Hubungan Antara Virtue Dengan Kepuasan Hidup Pada Etnis Tionghoa Di Kota Medan

(1)

HUBUNGAN ANTARA

VIRTUE

DENGAN KEPUASAN

HIDUP PADA ETNIS TIONGHOA DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

MUTIA KARMILA NASUTION

081301032

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2011/2012


(2)

ABSTRAK

Meskipun etnis Tionghoa di Kota Medan menempati urutan ketiga terbanyak, tetap ada prasangka dan stigma terutama berkaitan dengan status pribumi dan nonpribumi yang berdampak pada kepuasan hidup mereka. Akan tetapi beberapa orang Tionghoa melaporkan bahwa kepuasan hidupnya tetap terjaga. Hal ini berkaitan dengan nilai budaya etnis Tionghoa yang mempengaruhi terbentuknya karakter. Berdasarkan teori Seligman (2004) mengemukakan ada 24 kekuatan karakter manusia yang dikelompokkan ke dalam 6 virtue, yaitu wisdom, courage, humanity, justice, temperance, dan transcendence.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan Virtue dan Kepuasan Hidup pada etnis Tionghoa di Kota Medan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif melalui kuesioner sebagai alat pengumpul data. Data didapat dari 110 orang etnis Tionghoa yang menetap di Kota Medan berusia 18 - 65 tahun, yang di ambil dengan teknik incidental sampling. Data tidak bersifat normal dan linear, sehingga analisa data menggunakan korelasi Kendall tau.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif antara virtue Wisdom (terutama karakter Keingintahuan dan Perspektif), Courage (terutama karakter Vitalitas), Humanity (terutama karakter Cinta dan Kecerdasan Bermasyarakat), dan Transcendence (terutama karakter Harapan dan Humor) dengan Kepuasan Hidup etnis Tionghoa yang diteliti. Hubungan ini kemudian dijelaskan lebih lanjut berdasarkan pengaruh sosiokultural terutama nilai budaya etnis Tionghoa pada pembentukan karakter dan kaitannya dengan penilaian akan seberapa baik dan memuaskan kehidupannya. Dua virtue lainnya, yaitu Justice dan Temperance tidak berhubungan dengan Kepuasan Hidup. Penelitian juga menemukan bahwa nilai-nilai budaya yang dianut etnis Tionghoa patut dipertahankan dan ditingkatkan serta baik untuk diturunkan kepada generasi etnis Tionghoa selanjutnya.


(3)

ii

The Relationship Between Virtue And Life Satisfaction In Chinese In Medan

Mutia Karmila Nasution dan Arliza Juairiani Lubis

Abstract

Chinese stands as the third biggest ethnic in Medan. However, this ethnic still faces prejudice and stigma regarding whether it is native or not. This prejudice and stigma theoretically will have impact on life satisfaction. On the contrary some members of Chinese state that they have good life satisfaction, related to their values of culture that affect the development of their characters. Seligman (2004) proposed 24 character strengths of human which divided into six virtues: Wisdom, Courage, Humanity, Justice, Temperance, and Transcendence.

This study aims to measure the correlation between Virtues and Life Satisfaction among Chinese in Medan through quantitative approach. Questionnaire has been used to collect data using incidental sampling technique from 110 members of Chinese who live in Medan, aged 18 - 65 years old. Data is not normal nor linear, therefore the analysis is done by using Kendall tau correlation.

Result shows positive correlation between virtue Wisdom (especially Curiosity and Perspective characters), Courage (especially Vitality character), Humanity (especially Love and Social Intelligence characters), and Transcendence (especially Hope and Humor characters) with Life Satisfaction in Chinese that participated. This correlation is explained based on the impact of socioculture, especially the values of Chinese culture, to character development and its relation with evaluation of how good and satisfactory of their life. The other virtues, Justice and Temperance, have no correlation with life satisfaction. The result of this research indicated that the inheritance culture values of Chinese gave positive impact therefore it should be maintained and pass through the next generation.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia, kekuatan, dan kesehatan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ―Hubungan Antara Virtue Dengan Kepuasan Hidup Pada Etnis Tionghoa di Kota Medan‖. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk melengkapi persyaratan mencapai Gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibunda tercinta Hj. Tengku Arfiana, dan Ayahanda (Alm.) Chairuddin Nst, SE. Terima kasih atas segala curahan kasih sayang, dukungan serta do`a kepada penulis hingga saat ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan, limpahan nikmat, dan kasih sayang.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak akan sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Arliza Juariani Lubis, M.Si, psikolog, selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis. Terima kasih atas segala bimbingan, arahan, kritik dan saran, kesabaran, dan kesedian waktu yang diberikan sejak seminar hingga penyelesaian skripsi ini.


(5)

iv

3. Rika Eliana, M.Psi., psikolog, selaku dosen penguji pada sidang skripsi. Terimakasih atas saran dan masukan ibu sehingga penelitian saya menjadi lebih baik.

4. Rahma Fauzia, M.Psi., psikolog selaku dosen penguji pada sidang skripsi. Terimakasih atas saran dan masukan kakak sehingga penelitian saya menjadi lebih baik.

5. Fasti Rola, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi USU. Ibu Etty, Pak Eka, Pak Zul terima kasihatas bimbingan, saran, dan arahan yang diberikan kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini serta dosen-dosen yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam ilmu dan motivasinya selama mengikuti perkuliahan.

7. Fatma, teman seperjuangan saya dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas bantuan, motivasi dan waktu kebersamaan kita dan juga buat kebersamaan dengan Cia dan Ruth.

8. M. Raja Metar Nst, M. Yamin Nst, M. Tsary Hanif Nst, dan M. Lutfiansyah atas bantuan dan dukungannya selama ini.

9. Sahabat Evo, Icha, Feby, Yuyu, Tania, Kemal, Moyang, Dini, Nana, Della, Karina, Haki, Silvia, Cindy, Siti, Ervi, Susi, Pipit, Sani. Terima kasih atas semua canda tawa dan dukungan yang selalu diberikan. Semoga cita dan angan kita dapat tercapai.


(6)

10. Teman – teman stambuk 2008 Fakultas Psikologi USU, yang selalu memberikan dukungan semangat, dan keceriaan selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

11. Seluruh masyarakat Tionghoa di Kota Medan yang telah bersedia mengisi kuesioner penelitian ini. Terima kasih atas kesedian dan keluangan waktu yang diberikan.

12. Semua pihak dan teman-teman yang mendukung proses penyelesaian penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini, Meskipun penyusunan skripsi ini telah diupayakan seoptimal mungkin, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi rekan-rekan semua.

Medan, Juli 2012


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ABSTRACT

KATA PENGANTAR... ... i

DAFTAR ISI... ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR... .. ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 9

C.Tujuan Penelitian ... 10

D.Manfaat Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisaan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Hidup ... 12

1. Defenisi Kepuasan Hidup ... 12

2. Komponen Kepuasan Hidup ... 13

3. Strukutur Kepuasan Hidup ... 13

4. Karakteristik Individu dengan Kepuasan Hidup yang Tinggi ... 14

5. Subjective Satisfaction ... 15


(8)

1. Defenisi Virtue ... 19

2. Klasifikasi Virtue ... 20

3. Pembentukan dan Perkembangan Karakter ... 29

C. Etnis Tionghoa ... 32

D. Hubungan Virtue dengan Kepuasan Hidup Pada Etnis Tionghoa di Kota Medan ... 39

E. Hipotesis Penelitian ... 49

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 51

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 51

1. Virtue ... 51

2. Kepuasan Hidup ... 54

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 54

1. Populasi dan Sampel ... 54

2. Metode Pengambilan Sampel ... 55

D. Metode Pengumpulan Data ... 55

1. Virtue ... 55

2. Kepuasan Hidup ... 56

E. Uji Coba Alat Ukur ... 58

1. Validitas Alat Ukur ... 58

2. Uji Daya Beda Aitem ... 60

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 60


(9)

vi

1. Tahap Persiapan ... 63

2. Tahap Pengumpulan Data ... 65

3. Tahap Analisis Data ... 65

G. Uji Normalitas dan Linearitas ... 65

H. Metode Analisis Data ... 66

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 68

B. Hasil Penelitian ... 71

1. Uji Normalitas dan Uji Linearitas ... 71

2. Hasil Utama Penelitian ... 73

3. Hasil Analisa Tambahan ... 74

C. Pembahasan ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 92

1. Saran Metodologis ... 92

2. Saran Praktis ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94


(10)

Tabel 2. Bobot Penilaian Alat Ukur Virtue ... 45

Tabel 3. Bobot Penilaian Alat Ukur Kepuasan Hidup ... 49

Tabel 4. Hasil Uji Coba Alat Ukur Pada Setiap Virtue ... 50

Tabel 5. Blue Print Alat Ukur Virtue Sebelum dan Sesudah Uji Coba ... 51

Tabel 6. Reliablitas dan Daya Disriminasi Virtue ... 56

Tabel 7. Pengkategorisasian Kepuasan Hidup ... 57

Tabel 8. Gambar Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 58

Tabel 9. Gambar Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 58

Tabel 10. Gambar Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 59

Tabel 11. Gambar Subjek Penelitian Berdasarkan Pekerjaan ... 59

Tabel 12. Gambar Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pernikahan ... 60

Tabel 13. Gambar Subjek Penelitian Berdasarkan Agama ... 61

Tabel 14. Hasil Uji Normalitas Virtue dan Kepuasan Hidup ... 61

Tabel 15. Uji Linearitas Pada Virtue dengan Kepuasan Hidup ... 63

Tabel 16. Hubungan Virtue dengan Kepuasan Hidup ... 63

Tabel 17. Hubungan Tiap Karakter dengan Kepuasan Hidup ... 64

Tabel 18. Deskripsi Mean Empirik dan Hipotetik Kepuasan Hidup ... 64

Tabel 19. Gambaran Mean Virtue Kategorisasi Skor Virtue Wisdom ... 65

Tabel 20.Kategorisasi Skor Kepuasan Hidup ... 66

Tabel 21.Deskripsi Mean Empirik dan Hipotetik Virtue ... 66

Tabel 22.Gambaran Mean Virtue ... 67


(11)

viii

Tabel 24.Kategorisasi Skor Virtue Courage ... 68

Tabel 25. Kategorisasi Skor Virtue Humanity ... 69

Tabel 26. Kategorisasi Skor VirtueJustice ... 89

Tabel 27. Kategorisasi Skor VirtueTemperance ... 89


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Histogram Pada Virtue Wisdom... 142

