambil sampel
- ukur DBH
(opsional)
- estimasi tinggi
C:10 x10
Pohon mati (10 cm
Tingkat Tiang (10 cm < DBH <20
< DBH <20 cm)
cm)
- ukur DBH atau
- ukur DBH atau DAB
DAB
- tentukan nama pohon
- tentukan tingkat
Liana/rotan (10 cm < DBH <20 cm)
keutuhan
- ukur diameter - tentukan nama liana/rotan Palem (10 cm < DBH <20 cm) - ukur DBH - tentukan nama - estimasi tinggi
D:20x20
Pohon mati (20 cm
Tingkat Pohon Kecil (20 cm < DBH
< DBH <35 cm)
<35 cm)
- ukur DBH atau
- ukur DBH atau DAB
DAB
- tentukan nama pohon
- tentukan tingkat
Liana/rotan (20 cm < DBH <35 cm)
keutuhan
- ukur diameter - tentukan nama liana/rotan Palem (20 cm < DBH <35 cm) - ukur DBH- tentukan nama - estimasi tinggi
E:20x 125
Kayu mati (ø > 30
Pohon mati (DBH >
Tingkat Pohon Besar (DBH > 35 cm)
cm)
35 cm)
- ukur DBH atau DAB
ukur diameter
- ukur DBH atau
- tentukan nama pohon
Sub Plot Serasah
Kayu Mati
Pohon Mati
Biomasa Atas Permukaan
kayu mati yang
DAB
- tentukan kualitas batang (lihat
berada pada jalur
- tentukan tingkat
transek sepanjang
keutuhan
125 m menggunakan metode Intersep Transek lihat sub bab 3.3.1 - tentukan tingkat pelapukan tiap kayu mati yang diukur
3.3. Beberapa Kaidah Pengukuran Biomasa dan Parameter Lainnya di Lapangan
3.3.1. Metode Intersep Transek (Planar Intercept method) untuk pengukuran kayu mati besar
Metode ini hanya digunakan untuk mengukur diameter kayu mati dengan diameter > 30 cm yang dijumpai di sepanjang transek 125 meter pada sumbu plot. Catat diameter kayu pada lokasi dimana garis transek melintasi batang kayu mati. Identifikasi dan catat tingkat pelapukan kayu mati tersebut.
Gambar 6. Metode pengukuran kayu mati dengan metode intersep transek
Tingkat pelapukan dikategorikan menjadi 3 kelas yaitu, bagus, sedang dan lapuk yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
A. Bagus: kulit masih melekat sempurna pada batang kayu, atau kayu masih cukup keras dan sulit untuk dipotong dengan parang atau gergaji. Pelapukan kayu hanya terjadi kurang dari 10 %.
B. Sedang: kulit sebagian lepas dan lapuk. Pelapukan terjadi antara 10 – 50 %
C. Lapuk: kulit sebagian besar atau seluruhnya telah lapuk. Kayu sangat rapuh dan mudah dipotong dengan parang atau gergaji. Pelapukan terjadi lebih dari 50%.
3.3.2. Pengukuran Pohon Mati
Semua pohon mati yang diameternya masuk dalam plot ukur, ditentukantingkat
keutuhannya (lihat gambar 7). Jika tingkat keutuhan A, B dan C maka cukup diukur DBH
dan nama lokal jika mungkin. Untuk tingkat keutuhan D diukur diameter pangkal dan
tinggi total.
Gambar 7. Tingkat keutuhan berbagai tipe pohon mati
Keutuhan A: merupakan pohon mati yang tidak memiliki daun, tetapi ranting dan cabang masih tersisa. Keutuhan B: pohon mati yang sudah tidak memiliki daun dan ranting. Keutuhan C: jika hanya tersisa sedikit cabang utama. Keutuhan D: merupakan pohon mati yang patahdan tidak diketahui batas bebas
cabangnya, termasuk tunggul.
