KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL-BELI DIBAWAH TANGAN TERHADAP KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH ( studi kasus pada putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB. ).

(1)

( studi kasus pada putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB. )

SKRIPSI

Oleh :

ADHITAMA JOKO DICKMANTYO

NPM. 0671010039

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR

SURABAYA


(2)

(

studi kasus pada putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB.)

SKRIPSI

D

iajukan

U

ntuk

M

emenuhi

P

ersyaratan

M

emperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

UPN “Veteran”Jawa Timur

Oleh :

ADHITAMA JOKO DICKMANTYO

NPM. 0671010039

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR

SURABAYA


(3)

karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL-BELI DIBAWAH TANGAN

STUDI KASUS PADA PUTUSAN NOMOR :

22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB.

Adapun penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir

yaitu penyusunan skripsi. Terselesaikannya skripsi, tidak lepas dari bantuan

berbagai pihak, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu, khususnya kepada :

1.

Bapak Hariyo Sulistiyantoro, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan Dosen

Pembimbing I yang siap membantu memberikan dukungan dan bimbingan

serta pengarahan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini, sehingga dalam

hal ini penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik

2.

Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum. selaku Wadek Fakultas Hukum Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

3.

Bapak Subani, S.H., M.Si selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

4.

Ibu Yana Indawati SH.Mkn selaku Pembimbing II yang selalu siap membantu

memberikan waktu, kesempatan, dukungan dan bimbingan serta pengarahan

kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik


(4)

6.

Ibu Endang Sulistyo Kartikawati S.H. selaku pemilik kantor notaris/PPAT

yang memberikan penulis ruang serta tempat untuk melakukan praktek skripsi

serta selalu sabar dan selalu menyediakan waktu serta kesempatan kepada

penulis untuk bertanya dan berkonsultasi, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

7.

Kedua orang tua tercinta, Eyang Kakung, Alm.Eyang Putri dan adikku yang

telah memberikan dukungan moril maupun materiil serta doanya selama ini.

8.

Rudi Setyawan, Yudian Amada, Aditya Wisma, Doni Eko serta kawan-

kawan angkatan 2006 yang lain , serta adik-adik kelas seperjuangan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna, maka

Penulis berharap kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak,

semoga skripsi ini dapat menjadi momentum awal yang berharga dan bermanfaat

bagi perkembangan disiplin ilmu terutama dalam bidang Ilmu Hukum serta

tegaknya hukum di Indonesia.

Surabaya, April 2011

Penulis


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN. ...ii

HALAMAN PENGESAHAN. ...iii

HALAMAN REVISI. ...iv

ABSTRAKSI. ... ...v

KATA PENGANTAR. ...vi

DAFTAR ISI. ... ...ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1

Latar Belakang Masalah. ...1

1.2

Rumusan Masalah. ... 6

1.3

Tujuan Penelitian... 6

1.4 Manfaat Penelitian... 6

1.5 Kajian Pustaka...6

1.6 Metodelogi Penelitian...16

1.7 Sistematika Penelitian. ... 17

BAB II KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL-BELI DI BAWAH

TANGAN DALAM TEORI DAN PRAKTEK

2.1

Kekuatan Hukum Perjanjian Jual Beli Di Bawah Tangan. ... 18


(6)

BAB III PENERAPAN PUTUSAN NOMOR :

22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO

3.1 Peralihan hak atas tanah. ... 33

3.2 Pensertifikatan Hak Atas Tanah

22 PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO ... 40

3.3 Hak Atas Tanah ... 41

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan... 53

4.2 Saran ...54

DAFTAR BACAAN


(7)

NPM

: 0671010039

Tempat Tanggal Lahir

: Surabaya, 22 September 1988

Program Studi

: Strata 1 (S1)

Judul Skripsi

:

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI DIBAWAH TANGAN

TERHADAP KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH

( studi kasus pada putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB. )

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis apakah perjanjian

jual-beli dibawah tangan dapat digunakan untuk mendapatkan hak kepemilikan atas

tanah, dan mengetahui tinjauan menurut hukum adat terhadapkepemilikan hak atas

tanah, serta mengetahui kesadaran hukum masyarakat Probolinggo terhadap

kepemilikan hak atas tanah.

Jenis penelitiannya adalah hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka atau

penelitian hukum kepustakaan. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian

hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran

(deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum di tempat tertentu dan pada saat tertentu

yang terjadi dalam masyarakat. Metode pengumpulan data ini adalah dengan studi

pustaka yaitu mengumpulkan data-data yang diperoleh yang dari buku-buku dan dari

sumber-sumber data sekunder. Metode pengolahan data yang digunakan adalah

Editing yaitu memeriksa atau membetulkan data agar dapat dipertanggungjawabkan.