Gambar 2. Histogram Pada Virtue Courage ... 142

Gambar 3. Histogram Pada Virtue Humanity ... 143

Gambar 4. Histogram Pada Virtue Justice ... 143

Gambar 5. Histogram Pada Virtue Temperance ... 143

Gambar 6. Histogram Pada Virtue Transendence ... 143


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A

1. Hasil Uji Reliabilitas dan Daya Diskriminasi Aitem Virtue ... 96 2. Hasil Uji Reliabilitas dan Daya Diskriminasi

Aitem Kepuasan Hidup ... 114

LAMPIRAN B

1. Data Subjek Penelitian... 115 2. Sebaran Data Pada Alat Ukur Virtue dan Kepuasan Hidup ... 122 3. Kategori Subjek Pada Virtue dan Kepuasan Hidup ... 132

LAMPIRAN C

1. Hasil Uji Normalitas ... 135 2. Hasil Uji Linearitas ... 137 3. Hasil Uji Hipotesis... 139

LAMPIRAN D

1. Aitem Kuesioner Virtue ... 149 2. Aitem Kuesioner Kepuasan Hidup ... 156


(14)

ABSTRAK

Meskipun etnis Tionghoa di Kota Medan menempati urutan ketiga terbanyak, tetap ada prasangka dan stigma terutama berkaitan dengan status pribumi dan nonpribumi yang berdampak pada kepuasan hidup mereka. Akan tetapi beberapa orang Tionghoa melaporkan bahwa kepuasan hidupnya tetap terjaga. Hal ini berkaitan dengan nilai budaya etnis Tionghoa yang mempengaruhi terbentuknya karakter. Berdasarkan teori Seligman (2004) mengemukakan ada 24 kekuatan karakter manusia yang dikelompokkan ke dalam 6 virtue, yaitu wisdom, courage, humanity, justice, temperance, dan transcendence.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan Virtue dan Kepuasan Hidup pada etnis Tionghoa di Kota Medan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif melalui kuesioner sebagai alat pengumpul data. Data didapat dari 110 orang etnis Tionghoa yang menetap di Kota Medan berusia 18 - 65 tahun, yang di ambil dengan teknik incidental sampling. Data tidak bersifat normal dan linear, sehingga analisa data menggunakan korelasi Kendall tau.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif antara virtue Wisdom (terutama karakter Keingintahuan dan Perspektif), Courage (terutama karakter Vitalitas), Humanity (terutama karakter Cinta dan Kecerdasan Bermasyarakat), dan Transcendence (terutama karakter Harapan dan Humor) dengan Kepuasan Hidup etnis Tionghoa yang diteliti. Hubungan ini kemudian dijelaskan lebih lanjut berdasarkan pengaruh sosiokultural terutama nilai budaya etnis Tionghoa pada pembentukan karakter dan kaitannya dengan penilaian akan seberapa baik dan memuaskan kehidupannya. Dua virtue lainnya, yaitu Justice dan Temperance tidak berhubungan dengan Kepuasan Hidup. Penelitian juga menemukan bahwa nilai-nilai budaya yang dianut etnis Tionghoa patut dipertahankan dan ditingkatkan serta baik untuk diturunkan kepada generasi etnis Tionghoa selanjutnya.


(15)

ii

The Relationship Between Virtue And Life Satisfaction In Chinese In Medan

Mutia Karmila Nasution dan Arliza Juairiani Lubis

Abstract

Chinese stands as the third biggest ethnic in Medan. However, this ethnic still faces prejudice and stigma regarding whether it is native or not. This prejudice and stigma theoretically will have impact on life satisfaction. On the contrary some members of Chinese state that they have good life satisfaction, related to their values of culture that affect the development of their characters. Seligman (2004) proposed 24 character strengths of human which divided into six virtues: Wisdom, Courage, Humanity, Justice, Temperance, and Transcendence.

This study aims to measure the correlation between Virtues and Life Satisfaction among Chinese in Medan through quantitative approach. Questionnaire has been used to collect data using incidental sampling technique from 110 members of Chinese who live in Medan, aged 18 - 65 years old. Data is not normal nor linear, therefore the analysis is done by using Kendall tau correlation.

Result shows positive correlation between virtue Wisdom (especially Curiosity and Perspective characters), Courage (especially Vitality character), Humanity (especially Love and Social Intelligence characters), and Transcendence (especially Hope and Humor characters) with Life Satisfaction in Chinese that participated. This correlation is explained based on the impact of socioculture, especially the values of Chinese culture, to character development and its relation with evaluation of how good and satisfactory of their life. The other virtues, Justice and Temperance, have no correlation with life satisfaction. The result of this research indicated that the inheritance culture values of Chinese gave positive impact therefore it should be maintained and pass through the next generation.


(16)

I. LATAR BELAKANG

Secara historis, sejak awal Kota Medan memposisikan dirinya menjadi jalur lalu lintas perdagangan (Bangkaru, 2001). Dengan begitu terdapat keragaman suku (etnis), dan agama (Hadiluwih, 2008). Keragaman etnis membentuk Kota Medan menjadi masyarakat majemuk yang penuh dengan dinamika. Kemajemukan di Medan seharusnya menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat harmonis, mengakui dan menghormati perbedaan (Membangun, 2009), serta dapat menjadi modal pembangunan sumber daya manusia yang akan melahirkan kreatifitas guna menghadapi era globalisasi (Efendi, 1997).

Selepas Proklamasi Kemerdekaan, Kota Medan dihuni oleh lebih dari selusin kumpulan etnik perantau (Bruner dalam Hadiluwih, 2008). Menurut catatan BPS Medan tahun 2000, terdapat lima kelompok etnis terbanyak di Medan. Seperti yang terdapat di Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Penduduk Kota Medan 2000

No Etnis Persentase

1. Jawa 33.03 %

2. Tapanuli Utara/Batak Toba

19.21%

3. Tionghoa 10.65%

4. Mandailing 9.36%

5. Minang 8.60%


(17)

2

Dari kelima etnis tersebut, empat diantaranya (etnis Jawa, Tapanuli Utara, Mandailing, dan Minang) oleh masyarakat umum disebut pribumi, sementara etnis Tionghoa yang menempati urutan ketiga terbanyak masih disebut sebagai non pribumi yang berkonotasi pendatang.

Etnis Tionghoa di Indonesia sebenarnya adalah orang Indonesia yang nenek moyangnya berasal dari Cina dan sejak generasi pertama atau kedua telah tinggal di Indonesia, berbaur dengan penduduk setempat dan menguasai satu atau lebih bahasa yang dipakai di Indonesia (Liem, 2000). Etnis Tionghoa Medan memiliki kekhasan tersendiri yang terbentuk karena lingkungan ekonomik-sosial budaya masyarakat yang berada disekitarnya (Hadiluwih, 2008). Misalnya dalam penggunaan bahasa sehari-hari, etnis Tionghoa kerap menggunakan bahasa Hokkian (Silaban & Sutarto, 2010) ketika berkomunikasi dengan sesamanya, dibandingkan dengan bahasa tempatan. Hanya ketika berkomunikasi dengan yang bukan etnis Tionghoa saja mereka menggunakan bahasa Indonesia. Berbeda dengan etnis Tionghoa di Surabaya yang berbahasa Indonesia dengan logat khas Jawa Timur ketika berkomunikasi sehari-hari, dan hal ini juga terjadi dengan etnis Tionghoa di Jogjakarta (Sutarto, 2010). Hal ini juga terlihat dari pengamatan penulis dengan beberapa etnis Tionghoa yang sedang berkomunikasi dengan sesama etnis Tionghoa di Medan, walaupun saat itu penulis berada diantara mereka. Menurut salah satu dari etnis Tionghoa yang melakukan percakapan tersebut mengatakan bahwa dirinya kurang lancar berbahasa Indonesia bila berkomunikasi dengan sesama Tionghoa, karena sudah terbiasa sejak kecil. Kekhasan lainnya, merujuk pendapat Muhammad (2011), etnis Tionghoa merasa


(18)

bahwa diri mereka diperlakukan secara tidak adil oleh pribumi, dan merasa bahwa

orang pribumi menganggap mereka sebagai ―pendatang yang tidak tahu malu‖,

sehingga pemikiran seperti ini membuat etnis Tionghoa mengelompok yang akhirnya dinilai lebih eksklusif dibandingkan dengan etnis lainnya.

Awal mula kedatangan etnis ini di Medan secara besar-besaran dimulai pada abad 19-20, perusahaan perkebunan Belanda mendatangkan tenaga pekerja dari Cina sebagai kuli kontrak perkebunan. Mereka dibayar dengan gaji rendah (Hadiluwih, 2008) dan diperlakukan buruk oleh Belanda (Van Sandick, dalam Liem, 2000). Sebelum kedatangan Belanda, orang Tionghoa di Indonesia hidup damai dengan penduduk setempat, membaur dengan saling membawa budaya masing-masing (Prsangka Rasial, 2010). Kemudian Rasialisme anti-Tionghoa terbesar pertama kali terjadi pada tahun 1740 (Toer, 2007). Tahun 1960an pemerintah Indonesia membuat peraturan yang mengekang hak-hak dalam berdagang (Putra & Pitaloka, 2012), mengurus KTP (Liem, 2000), mengekspresikan seni budaya, agama, dan sastra (Danandjaja, 2000), dan harus mengganti nama bagi WNI Tionghoa menjadi nama Indonesia (Hadiluwih, 2008). Pada masa Orde Baru, banyak karikatur-karikatur diskriminatif, penulisan yang mengandung bias, yang menambah prasangka terhadap etnis Tionghoa. hingga puncaknya tahun 1998, terjadilah kerusuhan rasial yang berakhir dengan penjarahan, penyiksaan, dan pemerkosaan masal terhadap warga etnis Tionghoa (Putra & Pitaloka, 2012).

Peristiwa tersebut perlahan-lahan mulai sirna seiring berjalannya waktu, terutama pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres


(19)

4

no. 6 tahun 2000 yang menyatakan Imlek boleh dirayakan secara terbuka (Danandjaja, 2000). Perlahan etnis Tionghoa kembali diterima dan pembauran mulai terjalin lagi. Walaupun tidak bisa dipungkiri masih ada sekat-sekat yang memisahkan etnis Tionghoa dengan etnis setempat.

Dalam kehidupan majemuk memang kemungkinan akan melahirkan prasangka antar etnis. Peneliti melakukan penelitian awal pada akhir tahun 2011 terhadap 10 orang etnis non Tionghoa (9 mahasiswa, 1 masyarakat umum; 4 laki-laki, 6 perempuan) dan 3 orang responden etnis Tionghoa (semuanya laki-laki dan mahasiswa) mengindikasikan masih adanya stigma dan prasangka terhadap etnis Tionghoa. Dari responden non Tionghoa didapatkan lima atribut /stereotype yang dimiliki etnis Tionghoa yakni berkulit putih, mata sipit, rajin, pintar, dan sulit bersosialisasi dengan etnis lain. Dari responden Tionghoa ditemukan bahwa etnis Tionghoa masih mengalami diskriminasi dalam hal pembuatan KTP, pekerjaan, dan politik. Hal ini sesuai dengan temuan Hadiluwih (2008), dimana seorang subjek penelitiannya beretnis Tionghoa mengakui adanya pembiayaan yang lebih mahal dalam mengurus KTP, pekerjaan, dan politik.

