Teknologi Lubang Resapan Biopori (LRB) Terkait Dengan Peresapan Air Tanah Dan Pengolahan Sampah Organik (Eksperimen)

(1)

TEKNOLOGI LUBANG RESAPAN BIOPORI TERKAIT

DENGAN PERESAPAN AIR TANAH DAN PENGOLAHAN

SAMPAH ORGANIK

(EKSPERIMEN)

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Menempuh

Ujian Sarjana Teknik Sipil

BIDANG STUDI TRANSPORTASI

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010

MUHAMMAD ANDRISYAM

050404071


(2)

ABSTRAK

Lubang Resapan Biopori merupakan salah satu teknologi yang diciptakan oleh anak bangsa pada tahun 2004 silam. Sang penemu yang bernama lengkap Ir. Kamir R. Brata M. Sc. merupakan salah seorang staf pengajar di salah satu perguruan tinggi negri di pulau Jawa, yaitu Institute Pertanian Bogor. Teknologi ini sendiri mempunyai peranan sebagai pengganti areal resapan air yang telah dibangun ataupun dilapisi aspal atau semen. Dalam fungsinya, Lubang Resapan Biopori berperan sebagai pintu masuk air hujan yang jatuh ke permukaan bumi.

Pengumpulan data primer dan data sekunder, merupakan langkah awal dalam penelitian ini. Data primer didapatkan dari pengamatan langsung dilapangan, sedangkan data sekunder didapatkan dari arsip data yang telah ada pada penelitian personal atau pun dari arsip data suatu instansi, yang terkait dalam penelitian LRB ini.

Dalam penelitian ini, data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis kembali. Data primer yang didapat berupa data laju infiltrasi air ke dalam tanah. Metode analisa yang dipakai untuk mendapatkan data tersebut adalah metode HORTON. Selain itu data intensitas hujan harian maksimum juga akan dicari, dengan menggunakan metode analisa Log Pearson, yang akan diparalelkan dengan metode Ishiguro, Van Breen, Sherman, dan Tallbot. Hasil akhir yang dihasilkan dari penelitian ini berupa analisa efisiensi Lubang Resapan Biopori dalam meresap air hujan, kedalam tanah. Pada bagian penguraian sampah organik, data yang didapat merupakan data pengamatan langsung dari lapangan, yang merupakan data-data indikator kematangan kompos, yaitu, Ph ( tingkat keasaman ), warna, bau, dan kondisi kompos.

Kecepatan infiltrasi air hujan sebelum adanya Lubang Resapan Biopori pada wilayah penelitian lebih kecil dibandingkan setelah adanya Lubang Resapan Biopori, karena air hujan yang jatuh ke tanah, akan sebagian masuk kedalam Lubang Resapan Biopori, dan sebagian lagi akan meresap melalui permukaan tanah. Sedangkan untuk penguraian zat organik, masa transisi antara sampah muda ke sampah mulai matang terjadi pada rentan waktu minggu ke-3 sampai minggu ke-4, dimana nilai Ph-nya meningkat menuju angka 8, dimana pada proses ini bakteri pengurai lebih aktif dalam bekerja menguraikan sampah, sedangkan untuk masa pematangan, terjadi setelah minggu ke-4 sampai seterusnya, dimana nilai Ph menuju kepada nilai stabil, antara 7-7,5.


(3)

KATA PENGANTAR

Tiada yang pantas diucapkan selain rasa syukur penulis kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih yang kasih-Nya tiada terpilih, Tuhan Yang Maha Penyayang yang sayang-Nya tiada terbilang, yang telah memberikan kemampuan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Adapun judul dari Tugas Akhir ini adalah “TEKNOLOGI LUBANG RESAPAN BIOPORI ( LRB ) TERKAIT DENGAN PERESAPAN AIR TANAH DAN PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK ( EKSPERIMEN ) ”. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Strata I (S1) di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak. Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih atas segala jerih payah, motivasi dan doa yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, terutama kepada :

1. Bapak Ir. Sufrizal, M.Eng, selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran untuk membantu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga selesainya tugas akhir ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik

Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.


(4)

4. Bapak Ir. Boas Hutagalung, M.Sc, Bapak Ir. Ivan Indrawan MT., Bapak Ir. Teruna Jaya, M.Sc, selaku Dosen Pembanding/Penguji yang telah memberikan masukan dan kritikan yang membangun dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Bapak/Ibu Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan hingga selesainya tugas akhir ini.

6. Bapak/Ibu Staf Tata Usaha Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dalam menyelesaikan dan menyukseskan tugas akhir ini.

7. Ayahanda Nursyam dan Ibunda Ermawati, dan ibu Yus Emmi tercinta, yang telah mendukung dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. “Ayah, Bunda : Karunia terindah bagi ananda yang telah dilahirkan sebagai anakmu. Tanpa kenal lelah dalam membimbing ananda untuk menjadi manusia yang mampu menghadapi hidup dengan ketekunan dan ketegaran”.

8. Teman-teman seperjuangan angkatan ’05, abang-abang angkatan ’02,. Terima kasih atas bantuan dan dukungannya baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas akhir ini, sehingga tugas akhir ini dapat selesai dengan baik dan tanpa menemui hambatan serta rintangan yang berarti.

Tiada gading yang tak retak, demikian juga dengan Tugas Akhir ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, segala saran, masukan dan kritikan yang sifatnya membangun akan penulis terima dengan tangan terbuka demi


(5)

perbaikan tugas akhir ini. Harapan penulis, semoga tugas akhir ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2010 Hormat Saya, Penulis

Muhammad Andrisyam NIM : 05 0404 071

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v


(6)

DAFTAR TABEL ... xiii DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... I-1 I.1. Uraian Umum ... I-1 I.2. Latar Belakang ... I-3 I.3. Perumusan Masalah ... I-4 I.4. Tujuan Penelitian ... I-5 I.5. Pembatasan Masalah ... I-6 I.6. Metodologi Penelitian ... I-6 BAB II METODOLOGI PENELITIAN ………... II-1 II.1. Gambaran Umum Tentang Biopori ... II-1 II.1.1. Manfaat Lubang Resapan Biopori ( LRB ) ... II-3 II.1.2. Cara Pembuatan Lubang Resapan Biopori ... II-4 II.1.3. Tempat yang Dapat Dibuat / Dipasang Lubang

Resapan Biopori ... II-5 II.2. Cara Pengumpulan Data ... II-6 II.2.1. Data Primer ... II-6 II.2.2. Data Sekunder ... II-7 II.3. Cara Pengolahan Data ... II-8 II.4. Cara Analitis Data ... II-8 BAB III TINJAUAN PUSTAKA ... III-1 III.1. Siklus Hidrologi ... III-1 III.2. Infiltrasi ... III-3


(7)

III.2.1. Pengukuran... III-9 III.2.1.a. Analisa Hidrograf ... III-9

III.2.1.a.1. Single Ring Infiltrometer ... III-11 III.2.1.a.2. Double Ring Infiltrometer ... III-14 III.2.1.a.3. Rainfall Simulator ... III-16 III.3. Permeabilitas Tanah ... III-18 III.3.1. Keadaan Kelembaban Tanah ... III-18 III.3.2. Udara Dalam Tanah ... III-21 III.4. Air Tanah ... III-22 III.4.1. Terjadinya Air Tanah ... III-23 III.4.1.a. Asal Air Tanah ... III-23 III.4.1.b. Sifat-sifat batuan yang Mempengaruhi Air Tanah ... III-24 III.4.1.c. Distribusi Vertikal Air Tanah ... III-26 i. Zona Air Dangkal …...………... III-27 ii. Zona Antara ………... III-30 iii. Zona Kapiler ……….. III-31 iv. Zona Jenuh ………...……….. III-33 III.4.1.d. Formasi Geologi Sebagai Akuiifer ... III-34 i. Akuifer batuan dasar (bedrock aquifer) .... III-34 ii. Akuifer Alluvial ………...……….. III-36 III.5. Penguraian Sampah Organik ... III-39 III.5.1. Kompos ... III-39 III.5.2. Sifat dan Karakteristik Kompos ... III-40


(8)

III.5.2.a. Sifat Fisik Tanah ... III-41 III.5.2.b. Sifat Kimia Tanah ... III-41 III.5.2.c. Sifat Biologi Tanah ... III-43 III.5.3. Jenis dan Sumber Bahan Kompos ... III-44 III.5.3.a. Sisa Tanaman ... III-44 III.5.3.b. Kotoran Hewan ... III-46 III.5.3.c. Sampah Kota ... III-47 III.5.2.d. Vermikompos ...,,,,,,... III-49 III.5.4. Proses Pengomposan ………... III-50 III.5.4.a. Proses Mikrobiologi ... III-55 III.5.4.b. Tahapan Proses Pengomposan ... III-56 BAB IV ANALISA PEMBAHASAN ... IV-1 IV.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... IV-1 IV.1.1. Posisi dan Lokasi Penelitian ... IV-1 IV.2. Kondisi Tanah ... IV-1 IV.2.1. Jenis Tanah ... IV-1 IV.2.2. Sifat Fisika Tanah ... IV-2 IV.2.3. Infiltrasi ... IV-3 IV.2.4.Curah Hujan ... IV-14 IV.3. Peresapan Air Pada Lubang Resapan Biopori ... IV-16

IV.3.1. Peresapan Air Pada Lubang Resapan Biopori Sebelum Adanya Proses Pengomposan ... IV-17 IV.3.1. Peresapan Air Pada Lubang Resapan Biopori Setelah Adanya Proses Pengomposan ... IV-29


(9)

IV.4. Penguraian Bahan Organik ... IV-38 IV.4.1. Analisa Frekuensi Curah Hujan ... IV-40 IV.4.1.1. Metode Van Breen ... IV-40

IV.4.1.2. Penentuan Metoda Perhitungan Intensitas

Hujan ... IV-40 IV.5. Penguraian Bahan Organik ... IV-40

IV.5.1. Data dan Hasil Pengamatan Terhadap Proses Pengomposan ... IV-40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... V-1 V.1. Kesimpulan ... V-1 V.2. Saran ... V-3 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1. Penampang Lubang Resapan Biopori... I-10 Gambar I.2. Hand Bor ... I-10 Gambar II.1. Foto Mikroskop Elektron dari Lubang Cacing dan Akar Pada Matriks Tanah ... II-2


(10)

Gambar II.2. Sketsa Penampang Lubang Resapan Biopori ... II-2 Gambar II.3. Skema Fungsi LRB ... II-3 Gambar II.4. Cara Pembuatan LRB ... II-4 Gambar II.5. Lokasi Pembuatan Lubang Resapan Biopori ... II-5 Gambar III.1. Siklus hidrologi ... III-2 Gambar III.2. Skema Infiltrasi dan Perkolasi pada Dua Lapis Tanah ... .. III-6 Gambar III.3. Bentuk Umum Kurva Infiltrasi dan Run-Off

(Schwab and frevert,1981)... III-8

Gambar III.4. Kurva Laju Infiltrasi ( Horton, 1939 dalam

Schwab and frevert, 1981)... III-9 Gambar III.5. Sketsa penetapan indeks Phi... III-10 Gambar III.6. Single Ring Infiltrometer ... III-13 Gambar III.7. Double Ring Infiltrometer ... III-15 Gambar III.8. Hubungan Butir-Butir Tanah, Air, dan Udara ... III-20 Gambar III.9. Zona Jenuh dan Zona Tak Jenuh ... III-27 Gambar III.10. Diagram Kadar Air ... III-28 Gambar III.11. Pengandaian Ruang Pori Sebagai Pipa Kapiler ... III-31 Gambar III.12. Grafik Distribusi Kadar Air Pada Percobaan Pasir Halus ... III-32 Gambar III.13. Akuifer Alluvial ... III-37 Gambar IV.1. Grafik Hubunga t dan log ( fo-f c) ... IV-6 Gambar IV.2. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc )

Pada Tanah Lapangan Sepak Bola Departemen Teknik

Sipil F.T. USU ... IV-7


(11)

Gambar IV.4. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc )

Pelataran Parkir Departemen Teknik Sipil F.T. USU ... IV-11

Gambar IV.5. Grafik f(t) HORTON pada Pelataran Parkir Departemen

Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara ... IV-12

Gambar IV.6. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc ) Pada Lubang Resapan Biopori I Sebelum Adanya Proses

Pengomposan ... IV-18 Gambar IV.7. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc )

Pada Lubang Resapan Biopori II Sebelum Adanya Proses

Pengomposan ... IV-19

Gambar IV.8. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc ) Pada Lubang Resapan Biopori III Sebelum Adanya Proses

Pengomposan ... IV-20

Gambar IV.9. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc ) Pada Lubang Resapan Biopori IV Sebelum Adanya Proses

Pengomposan ... IV-21

Gambar IV.10. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc ) Pada Lubang Resapan Biopori V Sebelum Adanya Proses

Pengomposan ... IV-22

Gambar IV.11. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc ) Pada Lubang Resapan Biopori VI Sebelum Adanya Proses

Pengomposan ... IV-23


(12)

Pengomposan ... IV-24

Gambar IV.13. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc ) Pada Lubang Resapan Biopori VIII Sebelum Adanya Proses

Pengomposan ... IV-25

Gambar IV.14. f(t) HORTON pada Lubang I ... IV-28

Gambar IV.15. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc ) Pada Lubang Resapan Biopori I Setelah Adanya Proses

Pengomposan ... IV-30

Gambar IV.16. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc ) Pada Lubang Resapan Biopori I Setelah Adanya Proses

Pengomposan ... IV-31 Gambar IV.17. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc ) Pada Lubang Resapan Biopori I Setelah Adanya Proses

Pengomposan ... IV-32 Gambar IV.18. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc ) Pada Lubang Resapan Biopori I Sebelum Adanya Proses

Pengomposan ... IV-33

Gambar IV.19. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc ) Pada Lubang Resapan Biopori I Setelah Adanya Proses

Pengomposan ... IV-34 Gambar IV.20. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc ) Pada Lubang Resapan Biopori I Setelah Adanya Proses

Pengomposan ... IV-35 Gambar IV.21. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc ) Pada Lubang Resapan Biopori I Setelah Adanya Proses


(13)

Gambar IV.22. Grafik Hubungan Antara Waktu Komulatif dengan Log ( fo-fc ) Pada Lubang Resapan Biopori I Setelah Adanya Proses

Pengomposan ... IV-37 Gambar IV.23. Kurva IDF Daerah Perencanaan... IV-49 Gambar IV.24. Grafik Perubahan kadar Ph dalam Lubang

Resapan Biopori I... IV-55

DAFTAR TABEL

Tabel III.1. Contoh Hitungan Pengukuran Infiltrasi dengan Ring

Infiltrometer ... III-15 Tabel III.2. Porositas Beberapa Bahan Redimen ... III-26 Tabel III.3. Komposisi Hara Dalam Tanaman ... III-45 Tabel III.4. Sumber Bahan Kompos, Kandungan Nitrogen,

dan rasio C/N... III-46 Tabel III.5. Kandungan Hara Beberapa Jenis Kotoran Hewan ... III-47


(14)

Tabel III.6. Kandungan Hara Vermikompos ... III-50 Tabel III.7. Organisme yang Aktif Dalam Proses Pengomposan ... III-55 Tabel III.8. Tahapan Pengomposan ... III-57 Tabel III.9. Diagnosis Permasalahan yang Mungkin Timbal, Identifikasi

Penyebabnya,dan Cara Memperbaikinya ... III-58 Tabel IV.1. Klasifikasi Permeabilitas Menurut Uhland dan O’neil

(1951) ... IV-3 Tabel IV.2. Hasil Pengujian Laju Infiltrasi Pada Lapangan Sepak Bola

Departemen Teknik Sipil F.T. USU ( data mentah ) ... IV-7 Tabel IV.3. Hasil Pengujian Laju Infiltrasi Pada Lapangan Sepak Bola

Departemen Teknik Sipil F.T. USU ... IV-10 Tabel IV.4. Hasil Pengujian Laju Infiltrasi Pada Pelataran Parkir

Departemen Teknik Sipil F.T. USU ( data mentah ) ... IV-11 Tabel IV.5. Hasil Pengujian Laju Infiltrasi Pada Pelataran Parkir

Departemen Teknik Sipil F.T. USU ... IV-12

Tabel IV.6. Klasifikasi Laju Iniltrasi Menurut U.S. Soil Conversation ... IV-13 Tabel IV.7. Tabel Curah Hujan Bulanan Maksimum 10 Tahun ... IV-15 Tabel IV.8. Hasil Pengujian Pada Lubang I Sebelum ada Proses

Pengomposan ... IV-18 Tabel IV.9. Hasil Pengujian Pada Lubang II Sebelum ada Proses

Pengomposan... IV-19 Tabel IV.10. Hasil Pengujian Pada Lubang III Sebelum ada Proses


(15)

Tabel IV.11. Hasil Pengujian Pada Lubang IV Sebelum ada Proses

Pengomposan ... IV-21 Tabel IV.12. Hasil Pengujian Pada Lubang V Sebelum ada Proses

Pengomposan ... IV-22 Tabel IV.13. Hasil Pengujian Pada Lubang VI Sebelum ada Proses

Pengomposan ... IV-23 Tabel IV.14. Hasil Pengujian Pada Lubang VII Sebelum ada Proses

Pengomposan ... IV-24 Tabel IV.15. Hasil Pengujian Pada Lubang VIII Sebelum ada Proses

Pengomposan ... IV-25 Tabel IV.16. Perhitungan Laju Resapan Air Pada Lubang I sebelum adanya Pengomposan ... IV-28 Tabel IV.17. Hasil Pengujian Pada Lubang I Setelah ada Proses

Pengomposan ... IV-30 Tabel IV.18. Hasil Pengujian Pada Lubang II Setelah ada Proses

Pengomposan ... IV-31 Tabel IV.19. Hasil Pengujian Pada Lubang III Setelah ada Proses

Pengomposan ... IV-32 Tabel IV.20. Hasil Pengujian Pada Lubang IV Setelah ada Proses

Pengomposan ... IV-33 Tabel IV.21. Hasil Pengujian Pada Lubang V Setelah ada Proses

Pengomposan ... IV-34 Tabel IV.22. Hasil Pengujian Pada Lubang VI Setelah ada Proses


(16)

Tabel IV.23. Hasil Pengujian Pada Lubang VII Setelah ada Proses

Pengomposan ... IV-36 Tabel IV.24. Hasil Pengujian Pada Lubang VIII Sebelum ada Proses

Pengomposan ... IV-37 Tabel IV.25. Perbandingan Antara Kecepatan Resapan Air pada Lubang

Resapan Air Sebelum dan Setelah Terjadinya Proses

Pengomposan. ………... IV-38 Tabel IV.26. Skew Curve Faktor (K) digunakan dalam Distribusi Peluang Log Pearson Type III. ………... IV-39 Tabel IV.27. Perhitungan curah hujan metode Log Person. ………. IV-40 Tabel IV.28. Nilai Intensitas Hujan Menurut Distribusi Peluang Log Pearson Type III . ………... IV-40 Tabel IV.29. Perhitungan curah hujan metode Van Breen. ………... IV-41

Tabel IV.30. Perhitungan Intensitas Hujan Menurut Metoda Hasper Der

Weduwen. ………... IV-43 Tabel IV.31. Uji kecocokan Intensitas Hujan (I) Dengan PUH (Periode Ulang Hujan) 2 tahun. ……….... IV-46 Tabel IV.32. Persamaan Intensitas Hujan menurut Van Breen dengan pola

Talbot. ………... IV-48 Tabel IV.33 Intensitas Hujan menurut Van Breen dengan pola

Talbot. ………... IV-48


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I.1. Hasil Perhitungan Laju Infiltrasi Air pada Lapangan Sepak Bola dan Pelataran Parkir Departemen Teknik Sipil F.T.

Universitas Sumatera Utara ... VI-1 Lampiran I.2. Hasil Pengujian Berat Jenis Tanah pada Areal Kampus

Departemen Teknik Sipil USU Pada Laboratorium Mekanika Tanah Departemen Teknik Sipil USU ... VI-5 Lampiran I.3. Hasil Pengujian Koefisien Permeabilitas Tanah pada Areal Kampus


(18)

Tanah Departemen Teknik Sipil USU ... VI-6 Lampiran I.4. Laporan Pengamatan Penguraian Sampah... VI-7 Lampiran I.5. Foto-Foto Dokumentasi selama Proses Eksperimen ... VI-15 Lampiran I.6. Tahapan-Tahapan dalam Penguraian Zat Organik dan Organisme yang Berperan dalam Penguraian Zat Organik ... VI-21 Lampiran I.7. Data Curah Hujan Harian Maksimum Daerah Medan Selayang dan Sekitarnya ... VI-24 Lampiran I.8. Tabel dan Grafik Hasil Perhitungan Kecepatan Resapan Air Pada Lubang Resapan Biopori I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, Sebelum Adanya Proses Pengomposan ... VI-27 Lampiran I.9. Tabel dan Grafik Hasil Perhitungan Kecepatan Resapan Air Pada Lubang Resapan Biopori I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, Setelah Adanya Proses Pengomposan ... VI-34 Lampiran I.10. Profil Alat-Alat yang Digunakan Selama Eksperimen ... VI-7

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Uraian Umum

Air adalah elemen pokok dalam pembentukan proses kehidupan. Setiap makhluk hidup tidak dapat bertahan hidup tanpa adanya ketersediaan air yang cukup untuk melakukan segala aktifitas mereka. Walaupun jumlah air dimuka bumi ini tidak dapat berkurang, tetapi kalau kita tidak menjaga keseimbangan alam dan tidak bijak dalam memanfaatkan sumber daya air, suatu saat kita akan mengalami krisis air yang dapat mengancam populasi kehidupan kita.


(19)

ABSTRAK

Lubang Resapan Biopori merupakan salah satu teknologi yang diciptakan oleh anak bangsa pada tahun 2004 silam. Sang penemu yang bernama lengkap Ir. Kamir R. Brata M. Sc. merupakan salah seorang staf pengajar di salah satu perguruan tinggi negri di pulau Jawa, yaitu Institute Pertanian Bogor. Teknologi ini sendiri mempunyai peranan sebagai pengganti areal resapan air yang telah dibangun ataupun dilapisi aspal atau semen. Dalam fungsinya, Lubang Resapan Biopori berperan sebagai pintu masuk air hujan yang jatuh ke permukaan bumi.

Pengumpulan data primer dan data sekunder, merupakan langkah awal dalam penelitian ini. Data primer didapatkan dari pengamatan langsung dilapangan, sedangkan data sekunder didapatkan dari arsip data yang telah ada pada penelitian personal atau pun dari arsip data suatu instansi, yang terkait dalam penelitian LRB ini.