3.3.3. Penentuan Kualitas Batang Pohon
Informasi mengenai kualitas batang pohon komersil diperlukan untuk menduga potensi kayu yang dapat dimanfaatkan dan yang tidak dapat dimanfaatkan. Informasi tersebut bermanfaat untuk perencanaan pemanfaatan hasil hutan dan pengelolaan hutan secaa lestari baik oleh HPH maupun KPH. Data mengenai kualitas batang dikumpulkan langsung di lapangan sekaligus pada saat regu mengukur diameter dan mengidentifikasi jenis.
Tabel 4. Tipe kualitas batang berdasarkan tingkat kelurusan dan kerusakannya.
Pengelompokkan kelas kualitas batang menggunakan kaidah yang dikembangkan dalam IHMB (Hinrichs dkk, 1998; Dephut, 2007). Semua tingkat pertumbuhan pohon (DBH > 20 cm) dicatat kategori kelurusan dan kerusakan batangnya. Penjelasan mengenai pengelompokkan kualitas pohon berdasarkan kelurusan dan kerusakan batang dapat dilihat di tabel 2.
Kategori kayu yang dapat dimanfaatkan adalah:
a. Lurus dan Sehat; dengan kode 15
b. Lurus dan Cacat Kecil; dengan kode 16
c. Melengkung dan Sehat; dengan kode 25
d. Melengkung dan Cacat kecil; dengan kode 26
e. Bengkok dan Sehat; dengan kode 35
f. Bengkok dan Cacat kecil; dengan kode 36
Sedangkan kategori kayu yang tidak dapat dimanfaatkan adalah:
a. Lurus dan Cacat besar; dengan kode 17
b. Melengkung dan Cacat besar; dengan kode 27
c. Bengkok dan Cacat Besar; dengan kode 37
d. Terpilin dan Sehat; dengan kode 45
e. Terpilin dan Cacat Kecil; dengan kode 46
f. Terpilin dan Cacat Besar; dengan kode 47
3.4. Perhitungan Pendugaan Biomassa
3.4.1. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon
Sebagian besar karbon hutan di atas-permukaan berasal dari biomasa pohon.Tabel volume biomasa berdasarkan persamaan alometrik sangat membantu di dalam perhitungan biomasa dan karbon di atas tanah.Hal ini dikarenakan sulitnya pengukuran tinggi pohon selama inventarisasi hutan, sehingga menyebabkan kesalahan yang sangat besar jika digunakan untuk pendugaan karbon. Karena itu, persamaan alometrik meningkatkan akurasi pendugaan karbon dan memudahkan proses pelaksanaan inventarisasi hutan.Beberapa persamaan alometrik yang dapat digunakan untuk hutan tropis telah disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan secara global maupun lokal.
Gambar 8. Lokasi dan jumlah pohon sampel yang ditebang untuk penyusunan
persamaan alometrik lokal
Persamaan alometrik lokal juga dikembangkan di wilayah Kapuas Hulu dan Kalimantan Timur untuk menduga cadangan karbon secara lebih akurat. Laporan kegiatan ini akan dibuat terpisah. Namun hingga saat ini, sebagian sampel kayu yang dianalisa di laboratorium Universitas Tanjungpura masih dalam proses pengolahan.