Pandangan mengenai ekonomi etnis Tionghoa (khususnya dalam sektor perdagangan) yang lebih baik dibandingkan etnis lainnya juga masih terdengar. Hadiluwih (2008) berpendapat, unggulnya etnis Tionghoa dalam memenangkan persaingan ekonomi mengundang kecemburuan dan kebencian dari berbagai etnis, dan akhirnya melahirkan prasangka yang berkembang kepada kehidupan sosial lainnya. Selain itu, mereka juga unggul dalam pendidikan, dan karier dan ditambah lagi kesan eksklusif yang ditangkap oleh penduduk pribumi, akan


(20)

menimbulkan konflik sosial (Muhammad, 2011). Meskipun begitu, menurut Liem (2000) etnis Tionghoa lemah dan kurang tampak di bidang politik.

Salah satu efek dari prasangka adalah dapat mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan seperti menurunnya self esteem, self worth, dan psychological well being dan kepuasan hidup (Crocker & Major, dalam Hogg, 2006). Penelitian ini akan berfokus pada kepuasan hidup karena meskipun mengalami stereotype, prasangka, dan stigma dapat menurunkan kepuasan hidup, namun masih ada yang mampu mempertahankan kepuasan hidupnya (Crocker & Major, dalam Hogg, 2006).

“..saya merasa enak-enak aja tinggal di Medan, sampai saat ini tidak ada masalah yang berarti..kalo ditanya puas, ya puaslah..”

(komunikasi personal, 22 november 2011) Berdasarkan kutipan wawancara di atas, terlihat subjek tidak mengalami kendala dalam kehidupannya ketika berbaur dengan etnis lainnya. Kepuasan hidup berpatokan pada kepercayaan atau sikap individu dalam menilai kehidupannya (Schimmack dalam Eid & Larsen, 2008). Dalam hal ini, individu menilai apakah situasi dan kondisi dalam kehidupannya positif dan memuaskan (Pavot dalam Eid & Larsen, 2008). Ketika seseorang menilai bahwa kepuasan hidupnya terpenuhi maka hal tersebut menjadi salah satu pengalaman positif baginya. Sejalan dengan penelitian ini, McCullough & Snyder, 2000; Seligman, 2002 mengatakan bahwa pengalaman positif, seperti kepuasan hidup dan kekuatan karakter sedang menjadi perhatian penting dalam psikologi positif.


(21)

6

Kekuatan karakter adalah trait positif yang merefleksikan pikiran, perasaan dan perilaku (Peterson & Seligman, 2004). Menurut Seligman, ada 24 kekuatan karakter, yaitu kreatifitas, keingintahuan, keterbukaan pemikiran, kecintaan belajar, perspektif, keberanian, kegigihan, integritas, vitalitas, cinta, kebaikan, kecerdasan bermasyarakat, citizenship, keadilan, kepemimpinan, pengampunan dan belas kasih, kerendahan hati, kebijaksanaan, pengaturan diri, kekaguman akan keindahan, berterima kasih, harapan, humor, dan keagamaan (Seligman, 2004). Kekuatan karakter tersebut digolongkan ke dalam 6 virtue. Virtue adalah karakter-karakter inti yang ditelusuri dan dihargai oleh para filsuf moral dan pemikir agama, yaitu wisdom, courage, humanity, justice, temperance dan transcendence (Peterson & Seligman, 2004).

Selanjutnya, Seligman (2004) menyatakan bahwa penggunaan kekuatan karakter berkontribusi pada kepuasan hidup seseorang dan pemenuhan diri. Karakter membantu seseorang membuat persepsi tentang kehidupannya. Antara individu dari budaya yang berbeda akan memiliki perbedaan dalam hal kekuatan karakter mana yang menonjol pada dirinya. Inilah yang akan membentuk virtue yang berbeda-beda pada setiap budaya (Campton, 2005). Perbedaan budaya tersebut menyebabkan timbulnya perbedaan keyakinan dan nilai pada individu, sehingga menyebabkan perbedaan cara mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidup pada budaya yang berbeda. Seperti pada etnis Tionghoa yang memiliki kebudayaan, ritual, dan sejarah yang berbeda dengan kelompok etnis lainnya. Misalnya saat di kelenteng mereka diajarkan mengenai kearifan hidup, seperti keseimbangan alam, tubuh, dan spiritualitas (Muhammad, 2011). Etnis Tionghoa


(22)

juga memiliki sebuah prinsip hidup Ti, artinya manusia harus menyikapi hidup dengan bijaksana. Salah satu perilaku yang merefleksikan prinsip Ti adalah orang tua tidak lagi memaksakan kehendak anaknya untuk berdagang, atau meneruskan usaha dagang mereka. Tradisi belajar di kelenteng dan prinsip Ti ini membuat etnis Tionghoa memiliki virtue wisdom.

Filosofi budaya dari Tiongkok juga masih diterapkan oleh etnis Tionghoa di Medan. Seperti filosofi pohon bambu, dimana batangnya tetap kokoh walaupun ditiup angin. Pohon bambu yang bermakna, setiap manusia harus mampu bangkit dari keterpurukan, mampu beradaptasi dengan lingkungan dan fleksibel dalam menjalin hubungan dengan orang lain, serta latar belakang seseorang tidak ada hubungannya dengan kesuksesan. Selama mau berusaha dengan gigih, maka akan mencapai kesuksesan (Azizi, 2011). Filosofi ini mencerminkan adanya virtue courage dalam diri etnis Tionghoa.

Sebuah prinsip kehidupan Jin, dimana manusia harus memiliki cinta kasih yang tampak dari ritual pemberian angpau, dan membantu saudara yang kurang sukses (Sitanggang, 2010) merupakan cerminan dari virtue humanity.

Etnis Tionghoa juga memiliki prinsip kehidupan yang disebut Gi (menjunjung kebenaran), dimana manusia harus bertindak secara terhormat, dan mengontrol diri dalam berhubungan dengan orang lain (Seligman, 2004; Sitanggang, 2010). Prinsip ini mereka aplikasikan dalam hal berdagang, yaitu tidak ambil untung sendiri (Sitanggang, 2010) dan kelihatannya Gi adalah cerminan dari virtue justice yang dimiliki etnis Tionghoa.


(23)

8

Etnis Tionghoa terkenal dengan orang yang sederhana, mereka tidak menghabiskan kekayaan yang dimiliki, melainkan ditabung atau diinvestasikan

untuk masa depan. Kesederhanaan ini di dapat dari sebuah filosofi, ―Hiduplah

nikmat, maka kelak kau akan sengsara‖. Artinya orang-orang sukses dibentuk dari kehidupan yang sulit (Emsan, 2012). Etnis Tionghoa juga memiliki sebuah konsep memberikan muka, artinya manusia tidak hanya memaafkan saja, tetapi juga memaklumi, mengingat jasa orang tersebut atau karena kaerabatnya (Tong, 2011). Filosofi dan perilaku mereka di atas tampaknya merupakan cerminan dari virtue temperance.

Dalam kepercayaan tradisonal Tionghoa mementingkan sikap hormat kepada leluhur dan dewa atau dewi. Sehingga, tak jarang ditemukan di dalam rumah ada foto-foto kakek atau buyut mereka di atas shio atau gambar dewa-dewi (Yusuf, 2000; Muhammad, 2011). Etnis Tionghoa juga melakukan pemujaan terhadap dewa-dewi atau para leluhur, yang biasanya dilakukan di Kelenteng. Ketika melakukan pemujaan, biasanya terdapat hidangan yang disuguhkan kepada orang-orang yang telah tiada, karena etnis Tionghoa meyakini bahwa ruh yang mereka undang akan datang dan menikmati jamuan-jamuan yang telah dihidangkan. Selain melakukan pemujaan, etnis Tionghoa juga melakukan permintaan kesehatan, panjang umur, kekayaan, jabatan, dan jodoh (Yusuf, 2000). Kepercayaan dan ritual tersebut merupakan perwujudan dari virtue transcendence yang mereka miliki.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kekuatan karakter dengan kepuasan hidup, misalnya


(24)

Park, Peterson, dan Seligman, 2004; Ovadia dan Steger, 2010; Brdar dan Khasdan, 2009;. Akan tetapi sampai saat ini penelitian yang ada masih fokus pada kekuatan karakter saja dan belum melihat bagaimana hubungan 6 virtue utama dengan kepuasan hidup. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui bagaimana kepuasan hidup etnis Tionghoa di kota Medan dan hubungan virtue dengan kepuasan hidup pada etnis Tionghoa. Sebagai analisa tambahan, peneliti juga tertarik untuk melihat bagaimana hubungan kekuatan karakter pada etnis Tionghoa dengan kepuasan hidup.

II. PERUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan positif antara virtue wisdom dengan kepuasan hidup pada etnis Tionghoa di kota Medan?

2. Apakah ada hubungan positif antara virtue courage dengan kepuasan hidup pada etnis Tionghoa di kota Medan?

3. Apakah ada hubungan positif antara virtue humanity dengan kepuasan hidup pada etnis Tionghoa di kota Medan?

4. Apakah ada hubungan positif antara virtue justice dengan kepuasan hidup pada etnis Tionghoa di kota Medan?

5. Apakah ada hubungan positif antara virtue temperance dengan kepuasan hidup pada etnis Tionghoa di kota Medan?

6. Apakah ada hubungan positif antara virtue transendence dengan kepuasan hidup pada etnis Tionghoa di kota Medan?


(25)

10

III. TUJUAN PENELITIAN

Sesuai dengan masalahan penelitian, tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara virtue dengan kepuasan hidup pada etnis Tionghoa di kota Medan, agar masayarakat dapat memahami bagaimana mencapai kepuasan hidup dalam hidup bermasyarakat.

IV. MANFAAT PENELITIAN

I. Manfaat Teoritis

Memberikan manfaat untuk perkembangan ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial, terutama mengenai kepuasan hidup dan virtue pada etnis Tionghoa di kota Medan.

II. Manfaat Praktis

a. Bagi masyarakat umum

Menambah wawasan mengenai etnis Tionghoa dan meningkatkan rasa kesatuan diantara keragaman etnis sehingga dapat menurunkan stigma negatif.

b. Bagi etnis Tionghoa

Mengetahui dan mengenal diri sendiri melalui keenam virtue, dengan harapan dapat meningkatkan kepuasan hidup etnis Tionghoa di kota Medan.


(26)

V. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I : Pendahuluan

Menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Memuat landasan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Mencakup teori mengenai kepuasan hidup, virtue, pembentukan karakter, etnis Tionghoa.

Bab III : Metodologi Penelitian

Menjelaskan mengenai metode penelitian kuantitatif, partisipan, metode pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode analisis data.

