Pembatalan Perjanjian Jual Beli Tanah Akibat Adanya Penipuan Data Di Hadapan Notaris Berdasarkan Putusan Perdata No. 161/Pdt.G/2007 PN Mdn

(1)

Pembatalan Perjanjian Jual Beli Tanah Akibat Adanya Penipuan

Data Di Hadapan Notaris

Berdasarkan Putusan Perdata No. 161/Pdt.G/2007 PN Mdn

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk mencapai Gelar Sarjana

Oleh:

LIZA NOVIETA SITANGGANG NIM: 050200265

ILMU HUKUM / HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Pembatalan Perjanjian Jual Beli Tanah Akibat Adanya Penipuan

Data Di Hadapan Notaris

Berdasarkan Putusan Perdata No. 161/Pdt.G/2007 PN Mdn

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk mencapai Gelar Sarjana

Oleh:

Nama : Liza Novieta Sitanggang NIM : 050200265

Departemen : Hukum Perdata BW Program : Reguler

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Prof. Dr. Tan Kamello, SH. MS NIP. 131. 764. 556

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, SH. MS M.Husni, SH. M.Hum NIP. 131. 764. 556 NIP. 131 764 555

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang diberikan.

Skripsi ini adalah sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam skripsi ini penulis membahas mengenai ” Pembatalan Perjanjian Jual Beli Tanah Akibat Adanya Penipuan Data Di Hadapan Notaris berdasarkan Putusan Perdata No. 161/Pdt.G/2007 PN Mdn”.

Skripsi ini dapat penulis selesaikan karena adanya bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, dalam bentuk material maupun spiritual serta informasi yang berhubungan dengan penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan inipenyusun menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum USU Medan;

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I FH USU Medan;

3. Bapak Syafrudin, SH, M.Hum., DFM selaku Pembantu Dekan II FH USU Medan;


(4)

5. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH. MS, selaku Ketua Departemen Perdata FH USU Medan;

6. Ibu Rabiatul, SH., M.Hum., selaku Ketua Jurusan Hukum Perdata BW FH USU Medan;

7. Bapak Samsyul Rizal, selaku Sekertaris Jurusan Hukum Perdata USU Medan; 8. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH. MS, selaku Dosen Pembimbing I dan

Bapak M. Husni, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yangtelah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini;

9. Seluruh staf pengajar FH USU yang penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampaidengan menyelesaikan skripsi ini;

10.Orang Tua tercinta M. Sitanggang dan M. Simanjuntak, dan adik-adikku (Amena Kristiani S., Trike S., Rahma Linda S., Natalia Graciela S., Lucky Immanuel S., dan Nathan Fremont S., yang telah banyak memberikan dukungan moril maupun materil;

11.Sahabat-sahabat dekat penulis Novaliana P., Anita L. S., dan Ice Trisnawati Aritonang.;

12.Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum USUMedan khususnya stambuk2005 buant persahabatan yang indah selama ini;

Akhir kata sebagai mahluk ciptaan-Nya, penulis berserah diri kepada Tuhan dan penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada lagi kekurangan dalam menyelesaikan skripsi ini, baik dari segi bahasa, penulisan maupun penyajian materi. Namun demikian penulis tetap berusaha untuk menyelesaikan


(5)

skripsi ini dengan baik. Penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, September 2009 Penulis,

LIZA NOVIETA SITANGGANG 050200265


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II Gambaran Umum Perjanjian Jual Beli Menurut KUHPerdata ... 11

A. Pengertian Perjanjian Jual Beli ... 11

B. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli ... 21

C. Kewajiban Yang Timbul Dalam Perjanjian Jual Beli ... 25

D. Resiko Dalam Perjanjian Jual Beli ... 30

E. Perbedaan Batal dan Pembatalan ... 32

BAB III Tinjauan Tentang Perbuatan Melawan Hukum dan Penipuan Data Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata ... 38

A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum ... 38

B. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum ... 42


(7)

D. Akibat Hukum Dari Tindakan Perbuatan Melawan Hukum

dan Penipuan Data... 54

BAB IV Pembatalan Perjanjian Jual Beli Tanah Akibat Adanya Penipuan Data Di Hadapan Notaris ... 58

A. Proses Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Oleh Notaris ... 59

B. Pembatalan Perjanjian Jual Beli Tanah Akibat Hukum Penipuan Data Di Hadapan Notaris ... 63

C. Upaya Penyelesaikan Sengketa Permohonan Ganti kerugian dan Pembatalan Perjanjian Jual Beli Tanah Dikarenakan Penipuan Data Di Hadapan Notaris ... 66

D. Analisis Putusan Perkara Perdata No. 161/Pdt.G/2007 PN Mdn ... 72

BAB V Kesimpulan dan Saran ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 81


(8)

ABSTRAKSI

Pembatalan Perjanjian Jual Beli Tanah Akibat Adanya Penipuan

Data Di Hadapan Notaris

Berdasarkan Putusan Perdata No. 161/Pdt.G/2007 PN Mdn

Prof. Dr. Tan Kamello, SH. MS

*

M. Husni, SH, M.Hum

**

Liza Novieta Sitanggang

***

”Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu-muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”

Di dalam KUHPerdata tidak ada memberikan perumusan tentang apa yang dinamakan dengan penipuan itu sendiri. Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu memang dapat memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi dapat disadari bahwa kehendak itu, karena adanya daya tipu yang sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada hal penipuan, merupakan kehendak yang benar. Jadi kehendak di sini kesasar, karena disasarkan. Dengan demikian di sini, dapat dilihat bahwa rumusannya adalah ”kehendak dan pernyataan kehendaknya sama, hanya dalam hal ada kesesatan, gambaran yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu melalui tipu muslihatnya kepada pihak yang lain.”

Jika suatu perjanjian yang dibuat tersebut tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian itu menjadi tidak sah yang berarti perjanjian itu terancam batal, yang mana kesalahan mengenai para pihak disebut error in personam

Seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian orang tersebut dari kewajiban membayar ganti kerugian. Untuk dapat dipertanggung jawabkan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur adanya suatu pelanggaran hukum, danya kesalahan, terjadinya kerugian, adanya hubungan kausalitas

Dalam terjadinya perbutan penipuan dalam suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalan dimuka hakim, dan juga ganti rugi terhadap penipuan yang dilakukan oleh pihak yang melakukan perbuatan penipuan. Halini di dalam Pasal 1328 KUHPerdata dengan tegas mengatakan, bahwa penipuan merupakan alasan pembata

1. Penipuan

2. Error in personam

*

Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II


(9)

ABSTRAKSI

Pembatalan Perjanjian Jual Beli Tanah Akibat Adanya Penipuan

Data Di Hadapan Notaris

Berdasarkan Putusan Perdata No. 161/Pdt.G/2007 PN Mdn

Prof. Dr. Tan Kamello, SH. MS

*

M. Husni, SH, M.Hum

**

Liza Novieta Sitanggang

***

”Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu-muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”

Di dalam KUHPerdata tidak ada memberikan perumusan tentang apa yang dinamakan dengan penipuan itu sendiri. Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu memang dapat memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi dapat disadari bahwa kehendak itu, karena adanya daya tipu yang sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada hal penipuan, merupakan kehendak yang benar. Jadi kehendak di sini kesasar, karena disasarkan. Dengan demikian di sini, dapat dilihat bahwa rumusannya adalah ”kehendak dan pernyataan kehendaknya sama, hanya dalam hal ada kesesatan, gambaran yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu melalui tipu muslihatnya kepada pihak yang lain.”

Jika suatu perjanjian yang dibuat tersebut tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian itu menjadi tidak sah yang berarti perjanjian itu terancam batal, yang mana kesalahan mengenai para pihak disebut error in personam

Seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian orang tersebut dari kewajiban membayar ganti kerugian. Untuk dapat dipertanggung jawabkan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur adanya suatu pelanggaran hukum, danya kesalahan, terjadinya kerugian, adanya hubungan kausalitas

Dalam terjadinya perbutan penipuan dalam suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalan dimuka hakim, dan juga ganti rugi terhadap penipuan yang dilakukan oleh pihak yang melakukan perbuatan penipuan. Halini di dalam Pasal 1328 KUHPerdata dengan tegas mengatakan, bahwa penipuan merupakan alasan pembata

1. Penipuan

2. Error in personam

*

Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II


(10)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan pada rumusan yang diberikan dapat dilihat bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu. Jual beli merupakan suatu perjanjian yang bersifat konsensuil.† Dengan pengertian bahwa perjanjian jual beli telah lahir dan mengikat para pihak yaitu penjual dan pembeli segera setelah mereka mencapai kata sepakat mengenai kebendaan yang diperjual belikan dan dengan harga yang harus dibayar.

Dengan kesepakatan tersebut, pembeli terikat untuk menyerahkan kebendaan yang dijual tersebut. Dalam kaitan dan hubungannya dengan

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,


(11)

permasalahan penyerahan hak milik ini perlu diperhatikan ketentuan Pasal 584 KUHPerdata yang mengatakan bahwa:

“Hak milik atas suatu benda tidak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan (pendakuan), karena perikatan, karena kadaluarsa, karena pewarisan, baik menurut Undang-Undang maupun menurut surat wasiat dan dengan penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat bebas terhadap barang itu”

Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut adalah bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar oleh siapapun juga dan bersifat memaksa yang harus ditaati oleh siapa saja. Dan yang termasuk dalam objek jual beli salah satunya adalah benda tak bergerak yaitu tanah yang akan dibahas secara lebih luas.