Karena itu persamaan alometrik biomassa yang digunakan sementara untuk analisa data inventarisasi ini adalah persamaan generik yang dikembangkan dari berbagai database pohon dari hutan tropis di amerika latin dan asia (Brown, 1997):
Biomass1 = 42.69 - 12.800*DBH + 1.242*DBH 2
Selain itu, untuk perbandingan, juga digunakan persamaan yang dikembangkan di hutan dataran rendah Kalimantan Timur (Basuki et al, 2009):
Biomass Jenis Komersil = Exp (-1,498)*DBH 2,234
Biomass Jenis Campuran = Exp (-1,201)*DBH 2,196
3.4.2. Pendugaan Biomassa Pohon Mati
Untuk menghitung cadangan nekromasa atau karbon pohon mati, dapat menggunakan persamaan alometrik untuk pohon hidup yang dikalikan dengan faktor koreksi atau dekomposisi sebesar 0,9; 0,8 dan 0,7 untuk pohon mati A, B dan
C. Untuk menghitung pohon mati D, menggunakan rumus di bawah ini: NPM = ,
Dimana: NPM: Nekromasa Pohon Mati (kg)
π = 22/7 D1, D2 : Diameter pangkal dan ujung (cm) T = Tinggi pohon (m) RK ρ : Rataan Kuadrat Berat jenis kayu mati (kg/m3)
3.4.3. Pendugaan Biomassa Serasah dan Tumbuhan Bawah
Untuk menghitung kandungan bahan organik serasah dan biomassa tumbuhan bawah, regu inventarisasi mengukur berat basah serasah dan tumbuhan bawah di lapangan. Sample yang dikumpulkan di lapangan di bawa ke laboratorium untuk mengetahui rasio berat kering berat basah (RBKBB). Untuk menduga total biomassa serasah dan tumbuhan bawah per plot menggunakan rumus:
Biomassa = BB * RBKBB
BB : Berat Basah serasah atau tumbuhan bawah yang ditimbang di lapangan RBKBB
: Rasio antara Berat Kering Sample dengan Berat Basah Sample
3.4.4. Pendugaan Biomassa Kayu Mati
Kayu mati di hutan tropis alami merupakan salah satu sumber karbon yang cukup besar, khususnya di hutan bekas tebangan atau terdegradasi (Manuri dkk, 2011).Pada kegiatan inventarisasi karbon hutan di Kabupaten Kapuas Hulu menerapkan 2 pendekatan pengukuran lapangan untuk kayu mati, yaitu (1) pengukuran volume kayu mati dengan diameter antara 10 cm - 30 cm, dan (2) pengukuran dengan Metode Intercept Transek untuk kayu mati > 30 cm. Setiap
Bagus
300 RK BJ = 732,01 200
Sedang
RK BJ = 453,34
100 Lapuk
RK BJ = 251,6
Tingkat Pelapukan Kayu Mati
Gambar 9. Rataan Kuadrat Berat Jenis Kayu Mati berdasarkan Tingkat
Pelapukan(Manuri dkk, 2011)
Biomassa kayu mati dapat dihitung dengan rumus:
Bkm = Vol km * RKBJ
Bkm : Biomassa kayu mati Vol km: Volume kayu mati RKBJ : Rataan Kuadrat Berat Jenis.
Sedangkan untuk penghitungan biomassa kayu mati menggunakan Metode Intersep Transek dapat menggunakan persamaan di bawah ini (modifikasi dari Kauffman dan Donato, 2012):
: Biomassa Kayu Mati
d1, d2, d3...dn
: Diameter kayu mati 1 ...n
: panjang transek : 22/7 atau 3.14
RKBJ
: Rataan Kuadrat Berat Jenis (Gambar 9)
3.5. Penghitungan Volume Kayu
Penggunaan tabel volume untuk pendugaan volume kayu merupakan hal yang umum dilakukan. Tabel volume disusun dari persamaan volume yang dikembangkan dari hubungan antara volume komersial dengan DBH. Untuk keperluan penghitungan hasil IHMB, perusahaan IUPHHK juga diwajibkan untuk menyusun persamaan volume yang dikembangkan secara lokal (Dephut, 2007).
Beberapa persamaan lokal yang dikembangkan oleh IUPHHK di kabupaten Kapuas Hulu digunakan untuk penghitungan volume kayu KPH Kapuas Hulu. PT BDK dan PT KRBB telah mengembangkan persamaam volume lokal sesuai arahan dari panduan IHMB.