Bab IV : Hasil Analisa Data

Menjabarkan hasil dari analisis data ke dalam penjelasan yang terperinci dan runtut, disertai dengan data pendukung.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini berisi jawaban dari pertanyaan penelitian dan saran untuk penelitian lanjutan.


(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kepuasan Hidup

1. Defenisi Kepuasan Hidup

Berdasarkan pendekatan kognitif, kepuasan hidup merupakan penilaian secara kognitif dimana seseorang membandingkan keadaannya saat ini dengan keadaan yang dianggapnya sebagai standar ideal (Diener, Emmons, Larsen, & Griffen, dalam Frisch, 2006). Semakin kecil perbedaan yang dirasakan yaitu antara apa yang diharapkan dengan apa yang dicapai oleh individu maka semakin besar kepuasan hidup seseorang (Diener dkk, dalam Frisch, 2006).

Menurut pendekatan quality of life, kepuasan hidup mengacu pada evaluasi subjektif mengenai seberapa banyak kebutuhan, tujuan, dan nilai-nilai yang kita punya telah terpenuhi dalam kehidupan. Dengan demikian, kesenjangan yang dirasakan antara apa yang kita miliki dan apa yang kita inginkan menjadi penentu tingkat kepuasan hidup atau ketidakpuasan seseorang.

Kepuasan hidup berpatokan pada kepercayaan atau sikap individu dalam menilai kehidupannya (Schimmack dalam Eid & Larsen, 2008). Dalam hal ini, individu menilai apakah situasi dan kondisi dalam kehidupannya positif dan memuaskan (Pavot dalam Eid & Larsen, 2008).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan hidup adalah penilaian kognitif seseorang atas kehidupan yang baik dan memuaskan


(28)

dengan membandingkan keadaannya saat ini dengan keadaan yang dianggapnya sebagai standar ideal.

2. Komponen Kepuasan Hidup

Diener dan Biswar (2008) mengemukakan bahwa kepuasan hidup memiliki lima komponen, yaitu Keinginan untuk Mengubah Kehidupan, Kepuasan Terhadap Kehidupan Saat Ini, Kepuasan Hidup di Masa Lalu, Kepuasan Terhadap Kehidupan Di Masa Mendatang, dan Penilaian Orang Lain Terhadap Kehidupan Seseorang.

Kelima komponen tersebut mewakili 5 item pernyataan dalam Satisfaction with Life Scale oleh Diener et al. (2008: hal.234), yaitu:

1. In most ways my life is close to my ideal.

2. The conditions of my life are excellent.

3. I am satisfied with my life.

4. So far I have gotten the important things I want in life.

5. If I could live my life over, I would change almost nothing

3. Struktur Kepuasan Hidup

Kepuasan hidup merupakan aspek kognitif dari subjective well-being (Diener, 2009). Kepuasan hidup dapat dilihat dari dua pendekatan yang berbeda, pertama Diener mengenalkan teori bottom-up, dimana kepuasan hidup dipengaruhi oleh penilaian individu terhadap domain-domain yang menurutnya penting dalam kehidupannya. Kedua teori top-down, yang melihat bahwa kepuasan hidup akan mempengaruhi domain kepuasan seseorang. Seseorang yang umumnya puas dengan kehidupannya juga akan mengevaluasi domain penting


(29)

14

dalam kehidupan dengan lebih positif, meskipun kepuasan hidup secara umum tidak hanya didasarkan pada kepuasan terhadap domain tersebut saja.

Andrews dan Withey (dalam Diener, 2009) mengatakan bahwa kedua pendekatan tersebut merupakan proses yang sejalan atau disebut dengan feedback loop. Contohnya, ketika penghasilan pertama kali meningkat maka domain finansial juga meningkat, dan menyebabkan kepuasan hidup meningkat secara keseluruhan. Ketika kepuasan hidup meningkat maka kepuasan di domain-domain lain juga meningkat, walaupun peningkatan domain-domain tersebut tidak terlalu tampak.

4. Karakteristik Individu dengan Kepuasan Hidup yang Tinggi

Diener (2009) menyatakan bahwa individu yang memiliki kepuasan hidup yang tinggi adalah individu yang memiliki tujuan penting dalam hidupnya dan berhasil untuk mencapai tujuan tersebut. Orang yang mendapat skor tinggi pada kepuasan hidup biasanya memiliki keluarga dekat dan dukungan dari teman-teman, memiliki pasangan romantis (meskipun hal ini tidak mutlak diperlukan), memiliki pekerjaan atau kegiatan bermanfaat, menikmati rekreasi, dan memiliki kesehatan yang baik. Mereka merasa bahwa hidup ini bermakna, serta memiliki tujuan dan nilai-nilai yang penting bagi mereka. Individu yang puas akan kehidupannya adalah individu yang menilai bahwa kehidupannya mungkin memang tidak sempurna tetapi segala sesuatu berjalan dengan baik, mereka mempunyai keinginan untuk berkembang, dan menyukai tantangan. Individu yang bahagia dan memiliki kepuasan hidup yang baik biasanya memiliki keyakinan,


(30)

optimisme dan self-efficacy, kemampuan sosial, energi, perilaku prososial, imunitas dan kesejahteraan fisik, coping yang efektif terhadap stress, orisinalitas, fleksibilitas, serta perilaku yang berorientasi pada tujuan (Frisch et al., dalam Frisch, 2006 ).

5. Kepuasan Subjektif

Kepuasan subjektif mengacu pada penilaian subjektif seseorang mengenai kepuasannya dalam domain tertentu kehidupannya. Kepuasan subjektif akan berpengaruh pada domain satisfaction seseorang yang berarti juga akan berpengaruh terhadap kepuasan hidup seseorang (Campbell dalam Diener, 2009). Berikut adalah beberapa domain yang menggambarkan kepuasan subjektif seseorang.

1. Penghasilan

Beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan positif antara pendapatan dengan subjective well being dalam berbagai negara (Larsen, dalam Diener, 2009). Kepuasan terhadap pendapatan yang dimiliki juga berhubungan dengan kebahagiaan (Braun dan Campbell dalam Diener, 2009).

2. Variabel Demografis lainnya a) Umur

Penelitian baru-baru ini mengatakan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan usia dalam hal kepuasan hidup, sedangkan penelitian lainnya menunjukkan adanya hubungan positif antara usia dengan kepuasan hidup (Diener, 2009). Ada beberapa kemungkinan mengapa hasil penelitian tersebut dapat berbeda. Pertama mungkin karena perbedaan konstruk yang diukur pada setiap usia. Kedua,


(31)

16

kemungkinan disebabkan karena perasaan positif dan negatif yang dialami oleh individu yang lebih muda terlihat lebih intensif, dengan demikian, orang yang lebih muda terlihat mengalami tingkat kesenangan yang lebih tinggi, padahal sebenarnya orang yang lebih tua juga menilai hidup mereka dengan cara yang positif.

b)Gender

Meskipun perempuan melaporkan lebih banyak perasaan negatif, tampaknya wanita juga mengalami kesenangan yang lebih besar. Menurut Gurin et al, dalam Diener, 2009) perempuan mengalami kesenangan yang lebih besar walaupun banyak juga yang mengalami perasaan negatif. Sehingga hanya sedikit perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kebahagiaan ataupun kepuasan (Andrews & Withey, dalam Diener, 2009).

c) Ras

Orang kulit hitam biasanya memiliki subjective well being yang lebih rendah dibandingkan orang kulit putih di Amerika Serikat, meskipun efek ini belum ditemukan secara universal (Messer, dalam Diener, 2009). Orang kulit hitam dan kulit putih pada umumnya berbeda pada usia, pendidikan, pendapatan, status perkawinan, dan perpindahan maka penting untuk mempertimbangkan fakto-faktor ini. Jadi, walaupun beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang kulit hitam melaporkan subjective well being yang lebih rendah, akan tetapi kesimpulan ini harus dijelaskan kembali dengan melihat faktor-faktor lain yang mungkin berpengaruh pada hal ini. (Diener, 2009)


(32)

d) Status Kerja

Campbell et al. (1976) menemukan bahwa orang yang pengangguran merupakan kelompok yang tidak bahagia, sehingga pengangguran memiliki dampak buruk pada subjective well being karena adanya kesulitan keuangan. Bradburn, dalam Diener, 2009 melaporkan bahwa pengangguran akan berpengaruh pada subjective well being baik pada pria maupun wanita.

e) Pendidikan

Campbell (dalam Diener, 2009) menunjukkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap subjective well being di Amerika Serikat selama 1957-1978. Namun, efek pendidikan pada subjective well being tidaklah terlalu kuat dan tampaknya berinteraksi dengan variabel lain seperti penghasilan (Bradburn & Caplovitz dalam Diener, 2009). Analisis yang dilakukan oleh Campbell (dalam Diener, 2009) menunjukan bahwa kemungkinan pendidikan akan berhubungan positif dengan subjective well being karena pendidikan dapat berfungsi sebagai sumber daya seseorang dan juga dapat meningkatkan aspirasi seseorang.

f) Agama

Cameron (dalam Diener, 2009) menemukan bahwa religiusitas berkorelasi terbalik dengan suasana hati yang positif, akan tetapi banyak penelitian yang menunjukkan bahwa keyakinan terhadap agama, penilaian tentang seberapa penting agama, dan pelaksanaan agama umumnya berhubungan positif dengan subjective well being (Cameron dkk, dalam Diener 2009).


(33)

18

g)Pernikahan dan Keluarga

Sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa individu yang menikah memiliki subjective well being yang lebih tinggi daripada kelompok individu yang tidak menikah. Glenn (dalam Diener, 2009) melaporkan bahwa walaupun wanita menikah melaporkan simptom stres yang lebih besar daripada wanita yang tidak menikah, tetapi mereka juga melaporkan kepuasan yang lebih tinggi.

3. Perilaku dan Hasilnya a) Kontak Sosial

Hal ini didukung oleh pernyataan Fordyce (dalam Diener, 2009) menyatakan bahwa ada sebuah program yang dilakukan untuk meningkatkan kebahagiaan dan program tersebut sangat merekomendasikan kontak sosial sebagai cara untuk meningkatkan subjective well being.

b)Peristiwa Hidup

Peristiwa baik berhubungan dengan afek postitif dan peristiwa buruk berhubungan dengan afek negatif. Selain itu, penelitian lain menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengontrol suatu peristiwa akan berpengaruh pada dampak dari peristiwa tersebut pada diri seseorang yang nantinya akan berpengaruh pada subjevtive well being. Bahkan peristiwa negatif dapat meningkatkan subjective well being jika individu tersebut dapat mengontrol peristiwa negatif tersebut (Gutman, dalam Diener, 2009).


(34)

c) Aktivitas

Menurut pendekatan activity teori, keterlibatan dalam aktivitas akan menyebabkan kebahagiaan. Akan tetapi tidak semua aktifitas dapat meningkatkan subjective well being. S.J.Cutler (dalam Diener, 2009) menyatakan bahwa beberapa aktifitas merupakan prediktor yang baik dari subjective well being, sedangkan yang lain tidak.