Masalah hak atas tanah di Indonesia bukanlah masalah yang sederhana untuk diselesaikan karena masalah hak atas tanah dapat dikategorikan sebagai permasalahan yang rumit dan komplek. Hal ini dikarenakan sumber daya tanah tidak mungkin lagi bertambah sementara manusia yang membutuhkan tanah semakin bertambah. Masalah tanah berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan manusia seperti aspek sosial budaya, aspek ekonomi, aspek hukum, aspek politik bahkan aspek pertahanan dan keamanan negara.

Disamping itu berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 telah menghadirkan peraturan-peraturan mengenai tanah yang selama ini masih dapat dikatakan bersifat dualisme antara tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat dan hukum adat dan menjadi pedoman bagi pemerintah dan


(12)

masyarakat, khususnya bagi pejabat pembuat akta tanah, notaris dan pejabat lain yang berwenang dalam melaksanakan tugasnya yang berkaitan dengan tanah. Karena terkait dengan aspek sosial dan budaya masyarakat, maka nilai sumber daya tanah ini tidak dapat dilepaskan dari nilai adat yang tumbuh dan berkembang dalam dimensi kehidupan masyarakat.

Nilai kultural tanah yang kadang kala tidak dapat dinilai dengan materi, menempatkan tanah sebagai hak yang magis religius yang harus dipertahankan kelompok masyarakat secara turun menurun. Selain itu tanah sebagai aset ekonomi merupakan bagian kehidupan yang tidak dipisahkan dari tatanannya terutama saat era globalisasi dan era globalisasi yang telah ada dan akan bergulir dewasa ini. Yang mana pada posisi seperti ini nilai tanah bukan lagi dihitung sebagai aset tetapi telah bergeser menjadi komoditi yang dapat diperjualbelikan sesuai mekanisme pasar dan bahkan menjadi modal yang kuat untuk bergerak memutar roda perekonomian bangsa. Oleh karena itu menghindari tumpang tindih antara penggunaan hukum barat dengan hukum adat maka diadakanlah suatu Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang menghapus hak-hak atas tanah tersebut baik yang tunduk pada hukum barat maupun pada hukum adat tetapi yang dikenal hanyalah hak milik menurut Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

Di dalam peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Pasal 19 Lembaran Negara No. 18 menjelaskan:

”Setiap perjanjian bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh mentri


(13)

agraria (selanjutnya dalam peraturan pemerintah ini disebut pejabat), akta tersebut seutuhnya ditetapkan oleh menteri agraria.”

Hubungan antara seseorang dengan seseorang lain menimbulkan perhubungan hukum, perhubungan hukum mana mempunyai kriteria masing-masing dan itu akan menimbulkan persetujuan-persetujuan dan perjanjian-perjanjian diantara mereka. Perjanjian mana dalam perjanjian-perjanjian lisan, perjanjian-perjanjian di bawah tangan ataupun akta notaris agar otentik dan dapat dijadikan bukti bila terjadi masalah. Walaupun ada dikenal asas kebebasan berkontrak tetapi setiap perjanjian atau perikatan itu harus selalu mengacu kepada peraturan yang telah ditentukan untuk itu. Apabila hubungan hukum itu terjadi karena adanya persetujuan antara seseorang dengan seorang lain mengenai tanah atau rumah atau lainnya, selain dikaitkan dengan peraturan jabatan notaris bila tanah atau rumah yang menjadi objek dalam perjanjian itu telah mempunyai status yang jelas dan pasti, seperti sertifikat hak milik, hak guna bangunan dan sebagainya, maka perjanjian itu harus dibuat dihadapan pejabat yang ditunjuk ialah pejabat pembuat akte tanah (PPAT). Aturan seperti ini telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria, peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan telah dicabut dan disempurnakan lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Jadi setiap perjanjian diantara seorang dan seorang yang lainnya atau antara seorang dengan badan hukum atau sebaliknya, telah tersedia perangkat hukum yang mengaturnya agar tidak terjadi penyimpangan dari apa yang telah ditetapkan oleh undang-undang.


(14)

Namun dalam hal terjadi penyimpangan harus dapat dibuktikan bahwa penyimpangan itu dapat dibenarkan karena tidak merugikan para pihak dan telah terjadi secara berkesinambungan dari generasi ke generasi dan telah baku dan diterima oleh masyarakat tanpa menimbulkan dampak yang negatif dalam masyarakat maupun pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Masalah inilah yang ingin diangkat kepermukaan dimana seseorang yang mengalihkan hak tanahnya yang telah bersertifikat kepada orang lain tetapi tidak memakai jalur yang ditetapkan oleh peraturan yang ada tetapi penyerahan tanah tersebut dengan memakai akta notaris dengan judul perikatan jual beli yang dibuat oleh notaris. Secara hukum dalam pelaksanaan tugasnya PPAT/ notaris pada dasarnya bertumpu pada kegiatan pembuatan akta yang serba formal-prosedural, meski disamping tugas tersebut ia dapat juga memberi nasihat hukum. Dikatakan demikian karena kewajibannya hanya melayani pengusahaan perbuatan hukum dan pihak-pihak yang memakai jasanya. Itulah sebabnya perjanjian dan ketetapan yang dibuat oleh PPAT dalam bentuk akta merupakan perbuatan dari para pihak yang meminta jasanya untuk membuat pengesahan formal.‡

Di dalam perkara perdata No. 161/Pdt.G/2007 PN Mdn antara Sariah, Samini dan Raikem melawan Jose Rizal, BSc, Andreas Ngikut Meliala, SH, Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan terdapat permasalahan yang menarik mengenai permohonan pembatalan perjanjian jual beli tanah akibat adanya penipuan data di hadapan notaris. Bahwa Pengadilan Negara Medan dalam putusannya tanggal 27 September 2007 mengabulkan permasalahan tersebut dan


(15)

menjadi menarik karena menurut pasal 1328 KUHPerdata yang dimaksud dengan penipuan adalah apabila di dalam pembuatan suatu perjanjian terdapat adanya tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, sehingga pihak lainnya secara sedemikian rupa dan nyata tidak akan membuat dan atau menyetujui dan melakukan perikatan tersebut jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Permohonan-permohonan tersebut justru dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri, hal mana tindakan Majelis tersebut mengabulkan permohonan pembatalan perjanjian jual beli tanah akibat adanya penipuan

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pengamatan dan penelaahan penulis terhadap berbagai literatur, perundang-undangan, maka untuk dapat memahami lebih lanjut tentang pembahasan skripsi ini, kiranya penulis perlu mengemukakan permasalahan yang ada dalam skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana proses pembuatan akta jual beli tanah di hadapan notaris? 2. Bagaimana proses pembatalan perjanjian jual beli tanah akibat hukum

perbuatan penipuan data di hadapan notaris?

3. Bagaimana cara menyelesaikan sengketa pembatalan perjanjian jual beli tanah dikarenakan perbuatan penipuan data di hadapan notaris?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:


(16)

2. Untuk menjelaskan sikap hakim dalam menghadapi perkara pembatalan perjanjian jual beli kaitannya dikarenakan adanya tindakan penipuan oleh para pihak di hadapan notaris.

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah: 1. Segi Teoritis

Tulisan ini dapat memberikan manfaat di bidang ilmu pengetahuan hukum dan diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan hukum perdata dan khususnya mengenai hukum perikatan jual beli yang di sini objeknya adalah sebidang tanah serta Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada para pejabat negara dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut sebagai upaya mengantisipasi terjadinya penipuan data di hadapan notaris

2. Segi Praktis

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pejabat negara, dalam hal ini notaris guna lebih teliti dan waspada dalam melaksanakan tugas dan kewenanagannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran, penulisan terhadap judul skripsi ini pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diketahui belum ada


(17)

tulisan yang mengangkat tentang “Pembatalan Perjanjian Jual Beli Tanah Akibat Adanya Penipuan Data Di Hadapan Notaris Berdasarkan Putusan Perdata No. 161/PDT.G/2007 PN Mdn.” Oleh karena itu penulisan skripsi ini dapat dikatakan masih asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.

E. Metode Penulisan

1. Spesifikasi Penulisan

Spesifikasi penulisan yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang didukung oleh data-data empiris yang menggambarkan secara sistematis data mengenai masalah yang akan dibahas. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara sistematis sehingga dapat ditarik kesimpulan dari keseluruhan hasil analisa.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, berupa hukum positif dan bagaimana penerapannya dalam praktik di Indonesia.

3. Metode Penulisan

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan, yaitu kegiatan mengumpulkan data-data sekunder yang terdiri dari:

(1) Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan mengikat, baik


(18)

peraturan yang diterbitkan oleh negara lain dan badan-badan internasional.

(2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer.

(3) Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder.

4. Analisis Data

Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis normatif kualitatif, yaitu lebih fokus kepada analisis hukumnya dan menelaah bahan-bahan hukum baik yang berasaldari peraturan perundang-undangan dan buku-buku yang berhubungan.

F. Sistematika Penulisan

Seluruh uraian yang ada dalam penyusunan skripsi ini, dikemukakan dalam sistematika isi yang secara garis besarnya terdiri atas 5 (lima) bab dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub-sub, yaitu sebagai berikut:


(19)

Pada bab ini berisikan latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan dan gambaran isi.