IUPHHK
Kelompok Jenis Persamaan
R 2 N DBH
PT BDK
0,000067207 D 2,6679 0,9971 99 11-112 PT BDK
Meranti
Rimba
0,000073874 D 2,6347 0,9973 99 11-112
Campuran
PT KRBB
0,000067912 D 2,6552 0,9984 99 PT KRBB
Namun, di dalam panduan IHMB, jika persamaan lokal belum dibuat, maka bisa menggunakan persamaan yang tersedia yaitu:
Provinsi
Kelompok Jenis
Persamaan
Nanggroe Aceh Darussalam
V = 0,0007734 D 2,107 Sumatera Barat
Kapur
V = 0,0001550 D 2,466 Kalimantan Timur
Meranti
V = 0,0001234 D 2,4913 Kalimantan Barat
Dipterokarpa
Meranti
V = 0,0001650 D 2,486
4. Perencanaan dan Persiapan Kegiatan Lapangan
4.1. Pelatihan Inventarisasi Karbon Hutan
Pelatihan merupakan salah satu komponen penting di dalam penerapan inventarisasi karbon hutan. Pelaksanaan pelatihan dilakukan secara berjenjang dan berulang untuk menjamin keseragaman pengukuran dan kualitas pengumpulan data. Selain mengenai tehnik dan rancangan desain inventarisasi, praktek pembuatan plot, praktek pengukuran parameter hingga penggunaan alat merupakan materi penting dari agenda pelatihan. Pelatihan tehnik pengukuran lapangan akan dilakukan untuk menjamin keseragaman pengukuran dan kualitas data.
Tabel 5. Jenis dan materi pelatihan yang dilakukan untuk berbagai stakeholder
Kelompok Target
Stakeholder luas
Ketua regu
Anggota regu
Sosialisasi kegiatan
Pelatihan Inventarisasi
Pelatihan Inventarisasi
Jenis Pelatihan
pelatihan umum
Karbon Hutan
Karbon Hutan
inventarisasi karbon hutan
• Isu perubahan iklim
• Isu perubahan iklim,
• Praktek pembuatan
• REDD+ dan MRV
REDD+ dan MRV
plot dan
• Carbon accounting
• Carbon accounting
penggunaan alat
• Konsep dan disain
• Konsep dan disain
• Praktek pengukuran
inventarisasi
inventarisasi
lapangan serta
• Pemanfaatan dan
• Praktek pembuatan
kaidah yang
pelaporan data
plot dan penggunaan
digunakan di
inventarisasi terkait
• Praktek pengukuran
• Praktek penentuan
Materi
lapangan serta kaidah
atau pendugaan
yang digunakan di
tingkat pelapukan
lapangan
atau keutuhan kayu
• Praktek penentuan
mati
atau pendugaan tingkat pelapukan atau keutuhan kayu mati
• Praktek pemasukan dan pengolahan data
4.2. Persiapan Pelaksanaan
Persiapan Administrasi
Sebelum melakukan implementasi di lapangan, pastikan keperluan administrasi disiapkan terlebih dahulu. Surat tugas dari instansi atau lembaga berwenang (dalam hal ini Dinas Perkebunan dan Kehutanan) diperlukan sebagai pengantar resmi kepada pihak kecamatan dan desa. Surat tugas yang berisi disiapkan sebelum kegiatan sosialisasi dan implementasi dilaksanakan. Surat pemberitahuan kepada pihak kecamatan dan desa juga diperlukan sebagai salah satu perangkat sosialisasi Sebelum melakukan implementasi di lapangan, pastikan keperluan administrasi disiapkan terlebih dahulu. Surat tugas dari instansi atau lembaga berwenang (dalam hal ini Dinas Perkebunan dan Kehutanan) diperlukan sebagai pengantar resmi kepada pihak kecamatan dan desa. Surat tugas yang berisi disiapkan sebelum kegiatan sosialisasi dan implementasi dilaksanakan. Surat pemberitahuan kepada pihak kecamatan dan desa juga diperlukan sebagai salah satu perangkat sosialisasi
Persiapan Regu Kerja
Ketua regu direkrut dari lulusan atau mahasiswa kehutanan di Universitas Tanjung Pura, sehingga lebih mudah di dalam pemahaman teori dan praktek pelaksanaan inventarisasi karbon hutan. Setelah para kepala regu mendapatkan pelatihan dan mengikuti sosialisasi di desa, mereka akan didampingi oleh koordinator untuk merekrut dan melatih tenaga kerja lokal yang berasal dari desa setempat. Pelatihan mengenai penggunaan alat dan cara pengumpulan data dijelaskan secara praktek langsung kepada tenaga kerja lokal.