Dalam penelitian ini, data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis kembali. Data primer yang didapat berupa data laju infiltrasi air ke dalam tanah. Metode analisa yang dipakai untuk mendapatkan data tersebut adalah metode HORTON. Selain itu data intensitas hujan harian maksimum juga akan dicari, dengan menggunakan metode analisa Log Pearson, yang akan diparalelkan dengan metode Ishiguro, Van Breen, Sherman, dan Tallbot. Hasil akhir yang dihasilkan dari penelitian ini berupa analisa efisiensi Lubang Resapan Biopori dalam meresap air hujan, kedalam tanah. Pada bagian penguraian sampah organik, data yang didapat merupakan data pengamatan langsung dari lapangan, yang merupakan data-data indikator kematangan kompos, yaitu, Ph ( tingkat keasaman ), warna, bau, dan kondisi kompos.

Kecepatan infiltrasi air hujan sebelum adanya Lubang Resapan Biopori pada wilayah penelitian lebih kecil dibandingkan setelah adanya Lubang Resapan Biopori, karena air hujan yang jatuh ke tanah, akan sebagian masuk kedalam Lubang Resapan Biopori, dan sebagian lagi akan meresap melalui permukaan tanah. Sedangkan untuk penguraian zat organik, masa transisi antara sampah muda ke sampah mulai matang terjadi pada rentan waktu minggu ke-3 sampai minggu ke-4, dimana nilai Ph-nya meningkat menuju angka 8, dimana pada proses ini bakteri pengurai lebih aktif dalam bekerja menguraikan sampah, sedangkan untuk masa pematangan, terjadi setelah minggu ke-4 sampai seterusnya, dimana nilai Ph menuju kepada nilai stabil, antara 7-7,5.


(20)

Tanah Departemen Teknik Sipil USU ... VI-6 Lampiran I.4. Laporan Pengamatan Penguraian Sampah... VI-7 Lampiran I.5. Foto-Foto Dokumentasi selama Proses Eksperimen ... VI-15 Lampiran I.6. Tahapan-Tahapan dalam Penguraian Zat Organik dan Organisme yang Berperan dalam Penguraian Zat Organik ... VI-21 Lampiran I.7. Data Curah Hujan Harian Maksimum Daerah Medan Selayang dan Sekitarnya ... VI-24 Lampiran I.8. Tabel dan Grafik Hasil Perhitungan Kecepatan Resapan Air Pada Lubang Resapan Biopori I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, Sebelum Adanya Proses Pengomposan ... VI-27 Lampiran I.9. Tabel dan Grafik Hasil Perhitungan Kecepatan Resapan Air Pada Lubang Resapan Biopori I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, Setelah Adanya Proses Pengomposan ... VI-34 Lampiran I.10. Profil Alat-Alat yang Digunakan Selama Eksperimen ... VI-7

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Uraian Umum

Air adalah elemen pokok dalam pembentukan proses kehidupan. Setiap makhluk hidup tidak dapat bertahan hidup tanpa adanya ketersediaan air yang cukup untuk melakukan segala aktifitas mereka. Walaupun jumlah air dimuka bumi ini tidak dapat berkurang, tetapi kalau kita tidak menjaga keseimbangan alam dan tidak bijak dalam memanfaatkan sumber daya air, suatu saat kita akan mengalami krisis air yang dapat mengancam populasi kehidupan kita.


(21)

Disamping itu, dengan semakin berkembangnya populasi penduduk di seluruh dunia ini, akan berkembang juga jumlah maupun jenis pemanfaatan akan sumber daya air untuk mencukupi pola kehidupan yang akan semakin maju mengikuti kemajuan peradaban.

Proses pembangunan yang ada saat ini juga mengurangi kemampuan alam untuk menyimpan kelebihan air pada saat pasokan alam melimpah. Hal ini adalah dampak dari berkurangnya jumlah permukaan bumi yang akan menyerap air apabila pembangunan yang terjadi dilakukan tanpa memperhatikan keseimbangan alam. Semakin banyaknya jenis aktifitas hidup dan aktifitas ekonimi yang juga akan meningkatkan industri disegala bidang, akan makin banyak juga limbah yang akan diproduksi sebagai hasil samping atau byproduct kemajuan peradaban ini yang akan mencemari lingkungan hidup khususnya sumber daya air.

Ironisnya, Negara kita yang berada pada daerah yang hanya memiliki 2 musim dan beriklim tropis, yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi, masih juga mengalami krisis sumber daya air.

Oleh karena itu, kita sebagai pewaris alam semesta, sepatutnya juga menjaga dan memelihara stabilitas alam semesta ini, agar dapat kembali diwariskan kepada anak cucu kita kelak.

Salah satu teknologi yang tergolong murah, mudah dan cukup berguna dalam pemanfaatan serta penyimpanan sumber daya air adalah dengan menerapkan system

Lubang Resapan Biopori. Lubang Resapan Biopori ( LRB ) adalah suatu lubang

yang berada pada permukaan bumi yang berfungsi sebagai lubang resapan air, dengan memanfaatkan organisme tanah untuk membuat alur-alur dalam tanah guna mempercepat penyerapan air oleh tanah yang selanjutnya disimpan pada daerah


(22)

cekungan air dalam tanah. Untuk selanjutnya air yang disimpan tersebut dapat dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari kita.

Sebenarnya teknologi yang ditemukan oleh seorang staf pengajar Institute Pertanian Bogor ini sudah diperkenalkan sejak tiga tahun silam. Akan tetapi masyarakat masih belum mengerti cara kerja, manfaat, dan cara pembuatannya.

Cara kerja Lubang Resapan Biopori ini sebenarnya menggantikan fungsi areal

terbuka hijau sebagai daerah resapan air. Akan tetapi akibat pembangunan yang

berjalan seiring perkembangan peradaban manusia, maka areal terbuka hijau tersebut jumlahnya semakin berkurang. Dan kita tidak dapat memanfaatkan sumber daya air dengan maksimal yang diberikan oleh alam.

Disamping berfungsi sebagai areal penyerapan air, Lubang Resapan Air juga berfungsi sebagai areal penguraian sampah organik, yang selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk alami.

I.2 Latar Belakang

Masalah yang paling sering kita perhatikan sekarang ini yang berkaitan dengan air adalah banjir dan krisis air bersih. Padahal air itu sendiri merupakan berkah dari alam yang diberikan kepada seluruh mahkluk hidup yang ada dibumi ini, demi kelangsungan hidup mereka. Akan tetapi, manusia sebagai makhluk yang diberikan kuasa untuk mengelola, dan melestarikan alam, tidak mensyukuri berkah yang diberikan oleh alam, dan mereka hanya mementingkan diri sendiri.

Pembangunan yang dilakukan oleh manusia secara besar-besaran, tanpa memperhatikan lingkungan sekitar, mengakibatkan tertutupnya lapisan tanah, yang sejatinya merupakan bagian dari siklus hidrologi, yaitu sebagai areal resapan air.


(23)

Tertutupnya areal resapan air tersebut menyebabkan, air tidak lagi terserap kedalam tanah, akan tetapi langsung menuju ke saluran drainase, dan langsung menuju ke laut. Dalam kasus-kasus tertentu, akibat dari koefisien run-off pada suatu daerah mendekati nilai 1, akan menyebabkan saluran drainase tidak dapat lagi menampung seluruh curah hujan, dan mengakibatkan drainase tersebut meluap dan membanjiri wilayah tersebut.

Yang paling ironis, air tersebut langsung menuju ke laut tanpa disimpan, dan dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup kita. Dan manyebabkan kita kekurangan air. Oleh sebab itu perlu disadari lagi bahwa air sebagai berkah gratis dari alam harus bisa kita manfaatkan sebaiknya, untuk menyelamatkan kelangsungan hidup anak cucu kita dikemudian hari.

I.3 Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam eksperimen yakni penulis ingin mengetahui :

1. Masalah yang timbul pada zaman sekarang ini, dimana masyarakat lebih condong mengikuti pembangunan seiring peradaban dunia tanpa mengindahkan fungsi alam, dan berdampak pada ketidakstabilan iklim, pencemaran sumber daya air, dan rusaknya sumber daya air yang dapat mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup di bumi ini.

2. Pemanfaatan air tanah secara berlebihan, yang berpengaruh pada penurunan permukaan tanah serta terjadinya intrusi air laut yang terjadi.

3. Pembangunan yang terjadi tanpa memperdulikan fungsi arel terbuka hijau. Dimana hal ini akan mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air.


(24)

4. Jalan keluar dalam mengatasi masalah keterbatasan sumber daya air. Disamping dengan membangun reservoir, kita juga dapat menerapkan sistem

Lubang Resapan Biopori dalam memaksimalkan pemanfaatan sumber daya

air yang tersedia.

5. Bagaimana cara kerja Lubang Resapan Biopori. 6. Manfaat lain dari Lubang Resapan Biopori.

7. Seberapa efisien Lubang Resapan Biopori dalam memaksimalkan pemanfaatan sumber daya air yang selanjutnya akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari makhluk hidup.

8. Seberapa besar daya resap tanah terhadap air, dalam hal ini jenis tanah yang ada di Indonesia.

9. Pentingnya mensosialisasikan pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya air, agar dapat selanjutnya menyelamatkan kehidupan anak cucu kita nantinya.

I.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dari tugas akhir ini adalah :

1. Meneliti efektifitas Lubang Resapan Biopori dalam menyerap air.

2. Menghitung kecepatan air dan debit air yang mengalir pada Lubang Resapan Biopori.

3. Untuk meneliti apakah Lubang Resapan Biopori dapat menggantikan fungsi daerah resapan air yang telah diperkecil jumlahnya..


(25)

4. Menghitung kapasitas Lubang Resapan Biopori pada suatu areal tertentu. Dalam hal ini berapa jumlah LRB yang akan dibuat untuk luas areal tertentu, serta berapa radius jarak antara LRB yang satu dengan yang lain.

5. Meneliti tahapan-tahapan dalam menguraikan bahan organik yang terdapat pada Lubang Resapan Biopori.

6. Agar dapat mensosialisasikan tentang pentingnya menjaga dan memelihara sumber daya air yang diberikan alam.

1.5 Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini masalah dibatasi pada :

1. Tanah yang khususnya dominan di Indonesia berupa tanah Podsol (lempung berpasir).

2. Air dengan viscositas = 1 x 10-6 ( air hujan ).

3. Diameter lubang 10-30 cm dengan kedalaman 80-100 cm. 4. Pada daerah yang relatif datar ( tidak berbukit ).

5. Bahan yang diuraikan ( dikomposkan ) merupakan bahan yang dapat terurai dan tidak berbau ( bahan organik seperti dedaunan ).

1.6 Metodologi Penelitian

Dalam penelitiannya penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : a. Pengambilan Data

1. Data Primer

Merupakan data yang diperoleh langsung dilapangan secara pengamatan, peninjauan, pendataan dan pengukuran daripada lubang resapan biopori pada


(26)

suatu wilayah tertentu dengan kondisi dan jenis tanah pada wilayah tersebut. Adapun data primer yang didapat adalah :

1) Hasil pengukuran terhadap kecepatan infiltrasi air pada wilayah lapangan sepak bola dan areal parkir didepan Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara, seperti pada lampiran 1.1.

2) Hasil penelitian terhadap bobot isi tanah ( berat jenis tanah ) pada kedalaman 0 – 80 cm pada wilayah lapangan sepak bola Universitas Sumatera Utara dan areal parkir didepan gedung sekretariat Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara, sep$erti pada lampiran 1.2.

3) Hasil penelitian terhadap koefisien rembesan tanah pada wilayah lapangan sepak bola Universitas Sumatera Utara dan areal parkir didepan gedung sekretariat Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara, seperti pada lampiran 1.3.