Bab II Gambaran Umum Perjanjian Jual Beli Menurut KUHPerdata

Dalam bab ini dipaparkan pengertian perjanjian jual beli, saat terjadinya perjanjian jual beli, kewajiban yang timbul dalam perjanjian jual beli, risiko dalam perjanjian jual beli, perbedaan batal dan pembatalan dalam hukum.

Bab III Tinjauan tentang Perbuatan Melawan Hukum dan Penipuan Data Dipandang dari Sudut Hukum Perdata

Dalam bab ini dikemukakan tentang pengertian perbuatan melawan hukum, unsur-unsur perbuatan melawan hukum, penipuan data dalam KUHPerdata, dan akibat hukum dari tindakan perbuatan melawan hukum dan penipuan data.

Bab IV Pembatalan Perjanjian Jual Beli Tanah Akibat Adanya Penipuan Data di Hadapan Notaris

Dalam bab ini diuraikan tentang proses pembuatan akta jual beli tanah oleh notaris, pembatalan perjanjian jual beli tanah akibat hukum penipuan data di hadapan notaris, upaya penyelesaian sengketa permohonan ganti kerugian dan pembatalan perjanjian jual beli tanah dikarenakan penipuan data di hadapan notaris yang terdiri dari permohonan ganti kerugian dan permohonan pembatalan


(20)

perjanjian jual beli tanah dikarenakan penipuan data di hadapan notaris.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, kemudian dilengkapi dengan daftar pustaka.

BAB II

GAMBARAN UMUM PERJANJIAN JUAL – BELI

MENURUT KUHP

A. Pengertian Perjanjian Jual – Beli

Pasal 1457 KUHP menyatakan jual beli adalah suatu persetujuan yang mana apabila dikaitkan dengan Pasal 1313 KUHPerdata suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana salah satu (satu orang) atau lebih mengaitkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dengan mana pihak yang satu mengaitkan


(21)

perjanjian jual beli tanah dikarenakan penipuan data di hadapan notaris.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, kemudian dilengkapi dengan daftar pustaka.

BAB II

GAMBARAN UMUM PERJANJIAN JUAL – BELI

MENURUT KUHP

A. Pengertian Perjanjian Jual – Beli

Pasal 1457 KUHP menyatakan jual beli adalah suatu persetujuan yang mana apabila dikaitkan dengan Pasal 1313 KUHPerdata suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana salah satu (satu orang) atau lebih mengaitkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dengan mana pihak yang satu mengaitkan


(22)

dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Menurut M.Yahya Harahap terhadap perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang/lebih yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pihak lain menunaikan prestasi §.

Dari rumusan diatas, dapat dilihat bahwa perikatan merupakan hubungan hukum antara dua orang (pihak) atau lebih dalam kehidupan manusia dalam bermasyarakat, dimana hukum itu meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban di masing-masing pihak.

Pada dasarnya terdapat perbedaan antara perjanjian dan kontrak. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Pengertian perjanjian atau kontrak diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi: ”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah

1. tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, 2. tidak tampak asas konsensualisme,dan

3. bersifat dualisme

Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja. Maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam

§


(23)

doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah ”Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.” Definisi ini, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban). Unsur-unsur perjanjian, menurut teori lama adalah sebagai berikut:

1. adanya perbuatan hukum

2. persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang 3. persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan

4. perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih

5. pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung satu sama lain

6. kehendak ditunjukkan untuk menimbulkan akibat hukum

7. akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik, dan

8. persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-undangan.

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah ”Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”** Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat

**

Salim, SH MS, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 26.


(24)

perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian, menurut teori baru, yaitu:

1. tahap pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;

2. tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak;

3. tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal mengatakan contract is: An

agreement between two or more persons not marely a share belief, but common understanding as to something that is to be done in the future by one or both of them (Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal 1993:2).

Artinya kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang ataulebih tidak hanya memberikan kepercayaan, tetapi secara bersama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masamendatang oleh seseorang atau keduanya dari mereka.††

Pendapat ini tidak hanya mengkaji definisi kontrak, tetapi ia juga menentukan unsur-unsur yang harus dipenuhi supaya suatu transaksi dapat disebut kontrak ada tiga unsur kontrak, yaitu:

1. The agreement fact between the parties (adanya kesepakatan tentang

fakta antara kedua belah pihak)

2. The agreement as writen (persetujuan dibuat secara tertulis)


(25)

3. The set of rights and duties created by (1) and (2), (adanya orang yang

berhak dan berkewajiban untuk membuat: (1) kesepakatan dan (2) persetujuan tertulis

Di dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan dengan contract is an

agreemant between two or more person which creates an obligation to do or not to do particular thing. Artinya, kontak adalah suatu persetujuan

antara dua orang atau lebih, di mana menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian. (Black’s Law Dictionary, 1979:291)

Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu dapat dibuat secara lisan dan andai kata dibuat ditulis maka perjanjian itu bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan.Yang mana untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, haruslah memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebut syarat objektif karena mengenai objek dari pengikatan.

1. Syarat Subjektif

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka bahwa kedua belah pihak haruslah


(26)

mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya ”cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara para pihak.

a. Selalu dipertanyakan saat-saat terjadinya perjanjian antara pihak. Mengenai hal ini ada beberapa ajaran yaitu:

(1) Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menulias surat.

(2) Teori pengiriman (verzedtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirimoleh pihak yang menerima tawaran.

(3) Teori pengetahuan (verzendtheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkanseharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. (4) Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan

itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan

b. Cacat Syarat Subjektif

Pasal 1321 KUHPerdata:

”Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”


(27)

”Kekhilafan” tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnyaapabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan.”

”Kekhilafan” tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.”

1) Kekhilafan (kesesatan)

(a) error in persona

Kekhilafan dibedakan dalam kekhilafan mengenai orangnya dinamakan error ini persona, dan kesesatan mengenai hakikat barangnya dinamakan error in substantia.

Contoh dari error in persona, ialah perjanjian yang dibuat oleh seseorang dengan seseorang biduanita terkenal, ternyata kemudian dibuatnya dengan biduanita tidak terkenal, tetapi namanya sama.

(b) error in substansia

Maksudnya ialah bahwa kesesatan itu adalah mengenai sifat benda, yang merupakan alasan yang sesuangguhnya bagi kedua belah pihak, untuk mengadakan perjanjian misalnya, seseorang yang beranggapan bahwa ia membeli lukisan Basuki Abdullah, kemudian mengetahui bahwa lukisan yang dibelinya itu adalah sebuah tiruan.


(28)

Ketentuan mengenai paksaan diatur dalam Pasal 1323-1327 KUHPerdata, yang dimaksud dengan paksaan adalahbukan paksaan dalam arti absolut, sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi, misalnya jika seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang yang lemah dan membuatia mencantumkan tanda tangan di bawah sebuah perjanjian

3) Penipuan

Pasal 1328 KUHPerdata:

”Penipuan merupakan suatu alasan untukpembatalan persetujuan, apabila tipu-muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidaktelah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”

c. Cakap melakukan perbuatan hukum

Dalam Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang, yang mana dalam Pasal 1330 ditentukan batasan-batasan mengenai orang yang dinyatakan tidak cakap untuk membuat suatu persetujuan-persetujuan, yaitu:

(1) Orang-orang yang belum dewasa (belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan atau sebelumnya belum kawin)

(2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

(3) Orang-orangperempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu.


(29)

2. Syarat Objektif

a. Syarat Tentang Barang

Suatu perjanjian haruslah memiliki objek tertentu. Sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada, ketentuan mengenai barang yang menjadi objek perjanjian adalah sebagai berikut :

1. Barang itu ada dan dapat diperdagangkan

2. Barang yang digunakan untuk keperluan umum antara lain seperti jalan umum, pelabuhan, gedung-gedung umum, tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian.

3. Dapat ditentukan jenisnya (1333 KUHPerdata)

4. Barang yang akan datang/barang yang akan ada (1334 KUHPerdata) b. Syarat Tentang Suatu Sebab yang Halal

Berdasarkan Pasal 1335 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa setiap perjanjian yang dibuat tanpa sebab palsu/terlarang serta bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Di dalam Hukum Perdata ada dikenal beberapa asas yang harus diperhatikan oleh para pihak dalam membuat perikatan perjanjian jual beli. Asas hukum adalah suatu pikiran yang bersifat umum dan abstrak yang melatar


(30)

belakangi hukum positif.. Pengertian tersebut dapat ditarik dan pendapat Sudikno Mertokusumo yang memberi penjelasan sebagai berikut:

”Pengertian asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalamdan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.”‡‡

Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian antara lain:

1. Asas Konsensualisme

Konsensualisme berasal dari perkataan lain ”Consensus” yang berarti sepakat. Jadi asas konsensualisme berarti bahwa suatu perjanjian pada dasarnya telah dilahirkan sejak tercapainya kesepakatan. Asas ini dapat disimpulkan dari KUHPerdata Pasal 1320.

Dalam pasal tersebut tidak disebutkan adanya formalitas tertentu di samping kesepakatan yang telah tercapai, sehingga dapat disimpukan bahwa perjanjian sudah sah apabila telah ada kesepakatan para pihak mengenai hal-hal yang pokok. Terhadap asas konsensulisme ini terdapat pengecualian yaitu beberapa macam perjanjian, yang mana undang-undang menyatakan adanya formalitas tertentu. Hal ini berarti selain kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak, perjanjian harus pula diwujudkan dalam bentuk tertulis atau akta. Perjanjian semacam ini misalnya perjanjian penghibahan perjanjian kerja,

‡‡ Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,


(31)

perjanjian perdamaian, perjanjian asuransi, perjanjian mendirikan perusahaan, dan sebagainya.

