TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman
Meurut Steenis 2003 klasifikasi tanaman kedelai adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta, Sub Divisio : Angiospermeae,
Class : Dicotyledoneae, Ordo : Leguminales, Family : Poaceae, Genus : Glycine, Spesies :
Glycine max
L. Merill.
Akar kedelai terdiri atas akar tunggang, akar lateral, dan akar serabut. Pada tanah yang gembur, akar ini dapat menembus tanah sampai kedalaman
hingga 15 cm. Pada akar lateral terdapat bintil akar yang merupakan kumpulan bakteri rhizobium pengikat N dari udara. Bintil akar ini biasanya akan terbentuk
15-20 heri setelah tanam. Pada tanah yang belum pernah ditanami kedelaia atau kacang kacangan lainnya, bintil akar tidak akan tumbuh. Oleh karena itu benih
yang akan ditanam harus dicampur dengan legin Suprapto, 1989. Kedelai berbatang semak, dengan tinggi batang antara 30-100 cm. Setiap
batang dapat membentuk 3-6 cabang. Bila jarak antara tanaman dalam barisan rapat, cabang menjadi berkurang atau tidak bercabang sama sekali. Untuk itu
diperlukan jarak tanam yang tepat Rubatzky dan Yamaguchi, 1998. Daun kedelai hampir seluruhnya trifoliat menjari tiga dan jarang sekali
mempunyai empat atau lima jari daun. Bentuk daun tanaman kedelai bervariasi, yakni oval dan lanceolate, tetapi praktisnya, diistilahkan dengan berdaun lebar
broad leaf dan berdaun sempit narrow leaf. Kedelai berdaun sempit lebih banyakditanami oleh petani dibandingkan tanaman kedelai berdaun lebar,
walaupun dari aspek penyerapan sinar matahari, tanaman kedelai berdaun lebar menyerap sinar matahari lebih banyak daripada yang berdaun sempit. Namun
Universitas Sumatera Utara
keunggulan tanaman kedelai berdaun sempit adalah sinar matahari akan lebih mudah menerobos di antara kanopi daun sehingga memacu pembentukan bunga
Adisarwanto, 2007. Bunga kedelai termasuk bunga sempurna, artinya dalam setiap bunga
terdapat alat jantan dan betina. Penyerbukan terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup, sehingga kemubgkinan terjadinya kawin silang secara alam amat
kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas batang, berwarna ungu atau putih. Tidak semua bunga dapat menjadi polong walaupun telah terjadi penyerbukan secara
sempurna. Menurut penelitian sekitar 60 bunga rontok sebelum membentuk polong Suprapto, 1989.
Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong yang terbentuk
pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50,
bukan ratusan. Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong
menjadi maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini kemudian diikuti oleh perubahan warna polong Irwan, 2006.
Biji kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak diantara keping biji. Warna kulit biji bermacam- macam, ada yang kuning, hitam,
hijau atau coklat. Pusar biji atau hilum adalah jaringan bekas biji kedelai yang menempel pada dinding buah. Bentuk biji kedelai umumnya bulat lonjong, ada
yang bundar atau bulat pipih. Besar biji tergantung varietas Suprapto, 1989.
Universitas Sumatera Utara
Syarat Tumbuh Iklim
Tanaman kedelai sebagian besar tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Sebagai barometer iklim yang cocok bagi kedelai adalah bila cocok
bagi tanaman jagung. Bahkan daya tahan kedelai lebih baik daripada jagung. Iklim kering lebih disukai tanaman kedelai dibandingkan iklim lembab
Prihatman, 2000. Kedelai adalah tanaman cuaca panas cocok untuk pertumbuhan sepanjang
tahun di sebagian besar daerah tropis. Suhu minimal 15 C diperlukan untuk
berkecambah benih dan rata-rata suhu 20-25 C untuk tumbuh tanaman. Kedelai
memerlukan setidaknya moderat kelembaban tanah untuk berkecambah dan bibit untuk menjadi mapan, tetapi membutuhkan kering cuaca untuk produksi biji
kering perhatikan bahwa segar, biji hijau untuk konsumsi langsung dapat diproduksi selama musim hujan. Kedelai menderita jika tanah tergenang air.
Tanaman kedelai dapat menahan kekeringan yang cukup Martin, 1998. Kedelai menghendaki air yang cukup pada masa pertumbuhannya,
terutama pada saat pengisian biji. Curah hujan yang optimal untuk budidaya kedelai adalah 100-200 mmbulan, sedangkan tanaman kedelai dapat tumbuh baik
di daerah yang memiliki curah hujan sekitar 100-400 mmbulan Herawati, 2009.
Tanah
Tanaman kedelai sebenarnya dapat tumbuh di semua jenis tanah, namun demikian, untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan produktivitas yang optimal,
kedelai harus ditanam pada jenis tanah berstruktur lempung berpasir atau liat berpasir Irwan, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya kedelai menghendaki kondisi tanah yang tidak terlalu basah, tetapi air tetap tersedia. Jagung merupakan tanaman indikator yang baik bagi
kedelai. Tanah yang baik ditanami jagung, baik pula ditanami kedelai. Kedelai tidak menuntut struktur tanah yang khusus sebagai suatu persyaratan tumbuh.
Bahkan pada kondisi lahan yang kurang subur dan agak asam pun kedelai dapat tumbuh dengan baik, asal tidak tergenang air yang akan menyebabkan busuknya
akar. Kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah, asal drainase dan aerasi tanah cukup baik Prihatman, 2000.
Kedelai membutuhkan pupuk, termasuk macronutrients fosfor dan kalium P dan K dan kadang-kadang mikronutrien. Nitrogen tidak diperlukan jika
kedelai yang diinokulasi dengan benar. Kedelai membutuhkan jumlah yang agak besar fosfor, kalsium, magnesium, dan sulfur. Elemen kecil kadang-kadang
diperlukan. Kedelai tidak dapat direkomendasikan untuk tanah yang tidak dibuahi Martin, 1998.
Salinitas
Tanah salin adalah salah satu lahan yang belum dimanfaatkan secara luas untuk kegiatan budidaya tanaman, hal ini disebabkan adanya efek toksik dan
peningkatan tekanan osmotik akar yang mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan tanaman Slinger Tenison, 2005.
Secara umum cekaman salinitas membahayakan tanaman melalui tiga cara yaitu : 1 level garam tinggi menyebabkan tekanan osmotik meningkat
potensial air pada media perakaran lebih rendah atau negatif sehingga menyebabkan tanaman mengalami cekaman kekeringan. 2 Toksisitas ion seperti
ion-ion Cl-dan Na+yang berlebihan. 3 Ketidak seimbangan unsur hara akibat
Universitas Sumatera Utara
penghambatan penyerapan nutrisi, serta kombinasi dari faktor-faktor tersebut Ashraf dan Harris, 2003; Gorham, 2007. Dampak cekaman salinitas terhadap
tanaman dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti: konsentrasi ion, lama terjadinya cekaman, spesies tanaman, kultivar, fase pertumbuhan tanaman, organ
tanaman dan kondisi lingkungan. Dua tipe utama mekanisme toleransi tanaman terhadap salinitas yaitu 1
meminimalkan jumlah garam yang masuk ke dalam tanaman atau memperkecil akumulasinya pada jaringan fotosintetik dan 2 meminimalkan konsentrasi garam
di dalam sitoplasma. Toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas tergantung pada morfologi, kompartemen dan senyawa organik kompatibel, pengaturan
transpirasi, kontrol pergerakan ion, karakteristik membran, tingginya rasio NaK pada sitoplasma serta kelenjar garam Flowers dan Flowers, 2005. Hasil
penelitian Aini et al. 2012 menyatakan bahwa respon tanaman pada cekaman salinitas berbeda pada spesies atau genotip yang berbeda.