Metode analisis data menggunakan metode induktif, yaitu menalar dari kasus-kasus

individual nyata ke hal yang umum-abstrak.

Perjanjian jual-beli dapat terjadi cukup dengan kata sepakat antara para pihak

yang menyelenggarakannya, tetapi agar mempunyai kekuatan hukum, harus dibuat

akta jual –beli oleh pejabat yang berwenang. Apabila ada perjanjian yang dibuat

dibawah tangan maka harus ada legalisasi yang dibuat oleh notaris. Hal ini

menunjukkan bahwa hukum perdata selalu membutuhkan otentisitas dalam setiap

perjanjiannya.


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Proses kepemilikan hak atas tanah di masyarakat pedesaan terkadang hanya dilakukan secara lisan, kepercayaan atau saling mempercayai dan ditulis secara sederhana, kemudian dilaporkan secara lisan ke perangkat desa dan menindak lanjuti dengan mencatatkan di buku krawangan atau buku letter C. Kepemilikan hak atas tanah dengan proses tersebut sangat rentan dengan perselisihan antar pihak yang melakukan peralihan, penyalahgunaan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kepentingan, dan tidak memiliki bukti otentik yang kuat.

Undang-undang nomer 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok Agraria ( untuk selanjutnya disingkat UUPA ) mengatur tentang peralihan hak atas tanah. Pasal-pasal yang mengatur tentang peralihan hak tersebut adalah Pasal-pasal 20,26,28,35,38 dan 43. Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum yang sengaja dilakukan untuk mengalihkan hak atas tanah kepada orang lain yang menerima pengalihan. Perbuatan hukum peralihan itu dapat berupa jual beli, hibah, tukar menukar, pemisahan dan pembagian harta biasa (bukan warisan) dan pembagian harta warisan, penyerahan hibah wasiat (legaat), dan penyerahan tanah sebagai modal perusahaan1.

1

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Cetakan IX, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2002, h.550


(9)

Sejak tahun 1996 setiap peralihan hak atas tanah harus dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 pasal 19, sekarang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997 pasal 37 tentang pendaftaran tanah (selanjutnya disingkat menjadi PP Pendaftaran tanah), yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud untuk memindahkan hak atas tanah, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat dihadapan pejabat yang mempunyai kewenangan yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1998. Dalam ketentuan PP pendaftaran tanah tersebut telah ditentukan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus menolak membuat akta peralihan atau pembebanan hutang dengan jaminan hak atas tanah, apabila :

1. Para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum atau saksi tidak memenuhi

syarat untuk perbuatan hukum tersebut.

2. Para pihak atau salah satu pihak bertindak atas dasar kuasa mutlak.

3. Belum diperoleh izin bila pemindahan itu memerlukan izin.

4. Obyeknya dalam sengketa.

5. Tidak diperoleh syarat lain atau melanggar peraturan perundang-undangan

yang berlaku .

6. Tidak menyerahkan surat bukti hak atas tanah surat keterangan kepala desa,

pasal, 24 ayat (1) dan ( 2).

7. Tidak menyerahkan surat surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang

tanah tersebut belum bersertifikat dari kantor pertanahan.

8. Mengenai bidang tanah dan hak milik satuan rumah susun yang sudah

terdaftar :

a. Sertifikat aslinya tidak disampaikan

b. Sertifikat yang disampaikan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di kantor pendaftaran tanah.


(10)

Untuk mencegah terjadinya akumulasi penguasaan tanah dalam satu tangan, agar tidak bertentangan dengan tujuan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) dan untuk memelihara kecocokan antara administrasi pertanahan atau daftar-daftar tanah dengan kenyataan di lapangan, maka setiap peralihan hak perlu diawasi dan dikendalikan serta didaftarkan.

Pengaturan mengenai pengawasan dan pengendalian hak atas tanah, telah dituangkan dalam PP Pendaftaran tanah tentang pendaftaran tanah. Terbitnya peraturan pemerintah ini dilatar belakangi oleh kesadaran akan pentingnya peran tanah dalam pembangunan yang semakin memerlukan dukungan kepastian hukum di bidang pertanahan.

Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum hak-hak atas tanah, maka daftar-daftar yang ada di kantor pertanahan harus selalu cocok dengan fakta di lapangan. Oleh karena itu setiap mutasi hak atas tanah dan perubahan-perubahan mengenai obyek hak, harus selalu diikuti dengan pencatatan dalam daftar di pendaftaran tanah.

