Merill. Sebaran Normal Karakter-Karakter Pertumbuhan Dan Produksi Hasil Persilangan Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merril) Varietas Anjasmoro Dengan Genotipa Kedelai Tahan Salin Pada F2

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Meurut Steenis 2003 klasifikasi tanaman kedelai adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta, Sub Divisio : Angiospermeae, Class : Dicotyledoneae, Ordo : Leguminales, Family : Poaceae, Genus : Glycine, Spesies : Glycine max

L. Merill.

Akar kedelai terdiri atas akar tunggang, akar lateral, dan akar serabut. Pada tanah yang gembur, akar ini dapat menembus tanah sampai kedalaman hingga 15 cm. Pada akar lateral terdapat bintil akar yang merupakan kumpulan bakteri rhizobium pengikat N dari udara. Bintil akar ini biasanya akan terbentuk 15-20 heri setelah tanam. Pada tanah yang belum pernah ditanami kedelaia atau kacang kacangan lainnya, bintil akar tidak akan tumbuh. Oleh karena itu benih yang akan ditanam harus dicampur dengan legin Suprapto, 1989. Kedelai berbatang semak, dengan tinggi batang antara 30-100 cm. Setiap batang dapat membentuk 3-6 cabang. Bila jarak antara tanaman dalam barisan rapat, cabang menjadi berkurang atau tidak bercabang sama sekali. Untuk itu diperlukan jarak tanam yang tepat Rubatzky dan Yamaguchi, 1998. Daun kedelai hampir seluruhnya trifoliat menjari tiga dan jarang sekali mempunyai empat atau lima jari daun. Bentuk daun tanaman kedelai bervariasi, yakni oval dan lanceolate, tetapi praktisnya, diistilahkan dengan berdaun lebar broad leaf dan berdaun sempit narrow leaf. Kedelai berdaun sempit lebih banyakditanami oleh petani dibandingkan tanaman kedelai berdaun lebar, walaupun dari aspek penyerapan sinar matahari, tanaman kedelai berdaun lebar menyerap sinar matahari lebih banyak daripada yang berdaun sempit. Namun Universitas Sumatera Utara keunggulan tanaman kedelai berdaun sempit adalah sinar matahari akan lebih mudah menerobos di antara kanopi daun sehingga memacu pembentukan bunga Adisarwanto, 2007. Bunga kedelai termasuk bunga sempurna, artinya dalam setiap bunga terdapat alat jantan dan betina. Penyerbukan terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup, sehingga kemubgkinan terjadinya kawin silang secara alam amat kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas batang, berwarna ungu atau putih. Tidak semua bunga dapat menjadi polong walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna. Menurut penelitian sekitar 60 bunga rontok sebelum membentuk polong Suprapto, 1989. Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50, bukan ratusan. Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong menjadi maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini kemudian diikuti oleh perubahan warna polong Irwan, 2006. Biji kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak diantara keping biji. Warna kulit biji bermacam- macam, ada yang kuning, hitam, hijau atau coklat. Pusar biji atau hilum adalah jaringan bekas biji kedelai yang menempel pada dinding buah. Bentuk biji kedelai umumnya bulat lonjong, ada yang bundar atau bulat pipih. Besar biji tergantung varietas Suprapto, 1989. Universitas Sumatera Utara Syarat Tumbuh Iklim Tanaman kedelai sebagian besar tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Sebagai barometer iklim yang cocok bagi kedelai adalah bila cocok bagi tanaman jagung. Bahkan daya tahan kedelai lebih baik daripada jagung. Iklim kering lebih disukai tanaman kedelai dibandingkan iklim lembab Prihatman, 2000. Kedelai adalah tanaman cuaca panas cocok untuk pertumbuhan sepanjang tahun di sebagian besar daerah tropis. Suhu minimal 15 C diperlukan untuk berkecambah benih dan rata-rata suhu 20-25 C untuk tumbuh tanaman. Kedelai memerlukan setidaknya moderat kelembaban tanah untuk berkecambah dan bibit untuk menjadi mapan, tetapi membutuhkan kering cuaca untuk produksi biji kering perhatikan bahwa segar, biji hijau untuk konsumsi langsung dapat diproduksi selama musim hujan. Kedelai menderita jika tanah tergenang air. Tanaman kedelai dapat menahan kekeringan yang cukup Martin, 1998. Kedelai menghendaki air yang cukup pada masa pertumbuhannya, terutama pada saat pengisian biji. Curah hujan yang optimal untuk budidaya kedelai adalah 100-200 mmbulan, sedangkan tanaman kedelai dapat tumbuh baik di daerah yang memiliki curah hujan sekitar 100-400 mmbulan Herawati, 2009. Tanah Tanaman kedelai sebenarnya dapat tumbuh di semua jenis tanah, namun demikian, untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan produktivitas yang optimal, kedelai harus ditanam pada jenis tanah berstruktur lempung berpasir atau liat berpasir Irwan, 2006. Universitas Sumatera Utara Pada dasarnya kedelai menghendaki kondisi tanah yang tidak terlalu basah, tetapi air tetap tersedia. Jagung merupakan tanaman indikator yang baik bagi kedelai. Tanah yang baik ditanami jagung, baik pula ditanami kedelai. Kedelai tidak menuntut struktur tanah yang khusus sebagai suatu persyaratan tumbuh. Bahkan pada kondisi lahan yang kurang subur dan agak asam pun kedelai dapat tumbuh dengan baik, asal tidak tergenang air yang akan menyebabkan busuknya akar. Kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah, asal drainase dan aerasi tanah cukup baik Prihatman, 2000. Kedelai membutuhkan pupuk, termasuk macronutrients fosfor dan kalium P dan K dan kadang-kadang mikronutrien. Nitrogen tidak diperlukan jika kedelai yang diinokulasi dengan benar. Kedelai membutuhkan jumlah yang agak besar fosfor, kalsium, magnesium, dan sulfur. Elemen kecil kadang-kadang diperlukan. Kedelai tidak dapat direkomendasikan untuk tanah yang tidak dibuahi Martin, 1998. Salinitas Tanah salin adalah salah satu lahan yang belum dimanfaatkan secara luas untuk kegiatan budidaya tanaman, hal ini disebabkan adanya efek toksik dan peningkatan tekanan osmotik akar yang mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tanaman Slinger Tenison, 2005. Secara umum cekaman salinitas membahayakan tanaman melalui tiga cara yaitu : 1 level garam tinggi menyebabkan tekanan osmotik meningkat potensial air pada media perakaran lebih rendah atau negatif sehingga menyebabkan tanaman mengalami cekaman kekeringan. 2 Toksisitas ion seperti ion-ion Cl-dan Na+yang berlebihan. 3 Ketidak seimbangan unsur hara akibat Universitas Sumatera Utara penghambatan penyerapan nutrisi, serta kombinasi dari faktor-faktor tersebut Ashraf dan Harris, 2003; Gorham, 2007. Dampak cekaman salinitas terhadap tanaman dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti: konsentrasi ion, lama terjadinya cekaman, spesies tanaman, kultivar, fase pertumbuhan tanaman, organ tanaman dan kondisi lingkungan. Dua tipe utama mekanisme toleransi tanaman terhadap salinitas yaitu 1 meminimalkan jumlah garam yang masuk ke dalam tanaman atau memperkecil akumulasinya pada jaringan fotosintetik dan 2 meminimalkan konsentrasi garam di dalam sitoplasma. Toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas tergantung pada morfologi, kompartemen dan senyawa organik kompatibel, pengaturan transpirasi, kontrol pergerakan ion, karakteristik membran, tingginya rasio NaK pada sitoplasma serta kelenjar garam Flowers dan Flowers, 2005. Hasil penelitian Aini et al. 2012 menyatakan bahwa respon tanaman pada cekaman salinitas berbeda pada spesies atau genotip yang berbeda. Tanah salin adalah tanah yang mengandung garam NaCI terlarut dalam jumlah banyak sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman. Larntan garam tanah biasanya tersusun daTi ion Na+, Ca++, Mg ++, CI-, CO4-2 dan CO3-2 Donahue et al., 1983 , sehingga pengikatan NaCl akan menurunkan kadar Kalium Suwarno, 1985. Walaupun Na, Cl clan ion lain meracun tanaman, tetapi pengaruh negatlf tanah salin terhadap pertumbuhan tanaman lebih dikarenakan efek tekanan osmose Donahue et al, 1983. Tingkat salinitas tanah dikelompokkan menjadi : 1 Salinitas rendah dengan daya hantar listrik DHL = 2-4 mmhoscm. 