10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Perjanjian
2. 1. 1. Pengertian Perjanjian
Pengertian perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat pada Pasal 1313 dimana suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang dapat menimbulkan
akibat hukum. Perjanjian juga bisa dibilang sebagai perbuatan untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban
13
. Timbulnya hak dan kewajiban diantara masing-masing pihak dari sebuah
perjanjian, maka disini lahirlah suatu perikatan. Definisi perikatan dapat ditemui pada Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena undang-undang. Masing-masing pihak yaitu kreditur dan debitur terikat oleh adanya suatu prestasi yang harus
dipenuhi sesuai dengan ketentuan Pasal 1234 yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu. Perjanjian yang dibuat secara timbal balik akan menimbulkan sisi aktif dan
sisi pasif. Sisi aktif dalam perjanjian menimbulkan hak bagi kreditur dalam pemenuhan prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi
debitur untuk melaksanakan prestasinya
14
. Pada situasi normal antara prestasi dan kontra prestasi akan saling bertukar, namun pada keadaan tertentu pertukaran
prestasi tidak berjalan dengan semestinya sehingga muncul cidera janji wanprestasi.
13
Anonim, Pengertian dan Syarat-SyaratPerjanjian. Diakses dari
http:www.legalakses.comperjanjian . Pada tanggal 05-Maret-2015
14
Agus Yudha Hernako, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial. Jakarta, Kencana, 2014, hlm 261
Cidera janji wanprestasi pada umumnya baru terjadi setelah adanya pernyataan lalai dari pihak kreditur kepada debitur. Debitur dinyatakan cidera
janji wanprestasi apabila
15
: 1.
Tidak melaksanakan isi perjanjian. 2.
Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3. Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi dapat menuntut
pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian, atau meminta ganti kerugian pada pihak yang telah melakukan cidera janji wanprestasi terhadap perjanjian yang
telah di buat dan disepakati. Ganti kerugian disini bisa meliputi ganti rugi terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan dan ganti rugi terhadap kerugian
yang ditimbulkan akibat dari cidera janji wanprestasi tersebut.
2. 1. 2. Perjanjian Jual-Beli
Jual-beli menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu si penjual berjanji untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya si pembeli berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan
dari perolehan hak milik tersebut
16
. Perjanjian jual-beli terdapat dua belah pihak atau lebih yang bisa disebut dengan penjual dan pembeli.
Antara penjual dan pembeli haruslah ada objek yang menjadi pokok dalam perjanjian diantara mereka. Barang yang menjadi objek perjanjian jual-beli harus
cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli
17
. Menurut Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan jual-beli itu dianggap telah
terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini penjual dan
15
Wahyuni Wulandari, Hukum Perjanjian. Diakses dari http:wahyuni-
wulandari.blogspot.com201304hukum-perjanjian.html. pada tanggal 05-Maret-2015
16
R. Subekti, Aneka Perjanjian. Bandung, Citra Aditya Bakti, 1995, hlm 1.
17
Ibid., hlm 2.
pembeli mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.
Menurut Hukum Adat, jual-beli merupakan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual
kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat mana pembeli menyerahkan harganya pada penjual, pembayaran harganya dan
penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan meskipun pembayarannya baru sebagian, akan tetapi menurut hukum adat
sudah dianggap dibayar secara penuh
18
. Dalam hukum adat jual- beli dilakukan antara pihak penjual dan pembeli dengan cara tunai.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1459 mengatur apabila Hak Milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli,
selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613, dan 616 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Unsur-unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga. Sesuai den
gan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik
tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang
sah. Antara penjual dan pembeli memiliki kewajiban yang berbeda, bagi pihak
penjual ada dua kewajiban utama yaitu
19
: 1.
Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang
menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada si pembeli. Di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengenal tiga macam barang yaitu: barang bergerak, barang tidak bergerak, dan barang tak bertubuh. Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ada tiga macam penyerahan hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing macam barang itu:
18
Made Somya Putra, Perjanjian Jual Beli. Diakses dari https:lawyersinbali.wordpress.com20120331perjanjian-jual-beli
pada tanggal 06-Maret-2015
19
R. Subekti, Op.Cit., hlm 8.
a. Menurut Pasal 612 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk
barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas barang tersebut secara nyata artinya yaitu penyerahan dari tangan ke tangan.
b. Menurut Pasal 616 untuk barang tidak bergerak yang berwujud tanah
penyerahan dapat dilakukan dengan perbuatan yang dinamakan “balik
nama” yang dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. c.