2. Asas Kebebasan Berkontrak

Menurut asas ini, hukum perjanjian memberikan kebebasan pada setiap orang untuk membuat perjanjian apapun, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum. Asas ini diberikan oleh KUHPerdata Pasal 1338 ayat (1) yang menyatakan bahwa semua semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Dari perkataan semua yang terdapat dalam ketentuan oleh KUHPerdata pasal 1338 ayat (1) dapat disimpulkan bahwa setiap orang atau masyarakat bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja, baik mengenai bentuknya maupun objek dan jenis dari perjanjian tersebut.

Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsep dari dianutnya sistem terbuka dalam hukum perjanjian, yang berarti setiap orang bebas membuat perjanjian apapun baik yang telah diatur secara khusus dalam KUHPerdata maupun yang belum diatur dalam KUHPerdata atau peraturan lainnya. Asas kebebasan berkontrak ini dapat juga dikatakan sebagai perjanjian mempunyai sifat hukum pelengkap yang mana dapat mengesampingkan ketentuan dalam KUHPerdata buku III.


(32)

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjianitu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua belah pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

B. Saat Terjadinya Perjanjian Jual – Beli

Unsur-unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga dimana antara si penjual dan si pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda digabung menjadi objek jual beli .

Hukum perjanjian dalam KUHPerdata mengandung asas konsensualisme, artinya bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensis. Pada detik tersebut, perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukan pada detik-detik lain yang kemudian atau yang sebelumnya. Asas tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata.

Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan-perkataan, ia dapat


(33)

dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang ”menawarkan” (melakukan ”offerte”) maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.

Dengan demikian maka yang akan menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada asas konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus (dan ini adalah maha penting karena merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu undang–undang), terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Dan ini pula merupakan suatu tuntunan kepastian hukum. Bukankah dari ketentuan bahwa harus berpijak pada apa yang telah dinyatakan itu timbul perasaan aman pada setiap orang yang telah membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin dituntut memenuhi kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan kepadanya. Dan apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat konsensus atau tidak (yang berarti apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau tidak) maka Hakim atau Pengadilanlah yang akan menetapkannya.

Asas konsensualisme yang terkandung dalam Pasal 1320 KUHPerdata (kalau dikehendaki: Pasal 1320 KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata), tampak jelas pula dari perumusan–perumusan berbagai macam perjanjian. Kalau diambil perjanjian yang utama, yaitu jual–beli, maka


(34)

konsensualisme itu menonjol sekali dari perumusannya dalam Pasal 1548 KUHPerdata yang berbunyi :

”Jual- beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang – orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harga hak miliknya belum dibayar”.

Namun perlu diperhatikan bahwa dengan persetujuan ini si pembeli belumlah menjadi pemilik eigenaar karena persetujuan ini hanya bersifat obligatur. Untuk menjadi pemilik harus diadakan penyerahan (lavening) lebih dulu. Yang mana penyerahan yang mempunyai akibat pemindahan kebendaan. Penyerahan ini mempunyai akibat perpindahan kebendaan. Penyerahan ini tergantung pada jenis bendanya apakah bergerak, tidak bergerak maupun benda tak bertubuh. Hal ini ditegaskan juga dalam ketentuan 1945 KUHPerdata yakni hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpihak kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613, 616 KUHPerdata.§§

Bagi si pembeli, untuk mandapatkan kepastian bahwa ia benar akan menjadi pemilik benda yang bersangkutan, maka dapat diberikan semacam uang panjar arti dari pada penyerahan ini ditegaskan dalam Pasal 1475 KUHP.*** Jual beli dapat dikategorikan dalam beberapa macam:

1. Jual beli dengan percobaan (Pasal 1463 KUHPerdata)

§§

Prof. R. Subekti, SH. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

*** Achmad Ichsan, Hukum Perdata IB Jakarta, Pembimbing Masa, Jakarta , 1969, hlm.


(35)

2. Jual beli dengan sistem panjar (Pasal 1464 KUHPerdata) 3. Jual beli dengan contoh

4. Jual beli hak membeli kembali (Pasal 1519 KUHPerdata 5. Jual beli dengan cicilan (Pasal 1576 KUHPerdata) 6. Sewa beli

Dalam Code Civil Perancis malahan jual-beli yang sifatnya konsensual itu sudah pula memindahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan, sehingga yang disitu dinamakan penyerahan (delivrance) hanyalah merupakan penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang hak miliknya sudah berpindah sewaktu perjanjiannya jual-beli ditutup.

C. Kewajiban Yang Timbul Dalam Perjanjian Jual – Beli

Dalam pelaksanaan perjanjian jual beli didalamnya terdapat subjek dan objek jual beli yang harus juga diperhatikan dalam pelaksanaan perjanjian jual beli.

Pada dasarnya semua orang dapat atau badan hukum (BH) dapat menjadi subjek dalam perjanjian jual beli, yaitu bertindak sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Namun secara jurisdiksi ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian sebagaimana dikemukakan berikut ini:†††


(36)

a. Jual beli suami istri

Pertimbangan hukum tidak diperkenankan karena jual beli antara suami istri adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi percampuran harta, yang disebut harta bersama, kecuali ada perjanjian kawin.

b. Jual beli oleh para hakim, jaksa, advokat/pengacara, juru sita dan notaris.

Para pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang-barang dalam sengketa. Apabila hal itu tetap dilakukan maka jual belli itu dapat dibatalkan serta dibebankan untuk pengantian biaya, rugi dan bunga.

c. Pegawai yang mengaku jabatan umum yang dimaksud di sini adalah membeli untuk kepentingan sendiri terhadap barang yang dilelang.

Dalam pelaksanaan perjanjian jual beli yang dapat menjadi objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan tidak bergerak, baik menurut tumpukan surat, ukuran, dan timbangannya sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjual belikan adalah:‡‡‡

a. Benda/ barang orang lain

b. Barang yang tidak dioerkenankan oleh Undang-Undang seperti obat terlarang

c. Bertentangan dengan ketertiban umum d. Kesusilaan yang baik


(37)

Dari ketentuan di atas mengenai subjek dan objek dari terlaksananya transaksi perjanjian jual beli maka di dalamnya juga terkandung kewajiban dari para pihak yang terkait dalam pembuatan perjanjian jual beli, yaitu:

1. Kewajiban-kewajiban si Penjual

Bagi pihak penjual secara prinsip ada tiga kewajiban yaitu :

(a) Memelihara dan merawat kebendaan yang akan diserahkan kepada pembeli hingga saat penyerahannya;

(b) Menyerahkan kebendaan yang dijual pada saat yang telahditentukan, atau jika tidak telah ditentukan saatnya, atas permintaan pembeli;

(c) Menanggung kebendaan yang dijual tersebut.§§§

Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan itu dari si penjual kepada si pembeli.

Oleh karena KUHPerdata mengenal tiga macam barang, yaitu: barang bergerak, barang tetap dan barang “tak bertubuh” (dengan mana dimaksudkan piutang, penagihan atau ”claim”).

Untuk barang tetap (tak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan “balik-nama” (“overschrijving”) dimuka Pegawai Penyimpan hipotik, yaitu menurut Pasal 616 KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 620 KUHPerdata.

Selanjutnya Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Pokok Agraria, dalam Pasal 19


(38)

menentukan bahwa jual-beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akte Tanah (disingkat: P.P.A.T ), sedangkan menurut maksud peraturan tersebut hak milik atas tanah juaga berpindah pada saaat dibuatnya akte dimuka pejabat tersebut.**** (demikian disimpulkan Boedi Harsono S.H. dalam bukunya “Undang- undang Pokok Agraria” halaman 172 – 178).

Dalam pada itu, mengenai “levering” tersebut oleh B.W dianutnya apa yang dinamakan “sistem casual” yaitu sistem yang menggantungkan sahnya levering itu pada dua syarat :

a. Sahnya titel yang menjadi dasar dilakukannya levering,

b. Levering tersebut dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas (”beschikkingsbevoegd”) terhadap barng-barang yang dilevering itu. Dengan ”titel” dimaksudkan perjanjian obligatoir yang menjadi dasar levering itu, dengan perkataan lain: jual-belinya, tukar-menukarnya, atau penghibahannya (tiga perjanjian ini merupakan titel-titel untuk pemindahan hak milik). Adapun orang yang ”berhak berbuat bebas” adalah pemilik barang sendiri atau orang yang dikuasakan olehnya.

Dengan demikian maka apabila titel tersebut tidak sah (batal) atau kemudian dibatalkan oleh Hakim (karena adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan), maka leveringnya menjadi batal juga, yang berarti bahwa pemindahan hak milik dianggap tidak pernah terjadi. Begitu pula halnya apabila orang yang

****


(39)

memindahkan hak milik itu ternyata tidak berhak melakukannya karena ia bukan pemilik maupun orang yang secara khusus dikuasakan olehnya.

2. Kewajiban-kewajiban si Pembeli

Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian (Pasal 1513 KUHPerdata).