4. Kepribadian

Kepribadian dianggap berpengaruh penting terhadap subjective well being. Campbell et al (dalam Diener, 2009) menemukan bahwa kepuasan terhadap diri sendiri menunjukkan hubungan yang tinggi dengan kepuasan hidup.

5. Kesehatan

Kepuasan pada kesehatan merupakan prediktor dari kepuasan hidup secara keseluruhan. Diener dkk (2008) mengatakan bahwa individu dengan subjective well being yang tinggi akan lebih jarang mengalami sakit.

B. Virtue

1. Defenisi Virtue

Virtue adalah karakter-karakter inti yang ditelusuri dan dihargai oleh para filsuf moral dan pemikir agama. Berdasarkan catatan sejarah, keenam virtue ini sudah ada dan dipelajari sejak dulu. Virtue bersifat universal dan ada di dalam setiap budaya, akan tetapi setiap budaya akan memaknai virtue yang ada dengan cara pandang yang berbeda (Seligman & Peterson, 2004).


(35)

20

Virtue tersebut antara lain, wisdom, courage, humanity, justice, temperance dan transcendence (Seligman and Peterson, 2004). Ke enam virtue tersebut terdiri dari 24 kekuatan karakter, yang berarti karakter baik yang mengarahkan individu pada pencapaian keutamaan (virtue), atau trait positif yang terefleksi dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku.

2. Klasifikasi Virtue

2.1Wisdom (Kebijaksanaan)

Sebutan “wisdom‖ menurut Kramer (Seligman & Peterson, 2004) melibatkan luar biasa luas dan dalamnya pengetahuan seorang individu mengenai kondisi dan urusan manusia, dan bagaimana ia menerapkan pengetahuan tersebut. Wisdom adalah kekuatan kognitif yang memerlukan kemahiran dan penggunaan pengetahuan (Seligman & Peterson 2004). Wisdom memiliki lima karakter, yaitu kreatifitas, keingintahuan, keterbukaan pikiran, kecintaan belajar, dan perspektif.

a. Kreatifitas

Kreatifitas adalah kemampuan berfikir yang menghasilkan perilaku atau ide yang original (asli), indah, tidak biasa, dan adaptif. Untuk menjadi adaptif dan orisinalitas individu harus memberikan kontribusi positif bagi kehidupannya dan kehidupan orang lain. Orang-orang kreatif memiliki ciri khas tertentu, yaitu cenderung bersifat independen, nonkonformis, tidak konvensional, bahkan bohemian, dan biasanya memiliki ketertarikan yang luas, terbuka untuk pengalaman baru, dan perilaku yang memerlukan pemikiran dan tantangan, serta berani mengambil resiko.


(36)

b. Keingintahuan

Keingintahuan melibatkan keterlibatan aktif, pencarian, dan pengaturan seseorang terhadap pengalaman seseorang dalam menghadapi tantangan. Berdasarkan model perkembangan kognitif menyatakan bahwa keingintahuan meliputi adanya pengakuan dan ketertarikan terhadap hal-hal baru, ketidakpastian, dan tantangan yang dapat meningkatkan kemampuan pribadi dan interpersonal (Kashdan, Rose, & Fincham, dalam Seligman & Peterson, 2004). Hal ini meliputi proses timbal balik (a) mengalokasikan energi dan perhatian untuk mengenal hal-hal baru dan menantang (b) evaluasi kognitif dan eksplorasi perilaku dalam kegiatan yang menantang, (c) terlibat dalam kegiatan tersebut, dan (d) integrasi pengalaman rasa ingin tahu dengan asimilasi atau akomodasi.

c. Keterbukaan Pikiran

Keterbukaan pikiran adalah memikirkan sesuatu secara keseluruhan dan melihat dari berbagai sisi; tidak melompat dalam mengambil kesimpulan, dan mampu untuk merubah suatu pemikiran kedalam bukti yang nyata, dan menerima bukti tersebut dengan suka rela (Peterson & Seligman, 2004).

d. Kecintaan Belajar

Kecintaan Belajar menggambarkan cara di mana seseorang terlibat dengan informasi baru dan keterampilan umum dan perkembangan ketertarikan yang lebih baik antara individu dengan konten tertentu. Mereka biasanya mengalami perasaan positif dalam proses memperoleh keterampilan, memuaskan rasa ingin tahu mereka, membangun pengetahuan yang ada, dan mempelajari sesuatu yang


(37)

22

benar-benar baru dengan kesenagan (Krapp & Fink, dalam Peterson & Seligman, 2004).

e. Perspektif

Perspektif merupakan sifat positif yang dimiliki oleh orang yang bijaksana (Assmann, dalam Peterson & Seligman, 2004). Perspektif diartikan sebagai sesuatu yang berbeda dengan inteligensi, menggambarkan tingkat yang lebih tinggi dari pengetahuan, penilaian, dan kemampuan untuk memberikan nasehat, mampu dan memahami makna hidup yang digunakan untuk kebaikan dan kesejahteraan bagi diri sendiri dan orang lain.

2.2 Courage

Kekuatan emosi yang melibatkan kemampuan dalam menuntaskan suatu tujuan dan dihadapkan pada perlawanan atau pertentangan baik dari luar maupun dari dalam diri Anda sendiri. Virtue ini terdiri dari empat karakter, yaitu keberanian, kegigihan, integritas, dan vitalitas.

a. Keberanian

Keberanian adalah kecenderungan untuk sukarela dalam bertindak, dalam situasi yang menakutkan, situasi berbahaya yang penuh dengan resiko dalam usaha untuk memperoleh ataupun mempertahankan suatu kebaikan baik bagi diri sendiri dan orang lain (Shelp, dalam Peterson & Seligman, 2004). Keberanian juga melibatkan penilaian yakni pemahaman akan risiko dan menerima konsekuensi dari suatu tindakan (Peterson & Seligman, 2004).


(38)

b. Kegigihan

Kegigihan didefenisikan sebagai kelanjutan dari tindakan sukarela yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan meskipun ada hambatan, kesulitan, atau keputusasaan. Kegigihan memerlukan adanya suatu perilaku aktif dalam mempertahankan suatu kepercayaan (Peterson & Seligman, 2004).

c. Integritas

Integritas dimiliki oleh orang yang menerima dan mengambil tangung jawab atas pikiran dan perilaku mereka, tampil tanpa adanya kepura-puraan, selalu berbicara kebenaran dan setiap tindakannya bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain (Seligman & Peterson, 2004; Leimon & Mahon, 2009).

d. Vitalitas

Vitalitas adalah pendekatan terhadap kegembiraan dan semangat terhadap kegiatan. Upaya yang tidak setengah hati terhadap petualangan atau aktifitas yang beragam (2004). Vitalitas dijelaskan sebagai aspek well-being yang ditandai dengan pengalaman subjektif mengenai kekuatan dan aliveness (Ryan & Frederick, dalam Peterson & Seligman, 2004).

2.3Humanity

Humanity merupakan kekuatan interpersonal yang melibatkan keterdekatan dan pertemanan dengan orang lain. Humanity juga kemampuan untuk menunjukkan kepedulian dan perhatian kepada orang lain (Leimon & Mahon, 2009). Virtue ini terdiri dari karakter cinta, kebaikan, dan kecerdasan bermasyarakat.


(39)

24

a. Cinta

Cinta didefenisikan sebagai membentuk dan memiliki hubungan dekat dengan orang lain, yang melibatkan proses penerimaan, kenyamanan, kepercayaan, dan saling berbagi kasih (Peterson & Seligman, 2004).

b. Kebaikan

Kebaikan dan cinta altruistik merupakan istilah kemanusiaan dimana orang lain berhak mendapat perhatian dan pengakuan tanpa alasan apapun, hanya karena mereka memang berhak mendapatkannya. Kebaikan termasuk kemurahan hati terhadap orang lain, dorongan untuk meluangkan waktu membantu orang lain meski terhadap orang yang tidak begitu dikenal (Peterson & Seligman, 2004). c. Kecerdasan Bermasyarakat

Kecerdasan bermasyarakat merupakan kesadaran akan motif dan perasaan dari diri sendiri dan orang lain, mengetahui apa yang harus dilakukan agar dapat menyesuaikan diri pada tiap situasi sosial yang berbeda, serta mengetahui apa yang dapat membuat orang lain merasa nyaman atau bahkan terganggu. Mencoba membangun hubungan sosial dan berusaha memahami motif, cara berpikir, perasaan, dan perilaku yang ditampilkan oleh orang lain.

2.4Justice

Kekuatan keadilan dianggap sebagai hubungan antar individu yang sangat luas, relevan untuk mengoptimalkan interaksi antara individu dan kelompok atau komunitas. Kekuatan keadilan dipahami sebagai kemampuan untuk memperhatikan hak-hak dan kewajiban setiap orang sehingga menciptakan


(40)

keadilan dalam hidup bermasyarakat. Karakter yang termasuk ke dalam virtue keadilan adalah citizenship, fairness, dan kepemimpinan.

a. Citizenship

Citizenship merupakan kepentingan setiap orang yang diwujudkan

dalam mengejar kebaikan bersama. Individu dengan kekuatan karakter ini cenderung mengorbankan kepuasan mereka sendiri untuk kepentingan jangka panjang kelompok (Peterson & Seligman, 2004). Sehingga, citizenship adalah karakter yang lebih mementingkan kepentingan bersama daripada pribadi atas keanggotaannya.

b. Keadilan

Keadilan mengandung pengertian yakni memperlakukan semua orang dengan sama tanpa adanya perbedaan, tidak membiarkan perasaan pribadi akan mengganggu individu tersebut dalam mengambil keputusan, dan memberikan kesempatan yang sama pada setiap orang (Peterson & Seligman, 2004).

c. Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah kumpulan yang terintegrasi dari atribut kognitif dan temperamen yang mengacu pada kemampuan mempengaruhi dan membantu orang lain, mengarahkan dan memotivasi tindakan orang lain untuk mencapai kesukesan. Orang yang memiliki sifat kepemimpinan merasa nyaman dalam mengatur aktifitas dirinya maupun orang lain dalam suatu sistem yang terintegrasi (Peterson & Seligman, 2004).