Perolehan kepemilikan hak atas tanah ada 2 proses yaitu peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum adalah waris, sedangkan perbuatan hukum meliputi hibah, pembagian hak bersama, jual beli dan tukar menukar. Khusus untuk tukar menukar, sudah jarang dilakukan lagi, karena kekhawatiran mengenai pajak yang bisa dipalsukan oleh si pemilik tanah. Tukar menukar sekarang beralih menjadi jual beli, karena harus menggunakan keterangan pajak yang paling baru.


(11)

Masalah yang sering terjadi, dalam proses peralihan hak yang tidak sesuai dengan prosedur yang diatur dalam undang-undang, sering menimbulkan sengketa yang berakhir di pengadilan, hal ini akibat karena kurangnya pemahaman masayarakat tentang prosedur peralihan hak atas tanah.

Perjanjian adalah hal utama yang perlu diperhatikan oleh para pihak sebelum pembuatan akta autentik sebagaimana diatur dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( untuk selanjutnya disingkat KUHPer ) dan harus memenuhi syarat sah nya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 1320 KUHPer yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Cakap untuk membuat perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab atau causa yang halal.

Secara umum perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainya untuk melaksanakan sesuatu hal sehingga timbul suatu hubungan yang disebut perikatan .Jadi perjanjian merupakan sumber dari perikatan .

Kesepakatan merupakan hal yang wajib ada dalam setiap perjanjian ,hal ini karena perbuatan hukum yang terjadi adalah perbuatan hukum yang bersegi dua atau jamak. Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme, asas ini pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.


(12)

Berdasar kesepakatan pula bahwa perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi termasuk perjanjian yang mengikat pihak ketiga.

Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah, yang dimaksud dengan causa dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal.

Pada saat terjadinya kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan diserahkan itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa tersebut haruslah halal, jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang merugikan pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana.

Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukup sukar ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang berbeda-beda


(13)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas,maka timbul permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kekuatan hukum perjanjian jual-beli dibawah tangan dalam teori

dan praktek ?

2. Bagaimana penerapan putusan nomor :22/PDT.G/2009/PN. Kabupaten Probolinggo Oleh para pihak yang berperkara?

1.3. Tujuan penelitian.

1. Untuk mengetahui kekuatan hukum perjanjian jual-beli dibawah tangan dalam teori dan praktek.

2. Untuk mengetahui  penerapan putusan nomor :22/PDT.G/2009/PN. KAB.

PROB. Oleh para pihak yang berperkara.

1.4. Manfaat penelitian.

a. Secara teori, sebagai bahan referensi untuk mengkaji tentang kekuatan hukum perjanjian jual-beli dibawah tangan dalam teori dan praktek.

b. Secara praktek, sebagai bahan pelajaran baru dan juga kontribusi pemikiran serta informasi tambahan dalam studi hukum.

1.5. Kajian Pustaka

Sehubungan dengan kajian tentang masalah kekuatan hukum perjanjian jual-beli dibawah tangan terhadap kepemilikan hak atas tanah studi kasus pada putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB. ,maka dapat dikemukakan konsep-konsep sebagai berikut :


(14)

a. Pengertian perjanjian

Menurut pasal 1313 KUHPer menyatakan,

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Definisi Perjanjian dapat ditemukan dalam doktrin (Ilmu Pengetahuan Hukum), diantaranya pendapat Subekti mengatakan “perjanjian adalah suatu peristiwa, di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang

itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.2 Sedangkan, menurut

Prof. Abdulkadir Muhammad, “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal

mengenai harta kekayaan”3.

b. Syarat sahnya perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Cakap untuk membuat perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab atau causa yang halal.

Demikian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif , karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif, karena

2 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan XII, PT. Intermasa, Jakarta, 2005, h. l2.

3

Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan III ,P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.224.


(15)

mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.4

c. Jenis-Jenis Perjanjian

1. Perjanjian timbal balik dan sepihak. Pembedaanya berdasarkan pada

kewajiban berprestasi. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik,misal jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi, misal perjanjian hibah,hadiah.

2. Perjanjian bernama dan tak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian

yang sudah mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus dan jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan, pengangkutan, melakukan pekerjaan dll. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

3. Perjanjian obligatoir dan kebendaan. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian

yang menimbulkan hak dan kewajiban, misalnya dalam jual beli, sejak terjadi konsensus mengenai benda dan harga, penjual wajib menyerahkan benda dan pembeli wajib membayar harga,penjual berhak atas pembayaran harga,pembeli berhak atas benda yang dibeli. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam jual beli, hibah,tukar-menukar. Sedangkan dalam perjanjian lainnya hanya memindahkan

4


(16)

penguasaan atas benda (bezit), misalnya dalam sewa-menyewa,pinjam pakai,gadai.