Untuk barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan “cessie” sebagaimana diatur dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menyatakan: Penyerahan akan piutangan-piutangan atas nama dan
kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta dibawah-tangan, dengan mana hak-hak atas
kebendaan itu dilimpahkan kepada oranglain.
Penyerahan yang demikian bagi siberutang tiada akibatnya melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya
secara tertulis dan diakuinya.
Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat-bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu; penyerahan tiap-tiap piutang
karena surat-tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen”
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem bahwa perjanjian jual-
beli itu hanya “obligatoir”, artinya bahwa perjanjian jual-beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua
belah pihak penjual dan pembeli yaitu meletakkan kepada si penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya,
sekaligus memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui dan disebelah lain meletakkan kewajiban kepada si
pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya.
Terkait dengan itu, perjanjian jual-beli menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata itu belum memindahkan hak milik, adapaun hak
milik baru berpindah dengan dilakukannya “levering” atau penyerahan
2. Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan
menanggung cacat-cacat yang tersembunyi. Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan
konsekwensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan deliver itu adalah sungguh-sungguh miliknya
sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu pihak. Mengenai kewajiban untuk menanggung cacat-cacat tersembunyi
dapat diterangkan bahwa si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat- cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya yang membuat barang
tersebut tak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi pemakaian itu.
Adapun kewajiban dari si pembeli yaitu adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian
20
. “Harga” tersebut harus berupa sejumlah uang, meskipun dalam hal ini tidak
ditetapkan dalam sesuatu pasal undang-undang, namun sudah dengan sendirinya termaktub didalam pengertian jual-beli, oleh karena bila tidak, umpamanya harga
itu berupa barang maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi “tukar-menukar”. Berdasarkan uraian diatas memang terdapat perbedaan antara jual-beli
dengan tukar menukar, dalam suatu perjanjian jual-beli si penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang si pembeli berjanji untuk
membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Namun demikian yang ditekankan dalam perjanjian jual-beli
ini adanya suatu pembayaran berupa uang agar kepemilikan barang dari penjual tersebut agar berpindah ke pembeli, berbeda dengan tukar-menukar yang mana
masing-masing pihaknya hanya saling menyerahkan atau memberikan suatu barang secara timbal balik dan tidak ada pembayaran uang seperti jual-beli.
2. 1. 3. Asas-Asas Perjanjian
Asas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hukum dasar, asas merupupakan dasar bagi seseorang untuk dijadikan pedoman dalam pemikiran
20
Ibid., hlm 20.
dan tindaka mereka. Terdapat beberapa asas perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengarahkan dan menjadi dasar mengenai
awal terjadinya suatu perjanjian, maupun yang menjadi dasar dalam pembuatan isi dari perjanjian tersebut diantaranya yaitu:
1. Asas kebebasan berkontrak
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas
pancaran hak asasi manusia
21
. Asas kebebasan berkontrak memberikan pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian, di dalam asas ini terkandung suatu
pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian
22
. Pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian disini dimaksudkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan atau emmbuat suatu perjanjian
dengan siapapun asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. 2.
Asas konsensualisme Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkandung
asas yang esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas konsensualisme yang menentukan adanya perjnanjian. Di dalam asas ini terkandung kehendak para
pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara pihak terhadap pemenuhan perjanjian
23
. Asas ini merupakan ruh dari setiap perjanjian yang akan dibuat, tanpa adanya asas ini perjanjian tidak bisa diadakan
karena tidak adanya kata sepakat antara masing-masing pihak yang membuat perjanjian.
3. Asas kepercayaan
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memenuhi
prestasinya. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk
21
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan. Bandung, Alumni, 1996, hlm 110.
22
Agus Yudha Hernako, Op.Cit., hlm 110.
23
Ibid., hlm 121.
keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang
24
. Makna kepercayaan dalam asas ini sangat diperlukan oleh masing-masing pihak
dalam pembuatan perjanjian bahwa masing-masing pihak akan melakukan kewajibannya sesuai perjanjian yang dibuat, oleh karena itu setiap pihak yang
akan membuat perjanjian harus menumbuhkan rasa percaya pada masing-masing pihak .
