Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang
populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.
Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
5.1.2 Kebebasan Berekspresi Etnis Tiongha Pada Masa Orde Baru
Pada awal kedatangan Etnid Tionghoa ke Indonesia tepatnya di Makassar memiliki sifat yang tertutup dalam pergaulannya, hal ini dikarenakan masih
kurang mempercayai penduduk setempat untuk beradaptasi lebih lanjut. Terutama pada masa Orde Baru dimana semua kebebasan dilarang untuk menjaga karakter
bangsa. Sampai di Makassar sendiri dibangun “China Town” yang menandakan bahwa daerah itu dihuni oleh para Etnnis Tionghoa. Sampai saat ini gapura yang
bertuliskan hal tersebut masih bisa di lihat di Makassar. China Town ini membuktikan bahwa keberadaan Etnis Tionghoa ada dan berada dilingkungan
masyarakat setempat untuk mempermudah dalam beradaptasi. Selain itu, warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak
tahun 1967, warga keturunan Tionghoa dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia, dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak
langsung juga menghapus hak-hak asasi Etnis Tionghoa, misalnya semua sekolah Tionghoa dilarang di Indonesia. Sejak saat itu, semua anak Tionghoa Indonesia
harus menerima pendidikan seperti anak orang Indonesia lain secara nasional. Bahkan pada jaman Orde Baru tersebut ada larangan menggunakan istilah atau
nama Tionghoa untuk toko atau perusahaan. Bahasa Tionghoa sama sekali dilarang untuk diajarkan dalam bentuk formal maupun informal. Dampak dari
kebijakan Orde Baru ini ialah selama 30 tahun masyarakat Tionghoa Indonesia tidak dapat menikmati kebudayaannya sendiri. Pertunjukan kesenian barongsai
secara terbuka, perayaan Hari Raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa
Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional, karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang
hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Etnis Tionghoa berjuang hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin
dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan Pemerintahan Indonesia Kakarisah,
2010. Paguyuban Etnis Tionghoa Indonesia, yang mendapati sebuah keputusan
yang diterbitkan oleh pemerintah, merasakan adanya diskriminatif yang lebih menyulitkan. Hal ini dikarenakan perbedaan antara keputusan yang dibuat pada
masa Orde Lama dan keputusan yang dibuat pada masa Orde Baru. Pada Orde Lama, kegiatan Etnis Tionghoa lebih dibebaskan dan lebih mudah bergerak.
Namun, pada masa Orde Baru semua gerak-gerik yang dilakukan dibatasi dan harus dilaporkan. Pemerintah sendiri melakukan hal tersebut karena memiliki
alasan yang khusus yaitu tidak menginginginkan identitas Cina ini semakin kuat ketika pemerintah Orde Baru memberikan kebebasan Etnis Tionghoa dalam
melakukan kegiatan kulturalnya. Dengan demikian, pengembangan simbol-simbol yang ditimbulkan akan bisa membatasi permasalahan yang ada sehingga proses
asimilasi akan mudah dilakukan Wawancara dengan Tang, 10 Oktober 2015
5.2 Perkembangan Sosial-Ekonomi Etnis