4. Perjanjian konsensual dan real. Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang

terjadinya itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja bagi pihak-pihak. Tujuan perjanjian baru tercapai apabila ada tindakan realisasi hak dan kewajiban tersebut. Perjanjian real adalah perjanjian yang terjadinya itu sekaligus realisasi tujuan perjanjian yaitu pemindahan hak.

Dalam hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap perjanjian yang objeknya benda tertentu, seketika terjadi persetujuan serentak ketika itu juga terjadi peralihan hak ini disebut kontan (tunai).5

d. Unsur paksaan dan itikad baik

Akibat persetujuan Menurut pasal 1338 KUHPer, berbunyi

“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi merka yang membuatnya. Perrsetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan itu harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

e. Asas-asas perjanjian

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan.Beberapa asas tersebut adalah sebagai berikut ini.

1. Asas kebebasan berkontrak. Setiap orang bebas mengadakan

perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur

5


(17)

undang. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan umum.

2. Asas pelengkap. Asas ini mengandung arti bahwa ketentuan

undang-undang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan undang-undang. Tetapi apabila dalam perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan lain,maka berlakulah ketentuan undang-undang. Asas ini hanya mengenai pihak-pihak saja.

3. Asas konsensual. Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian itu

terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum.

4. Asas obigatoir. Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian yang

dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan

kewajiban saja, belum memindahkan hak milik6.

f. Perjanjian Jual-Beli

Menurut pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jual-beli adalah

“suatu perjanjian, dengan mana para pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.7

6

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, cetakan ke III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandar Lampung 2000, h.225

7


(18)

g. Perjanjian Dibawah Tangan

Perjanjian yang dibuat dibawah tangan adalah perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya

disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut8. Dalam pasal 1874 KUHPer

dijelaskan bahwa,

“sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani dibawah tangan, surat-surat urusan rumah-tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum”.

h. Jenis-jenis Hak Atas Tanah

Hak atas tanah menurut hukum adat yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah mendengar kesaksian dari masyarakat setempat,

dikonversi menjadi hak milik9.

1. Hak guna usaha, suatu hak guna usaha adalah hak untuk

mengusahakan tanah yang dikontrol secara langsung oleh negara untuk waktu tertentu, yang dapat diberikan kepada perusahaan yang berusaha dibidang pertanian, perikanan atau peternakan.

2. Hak guna bangunan, hak guna bangunan digambarkan sebagai hak

untuk mendirikan dan memiliki bangunan diatas tanah yang dimiliki

8

www.hukumonline.com, Perjanjian Bawah Tangan , diakses Tanggal 21 Desember 2010, Pukul 20.10 WIB

9

www.hukumonline.com, jenis-jenis hak atas tanah, diakses tanggal 23 Mei 2011, pukul 19.05 WIB


(19)

oleh pihak lain untuk jangka waktu maksimum 30 tahun. Suatu hak guna bangunan dapat dipindahkan kepada pihak lain.

3. Hak pakai, hak pakai adalah hak untuk memanfaatkan, dan/atau

mengumpulkan hasil dari tanah yang secara langsung dikontrol oleh negara atau tanah yang dimiliki oleh individu lain yang memberi pemangku hak dengan wewenang dan kewajiban sebagaimana dijabarkan didalam perjanjian pemberian hak.

4. Hak milik atas satuan bangunan bertingkat, adalah hak milik atas suatu

bangunan tertentu dari suatu bangunan bertingkat yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah untuk keperluan tertentu dan masing-masing mempunyai sarana penghubung ke jalan umum yang meliputi antara lain suatu bagian tertentu atas suatu bidang tanah bersama.

5. Hak sewa, suatu badan usaha atau individu memiliki hak sewa atas

tanah berhak memanfaatkan tanah yang dimiliki oleh pihak lain untuk pemanfaatan bangunan dengan membayar sejumlah uang sewa kepada pemiliknya.

i. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.