4) Hasil pengamatan penguraian bahan organik pada Lubang Resapan Biopori pada wilayah lapangan sepak bola Universitas Sumatera Utara dan areal parkir didepan gedung sekretariat Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara, seperti pada lampiran 1.4.

5) Hasil pengamatan berupa foto dokumentasi pada saat penelitian dilakukan, seperti pada lampiran 1.5.

2. Data sekunder

Merupakan data yang diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dalam penelitian ini. Adapun data sekunder yang didapat adalah :

1) Dari data Praktikum Mekanika Tanah yang dilakukan oleh mahasiswa Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara,


(27)

untuk memperoleh data jenis tanah dan koefisien permeabilitas tanah, seperti pada.

2) Dari data perpustakaan digital Institute Teknologi Bandung, seperti : Tahapan-tahapan dalam penguraian zat organik, serta makhluk hidup yang berperan dalam penguraian zat organik tersebut, seperti pada lampiran 1.6. 3) Dari Data Badan Meteorologi klimatologi dan Geofisika ( BMKG ) Balai

Besar Wilayah I Medan seperti : data curah hujan harian maksimum daerah Medan Selayang dan sekitarnya, seperti pada lampiran 1.7.

b. Pembuatan Lubang Resapan Biopori

Pembuatan lubang resapan biopori dilakukan di lapangan sepak bola dan di pelataran parkir mahasiswa Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

c. Penelitian di Lapangan

Melakukan penelitian dilapangan dengan prosedur sebagai berikut :

 Penyediaan alat pembuatan lubang resapan biopori, yaitu alat pengebor tanah manual ( hand bor ).

Membuat Lubang Resapan Biopori, Lubang Resapan Biopori tersebut berdiameter 10-30 cm dan memiliki kedalaman 100-80 cm, dalam pengujian lubang berjumlah 8 ( delapan ) lubang, dan masing-masing lubang berjarak tertentu radius minimal 100 m. Dikarenakan ini hanya sebuah contoh pengujian untuk memperoleh data peresapan air tanah dan penguraian sampah, jumlah lubang dan jarak masing-masing lubang diasumsikan terlebih dahulu, dan setelah dibandingkan dengan informasi


(28)

yang telah terbukti, untuk selanjutnya, untuk menentukan jumlah dan jarak lubang akan diformulasikan.

 Mengisi lubang-lubang tersebut dengan sampah-sampah organik, berupa dedaunan. Dan dibiarkan selama beberapa hari agar terbentuk lubang resapan biopori dan sampah tersebut terurai menjadi kompos. Serta mencatat berapa lama waktu yang dibutuhkan sampah tersebut dapat berubah menjadi kompos. Berikut disajikan proses kimia pengomposan oleh bakteri baik secara aerob maupun secara anaerob :

Mikroba Aerob

Bahan organik + O2 H2O + CO2 + Hara + Humus + Energi

N, P, K Mikroba Anaerob

Bahan organik CH4 + Hara + Humus

N, P, K

 Melakukan pengujian secara eksperimental, dengan memasukkan air pada lubang resapan biopori yang telah terbentuk, untuk mendapatkan data : • Kecepatan resapan air dalam Lubang Resapan Biopori.

Debit resapan air dalam Lubang Resapan Biopori

 Mengambil contoh tanah dan melakukan pengujian sample tanah dilakukan di laboratorium Mekanika Tanah Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara, untuk mendapatkan nilai permeabilitas tanah. d. Pengolahan data


(29)

1) Melakukan pengukuran infiltrasi dengan menggunakan alat Single Ring

Infiltrometer.

2) Melakukan pengukuran kecepatan infiltrasi dalam Lubang Resapan

Biopori.

3) Menganalisa Laju infiltrasi dengan menggunakan rumus Horton ( 1939 )

f = fc + ( f0 – fc ) x e-kt ……….. I.1

4) Mengambil sampel tanah dan melakukan pengujian sample tanah untuk mengetahui jenis tanah dan koefisien permeabilitas tanah tersebut.


(30)

(31)

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

Flow Chart Pengerjaan Tugas Akhir

MAKSUD

Untuk mendapatkan gambaran hasil penelitian apabila digunakan beberapa prosedur

TUJUAN

Untuk menganalisa apakah Lubang Resapan Biopori dapat menjadi salah satu alternatif

TINJAUAN PUSTAKA

PENGAMBILAN DATA

Analisa frekuensi curah hujan maksimum

pengamatan penguraian sampah Kecepatan infiltrasi

ANALISA DAN PERBANDINGAN

KESIMPULAN

Parameter yang digunakan : ph

 perubahan warna tekstur

Metode yang digunakan :

• Metode HORTON

Metode yang digunakan :  Metode Van Breen  Hasper Der Weduwen

Kombinasi metode dengan pola Talbot

SARAN PERMASALAHAN

Perlunya kajian mengenai permasalahan terkait dengan perubahan tata guna lahan,


(32)

II.1 Gambaran Umum Tentang Biopori

Kondisi kota besar seperti DKI Jakarta, Medan, dan kota besar lain yang memiliki lahan resapan air yang sangat sedikit sekali disertai dengan penggunaan air tanah yang sangat berlebihan menyebabkan penurunan permukaan tanah serta mengakibatkan sulitnya untuk mendapatkan air berkualitas baik dan cukup di kawasan tersebut.

Dengan demikian keseimbangan lingkungan yang harus terus menerus dilestarikan dan dijaga pun semakin rusak dan tidak terkendali. Untuk itulah diperlukan adanya gerakan pelestarian alam sekitar yang dilakukan secara bersama-sama oleh semua pihak serta berkesinambungan.

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mencegah mengalirnya air hujan ke selokan yang kemudian terbuang percuma ke laut lepas adalah dengan pembuatan lubang biopori resapan atau LBR.

Teknologi Lubang Resapan Biopori ini ditemukan oleh Ir. Kamir R. Brata M. Sc. , yang merupakan seorang staf pengajar di salah satu perguruan tinggi negri di Bogor. Arti definisi dan pengertian lubang biopiro adalah lubang yang dengan diameter 10 sampai 30 cm dengan panjang 80 sampai 100 cm yang ditutupi sampah organik yang berfungsi untuk menjebak air yang mengalir di sekitarnya sehingga dapat menjadi sumber cadangan air bagi air bawah tanah, tumbuhan di sekitarnya serta dapat juga membantu pelapukan sampah organik menjadi kompos yang bisa dipakai untuk pupuk tumbuh-tumbuhan. Sedangkan Biopori sendiri pengertiannya adalah pori-pori berbentuk lubang (terowongan kecil) yang dibuat oleh aktivitas fauna tanah atau akar


(33)

tanaman (Gambar 1). Gambar 2 menunjukkan penampang dari lubang resapan biopori.

Gambar II.1 . Foto Mikroskop Elektron dari Lubang Cacing dan Akar pada Matriks Tanah

(dalam lingkaran kuning)


(34)

II.1.1 Manfaat Lubang Resapan Biopori ( LRB ) :

1. Memaksimalkan air yang meresap ke dalam tanah sehingga menambah air tanah.

2. Membuat kompos alami dari sampah organik daripada dibakar. 3. Mengurangi genangan air yang menimbulkan penyakit.

4. Mengurangi air hujan yang dibuang percuma ke laut. 5. Mengurangi resiko banjir di musim hujan.

6. Maksimalisasi peran dan aktivitas flora dan fauna tanah. 7. Mencegah terjadinya erosi tanah dan bencana tanah longsor. 8. Memperbaiki kondisi ekosistem tanah yang dapat menghidupi keanekaragaman hayati di dalam tanah (biodiversitas tanah).

9. Mengurangi dampak emisi gas CO2 akibat pembakaran sampah organik.

10. Sebagai tempat pengolahan sampah organik. 11. Meningkatkan kualitas tanah.


(35)

II.1.2 Cara Pembuatan Lubang Biopori Resapan Air : 1. Membuat lubang silindris di tanah dengan diameter 10-30 cm dan

kedalaman 80-100 cm serta jarak antar lubang 50-100 cm. 2. Mulut lubang dapat dikuatkan dengan semen setebal 2 cm dan lebar 2-3 centimeter serta diberikan pengaman agar tidak ada orang yang terperosok. 3. Lubang diisi dengan sampah organik seperti daun, sampah dapur, ranting pohon, sampah makanan dapur non kimia, dan sebagainya. Sampah dalam lubang akan menyusut sehingga perlu diisi kembali dan di akhir musim kemarau dapat dikuras sebagai pupuk kompos alami.

4. Jumlah lubang biopori yang ada sebaiknya dihitung berdasarkan besar kecil hujan, laju resapan air dan wilayah yang tidak meresap air dengan rumus = intensitas hujan (mm/jam) x luas bidang kedap air (meter persegi) / laju resapan air perlubang (liter / jam).


(36)

II.1.3 Tempat yang dapat dibuat / dipasang lubang biopori resapan air : 1. Pada alas saluran air hujan di sekitar rumah, kantor, sekolah, dan sebagainya. 2. Di sekeliling pohon.

3. Pada tanah kosong antar tanaman / batas tanaman. 4. Pada dasar saluran.

3. Pada areal kosong, dimana areal tersebut sudah ditutup bagian Top Soilnya ( dilapisi oleh suatu lapisan beton, paving block ) untuk suatu keperluan, seperti lahan parkir dan sebagainya.


(37)

b. di sekeliling pohon c. pada batas tanaman

II.1 Cara Pengumpulan Data

Dalam penelitian, data merupakan hal yang memiliki peranan yang penting sebagai alat penelitian hipotesis pembuktian untuk mencapai tujuan penelitian. Data yang dibutuhkan pada dasarnya dibagi dalam dua kelompok yaitu data primer dan data sekunder. Data primer ini diperoleh dengan cara melakukan pengamatan/ pengukuran/penelitian langsung dilapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait atau badan tertentu.

II.1 .1 Data Primer

Merupakan data yang diperoleh langsung dilapangan secara pengamatan, peninjauan, pendataan dan pengukuran daripada lubang resapan biopori pada suatu wilayah tertentu dengan kondisi dan jenis tanah pada wilayah tersebut. Adapun data primer yang didapat adalah :

3. Data Primer

Merupakan data yang diperoleh langsung dilapangan secara pengamatan, peninjauan, pendataan dan pengukuran daripada lubang resapan biopori pada suatu wilayah tertentu dengan kondisi dan jenis tanah pada wilayah tersebut. Adapun data primer yang didapat adalah :

1) Hasil pengukuran terhadap kecepatan infiltrasi air pada tanah pada wilayah lapangan sepak bola Universitas Sumatera Utara dan areal parkir didepan gedung sekretariat Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.


(38)

0 – 80 cm pada wilayah lapangan sepak bola Universitas Sumatera Utara dan areal parkir didepan gedung sekretariat Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

3) Hasil penelitian terhadap koefisien rembesan tanah pada wilayah lapangan sepak bola Universitas Sumatera Utara dan areal parkir didepan gedung sekretariat Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

4) Hasil penelitian tahapan-tahapan penguraian bahan organik pada Lubang Resapan Biopori pada wilayah lapangan sepak bola Universitas Sumatera Utara dan areal parkir didepan gedung sekretariat Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

5) Hasil pengamatan berupa foto dokumentasi pada saat penelitian dilakukan.

II.1 .2 Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dalam penelitian ini. Adapun data sekunder yang didapat adalah :

1) Dari data Praktikum Mekanika Tanah yang dilakukan oleh mahasiswa Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, untuk memperoleh data jenis tanah dan koefisien permeabilitas tanah. 2) Dari data perpustakaan digital Institute Teknologi Bandung, seperti :

Tahapan-tahapan dalam penguraian zat organik, serta makhluk hidup yang berperan dalam penguraian zat organik tersebut.