2 Salinitas sedang dengan DHL sebesar 4-8 mmhosl Universitas Sumatera Utara 3 Salinitas tinggi dengan DHL sebesar 8-15 mmhosl 4 Salinitas sangat tinggi dengan DHL lebih dari 15 mmhoscm. Menurut Soepardi 1979 kelebihan atau akumulasi garam dapat terjadi melalui : a adanya evaporasi yang tinggi dibeberapa daerah seperti rawa Evaporasi ini mempercepat terjadinya pengendapan garam dipermukaan tanah b intrusi air laut melalui sungai yang sering terjadi di daerah muara sebagai akibat naik turunnya air laut karena peristiwa pasang surut. Spesies-spesies tanaman mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap kadar garam di dalam tanah, dan berakibat spesifik pula untuk masing-masing spesies Donahue et al., 1983. Pada tanaman di padi dengan tekanan osmose 6 decisiemens per meter mengakibatkan berkurangnya basil sebesar 25, gandum berkurang hasilnya 25 pada tekanan osmose 8 decisiemens per meter, sedangkan kedelai mulai berkurang hasilnya pada tekanan osmose 7 decisiemens per meter. Dengan demikian nampaknya kedelai lebih toleran terhadap salinitas dibanding padi. Pada penelitian generasi F2 diperoleh bahwa jumlah tanaman yang ditanam sebanyak 751 tanaman. Tanaman yang mampu hidup berdasarkan penelitian yang memiliki salinitas yang tinggi sebanyak 510 tanaman. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh tanaman yang mampu bertahan hidup tersebut menggunakan suatu mekanisme toleransi dengan mengubah tipe pertumbuhan dari determinate menjadi indeterminate. Tanaman determinate menghasilkan biji besar sedangkan tipe indeterminate menghasilkan biji kecil Wahyudi, 2012. Universitas Sumatera Utara Sebaran Normal Karakter-Karakter Pertumbuhan Dan Produksi Menurut Mahendra 2010 benih F2 merupakan populasi yang bersegregasi. Tingkat segregasi dan rekombinan yang luas pada generasi F2 ini tergambar melalui sebaran frekuensi genotipenya. Sebaran frekuensi tersebut dapat digunakan sebagai penduga pola pewarisan sifat dan jumlah gen yang terlibat dalam pengendalian suatu sifat. Sebaran data yang menyimpang dari sebaran normal sangat berpengaruh terhadap proses seleksi pada generasi berikutnya karena pengukuran kemajuan genetik yang dihitung berasarkan asumsi bahwa data menyebar normal Bari, 1998. Data yang bersifat kontinu tetapi tidak menyebar normal dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang besar atau interaksi genotipe dengan lingkungan Falconer dan Mackay, 1996. Karakter agronomi suatu tanaman dikelompokkan menjadi dua yaitu karakter kualitatif dan karakter kuantitatif. Karakter kualitatif dikendalikan oleh satu sampai dua gen mengikuti nisbah Mendel atau modifikasinya. Karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen yang pola segregasinya tidak mengikuti nisbah Mendel atau modifikasinya Fehr, 1987. Beberapa karakter agronomi penting seperti hasil, ukuran biji, bobot biomassa, ketahanan terhadap cekaman biotik dan toleransi terhadap cekaman abiotik dikendalikan oleh banyak gen dengan efek yang kecil. Efek karakter ini dinamakan karakter poligenik. Pewarisan pada karakter yang poligenik dinamakan pewarisan kuantitatif. Efek gen secara individual tidak dapat dilacak Universitas Sumatera Utara sehingga pada karakter yang poligenik tidak dapat dikelompokkan chahal and Gosal, 2002. Pada tanaman menyerbuk sendiri tingkat segregasi yang tertinggi terjadi pada generasi F2 Welsh, 1991. Menurut Crowder, 1997, tingkat segregasi dan rekombinan yang luas pada generasi ini tergambarkan melalui sebaran frekuensi genotipenya. Hal tersebut dapat digunakan sebagai penduga pewarisan sifat dan jumlah gen yang terlibat dalam pengendali suatu sifat. Karakter agronomi merupakan karakter tanaman berdasarkan morfologi dan hasil tanaman yang dibagi ke dalam karakter kualitatif dan karakter kuantitatif. Karakter kualitatif umumnya dicirikan dengan sebaran fenotipenya diskontinu yang dikendalikan oleh gen monogenik ataupun oligogenik yang pengaruh gen secara individu mudah dikenal. Karakter kuantitatif umumnya dicirikan oleh sebaran fenotipenya kontinu atau menunjukkan sebaran normal dan dikendalikan oleh banyak gen yang masing-masing gen berpengaruh kecil terhadap ekspresi suatu karakter Trustinah, 1997. Fakta beragamnya pola populasi segregasi F2 dari delapan kombinasi persilangan kedelai tersebut diduga terjadi karena adanya pengaruh pewarisan di luar inti yang berperan atau pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan tumbuh panjang hari dan suhu pada saat pemunculan emergence berpengaruh terhadap munculnya ekspresi daun multifoliolate pada pertumbuhan kedelai selanjutnya Orf et al , 2006 Universitas Sumatera Utara Aksi Gen Aditif Epistasis Duplikat Dan Komplementer Keragaman genetik terdiri atas ragam genetik aditif, dominan, dan epistasis. Ragam genetik aditif adalah ragam genetik yang menyebabkan terjadinya kesamaan sifat diantara tetua dan turunannya. Fenotipe pada aksi gen aditif disebabkan penjumlahan dari masing-masing alel tanpa interaksi dengan alel lain interaksi alelik atau non alelik, sedangkan pada aksi gen epistasis, fenotipe ditentukan oleh interaksi alel-alel dari lokus yang berbeda Roy, 2000. Menurut Jayaramachandran et al . 2010, penyebaran karakter kuantitatif pada tanaman yang menjulur ke kiri atau ke kanan menunjukkan adanya pengaruh lingkungan, interaksi genotipe dan lingkungan, pautan gen, dan epistasis. Penyebaran karakter panjang tajuk, nisbah panjang tajuk akar, bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk yang tidak membentuk sebaran normal terjadi karena keterlibatan gen-gen non aditif dalam mengendalikan keragaman pada populasi F2 atau karena pengaruh lingkungan yang besar dan dikendalikan oleh aksi gen aditif epistasis yang bersifat Komplementer. Interaksi antar alel epistasis yang lebih penting pada tanaman menyerbuk sendiri, seperti kedelai adalah interaksi aditif x aditif. Bentuk interaksi ini dapat terfiksasi pada generasi lanjut Barona et al ., 2012. Pada populasi F2 aksi gen yang terjadi bersifat epistasis aditif x aditif yang masih belum terfiksasi tetapi diharapkan interaksi gen epistasis pada populasi F2 ini dapat diwariskan ke generasi selanjutnya. Bila seleksi dilakukan pada generasi lanjut F5 diharapkan aksi gen epistasis aditif x aditif dan aksi gen aditif telah Universitas Sumatera Utara terfiksasi, sehingga pada generasi ini tingkat homozigositasnya telah tinggi ± 95 Santoso, 2007. Pola segregasi populasi F2 untuk karakter-karakter agronomi bersifat epistasis dominan resesif. Hal ini berarti bahwa karakter-karakter tersebut dikendalikan oleh gen yang bereaksi epistasis dominan-resesif artinya gen dominan pada satu lokus dan gen resesif pada lokus lain mempengaruhi penampakan fenotipe yang sama Stansfield dan Susan, 2006. Toleransi kedelai terhadap tanah masam dikendalikan oleh aksi gen aditif yang juga dipengaruhi aksi gen epistasis. Pewarisan sifat jumlah polong kedelai di tanah masam dikendalikan oleh aksi gen epistasis. Aksi gen epistasis berperan penting dalam adaptasi tanaman terhadap cekaman abiotik seperti cekaman aluminium Phillips, 2008. Menurut Bnejdi et al . 2011 aksi gen yang mengendalikan suatu karakter pada generasi awal sulit dipisahkan dari epistasis duplikat. Epistasis duplikat adalah interaksi epistasis antara gen aditif x aditif, interaksi antar lokus ini dapat meningkatkan toleransi kedelai terhadap Al pada kondisi tercekam. Universitas Sumatera Utara BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Plastik Buatan dalam Rumah Kasa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 m diatas permukaan laut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2015 sampai dengan Agustus 2015. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih Kedelai F2 hasil persilangan Varietas Anjasmoro dengan Genotipe tahan salin sebagai objek penelitian, tanah salin 5- 6 DHL sebagai media tanam, pupuk Urea, TSP dan KCl untuk pemupukan dasar, Polybag 10 kg sebagai wadah tanam, plastik bening 15 kg untuk pelapis polybag, fungisida untuk mengendalikan jamur, insektisida untuk mengendalikan hama, air untuk menyiram tanaman, dan label untuk memberi tanda pada polybag serta selang untuk menyiram tanaman. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pengukur kadar garam Electro Conductivity Meter untuk mengukur DHL tanah salin, gembor untuk menyiram tanaman, timbangan untuk menimbang pupuk dan tanah, cangkul dan alat lain yang mendukung penelitian ini serta termometer untuk mengukur suhu lingkungan. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan tanpa ulangan. Uji kenormalan sebaran data dan frekuensi genotipe generasi F 2 dilakukan untuk masing-masing karakter menggunakan uji kenormalan Shapiro-Wilk dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel dan Minitab versi 16.0. Universitas Sumatera Utara Kenormalan data dilihat dari nilai kemenjuluran Skewness dan Kurtosis. Menurut Roy 2000, apabila nilai skewness dan kurtosis yang diperoleh: Skewness = 0 sebaran normal =aksi gen aditif Skewness Skewness terdapat kemenjuluran atau sebaran tidak normal =aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis duplikat =aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis komplementer Kurtosis = 3 Bentuk grafik mesokurtik Kurtosis 3 bentuk grafik sebaran platykurtik =karakter dikendalikan oleh banyak gen Kurtosis 3 bentuk grafik sebaran leptokurtik =karakter dikendalikan oleh sedikit gen Generasi Jumlah tanaman Tindakan Parental Tetua Persilangan A X N1 A X N2 A X N3 A X N4 A X N5 Dilakukan persilngan antara nomor-nomor kedelai turunan Grobogan yang terdapat gen salinitas N1, N2, N3, N4 dan N5 sebagai tetua jantan dengan vaerietas Anjasmoro A sebagai tetua betina F1 14 Bulk plot, penanaman dikelompokkandiberi jarak sesuai produksi yang tinggi F2 500 Penanaman di beri jarak untuk diseleksi secara visual Universitas Sumatera Utara PELAKSANAAN PENELITIAN Seleksi Benih Benih yang digunakan adalah benih yang telah melalui tahap seleksi sebelumnya. Benih yang digunakan adalah benih hasil persilangan dan benih yang memiliki bentuk dan ukuran yang terbaik serta bebas dari bibit penyakit. Persiapan Wadah Tanam Wadah tanam yang digunakan pada penelitian ini adalah polybag ukuran 10 kg yang dilapis plastik bening ukuran 15 kg. Persiapan Media Tanam Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah salin dengan 5-6 DHL yang ditimbang sebanyak 10kg dan dimasukkan selang ke polybag untuk tempat menyiram. Tanah salin diambil dari kecamatan Percut Sei Tuan dengan melakukan survei awal untuk melihat tanah salin yang memiliki 5-6 DHL. Media yang telah siap dipasangkan selang yang berguna saat penyiraman. Persiapan Lahan Lahan diukur seluas 12m X 16m dan dibersihkan dari sampah, rumput dan yang lainnya serta dibuat parit di sekeliling lahan. Disusun batu bata untuk meletakan polybag agar terlihat rapi. Pembuatan Rumah Plastik Rumah plastik dibuat di dalam rumah kasa dengan ukuran 12m X 16m dengan rapi dan kokoh. Plastik yang digunakan yang kilat dan bening agar cahaya mudah masuk. Universitas Sumatera Utara Penanaman Penanaman dilakukan dengan membuat lubang tanam pada polybag dengan kedalaman ± 2 cm, kemudian dimasukkan 2 benih per polybag dan kemudian ditutup kembali dengan tanah. Pemupukan Pemupukan dilakukan pada saat penanaman sesuai dosis anjuran kebutuhan pupuk kedelai yaitu 100 kg Ureaha 0,625 gpolybag, 200 kg TSPha 1,25 gpolybag dan 100 kg KClha 0,625 gpolybag. Pemeliharaan Penyiraman Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi atau sore hari dan disesuaikan dengan kondisi media tanam. Penyiraman dilakukan melalui selang dengan hati- hati. Penyiangan Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang ada didalam polybag untuk menghindari persaingan dalam mendapatkan unsur hara dari dalam tanah. Penyiangan juga dilakukan di sekililing lahan dan polybag. Penyiangan dilakukan sesuai dengan kondisi di lapangan. Pengajiran Pengajiran dilakukan pada seluruh tanaman, untuk menjaga tanaman agar tumbuh tegak dan kokoh serta tidak rebah. Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian hama dilakukan jika terjadi serangan, dengan menyemprotkan Decis 2,5 EC dengan konsentrasi 2 ccliter air. Sedangkan Universitas Sumatera Utara pengendalian penyakit dengan menggunakan Dhitane M-45 dengan dosis 2 ccliter. Pengendalian disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Panen Panen dilakukan dengan cara memetik polong satu persatu dengan menggunakan tangan. Panen dilakukan pada tanaman yang berumur 76-85 hari sesuai dengan varietas masing-masing. Kriteria panen kedelai ditandai dengan kulit polong sudah berwarna kuning kecoklatan sebanyak 95 dan daun sudah berguguran tetapi bukan karena adanya serangan hama dan penyakit. Peubah Amatan Tinggi Tanaman cm Tinggi tanaman dilakukan setiap minggu mulai dari 2 MST sampai dengan masuk masa generatif yang ditandai dengan munculnya bunga. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dari pangkal batang sampai titik tumbuh dengan menggunakan meteran. Jumlah Daun helai Jumlah daun dihitung setiap minggu dari 2 MST sampai masuk masa generatif yang ditandai dengan munculnya bunga. Daun kedelai termasuk jenis daun trifoliat. Jumlah Cabang Produktif cabang Penghitungan jumlah cabang dilakukan dengan menghitung jumlah cabang yang muncul disekitar batang utama. Penghitungan cabang dilakukan saat akan panen. Universitas Sumatera Utara Umur Berbunga hari Umur berbunga dilakukan dengan cara menghitung umur awal tanaman berbunga, setelah itu diamati setiap hari sampai tanaman terakhir berbunga. Jumlah Polong Berisi per Tanaman polong Dihitung pada saat panen dengan menghitung jumlah polong yang terbentuk pada setiap tanaman. Jumlah Polong Hampa per Tanaman polong Pengamtan dilakukan dengan menghitung semua polong hampa untuk. Bobot biji per Tanaman g Dilakukan dengan menimbang biji yang dihasilkan per tanaman yang telah dikeringkan sebelumnya.. Jumlah Biji biji Dilakukan dengan membuka polong setiap tanaman keudian menghitung biji satu per satu pada setiap tanaman. Umur Panen hari Pengamatan umur panen dilakukan pada tanaman yang telah memenuhi kriteria panen yaitu ditandai dengan kulit polong sudah berwarna kuning kecoklatan sebanyak 95 dan daun sudah berguguran. Universitas Sumatera Utara HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tinggi Tanaman cm Tabel 1. Nilai skewness dan kurtosis karakter tinggi tanaman. 80 70 60 50 40 30 20 10 25 20 15 10 5 TINGGI TANAMAN CM Fr e q u e n c y Gambar 1. Grafik sebaran tinggi tanaman seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin. Berdasarkan grafik sebaran karakter tinggi tanaman pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul Persilangan Skewness Aksi Gen Kurtosis Keterangan Seluruh Persilangan -0,20 Aditif+Epistasis Duplikat -0,81 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N1 0,05 Aditif+Epistasis Komplementer -0,93 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N3 0,82 Aditif+Epistasis Komplementer -1,02 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N4 - - - - A X N5 -0,40 Aditif+Epistasis Duplikat -0,29 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen Universitas Sumatera Utara platykurtik. Karakter tinggi tanaman tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter tinggi tanaman. Rataan tinggi tanaman untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 43,02 cm Lampiran 5. 