(41)

26

2.5Temperance

Temperance adalah bagian dari menahan diri untuk melakukan sesuatu yang mereka anggap berlebihan. Virtue temperance terdiri dari empat karakter yaitu pengampunan dan belas kasih, kerendahan hati dan kesopanan, kehati-hatian, dan pengaturan diri.

a. Pengampunan dan Belas Kasih

Pengampunan merepresentasikan kepada serangkaian perubahan prososial yang terjadi pada individu yang telah tersinggung atau kecewa yang disebabkan hubungan mitra dengan orang lain (McCullough, dalam Peterson & Seligman, 2004). Pengampunan adalah perubahan motivasi dimana seseorang menjadi kurang termotivasi untuk melakukan balas dendam dan menghindari si pembuat kesalahan dan kemudian menjadi murah hati kepada si pembuat kesalahan (McCullough, dalam Seligman, 2004). Dalam ajaran Konfusius, demi kebaikan mental atau pikiran, manusia harus memaafkan kesalahan orang lain. Sebuah konsep memberikan muka menjelaskan bahwa manusia tidak hanya memaafkan saja, tetapi juga memaklumi, mengingat jasa orang tersebut atau karena kerabatnya (Tong, 2011).

b. Kerendahan Hati dan Sederhana

Kekuatan karakter ini adalah seorang yang pendiam. Orang yang sederhana membiarkan hasil usaha mereka yang berbicara. Mereka tidak mencari popularitas. Mereka mengakui kesalahan dan bukan orang yang sempurna. Mereka tidak mengambil yang tidak pantas untuknya, memandang dirinya sebagai


(42)

orang yang beruntung berada posisi dimana sesuatu yang baik terjadi pada mereka.

c. Kehati-Hatian

Menurut Aquinas (Peterson & Seligman, 2004) kehati-hatian adalah nasihat yang baik mengenai kehidupan secara lengkap dan akhir dari kehidupan manusia. Kehati-hatian adalah orientasi untuk masa depan seseorang, bentuk penalaran praktis dan pengelolaan diri yang membantu untuk mencapai tujuan jangka panjang secara efektif dengan mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan yang diambil dan tidak diambil.

d. Pengaturan Diri

Pengaturan diri didefenisikan sebagai kemampuan yang dimiliki individu untuk mengatur perasaan dan perilaku orang lain, menjadi disiplin, dan mampu untuk mengontrol keinginan dan emosi (Peterson & Seligman, 2004). Individu dengan pengaturan diri yang kuat memiliki kekuatan untuk mengontrol pikiran dan perilaku mereka, mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri.

2.6Transcendence

Virtue transcendence adalah memungkinkan individu untuk membentuk

hubungan dengan alam semesta dan dengan demikian dapat memberikan makna bagi kehidupan individu. Kekuatan karakter transcendence mencoba untuk melampaui orang lain untuk merangkul sebagian atau seluruh alam semesta yang lebih besar.


(43)

28

a. Apresiasi Keindahan dan Keunggulan

Apresiasi keindahan dan keunggulan mengacu pada kemampuan untuk menemukan, mengenali, dan menilai keindahan, keterampilan, kebaikan moral, yang dapat mengahsilkan kekaguman yang berhubungan dengan emosi pengamat (Peterson & Seligman, 2004).

b. Berterima Kasih

Berterima Kasihadalah rasa syukur dan sukacita saat merespon menerima hadiah, apakah hadiah itu menjadi manfaat nyata dari orang lain atau saat kebahagiaan yang ditimbulkan oleh keindahan alam. Emmons & Crumpler (dalam Peterson & Seligman, 2004) berpendapat bahwa rasa syukur adalah kekuatan manusia, dalam hal ini meningkatkan pribadi seseorang dan hubungan kesejahteraan dan sangat mungkin bermanfaat untuk seluruh masyarakat.

c. Harapan

Harapan, optimisme, pemikiran masa depan dan orientasi masa depan merupakan kondisi kognitif, emosional dan motivasi menuju masa depan. Berpikir tentang masa depan, mengharapkan bahwa peristiwa yang diinginkan dan hasil yang akan terjadi, bertindak dengan cara-cara yang dipercaya untuk membuat mereka lebih mungkin dan merasa yakin bahwa akan diberikan upaya yang tepat dalam mempertahakan kegembiraan disini dan sekarang dan tindakan yang mengarah langsung pada tujuan (Peterson & Seligman, 2004).

d. Humor

Humor adalah kemampuan menciptakan kesenangan dan/atau menciptakan keganjilan, orang yang ceria dan melihat sisi terang dalam kesulitan dengan


(44)

mempertahankan suasana hati yang baik, dan mampu membuat orang lain tersenyum atau tertawa (Peterson & Seligman, 2004).

e. Spiritualitas

Spiritualitas dan religiusitas mengacu kepada keyakinan dan praktek bahwa terdapat dimensi transenden (nonfisik) di dalam kehidupan. Keyakinan ini menentukan jenis atribusi yang dibuat manusia, makna hidup, dan bagaimana manusia menciptakan hubungan. Religiusitas diyakini menjelaskan derajat penerimaan individu dari keyakinan yang berhubungan dengan pemujaan figur Illahi dan partisipasi individu pada pemujaan publik maupun pribadi. Spiritualias, sebaliknya, diyakini menjelaskan hubungan intim dan pribadi antara manusia dengan Illahi, dan sejumlah kebaikan sebagai hasil dari hubungan tersebut (Peterson & Seligman, 2004).

C. Pembentukan Karakter

Perkembangan dan pembentukan karakter terjadi di sepanjang rentang kehidupan (Hart, dalam Narvez & Lapsley, 2009). Para psikolog kepribadian mengemukakan bahwa, perkembangan psikologis tiap individu menuju dewasa berbeda satu dengan yang lainnya dan perbedaan individu disebabkan oleh genetik dan lingkungan. Pervin (2005) menjelaskan lebih lanjut mengenai faktor yang mempengaruhi pembentukan karakter, yaitu :

a. Genetik

Faktor genetik memainkan peranan penting dalam pembentukan kepribadian dan perbedaan individu (Caspi, et.al dalam Pervin 2005). Strelau (dalam Pervin, 2005)


(45)

30

menyebutkan bahwa ada sebuah istilah yang sering dikaitkan dengan faktor genetik, yaitu temperament—istilah yang mengacu pada kecenderungan emosional dan perilaku secara biologis yang berlangsung pada masa kecil. Schmidt dan Fox (Pervin, 2005) mengemukakan bahwa perbedaan pada fungsi otak di bagian frontal cortex dan sistem limbik berkontribusi pada cara individu dalam merespon lingkungan. Intinya, mekanisme genetik mempengaruhi aspek kepribadian secara spesifik (Pervin, 2005).

b. Lingkungan

Psikolog yang berorientasi pada biologis, mengakui bahwa lingkungan mempunyai peranan penting dalam perkembangan kepribadian seseorang. Lingkungan tidak hanya dapat membentuk persamaan, tetapi juga membentuk perbedaan antar individu. Lingkungan juga memberi label kepada kita dan ini akan membuat persepsi dan sikap mengenai diri kita sendiri. Label adalah memberi nama kepada suatu kelompok bersama berdasarkan kerakteristik tertentu. Labeling mempengaruhi kekuatan dan pembentukan karakter seseorang (Lopez & Snynder, 2002). Di dalam lingkungan, terdapat beberapa faktor penting yang mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang:

a) Budaya

Kepribadian seseorang juga merupakan hasil keaggotaan seseorang dalam kelompok budaya tertentu. Budaya mengajarkan bagaimana berperilaku, ritual, kepercayaan, filosofi hidup, peran dalam komunitas, dan nilai dan prinsip yang dalam kehidupan. Budaya juga menggambarkan apa yang kita butuhkan dan bagaimana memaknai kepuasan hidup, yang kemudian mempengaruhi bagaimana


(46)

kita mengekspresikan emosi, perasaan, hubungan dengan orang lain, dan apa yang kita pikirkan, bagaimana kita mengatasi kehidupan dan kematian, juga bagaimana memandang kesehatan atau sakit (Cross & Markus et. al, dalam Pervin, 2005). b) Kelas sosial

Selain budaya, kelas sosial juga mempengaruhi pembentukan kepribadian dan status individu, diantaranya adalah apakah individu tersebut berada di kelas menengah ke bawah, ke atas, dan bagaimana status pekerjaan atau profesional individu. Kelas sosial juga menentukan peran mereka dalam bekerja, pendapatan dan hak istimewa. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi bagaimana mereka memandang dirinya dan bagaimana penerimaan terhadap anggota kelas sosial yang lain maupun bagaimana mereka mendapatkan dan menggunakan uangnya.

c) Keluarga

Faktor penting lainnya dalam pengaruh lingkungan adalah keluarga. Pengaruh orang tua terhadap anak dalam terjadi dalam tiga cara, yaitu perilaku orangtua dalam menghadapi situasi, model peran yang diberikan, dan pemberian reward.

d) Teman sebaya

Teman juga mempengaruhi pembentukan karakter anak yang berdampak pada saat dewasa. Pengaruh teman sebaya lebih kuat dalam mempengaruhi perkembangan kepribadian daripada keluarga. Kepribadian tiap anak dari suatu keluarga juga akan berbeda, hal ini disebabkan perbedaan pengalaman di luar rumah yang mereka miliki dan pengalaman di dalam rumah tidak membentuk kesamaan tiap anak.


(47)

32

D. Etnis Tionghoa

1. Defenisi Etnis Tionghoa

Etnis Tionghoa Indonesia sebenarnya adalah orang Indonesia yang nenek moyangnya berasal dari Cina dan sejak generasi pertama atau kedua telah tinggal di Indonesia, berbaur dengan penduduk setempat dan menguasai satu atau lebih bahasa yang dipakai di Indonesia (Liem. 2000). Defenisi diatas juga diterapkan pada istilah Tionghoa peranakan. Yusuf (2000) berpendapat, orang-orang keturunan Cina di Indonesia disebut sebagai orang Tionghoa, sehingga secara kebangsaan disebut sebagai orang Indonesia atau bangsa Indonesia, sedangkan secara etnisitas disebut sebagai orang, etnis, atau suku Tionghoa.

Leo Suryadinata dalam Liem (2000) mengatakan bahwa istilah Tionghoa-Indonesia digunakan untuk merujuk pada etnis Tionghoa di Tionghoa-Indonesia yang memiliki nama keluarga/marga, tanpa memandang kewarganegaraannya.

Sebelum menggunakan istilah ―Tionghoa‖, dahulu masyarakat Indonesia menyebutnya dengan istilah ―Cina‖. Kemudian penggunaan istilah ―Cina‖ diganti dengan ―Tionghoa‖ karena dianggap kasar dan menghina. Awalnya, alasan

menggunakan istilah ―Cina‖ adalah karena pemerintahan Orde Baru menganggap

pemerintahan Cina membantu PKI, sehingga orang-orang Cina di Indonesia dianggap sebagai agen pemerintah Cina. Oleh karena itulah panggilan ―Cina‖ merupakan suatu bentuk hukuman bagi keturunan Cina (Budiman, dalam Hadiluwih, 2008).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa etnis Tionghoa Indonesia adalah orang-orang keturunan Cina yang telah lama tinggal di Indonesia


(48)

dan berbaur dengan masyarakat setempat dan memahami penggunaan bahasa Indonesia.