3) Dari Data Badan Meteorologi klimatologi dan Geofisika ( BMKG ) Balai Besar Wilayah I Medan seperti : data curah hujan harian maksimum daerah Medan Selayang dan sekitarnya.


(39)

II.3. Cara Pengolahan Data

Adalah metode analisa data hasil pengamatan untuk mengambil kesimpulan dari tujuan penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Melakukan pengukuran infiltrasi dengan menggunakan alat Single Ring

Infiltrometer.

2) Melakukan pengukuran kecepatan infiltrasi dalam Lubang Resapan

Biopori.

3) Menganalisa Laju infiltrasi dengan menggunakan rumus Horton ( 1939 )

f = fc + ( f0 – fc ) x e-kt

4) Mengambil sampel tanah dan melakukan pengujian sample tanah untuk mengetahui jenis tanah dan koefisien permeabilitas tanah tersebut.

II.4. Cara Analisis Data

Metode yang dilakukan untuk menganalisis data pada suatu analisa penelitian yaitu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dalam suatu perhitungan untuk memperoleh hasil penelitian yang selanjutnya akan diambil kesimpulan dari tujuan penulisan ini. Adapun cara analisis penelitian adalah :

1) Identifikasi permasalahan yang timbul pada masa sekarang ini khususnya tentang sumber daya air, dan pengolahan limbah organik.

2) Menganalisa curah hujan harian maksimum dan menentukan kondisi iklim daerah tersebut.


(40)

3) Melakukan penelitian pada Lubang Resapan Biopori yang telah dibuat, dengan mencurahkan air dengan volume tertentu untuk mendapatkan nilai kecepatan rembesan air oleh tanah dan untuk mendapatkan nilai debit rembesan oleh tanah tersebut.

4) Menganalisa jumlah Lubang Resapan Biopori yang sesuai pada suatu wilayah tertentu dengan luasan tertentu dan intensitas hujan tertentu pula, dengan persamaan :

n = v

L I *

……… II.1

Keterangan :

n : Jumlah Lubang Resapan Biopori

I : Intensitas hujan terbesar dalam 10 tahun ( mm/detik )

L : Luas bidang kedap air ( m2 )


(41)

Error! Bookmark not defined.

 Evaporasi / transpirasi - Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb. kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Siklus Hidrologi

Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1.3-1.4 Juta km3 air : 97.5% adalah air laut, 1.75% berbentuk es, dan 0.73% berada di dataran sebagai air sungai, air danau, air tanah, dan sebagainya. Hanya 0.001 % berbentuk uap di udara.

Siklus Hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut. Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda:


(42)

 Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.

 Air Permukaan - Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut. Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sisten Daerah Aliran Sungai (DAS).Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya.


(43)

Gambar III.1 Siklus Hidrologi

III.2. Infiltrasi

Infiltrasi dimaksudkan sebagai proses masuknya air ke permukaan tanah. Ini merupakan bagian yang sangat penting dalam daur hidrologi maupun dalam proses pengalihragaman hujan menjadi aliran sungai. Pengertian infiltrasi ( infiltration ) sering dicampurkan-adukkan untuk kepentingan praktis dengan pengertian perkolasi

(percolation). Yang terakhir ini merupakan proses aliran air dalam tanah secara

vertical akibat gaya berat. Memang keduanya saling berpengaruh akan tetapi hendaknya secara teoretik pengertian keduanya dibedakan.

Dalam kaitan ini terdapat dua pengertian tentang kuantitas infiltrasi, yaitu kapasitas infiltrasi, dan laju infiltrasi. Kapasitas infiltrasi adalah laju infiltrasi maksimum untuk suatu jenis tanah tertentu, sedangkan laju infiltrasi adalah laju infiltrasi nyata suatu jenis tanah tertentu. Secara fisik terdapat faktor yang berpengaruh, yaitu :

1. jenis tanah 2. kepadatan tanh


(44)

3. kelembaban tanah

4. tutup tumbuhan ( vegetation cover ) 5. kemiringan suatu daerah

6. penambahan zat kimia pada tanah

7. menutup areal permukaan tanah ( top soil )

Setiap jenis tanah mempunyai laju infiltrasi karakteristik yang berbeda, yang bervariasi dari yang sangat tinggi sampai yang sangat rendah. Jenis tanah berpasir umumnya cenderung mempunyai laju infiltrasi yang tinggi, akan tetapi tanah liat sebaliknya, cenderung mempunyai laju infiltrasi yang rendah. Untuk satu jenis tanah yang sama dengan kepadatan yang berbeda mempunyai laju infiltrasi yang berbeda pula. Makin padat suatu kondisi tanah, maka makin kecil pula laju infiltrasinya, begitu juga sebaliknya, makin renggang suatu kondisi butir-butir tanah, maka laju infiltrasinya akan semakin besar pula. Kelembaban tanah yang selalu berubah-ubah setiap saat juga berpengaruh terhadap laju infiltrasi. Makin tinggi kadar air dalam tanah, maka laju infiltrasi tanah tersebut makin kecil. Pengaruh tanaman diatas permukaan tanah terdapat dua pengaruh, yaitu berfungsi sebagai penghambat aliran di permukaan tanah sehingga kesempatan untuk berinfiltrasi akan semakin besar, sedangkan yang kedua adalah, sistem akar-akaran yang dapat lebih menggemburkan struktur tanahnya sehingga laju infiltrasi dapat menjadi cepat. Maka makin baik tutup tanaman yang ada, laju infiltrasi cenderung lebih tinggi. Kemiringan lahan memberikan pengaruh yang kecil terhadap infiltrasi, walaupun begitu, terdapat perbedaan infiltrasi antara lahan datar dengan lahan miring. Infiltrasi pada lahan datar akan lebih besar daripada lahan miring. Penambahan bahan kimia dalam tanah ada dua jenis. Yang pertama dimaksudkan untuk memperkuat formasi agregate


(45)

tanah, sehingga struktur tanah menjadi diperbaiki. Akibatnya bukan saja infiltrasi yang meningkat, tetapi juga pergerakan air di dalam tanah (perkolasi). Yang kedua dimaksud untuk melapisi permukaan tanah agar air yang mengalir diatasnya lancar, hal ini biasanya digunakan untuk saluran drainase. Pada kondisi ini infiltrasi bisa dikatakan tidak terjadi sama sekali. Apabila permukaan tanah tertutup oleh suatu bahan seperti beton, batako, dan sebagainya, maka areal tanah tersebut tidak bisa berinfiltrasi sama sekali.

Buckman and brady mengemukakan beberapa hal tentang infiltrasi sebagai berikut :

 Pori tanah terdiri dari dua macam yaitu pori makro dan pori mikro. Pori makro bersifat memudahkan lalu lintas udara dan air tanah. Pori mikro bersifat menghambat gerakan air, sehingga gerakan air hanya menjadi gerakan kapiler yang lambat. Total atau banyaknya kapasitas kedua pori tersebut kurang menentukan dalam mengalirkan air tanah karena tergantung pada jenis pori yang mendominasi. Untuk tanah bertekstur berpasir walaupun total porinya sedikit tetapi karena didominasi pori makro, maka tanah lebih mudah melalukan air. Sebaiknya untuk tanah-tanah berkadar liat tinggi, total pori tinggi, tetapi karena yang mendominasi adalah pori mikro, maka akan sulit melalukan air.

 Pengurangan bahan organik, akan mengakibatkan pengurangan pori makro dalam tanah, dan tanah akan sulit melalukan air. Hal ini terkait dengan kualitas tanah. Apabila tanah tersebut memiliki kualitas baik, dimana terdapat


(46)

banyak zat organik serta unsur hara, maka organisme tanah akan berperan dalam menyediakan pori makro bagi tanah melalui pergerakan mereka.

 Tanah dengan struktur butir lebih mudah melalukan air daripada tanah berstruktur pejal. Pembutiran tanah ini sangat dipengaruhi oleh bahan organik tanah. Sifat elektrokimia bahan organik dan liat sangat membantu dalam pembentukan agregate tanah dan memantapkannya sehingga tanah lebih remah dan tidak mudah menjadi pejal.

 Jumlah air yang bergerak di dalam tanah dipengaruhi oleh sejumlah faktor. (1) jumlah pemakaian air tanah, (2) kemampuan infiltrasi tanah, (3) total daya hantar air dari horison-horison yang lebih bawah,serta (4) jumlah air yang ditahan oleh tanah dalam kondisi kapasitas lapangan ( jenuh ).

Keempat faktor tersebut juga ditentukan oleh tekstur dan struktur dari berbagai horison tanah. Sebagai contoh tanah berpasir, tanah ini memiliki kemampuan infiltrasi dan total daya hantar air yang tinggi. Sedangkan kemampuan mengikat airnya rendah sehingga perkolasi cepat dan mudah.

Secara skematis, keterikatan infiltrasi dengan perkolasi dapat dijelaskan dengan sketsa pada gambar III.2. pada Gambar III.2a, skema formasi tanah, dengan lapisan atas mempunyai laju infiltrasi kecil, akan tetapi lapisan bawah mempunyai laju perkolasi tinggi. Sebaliknya, pada Gambar III.2b, lapisan atas dengan laju infiltrasi tinggi sedangkan laju perkolasi pada lapisan bawah rendah. Pada kasus pertama ( Gambar III.2a ), meskipun laju perkolasi tinggi, akan tetapi laju infiltrasi yang memberikan masukan air dari permukaan terbatas. Oleh sebab itu, dalam keadaan seimbang, dua keadaan ini lebih ditentukan oleh laju infiltrasi. Demikian pula sebaliknya ( Gambar III.2b ), laju perkolasi yang rendah menentukan keadaan


(47)

seluruhnya. Akan tetapi hendaknya diketahui bahwa dalam aplikasi dilapangan, proses yang terjadi tidak sesederhana hal tersebut, karena adanya kemungkinan aliran antara.

Infiltrasi terjadi secara demikian sehingga pada saat-saat awal mempunyai laju infiltrasi yang tinggi, akan tetapi makin lama makin rendah sehingga mencapai laju infiltrasi tetap.

Laju infiltrasi adalah banyaknya air yang masuk melalui permukaan tanah persatuan waktu, sedangkan kapasitas infiltrasi adalah laju air yang dapat memasuki tanah pada satu saat.

Dalam menentukan infiltrasi suatu permukaan tanah yang dihitung adalah lajunya. Laju infiltrasi diberi satuan inci per jam atau milimeter per jam. Kemampuan suatu tanah dalam menyerap air hujan ada batas maksimumnya dan ini dinamakan kapasitas infiltrasi. Steel mendefenisikan kapasitas infiltrasi sebagai laju infiltrasi maksimum yang dimiliki suatu tanah dalam meresap air hujan yang jatuh dipermukaannya. Jika curah hujan sama atau lebih besar daripada infiltrasi maka laju infiltrasi sama dengan kapasitas infiltrasi. Pada Gambar III.3, Schwab and frevert memberikan ilustrasi yang baik dalam bentuk kurva antara infiltrasi, curah hujan dan

run-off . pada awalnya laju infiltrasi lebih besar daripada curah hujan. Beberapa saat

Gambar III.2 Skema infiltrasi dan perkolasi pada dua lapis tanah


(48)

kemudian, laju infiltrasi terus menurun sampai akhirnya laju infiltrasi sama dengan curah hujan, dan laju infiltrasi telah mencapai kapasitas infiltrasi, dalam gambar ditunjukkan sebagai perpotongan antara kurva infiltrasi dengan curah hujan. Dalam periode waktu yang singkat tersebut, run-off belum terjadi, dalam gambar terlihat kurva off masih nol. Ketika curah hujan melebihi kapasitas infiltrasi, maka

run-off mulai terjadi. Laju infiltrasi terbesar biasanya terjadi pada permulaan hujan dan

berangsur-angsur berkurang hingga mencapai angka minimum yang konstan. Maka untuk perhitungan potensial aliran permukaan digunakan angka minimum konstan.