70 60 50 40 30 20 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 TINGGI TANAMAN CM Fr e q u e n c y Gambar 2. Grafik sebaran tinggi tanaman A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter tinggi tanaman pada persilangan A X N1 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter tinggi tanaman tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter tinggi tanaman. Rataan tinggi tanaman untuk persilangan A X N1 sebesar 38.89 cm Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara 50 40 30 20 10 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 TINGGI TANAMAN CM Fr e q u e n c y Gambar 3. Grafik sebaran tinggi tanaman A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter tinggi tanaman pada persilangan A X N3 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter tinggi tanaman tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter tinggi tanaman. Rataan tinggi tanaman untuk persilangan A X N3 sebesar 29.28 cm Lampiran 2. Universitas Sumatera Utara 40 36 32 28 24 20 16 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 TINGGI TANAMAN CM Fr e q u e n c y Gambar 4. Grafik sebaran tinggi tanaman A X N4. Berdasarkan grafik sebaran karakter tinggi tanaman pada persilangan A X N4 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal. Pada persilangan ini tidak muncul nilai skewness dan kutosis disebabkan jumlah populasi tanaman yang hidup sangat sedikit. Rataan tinggi tanaman untuk persilangan A X N4 sebesar 28.15 cm Lampiran 3. Universitas Sumatera Utara 80 70 60 50 40 30 20 10 20 15 10 5 TINGGI TANAMAN CM Fr e q u e n c y Gambar 5. Grafik sebaran tinggi tanaman A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter tinggi tanaman pada persilangan A X N5 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter tinggi tanaman tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter tinggi tanaman. Rataan tinggi tanaman untuk persilangan A X N5 sebesar 48.03 cm Lampiran 4. Universitas Sumatera Utara Jumlah Daun helai Tabel 2. Nilai skewness dan kurtosis karakter jumlah daun. Persilangan Skewness Aksi Gen Kurtosis Keterangan Seluruh Persilangan -0,46 Aditif+Epistasis Duplikat 1,91 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N1 -0,38 Aditif+Epistasis Duplikat 1,33 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N3 -0,97 Aditif+Epistasis Duplikat -1,87 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N4 - - - - A X N5 -0,56 Aditif+Epistasis Duplikat 1,02 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen 9 8 7 6 5 4 3 2 70 60 50 40 30 20 10 JUMLAH DAUN HELAI Fr e q u e n c y Gambar 6. Grafik sebaran jumlah daun seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah daun pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah daun tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter Universitas Sumatera Utara jumlah daun. Rataan jumlah daun untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 5,22 helai Lampiran 5. 9 8 7 6 5 4 3 2 35 30 25 20 15 10 5 JUMLAH DAUN HELAI Fr e q u e n c y Gambar 7. Grafik sebaran jumlah daun A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah daun pada persilangan A X N1 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah daun tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah daun. Rataan jumlah daun untuk persilangan A X N1 sebesar 5, 18 helai Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara 5 4 5 4 3 2 1 JUMLAH DAUN HELAI Fr e q u e n c y Gambar 8. Grafik sebaran jumlah daun A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah daun pada persilangan A X N3 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah daun tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah daun. Rataan jumlah daun untuk persilangan A X N3 sebesar 4,66 helai Lampiran 2. Universitas Sumatera Utara 5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 JUMLAH DAUN HELAI Fr e q u e n c y Gambar 9. Grafik sebaran jumlah daun A X N4. Karakter jumlah daun pada persilangan A X N4 tidak terbentuk grafik sebaran. Hal ini karena jumlah populasi yang hidup sangat sedikit. Rataan jumlah daun untuk persilangan A X N4 sebesar 5 helai Lampiran 3. Universitas Sumatera Utara 7 6 5 4 3 40 30 20 10 JUMLAH DAUN HELAI Fr e q u e n c y Gambar 10. Grafik sebaran jumlah daun A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah daun pada persilangan A X N5 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah daun tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah daun. Rataan jumlah daun untuk persilangan A X N5 sebesar 5,3 helai Lampiran 4. Universitas Sumatera Utara Jumlah Cabang cabang Tabel 3. Nilai skewness dan kurtosis karakter jumlah cabang Persilangan Skewness Aksi Gen Kurtosis Keterangan Seluruh Persilangan 0,80 Aditif+Epistasis Komplementer -0,81 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N1 0,64 Aditif+Epistasis Komplementer -1,11 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N3 2,24 Aditif+Epistasis Komplementer 5,00 Leptokurtik+Dikendalikan sedikit gen A X N4 - - - - A X N5 0,86 Aditif+Epistasis Komplementer -0,52 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen 4 3 2 1 -1 30 25 20 15 10 5 JUMLAH CABANG CABANG Fr e q u e n c y Gambar 11. Grafik sebaran jumlah cabang seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah cabang pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah cabang tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter Universitas Sumatera Utara jumlah cabang. Rataan jumlah cabang untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 1,01 cabang Lampiran 5. 4 3 2 1 -1 18 16 14 12 10 8 6 4 2 JUMLAH CABANG CABANG Fr e q u e n c y Gambar 12. Grafik sebaran jumlah cabang A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah cabang pada persilangan A X N1 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah cabang tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah cabang. Rataan jumlah cabang untuk persilangan A X N1 sebesar 1,16 cabang Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara 2 1 -1 4 3 2 1 JUMLAH CABANG CABANG Fr e q u e n c y Gambar 13. Grafik sebaran jumlah cabang A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah cabang pada persilangan A X N3 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang runcing leptokurtik. Karakter jumlah cabang tersebut dipengaruhi oleh sedikit gen yang dan sedikit dipengaruhi lingkungan. Rataan jumlah cabang untuk persilangan A X N3 sebesar 0,4 cabang Lampiran 2. Universitas Sumatera Utara 3 2 1 -1 5 4 3 2 1 JUMLAH CABANG CABANG Fr e q u e n c y Gambar 14. Grafik sebaran jumlah cabang A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah cabang pada persilangan A X N5 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah cabang tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah cabang. Rataan jumlah cabang untuk persilangan A X N5 sebesar 0,9 cabang Lampiran 4. Universitas Sumatera Utara Umur Berbunga hari Tabel 4. Nilai skewness dan kurtosis karakter umur berbunga. Persilangan Skewness Aksi Gen Kurtosis Keterangan Seluruh Persilangan 1,36 Aditif+Epistasis Komplementer 1,49 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N1 0,92 Aditif+Epistasis Komplementer -0,29 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N3 -0,12 Aditif+Epistasis Duplikat -0,03 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N4 - - - - A X N5 1,95 Aditif+Epistasis Komplementer 8,22 Leptokurtik+Dikendalikan sedikit gen 42 40 38 36 34 32 30 28 60 50 40 30 20 10 UMUR BERBUNGA HARI Fr e q u e n c y Gambar 15. Grafik sebaran umur berbunga seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur berbunga pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter umur berbunga tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap Universitas Sumatera Utara karakter umur berbunga. Rataan umur berbunga untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 34 hari Lampiran 5. 40,8 38,4 36,0 33,6 31,2 28,8 25 20 15 10 5 UMUR BERBUNGA HARI Fr e q u e n c y Gambar 16. Grafik sebaran umur berbunga A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur berbunga pada persilangan A X N1 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter umur berbunga tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter umur berbunga. Rataan umur berbunga untuk persilangan A X N1 sebesar 34.42 hari Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara 42 40 38 36 34 32 30 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 UMUR BERBUNGA HARI Fr e q u e n c y Gambar 17. Grafik sebaran umur berbunga A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur berbunga pada persilangan A X N3 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter umur berbunga tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter umur berbunga. Rataan umur berbunga untuk persilangan A X N3 sebesar 35,66 hari Lampiran 2. Universitas Sumatera Utara 36 35 34 33 32 31 30 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 UMUR BERBUNGA HARI Fr e q u e n c y Gambar 18. Grafik sebaran umur berbunga A X N4. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur berbunga pada persilangan A X N4 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal. Pada persilangan ini tidak muncul nilai skewness dan kutosis disebabkan jumlah populasi tanaman yang hidup sangat sedikit. Rataan umur berbunga untuk persilangan A X N4 sebesar 33 hari Lampiran 3. Universitas Sumatera Utara 40 38 36 34 32 30 40 30 20 10 UMUR BERBUNGA HARI Fr e q u e n c y Gambar 19. Grafik sebaran umur berbunga A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur berbunga pada persilangan A X N5 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang runcing leptokurtik. Karakter umur berbunga tersebut dipengaruhi oleh sedikit gen yang dan sedikit dipengaruhi lingkungan. Rataan umur berbunga untuk persilangan A X N5 sebesar 33,49 hari Lampiran 4. Universitas Sumatera Utara Jumlah Polong Berisi polong Tabel 5. Nilai skewness dan kurtosis karakter jumlah polong berisi. Persilangan Skewness Aksi Gen Kurtosis Keterangan Seluruh Persilangan 1,06 Aditif+Epistasis Komplementer 0,33 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N1 0,97 Aditif+Epistasis Komplementer 0,02 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N3 0,24 Aditif+Epistasis Komplementer -1,96 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N4 - - - - A X N5 0,95 Aditif+Epistasis Komplementer -0,36 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen 20 15 10 5 -5 16 14 12 10 8 6 4 2 JUMLAH POLONG BERISI POLONG Fr e q u e n c y Gambar 20. Grafik sebaran jumlah polong berisi seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah polong berisi pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah polong berisi tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil Universitas Sumatera Utara terhadap karakter jumlah polong berisi. Rataan jumlah polong berisi untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 6,88 polong Lampiran 5. 20 15 10 5 -5 12 10 8 6 4 2 JUMLAH POLONG BERISI POLONG Fr e q u e n c y Gambar 21. Grafik sebaran jumlah polong berisi A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah polong berisi pada persilangan A X N1 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah polong berisi tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah polong berisi. Rataan jumlah polong berisi untuk persilangan A X N1 sebesar 7,48 polong Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara 8 6 4 2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 JUMLAH POLONG BERISI POLONG Fr e q u e n c y Gambar 22. Grafik sebaran jumlah polong berisi A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah polong berisi pada persilangan A X N3 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah polong berisi tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah polong berisi. Rataan jumlah polong berisi untuk persilangan A X N3 sebesar 4,4 polong Lampiran 2. Universitas Sumatera Utara 16 12 8 4 -4 4 3 2 1 JUMLAH POLONG BERISI POLONG Fr e q u e n c y Gambar 23. Grafik sebaran jumlah polong berisi A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah polong berisi pada persilangan A X N5 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah polong berisi tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah polong berisi. Rataan jumlah polong berisi untuk persilangan A X N5 sebesar 5,9 polong Lampiran 4. Universitas Sumatera Utara Jumlah Polong Hampa polong Tabel 6. Nilai skewness dan kurtosis karakter jumlah polong hampa. Persilangan Skewness Aksi Gen Kurtosis Keterangan Seluruh Persilangan 2,48 Aditif+Epistasis Komplementer 6,29 Leptokurtik+Dikendalikan sedikit gen A X N1 2,05 Aditif+Epistasis Komplementer 3,84 Leptokurtik+Dikendalikan sedikit gen A X N3 - - - - A X N4 - - - - A X N5 1,78 Aditif+Epistasis Komplementer 1,41 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen 4 3 2 1 -1 40 30 20 10 JUMLAH POLONG HAMPA POLONG Fr e q u e n c y Gambar 24. Grafik sebaran jumlah polong hampa seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah polong hampa pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang runcing leptokurtik. Karakter jumlah polong hampa tersebut dipengaruhi oleh Universitas Sumatera Utara sedikit gen yang dan sedikit dipengaruhi lingkungan. Rataan jumlah polong hampa untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 0.39 polong Lampiran 5. 4 3 2 1 -1 30 25 20 15 10 5 JUMLAH POLONG HAMPA POLONG Fr e q u e n c y Gambar 25. Grafik sebaran jumlah polong hampa A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah polong hampa pada persilangan A X N1 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang runcing leptokurtik. Karakter jumlah polong hampa tersebut dipengaruhi oleh sedikit gen yang dan sedikit dipengaruhi lingkungan. Rataan jumlah polong hampa untuk persilangan A X N1 sebesar 0,51 polong Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara 5 4 3 2 1 JUMLAH POLONG HAMPA POLONG Fr e q u e n c y Gambar 26. Grafik sebaran jumlah polong hampa A X N3. Karakter jumlah polong hampa pada persilangan A X N3 tidak terbentuk grafik sebaran. Hal ini karena jumlah populasi yang hidup sangat sedikit. Rataan jumlah polong hampa untuk persilangan A X N3 sebesar 0 polong Lampiran 2. Universitas Sumatera Utara 1 10 8 6 4 2 JUMLAH POLONG HAMPA POLONG Fr e q u e n c y Gambar 27. Grafik sebaran jumlah polong hampa A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah polong hampa pada persilangan A X N5 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah polong hampa tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah polong hampa. Rataan jumlah polong hampa untuk persilangan A X N5 sebesar 0,2 polong Lampiran 4. Universitas Sumatera Utara Bobot Biji gram Tabel 7. Nilai skewness dan kurtosis karakter bobot biji. Persilangan Skewness Aksi Gen Kurtosis Keterangan Seluruh Persilangan 1,39 Aditif+Epistasis Komplementer 1,32 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N1 1,37 Aditif+Epistasis Komplementer 1,45 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N3 0,99 Aditif+Epistasis Komplementer 1,41 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N4 - - - - A X N5 1,38 Aditif+Epistasis Komplementer 0,50 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen 6,0 4,8 3,6 2,4 1,2 0,0 -1,2 16 14 12 10 8 6 4 2 BOBOT BIJI GRAM Fr e q u e n c y Gambar 28. Grafik sebaran bobot biji seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin. Berdasarkan grafik sebaran karakter bobot biji pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter bobot biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter Universitas Sumatera Utara bobot biji. Rataan bobot biji untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 1,32 gram Lampiran 5. 4,8 3,2 1,6 0,0 -1,6 12 10 8 6 4 2 BOBOT BIJI GRAM Fr e q u e n c y Gambar 29. Grafik sebaran bobot biji A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter bobot biji pada persilangan A X N1 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter bobot biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing- masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter bobot biji. Rataan bobot biji untuk persilangan A X N1 sebesar 1,42 gram Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 -0,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 BOBOT BIJI GRAM Fr e q u e n c y Gambar 30. Grafik sebaran bobot biji A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter bobot biji pada persilangan A X N3 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter bobot biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing- masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter bobot biji. Rataan bobot biji untuk persilangan A X N3 sebesar 0,75 gram Lampiran 2. Universitas Sumatera Utara 5 4 3 2 1 -1 -2 5 4 3 2 1 BOBOT BIJI GRAM Fr e q u e n c y Gambar 31. Grafik sebaran bobot biji A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter bobot biji pada persilangan A X N5 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter bobot biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing- masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter bobot biji. Rataan bobot biji untuk persilangan A X N5 sebesar 1,25 gram Lampiran 4. Jumlah Biji biji Universitas Sumatera Utara Tabel 8. Nilai skewness dan kurtosis karakter jumlah biji. Persilangan Skewness Aksi Gen Kurtosis Keterangan Seluruh Persilangan 1,15 Aditif+Epistasis Komplementer 0,87 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N1 1,04 Aditif+Epistasis Komplementer 0,46 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N3 -0,29 Aditif+Epistasis Duplikat 0,01 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N4 - - - - A X N5 0,91 Aditif+Epistasis Komplementer -0,30 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen 40 30 20 10 -10 14 12 10 8 6 4 2 JUMLAH BIJI BIJI Fr e q u e n c y Gambar 32. Grafik sebaran jumlah biji seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah biji pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter Universitas Sumatera Utara jumlah biji. Rataan jumlah biji untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 12,56 biji Lampiran 5. 