4. Asas kekuatan mengikat
Pada dasarnya janji itu mengikat sehingga perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan kekuatan daya berlaku atau daya mengikatnya
perjanjian, maka perjanjian yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya
undang-undang
25
. Asas ini mengharuskan para pihak yang emmbuat perjanjian untuk memnuhi apa yang telah mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka
buat, asas ini disebut juga asas pacta sunt servanda. 5.
Asas persamaan hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain
26
. Setiap perjanjian yang dibuat oleh masing-masing pihak tidaklah menempatkan salah satu pihak yang membuatnya lebih tinggi dari pihak satunya,
akan tetapi posisi mereka haruslah sederajat sehingga masing-masing pihak mendapatkan cakupan muatan isi yang sama dalam maksud dan tujuan perjanjian
tersebut. 6.
Asas keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian itu
27
. Jadi kedudukan antara masing-masing pihak adalah seimbang dalam pemenuhan hak dan kewajibannya.
24
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hlm 114
25
Agus Yudha Hernako, Op. Cit., hlm 124.
26
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hlm 114.
27
Ibid.
7. Asas itikad baik
Kesepakatan para pihak dalam pembuatan perjanjian haruslah dilandasi dengan itikad baik, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian-perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik disini dapat diartikan bahwa masing-
masing pihak dalam membuat perjanjian haruslah bersifat jujur dan saling terbuka.
8. Asas moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi
dari pihak debitur
28
. Asas moral ini terdapat dalam Pasal 1339 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. 9.
Asas kepatutan Asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi dari
perjanjian
29
. Asas kepatutan merupakan ukuran tentang hubungan rasa keadilan dalam masyarakat dan isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang dan kesusilaan. Berdasarkan uraian asas diatas, ruh dari suatu perjanjian atau lahirnya dari
suatu perjanjian yaitu kata sepakat terdapat dalam asas konsensualisme. Dengan adanya asas konsensualisme ini maka sudah terjadi kesepakatan antara masing-
masing pihak mengenai perjanjian dan isinya, misalnya dalam suatu perjanjian jual-beli masing-masing pihak sudah sepakat mengenai barang dan harga yang
akan diperjual belikan.
28
Ibid.
29
Ibid.
2. 1. 4. Syarat-Syarat Perjanjian
Syarat-syarat sah dalam suatu perjanjian haruslah terpenuhinya seluruh unsur Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal
Syarat sahnya perjanjian diatas terdapat syarat Subjektif dan syarat Objektif. S
yarat Subjektif adalah “Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” dan “Kecakapan untuk membuat suatu perikatan”, sedangkan yang dimaksud syarat
Objektif adalah “Suatu hal tertentu” dan “Suatu sebab yang halal”. Syarat Subjektif dari perjanjian adalah “Kecakapan untuk membuat suatu perikatan”,
kecakapan disini yang dimaksud yaitu telah genap berusia dua puluh satu tahun berdasar pada Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin, sedangkan yang dimaksud tidak cakap yaitu berdasar pada
Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: Tak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
1. Orang-orang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang
membuat persetujuan-
persetujuan tertentu.” 2. 1. 5.
Batalnya Perjanjian Suatu perjanjian yang di buat oleh masing-masing pihak yang
berkepentingan dapat terjadi pembatalan. Batalnya suatu perjanjian dapat dibedakan menjadi 2 terminologi yang memiliki konsekuensi yuridis, yaitu
30
:
30
Bung Pokrol, Batalnya Suatu Perjanjian. Diakses dari http:www.hukumonline.comklinikdetailcl3520. pada tanggal 05-Maret-2015
1. Null and Void , dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap
tidak pernah ada apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian itu batal demi hukum, dari semula tidak pernah ada dilahirkan
suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. 2.
Voidable, bila salah satu syarat subjektif tidak dipenuhi, perjanjiannya bukannya batal demi hukum, tetapi salah satu pihak
dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan oleh hakim
atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya
secara tidak bebas. Berdasarkan uraian diatas suatu perjanjian yang dibuat oleh masing-
masing pihak dapat dinyatakan batal demi hukum Null and Void dan dapat dibatalkan Voidable. Dikatakan batal demi hukum karena syarat Objektif dari
perjanjian tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang membuatnya dalam artian Objek dari perjanjian tersebut masih kabur, dapat dibatalkan apabila perjanjian itu tidak
memenuhi unsur Subjektifnya dalam hal ini adalah pihak-pihak yang membuatnya itu belum cakap dalam membuat perjanjiannya.
2. 2. Cacat Hukum