Tanah salin adalah tanah yang mengandung garam NaCI terlarut dalam jumlah banyak sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman. Larntan
garam tanah biasanya tersusun daTi ion Na+, Ca++, Mg ++, CI-, CO4-2 dan CO3-2 Donahue et al., 1983 , sehingga pengikatan NaCl akan menurunkan
kadar Kalium Suwarno, 1985. Walaupun Na, Cl clan ion lain meracun tanaman, tetapi pengaruh negatlf tanah salin terhadap pertumbuhan tanaman
lebih dikarenakan efek tekanan osmose Donahue et al, 1983. Tingkat salinitas tanah dikelompokkan menjadi :
1 Salinitas rendah dengan daya hantar listrik DHL = 2-4 mmhoscm. 2 Salinitas sedang dengan DHL sebesar 4-8 mmhosl
Universitas Sumatera Utara
3 Salinitas tinggi dengan DHL sebesar 8-15 mmhosl 4 Salinitas sangat tinggi dengan DHL lebih dari 15 mmhoscm.
Menurut Soepardi 1979 kelebihan atau akumulasi garam dapat terjadi melalui : a adanya evaporasi yang tinggi dibeberapa daerah seperti rawa
Evaporasi ini mempercepat terjadinya pengendapan garam dipermukaan tanah b intrusi air laut melalui sungai yang sering terjadi di daerah muara sebagai
akibat naik turunnya air laut karena peristiwa pasang surut. Spesies-spesies tanaman mempunyai toleransi yang berbeda-beda
terhadap kadar garam di dalam tanah, dan berakibat spesifik pula untuk masing-masing spesies Donahue et al., 1983. Pada tanaman di padi dengan
tekanan osmose 6 decisiemens per meter mengakibatkan berkurangnya basil sebesar 25, gandum berkurang hasilnya 25 pada tekanan osmose 8
decisiemens per meter, sedangkan kedelai mulai berkurang hasilnya pada tekanan osmose 7 decisiemens per meter. Dengan demikian nampaknya
kedelai lebih toleran terhadap salinitas dibanding padi. Pada penelitian generasi F2 diperoleh bahwa jumlah tanaman yang
ditanam sebanyak 751 tanaman. Tanaman yang mampu hidup berdasarkan penelitian yang memiliki salinitas yang tinggi sebanyak 510 tanaman. Dari hasil
penelitian tersebut diperoleh tanaman yang mampu bertahan hidup tersebut menggunakan suatu mekanisme toleransi dengan mengubah tipe pertumbuhan
dari determinate menjadi indeterminate. Tanaman determinate menghasilkan biji besar sedangkan tipe indeterminate menghasilkan biji kecil Wahyudi, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Sebaran Normal Karakter-Karakter Pertumbuhan Dan Produksi
Menurut Mahendra 2010 benih F2 merupakan populasi yang bersegregasi. Tingkat segregasi dan rekombinan yang luas pada generasi F2 ini
tergambar melalui sebaran frekuensi genotipenya. Sebaran frekuensi tersebut dapat digunakan sebagai penduga pola pewarisan sifat dan jumlah gen yang
terlibat dalam pengendalian suatu sifat. Sebaran data yang menyimpang dari sebaran normal sangat berpengaruh
terhadap proses seleksi pada generasi berikutnya karena pengukuran kemajuan genetik yang dihitung berasarkan asumsi bahwa data menyebar normal
Bari, 1998. Data yang bersifat kontinu tetapi tidak menyebar normal dapat disebabkan
oleh pengaruh lingkungan yang besar atau interaksi genotipe dengan lingkungan Falconer dan Mackay, 1996.
Karakter agronomi suatu tanaman dikelompokkan menjadi dua yaitu karakter kualitatif dan karakter kuantitatif. Karakter kualitatif dikendalikan oleh
satu sampai dua gen mengikuti nisbah Mendel atau modifikasinya. Karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen yang pola segregasinya tidak mengikuti
nisbah Mendel atau modifikasinya Fehr, 1987. Beberapa karakter agronomi penting seperti hasil, ukuran biji, bobot
biomassa, ketahanan terhadap cekaman biotik dan toleransi terhadap cekaman abiotik dikendalikan oleh banyak gen dengan efek yang kecil. Efek karakter ini
dinamakan karakter poligenik. Pewarisan pada karakter yang poligenik dinamakan pewarisan kuantitatif. Efek gen secara individual tidak dapat dilacak
Universitas Sumatera Utara
sehingga pada
karakter yang
poligenik tidak
dapat dikelompokkan
chahal and Gosal, 2002. Pada tanaman menyerbuk sendiri tingkat segregasi yang tertinggi terjadi
pada generasi F2 Welsh, 1991. Menurut Crowder, 1997, tingkat segregasi dan rekombinan yang luas pada generasi ini tergambarkan melalui sebaran frekuensi
genotipenya. Hal tersebut dapat digunakan sebagai penduga pewarisan sifat dan jumlah gen yang terlibat dalam pengendali suatu sifat.
Karakter agronomi merupakan karakter tanaman berdasarkan morfologi dan hasil tanaman yang dibagi ke dalam karakter kualitatif dan karakter
kuantitatif. Karakter kualitatif umumnya dicirikan dengan sebaran fenotipenya diskontinu yang dikendalikan oleh gen monogenik ataupun oligogenik yang
pengaruh gen secara individu mudah dikenal. Karakter kuantitatif umumnya dicirikan oleh sebaran fenotipenya kontinu atau menunjukkan sebaran normal dan
dikendalikan oleh banyak gen yang masing-masing gen berpengaruh kecil terhadap ekspresi suatu karakter Trustinah, 1997.
Fakta beragamnya pola populasi segregasi F2 dari delapan kombinasi persilangan kedelai tersebut diduga terjadi karena adanya pengaruh pewarisan di luar inti yang
berperan atau pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan tumbuh panjang hari dan suhu pada saat pemunculan
emergence
berpengaruh terhadap munculnya ekspresi daun multifoliolate pada pertumbuhan kedelai selanjutnya Orf
et al
, 2006
Universitas Sumatera Utara
Aksi Gen Aditif Epistasis Duplikat Dan Komplementer
Keragaman genetik terdiri atas ragam genetik aditif, dominan, dan epistasis. Ragam genetik aditif adalah ragam genetik yang menyebabkan
terjadinya kesamaan sifat diantara tetua dan turunannya. Fenotipe pada aksi gen aditif disebabkan penjumlahan dari masing-masing alel tanpa
interaksi dengan alel lain interaksi alelik atau non alelik, sedangkan pada aksi gen epistasis, fenotipe ditentukan oleh interaksi alel-alel dari lokus
yang berbeda Roy, 2000. Menurut Jayaramachandran
et al
. 2010, penyebaran karakter kuantitatif pada tanaman
yang menjulur ke kiri atau ke kanan menunjukkan adanya pengaruh
lingkungan, interaksi genotipe dan lingkungan, pautan gen, dan epistasis.