40 30 20 10 -10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 JUMLAH BIJI BIJI Fr e q u e n c y Gambar 33. Grafik sebaran jumlah biji A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah biji pada persilangan A X N1 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah biji. Rataan jumlah biji untuk persilangan A X N1 sebesar 13,81 biji Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara 16 12 8 4 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 JUMLAH BIJI BIJI Fr e q u e n c y Gambar 34. Grafik sebaran jumlah biji A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah biji pada persilangan A X N3 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah biji. Rataan jumlah biji untuk persilangan A X N3 sebesar 7,8 biji Lampiran 2. Universitas Sumatera Utara 30 20 10 -10 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 JUMLAH BIJI BIJI Fr e q u e n c y Gambar 35. Grafik sebaran jumlah biji A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter jumlah biji pada persilangan A X N5 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter jumlah biji tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter jumlah biji. Rataan jumlah biji untuk persilangan A X N5 sebesar 10,4 biji Lampiran 4. Universitas Sumatera Utara Umur Panen hari Tabel 9. Nilai skewness dan kurtosis karakter umur panen. Persilangan Skewness Aksi Gen Kurtosis Keterangan Seluruh Persilangan 1,44 Aditif+Epistasis Komplementer 2,34 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N1 1,46 Aditif+Epistasis Komplementer 1,85 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N3 -0,25 Aditif+Epistasis Duplikat -1,33 Platykurtik+Dikendalikan banyak gen A X N4 - - - - A X N5 1,87 Aditif+Epistasis Komplementer 5,41 Leptokurtik+Dikendalikan sedikit gen 110 100 90 80 70 25 20 15 10 5 UMUR PANEN HARI Fr e q u e n c y Gambar 36. Grafik sebaran umur panen seluruh hasil persilangan tetua anjasmoro dengan genotipa tahan salin. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur panen pada seluruh hasil persilangan diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter umur panen tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter Universitas Sumatera Utara umur panen. Rataan umur panen untuk seluruh gabungan persilangan sebesar 87,37 hari Lampiran 5. 112 104 96 88 80 72 14 12 10 8 6 4 2 UMUR PANEN HARI Fr e q u e n c y Gambar 37. Grafik sebaran umur panen A X N1. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur panen pada persilangan A X N1 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter umur panen tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter umur panen. Rataan umur panen untuk persilangan A X N1 sebesar 88.56 hari Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara 93 90 87 84 81 78 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 UMUR PANEN HARI Fr e q u e n c y Gambar 38. Grafik sebaran umur panen A X N3. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur panen pada persilangan A X N3 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kiri akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat duplikat. Selain itu terlihat bentuk kurva yang tumpul platykurtik. Karakter umur panen tersebut dipengaruhi oleh banyak gen yang dimana masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap karakter umur panen. Rataan umur panen untuk persilangan A X N3 sebesar 85,2 hari Lampiran 2. Universitas Sumatera Utara 110 100 90 80 70 60 7 6 5 4 3 2 1 UMUR PANEN HARI Fr e q u e n c y Gambar 39. Grafik sebaran umur panen A X N5. Berdasarkan grafik sebaran karakter umur panen pada persilangan A X N5 diperoleh bahwa karakter tersebut tidak berdistribusi normal dengan adanya kemenjuluran ke kanan akibat adanya pengaruh dari lingkungan dan gen aditif epistasis yang bersifat komplementer. Selain itu terlihat bentuk kurva yang runcing leptokurtik. Karakter jumlah polong hampa tersebut dipengaruhi oleh sedikit gen yang dan sedikit dipengaruhi lingkungan. Rataan umur panen untuk persilangan A X N5 sebesar 84,4 hari Lampiran 4. Universitas Sumatera Utara Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian persilangan tetua betina anjasmoro dan tetua jantan genotipa kedelai tahan salin pada F2 didapatkan bahwa untuk karater tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, umur berbunga, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa, bobot biji, jumlah biji dan umur panen tidak ada yang berdistribusi normal. Semua karakter tersebut menunjukan sebaran yang tidak normal dan terdapat kemenjuluran ke arah kanan maupun ke arah kiri yang dipengaruhi oleh adanya gen aditif epistasis duplikat maupun komplementer. Selain itu semua karakter masih sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Menurut Jayaramachandran et al . 2010 penyebaran karakter kuantitatif pada tanaman yang menjulur ke kiri atau ke kanan menunjukkan adanya pengaruh lingkungan, interaksi genotipe dan lingkungan, pautan gen, dan epistasis. Penyebaran karakter yang tidak membentuk sebaran normal terjadi karena keterlibatan gen-gen non aditif dalam mengendalikan keragaman pada populasi F2 atau karena pengaruh lingkungan yang besar dan dikendalikan oleh aksi gen aditif epistasis yang bersifat Komplementer. Berdasarkan hasil penelitian untuk karakter tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, umur berbunga, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa, bobot biji, jumlah biji dan umur panen memiliki sebaran fenotipe yang kontinu dan dipengaruhi oleh banyak gen. Artinya bahwa masing-masing gen memberikan pengaruh yang kecil terhadap masing-masing karakter. Hal ini sesuai pernyataan Trustinah 1997 yang menyatakan karakter kuantitatif umumnya dicirikan oleh sebaran fenotipenya kontinu atau menunjukkan sebaran normal dan dikendalikan Universitas Sumatera Utara oleh banyak gen yang masing-masing gen berpengaruh kecil terhadap ekspresi suatu karakter. Hasil penelitian pada generasi F2 ini menunjukan bahwa untuk karakter tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, umur berbunga, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa, bobot biji, jumlah biji dan umur panen memiliki sebaran yang tidak berdistribusi normal, dipengaruhi oleh banyak gen dimana masing- masing gen hanya berkontribusi kecil terhadap suatu karakter dan masih dipengaruhi oleh lingkungan serta masih memiliki pengaruh efek epistasis maupun komplementer dalam segregasi karakter-karakter tersebut. Hal ini tidak memungkinkan untuk melakukan seleksi karakter tersebut pada generasi F2. Perlu dilakukan seleksi pada generasi-generasi berikutnya. Hal ini sesuai pernyataan Nugroho 2013 yang menyatakan bahwa seleksi untuk karakter umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah polong per tanaman dan bobot 100 butir kedelai populasi F2 tidak dapat dilakukan pada generasi awal. Hal ini disebabkan karena karakter- karakter tersebut dikendalikan oleh banyak gen yang berkontribusi secara aditif dan peran dari masing-masing gen kecil serta peran lingkungan berpengaruh besar terhadap penampilan karakter-karakter tersebut. Begitu pula pada karakter umur panen, jumlah cabang produktif dan bobot biji per tanaman juga tidak dapat dilakukan pada generasi awal. Hal ini disebabkan karena pada karakter umur panen, jumlah cabang produktif dan bobot biji per tanaman tidak diwariskan secara langsung dari tetua ke keturunannya yang ditunjukkan adanya efek epistasisdi dalam segregasi karakter-karakter tersebut. