1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tahun 2014 merupakan tahunnya pesta demokrasi Indonesia, karena tahun ini akan diadakan event lima tahunan pemilu. Tahun dimana partai-
partai berlomba-lomba tebar pesona mencari dukungan rakyat demi mewujudkan keinginannya
untuk “menguasai” Indonesia dan tahun dimana rakyat bebas memilih dan dipilih untuk dijadikan pemimpin negaranya
menurut Minarti dikutip dari http:politik.kompasiana.com20140602 merayakan-pesta-demokrasi-indonesia-menaruh-harapan-662257.html.
Dalam pemilihan umum pemilu legislatif ataupun pemilu presiden, pemenang ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak, dan setiap
calon memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan kursi jabatan tersebut Mardiyansyah, 2014 : v.
Dengan demikian, setiap partai politik parpol yang pada tahun ini berjumlah 15 partai 12 partai umum dan 3 partai lokal NAD serta calon
anggota legislatif caleg dan eksekutif akan berlomba-lomba menyakinkan masyarakat pemilih dan mengkampanyekan agar dirinya terpilih. Persaingan
pun tidak hanya antar partai politik, tetapi juga antar caleg dalam satu partai politik.
Untuk memenangi pertarungan, setiap parpol dan caleg mencari dukungan rakyat Indonesia dengan menghalalkan segala cara. Mulai dari
kampanye menggunakan hard power sampai dengan soft power. Hard power adalah kampanye dengan menggunakan kekuasaan, uang, benda
2
berharga, dan hal-hal yang bersifat material lainnya untuk mendapatkan dukungan publik. Sementara itu, soft power adalah kampanye yang
mengandalkan pendekatan persuasif, kandidat turun langsung ke daerah pemilihan, menggali permasalahan, menemukan akar masalah, bersama-
sama mencari solusi, menyampaikan visi misi, serta menyakinkan pemilih bahwa program itu adalah solusinya Mardiyansyah, 2014 : v.
Tetapi politik jaman sekarang lebih cenderung menggunakan kampanye hard power, karena lebih praktis dan instan tanpa perlu melalui
karya, pemikiran, tindakan dan prestasi politik. Politik kini menjelma menjadi politik pencitraan, yang merayakan citra ketimbang kompetensi
politik Tinarbuko, 2009 : vii. Dalam politik abad informasi, citra politik seorang tokoh , yang
dibangun melalui aneka media cetak dan elektronik terlepas dari kecakapan, kepemimpinan dan prestasi politik yang dimilikinya seakan
menjadi mantra yang menentukan pilihan politik. Melalui, mantra itu, maka persepsi, pandangan dan sikap politik masyarakat dibentuk bahkan
dimanipulasi. Berdasarkan penggabungan data yang di lansir dari liputan6.com dari
berbagai partai, hasil laporan dana kampanye yang dilaporkan ke KPU, sebagian dana kampanye digunakan untuk alat peraga kampanye. Alat
peraga yang sering digunakan parpol untuk menarik simpati publik adalah pemasangan atribut bergambar parpol dan foto dari caleg ataupun capres dan
cawapres. Mulai dari bendera, spanduk, stiker, baliho, banner, kaos dan lain sebagainya.
3
Sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum PKPU Nomor 15 Tahun 2013 Pasal 17 ayat 1b tentang pemasangan alat peraga kampanye,
peserta pemilu dapat memasang alat peraga kampanye luar ruang hanya diperbolehkan
memasang satu
spandukbaliho per
desakelurahan Mardiyansyah, 2014 : 8-9.
Tetapi demi menarik simpati publik melalui tim suksesnya, mereka tidak menghiraukan peraturan tersebut. Demi dapat dikenal masyarakat
pemilih, mereka memasang atribut-atribut tersebut di berbagai tempat yang dianggap strategis. Hebatnya lagi, antar parpol dan antar caleg juga terlibat
perang visual dengan memasang atribut secara besar-besaran. Artinya, besar dalam hal ukuran, penempatan dan pemasangannya Tinarbuko, 2009 : 39.
Pola pemasangan, cara menempatkan dan menempelkan atribut kampanye benar-benar bertolak belakang dari esensi desain media luar
ruang yang dirancang sedemikian rupa agar tampil menarik, artistic, informatif, dan komunikatif. Tetapi di tangan orang-orang yang bertugas
memasang dan menempatkan reklame luar ruang, karya desain yang bagus itu berubah fungsi menjadi seonggok sampah visual yang mengotori
keindahan lingkungan sekitar Tinarbuko, 2009 : 40. Tetapi seolah partai-partai politik dan para caleg tidak menghiraukan
hal tersebut. Yang mereka tahu hanya bagaimana cara agar mereka menang. Mereka hanya ingin mengkonstruksi citra diri dengan aneka trik bujuk rayu,
persuasi dan retorika komunikasi politik yang tujuannya meyakinkan setiap orang, bahwa citra yang ditampilkan adalah kebenaran. Padahal citra-citra
4
itu tak lebih dari wajah penuh make up, gincu, kosmetik, dan topeng-topeng politik, yang menutupi wajah sebenarnya Tinarbuko, 2009 : ix.
Dengan melakukan analisis semiotika pada iklan banner calon legislatif DPR RI Dapil Jatim V Malang Raya peneliti ingin mengetahui
makna apa yang sesungguhnya ingin dibangun calon anggota legislatif pada iklan politiknya. Terkait dengan pemaknaan, studi yang biasa digunakan
adalah studi semiotika yang menghubungkan antara tanda, objek dan makna. Maka, penelitian ini akan menggunakan kajian semiotika untuk
menganalisis “makna narsisime dibalik iklan banner calon legislatif pada
pemilu tahun 2014 ”.
B. Rumusan Masalah