Penyebaran karakter panjang tajuk, nisbah panjang tajuk akar, bobot basah akar,
bobot basah tajuk, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk yang
tidak membentuk sebaran normal terjadi karena keterlibatan
gen-gen non aditif dalam mengendalikan keragaman pada
populasi F2 atau karena pengaruh lingkungan yang besar
dan dikendalikan oleh aksi gen aditif epistasis yang bersifat Komplementer.
Interaksi antar alel epistasis yang lebih penting pada tanaman menyerbuk sendiri, seperti kedelai adalah interaksi aditif x aditif. Bentuk interaksi ini dapat
terfiksasi pada generasi lanjut Barona
et al
., 2012. Pada populasi F2 aksi gen yang terjadi bersifat epistasis aditif x aditif yang masih
belum terfiksasi tetapi diharapkan interaksi gen epistasis pada populasi F2 ini dapat diwariskan ke generasi selanjutnya. Bila seleksi dilakukan pada generasi
lanjut F5 diharapkan aksi gen epistasis aditif x aditif dan aksi gen aditif telah
Universitas Sumatera Utara
terfiksasi, sehingga pada generasi ini tingkat homozigositasnya telah tinggi ± 95 Santoso, 2007.
Pola segregasi populasi F2 untuk karakter-karakter agronomi bersifat epistasis dominan resesif. Hal ini berarti bahwa karakter-karakter tersebut dikendalikan
oleh gen yang bereaksi epistasis dominan-resesif artinya gen dominan pada satu lokus dan gen resesif pada lokus lain mempengaruhi penampakan fenotipe yang
sama Stansfield dan Susan, 2006. Toleransi kedelai terhadap tanah masam dikendalikan oleh aksi gen aditif yang
juga dipengaruhi aksi gen epistasis. Pewarisan sifat jumlah polong kedelai di tanah masam dikendalikan oleh aksi gen epistasis. Aksi gen epistasis berperan
penting dalam adaptasi tanaman terhadap cekaman abiotik seperti cekaman aluminium Phillips, 2008.
Menurut Bnejdi
et al
. 2011 aksi gen yang mengendalikan suatu karakter pada generasi awal sulit dipisahkan dari epistasis duplikat. Epistasis duplikat adalah
interaksi epistasis antara gen aditif x aditif, interaksi antar lokus ini dapat meningkatkan toleransi kedelai terhadap Al pada kondisi tercekam.
Universitas Sumatera Utara
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Plastik Buatan dalam Rumah Kasa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat
± 25 m diatas permukaan laut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2015 sampai dengan Agustus 2015.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih Kedelai F2 hasil persilangan Varietas Anjasmoro dengan Genotipe tahan salin sebagai objek
penelitian, tanah salin 5- 6 DHL sebagai media tanam, pupuk Urea, TSP dan KCl untuk pemupukan dasar, Polybag 10 kg sebagai wadah tanam, plastik bening
15 kg untuk pelapis polybag, fungisida untuk mengendalikan jamur, insektisida untuk mengendalikan hama, air untuk menyiram tanaman, dan label untuk
memberi tanda pada polybag serta selang untuk menyiram tanaman. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pengukur kadar
garam Electro Conductivity Meter untuk mengukur DHL tanah salin, gembor untuk menyiram tanaman, timbangan untuk menimbang pupuk dan tanah, cangkul
dan alat lain yang mendukung penelitian ini serta termometer untuk mengukur suhu lingkungan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan tanpa ulangan. Uji kenormalan sebaran data dan frekuensi genotipe generasi F
2
dilakukan untuk masing-masing karakter
menggunakan uji kenormalan Shapiro-Wilk dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel dan Minitab versi 16.0.
Universitas Sumatera Utara
Kenormalan data dilihat dari nilai kemenjuluran Skewness dan Kurtosis. Menurut Roy 2000, apabila nilai skewness dan kurtosis yang diperoleh:
Skewness = 0
sebaran normal =aksi gen aditif
Skewness
Skewness terdapat
kemenjuluran atau sebaran tidak normal
=aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis duplikat
=aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis komplementer
Kurtosis = 3
Bentuk grafik mesokurtik Kurtosis
3 bentuk
grafik sebaran
platykurtik =karakter dikendalikan oleh
banyak gen Kurtosis
3 bentuk
grafik sebaran
leptokurtik =karakter dikendalikan oleh
sedikit gen
Generasi Jumlah tanaman
Tindakan Parental Tetua
Persilangan A X N1
A X N2 A X N3
A X N4 A X N5
Dilakukan persilngan antara nomor-nomor
kedelai turunan Grobogan yang terdapat gen
salinitas N1, N2, N3, N4 dan N5 sebagai tetua
jantan dengan vaerietas Anjasmoro A sebagai
tetua betina
F1 14
Bulk plot, penanaman dikelompokkandiberi
jarak sesuai produksi yang tinggi
F2 500
Penanaman di beri jarak untuk diseleksi secara
visual
Universitas Sumatera Utara
PELAKSANAAN PENELITIAN Seleksi Benih
Benih yang digunakan adalah benih yang telah melalui tahap seleksi sebelumnya. Benih yang digunakan adalah benih hasil persilangan dan benih yang
memiliki bentuk dan ukuran yang terbaik serta bebas dari bibit penyakit.
Persiapan Wadah Tanam
Wadah tanam yang digunakan pada penelitian ini adalah polybag ukuran 10 kg yang dilapis plastik bening ukuran 15 kg.
Persiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah salin dengan 5-6 DHL yang ditimbang sebanyak 10kg dan dimasukkan selang ke
polybag untuk tempat menyiram. Tanah salin diambil dari kecamatan Percut Sei Tuan dengan melakukan survei awal untuk melihat tanah salin yang memiliki 5-6
DHL. Media yang telah siap dipasangkan selang yang berguna saat penyiraman.
Persiapan Lahan
Lahan diukur seluas 12m X 16m dan dibersihkan dari sampah, rumput dan yang lainnya serta dibuat parit di sekeliling lahan. Disusun batu bata untuk
meletakan polybag agar terlihat rapi.
Pembuatan Rumah Plastik
Rumah plastik dibuat di dalam rumah kasa dengan ukuran 12m X 16m dengan rapi dan kokoh. Plastik yang digunakan yang kilat dan bening agar cahaya
mudah masuk.
Universitas Sumatera Utara
Penanaman
Penanaman dilakukan dengan membuat lubang tanam pada polybag dengan kedalaman ± 2 cm, kemudian dimasukkan 2 benih per polybag dan
kemudian ditutup kembali dengan tanah.
Pemupukan
Pemupukan dilakukan pada saat penanaman sesuai dosis anjuran kebutuhan pupuk kedelai yaitu 100 kg Ureaha 0,625 gpolybag, 200 kg TSPha
1,25 gpolybag dan 100 kg KClha 0,625 gpolybag.
Pemeliharaan Penyiraman
Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi atau sore hari dan disesuaikan dengan kondisi media tanam. Penyiraman dilakukan melalui selang dengan hati-
hati.
Penyiangan
Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang ada didalam polybag untuk menghindari persaingan dalam mendapatkan unsur
hara dari dalam tanah. Penyiangan juga dilakukan di sekililing lahan dan polybag. Penyiangan dilakukan sesuai dengan kondisi di lapangan.
Pengajiran
Pengajiran dilakukan pada seluruh tanaman, untuk menjaga tanaman agar tumbuh tegak dan kokoh serta tidak rebah.