Masing-masing regu terdiri dari 1 kepala regu, 5 tenaga kerja lokal dan 1 pendamping dari dinas/DPMU - 1 kepala regu mencatat biomasa - 1 pendamping mencatat nekromasa - 2 perintis, pembuat plot, pengukur nekromasa - 2 pengukur biomasa dan pohon mati - 1 tukang masak
Persiapan Alat dan Bahan
Peralatan yang dibutuhkan dalam kegiatan di lapangan, meliputi: Untuk mencari dan membuat plot:
- GPS untuk navigasi - Parang untuk merintis - Meteran - Kompas - Tali rafia
Untuk Pengukuran dan Pengambilan Data: - Phi-band - Timbangan dijital 10 kg - Tally sheet
Untuk Pelabelan Pohon - plastik label - Staples tembak - Spidol permanen
Untuk Sampel Serasah dan Tumbuhan Bawah - Guntik stek - Karung - Timbangan digital 1-3 kg - Kantong Plastik untuk sampel
Untuk Tanah Gambut - Bor gambut, tipe eijkelkamp - Plastik gula 5 kg untuk sampel gambut
5. Pelaksanaan Inventarisasi
5.1. Sosialisasi Kegiatan
Sebelum kegiatan lapangan dilaksanakan, perlu dilakukan berbagai persiapan termasuk sosialisasi dan pelatihan. Di tahap awal, sosialisasi kepada instansi terkait dan pelatihan bagi ketua regu perlu dilakukan untuk memudahkan kelancaran proses dan menjamin pemahaman pelaksanaan kegiatan dan keakurasian pengumpulan data.
Di beberapa tempat di Indonesia, dimana hukum dan tradisi adat masih kuat, diperlukan izin untuk memasuki wilayah adat mereka. Karena itu sangat penting untuk mengetahui kondisi dan tradisi masyarakat lokal sebelum kegiatan lapangan dimulai, untuk menghindari permasalahan yang mungkin terjadi. Di sebagian desa yang masuk dalam KPH di Kapuas Hulu, hukum dan tradisi adat masyarakat dayak masih cukup kuat. Karena itu kegiatan sosialisasi juga dilakukan di dusun-dusun sekaligus untuk mendapatkan izin memasuki kawasan adat mereka.
Kegiatan sosialisasi dilaksanakan bersama-sama dengan pihak terkait yaitu:
1. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kapuas Hulu
2. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
3. DistrictProject Management Unit (DPMU)
4. Ketua Regu Inventarisasi Hutan
Sosialisasi dilakukan melalui berbagai pendekatan, baik melalui pihak kecamatan, perangkat desa, atau perangkat adat. Di beberapa lokasi, sosialisasi dilakukan di tiap dusun dimana lokasi plot berada, sesuai arahan dari perangkat desa atau ketua adat. Seringkali kegiatan sosialisasi memerlukan waktu yang cukup panjang karena harus menyesuaikan dengan berbagai pertimbangan lembaga adat.