”Harga” tersebut harus berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam sesuatu pasal undang-undang, namun sudah dengan sendirinya termasuk di dalam pengertian jual-beli, oleh karena bila tidak, umpamanya harga itu berupa barang, maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi ”tukar – menukar”, atau kalau harga itu berupa suatu jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian kerja, dan begitu seterusnya. Dalam pengertian ”jual-beli” sudah termaktub pengertian bahwa di satu pihak ada barang dan di lain pihak ada uang. Tentang macamnya uang, dapat diterangkan bahwa, meskipun jual-beli itu terjadi di Indonesia, tidak diharuskan bahwa harga itu ditetapkan dalam mata uang rupiah, namun diperbolehkan kepada pihak untuk menetapkannya dalam mata uang apa saja.

Harga itu harus ditetapkan oleh kedua belah pihak, namun adalah diperkenankan untuk menyerahkan kepada perkiraan atau penentuan seseorang pihak ketiga. Dalam hal yang demikian maka jika ketiga ini tidak suka atau tidak mampu membuat perkiraan tersebut atau menentukannya,maka tidaklah terjadi suatu pembelian. Hal ini berarti bahwa perjanjian jual-beli yang harganya harus


(40)

ditetapkan oleh pihak ketiga itu pada hakekatnya adalah suatu perjanjian dalam suatu ”syarat tangguh”, karena perjanjiannya baru akan jadi kalau harga itu sudah ditetapkan oleh ketiga tersebut.

Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli harus membayar ditempat dan pada waktu dimana penyerahan (levering) barangnya harus dilakukan (Pasal 1514 KUHPerdata).

Jika si pembeli, dalam penguasaannya atas barang yang dibelinya, diganggu oleh suatu tuntutan hukum yang berdasarkan hipotik atau suatu tuntutan untuk meminta kembali barangnya atau jika si pembeli mempunyai alasan yang patut untuk berkhawatir bahwa ia akan diganggu, maka dapatlah ia menangguhkan pembayaran harga pembelian hingga si penjual telah menghentikan gangguan tersebut, kecuali jika si penjual memilih memberikan jaminan, atau jika telah diperjanjikan bahwa si pembeli diwajibkan membayar biarpun segala gangguan.

D. Risiko Dalam Perjanjian Jual – Beli

Pada dasarnya setiap orang memikul sendiri risiko atas kerugian yang menimpa barang miliknya, kecuali kalau kerugian itu dapat dipersalahkan kepada orang lain atau dengan membayar sejumlah uang tertentu atau dilimpahkan kepada perusahaan asuransi. Namun dalam hal tidak ada pelimpahan kepada perusahaan asuransi risiko menjadi masalah, kalau terjadi kerugian tetapi tidak ada yang dapat dipersalahkan.


(41)

Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) di luar kesalahan salah satu pihak, misalnya: barang yang diperjual-belikan musnah diperjalanan karena kapal laut yang mengangkutnya keram ditengah laut akibat terbakar habis karena ”kortsluiting” aliran listrik.

Pihak yang menderita karena barang yang menjadi obyek perjanjian ditimpa oleh kejadian yang tak disengaja tersebut dan diwajibkan memikul kerugian itu tanpa adanya keharusan bagi pihak lawannya untuk mengganti kerugian itu, dinamakan pihak yang memikul risiko atas barang tersebut.

Persoalan tentang risiko itu berpokok-pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak. Peristiwa semacam itu dalam hukum perjanjian dengan salah satu pihak. Peristiwa semacam itu dalam hukum perjanjian dengan suatu istilah hukum dinamakan ”keadaan memaksa” (”overmacht”, ”force majeur”). Dengan demikian maka persoalan tentang risiko itu merupakan buntut dari persoalan tentang keadaan memaksa, suatu kejadian yang tak disengaja dan tak dapat diduga.

Mengenai risiko dalam jual – beli ini dalam BW, yaitu:

a. mengenai barang tertentu (Pasal 1460 KUHPerdata)

b. mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran. (Pasal 1461 KUHPerdata)

Mengenai barang tertentu ditetapkan (oleh Pasal 1460 KUHPerdata) bahwa barang itu sejak saat pembelian (saat ditutupnya perjanjian) adalah atas

tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual


(42)

Menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1461 KUHPerdata dan Pasal 1462 KUHPerdata risiko atas barang-barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran diletakkan pada pundaknya si penjual hingga barang-barang itu telah ditimbang, dihitung atau diukur, sedangkan risiko atas barang-barang yang dijual menurut tumpukan diletakkan pada si pembeli.

Kalau mengenai barang-barang yang masih harus ditimbang, dihitung atau diukur dahulu, sebelum dilakukan penimbangan, perhitungan atau pengukuran, risikonya diletakkan dipundaknya si penjual, itu memang sudah tepat, tetapi kalau setelah dilakukan penimbangan, perhitungan atau pengukuran. Risiko tersebut

otomatis dipindahkan kepada si pembeli, itu merupakan suatu ketidak-adilan

seperti yang dilakukan oleh Pasal 1460 KUHPerdata yang dibicarakan di atas. Begitu pula ketentuan tentang barang ”tumpukan” adalah sama, karena barang tumpukan sebetulnya merupakan kumpulan dari barang-barang tertentu menurut pengertian Pasal 1460 KUHPerdata.

Kesimpulannya adalah bahwa selama belum dilever, mengenai barang dari macam apa saja, risikonya masih harus dipukul oleh penjual, yang masih merupakan pemilik sampai pada saat barang itu secara yuridis diserahkan kepada pembeli.

E. Perbedaan Batal Dan Pembatalan Dalam Perjanjian Jual Beli

Tidak semua perjanjian yang dibuat oleh setiap orang atau pihak yang membuatnya sah dalam pandangan hukum. Yang dalam Pasal 1320 KUHPerdata


(43)

diatur mengenai unsur subjektif dan unsur objektif dalam hal syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya sebuah perjanjian, yang mana unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan, secara bebas dari pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sementara itu unsur objektif meliputi meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan yang diperjanjikan dan causa dari objek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum.

Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif) maupun batal demi hukum dengan pengertian tidak dapat dilaksanakan atau dalam hal terpenuhinya unsur objektif.††††

Kebatalan dan Pembatalan Perjanjian. Dalam perjanjian konsensuil seperti disebut di atas keabsahannya ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yanga ditentukan oleh undang-undang yang dalam halini Pasal 1320 KUHPerdata. Jika suatu perjanjian yang dibuat tersebut memenuhi salah satu atau lebih persyaratan yang ditentukan dalam pasal1320 KUHPerdata, perjanjian itu menjadi tidak sah yang berarti perjanjian itu terancam batal. Hal ini mengakibatkan nulitas atau kebatalan menjadi perlu untuk diketahui oleh tiap pihak yang mengadakan perjanjian karena masing-masing perjanjian memilih karakteristik dan cirinya sendiri-sendiri dengan demikian, sampai seberapa jauh suatu nulitas atau

†††† Gunawan Widjaja, Seri hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (aanvullend recht) Dalam Hukum Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 287.


(44)

kebatalan dapat dianggap ada pada suatu perjanjian hanya dapat ditentukan oleh sifat dari perjanjian itu sendiri. Namun itu tidaklah berarti kita tidak dapat menarik suatu garis umum mengenai hal ini.

Dengan berdasarkan pada alasan kebatalannya, nulitas dibedakan dalam perjanjian yang dapat dibatalkan dan perjanjian yang dinyatakan batal demi hukum dengan pengertian tidak dapat dilaksanakan, sedangkan berdasarkan sifat kebatalannya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak.

1. Perjanjian yang Dapat Dibatalkan

Secara prinsip suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah dapat dibatalkan jika perjanjian tersebut dlam pelaksanaannya akan merugikan pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak-pihak ini, yang berhak untuk memintakan pembatalan, tidak hanya pihak dalam perjanjian tersebut, tetapi meliputi juga setiap individu yang merupakan pihak ketiga di luar para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini pembatalan atas perjanjian tersebut dapat terjadi, baik sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan maupun setelah prestasi yang wajib dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat tersebut dilaksanakan. Bagi keadaan yang terakhir ini, ketentuan Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUHPerdata menentukan bahwa setiap kebatalan membawa akibat bahwa semua kebendaan

dan orang-orangnya dipulihkan sama seperti keadaan sebelum perjanjian dibuat.

Dari alasan-alasan yang dapat dikemukakan sehubungan dengan pembatalan perjanjian tersebut, maka sesungguhnya secara garis besar alasan


(45)

pembatalan perjanjian dapat digolongkan ke dalam dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:

a) Pembatalan perjanjian oleh salah satu pihak dalam perjanjian

Alasan-alasan tersebut, seperti telah diuraikan secara panjang lebar, pada saat membahas persyaratan sahnya perjanjian, doktrin ilmu hukum yang berkembang, sering kali disebut dengan alasan subjektif. Disebut dengan subjektif karena berhubungan dengan ciri dari subjek yang menerbitkan perikatan tersebut. Pembatalan perjanjian tersebut dapat dimintakan jika:

(2) Tidak telah terjadi kesepakatan bebas dari para pihak yang membuat perjanjian, baik karena telah terjadi kekhilafan, paksaan atau penipuan pada salah satu pihak dalam perjanjian pada saat perjanjian itu dibuat (Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata)

(3) Salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam hukum (Pasal 1330 sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata), dan atau tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu.

Dalam hal tidak terjadi kesepakatan secara bebas, pihak yang telah khilaf, dipaksa, atau ditipu tersebut, memiliki hak untuk meminta pembatalan perjanjian pada saat ia mengetahui terjadinya kekhilafan, paksaan, atau penipuan tersebut. Sementara itu, untuk hal yang kedua, pihak yang tidak cakap dan atau wakilnya yang sah berhak untuk memintakan pembatalan perjanjian.