2. Kebudayaan Etnis Tionghoa

Menurut antropologi kebudayaan modern, konsep kebudayaan peranakan adalah segala sesuatu yang dimiliki atau segala hal seputar kehidupan dan kegiatan budaya orang Indonesia keturunan Tionghoa. Dalam kebudayaan peranakan, sangatlah penting untuk melibatkan agama yang menekankan pemujaan leluhur dan bentuk sapaan yang benar mengikuti hierarki serta adat pemberian nama yang besar artinya dalam sistem eksogami (Liem, 2000).

Etnis Tionghoa memiliki tiga agama tradisional yang berasal dari negeri Cina, yaitu Budha, Konghucu, dan Tao (Muhammad, 2011). Namun sekarang, mayoritas etnis Tionghoa sudah berpaling dari kepercayaan tradisonal mereka (Liem, 2000). Sesuai dengan yang dikemukakan Muhammad (2011), kebanyakan orang Tionghoa menjadi pemeluk agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan. Meskipun keyakinan etnis Tionghoa bermacam-macam, tetapi mereka terlihat jarang berkonflik dalam hal agama antara satu dengan yang lainnya (Muhammad, 2011).

Proses perpindahan agama ini ditengarai karena faktor politik orde baru yang hanya mengakui lima agama (Muhammad, 2011). Walaupun terjadi perpindahan agama, sudah lama tinggal dan berbaur dengan orang pribumi, tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka tidaklah ikut luntur (Sitanggang, 2010). Misalnya Tahun Baru Imlek atau Cap Go Meh, dan Ceng Beng. Tahun Baru Imlek dirayakan oleh masyarakat Tionghoa tanpa membedakan agama dan


(49)

34

kepercayaan karena memiliki makna sebagai pengucapan syukur atas berkat dan kelimpahan pada tahun lalu, permohonan berkat dan pertolongan Tuhan di tahun mendatang, sehingga kebaktian dengan tema Imlek juga diadakan di gereja, mesjid, atau rumah ibadah lain (Yusuf, 2000). Ceng Beng dirayakan dengan menziarahi makan orang tua mereka. Hari raya ini bermakna rela meninggalkan kemewahan demi pengabdian. Maka pada hari tersebut, masyarakat Tionghoa meluangkan waktu untuk berziarah di makam orang tua dan leluhurnya ditengah-tengah kesibukannya (Yusuf, 2000).

Nilai budaya yang masih diajarkan kepada anak cucu mereka hingga saat ini adalah lima prinsip kehidupan, seperti yang diajarkan Tan Im Yang, seorang tokoh dan penyebar ajaran Kong Hucu, yaitu Jin Gi Le Ti Sin (Sitanggang, 2010):

1) Jin, artinya manusia hidup harus memiliki cinta kasih 2) Gi, artinya harus menjunjung kebenaran

3) Le, manusia harus memiliki etika 4) Ti, harus bijaksana

5) Sin, harus bisa dipercaya

Orang tua Tionghoa mengajarkan bahwa kita harus memperlakukan orang dengan baik, berpenampilan baik, seperti tersenyum, dan ramah. Anak-anak dididik untuk menjadi manusia yang jujur, tidak menggunakan jalan pintas dalam mengerjakan sesuatu (Emsan, 2012). Sebuah prinsip dalam budaya Tionghoa

adalah ―kaya dan berkedudukan adalah dambaan setiap orang, namun bila tidak


(50)

tujuan, tidak semata hanya mengejar hasil, akan tetapi proses yang baik dan sehat juga penting (Yusuf, 2000).

Begitu pula dalam berbisnis, etnis Tionghoa mengamalkan suatu prinsip Konfusius, yaitu menjunjung tinggi kepercayaan (Sitanggang, 2010) dan Ren Qing, yang artinya, ―Perasaan Kemanusiaan‖. Maksudnya, ketika berbisnis, maka harus mengutamakan pengertian terhadap sesama, saling memberi dan menerima, serta simpati dan bersedia untuk berbagi (Muhammad, 2011). Etnis Tionghoa meyakini bahwa mereka tidak hanya menjadi manusia yang harus sukses secara finansial, tetapi juga harus memiliki etika dalam berbisnis (Sitanggang, 2010). Prinsip Ren juga mendasari segala etika pergaulan, upacara, pendidikan, dan hubungan antar manusia, karena Ren pada hakikatnya bermakna kasih sayang terhadap sesama manusia (Lun Yu, dalam Sitanggang, 2010). Beberapa filosofi lain adalah tanggung jawab, hemat dalam pengeluaran, melihat kebutuhan dan selera masyarakat dengan cermat, dan ulet, sabar, dan tidak mudah terlena dengan keberhasilan kecil yang menyebabkan keberhasilan besar terlepas (Yusuf, 2000). Budaya Tionghoa meyakini bahwa bakat itu tidak ada, yang ada hanya usaha dan keinginan, dalam hal ini mau mengumpulkan informasi, dan mau belajar (Emsan, 2012).

Banyak falsafah-falsafah yang diajarkan turun temurun sebagai dasar pendidikan untuk mendukung kesuksesan anak dalam hidup bermasyarakat dan mengecap pendidikan tinggi, beberapa diantaranya, ajaran Konfusius mengutamakan pengertian terhadap sesama, saling memberi dan menerima, serta simpati dan bersedia untuk berbagi (Muhammad, 2011), manusia harus


(51)

36

mempunyai sifat ―Jinceng‖ atau tahu membalas budi. Jika menolong, kita harus bisa melupakan, tetapi jika ditolong, kita harus mengingat kebaikannya seumur hidup. Selain itu kita harus berbakti kepada orang tua ataupun leluhur (Sitanggang, 2010). Anak-anak juga diajari cara memperlakukan uang dengan baik, kemandirian dengan bekerja paruh waktu, tanpa mengabaikan tugas-tugas sekolah mereka (Emsan, 2012).

Berdasarkan komunikasi personal dengan seorang anggota Persaudaraan Muda Mudi Vihara Borobudur (PMVB) pada Senin 06/02/2012 mengatakan etnis Tionghoa memiliki filosofi yang berpengaruh pada kehidupan sosial etnis Tionghoa. Filosofi ini berasal dari warna merah yang diidentikkan dengan api yang penuh semangat. Dari sinilah kata-kata motivasi seperti Jiayou muncul. Jiayou secara harfiah artinya ―menambahkan minyak‖ atau sama artinya dengan memberikan semangat. Lebih lanjut Ari mengatakan bahwa filosofi ini menjadikan etnis Tionghoa semangat dalam banyak hal, sehingga apapun yang terjadi harus tetap semangat, dan inilah yang membuat etnis Tionghoa dapat bertahan hidup dimana pun ia berada. Seorang filosof Cina, Lao Tse, pernah

berkata mengenai pohon bambu, ―sekalipun bambu meliuk diterpa angin, namun dia tetap mempunyai pegangan, akar yang kuat menghunjam tanah. Sehingga ia tidak mudah roboh (Azizi, 2011). Ada beberapa makna dari filosofi ini, yaitu: 1. Meskipun bambu termasuk tanaman dari keluarga rumput, namun bambu tetap

bisa menunjukkan eksistensi dan kehebatannya sehingga orang cenderung tidka merasa bahwa bamboo berasal dari rumput yang biasa mereka injak. Hal ini bermakna bahwa latar belakang seseorang tidak ada hubungannya dnegan


(52)

kesuksesan. Selama berusaha dengan gigih, maka dari mana saja asalnya pasti akan mencapai kesuksesan

2. Pada saat kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh sekutu, tanaman yang pertama kali tumbuh adalah bambu. Kejadian ini menginspirasi Cina bahwa bangkit dari keterpurukan merupakan sikap yang harus dimiliki bila ingin sukses.

3. Bambu termasuk tanaman yang tidak mudah patah bila diterpa angin kencang, karena memiliki sifat lentur. Hal ini diartikan sebagai sifat fleksibel, dimana setiap orang tidak boleh kaku dan harus memiliki mental yang matang, sehingga dalam keadaan apapun mampu beradaptasi dengan baik.

Menurut Hadiluwih (2008) dalam kajiannya mengenai konflik etnik di Medan etnis Tionghoa memiliki watak-watak dasar seperti ketekunan, kesungguhan, berani (spekulatif), cenderung beregerak dalam sektor perniagaan dan hal ini terbentuk karena pengalaman yang didapatkan dari negeri Cina, dimana rakyat tak sepenuhnya memiliki pola pikir yang sesuai dengan pemerintahnya. Sehingga hal ini mempererat hubungan kekrabatan dan kemasyarakatan diantara mereka. Ia juga menambahkan, kekhasan Tionghoa Medan terbentuk karena lingkungan ekonomik-sosial budaya masyarakat yang berada disekitarnya (Hadiluwih, 2008).


(53)

38

3. Keberadaan Etnis Tionghoa di Kota Medan

Kedatangan etnis Tionghoa secara besar-besaran ke Medan dimulai pada abad 19-20. Pada saat itu perusahaan perkebunan Belanda mendatangkan tenaga kerja dari Cina sebagai kuli kontrak perkebunan (Hadiluwih, 2008).

Menurut catatan terakhir BPS Medan tahun 2000, etnis Tionghoa yang tinggal di kota Medan sekitar 202.945 jiwa atau sekitar 10.65 % (Hadiluwih, 2008). Tempat pemukiman etnis Tionghoa pada umumnya di pusat-pusat perbelanjaan dan pusat kota. Mereka menyebar di sekitar jalan Asia, dengan zona pasarnya adalah pasar/pajak Hongkong (Hadiluwih, 2008).

Etnis Tionghoa terdiri dari beberapa jenis suku. Beberapa diantaranya yang ada di kota Medan adalah Kong Hu, Tio Chiu, Puntis/Kanton, Hakka/Kheks, Hailams, Hokkian, Hoekloes, Luitsu, dan Koatsiu (Hadiluwih, 2008). Akan tetapi diantara sembilan suku tersebut, yang paling banyak di kota Medan adalah suku Hokkian yang pada umumnya adalah suku pedagang (Hadiluwih, 2008).

Ada yang berbeda antara etnis Tionghoa di Medan dengan beberapa kota di luar Medan. Contohnya, etnis Tionghoa di Medan masih sering berkomunikasi dengan sesamanya baik ada ataupun tanpa kehadiran etnis lain dengan menggunakan bahasa Hokkian (Silaban, 2010). Sedangkan etnis Tionghoa di Surabaya, mereka berbahasa Indonesia dengan logat khas Jawa Timur ketika berkomunikasi sehari-hari, dan hal ini juga terjadi dengan etnis Tionghoa di Jogjakarta (Sutarto, 2010).