(20)

Tugas pokok dan kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 2 PP no.37 tahun 1998, yang berbunyi sebagai berikut :

(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah

dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai

berikut : a. Jual beli

b. Tukar-menukar

c.Hibah

d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)

e.Pembagian hak bersama

f.Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik

g. Pemberian hak tanggungan

h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan

1.6. Metodologi Penelitian


(21)

Jenis penelitiannya adalah ”hukum normatif yaitu Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka atau

penelitian hukum kepustakaan”.10

Tipe penelitian menggunakan penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum di tempat tertentu dan pada saat tertentu yang terjadi dalam masyarakat.11

B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder adalah data dari penelitian kepustakaan dimana dalam data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier sebagai berikut:

1) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas. Terdiri dari :

a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang

jabatan notaries

c) KUHPerdata, Subekti

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum normatif, PT RajaGrafindo persada, Jakarta, 2010, h.13

11


(22)

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku literatur, hasil karya sarjana. Terdiri dari:

- Buku-buku tentang hukum perjanjian

- Buku-buku tentang Penelitian Hukum

- Handout-handout mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum

3) Bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai pelengkap dari

kedua bahan hukum sebelumnya yaitu kamus hukum.12

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ini adalah dengan studi pustaka. Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data-data yang diperoleh dari buku-buku dan dari sumber-sumber data sekunder dan mempelajari buku-buku, UU, KUH Perdata, Peraturan Pemerintah yang berkenaan dengan perjanjian bawah tangan terhadap kepemilikan hak atas tanah.

D. Metode Pengolahan Data

Metode yang digunakan dalam Pengolahan Data ini adalah Editing. Editing

yaitu memeriksa atau membetulkan data agar dapat diper tanggungjawabkan. 13

E. Metode Analisis Data

Metode analisis data menggunakan metode induktif, yaitu menalar dari

kasus –kasus individual nyata ke hal yang umum-abstrak.14

12 Ibid , h.13

13 Ibid

14


(23)

F. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai tempat pengumpulan data di lapangan untuk menemukan jawaban terhadap masalah. Lokasi yang di pilih sebagai lokasi penelitian adalah Kantor Notaris Endang Sulistyo Kartikawati, S.H yang beralamat di Jl. Raya Leces 2A, Probolinggo dan kantor BPN Kota Probolinggo sebab sebagai tempat praktik magang.

G. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini adalah 3 (tiga) bulan, dimulai dari bulan Januari sampai dengan Maret 2011. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari minggu pertama. Tahap persiapan penelitian ini, meliputi : penentuan judul penelitian, penulisan proposal, seminar proposal, penyusunan skripsi, dan sidang skripsi.

1.7. Sistematika Penelitian

Bab isi skripsi ini terdiri dari 2 (dua) bab, yaitu bab II, dan bab III.Bab II merupakan jawaban terhadap permasalahan pertama ,dan bab III merupakan jawaban terhadap permasalahan kedua.

Bab I tentang pendahuluan yang menguraikan tentang situasi-situasi yang melatar belakangi adanya rumusan masalah sebagai landasan atau kunci adanya penelitian atau penulisan skripsi ini. Uraian selanjutnya mengenai penjelasan judul ,alasan pemilihan judul,penelitian dan penulisan judul.Kemudian dilanjutkan dengan metode penelitian sebagai arahan untuk sarana dalam pemecahan masalah karena berisi mengenai pendekatan masalah ,sumber data ,prosedur pengumpulan data dan analisis data.Uraian diakhiri dengan pertanggungjawaban sistematika


(24)

yang menguraikan mengenai alasan penempatan sistematika kerangka penulisan skripsi ini

Bab II berisi tentang, Kekuatan hukum perjanjian jual beli dibawah tangan dalam teori dan praktek. Dalam bab ini menguraikan tentang kekuatan hukum perjanjian jual beli dibawah tangan. Uraian selanjutnya adalah Perjanjian jual beli dibawah tangan dalam teori dan praktek.

Bab III berisi tentang Penerapan putusan nomor

22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO. Uraian pertama adalah Peralihan hak atas tanah. Uraian selanjutnya adalah penerapan putusan nomor 22.PDT/.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO oleh para pihak. Uraian terakhir adalah tentang hak atas tanah.

Bab IV adalah bagian terakhir dari penulisan skripsi. Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran dari penulisan skripsi. Pada kesimpulan akan dikemukan jawaban atas permasalahan dalam skripsi itu sendiri, sedangkan saran mengetengahkan beberapa sumbangan pemikiran dalam rangka pemecahan permasalahan yang dikemukan dalam skripsi ini.


(25)

BAB II

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI DIBAWAH TANGAN DALAM TEORI DAN PRAKTEK

2.1. Kekuatan Hukum Perjanjian Jual Beli Di Bawah Tangan

Umumnya perjanjian jual beli dilakukan dengan menggunakan akta autentik, tetapi tidak sedikit juga yang melakukan jual beli dengan akta di bawah tangan. Perjanjian adalah suatu peristiwa, di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal".15

Suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Cakap untuk membuat perikatan

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab atau causa yang halal.