(46)

b) Pembatan perjanjian oleh pihak ketiga di luar perjanjian

Pada dasarnya suatu perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya sehingga tidak membawa akibat apa pun bagi pihak ketiga. Oleh sebab itu, KUHPerdata tidak memberikan rumusan yang umum mengenai hak dari seorang pihak ketiga yang dirugikan untuk melakukan penuntutan pembatalan atas perikatan atau perjanjian yang dibuat oleh pihak tertentu. Walaupun demikian, untuk melindungi kepentingan kreditor dalam tiap-tiap perikatan dan agar ketentuan Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUHPerdata dapat dilaksanakan sepenuhnya, dibuatlah ketentuan Pasal 1341 KUHPerdata yang lebih dikenal dengan Actio

Pauliana, yang hanya dapat dilaksanakan jika beberapa syarat yang ditetapkan

dalam Pasal 1341 KUHPerdata tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Kreditor harus membuktikan bahwa debitor melakukan tindakan yang tidak diwajibkan

(2) Kreditor harus membuktikan bahwa tindakan debitor merugikan kreditor. (3) Terhadap perikatan bertimbal balik yang dibuat oleh debitor dengan suatu

pihak tertentu dalam perjanjian yang mengakibatkan berkurangnya harta kekayaan debitor.

(4) Sementara itu, untuk perjanjian atau perbuatan hukum yang bersifat cuma-cuma (tanpa adanya kontra prestasi pada pihak lain), cukuplah kreditor membuktikan bahwa pada waktu membuat perjanjian atau melakukan tindakan itu, debitor mengetahui bahwa dengan cara demikian dia


(47)

merugikan para kreditor, tak peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak.

Dalam hal demikian, jelas bahwa Actio Pauliana hanya dapat dilakukan oleh kreditor dan dilaksanakan berdasarkan putusan hakim pengadilan. Dengan demikian, setiap pembatalan perjanjian, apa pun juga alasannya, pihak mana pun juga yang mengajukannya tetap menjadi wewenang pengadilan.

2. Perjanjian yang Batal Demi Hukum

Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat objektif dari sahnya suatu perikatan. Keharusan akan adanya suatu hal tertentu yang menjadi objek dalam perjanjian ini dirumuskan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata mengenai hal tertentu dalam perjanjian yang diikuti dengan Pasal1335 sampai dengan Pasal 1336 KUHPerdata yang mengatur mengenai rumusan sebab yang halal, yaitu sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum dalam suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata telah menentukan bahwa ”Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad

baik.” Perjanjian yang dibuat dengan causa yang tidak halal hanya akan

menerbitkanperikatan alamiah yang tidak dapat dituntut pemenuhannya di hadapan hukum.

Disamping ketidakpemenuhan syarat objektif seperti disebutkan di atas, undang-undang juga merumuskan secara konkret untuk tiap-tiap perbuatan hukum (tertutama pada perjanjian formil) yang mensyaratkan dibentuknya perjanjian


(48)

dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang jika tidak dipenuhi, perjanjian tersebut akan batal demi hukum dengan pengertian bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. Dalam perjanjian formil, adanya formalitas pembuatan perjanjian secara tertulis merupakan suatu keharusan, bahkan kadang kala harus dituangkan dalam bentuk akta yang autentik. Kesepakatan yang sudah tercapai diantara para pihak saja, tanpa keberadaan syarat formalitas tersebut, tidak cukup kuat untuk melahirkan perikatan di antara para pihak yang bersepakat secara lisan tersebut.

BAB III

TINJAUAN TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM

DAN PENIPUAN DARI SUDUT HUKUM PERDATA

A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Berbicara mengenai tindakan melawan hukum tidak akan jelas, kalau kita tidak melihatnya dengan latar belakang perjuangan yang selalu ada di dalam hukum, yaitu perjuangan atau pertentangan atau lebih tepat tarik-menarik antara 2 (dua) kutub dalam hukum, yaitu individu dan masyarakat, yang kadang-kadang


(49)

dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang jika tidak dipenuhi, perjanjian tersebut akan batal demi hukum dengan pengertian bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. Dalam perjanjian formil, adanya formalitas pembuatan perjanjian secara tertulis merupakan suatu keharusan, bahkan kadang kala harus dituangkan dalam bentuk akta yang autentik. Kesepakatan yang sudah tercapai diantara para pihak saja, tanpa keberadaan syarat formalitas tersebut, tidak cukup kuat untuk melahirkan perikatan di antara para pihak yang bersepakat secara lisan tersebut.

BAB III

TINJAUAN TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM

DAN PENIPUAN DARI SUDUT HUKUM PERDATA

A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Berbicara mengenai tindakan melawan hukum tidak akan jelas, kalau kita tidak melihatnya dengan latar belakang perjuangan yang selalu ada di dalam hukum, yaitu perjuangan atau pertentangan atau lebih tepat tarik-menarik antara 2 (dua) kutub dalam hukum, yaitu individu dan masyarakat, yang kadang-kadang


(50)

mengambil rupa pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum antara hak-hak subjektif dan hukum objektif.

Perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia yang melanggar hukum, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum ini secara garis besarnya dapat kita lihat dari Pasal 1365 KUHPerdata. Dalam KUHPerdata ada dimuat didalam Pasal 1365 mengatakan bahwa:

”Setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian.”

Dapat dikatakan bahwa suatu perbuatan melawan hukum berisikan suatu perikatan untuk tidak berbuat atau untuk tidak melakukan sesuatu, karena dengan melakukan tindakan tersebut seseorang telah salah (dalam hukum). Ketidakbolehan untuk melakukan atau untuk berbuat sesuatu tersebut adalah sesuatu yang diperintahkan oleh hukum, yang jika perbuatan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan atau untuk dibuat tersebut dilakukan, dan ternyata menimbulkan kerugian pada orang lain, maka ia berkewajiban untuk memberikan ganti kerugian terhadap pihak yang telah dirugikan tersebut.

Karena Pembuat undang-undang sendiri tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apa itu yang dinamakan ”tindakan melawan hukum” maka timbulah penafsiran oleh para sarjana dan pihak pengadilan. Pada mulanya sesuai


(51)

dengan pengaruh kodifikasi orang menapsirkan tindakan melawan hukum secara sempit, namun dikemudian hari yng dianut adalah penapsiran yang luas. Yang dimaksud dengan penapsiran sempit adalah bahwa kita baru mengatakan ada

onrechtmatige daad, kalau:

b. ada pelanggaran terhadap hak subjektif seseorang.

c. tindakan tersebut bertentanggan dengan kewajiban hukum si pelaku‡‡‡‡ Yang dimaksud dengan hak subjektif adalah hak subjektif seseorang yang diberikan undang-undang. Jadi untuk menggugat berdasarkan tindakan melawan hukum orang harus dapat menunjukkan ketentuan undang-undang yang menjadi dasar gugatannya.

E. Utrecht, SH berpendapat bahwa:

”Penapsiran dalam Pasal 1365 KUHPerdata dalam Yurisprudensi Belanda (Yurisprudensi Indonesia mengikuti Yurisprudensi Belanda).Dalam abad ke-19 ketika legisme masih kuat, yang menjadi perbuatan melawan hukum hanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang saja.Perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan bukanlah perbuatan yang melanggar hukum. Pada akhir abad ke 19 berpendapataliran legisme ini mendapat tantangan dari berbagai pihak. Kita teah emengetahui bahwa penapsiran yang sempit itu tidak lagi dapat dipertahankan dan diteruskan.”§§§§

Dalam sebuah karangan yang ditempatkan dalam majalah ”Rechsgeleerd

Megazine” (Tahun 1887) oleh Molengraf dikemukakan bahwa pengertian

Perbuatan Melawan Hukum seperti yang disebut dalam Pasal 1365 KUHPerdata tidak hanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu peraturan

‡‡‡‡ J. Satrio, SH, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 141

§§§§ E. Utrecht, SH, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1961, hal


(52)

perundang-undangan melainkan juga meliputi perbuatan yang bertentangan dengan segala sesuatu yang ada diluar undang-undang yang memuat keadaan sosial.” Anggapan ilmu hukum ini diterima dalamYurisprudensi Tahun 1919.*****.

Adapun asas yang tercantum dalam Pasal 1365 KUHP yang menegaskan bahwa tiap perbuatan yang bertentanggan dengan hukum (melawan hukum), yang merugikan orang lain, mewajibkan pihak yang merugikan yang melakukan menganti kerugian yang di derita oleh pihak yang dirugikan, selanjutnya beliau mengatakan dalam sejarah hukum perbuatan melawan hukum disebutkan dalam Pasal 1365 KUHPerdata telah diperluas pengertiannya menjadi membuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu (melalaikan sesuatu) yaitu:

1. Melanggar hak orang lain

2. Bertentangan dengan kewajiban hukum dari yang melakukan perbuatan itu.

3. Bertentangan dengan kesusilaan, maupun asas-asas pergaulan kemasyarakatan mengenai keselamatanorang lainatau barangorang lain.†††††

Seseorangyang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian, ada hal-hal tertentu yang membebaskan orang tersebut dari kewajiban membayar ganti kerugian. Hukum adat yang tidak mengenal penyusunan dalam suatu perundang-undangan tertulis, maka dalam melaksanakan hukum adat tentang hal ini seseorang hakim dapat lebih leluasa untuk meninjau hakikat hukum tersebut dari sudut manapun dan menurut keyakinannya tentang rasa keadilan

***** E. Utrecht, SH, loc. cit. ††††† Ibid, hal. 296.


(53)

yang benar-benar hidup di masyarakat. Dalam KUHPerdata hal perbuatan melawan hukum disistematikan dalam 2 bagian, yaitu:

1) Yang merupakan ketentuan umum

Adalah Pasal 1365 KUHPerdata yang mengatur ketentuan atas syarat-syarat umum dan berlaku untuk semua perbuatan melawan hukum yang diatur dalam KUHP dan Pasal 1366 KUHPerdata

2) yang merupakan ketentuan khusus

Ketentuan-ketentuan khusus inimengatur lebih lanjut tentang:

a. Pertanggung jawaban atas timbulnya perbuatan melawan hukum yaitu:

(a1) Tanggung jawab orang tua/wali, guru atau perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berada dibawah pengampuannya, diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata.