Gambar III.3 Bentuk Umum kurva infiltrasi dan run-off

(Schwab and frevert, 1981)

Dalam melakukan perhitungan laju infiltrasi, Horton mengemukakan rumusan infiltrasi sebagai berikut :

f = fc + ( f0 – fc ) x e-kt


(49)

fc = laju infiltrasi tetap (cm/jam)

f0 = laju infiltrasi awal (cm/jam)

k = konstanta HORTON t = waktu ( t )

e = 2.718281820

Gambar III.4 Kurva Laju Infiltrasi

( Horton, 1939 dalam Schwab and frevert, 1981)

III.2.1 Pengukuran

III.2.1.a Analisa Hidrograf

Hitungan infiltrasi dengan analisa hidrograf merupakan upaya pendekatan untuk memperoleh besaran infiltrasi rata-rata selama terjadi hujan. Memperhatikan siklus hidrologi dapat diamati bahwa debit yang terukur di stasiun hidrometri tertentu merupakan debit yang berasal dari empat sumber, yaitu channel


(50)

precipitation, aliran permukaan (surface runoff), aliran antara

(interflow,subsurface flow), dan aliran dasar (base flow, groundwaterflow).

Dalam analisis, dengan memperhatikan perilaku masing-masing komponen tersebut, pada umumnya aliran tersebut dipisahkan menjadi dua bagian, yaitu aliran permukaan (dengan pengertian termasuk didalamnya aliran antara) dan aliran dasar. Aliran dasar dianggap merupakan bagian aliran sungai yang ditimbulkan oleh infiltrasi, sehingga volume aliran dasar tersebut dapat dianggap sama dengan jumlah air yang terinfiltrasi. Karena berbagai kesulitan dalam memperkirakan bentuk eksponensial lengkung liku infiltrasi, maka besar infiltrasi dianggap tetap selama terjadinya hujan. Besar laju infiltrasi ini yang disebut sebagai indeks phi (phi indeks).


(51)

Ada beberapa cara dalam mengukur laju infiltrasi pada suatu daerah tertentu, antara lain :

Dengan menggunakan alat Single ring infiltrometer.

Dengan menggunakan alat Double ring infiltrometer.


(52)

III.2.1.a.1 Single ring infiltrometer

Pengukuran dengan single ring infiltrometer dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a) Terlebih dahulu lokasi yang akan diukur dibersihkan. Sebaiknya tanah yang terkelupas dapat dibuang.

b) Silinder ditempatkan tegak lurus dan diletakkan tegak lurus ke dalam tanah, sehingga bersisa kurang lebih 10 cm diatas permukaan tanah. Apabila tanah yang akan diukur merupakan tanah lunak, hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah. Akan tetapi apabila tanahnya merupakan tanah keras, maka untuk dapat memasukkan silinder tersebut memerlukan pemukulan dengan pukulan besi yang cukup berat. Dalam pemukulan tersebut hendaknya bagian atas pipa dilindungi terlebih dahulu dengan balok kayu yang cukup tebal, dan pemukulan harus dilakukan sedemikian sehingga silinder dapat masuk ke dalam tanah dengan tegak lurus. Pemukulan tidak dilakukan pada satu sisi karena silinder akan miring. Apabila pemukulan dilakukan pada sisi lain, maka silinder akan menjadi tegak, tetapi antara tanah dan silinder akan terbentuk rongga. Rongga demikian ini tidak boleh terjadi.

c) Air secukupnya disiapkan demikian pula stopwatch dan alat tulis.

d) Tabel disiapkan dan telah disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan hitungan (lihat contoh).

e) Apabila tidak tersedia tangki air dengan pengukur volume yang baik, maka pengukuran infiltrasi dapat dilakukan sebagai berikut :


(53)

1. Pada skala yang terdapat pada dinding silinder, ditarik dua garis dengan jarak misalnya 5 cm (tergantung dari jenis tanah yang diukur). Bila laju infiltrasi relative sangat kecil, untuk menghemat waktu pengamatan jarak 2 garis tersebut dapat diperkecil.

2. Air dituangkan sampai silinder penuh dan tunggu sampai air tersebut seluruhnya terinfiltrasi. Hal ini perlu dilakukan untuk menghilangkan retak-retak tanah yang merugikan pengukuran.

3. Air dituangkan kedalam silinder, sampai mencapai batas garis atas.

4. Waktu yang diperlukan oleh muka air untuk turun sampai garis batas bawah dicatat dengan stopwatch dan dicatat pada tabel yang telah disiapkan.

5. Air dituangkan kembali secepatnya kedalam silinder sampai garis batas atas, waktu penurunan muka air sampai garis batas bawah diukur lagi. 6. Hal tersebut dilakukan terus menerus, sampai waktru yang diperlukan

oleh muka air turun sampai garis batas bawah selalu tetap. Dalam hal demikian berarti laju infiltrasi telah tetap, atau nilai fc telah tercapai. 7. Dari data yang terkumpul dalam tabel dapat dihitung laju infiltrasi tiap

waktu tertentu. Dan apabila hasilnya digambarkan maka akan terlihat liku infiltrasi eksponensial.

8. Apabila dikehendaki hitungan yang lebih teliti, waktu yang diperlukan untuk mengisi kembali silinder mencapai garis batas atas perlu dicatat, karena kenyataannya pada saat tersebut infiltrasi tidak berhenti, sehingga jumlah infiltrasi dapat ditambahkan dengan mengambil anggapan laju infiltrasinya sama dengan laju infiltrasi yang baru saja diukur.


(54)

Catatan : untuk menghemat waktu, apabila diperhatikan waktu penurunan relative lama, maka garis batas bawah dapat diubah, sehingga jaraknya menjadi lebih pendek.

II.2.1.a.2 Double ring infiltrometer

Pengukuran dengan double ring infiltrometer pada dasarnya sama dengan yang dijelaskan sebelumnya (single ring infiltrometer). Perbedaannya adalah berikut ini :


(55)

1. Pada alat ini terdapat dua silinder, dengan diameter luar kurang lebih sama dengan dua kali diameter silinder sebelah dalam.

2. Dalam pemakaian, silinder dalam dimasukkan terlebih dahulu kedalam tanah, seperti yang dilakukan pada single ring infiltrometer. Setelah itu baru silinder kedua (silinder luar) dimasukkan secara konsentris kedalam tanah. Cara pemasukkannya sama dengan cara pemasukkan silinder pertama.

3. Setelah itu, ruang antara silinder luar dan silinder dalam diisi air, dan dibiarkan beberapa lama sampai habis.

4. Kemudian ruang tersebut diisi kembali, dan diikuti dengan pengisian ruang dalam silinder dalam.

5. Selanjutnya cara pengamatan dan pengukuran dilakukan dengan cara yang sama dengan cara yang disebutkan terlebih dahulu, dengan memperhatikan agar air diruang antara silinder luar dan silinder dalam selalu tetap tergenang.

Selanjutnya pengolahan data dilakukan dengan menggunakan rumus HORTON.

f(t)= fc + (f0 - fc)e-kt

Dengan,

f(t) = Laju Infilterasi pada waktu t ( cm/jam )

f0 = Laju Infiltasi awal ( cm/jam ) fc = Laju Infiltasi Tetap ( cm/jam )

k = Konstanta Geofisik t = Waktu


(56)

f(t) - fc = (f0 - fc)e-kt ……….(3.1)

Kemudian kedua persamaan tersebut di log kan menjadi :

Log ( f(t) - fc ) = log (f0 - fc) – kt log e……….…...….(3.2)

Atau,

Log ( f(t) - fc ) - log (f0 - fc) = – kt log e………...………(3.3)

[

log ( ) ) log( )

]

log 1 fc fo fc t f e k

t=− − − − ...(3.4) Atau, ) (log log 1 ) ) ( (log log 1 fc fo e k fc t f e k

t=− − + − ...(3.4) Persamaan diatas sama dengan persamaan Y= mX + C ……….……(3.5) Dengan, Y = t

e k m log 1 − =

x = Log ( f(t) - fc) ………(3.6)

) (log log 1 fc fo e k

C= − ) ………(3.7)

Dengan demikian persamaan ini dapat diwakilkan dalam sebuah garis lurus yang

mempunyai nilai e k m log 1 −

= . Bentuk dari garis lurus persamaan tersebut di perlihatkan dalam Gambar III.7 di bawah ini.


(57)

Gambar III.7 Grafik Hubungan t dan log ( fo-fc )

Contoh hitungan yang dilakukan dalam salah satu percobaan dapat dilihat dalam contoh berikut ini :

Tabel III.1 Contoh Hitungan Pengukuran Infiltrasi dengan Ring Infiltrometer Gambar III.8 Double Ring Infiltrometer


(58)

Waktu (menit)

Waktu (menit)

Volume air ditambahkan cm3

F cm F kom cm F cm/jam

0 0 0 0 0 0

1 0.0167 94 0.1775 0.1175 7.04

2 0.0167 182 0.11 0.2275 6.59

5 0.0500 305 0.1538 0.3813 3.08

10 0.0830 658 0.4417 0.8230 5.32

20 0.1670 1041 0.4780 1.3010 2.38

30 0.1670 1298 0.3215 1.6225 1.925

60 0.50 1647 0.4362 2.0587 0.87

90 0.50 1952 0.3813 2.4400 0.76

120 0.50 2160 0.2600 2.7000 0.52

Dari hitungan tersebut dapat digambarkan liku infiltrasi seperti dalam Gambar III.4.

Di bagian terdahulu dikatakan bahwa laju infiltrasi sangat dipengaruhi pula oleh kelembaban tanah. Oleh sebab itu, pengukuran yang dilakukan pada saat musim kemarau dapat sangat berbeda dengan pengukuran ditempat yang sama pada musim hujan.

III.2.1.a.3 Rainfall Simulator

Kerugian cara pengukuran dengan ring infiltrometer adalah bahwa pengaruh jatuhnya butir-butir hujan seperti yang terjadi di alam tidak dapat disimulasikan, karena cara ini dilakukan dengan menggenangi pipa dengan air (flooding). Dalam kaitan ini perlu diketahui bahwa jatuhnya partikel hujan mempunyai dua pengaruh terpenting, yaitu :


(59)

1. Memampatkan lapisan tanah teratas yang mengakibatkan mengecilnya kapasitas infiltrasi tanh tersebut.

2. Akibat pukulan oleh partikel hujan, maka partikel-partikel halus tanah akan terlempar. Bila terbawa aliran permukaan dan diendapkan dapat mengakibatkan penyumbatan pada pori-pori permukaan tanah, berakibat menurunnya kapasitas infiltrasi.

Untuk mensimulasikan kejadian itu maka dipergunakan rain simulator. Simulator ini tidak saja dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat infiltrasi, akan tetapi juga sangat bermanfaat untuk mempelajari karakteristik hidrograf untuk berbagai keadaan DAS, berbagai keadaan dan sifat hujan.