15


(26)

Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi

hukum.16

Sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu, jadi yang dikehendaki oleh pihak yang satu. juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaligh dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

1) Orang-orang yang belum dewasa.

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang, dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Sebagai syarat ketiga suatu perjanjian harus mengenai suatu hak tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah

16


(27)

pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada ditangannya berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Akhirnya oleh Pasal 1320 KUHPerdata ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab (bahasa Belanda Oorzaak, bahasa Latin Causa) ini dimaksudkan tiada lain daripada isi perjanjian. Dengan segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah suatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Bukan itu yang dimaksudkan oleh Undang-undang dengan sebab yang halal itu. Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dipedulikan oleh undang-undang. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang dicita-citakan seorang, yang diperhatikan oleh hukum atau undang-undang hanyalah tindakan orang-orang dalam masyarakat.

Terjadinya Perjanjian Jual-Beli :

Unsur-unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga sesuai dengan asas "konsensualisme" yang menjiwai hukum perjanjian KUHPerdata, perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak telah setuju tentang barang dan

harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah.17

17


(28)

Sifat konsensual dari jual-beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi :

"Jual-beli dianggap sudah tercapai antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar".

Konsensualisme berasal dari kata konsensus yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara para pihak-pihak yang bersangkutan dicapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam sepakat tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan misalnya : "setuju", "accord", "ok", dan lain-lain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda tangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera di atas tulisan itu. Dapat diketahui dan disimpulkan bahwa hukum perjanjian KUHPerdata menganut asas konsensualisme. Menurut Subekti, asas tersebut harus disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata yaitu Pasal yang mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjiian dan tidak dari Pasal 1338 (1) KUHPerdata seperti diajarkan oleh beberapa penulis karena dengan kata lain kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah. Bukankah oleh Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang berbunyi: "semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya", itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu Undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada


(29)

"semua perjanjian yang dibuat secara sah". Perjanjian yang dibuat secara sah itu diberikan oleh Pasal 1320 KUHPerdata dengan hanya mengenai ketentuan pertama yaitu sepakat saja disebutkan tanpa dituntut suatu bentuk/cara (formalitas) apapun. Sepertinya dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai kata sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah

perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang yang membuatnya.18

Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang "menawarkan" (melakukan "offerte") maupun oleh pihak yang

menerima penawaran tersebut.19 Dengan demikian, maka yang akan menjadi alat

pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada asas konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus (dan ini adalah maha penting karena merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu Undang-undang), kita terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Ini pula merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Bukankah dari ketentuan bahwa kita harus berpijak pada apa yang telah dinyatakan itu timbul perasaan

18

Ibid., h.4

19


(30)

aman pada setiap orang yang telah membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin dituntut memenuhi kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan kepadanya. Apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat konsensus atau tidak (yang berarti apakah telah dilahirkan suatu

perjanjian atau tidak), maka hakim atau pengadilanlah yang menetapkannya.20

Pernyataan timbal balik dari kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal balik di antara mereka. Semua pernyataan dapat tidaknya dipertanggungjawabkan pada (menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi) pihak yang melakukan pernyataan itu. Dapat dikatakan bahwa menurut ajaran yang sekarang dianut dan juga menurut yurisprudensi, pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar sepakat adalah pernyataan yang secara obyektif dapat dipercaya. Suatu pernyataan yang kentara dilakukan secara tidak sungguh-sungguh atau mengandung suatu kekhilafan atau kekeliruan tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar kesepakatan. Dalam perjanjian sungguh-sungguh dituntut tercapainya suatu perjumpaan kehendak, sudah lampau.

Perjumpaan kehendak atau konsensus itu diukur dengan pernyataan-pernyataan yang secara bertimbal balik telah dikeluarkan. Berdasarkan pernyataaan-pernyataan timbal balik itu dianggap bahwa sudah dihasilkan sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian (yang mengikat seperti Undang-undang). Sekali sepakat itu dianggap ada, maka hakimlah yang akan menafsirkan apa yang telah disetujui, perjanjian apa yang telah dilahirkan dan apa saja hak dan kewajiban para pihak.

20


(31)

Jual-beli adalah suatu perjanjian konsensuil artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan hukum) pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok yaitu barang dan harga, biarpun jual-beli itu mengenai barang yang tak bergerak.

Sifat konsensuil jual bell ini ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi "Jual-beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar."

1)Dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah dan dibuatkan akta

jual beli.

Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.3711998 tentang Tugas dan Kewenangan PPAT, sebagai berikut :

(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan

pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :

a. jual beli; b. tukar-menukar; c. hibah;

d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng); e. pembagian harta bersama;


(32)

g. pemberian Hak Tanggungan

h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

2)Didaftarkan di Badan Pertanahan Untuk Perolehan Haknya.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan bahwa pendaftaran tanah diselenggrakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan bahwa pendaftaran tanah diselenggrakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2). Pasal 38 ayat (2). pendaftaran tanah juga tetap dilaksanakan melalui dua cara , yaitu pertama-tama sacara sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau kelurahan.

Proses pendaftaran di Kantor Pertanahan:

a) Setelah berkas disampaikan ke Kantor Pertanahan, Kantor

Pertanahan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada PPAT, selanjutnya oleh PPAT tanda bukti penerimaan ini diserahkan kepada Pembeli.

b) Nama pemegang hak lama (penjual) di dalam buku tanah dan sertifikat dicoret dengan tinta hitam dan diparaf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk.


(33)

c) Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan kolom yang ada pada buku tanah dan sertifikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.

d) Dalam waktu 14 (empat belas hari) pembeli sudah dapat mengambil

sertifikat yang sudah atas nama pembeli di kantor pertanahan21

Perjanjian yang dibuat di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya

disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut. Sedangkan kekuatan

pembuktiannya hanya antara para pihak tersebut apabila para pihak tersebut tidak menyangkal dan mengakui adanya perjanjian tersebut (mengakui tanda tangannya di dalam perjanjian yang dibuat). Artinya salah satu pihak dapat menyangkal akan kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian tersebut. Lain halnya dengan akta autentik, akta autentik atau biasa disebut juga akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya dapat dijadikan bukti di pengadilan tanpa terlepas dari adanya pihak-pihak yang tidak mengakui mengenai perjanjian yang telah dibuat dan berlaku bagi pihak ketiga.

Akta autentik artinya dapat dipercaya karena dibuat dihadapan seorang Pejabat umum yang ditunjuk untuk itu yang dalam hal ini biasanya adalah seorang Notaris. Sehingga akta yang buat dihadapan Notaris tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti di depan Pengadilan.

21

Wawancara dengan Bapak Arief, Pegawai BPN Kabupaten Probolinggo, pukul 13.45 WIB Hari Senin ,Tanggal 10 Januari 2011


(34)

Sedangkan istilah surat atau akta di bawah tangan adalah istilah yang dipergunakan untuk pembuatan suatu perjanjian antara para pihak tanpa dihadiri atau bukan dihadapan seorang Notaris sebagaimana yang disebutkan pada akta autentik di atas. Perjanjian yang dibuat di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut. Sedangkan kekuatan pembuktiannya hanya antara para pihak tersebut apabila para pihak tersebut tidak menyangkal dan mengakui adanya perjanjian tersebut (mengakui tanda tangannya di dalam perjanjian yang dibuat). Artinya salah satu pihak dapat menyangkal akan kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian tersebut.

Lain halnya dengan akta autentik, akta autentik atau biasa disebut juga akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya dapat dijadikan bukti di Pengadilan tanpa terlepas dari ada pihak-pihak yang tidak mengakui adanya perjanjian yang telah dibuat dan berlaku bagi pihak ketiga. Dalam akta notaris/autentik dapat dijamin kepastian tanggalnya.

Pembuktian merupakan bagian yang penting dalam proses persidangan suatu perkara di pengadilan. Dengan pembuktian, hakim akan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai perkara yang sedang menjadi sengketa di pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dijelaskan dalam hal apa saja pembuktian itu harus dilakukan, siapa saja yang diwajibkan untuk membuktikan dan hal apa yang tidak perlu dibuktikan.


(35)

Menurut hukum perdata suatu perjanjian harus dibuat secara tertulis atau otentik,karena untuk mendapatkan kepastian hukum sehingga apabila timbul permasalahan di pengadilan dapat menjadi bukti yang sah.Untuk perjanjian dibawah tangan, harus dengan legalisasi yang dibuat oleh notaris untuk mendapatkan kekuatan hukumnya.

Dalam hal yang berkaitan dengan perolehan hak atas tanah, maka hukum perdata memerlukan suatu bukti yang nyata yaitu dengan dibuatnya perjanjian tertulis atau otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu, yaitu PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) sementara yaitu Camat.

Apabila ada perjanjian yang dibuat dibawah tangan maka harus ada legalisasi yang dibuat oleh notaris. Hal ini menunjukkan bahwa hukum perdata selalu memerlukan otentisitas dalam setiap perjanjiannya.