Persiapan
Pelatihan ketua
Rencana
Distribusi Surat
(di Putussibau dan
regu
Mobilisasi dan
Pengantar ke
Sosialisasi dan
Perekrutan
perizinan ke
anggota regu
Pelatihan
(di desa/dusun)
dusun terkait
dari masyarakat
anggota regu
Evaluasi kegiatan
(di hutan)
penyegaran
karbon dan
lapangan
hutan
Gambar 10. Alur kegiatan persiapan dan pelaksanaan inventarisasi karbon hutan di Kapuas Hulu
Bahkan beberapa plot tidak dapat diambil karena tidak adanya kesepakatan dari pihak desa atau karena adanya acara adat yang melarang siapapun untuk masuk ke hutan pada waktu- Bahkan beberapa plot tidak dapat diambil karena tidak adanya kesepakatan dari pihak desa atau karena adanya acara adat yang melarang siapapun untuk masuk ke hutan pada waktu-
5.2. Pelaksanaan Inventarisasi
Kegiatan inventarisasi karbon hutan dilakukan secara bertahap. Sebanyak 3 regu disiapkan untuk kegiatan inventarisasi hutan dan karbon pada Tahap 1 ( 2 April – 8 Mei 2012) dan 5 regu untuk Tahap 2 (4 Oktober – 16 November 2012).
Tabel 6. Jumlah dan sebaran plot di tipe tutupan lahan dan kecamatan
Batang Embaloh Embaloh Putussibau Strata
Utara Total
Bare areas
Heath forest
Hill and submontane forest
Lower montane forest
Lowland Forest
Peat swamp forest
Riparian forest
Secondary Heath forest
Secondary Hill and submontane forest
Secondary Lowland Forest
Secondary Peat swamp forest
Secondary Riparian forest
Wetland
1 1 Grand Total
* Jumlah plot yang sudah diukur
Pada Tahap 1, pengukuran difokuskan di Kecamatan Embaloh Hulu. Team berhasil mengukur sebanyak 20 plot. Sedangkan Tahap 2, dengan 5 regu berhasil melakukan pengukuran di 38 plot yang tersebar di Kecamatan Badau, Batang Lupar dan Embaloh Hulu.
5.3. Waktu yang Dibutuhkan
Rata-rata waktu yang dibutuhkan tiap regu untuk menyelesaikan satu plot bervariasi antara 1,6 hari hingga 2,8 hari per plotnya. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh jarak tempuh dan kondisi topografi menuju plot yang tersebar secara acak. Namun rata-rata hari yang dibutuhkan Rata-rata waktu yang dibutuhkan tiap regu untuk menyelesaikan satu plot bervariasi antara 1,6 hari hingga 2,8 hari per plotnya. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh jarak tempuh dan kondisi topografi menuju plot yang tersebar secara acak. Namun rata-rata hari yang dibutuhkan
Tahap 1
Tahap 2
Gambar 11. Grafik rata-rata hari pengerjaan sebuah plot pada Tahap 1 dan Tahap 2
Waktu tersebut belum termasuk kegiatan persiapan dan entry data pasca kegiatan. Pada Tahap
1 dibutuhkan waktu selama 3 minggu untuk persiapan administrasi, pengadaan logistik, pelatihan ketua regu dan sosialisasi di tingkat kecamatan dan desa. Sedangkan pada Tahap 2, relatif lebih cepat dan hanya membutuhkan waktu selama 12 hari untuk persiapan administrasi, pengadaan logistik, perizinan dan pelatihan.
5.4. Dana yang Diperlukan
Sebagian besar dana dibutuhkan untuk honor dan upah tenaga kerja. Pada Tahap 1, honor tenaga kerja menyerap lebih dari 50% total anggaran yang digunakan. Biaya transportasi mencapai 28% dari total anggaran yang digunakan. Hal ini termasuk tiket pesawat konsultan yang berasal dari luar Putussibau dan transport lokal menuju plot. Sedangkan biaya untuk makan dan bahan makanan mencapai hampir 13% dari total pengeluaran. Pada tahap 1 inventarisasi karbon hutan, rata-rata biaya per plot yang dibutuhkan sebesar Rp 2,5 juta. Kemungkinan besar biaya akan lebih murah jika ketua regu berasal dari lembaga sendiri atau konsultan lokal, sehingga tidak memerlukan alokasi anggaran khusus yang besar untuk honor atau paling tidak biaya mobilisasi akan jauh lebih murah.