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terjadi beberapa bentuk mekanisme toleransi dari tanaman hasil persilangan seperti perubahan tipe pertumbuhan, bentuk daun, perkembangan bunga dan ukuran biji. A B C D Gambar 40. Tipe pertumbuhan A, bentuk daun B, perkembangan bunga C, dan ukuran biji D. Pada tipe pertumbuhan terjadi perubahan dari tipe pertumbuhan determinate berubah ke tipe pertumbuhan indeterminate, bentuk daun berubah dari oval menjadi sempit, sebagian bunga mengalami perkembangan bunga yang terhambat bunga busuk dan gugur, dan ukuran biji kecil. Hal ini dilakukan oleh tanaman agar mampu beradaptasi dengan keadaan tanah yang tercekam oleh salinitas. Selain itu tanaman juga memperpendek siklus hidupnya karena hidup dalam Universitas Sumatera Utara keadaan tercekam salinitas seperti umur berbunga yang cepat dan umur panen yang cepat. Sebagian tanaman yang melakukan adaptasi tersebut yang mampu bertahan hidup hingga panen. Dari hasil penelitian Wahyudi 2012 diperoleh tanaman yang mampu bertahan hidup menggunakan suatu mekanisme toleransi dengan mengubah tipe pertumbuhan dari determinate menjadi indeterminate. Tanaman determinate menghasilkan biji besar sedangkan tipe indeterminate menghasilkan biji kecil. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa sebagian tanaman yang tidak mampu melakukan mekanisme toleransi pada keadaan cekaman salinitas akan mati tidak mampu bertahan hidup. Ada tanaman yang hanya mampu bertahan hidup saat stadia perkecambahan, saat fase vegetatif, dan saat masa waktu mulai berbunga. A B Universitas Sumatera Utara C D Gambar 41. Stadia perkecambahan A, fase vegetatif B dan C, dan masa mulai berbunga D. Tanaman yang tidak mampu bertahan hidup tersebut pada stadia perkecambahan akan mengalami kerusakan seperti busuknya kecambah, pada fase vegetatif tanaman akan mengalami gejala kuningnya seluruh daun yang semakin lama akan mengering dan mengakibatkan kematian, dan pada saat mulai berbunga tanaman juga mengalami gejala kuningnya daun, bunga busuk dan gugur dan lama kelamaan mengering dan mengakibatkan kematian. Hal ini sesuai pernyataan Slinger Tenison 2005 yang menyatakan tanah salin adalah salah satu lahan yang belum dimanfaatkan secara luas untuk kegiatan budidaya tanaman, hal ini disebabkan adanya efek toksik dan peningkatan tekanan osmotik akar yang mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tanaman dan dapat menyebabkan tanaman mati. Universitas Sumatera Utara KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pada penelitian generasi F2 persilangan tetua betina anjasmoro dengan tetua jantan genotipa tahan salin semua karakter tidak berdistribusi normal, memiliki tingkat segregasi yang tinggi dengan adanya pengaruh gen aditif epistasis dan masih dipengaruhi oleh banyak gen. Maka kegiatan seleksi untuk semua karakter belum bisa dilakukan pada generasi F2. Selain itu diketahui bahwa sebagian tanaman melakukan mekanisme toleransi seperti perubahan tipe pertumbuhan, bentuk daun, perkembangan bunga dan ukuran biji. Tanaman juga memperpendek siklus hidupnya seperti mempercepat umur berbunga dan umur panen agar mampu bertahan hidup dalam cekaman salinitas. Sebagian tanaman lagi yang tidak mampu melakukan mekanisme toleransi akan mati tidak mampu bertahan hidup. Hal ini terlihat sejak stadia perkecambahan, fase vegetatif, dan masa mulai berbunga. Saran Sebaiknya dilakukan penanaman untuk generasi-generasi berikutnya dan agar dapat dilakukan seleksi untuk semua karakter secara efektif. Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T. 2005. Kedelai: Budidaya dengan Pemupukan yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar. Penebar Swadaya. Jakarta. Aini, N., E. Mapfumo, Z. Rengel, C. Tang. 2012. Ecophysiological responses of Melaleuca species to dual stresses of water logging and salinity. International Journal of Plant Physiology and Biochemistry 4 4: 52 – 58. Alia, Y., dan W. Wilia. 2010. Persilangan Empat Varietas Kedelai dalam Rangka Penyediaan Populasi Awal untuk Seleksi. J. Penelitian Universitas Jambi Seri Sains 13 1: 39-42. Ashraf, M and P.J.C. Harris. 2004. Potential biochemical indicators of salinity tolerance in plants. Plant Science 166: 3-16 Baihaki, A. 2000. Teknik Rancangan dan Analisis Penelitian Pemuliaan . Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Bandung. 120 hlm. Bari, A. 1998. Pengajian Sebaran Frekuensi Hasil Padi Dan Dalam Tumpang Sari Padi Dengan Jagung Dan Ubi Kayu. Comm.Ag. 4 1: 41-45. Barona, M.A.A., J.M.C. Filho, V.S. Santos, I. O. Geraldi. 2012. Epistatic effect on grain yeild of soybean [ Glycine max L. Merrill]. Crop Breeding and Applied Biotechnology. Braz. Soc. Plant Breed. 12:231-236. Bnejdi, F., C. Hanbary, E.G. Mohamed. 2011. Genetic adaptability of inheritance of resistance to biotic and abiotic stress level on crop: Role of epistasis. Afric. J. Biotech. 10:19913-19917. BPS, 2014. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Indonesia. Diakses dari http:bps.go.id. Chahal G.S and Gosal. 2002. Principle And Procedures Of Plat Breeding : Biotecnological And Conventional Apporaches. Narosa Publishing House, Kalkota. Crowder, L.V. 1997. Genetika Tumbuhan Diterjemahkan oleh Lilik Kurdiati dan Sutarso Cetakan III. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 499 hlm. Donahue, R. L., R. W. Miler, J. C. Shickluna. 1983. Soil an introductionto soil and plant growth. 5rd Ed , Prentice-hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Universitas Sumatera Utara Falconer, D.S And Mackay.1996. Introduction To Quantitative Genetics. John Willey And Sons Inc, New York. FAO, 2008. Land and Plant Nutrition Management Service. Http:www.fao.orgagaglagllspush. Diakses 16 Oktober 2011. Fehr, W. R. 1987. Principles of Cultivar Development: Theory and Technique. Vol 1 . Macmillan Publishing Company. New York. 536 p. Flowers, T.J. and S.A. Flowers. 2005. Why does salinity pose such a difficult problem for plant breeders?. Agricultural Water Management 78: 15-24. Gorham, J. 2007. Sodium. In Barker, A.V and D.J Pilbeam eds. Handbook of plant Nutrition. Taylor Francis. p. 569-575. Herawati, T., 2009. Respon pertumbuhan dan Produksi Kedelai Glycine max L. Merrill Terhadap Fungi Mikoriza Arbuskula dan Perbandingan Pupuk An-Organik dan Organik. Universitas Sumatera Utara, Medan. Irwan, A. W., 2006. Budidaya Tanaman Kedelai Glycine max L.. Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Jayaramachandran, M., N. Kumaravadivel, S. Eapen, G. Kandasamy. 2010. Gene action for yield attributing characters in segregating generation M2 of sorghum Sorghum bicolor L.. Elec. J. Plant Breeding 1:802- 808. Kartono. 2005. Persilangan Buatan pada Empat Varietas Kedelai. Buletin Teknik Pertanian 10 2: 49-52, Jakarta. Mahendra, W. 2010. Pendugaan ragam, heritabilitas, dan kemajuan seleksi kacang panjang Vigna Sinensis var. Sesquipedalis [L.] Koern. populasi F2 keturunan persilangan Testa Hitam x Bernas Super. Skripsi . Universitas Lampung. Bandar Lampung. 71 hlm. Martin, F. W., 1998. Soybean . ECHO, USA. Millah, Z., R. Setiamihardja, A. Baihaki, dan YS. Darsa. 2004. Pewarisan karakter jumlah biji per polong dan warna biji tanaman kacang tanah Arachis hypogaea.Zuriat151:53 —58. Nugroho, W. P., M. Barmawi dan N. Sadiyah. 2013. Pola Segregasi Karakter Agronomi Tanaman Kedelai Generasi F2 Hasil Persilangan Yellow bean dan Taichung. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung, Lampung. Universitas Sumatera Utara Orf, J. H., K. Chase, J. Specht, I.Y. Choi, P. B. Cregan, and K. G. Lark. 2006. Abnormal leaf formation in soybean: genetic and environmental effects. Theor Appl Genet .1131: 137 –146 Phillips, P.C. 2008. Epistasis, the essential role of gene interactions in the structure and evolution of genetic systems. Nat. Rev. 9:855-867. Prihatman, K., 2000. Budidaya Pertanian Kedelai Glycine max