(a2) Tanggung jawab pemilik binatang atas binatang peliharaannya, diatur dalam Pasal 1368 KUHPerdata

(a3) Tanggung jawab pemilik gedung atau banggunan yang dalam pemeliharaannya, diatur dalam Pasal 1369 KUHPerdata.

b. Beberapa perbuatan melawan hukum seperti Pasal 1370 KUHPerdata tentang pembunuhan, Pasal 1371 KUHPerdata tentang penganiayaan dan Pasal 1380 KUHPerdata tentang penghinaan.


(54)

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa menurut aliran legisme perbuatan melawan hukum hanyalah perbuatan-perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan undang-undang atau bertentangan dengan kewajiban hukum yang ditentukan dalam undang-undang tertulis saja karena aliran itu berpandangan sempit tentang perbuatan melawan hukum maka banyak kasus yang terjadi di masyarakat yang pada dasarnya adalah perbuatan melawan hukum tetapi menurut aliran legisme itu tidak digolongkan dalam perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).

Untuk memenuhi rasa keadilan maka pengertian perbuatan melawan hukum diperluas. Pengertian perbuatan melawan hukum mencakup perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepantasan bertentangan dengan kewajiban sendiri yang ditentukan undang-undang bertentangan dengan hak orang lain. Dari rumusan ini maka penafsiran pengertian perbuatan melawan hukum sudah sangat luas dan mencakup semua kehidupan masyarakat.

Untuk dapat dipertanggung jawabkan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum Pasaln 1365 KUHPerdata menentukan 4 syarat perbuatan melawan hukum yang sekaligus merupakan unsur-unsur perbuatan melawan hukum, keempat unsur itu antara lain:

a. adanya suatu pelanggaran hukum b. adanya kesalahan


(55)

d. adanya hubungan kausalitas‡‡‡‡‡

Setelah keputusan tersebut, maka H.R. dan Pengadilan-pengadilan lainmenganut paham yang luas, di mana onrechtmatige daad tidak hanya diartikan sebagai perbuatan melawan hak orang lainatau yang bertentangan dengan kewajiban si pelaku, yang diatur oleh undang-undang tetapi meliputi pula tindakan atau sikap yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang tidak tertulis, yaitu kesusilaan dan kepatutan/kepantasan dalam memperhatikan kepentingan diri danharta orang lain dalam pergaulan masyarakat.

Untuk jelasnya kita susun secara berurutan perilaku-perilaku yang dalam perumusan H.R. dianggap sebagai onrechtmatige daad, di mana 2(dua) prilaku yang disebut, yang pertama adalah syarat-syarat untuk adanya perbuatan melawan hukum menurut paham yang sempit (paham lama) sedangkan 2 perilaku yang terakhir adalah yang ditambahkan berdasarkan arrest tesebut di atas, yang dianggap sebagai tindakan melawan hukum yang untuk selanjutnya kita sebut ”perilaku oerbuatan melawan hukum.” Keempat perilaku perbuatan melawan hukum adalah perilaku:

1. Yang melanggar hak orang lain

2. Yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku 3. Yang bertentangan dengan kesusilaan

4. Yang bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup


(56)

Keempat macam perilaku tersebut merupakan syarat alternatif, artinya kalau terjadi ada suatu perilaku, yang memenuhi unsur salah satu keempat peristiwa onrechtmatige daad. Jadi perilaku yang melawan hukum adalah perilaku yang melanggarhak subjektif orang lain, melanggar kewajiban hukumnya sendiri, bertentangan dengan kesusilaan atau kepatutan dalam memperhatikan kepentingan dan benda milik orang lain dalam pergaulan hidup

Apabila unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata seperti yang tersebut di atas kita bandingkan dengan unsur perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam Pasal III Rancangan undang-undang hukum bidang perdata, yang mana unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang terdapat pada Pasal III rancangan undang-undang hukum perdata tersebut lebih luas dari unsur yang terdapat dalam Pasal 1365

”Adapun unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam Pasal III rancangan undang-undang hukum perikatan antara lain:

1. Perbuatan yang melanggar hak orang lain

2. Perbuatan atau kelalaian yang bertentanggan dengan kewajiban menurut undang-undang atau suatu kepatutan yang harus diindahkannya dalam pergaulan masyarakat menurut\hukum yang tertulis

3. Perbuatan yang bersangkutan dapat dipertanggung jawabkan kepada si pelaku

4. Ada pihak yang menderita 5. Ganti rugi


(57)

6. Tidak ada dasar yang membenarkan.§§§§§

Namun sangat disayangkan bahwa RUU hukum perikatan tsb sampai sekarang belum mendapat pengesahan dari DPR.

Adapun unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHP perdata.

1. Adanya suatu pelanggaran hukum

M.A. Moegni Djojodiharjo.SH menyatakan untuk meninjau perumusan luas dari perbuatan melawan hukum/ onrechtmatige daad apabila:

a.Bertentangan terhadap orang lain

b.Bertentangan dengan kewajiban hak sendiri c.Bertentangan dengan kesusilaan

d.Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat/benda******.

yang dimaksud dengan bertentangan dengan hak orang lain adalah bertentangan dengan hak subjektif orang lain yang kewenangan yang berasal dari kaedah hukum hak-hak yang penting diakui oleh yurisprudensi adalah hak-hak pribadi seperti hak atas kebebasan dan kehormatan, nama baik dan kekayaan.

Menurut terminologi hukum dewasa ini kewajiban hukum dewasa ini, kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban yang didasarkan pada hak baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Menurut rumusan perbuatan melawan hukum di atas yang dimaksud dengan kewajiban hukum adalah kewajiban hukum menuut UU.

§§§§§

Prof Mahadi, SH laporan kajian H.Adat 1984-1985 penerbit FH USU Medan, hal. 106.


(58)

Termasuk dalam kategori ini adalah suatu pidana pemalsuan dan penipuan.Bertentangan dengan kesusilaan sulit untuk memberikan pengertian kesusilaan, walaupun demikian dapat dijelaskan sebagai norma-norma moral sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai norma hukum bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

Ini merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan karenanya dalam segala perbuatannya harus memperhatikan segala kepentingan sesamanya, harus mempertimbangkankepentingan sendiridan kepentingan orang lain dengan mengikutiapa yang dianggap masyarakat sebagai hal yang layak dan patut. Dapat dianggap bertentanggan dengan kepatutan berupa:

1. Perbuatan yang sangat merugikan orang lain tanpa sebab yang layak 2. Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya terhadap

orang lain

2. Terdapat kesalahan

Untuk dapat seseorang dipertanggung jawabkan perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya kesalahan .

Menurut Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH bahwa Pasal 1365 KUHPerdata tidak membedakan antara kesalahan dalam bentuk kesengajaan (opzet dolus) dan kesalahan dalambentuk kekurang hati-hatian (culpa). Jadi berbeda dengan hukum pidana yang membedakanantara kesengajaan dan kurang hati-hati.†††††† Oleh karena itu hakimlah yang harus menilai dan mempertimbangkan berat ringannya


(59)

kesalahan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum itu sehingga ditentukan gantirugi yang seadil-adilnya.

Menurut Arrest Hoge Raad tanggal 4 Februari 1916 jika orang yang dirugikan dengan mempunyai kesalahan atas timbulnya kerugian maka kerugian tersebut di bebankan kepadanya, kecuali jika perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan dengan sengaja. Dalam kasus yang lain Hoge Raad berpendapat bahwa jika kerugian yang terjadi ialah karena kesalahan yang dilakukan beberapa orang maka setiap orang bertanggung jawab atas terjadinya kerugian tersebut dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian seluruhnya.

Seseorang tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum bilamana ia melakukan perbuatan itu karena keadaan terpaksa (overmacht), keadaan darurat (Noodwear), dan seseorang juga tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan melawan hukum karena perintah jabatan dan salah sangka yang dimaafkan. Tetapi yang disebabkan karena perbuatan kesalahan atau kekurang hati-hatian maka ia bertanggung jawab atas kerugian disebabkan karena perbuatan orang lainyang menjadi tanggung jawabnya, barang-barang yang berada di bawahpenguasaannya dan binatang-binatang miliknya.