Bahan dan Alat
Honor tenaga
Persentase Biaya Inventarisasi Tahap 1
6. Hasil dan Pembahasan
Pemasukan dan penghitungan data hasil inventarisasi dilakukan menggunakan software Forest Carbon Accounting (DFMIS-FCA) yang dikembangkan oleh GIZ-Forclime untuk mendukung sistem pengelolaan hutan di tingkat kabupaten dan KPH. Software DFMIS-FCA digunakan untuk mengolah data hasil inventarisasi hutan dan karbon yang diterapkan di kawasan KPH Kapuas Hulu. Output yang dihasilkan berupa tabel dan grafik mengenai komposisi tegakan (basal area, sebaran jenis dan indeks nilai penting), potensi kayu (berdasarkan diameter, kelompok jenis dan kualitas kayu) serta cadangan karbon.
6.1. Komposisi Tegakan
Tingkat dominansi suatu jenis terhadap jenis lain merupakan salah satu cara untuk menganalisa komposisi tegakan di suatu areal hutan. Tingkat dominansi jenis dapat diketahui dengan menggunakan Indeks Nilai Penting (INP) INP mempertimbangkan kerapatan jenis (jumlah individu per jenis), frekuensi atau jumlah plot dijumpainya sebuah jenis serta basal area suatu jenis (Soerianegara dan Indrawan, 2002).
Tabel 7. Indeks Nilai Pentingdari semua tingkat pertumbuhan
No Nama Lokal
Nama Latin
Kerapatan
Frekuensi
Dominansi INP
Shorea sp.
Eugenia Sp.
Vatica Sp.
Glupta renghas L.
Hopea dasyphylla V.Sl.
Dryobalanops abnormis V.Sl.
Calophyllum sp.
Litsea sp.
Knema sp.
Pada Tabel 6, diketahui bahwa berdasarkan hasil inventarisasi karbon hutan di KPH Kapuas Hulu, jenis-jenis dari suku Dipterokarpa merupakan jenis dominan, antara lain Meranti, Resak, Tekam dan Kelansau. Jenis Meranti yang merupakan jenis pohon besar, memiliki tingkat dominansi yang sangat tinggi karena nilai basal area yang sangat besar. Walaupun sebenarnya, jenis pohon yang dicatat oleh regu survey lebih merupakan kelompok jenis bukan nama jenis. Hal ini disebabkan karena tujuan utama dari kegiatan inventarisasi adalah untuk mengetahui potensi kayu dan cadangan karbon.
Jenis non dipertokarpa yang cukup dominan adalah Ubah (Eugenia sp). Sebaran jenis ini relatif tinggi dan hampir menyamai dengan jumlah frekuensi plot ditemukannya jenis Meranti. Kemungkinan besar Ubah tidak memiliki banyak nama jenis pohon, tidak seperti Meranti, Rengas dan Medang. Sehingga kemungkinan besar Ubah merupakan jenis paling dominan dari semua tingkat pertumbuhan pohon dari hasil survey di kawasan KPH Embaloh Hulu, Batang Lupar dan Badau.
Gambar 12. Grafik Indeks Nilai Penting dari semua tingkat pertumbuhan
Komposisi jenis dominan di tiap tingkat pertumbuhan (pancang, tiang, pohon kecil dan pohon besar) tidak terlalu berbeda jauh. Hal ini dapat dilihat dari gambar 11 yang menjelaskan urutan tingkan dominan jenis dari berbagai tingkat pertumbuhan. Meranti merupakan jenis dominan pada tingkat Pancang dan Pohon Besar, sedangkan Ubah dominan pada tingkat Tiang dan Pohon Kecil. Hal ini menunjukkan bahwa Ubah tersebar merata namun memiliki sebaran diameter yang tidak terlalu besar. Jenis Bintangor juga cukup dominan di tingkat Pancang, Tiang dan Pohon Kecil, namun tidak masuk 10 besar dominan di tingkat Pohon Besar.