L. Kantor Deputi

Dokumen yang terkait

Sebaran Normal Karakter-Karakter Pertumbuhan Dan Produksi Hasil Persilangan Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merril) Varietas Anjasmoro Dengan Genotipa Kedelai Tahan Salin Pada F2

0 5 102

Sebaran Normal Karakter – Karakter Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L. Merril) Hasil Persilangan Grobogan dengan Genotipa Tahan Salin Pada Turunan F2

0 5 67

Sebaran Normal Karakter-Karakter Pertumbuhan Dan Produksi Hasil Persilangan Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merril) Varietas Anjasmoro Dengan Genotipa Kedelai Tahan Salin Pada F2

0 0 14

Sebaran Normal Karakter-Karakter Pertumbuhan Dan Produksi Hasil Persilangan Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merril) Varietas Anjasmoro Dengan Genotipa Kedelai Tahan Salin Pada F2

0 0 2

Sebaran Normal Karakter-Karakter Pertumbuhan Dan Produksi Hasil Persilangan Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merril) Varietas Anjasmoro Dengan Genotipa Kedelai Tahan Salin Pada F2

0 0 3

Sebaran Normal Karakter-Karakter Pertumbuhan Dan Produksi Hasil Persilangan Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merril) Varietas Anjasmoro Dengan Genotipa Kedelai Tahan Salin Pada F2

0 0 10

Sebaran Normal Karakter-Karakter Pertumbuhan Dan Produksi Hasil Persilangan Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merril) Varietas Anjasmoro Dengan Genotipa Kedelai Tahan Salin Pada F2

0 0 4

Sebaran Normal Karakter-Karakter Pertumbuhan Dan Produksi Hasil Persilangan Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merril) Varietas Anjasmoro Dengan Genotipa Kedelai Tahan Salin Pada F2

0 1 18

Sebaran Normal Karakter – Karakter Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L. Merril) Hasil Persilangan Grobogan dengan Genotipa Tahan Salin Pada Turunan F2

0 0 13

Sebaran Normal Karakter – Karakter Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L. Merril) Hasil Persilangan Grobogan dengan Genotipa Tahan Salin Pada Turunan F2

0 0 2