Pengendalian Hama dan Penyakit
Pengendalian hama
dilakukan jika
terjadi serangan,
dengan menyemprotkan Decis 2,5 EC dengan konsentrasi 2 ccliter air. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
pengendalian penyakit dengan menggunakan Dhitane M-45 dengan dosis 2 ccliter. Pengendalian disesuaikan dengan kondisi di lapangan.
Panen
Panen dilakukan dengan cara memetik polong satu persatu dengan menggunakan tangan. Panen dilakukan pada tanaman yang berumur 76-85 hari
sesuai dengan varietas masing-masing. Kriteria panen kedelai ditandai dengan kulit polong sudah berwarna kuning kecoklatan sebanyak 95 dan daun sudah
berguguran tetapi bukan karena adanya serangan hama dan penyakit.
Peubah Amatan Tinggi Tanaman cm
Tinggi tanaman dilakukan setiap minggu mulai dari 2 MST sampai dengan masuk masa generatif yang ditandai dengan munculnya bunga. Pengukuran tinggi
tanaman dilakukan dari pangkal batang sampai titik tumbuh dengan menggunakan meteran.
Jumlah Daun helai
Jumlah daun dihitung setiap minggu dari 2 MST sampai masuk masa generatif yang ditandai dengan munculnya bunga. Daun kedelai termasuk jenis
daun trifoliat.
Jumlah Cabang Produktif cabang
Penghitungan jumlah cabang dilakukan dengan menghitung jumlah cabang yang muncul disekitar batang utama. Penghitungan cabang dilakukan saat
akan panen.
Universitas Sumatera Utara
Umur Berbunga hari
Umur berbunga dilakukan dengan cara menghitung umur awal tanaman berbunga, setelah itu diamati setiap hari sampai tanaman terakhir berbunga.
Jumlah Polong Berisi per Tanaman polong
Dihitung pada saat panen dengan menghitung jumlah polong yang terbentuk pada setiap tanaman.
Jumlah Polong Hampa per Tanaman polong
Pengamtan dilakukan dengan menghitung semua polong hampa untuk.
Bobot biji per Tanaman g
Dilakukan dengan menimbang biji yang dihasilkan per tanaman yang telah dikeringkan sebelumnya..
Jumlah Biji biji
Dilakukan dengan membuka polong setiap tanaman keudian menghitung biji satu per satu pada setiap tanaman.
Umur Panen hari
Pengamatan umur panen dilakukan pada tanaman yang telah memenuhi kriteria panen yaitu ditandai dengan kulit polong sudah berwarna kuning
kecoklatan sebanyak 95 dan daun sudah berguguran.
Universitas Sumatera Utara
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Tinggi Tanaman cm
Tabel 1. Nilai skewness dan kurtosis karakter tinggi tanaman.
80 70
60 50
40 30
20 10
25 20
15
10
5
TINGGI TANAMAN CM Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 1. Grafik sebaran tinggi tanaman seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin.
Berdasarkan grafik sebaran karakter tinggi tanaman pada seluruh hasil persilangan
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul
Persilangan Skewness
Aksi Gen Kurtosis
Keterangan Seluruh
Persilangan
-0,20 Aditif+Epistasis
Duplikat -0,81
Platykurtik+Dikendalikan banyak gen
A X N1 0,05
Aditif+Epistasis Komplementer
-0,93 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N3 0,82
Aditif+Epistasis Komplementer
-1,02 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N4 -
- -
- A X N5
-0,40 Aditif+Epistasis
Duplikat -0,29
Platykurtik+Dikendalikan banyak gen
Universitas Sumatera Utara
platykurtik. Karakter tinggi tanaman tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter
tinggi tanaman. Rataan tinggi tanaman untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 43,02 cm Lampiran 5.
70 60
50 40
30 20
10 9
8 7
6 5
4 3
2 1
TINGGI TANAMAN CM Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 2. Grafik sebaran tinggi tanaman A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter tinggi tanaman pada persilangan A X N1
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter tinggi tanaman tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter tinggi tanaman. Rataan tinggi tanaman untuk persilangan A X N1 sebesar 38.89
cm Lampiran 1.
Universitas Sumatera Utara
50 40
30 20
10 3,0
2,5 2,0
1,5 1,0
0,5 0,0
TINGGI TANAMAN CM Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 3. Grafik sebaran tinggi tanaman A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter tinggi tanaman pada persilangan A X N3
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter tinggi tanaman tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter tinggi tanaman. Rataan tinggi tanaman untuk persilangan A X N3 sebesar 29.28
cm Lampiran 2.
Universitas Sumatera Utara
40 36
32 28
24 20
16 1,0
0,8 0,6
0,4 0,2
0,0 TINGGI TANAMAN CM
Fr e
q u
e n
c y
Gambar 4. Grafik sebaran tinggi tanaman A X N4. Berdasarkan grafik sebaran karakter tinggi tanaman pada persilangan A X N4
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal. Pada persilangan ini tidak muncul nilai skewness dan kutosis disebabkan jumlah populasi tanaman
yang hidup sangat sedikit. Rataan tinggi tanaman untuk persilangan A X N4 sebesar 28.15 cm Lampiran 3.
Universitas Sumatera Utara
80 70
60 50
40 30
20 10
20
15
10
5
TINGGI TANAMAN CM Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 5. Grafik sebaran tinggi tanaman A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter tinggi tanaman pada persilangan A X N5
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter tinggi tanaman tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter tinggi tanaman. Rataan tinggi tanaman untuk persilangan A X N5 sebesar
48.03 cm Lampiran 4.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah Daun helai
Tabel 2. Nilai skewness dan kurtosis karakter jumlah daun.
Persilangan Skewness
Aksi Gen Kurtosis
Keterangan Seluruh
Persilangan
-0,46 Aditif+Epistasis
Duplikat 1,91
Platykurtik+Dikendalikan banyak gen
A X N1 -0,38
Aditif+Epistasis Duplikat
1,33 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N3 -0,97
Aditif+Epistasis Duplikat
-1,87 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N4 -
- -
- A X N5
-0,56 Aditif+Epistasis
Duplikat 1,02
Platykurtik+Dikendalikan banyak gen
9 8
7 6
5 4
3 2
70 60
50 40
30 20
10
JUMLAH DAUN HELAI Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 6. Grafik sebaran jumlah daun seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin.
Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah daun pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya
kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul
platykurtik. Karakter jumlah daun tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter
Universitas Sumatera Utara
jumlah daun. Rataan jumlah daun untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 5,22 helai Lampiran 5.
9 8
7 6
5 4
3 2
35 30
25 20
15 10
5
JUMLAH DAUN HELAI Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 7. Grafik sebaran jumlah daun A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah daun pada persilangan A X N1
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah daun tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah daun. Rataan jumlah daun untuk persilangan A X N1 sebesar 5, 18 helai
Lampiran 1.
Universitas Sumatera Utara
5 4
5
4
3
2
1
JUMLAH DAUN HELAI Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 8. Grafik sebaran jumlah daun A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah daun pada persilangan A X N3
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah daun tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah daun. Rataan jumlah daun untuk persilangan A X N3 sebesar 4,66 helai
Lampiran 2.
Universitas Sumatera Utara
5 2,0
1,5
1,0
0,5
0,0 JUMLAH DAUN HELAI
Fr e
q u
e n
c y
Gambar 9. Grafik sebaran jumlah daun A X N4. Karakter jumlah daun pada persilangan A X N4 tidak terbentuk grafik sebaran.