Meranti memiliki INP pada tingkat Pohon Besar yang sangat tinggi, bahkan nilai Dominansi Relatifnya jauh lebih tinggi dibandingkan jenis Tekam dan Ubah yang berada di urutan setelahnya. Hal ini menjelaskan bahwa sebaran jenis pohon dipterokarpa masih mendominasi di berbagai tingkat pertumbuhan di kawasan KPH. Sebagian besar (lebih dari 90%) pohon berdiameter lebih dari 100 cm juga merupakan jenis Dipterokarpa. Diameter terbesar yang terukur di dalam plot adalah pohon Tekam dengan diameter 188.3 cm yang berada di plot hutan dataran rendah dan pohon Meranti di hutan rawa gambut dengan diameter yang sama.
Tabel 8. Jumlah rata-rata individu per plot dari beberapa jenis pohon dominan
Total
Rata-rata individu per plot per strata
Spesies individu Dominan
Pada tabel 7, terlihat bahwa penyebaran pohon meranti juga sangat luas dan ditemukan hampir di semua tipe tutupan hutan, mulai dari hutan pegunungan hingga dataran rendah dan lahan basah. Tingkat kerapatan per plot pohon meranti di semua tipe hutan juga cukup tinggi. Pohon rengas juga ditemukan di semua tipe hutan di kawasan KPH Kapuas Hulu, bahkan kerapatannya sangat tinggi di hutan kerangas dan hutan gambut. Secara ekologi, jenis rengas memang merupakan jenis dominan di tipe hutan rawa gambut. Namun tidak biasa ditemukan jenis rengas di tipe hutan kerangas. Kesalahan identifikasi jenis pohon bisa saja terjadi, namun kesalahan pemetaan tutupan lahan juga bisa jadi penyebabnya. Pohon lainnya yang juga ditemukan di semua tipe hutan adalah pohon ubah (Eugenia sp).Namun pohon ubah paling banyak dijumpai di tipe hutan sub pegunungan.
6.2. Cadangan Karbon
Pengukuran cadangan karbon hutan dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengukuran potensi kayu. Untuk biomassa pohon, parameter yang diukur hanya DBH, yang juga diukur untuk keperluan analisa potensi kayu. Untuk sumber karbon lainnya, yaitu tumbuhan bawah, serasah, pohon mati dan kayu mati diukur secara terpisah dalam plot ukur yang sama.
Tabel 8 menampilkan dugaan nilai rata-rata (C ton/ha), simpangan (s), galat baku (t.se) dan koefisien variasi (CV%) dari cadangan karbon per strata menggunakan persamaan allometrik biomassa yang dikembangkan Brown (1997). Secara keseluruhan, galat baku nilai dugaan cadangan karbon di KPH Kapuas Hulu adalah 17,4%. Nilai rata-rata cadangan karbon KPH Kapuas Hulu adalah 170,2 + 29,7 ton per hektar.
Tabel 9. Nilai statistik dugaan cadangan karbon per strata di KPH Kapuas Hulu
(Ton/Ha) Plot
Heath Forest
58.9 41.65 Hill - Sub Forest
5 91.6 82.0 52.0 58.14 Lowland Forest
47.5 22.3 54.6 Non Forest
74.6 12 91.6 52.9 70.9 122.86 Peat Forest
9 99.3 66.2 32.0 47.97 Sec Heath Forest
2 40.9 57.8 41.3 29.23 Sec Low Forest
92.39 Sec Peat Swamp Forest
Hutan dataran rendah memiliki cadangan karbon per hektar yang paling tinggi yaitu 213,2+47,5ton/ha. Galat baku dari pendugaan niai cadangan karbon pada strata ini juga merupakan yang paling rendah yaitu hampir mencapai 20 %. Hal ini disebabkan karena adanya variasi yang relatif kecil (sekitar 55%)pada sub populasi hutan dataran rendah dan jumlah plot yang diukur juga cukup banyak.