Pengukuran dengan rainfall simulator dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Penyiapan petak tanah yang akan digunakan sebagai tempat percobaan dengan ukuran yang sesuai dengan ukuran alatnya. Hendaknya diyakini bahwa petak tanah tersebut benar-benar telah dari daerah sekitarnya.

2. Alat dipasang ditempatnya. Intensitas hujan buatan yang akan digunakan perlu ditetapkan dahulu dengan mengatur debit pompa. 3. Hujan buatan dioperasikan dengan intensitas sesuai dengan yang telah

ditetapkan sebelumnya, dan sejak saat yang sama semua air yang keluar dari petak tanah dicatat. Pencatatan terus dilakukan sampai suatu saat debit yang keluar dari petak tanah tersebut mencapai nilai tetap (constant discharge). Bila keadaan itu telah tercapai, maka hujan


(60)

buatan dapat dihentikan. Pada keadaan demikian berarti telah tercapai keseimbangan antara hujan, debit, dan kehilangan air (infiltrasi). 4. Pada saat hujan buatan telah dihentikan tidak berarti debit yang keluar

dari petak tanah itu berhenti. Karena masih adanya surface detention maka masih terdapat aliran keluar dari petak tanah tersebut. Oleh sebab itu, pengukuran debit masih harus terus dilakukan sampai betul-betul debit keluar petak tanah sama dengan nol.

5. Selama masih terdapat air dipermukaan tanah, maka selama itu pula masih terjadi proses infiltrasi. Dalam hal ini laju infiltrasi diperkirakan sebanding dengan perbandingan debit dan infiltrasi pada saat hujan buatan dihentikan.

6. Evaluasi terhadap hasil percobaan ini dapat dilakukan dengan pengertian berikut. Memperhatikan bahwa pada saat hujan buatan mulai dihentikan sampai dengan debit keluar petak tanah sama dengan nol, maka pengertian serupa dapat dianalogikan pada saat pertama kali hujan buatan dioperasikan. Didalam petak tanah juga akan terjadi penampungan, sampai saat hujan seimbang dengan debit dan infiltrasi. Sehingga dengan pengertian tersebut maka volume air yang keluar melalui hujan buatan dihentikan (termasuk infiltrasi) dapat dianggap sama dengan volume air yang berbentuk pada saat hujan dimulai sampai terjadi keseimbangan. Maka garis lengkung infiltrasi dapat ditarik dengan coba-coba sehingga volume yang terjadi sama.


(61)

III.3.1 Keadaan kelembaban tanah

Bilamana curah hujan itu mencapai permukaan tanah, maka seluruh atau sebagiannya akan diabsorbsi ke dalam tanah. Bagian yang tidak diabsorbsi akan menjadi limpasan permukaan ( surface run-off ). Kapasitas infiltrasi curah hujan dari permukaan tanah ke dalam tanah sangat berbeda-beda yang tergantung pada kondisi tanah di tempat bersangkutan.

Permeabilitas tanah ditentukan oleh tekstur dan struktur butir-butir tanah. Tetapi perbedaan tekstur dan struktur menentukan juga kapasitas menahan kelembaban tanah.

Air dalam tanah ditahan oleh gaya absorbsi permukaan butir-butir tanah dan tegangan antara molekul air.

Disekeliling butir-butir tanah terdapat membran (lapisan tipis) iar higroskopis yang diabsorbsi secara intensif. Makin jauh air itu dari permukaan butir tanah, maka makin lemah gaya absorbsi tersebut. Pada suatu jarak tertentu air itu hanya akan ditahan oleh tegangan antara butir-butir tanah. Air ini disebut air kapiler. Jika air bertambah, maka air itu akan lebih dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan akan bergerak dalam rongga-rongga antara butir-butir tanah. Air ini disebut air gravitasi. Gaya yang menahan pergerakan air ini disebut kapasitas menahan air

(waterholding capacity) dan dinyatakan oleh gaya yang diperlukan untuk

memisahkan air dari tanah.

Banyaknya air dalam tanah pada suatu keadaan tertentu, umumnya disebut tetapan kelembaban tanah dan digunakan untuk menentukan sifat menahan air dari tanah. Banyaknya air yang dapat dikandung oleh tanah disebut kapasitas menahan air. Ada yang minimum dan ada yang maksimum. Kapasitas menahan air yang


(62)

maksimum adalah kapasitas pada keadaan permukaan air tanah tinggi. Keadaan ini adalah keadaan menahan air yang terdapat pada bagian lapisan tanah yang terdekat dengan permukaan air tanah. Kapasitas menahan air minimum adalah banyaknya air yang tersisa (dinyatakan dalam %) dari darinase alami tanah yang jenuh air. Keadaan ini disebut kapasitas lapangan (field capacity), karena keadaan ini adalah sama dengan keadaan menahan air dari tanah yang kering dengan permukaan tanah yang rendah sesudah mendapatkan curah hujan yang cukup selama satu sampai dua hari. Kapasitas air minimum ini juga penting dalam masalah infiltrasi. jika infiltrasi dari curah hujan lebih besar dari kapasitas menahan air yang minimum, maka air akan terus jatuh ke permukaan air tanah, tetapi jika infiltrasi lebih kecil dari kapasitas menahan air yang minimum, maka air akan tertahan dalam tanah dan tidak akan terjadi lairan ke permukaan tanah.

Kapasitas menahan air yang minimum yang menentukan infiltrasi disebut kapasitas menahan air normal.


(63)

Berat air Ww = W – Ws (g)... III.2

Kadar air W = Error! Bookmark not defined.{( )}

Ws Ws W

x 100 %

……… III.3

Laju Volume Air m = (Error! Bookmark not defined.Error!

Bookmark not defined. V Vw

) x 100 % ……… III.4

= { ) ( ) ( w V Ws Ws w Vs γ γ × × ×

× } x 100% …………. III.5 = W x Ga (%) ……… III.6

Berat jenis semu Ga =

) (V w

Ws

γ

× ………. III.7 Dimana γw : satuan berat air (γw = 1.0 gr/cm2)


(64)

III.3.2 Udara dalam tanah.

Tanah terdiri dari butir-butir tanah yang padat da bagian ruang yang terisi oleh udara dan air. Sebagian dari udara larut dalam air dan diabsorbsi dalam butir-butir halus koloidal ( diameter lebih kecil dari 0.001 mm ). Akan tetapi sebagian besar tersebar dalam bagian itu kecuali dalam ruang kapiler.

Komponen udara dalam tanah hampir sama dengan komponen-komponen udara di atmosfir. Tetapi kadar karbon dioksida jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang terdapat di atmosfir dan kelembaban udara hampir 100%.

Jika porositas dan laju volume air untuk setiap kedalaman lapisan-lapisan tanah didapat, ( lihat rumus III.5 ), maka laju kadar udara pada setiap kedalaman dapat di ketemukan. Volume ini disebut kapasitas menahan udara ( air-holding capacity ) dan volume udara terhadap volume keseluruhan disebut laju menahan udara (

air-holding rate ).

Kapasitas menahan udara dalam keadaan kapasitas menahan air yang maksimum adalah hampir nol. Mengingat tanah yang mengandung banyak koloid mengembang pada waktu mengabsorbsi air, maka dalam beberapa hal kapasitas menahan udara menjadi negatif.

Laju menahan udara dalam lapisan-lapisan tanah bukan hanya sangat bersangkutan dengan pertumbuhan tanaman tetapi juga dengan siklus hidrologi seperti terhentinya curah hujan untuk sementara waktu atau variasi permukaan air tanah. Laju menahan udara Pa = n – m (%) ... III.7

Porositas = (

V Vv


(65)

= ( 1 - G Ga

) x 100 % ... III.9

Dimana :

Vv : Volume bagian ruang, Vv = Va + Vw V : Volme seluruh contoh tanah.

Ga : Berat jenis semu butir-butir tanah. G : Berat jenis butir-butir tanah.

m : Laju volume air ( lihat rumus III.3 ).

III.4. Air Tanah

Hidrologi air tanah adalah pengetahuan mengenai terjadinya distribusi dan gerakan air tanah di bawah permukaan tanah. Geohidrologi mempunyai konotasi identik dengan hidrologi air tanah, sedangkan hidrogeologi lebih banyak mempunyai penekanan pada geologinya.

Yang dimaksud dengan air tanah adalah air yang menempati rongga – rongga dalam lapisan tanah. Lapisan tanah yang terletak dibawah permukaan air tanah dimaksud daerah jenuh ( saturated zone )., sedangkan daerah tidak jenuh terletak dari atas permukaan air tanah, sampai ke permukaan tanah, yang rongga-rongganya berisikan air dan udara. Karena air tersebut meliputi lengas tanah ( soil moisture ) dalam daerah perakaran ( root zone ), maka air mempunyai arti yang sangat penting bagi pertanian, botani, dan ilmu tanah. Antara daerah jenuh dan tak jenuh tidak ada garis batas yang tegas, karena keduanya mempunyai mempunyai batas yang interdependen, dimana air pada daerah tersebut dapat bergerak ke daerah yang lain atau sebaliknya.


(66)

Beberapa pengetahuan yang menyangkut tanah seperti geologi, hidrologi, meteorologi, dan oceanografi sangat berkepentingan dengan air tanah. Tetapi hidrologi air tanah tidak dapat dipandang sebagai pengetahuan khusus yang merangkum unsur geologi, hidrologi, dan mekanika fluida. Geologi mempengaruhi distribusi air tanah, hidrologi menentukan pemasokan ( supply ) air ke tanah, dan mekanika fluida menjelaskan pergerakan air tanah.

Air tanah merupakan sumber daya yang penting dalam menyediakan air diseluruh dunia. Penggunaannya dalam irigasi, industri, dan air minum makin meluas. Sedangkan penggunaannya sebagai air pendingin ”air conditioning” menyebabkan adanya permintaan yang membesar sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Dengan adanya kekurangan-kekurangan akan air tanah di banyak kawasan, memaksa kita untuk mengadakan perkiraan yang tepat, mengembangkan kearah yang benar, mengatur dan melindungi sumber-sumber yang ada demi kelestarian sumber daya alam tersebut.

III.4.1 Terjadinya Air Tanah

Untuk menguraikan bagaimana terjadinya air tanah, diperlukan peninjauan kembali bagaimana air tanah tersebut berada. Distribusinya dibawah permukaan tanah dalam arah vertikal dan horizontal harus dimasukkan dalam pertimbangan. Zone geologi yang sangat mempengaruhi air tanah, dan strukturnya dalam arti kemampuannya dalam menyimpan diidentifikasi. Dengan anggapan bahwa kondisi hidrologi menyediakan air kepada zone bawah tanah, maka lapisan-lapisan bawah tanah akan melakukan distribusi dan mempengaruhi gerakan air tanah, sehingga peranan terhadap air tanah tidak dapat diabaikan.


(67)

Hampir semua air tanah dapat dianggap sebagai bagian luar dari daur hidrologi, termasuk air permukaan dan air atmosfir. Sejumlah kecila air tanah yang berasal dari sumber lain dapat pula masuk ke dalam daur tersebut. Air connate adalah air yang terperangkap dalam rongga-rongga batuan sedimen pada saat diendapkan. Air tersebut dapat berasal dari air laut atau air tawar, dan bermineral tinggi. Air yang berasal dari magma gunung berapi atau kosmik yang bercampur dengan air terestik dinamakan air juvenil. Dilihat dari sumbernya, air juvenil dapat disebut air magma, air vulkanik, atau air kosmik.