Hal ini karena jumlah populasi yang hidup sangat sedikit. Rataan jumlah daun untuk persilangan A X N4 sebesar 5 helai Lampiran 3.
Universitas Sumatera Utara
7 6
5 4
3 40
30
20
10
JUMLAH DAUN HELAI Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 10. Grafik sebaran jumlah daun A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah daun pada persilangan A X N5
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah daun tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah daun. Rataan jumlah daun untuk persilangan A X N5 sebesar 5,3 helai
Lampiran 4.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah Cabang cabang
Tabel 3. Nilai skewness dan kurtosis karakter jumlah cabang
Persilangan Skewness
Aksi Gen Kurtosis
Keterangan Seluruh
Persilangan
0,80 Aditif+Epistasis
Komplementer -0,81
Platykurtik+Dikendalikan banyak gen
A X N1 0,64
Aditif+Epistasis Komplementer
-1,11 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N3 2,24
Aditif+Epistasis Komplementer
5,00 Leptokurtik+Dikendalikan
sedikit gen
A X N4 -
- -
- A X N5
0,86 Aditif+Epistasis
Komplementer -0,52
Platykurtik+Dikendalikan banyak gen
4 3
2 1
-1 30
25 20
15 10
5
JUMLAH CABANG CABANG Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 11. Grafik sebaran jumlah cabang seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin.
Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah cabang pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya
kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul
platykurtik. Karakter jumlah cabang tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter
Universitas Sumatera Utara
jumlah cabang. Rataan jumlah cabang untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 1,01 cabang Lampiran 5.
4 3
2 1
-1 18
16 14
12 10
8 6
4 2
JUMLAH CABANG CABANG Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 12. Grafik sebaran jumlah cabang A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah cabang pada persilangan A X N1
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah cabang tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah cabang. Rataan jumlah cabang untuk persilangan A X N1 sebesar 1,16
cabang Lampiran 1.
Universitas Sumatera Utara
2 1
-1 4
3
2
1
JUMLAH CABANG CABANG Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 13. Grafik sebaran jumlah cabang A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah cabang pada persilangan A X N3
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang runcing leptokurtik. Karakter jumlah cabang tersebut dipengaruhi oleh sedikit
gen yang dan sedikit dipengaruhi lingkungan. Rataan jumlah cabang untuk persilangan A X N3 sebesar 0,4 cabang Lampiran 2.
Universitas Sumatera Utara
3 2
1 -1
5 4
3 2
1
JUMLAH CABANG CABANG Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 14. Grafik sebaran jumlah cabang A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah cabang pada persilangan A X N5
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah cabang tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah cabang. Rataan jumlah cabang untuk persilangan A X N5 sebesar 0,9
cabang Lampiran 4.
Universitas Sumatera Utara
Umur Berbunga hari Tabel 4. Nilai skewness dan kurtosis karakter umur berbunga.
Persilangan Skewness
Aksi Gen Kurtosis
Keterangan Seluruh
Persilangan
1,36 Aditif+Epistasis
Komplementer 1,49
Platykurtik+Dikendalikan banyak gen
A X N1 0,92
Aditif+Epistasis Komplementer
-0,29 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N3 -0,12
Aditif+Epistasis Duplikat
-0,03 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N4 -
- -
- A X N5
1,95 Aditif+Epistasis
Komplementer 8,22
Leptokurtik+Dikendalikan sedikit gen
42 40
38 36
34 32
30 28
60 50
40 30
20 10
UMUR BERBUNGA HARI Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 15. Grafik sebaran umur berbunga seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin.
Berdasarkan grafik sebaran karakter umur berbunga pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan
adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang
tumpul platykurtik. Karakter umur berbunga tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap
Universitas Sumatera Utara
karakter umur berbunga. Rataan umur berbunga untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 34 hari Lampiran 5.
40,8 38,4
36,0 33,6
31,2 28,8
25 20
15 10
5
UMUR BERBUNGA HARI Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 16. Grafik sebaran umur berbunga A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur berbunga pada persilangan A X N1
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter umur berbunga tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter umur berbunga. Rataan umur berbunga untuk persilangan A X N1 sebesar 34.42
hari Lampiran 1.
Universitas Sumatera Utara
42 40
38 36
34 32
30 1,0
0,8 0,6
0,4 0,2
0,0 UMUR BERBUNGA HARI
Fr e
q u
e n
c y
Gambar 17. Grafik sebaran umur berbunga A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur berbunga pada persilangan
A X N3 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen
aditif epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter umur berbunga tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter umur berbunga. Rataan umur berbunga untuk persilangan A X N3 sebesar 35,66
hari Lampiran 2.
Universitas Sumatera Utara
36 35
34 33
32 31
30 1,0
0,8 0,6
0,4 0,2
0,0 UMUR BERBUNGA HARI
Fr e
q u
e n
c y
Gambar 18. Grafik sebaran umur berbunga A X N4. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur berbunga pada persilangan A X N4
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal. Pada persilangan ini tidak muncul nilai skewness dan kutosis disebabkan jumlah populasi tanaman
yang hidup sangat sedikit. Rataan umur berbunga untuk persilangan A X N4 sebesar 33 hari Lampiran 3.
Universitas Sumatera Utara
40 38
36 34
32 30
40
30
20
10
UMUR BERBUNGA HARI Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 19. Grafik sebaran umur berbunga A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur berbunga pada persilangan A X N5
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang runcing leptokurtik. Karakter umur berbunga tersebut dipengaruhi oleh sedikit
gen yang dan sedikit dipengaruhi lingkungan. Rataan umur berbunga untuk persilangan A X N5 sebesar 33,49 hari Lampiran 4.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah Polong Berisi polong Tabel 5. Nilai skewness dan kurtosis karakter jumlah polong berisi.
Persilangan Skewness
Aksi Gen Kurtosis
Keterangan Seluruh
Persilangan
1,06 Aditif+Epistasis
Komplementer 0,33
Platykurtik+Dikendalikan banyak gen
A X N1 0,97
Aditif+Epistasis Komplementer
0,02 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N3 0,24
Aditif+Epistasis Komplementer
-1,96 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N4 -
- -
- A X N5
0,95 Aditif+Epistasis
Komplementer -0,36
Platykurtik+Dikendalikan banyak gen
20 15
10 5
-5 16
14 12
10 8
6 4
2
JUMLAH POLONG BERISI POLONG Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 20. Grafik sebaran jumlah polong berisi seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin.
Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah polong berisi pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan
adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang
tumpul platykurtik. Karakter jumlah polong berisi tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil
Universitas Sumatera Utara
terhadap karakter jumlah polong berisi. Rataan jumlah polong berisi untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 6,88 polong Lampiran 5.
20 15
10 5
-5 12
10 8
6 4
2
JUMLAH POLONG BERISI POLONG Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 21. Grafik sebaran jumlah polong berisi A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah polong berisi pada persilangan A X
N1 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah polong berisi tersebut dipengaruhi oleh banyak gen
yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah polong berisi. Rataan jumlah polong berisi untuk persilangan A X
N1 sebesar 7,48 polong Lampiran 1.
Universitas Sumatera Utara
8 6
4 2
1,0 0,8
0,6 0,4
0,2 0,0
JUMLAH POLONG BERISI POLONG Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 22. Grafik sebaran jumlah polong berisi A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah polong berisi pada persilangan A X
N3 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah polong berisi tersebut dipengaruhi oleh banyak gen
yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah polong berisi. Rataan jumlah polong berisi untuk persilangan A X
N3 sebesar 4,4 polong Lampiran 2.