3. Terjadinya kerugian

Kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum dapat berupa:


(60)

Kerugian materil dapat berupa kerugian yang nyata di derita dari suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain. Misalnya kebakaran mobil penumpang akibat perbuatan melawan hukum, mewajibkan si pembuat kerugian itu tidak hanya membayar untuk memperbaiki mobil saja, akan tetapi juga bertanggung jawab untuk mengganti penghasilan mobil penumpangitu yang akan diperoleh si pemilik sewaktu memperbaiki mobil tersebut.

b. Kerugian in materil

Yang dimaksud kerugian inmateril akibat perbuatan melawan hukum dapat berupa:

- kerugian moral - kerugian ideal

- kerugian yang tidak dapat dengan uang - kerugian non ekonomis

Untuk menentukan besarnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan denganmenilai kerugian tersebut karena itu pada asasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan yang sesungguhnya jika tidak terjadi perbuatan melawan hukum

4. Adanya hubungan kausalitas

Untuk menentukan ganti kerugian terhadap orang yang dilakukan perbuatan melawan hukum selain harus ada kesalahan disamping itu pula harus


(61)

ada hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian tersebut.

C. Penipuan Data Dalam KUHPerdata

Di dalam KUHPerdata tidak ada memberikan perumusan tentang apa yang dinamakan dengan penipuan itu sendiri. Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu memang dapat memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi dapat disadari bahwa kehendak itu, karena adanya daya tipu yang sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada hal penipuan, merupakan kehendak yang benar. Jadi kehendak di sini kesasar, karena disasarkan. Dengan demikian di sini, dapat dilihat bahwa rumusannya adalah ”kehendak dan pernyataan kehendaknya sama, hanya dalam hal ada kesesatan, gambaran yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu melalui tipu muslihatnya kepada pihak yang lain.”‡‡‡‡‡‡

Pada penipuan, kekeliruan tidak terbatas pada sifat hakikat bendanya atau atas diri pihak lainseperti pada halnya pada suatu tindakan paksaan dimana orang sadar memberikan pernyataan kehendak, yang seandainya tak ada paksaan tak akan diberikan olehnya . Hal tersebut justru berbeda dengan kondisi yang terjadi dalam penipuan, yangmana pada penipuan justru orang tertentu batu tahu bahwa dirinya ditipu atau tertipu sesudah perjanjian ditutup. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1328 KUHPerdata:

”Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu-muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa


(62)

hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”

Jadi dalam rumusan Pasal 1328 KUHPerdata di atas dapat dikatakan mensyaratkan bahwa penipuan harus dilakukan oleh pihak lain, yaitu pihak lain dalam perjanjian. Sebagai contoh kalau terjadi, bahwa perjanjian yang muncul antara ”A” dan ”B”, di dasarkan atas penipuan yang dilakukan oleh ”C”, yanghadir pada persiapan pembuatan perjanjia, maka di sini ”A” hanya dapat menuntut pembatalan berdasarkan kesesatan, karena penipuan tidak dilakukan oleh ”B”, lawan janjianya.

Perbedaan antara penipuan dan pemalsuan adalah Negara Indonesia adalah berdasarkan atas hukum bukan berdasarkan kekuasaan belaka. Oleh karena itu maka orang yang merasa haknya terlanggar dalam suatu hubungan hukum pada umumnya tidak boleh bertindak sendiri dalam membela haknya itu, akan tetapi pembelaan tersebut harus dilakukan dengan perantaraan badan pemerintah yang berwenang untuk itu, yaitu pengadilan. Notaris dalam melaksanakan jabatannya sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik tidak mungkin melakukan pemalsuan akta, akan tetapi pihak yang menghadap meminta untuk dibuatkan aktanya tidak menutup kemungkinan kalau penghadap memberikan keterangan yang tidak benar dan memeberikan surat-surat/dokumen-dokumen palsu sehingga lahirlah akta yang mengandung keterangan palsu. Hal ini dapat dilihat pengaturannya di dalam Pasal 263, Pasal 264 dan Pasal 266 KUHPidana yaitu sebagai berikut:


(1)

b. Balik nama sertifikat Hak Milik No. 453/Padang Bulan Selayang ke atas nama Jose Rizal BSc (TergugatI) yang diterbitkan oleh Tergugat III berikut segala akibat hukum dan turunannya.

5. Menghukum Tergugat I dan semua orang yang menyadarkan hak kepadanya untuk mengembalikan Sertifikat Hak Milik No. 453/Padang Bulan Selayang I tanggal 14 Januari 1981 yang diterbitkan oleh Tergugat III kepada para Penggugat sebagai ahli waris dari almarhum Djosari dan almarhum Mursinah. 6. Menghukum Tergugat I untuk membayar uang paksa sebesar Rp.1.000.000,-(satu juta rupiah) setiap harinya jukalau Tergugat I menjalankan putusannya ini yang dihitung sejak ia dinyatakan lalai menjalankan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap.

Dari putusan di atas manakala yang menjadi dasar pengajuan gugatan adalah Pasal 1328 yaitu perihal penipuan yang termasuk juga di dalamnya ada tipu muslihat yang sebenarnya lebih menunjuk pada suatu tindakan pemalsuan, yang menunjuk pada tindakan pemalsuan yang dengan sengaja dilakukan oleh Tergugat I sehingga menimbulkan adanya pemalsuandata di dalam akta otentik yang dibuat di hadapan notaris. Yang mana berdasarkan pasal dan keberadaannya seharusnya dinyakan pembatalan terlebih dahulu kepada Pengadilan baru kasus tersebut dapat di batalkan, dan apabila ternyata tidak ada pihak yang merasa keberatan dan telah nyata mengalami kerugian atas suatu tindakan hukum tersebut, maka perbuatan hukum tersebut dinyatakan sah dan berlaku keberadaannya yang harus dipatuhi oleh para pihak yang terdapat di dalam perjanjian tersebut.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Adapun pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa notaris pada dasarnya hanya mencatat atau menuangkan hukum dan syarat-syarat formil dari para pihak penghadap ke dalam akta dan notaris tidak mempunyai kewajiban untuk menyelidiki kebenaran materil isinya. Kemungkinan notaris dapat berbuat salah mengenai akta karena informasi yang salah dari pihak/penghadap baik dengan sengaja atau tidak. Oleh karenanya maka notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan ini karena isi akta tersebut sebelumnya telah dikonfimasi oleh kepada pihak penghadap.

2. Sanksi yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu di dalam akta otentik adalah berupa ancaman hukuman baik secara perdata maupun secara pidana. Secara perdata penghadap telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pihak lain dan wajib mengganti kerugian yang


(3)

hukuman sesuai dengan ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, sebab telah terbukti secara sah bersalah melakukan kejahatan “secara bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik”. Berdasarkan telah dipenuhinya unsur-unsur dariperbuatan pidana yang tercantum dalam pasal-pasal yang dituduhkan, sehingga penghadap layak untuk diberi hukuman pidana penjara.

3. Akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan keterangan palsu adalah bahwa akta otentik tersebut telah menimbulkan suatu sengketa dan diperkarakan di pengadilan. Oleh sebab itu maka oleh pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan secara perdata ke pengadilan agar hakim dapat memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut. Dengan demikian maka akta itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum karena telah catat hukum. Dan sejak diputuskannya pembatalan akta itu oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/perjanjian itu dibuat


(4)

B. Saran

Adapun saran yang dapat dikemukakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Hendaknya kepada setiap penghadap/para pihak yang terkait yang datang kepada notaris untuk meminta dibuatkannya akta, sebaiknya dalam memberikan surat-surat dan dokumen-dokumen serta keterangan-keterangan yang berhubungan dengan akta yang akan dibuat adalah surat-surat dan dokumen-dokumen serta keterangan yang sebenar-benarnya. Kepada penghadap yang melakukan perbuatan melanggar hukum dalam pembuatan akta notaris demi untuk kepentingan dirinya layak untuk mengganti kerugian yang ditimbulkannya tersebut dan juga harus diberikan hukuman yang sepantasnya, baik berupa hukuman pidana maupun hukuman perdata sehingga diharapkan dapat membuat para pelaku perbuatan yang melanggar hukum tersebut jera. Sebab perbuatannya tersebut bukan saja menimbulkan kerugian pada hak orang lain.

2. Hendaknya notaris dalam menjalankan tugasnya selalu berpegang teguh dan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga selalu mentaati kode etik jabatan notaris. Disamping itu notaris pun sekirannya perlu bersifat hati-hati dan waspada dalam meneliti dan memeriksa surat-surat dan dokumen-dokumen yang diberikan oleh para pihak yang menghadap.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi S.H. “Undang- undang Pokok Agraria”

Ichsan Achmad, Hukum Perdata IB Jakarta, Pembimbing Masa, Jakarta , 1969.

Lumban Tobing, G.H.S., Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1991.

Mahadi, Prof Mahadi, SH laporan kajian H.Adat 1984-1985 penerbit FH USU Medan, .

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1986.

Salim, SH MS, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2003.

Satrio, J. Satrio, SH, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Sembiring, M.U., Teknik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialisasi Notaris, Fakultas Hukum USU, Medan, 1997.

Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, PT. Alumni Bandung, 1992

Subekti, Prof. R., SH. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

Suharnoko, SH., MLI., Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta Timur, 2004.


(6)

Syahrani, Ridwan Syahrani, SH, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

T. darwini, Hukum Perdata, Fakultas Hukum USU, Medan, 2005.

Utrecht, SH, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1961.

Widjaja, Gunawan, Seri hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (aanvullend recht) Dalam Hukum Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi, Jual Beli, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

__________________________________, Seri Hukum Perdata Hapusnya Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta, 2003.