Menurut Lubis (2005) dalam pandangan warga pribumi, warga keturunan Tionghoa di Medan cenderung eksklusif dan relatif kurang bergaul dengan penduduk


(54)

pribumi. Berbeda dengan warga keturunan Arab hampir melebur menjadi bagian yang nyaris sama dengan komunitas tempatan. Meskipun warga keturunan India tidak melebur seperti halnya warga keturunan Arab, tetapi warga India dinilai tidak seekslusif warga keturunan China. Muhammad (2011) berpendapat, etnis Tionghoa menjadi eksklusif dikarenakan adanya perasaan bahwa diri mereka diperlakukan secara tidak adil oleh warga pribumi, dan merasa bahwa warga pribumi menganggap

mereka sebagai ―pendatang yang tidak tahu malu‖. Lain halnya di Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka kadang-kadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain (Abyan, 2011).

E. Hubungan Virtue dengan Kepuasan Hidup Pada Etnis Tionghoa di Kota Medan

Menurut Seligman (2004) untuk mencapai kehidupan yang baik individu menjalani seluruh aspek kehidupan setiap hari dengan menggunakan kekuatan karakter untuk memperoleh kepuasan hidup. Oleh karena itu, aktifitas sehari-hari yang melibatkan kekuatan karakter dapat berkontribusi pada pengalaman yang memuaskan dan menyenangkan.

Hubungan antara kekuatan karakter dengan kepuasan hidup dan pemenuhan diri tidaklah diartikan bahwa kekuatan karakter akan menyebabkan kepuasan hidup dan pemenuhan diri, akan tetapi lebih kepada kekuatan karakter berkontribusi pada kepuasan hidup dan pemenuhan diri seseorang. Oleh karena karakter memiliki kontribusi pada kepuasan hidup, maka seharusnya virtue yang menaungi 24 karakter ini juga berhubungan dengan kepuasan hidup.


(55)

40

Kekuatan virtue yang menonjol pada setiap individu akan berbeda pada masing-masing budaya. Dimana budayalah yang berperan dalam pembentukan karakter melalui ketersediaan institusi, ritual, peran model, dongeng, pepatah, dan cerita anak (Seligman & Peterson, 2004). Institusi dan ritual mengizinkan individu untuk melatih dan mengembangkan karakter yang dimiliki individu. Kemudian peran model dan dongeng yang ada dalam budaya akan membantu dalam menggambarkan karakter tertentu. Dengan begitu, karakter-karakter yang lebih menonjol pada individu tersebut menimbulkan pola virtue yang berbeda-beda pada setiap budaya. Perbedaan-perbedaan budaya tersebut menyebabkan timbulnya perbedaan keyakinan dan nilai pada individu, sehingga menyebabkan perbedaan dalam cara mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidup pada budaya yang berbeda (Compton, 2005). Budaya Tionghoa sendiri memiliki budaya, ritual, peran model, cerita sejarah, dan institusi yang berbeda dengan kelompok etnis lainnya. Misalnya salah satu kegiatan yang dilakukan saat berada di dalam Kelenteng, yaitu belajar mengenai kearifan hidup, seperti keseimbangan alam, tubuh, dan spiritualitas (Muhammad, 2011), dan adanya sebuah prinsip Ti, dimana setiap manusia harus menyikapi hidup dengan bijaksana. Ritual dan prinsip ini tampaknya cerminan dari virtue wisdom, karena wisdom adalah kekuatan kognitif yang memerlukan kemahiran dan penggunaan pengetahuan, serta bagiamana ia menerapkan pengetahuan tersebut (Seligman & Peterson 2004). Virtue wisdom sendiri terdiri dari lima karakter yakni Kreatifitas, Keingintahuan, Keterbukaan Pikiran, Cinta Akan Pembelajaran, dan Perspektif.


(56)

Etnis Tionghoa memiliki kepercayaan bahwa keahlian dan bidang apapun dapat dipelajari. Misalnya dalam berbisnis, sebelum terjun ke suatu bidang usaha, mereka mengumpulkan banyak informasi, membuka mata dan telinga untuk menyerap semua informasi. Bila ada yang tidak paham, mereka akan belajar dari ahlinya. Etnis Tionghoa meyakini bahwa bakat itu tidak ada, yang ada hanya kemauan dan keinginan (Emsan, 2012), sehingga kepercayaan ini membentuk karakter Keingintahuan, Keterbukaan Pikiran, dan Kecintaan Belajar. Pengetahuan dan keterbukaan pikiran beberapa orang tua etnis Tionghoa juga diterapkan kepada anak mereka yaitu tidak lagi mengharuskan anaknya untuk menggeluti bisnis. Etnis Tionghoa memiliki prinsip,‖ kaya dan kedudukan adalah dambaan setiap orang, namun bila tidak bisa diraih dengan jalan yang benar, tidak

usah diraih‖. Artinya kita memiliki tujuan tidak hanya mengejar hasil, tetapi

proses yang baik dan sehat juga penting (Yusuf, 2000). Prinsip ini mencerminkan adanya karakter Perspektif, karena tujuan hidup saja tidak pelu bila kita tidak mengerti makna kehidupan yang baik itu seperti apa.

Makna virtue wisdom adalah segala pengetahuan dan kemahiran yang dimiliki harus mampu diterapkan sebaik-baiknya dengan tujuan dapat memberi makna dalam kehidupan dan membantu menyikapi masalah sehari-hari sehingga memberi manfaat (Seligman & Peterson, 2004). Menurut Diener, mampu memanfaatkan kebahagiaan yang kita miliki adalah hal yang penting untuk mengelola kesehatan psikologis, sehingga kepuasan hidup dapat terjaga (Diener, 2008). Salah satu ciri memiliki kepuasan hidup yang baik adalah mampu memberi makna dalam kehidupan kita (Diener, 2009).Berkaitan dengan hal tersebut, virtue


(57)

42

wisdom yang ada dalam diri etnis Tionghoa memungkinkan etnis Tionghoa menilai secara kognitif tentang kehidupannya yang baik dan memuaskan.

Etnis Tionghoa memiliki filosofi pohon bambu dimana batangnya tetap kokoh walaupun ditiup angin. Salah satu makna dari filosofi pohon bambu adalah selama mau berusaha dengan gigih, maka akan mencapai kesuksesan (Azizi, 2011) dan latar belakang seseorang tidak ada hubungannya dengan kesuksesan. Filosofi pohon bambu merupakan cerminan dari virtue courage, karena courage adalah kemampuan untuk menuntaskan tujuan meskipun banyak rintangan. Virtue courage terdiri dari karakter Keberanian, Kegigihan, Integritas, dan Vitalitas. Etnis Tionghoa meyakini bahwa untuk mencapai kesuksesan harus berani mengambil resiko. Tidak takut meskipun di depan akan mengalami kegagalan (Emsan, 2012).

Prinsip ini mencerminkan karakter Keberanian pada etnis Tionghoa, yaitu pemahaman akan resiko dan menerima konsekuensi dari suatu tindakan (Peterson & Seligman, 2004). Apabila mereka mengalami kegagalan etnis Tionghoa tidak mudah putus asa, dan bangkit melanjutkan tindakan untuk mencapai tujuan mereka. Filosofi pohon bambu membuat etnis Tionghoa mampu bertahan dalam kondisi apapun. Inilah yang membentuk karakter Kegigihan karena menurut Peterson dan Seligman (2004) kegigihan memerlukan adanya perilaku aktif dalam mempertahankan suatu tujuan ataupun kepercayaan. Begitupula dengan prinsip etnis Tionghoa yang disebut Sin, yang mengajarkan manusia harus bisa dipercaya. Anak-anak diajarkan untuk selalu berkata jujur, tidak menipu orang lain, dan menepati janji (Sitanggang, 2010). Mereka percaya bahwa kesuksesan itu tidak


(1)

N 110 110

5.

Karakter Keberanian dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH keberanian Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 .056

Sig. (1-tailed) . .214

N 110 110

keberanian Correlation Coefficient .056 1.000

Sig. (1-tailed) .214 .

N 110 110

6.

Karakter Kegigihan dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH kegigihan Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 .117

Sig. (1-tailed) . .051

N 110 110

kegigihan Correlation Coefficient .117 1.000

Sig. (1-tailed) .051 .

N 110 110

7.

Karakter Integritas dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH integritas Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 .043

Sig. (1-tailed) . .271

N 110 110


(2)

Sig. (1-tailed) .271 .

N 110 110

8.

Karakter Vitalitas dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH vitalitas Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 .146*

Sig. (1-tailed) . .020

N 110 110

vitalitas Correlation Coefficient .146* 1.000

Sig. (1-tailed) .020 .

N 110 110

9.

Karakter Cinta dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH cinta Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 .170**

Sig. (1-tailed) . .007

N 110 110

cinta Correlation Coefficient .170** 1.000

Sig. (1-tailed) .007 .

N 110 110

10.

Karakter Kecerdasan Bermasyarakat dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH Kecerdasan bermasyarakat Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 .167**

Sig. (1-tailed) . .009

N 110 110


(3)

bermasyarakat Sig. (1-tailed) .009 .

N 110 110

11.

Karakter Keadilan dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH keadilan Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 .002

Sig. (1-tailed) . .491

N 110 110

keadilan Correlation Coefficient .002 1.000 Sig. (1-tailed) .491 .

N 110 110

12.

Karakter Kepemimpinan dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH kepemimpinan Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 .093

Sig. (1-tailed) . .095

N 110 110

kepemimpinan Correlation Coefficient .093 1.000

Sig. (1-tailed) .095 .

N 110 110

13.

Karakter Pengampunan dan Belas Kasih dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH

Pengampunan dan Belas Kasih

Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 .057

Sig. (1-tailed) . .211

N 110 110


(4)

dan Belas Kasih

Sig. (1-tailed) .211 .

N 110 110

14.

Karakter Kerendahan Hati/Sederhana dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH

Kerendahan Hati/Sederhana Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 -.045

Sig. (1-tailed) . .266

N 110 110

Kerendahan hati/sederhana Correlation Coefficient -.045 1.000

Sig. (1-tailed) .266 .

N 110 110

15.

Karakter Kehati-hatian dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH Kehati-hatian Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 -.041

Sig. (1-tailed) . .281

N 110 110

Kehati-hatian Correlation Coefficient -.041 1.000

Sig. (1-tailed) .281 .

N 110 110

16.

Karakter Pengaturan Diri dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH Pengaturan diri Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 .076

Sig. (1-tailed) . .136

N 110 110


(5)

Sig. (1-tailed) .136 .

N 110 110

17.

Karakter Harapan dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH harapan Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 .131*

Sig. (1-tailed) . .035

N 110 110

harapan Correlation Coefficient .131* 1.000

Sig. (1-tailed) .035 .

N 110 110

18.

Karakter Humor dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH humor Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 .275**

Sig. (1-tailed) . .000

N 110 110

humor Correlation Coefficient .275** 1.000

Sig. (1-tailed) .000 .

N 110 110

19.

Karakter Spiritualitas dengan Kepuasan Hidup

Correlations

KH spiritualitas Kendall's tau_b KH Correlation Coefficient 1.000 -.013

Sig. (1-tailed) . .430

N 110 110


(6)

Sig. (1-tailed) .430 .