Universitas Sumatera Utara
16 12
8 4
-4 4
3
2
1
JUMLAH POLONG BERISI POLONG Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 23. Grafik sebaran jumlah polong berisi A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah polong berisi pada persilangan A X
N5 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah polong berisi tersebut dipengaruhi oleh banyak gen
yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah polong berisi. Rataan jumlah polong berisi untuk persilangan A X
N5 sebesar 5,9 polong Lampiran 4.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah Polong Hampa polong
Tabel 6. Nilai skewness dan kurtosis karakter jumlah polong hampa.
Persilangan Skewness Aksi Gen
Kurtosis Keterangan
Seluruh Persilangan
2,48 Aditif+Epistasis
Komplementer 6,29
Leptokurtik+Dikendalikan sedikit gen
A X N1 2,05
Aditif+Epistasis Komplementer
3,84 Leptokurtik+Dikendalikan
sedikit gen
A X N3 -
- -
- A X N4
- -
- -
A X N5 1,78
Aditif+Epistasis Komplementer
1,41 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
4 3
2 1
-1 40
30
20
10
JUMLAH POLONG HAMPA POLONG Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 24. Grafik sebaran jumlah polong hampa seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin.
Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah polong hampa pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan
adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang
runcing leptokurtik. Karakter jumlah polong hampa tersebut dipengaruhi oleh
Universitas Sumatera Utara
sedikit gen yang dan sedikit dipengaruhi lingkungan. Rataan jumlah polong hampa untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 0.39 polong Lampiran 5.
4 3
2 1
-1 30
25 20
15 10
5
JUMLAH POLONG HAMPA POLONG Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 25. Grafik sebaran jumlah polong hampa A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah polong hampa pada persilangan A X
N1 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang runcing leptokurtik. Karakter jumlah polong hampa tersebut dipengaruhi oleh
sedikit gen yang dan sedikit dipengaruhi lingkungan. Rataan jumlah polong hampa untuk persilangan A X N1 sebesar 0,51 polong Lampiran 1.
Universitas Sumatera Utara
5 4
3 2
1
JUMLAH POLONG HAMPA POLONG Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 26. Grafik sebaran jumlah polong hampa A X N3. Karakter jumlah polong hampa pada persilangan A X N3 tidak terbentuk grafik
sebaran. Hal ini karena jumlah populasi yang hidup sangat sedikit. Rataan jumlah polong hampa untuk persilangan A X N3 sebesar 0 polong Lampiran 2.
Universitas Sumatera Utara
1 10
8
6
4
2
JUMLAH POLONG HAMPA POLONG Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 27. Grafik sebaran jumlah polong hampa A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah polong hampa pada persilangan A X
N5 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah polong hampa tersebut dipengaruhi oleh banyak
gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah polong hampa. Rataan jumlah polong hampa untuk persilangan A
X N5 sebesar 0,2 polong Lampiran 4.
Universitas Sumatera Utara
Bobot Biji gram Tabel 7. Nilai skewness dan kurtosis karakter bobot biji.
Persilangan Skewness
Aksi Gen Kurtosis
Keterangan Seluruh
Persilangan
1,39 Aditif+Epistasis
Komplementer 1,32
Platykurtik+Dikendalikan banyak gen
A X N1 1,37
Aditif+Epistasis Komplementer
1,45 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N3 0,99
Aditif+Epistasis Komplementer
1,41 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N4 -
- -
- A X N5
1,38 Aditif+Epistasis
Komplementer 0,50
Platykurtik+Dikendalikan banyak gen
6,0 4,8
3,6 2,4
1,2 0,0
-1,2 16
14 12
10 8
6 4
2
BOBOT BIJI GRAM Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 28. Grafik sebaran bobot biji seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin.
Berdasarkan grafik sebaran karakter bobot biji pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya
kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul
platykurtik. Karakter bobot biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter
Universitas Sumatera Utara
bobot biji. Rataan bobot biji untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 1,32 gram Lampiran 5.
4,8 3,2
1,6 0,0
-1,6 12
10 8
6 4
2
BOBOT BIJI GRAM Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 29. Grafik sebaran bobot biji A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter bobot biji pada persilangan A X N1 diperoleh
bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang
bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter bobot biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-
masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter bobot biji. Rataan bobot biji untuk persilangan A X N1 sebesar 1,42 gram Lampiran 1.
Universitas Sumatera Utara
2,0 1,5
1,0 0,5
0,0 -0,5
2,0
1,5
1,0
0,5
0,0 BOBOT BIJI GRAM
Fr e
q u
e n
c y
Gambar 30. Grafik sebaran bobot biji A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter bobot biji pada persilangan A X N3 diperoleh
bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang
bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter bobot biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-
masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter bobot biji. Rataan bobot biji untuk persilangan A X N3 sebesar 0,75 gram Lampiran 2.
Universitas Sumatera Utara
5 4
3 2
1 -1
-2 5
4 3
2 1
BOBOT BIJI GRAM Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 31. Grafik sebaran bobot biji A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter bobot biji pada persilangan A X N5 diperoleh
bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang
bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter bobot biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-
masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter bobot biji. Rataan bobot biji untuk persilangan A X N5 sebesar 1,25 gram Lampiran 4.
Jumlah Biji biji
Universitas Sumatera Utara
Tabel 8. Nilai skewness dan kurtosis karakter jumlah biji.
Persilangan Skewness Aksi Gen
Kurtosis Keterangan
Seluruh Persilangan
1,15 Aditif+Epistasis
Komplementer 0,87
Platykurtik+Dikendalikan banyak gen
A X N1 1,04
Aditif+Epistasis Komplementer
0,46 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N3 -0,29
Aditif+Epistasis Duplikat
0,01 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N4 -
- -
- A X N5
0,91 Aditif+Epistasis
Komplementer -0,30
Platykurtik+Dikendalikan banyak gen
40 30
20 10
-10 14
12 10
8 6
4 2
JUMLAH BIJI BIJI Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 32. Grafik sebaran jumlah biji seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin.
Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah biji pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya
kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul
platykurtik. Karakter jumlah biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter
Universitas Sumatera Utara
jumlah biji. Rataan jumlah biji untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 12,56 biji Lampiran 5.
40 30
20 10
-10 9
8 7
6 5
4 3
2 1
JUMLAH BIJI BIJI Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 33. Grafik sebaran jumlah biji A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah biji pada persilangan A X N1
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah biji. Rataan jumlah biji untuk persilangan A X N1 sebesar 13,81 biji
Lampiran 1.
Universitas Sumatera Utara
16 12
8 4
1,0 0,8
0,6 0,4
0,2 0,0
JUMLAH BIJI BIJI Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 34. Grafik sebaran jumlah biji A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah biji pada persilangan A X N3
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah biji. Rataan jumlah biji untuk persilangan A X N3 sebesar 7,8 biji
Lampiran 2.
Universitas Sumatera Utara
30 20
10 -10
3,0 2,5
2,0 1,5
1,0 0,5
0,0 JUMLAH BIJI BIJI
Fr e
q u
e n
c y
Gambar 35. Grafik sebaran jumlah biji A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah biji pada persilangan A X N5
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah biji. Rataan jumlah biji untuk persilangan A X N5 sebesar 10,4 biji
Lampiran 4.