III.4.1.b Sifat-sifat batuan yang Mempengaruhi Air Tanah

Air tanah berada dalam formasi geologi yang tembus air (permeable) yang dinamakan akuifer, yaitu formasi-formasi yang mempunyai struktur yang memungkinkan adanya gerakan air yang melaluinya dalam kondisi medan ( field

condition ) biasa. Sebaliknya formasi yang sama sekali tidak tembus air

(impermeable) dinamakan aquiclude. Foemasi tersebut mengandung air, tetapi tidak memungkinkan adanya gerakan ar yang melaluinya, sebagai contoh dalam tanah liat.

Aquifuge adalah formasi kedap air yang tidak mengandung atau mengalirkan air,

dan yang termasuk dalam kategori ini adalah granit keras.

Bagian batu yang terisi oleh bagian padatnya ( butirnya ) akan diisi oleh air tanah. Ruang- ruang tersebut dinamakan rongga-rongga ( voids,interstices ) atau pori-pori. Karena rongga-rongga tersebut dapat bekerja sebagai pipa air tanah, maka rongga-rongga tersebut ditandai oleh besarnya, bentuknya, ketidakteraturannya (irregularity) dan distribusinya. Rongga – rongga primer


(68)

terbentuk selama proses geologi yang mempengaruhi asal dari formasi geologi, yang didapatkan pada batuan sedimen dan batuan beku. Rongga-rongga sekunder terjadi setelah batuan terbentuk; sebagai contoh joints, fractures, lubang-lubang yang dibuat oleh binatang dan tumbuhan. Mengingat besarnya rongga-rongga tersebut dapat diklasifikasikan sebagai kapiler, super-kapiler, dan sub-kapiler. Rongga-rongga kapiler cukup kecil, sehingga menimbulkan adanya tegangan permukaan yang menahan air. Rongga-rongga super-kapiler lebih besar dari pada rongga kapiler, sedangkan rongga-rongga sub-kapiler lebih kecil, sehingga dapat menahan air karena gaya-gaya adhesinya. Tergantung kepada hubungan antara rongga-rongga tersebut dapat digolongkan rongga berhubungan dan tertutup. Porositas batuan atau tanah merupakan ukuran rongga-rongga yang terdapat di dalamnya. Ini dinyatakan dalam persentasi antara ruang-ruang kosong terhadap volume massa. Jika n nerupakan porositas, maka

n =

V w

100

... III.10

dengan w = volume air yang diperlukan untuk mengisi semua lubang- lubang pori

V = volume total batuan atau tanah.

Dipandang dari sudut pasok ( supply ) air tanah, batuan sedimen yang berbutir mempunyai arti yang penting sekali. Porositas dari endapan ini tergantung pada bentuk dan susunan masing-masing butir dan tingkat pemadatannya. Dalam formasi padat terbuangnya mineral oleh pelarutan dan tingkat frakturnya juga merupakan faktor yang penting. Besarnya porositas berada mendekati 0% sampai


(69)

lebih dari 15%, tergantung kepada faktor-faktor tersebut diatas dan tipe material. Nilai-nilai porositas untuk beberapa bahan sedimen dapat dilihat pada Tabel III-1

Bahan Porositas (%)

Tanah Tanah liat Lanau (silt)

Pasir medium sampai kasar

Pasir berbutir serba sama (uniform) Pasir halus sampai medium

Kerikil

Kerikil berpasir Batu pasir

Shale

Batu Kapur

50 – 60 45 – 55 40 – 50 35 – 40 30 – 40 30 – 35 30 – 40 20 – 35 10 – 20 1 – 10 1 – 10 Tabel. III.2 Porositas Beberapa Bahan Sedimen

III.4.1.c Distribusi Vertikal Air Tanah.

Terdapatnya air tanah di bawah permukaan tanah dibagi dalam zona jenuh dan zona tak jenuhdalam zona jenuh, semua rongga terisi oleh air dibawah tekanan hidrostatis. Zona tak jenuh terdiri atas rongga-rongga yang berisi sebagian oleh air dan sebagian oleh udara. Zona tak jenuh terletak diatas zona jenuh sampai ke permukaan tanah (lihat Gambar III.9). zona jenuh disebelah atasnya dibatasi oleh


(1)

Temperatur ideal yang diperlukan pada saat awal proses pengomposan adalah 55 60°C dan temperatur yang masih diperbolehkan untuk proses pengomposan adalah 40-70°C (Hadiwijaya, 1999).

4. Perbandingan C/N

Perbandingan C/N yang optimum untuk proses pengomposan adalah berkisar antara

25-50. Perbandingan ini masih optimum untuk sistem aerobik. Pada rasio yang lebih

rendah akan terbentuk amonia dan aktivitas biologi akan terhalang. Sedangkan pada

rasio yang lebih tinggi nitrogen menjadi faktor yang terbatas sehingga pengomposan

menjadi lebih lambat (Tchobanoglous et al, 1993). 5. Derajat Keasaman (pH)

Untuk mencapai dekomposisi secara aerobik yang optimal pada proses pengomposan maka pH yang dibutuhkan adalah 7-7,5 (Tchobanoglous et al, 1993). Rentang maksimum pH untuk kebanyakan bakteri adalah 6-7,5 sedangkan untuk jamur 5-8. Berdasarkan uraian tersebut maka kondisi optimum pH adalah 7 atau mulai dari

5 sampai 8 (Wahyono dkk, 2003)

Kompos yang telah matang mempunyai ciri ciri: suhu tumpukan ±30 °C, rasio C/N 10-20, berbau tanah, berwarna coklat tua sampai kehitaman dan berstruktur remah dan berkonsentrasi gembur.


(2)

Dari faktor-faktor tersebut, terdapat beberapa poin yang dapat kita jadikan sebagai indikator dalam penguraian ( pengomposan ).

Hasil dari penelitian saya, sampah organik yang saya masukkan ke dalam Lubang Resapan Biopori akan terurai dengan cara anaerob, sebab selain muka air tanah pada wilayah yang saya tinjau berada pada 1,3 m dari permukaan tanah, juga karena jenis tanahnya merupakan jenis tanah lempung. Dimana jenis tanah ini merupakan jenis tanah yang berbutir halus, dan apabila terkontaminasi dengan air, maka sifat tanah tersebut akan padat ( compact ). Oleh karena itu, keberadaan air dalam lubang akan bertahan dalam waktu yang cukup lama, dan air tersebut akan menggenangi timbunan sampah yang ada pada lubang.

Dalam peninjauanyang dilakukan, diambil beberapa faktor indikator proses penguraian sampah tersebut, diantaranya :

1. Perubahan warna pada sampah organik. 2. Ph

3. Tekstur.


(3)

Tabel IV.34 Pengamatan Penguraian Sampah Pada Lubang Resapan Biopori I

No Tanggal

Hari

Ke- pengamatan Perubahan Warna sampah Ph Tekstur

1 3/20/2010 1 Hijau 7 Sampah Segar

2 3/27/2010 8 Hijau Kecoklatan 5.5 Sampah Layu

3 4/3/2010 15 Coklat Muda 7.5 Sampah Layu

4 4/10/2010 22 Coklat Agak Tua 8 Sampah Layu + Cacing

5 5/17/2010 29 Coklat tua 8 Sampah Layu + Cacing

6 5/24/2010 36 Coklat 8 Sampah Busuk + Cacing + Tanah

7 5/30/2010 42 Cokalt Kehitaman 7.5 Sampah Busuk + Cacing + Tanah 8 5/3/2010 45 Hitam Kecoklatan 7.5 Sampah Busuk + Cacing + Tanah

9 5/8/2010 50 Hitam 7.5 Lumut Busuk + Cacing + Tanah

10 5/15/2010 57 Hitam 7.5 Lumut Busuk + Cacing + Tanah

Ph

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

0 10 20 30 40 50 60

Hari Ke Ph

Hasil pengamatan-pengamatan untuk lubang II, III, IV, sampai dengan lubang VII, dapat dilihat pada lampiran I.4.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Siradz, Samsul., Bambang D. Kertonegoro., dan Suci Handayani., ”Jurnal : Peranan Uji In Situ Laju Infiltrasi Dalam Pengelolaan DAS Grindulu-Pacitan” Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2003.

Ambarwati., Yuli Kusumawati., dan Dwi Linna Suswardany, ”Peran Effective Microorganism-4 (EM-4) Dalam Meningkatkan Kualitas Fisik Dan Biologis Kompos Ampas Tahu.” Infokes Jurnal Vol-8 no 1 2004.

Section 1.01 Hasibuan, Rusli. “Pengertian Biopori & Cara Membuat Lubang

Resapan Biopori

http//www.pdfsearch.com/2infokes_8(1)_ambarwati.pdf

Section 1.02 Air (LRB) Pada Lingkungan Sekitar Kita.” http

://www.pengertian-

Section 1.03 biopori-cara-membuat-lubang-resapan-biopori-air-lrb-pada-lingkungan-

Section 1.04 sekitar-kita.htm (diakses tanggal 15 Oktober 2009)

Hartono, Sri., Analisis Hidrologi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Isroi., ”Pengomposan Limbah Padat Organik”

http//www.pdfsearch.com/ KomposLimbahPadatOrganik.pdf

Mulyanto, H.R., Pengembangan Sumber Daya Air Terpadu, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.


(5)

Nia., ”Kompos” Solo: , http//www.pdfsearch.com/Kompos.pdf

Section 1.05 Purwakusuma, Wahyu. “Biopori Teknologi Tepat Guna dan

Ramah Lingkungan”

Section 1.06

tanggal 15 Oktober

Section 1.07 2009)

Section 1.08 Purwakusuma, Wahyu. “Biopori : Sederhana Atasi Banjir.” Section 1.09 http://www.teknopreneur.com/content/biopori-sederhana-atasi-banjir

Section 1.10 (diakses tanggal 15 Oktober 2009)

Rizal, M. Znuar., dan Nora H. Panjaitan, ”Buletin Keteknikan Pertanian : Evaluasi Persamaan Infiltrasi Kostiakov dan Philip Secara Empirik Untuk Tanah Regosol Coklat Kekelabuan” Bogor: Institute Pertanian Bogor, 1999.

Rusli, Muhammad., ”Tugas Akhir : Desain Sumur Resapan Dengan Konsep Zero

Run Off Dikawasan Dusun Jaten Sleman Yogyakarta” Yogyakarta:

Universitas Islam Indonesia, 2008.

Sangsongko, Djoko, Teknik Sumber Daya Air, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1985. Setyorini, Diah., Rasti Saraswati., dan Ea Kosman Anwar. “Kompos”

Jurnal Pupuk Organik dan Pupuk Hayati 2006. http//www.pdfsearch.com /pupuk2.pdf


(6)

Seyhan, Ersin, Dasar-Dasar Hidrologi, Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1990. Soemarto, Hidrologi Teknik, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995.

Sosrodarsono, Suyono, Hidrologi Untuk Pengairan, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1983.

Suardianto, Anang., dan Agus Susanto, Laporan Penelitian: Pengukuran Laju

Infiltrasi Tanah Untuk Penentuan Sumur Resapan (studi kasus : Reni Jaya, Desa Pondok Benda, Kecamatan Pamulang, Jawa Barat,

Universitas Terbuka: 2002

Warsana., ”Kompos Cacing Tanah (CASTING) dalam Tabloit Sinar Tani”. Jawa Tengah: 2009.

Zaman, Badrus., dan Endro Sutrisno, “Studi Pengaruh Pencampuran Sampah Domestik, Sekam Padi, dan Ampas Tebu Dengan Metode Mac Donald Terhadap Kematangan Kompos.” Jurnal Presipitasi Vol. 2 No.1 Maret

2007, ISSN 1907-187X. http//www.pdfsearch.com /halaman_1-7__Badrus__Endro.pdf