Universitas Sumatera Utara
Umur Panen hari Tabel 9. Nilai skewness dan kurtosis karakter umur panen.
Persilangan Skewness Aksi Gen
Kurtosis Keterangan
Seluruh Persilangan
1,44 Aditif+Epistasis
Komplementer 2,34
Platykurtik+Dikendalikan banyak gen
A X N1 1,46
Aditif+Epistasis Komplementer
1,85 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N3 -0,25
Aditif+Epistasis Duplikat
-1,33 Platykurtik+Dikendalikan
banyak gen
A X N4 -
- -
- A X N5
1,87 Aditif+Epistasis
Komplementer 5,41
Leptokurtik+Dikendalikan sedikit gen
110 100
90 80
70 25
20
15
10 5
UMUR PANEN HARI Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 36. Grafik sebaran umur panen seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin.
Berdasarkan grafik sebaran karakter umur panen pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya
kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul
platykurtik. Karakter umur panen tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter
Universitas Sumatera Utara
umur panen. Rataan umur panen untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 87,37 hari Lampiran 5.
112 104
96 88
80 72
14 12
10 8
6 4
2
UMUR PANEN HARI Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 37. Grafik sebaran umur panen A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur panen pada persilangan A X N1
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter umur panen tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter umur panen. Rataan umur panen untuk persilangan A X N1 sebesar 88.56 hari
Lampiran 1.
Universitas Sumatera Utara
93 90
87 84
81 78
2,0
1,5
1,0
0,5
0,0 UMUR PANEN HARI
Fr e
q u
e n
c y
Gambar 38. Grafik sebaran umur panen A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur panen pada persilangan A X N3
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter umur panen tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang
dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter umur panen. Rataan umur panen untuk persilangan A X N3 sebesar 85,2 hari
Lampiran 2.
Universitas Sumatera Utara
110 100
90 80
70 60
7 6
5 4
3 2
1
UMUR PANEN HARI Fr
e q
u e
n c
y
Gambar 39. Grafik sebaran umur panen A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur panen pada persilangan A X N5
diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif
epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang runcing leptokurtik. Karakter jumlah polong hampa tersebut dipengaruhi oleh
sedikit gen yang dan sedikit dipengaruhi lingkungan. Rataan umur panen untuk persilangan A X N5 sebesar 84,4 hari Lampiran 4.
Universitas Sumatera Utara
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian persilangan tetua betina anjasmoro dan tetua jantan genotipa kedelai tahan salin pada F2 didapatkan bahwa untuk karater tinggi
tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, umur berbunga, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa, bobot biji, jumlah biji dan umur panen tidak ada yang
berdistribusi normal. Semua karakter tersebut menunjukan sebaran yang tidak normal dan terdapat kemenjuluran ke arah kanan maupun ke arah kiri yang
dipengaruhi oleh adanya gen aditif epistasis duplikat maupun komplementer. Selain itu semua karakter masih sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Menurut
Jayaramachandran
et al
. 2010 penyebaran karakter kuantitatif pada tanaman yang menjulur ke kiri atau ke kanan menunjukkan adanya
pengaruh lingkungan, interaksi genotipe dan lingkungan,
pautan gen, dan epistasis. Penyebaran karakter yang
tidak membentuk sebaran normal terjadi karena keterlibatan gen-gen non
aditif dalam mengendalikan keragaman pada populasi F2 atau karena pengaruh
lingkungan yang besar dan dikendalikan oleh aksi gen aditif epistasis yang
bersifat Komplementer.
Berdasarkan hasil penelitian untuk karakter tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, umur berbunga, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa, bobot biji,
jumlah biji dan umur panen memiliki sebaran fenotipe yang kontinu dan dipengaruhi oleh banyak gen. Artinya bahwa masing-masing gen memberikan
pengaruh yang kecil terhadap masing-masing karakter. Hal ini sesuai pernyataan Trustinah 1997 yang menyatakan karakter kuantitatif umumnya dicirikan oleh
sebaran fenotipenya kontinu atau menunjukkan sebaran normal dan dikendalikan
Universitas Sumatera Utara
oleh banyak gen yang masing-masing gen berpengaruh kecil terhadap ekspresi suatu karakter.
Hasil penelitian pada generasi F2 ini menunjukan bahwa untuk karakter tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, umur berbunga, jumlah polong berisi,
jumlah polong hampa, bobot biji, jumlah biji dan umur panen memiliki sebaran yang tidak berdistribusi normal, dipengaruhi oleh banyak gen dimana masing-
masing gen hanya berkontribusi kecil terhadap suatu karakter dan masih dipengaruhi oleh lingkungan serta masih memiliki pengaruh efek epistasis
maupun komplementer dalam segregasi karakter-karakter tersebut. Hal ini tidak memungkinkan untuk melakukan seleksi karakter tersebut pada generasi F2. Perlu
dilakukan seleksi pada generasi-generasi berikutnya. Hal ini sesuai pernyataan Nugroho 2013 yang menyatakan bahwa seleksi untuk karakter umur berbunga,
tinggi tanaman, jumlah polong per tanaman dan bobot 100 butir kedelai populasi F2 tidak dapat dilakukan pada generasi awal. Hal ini disebabkan karena karakter-
karakter tersebut dikendalikan oleh banyak gen yang berkontribusi secara aditif dan peran dari masing-masing gen kecil serta peran lingkungan berpengaruh besar
terhadap penampilan karakter-karakter tersebut. Begitu pula pada karakter umur panen, jumlah cabang produktif dan bobot biji per tanaman juga tidak dapat
dilakukan pada generasi awal. Hal ini disebabkan karena pada karakter umur panen, jumlah cabang produktif dan bobot biji per tanaman tidak diwariskan
secara langsung dari tetua ke keturunannya yang ditunjukkan adanya efek epistasisdi dalam segregasi karakter-karakter tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terjadi beberapa bentuk mekanisme toleransi dari tanaman hasil persilangan seperti perubahan tipe
pertumbuhan, bentuk daun, perkembangan bunga dan ukuran biji.
A B
C D
Gambar 40. Tipe pertumbuhan A, bentuk daun B, perkembangan bunga C, dan ukuran biji D.
Pada tipe pertumbuhan terjadi perubahan dari tipe pertumbuhan determinate
berubah ke tipe pertumbuhan indeterminate, bentuk daun berubah dari oval menjadi sempit, sebagian bunga mengalami perkembangan bunga yang terhambat
bunga busuk dan gugur, dan ukuran biji kecil. Hal ini dilakukan oleh tanaman agar mampu beradaptasi dengan keadaan tanah yang tercekam oleh salinitas.
Selain itu tanaman juga memperpendek siklus hidupnya karena hidup dalam
Universitas Sumatera Utara
keadaan tercekam salinitas seperti umur berbunga yang cepat dan umur panen yang cepat. Sebagian tanaman yang melakukan adaptasi tersebut yang mampu
bertahan hidup hingga panen. Dari hasil penelitian Wahyudi 2012 diperoleh tanaman yang mampu bertahan hidup menggunakan suatu mekanisme toleransi
dengan mengubah tipe pertumbuhan dari determinate menjadi indeterminate. Tanaman determinate menghasilkan biji besar sedangkan tipe indeterminate
menghasilkan biji kecil. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa sebagian tanaman yang tidak
mampu melakukan mekanisme toleransi pada keadaan cekaman salinitas akan mati tidak mampu bertahan hidup. Ada tanaman yang hanya mampu bertahan
hidup saat stadia perkecambahan, saat fase vegetatif, dan saat masa waktu mulai berbunga.
A B
Universitas Sumatera Utara
C D
Gambar 41. Stadia perkecambahan A, fase vegetatif B dan C, dan masa mulai berbunga D.
Tanaman yang tidak mampu bertahan hidup tersebut pada stadia perkecambahan
akan mengalami kerusakan seperti busuknya kecambah, pada fase vegetatif tanaman akan mengalami gejala kuningnya seluruh daun yang semakin lama akan
mengering dan mengakibatkan kematian, dan pada saat mulai berbunga tanaman juga mengalami gejala kuningnya daun, bunga busuk dan gugur dan lama
kelamaan mengering dan mengakibatkan kematian. Hal ini sesuai pernyataan
Slinger Tenison 2005 yang menyatakan tanah salin adalah salah satu lahan
yang belum dimanfaatkan secara luas untuk kegiatan budidaya tanaman, hal ini disebabkan adanya efek toksik dan peningkatan tekanan osmotik akar yang
mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tanaman dan dapat menyebabkan
tanaman mati.
Universitas Sumatera Utara
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Pada penelitian generasi F2 persilangan tetua betina anjasmoro dengan tetua jantan genotipa tahan salin semua karakter tidak berdistribusi normal, memiliki
tingkat segregasi yang tinggi dengan adanya pengaruh gen aditif epistasis dan masih dipengaruhi oleh banyak gen. Maka kegiatan seleksi untuk semua karakter
belum bisa dilakukan pada generasi F2. Selain itu diketahui bahwa sebagian tanaman melakukan mekanisme toleransi
seperti perubahan tipe pertumbuhan, bentuk daun, perkembangan bunga dan ukuran biji. Tanaman juga memperpendek siklus hidupnya seperti mempercepat
umur berbunga dan umur panen agar mampu bertahan hidup dalam cekaman salinitas. Sebagian tanaman lagi yang tidak mampu melakukan mekanisme
toleransi akan mati tidak mampu bertahan hidup. Hal ini terlihat sejak stadia perkecambahan, fase vegetatif, dan masa mulai berbunga.
Saran
Sebaiknya dilakukan penanaman untuk generasi-generasi berikutnya dan agar dapat dilakukan seleksi untuk semua karakter secara efektif.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2005. Kedelai: Budidaya dengan Pemupukan yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Aini, N., E. Mapfumo, Z. Rengel, C. Tang. 2012. Ecophysiological responses of Melaleuca species to dual stresses of water logging and salinity. International
Journal of Plant Physiology and Biochemistry 4 4: 52
– 58. Alia, Y., dan W. Wilia. 2010. Persilangan Empat Varietas Kedelai dalam Rangka
Penyediaan Populasi Awal untuk Seleksi.
J.
Penelitian Universitas Jambi Seri Sains 13 1: 39-42.
Ashraf, M and P.J.C. Harris. 2004. Potential biochemical indicators of salinity tolerance in plants. Plant Science 166: 3-16
Baihaki, A. 2000. Teknik Rancangan dan Analisis Penelitian Pemuliaan . Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Bandung. 120 hlm.
Bari, A. 1998. Pengajian Sebaran Frekuensi Hasil Padi Dan Dalam Tumpang Sari Padi Dengan Jagung Dan Ubi Kayu. Comm.Ag. 4 1: 41-45.
Barona, M.A.A., J.M.C. Filho, V.S. Santos, I. O. Geraldi. 2012. Epistatic effect on grain yeild of soybean [
Glycine max
L. Merrill]. Crop Breeding and Applied Biotechnology. Braz. Soc. Plant Breed. 12:231-236.
Bnejdi, F., C. Hanbary, E.G. Mohamed. 2011. Genetic adaptability of inheritance of resistance to biotic and abiotic stress level on crop: Role of epistasis. Afric. J.
Biotech. 10:19913-19917. BPS, 2014. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Indonesia. Diakses dari
http:bps.go.id. Chahal G.S and Gosal. 2002. Principle And Procedures Of Plat Breeding :
Biotecnological And Conventional Apporaches. Narosa Publishing House, Kalkota.
Crowder, L.V. 1997.
Genetika Tumbuhan
Diterjemahkan oleh Lilik Kurdiati dan Sutarso
Cetakan III. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 499 hlm.
Donahue, R. L., R. W. Miler, J. C. Shickluna. 1983. Soil an introductionto soil and plant growth. 5rd Ed , Prentice-hall, Inc. Englewood Cliffs, New
Jersey.
Universitas Sumatera Utara
Falconer, D.S And Mackay.1996. Introduction To Quantitative Genetics. John Willey And Sons Inc, New York.
FAO,
2008. Land
and Plant
Nutrition Management
Service. Http:www.fao.orgagaglagllspush. Diakses 16 Oktober 2011.
Fehr, W. R. 1987. Principles of Cultivar Development: Theory and Technique. Vol 1 . Macmillan Publishing Company. New York. 536 p.
Flowers, T.J. and S.A. Flowers. 2005. Why does salinity pose such a difficult problem for plant breeders?. Agricultural Water Management 78: 15-24.
Gorham, J. 2007. Sodium. In Barker, A.V and D.J Pilbeam eds. Handbook of plant Nutrition. Taylor Francis. p. 569-575.
Herawati, T.,
2009. Respon
pertumbuhan dan
Produksi Kedelai
Glycine max
L. Merrill Terhadap Fungi Mikoriza Arbuskula dan Perbandingan Pupuk An-Organik dan Organik. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Irwan, A. W., 2006. Budidaya Tanaman Kedelai
Glycine max
L.. Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
Jayaramachandran, M., N. Kumaravadivel, S. Eapen, G. Kandasamy. 2010. Gene action for yield attributing characters in segregating generation M2 of sorghum
Sorghum bicolor
L.. Elec. J. Plant Breeding 1:802- 808. Kartono. 2005. Persilangan Buatan pada Empat Varietas Kedelai. Buletin Teknik
Pertanian 10 2: 49-52, Jakarta. Mahendra, W. 2010. Pendugaan ragam, heritabilitas, dan kemajuan seleksi kacang
panjang Vigna Sinensis var. Sesquipedalis [L.] Koern. populasi F2 keturunan persilangan Testa Hitam x Bernas Super.
Skripsi
. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 71 hlm.
Martin, F. W., 1998.
Soybean
. ECHO, USA. Millah, Z., R. Setiamihardja, A. Baihaki, dan YS. Darsa. 2004. Pewarisan karakter
jumlah biji per polong dan warna biji tanaman kacang tanah Arachis hypogaea.Zuriat151:53
—58. Nugroho, W. P., M. Barmawi dan N. Sadiyah. 2013. Pola Segregasi Karakter
Agronomi Tanaman Kedelai Generasi F2 Hasil Persilangan Yellow bean dan Taichung. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung, Lampung.
Universitas Sumatera Utara
Orf, J. H., K. Chase, J. Specht, I.Y. Choi, P. B. Cregan, and K. G. Lark. 2006. Abnormal leaf formation in soybean: genetic and environmental effects.
Theor Appl Genet
.1131: 137 –146
Phillips, P.C. 2008. Epistasis, the essential role of gene interactions in the structure and evolution of genetic systems. Nat. Rev. 9:855-867.
Prihatman, K., 2000. Budidaya Pertanian Kedelai
Glycine max
L. Kantor Deputi