2.2 Perjanjian Jual Beli dibawah tangan dalam teori dan praktek

Jual beli dibawah tangan merupakan hal yang wajar terjadi, terutama di pelosok-pelosok desa. Hal ini disebabkan karena masih minimnya pengetahuan masyarakat terhadap hukum. Istilah surat atau akta di bawah tangan adalah istilah yang dipergunakan untuk pembuatan suatu perjanjian antara para pihak tanpa dihadiri atau bukan dihadapan seorang Notaris sebagaimana yang disebutkan pada akta autentik di atas.

Perjanjian yang dibuat di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut. Sedangkan kekuatan


(36)

pembuktiannya hanya antara para pihak tersebut apabila para pihak tersebut tidak menyangkal dan mengakui adanya perjanjian tersebut (mengakui tanda tangannya di dalam perjanjian yang dibuat). Artinya salah satu pihak dapat menyangkal akan kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian tersebut.

Berbeda dengan akta otentik, akta di bawah tangan memiliki ciri dan kekhasan tersendiri, berupa22:

1. Bentuknya yang bebas

2. Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum

3.Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh pembuatnya

4.Dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi & bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.

Suatu akte dibawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan

22

www.hukumonline.com, Akta dibawah tangan, diakses tanggal 13 Januari 2008, pukul 17.08 WIB


(37)

tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi.

Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte tersebut telah melakukan pemalsuan surat.

Kesadaran hukum masyarakat Kabupaten Probolinggo dari tahun ke tahun cenderung meningkat, terutama untuk proses peralihan hak atas tanah. Hal ini dikarenakan pemerintah mendorong masyarakat untuk sertifikasi tanah sebagai bukti kepemilikan tanah secara otentik. Akibat dari kepemilikan tanah secara non otentik dapat menimbulkan sengketa di kemudian hari.Hal ini terdapat dalam sebuah kasus gugatan yang terjadi di Kabuapaten Probolinggo, yang tertuang pada putusan nomor 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB yaitu mengenai sengketa sebidang tanah sawah yang terletak di Desa Karanganyar

Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo23. Sebagai penggugat adalah Endji

melawan Sarini sebagai tergugat I dan Haji Misro sebagai tergugat II. Permasalahan dimulai ketika penggugat masih kecil (sekitar umur 6 tahun), tanpa sepengetahuan penggugat, kemudian tanah sengketa tersebut dikuasai oleh tergugat I dengan tidak memperhatikan kepentingan penggugat selaku

23


(38)

pemilik tanah sengketa tersebut . Setelah itu , oleh tergugat I tanah tersebut dipindah tangankan kepada tergugat II sampai dengan sekarang.

Untuk mencegah hal-hal seperti ini terjadi, diperlukan adanya tambahan pengetahuan tentang proses kepemilikan hak atas tanah secara benar kepada masyarakat, terutama masyarakat yang masih tinggal di pelosok-pelosok desa.

Kekuatan hukum perjanjian jual beli dibawah tangan secara teori tidak bisa terjadi, dalam pasal 1470 KUHPer, dinyatakan

“Begitu pula tidak diperbolehkan menjadi pembeli pada penjualan dibawah tangan, atas ancaman yang sama, baik pembelian itu dilakukan oleh mereka sendiri maupun oleh orang-orang perantara : kuasa-kuasa mengenai barang-barang yang mereka dikuasakan menjualnya ; pengurus-pengurus mengenai benda-benda milik Negara dan milik badan-badan umum, yang dipercayakan kepada pemeliharaan dan pengurusan mereka. Namun itu adalah terserah kepada Presiden untuk memberikan kebebasan dari larangan itu kepada pengurus-pengurus umum. Segala wali dapat membeli benda-benda tak bergerak kepunyaan anak-anak yang berada dibawah perwalian mereka. Dengan cara yang ditetapkan dalam pasal 399.”

Tetapi dalam prakteknya, perjanjian jual beli dibawah tangan bisa terjadi, bahkan banyak masyarakat yang menggunakannya. Sebenarnya perjanjian jual beli dibawah tangan sah-sah saja dilakukan, namun perjanjian tersebut kurang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Secara praktek, kekuatan hukum perjanjian jual beli dibawah tangan bisa mengikat kedua belah pihak selama dapat dibuktikan dan atau diakui oleh penjualnya.

Perjanjian jual beli dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak belum sebagai akta otentik, tetapi dipakai sebagai bukti transaksi jual beli saja, untuk


(39)

mendapat kekuatan hukumnya, perjanjian jual beli harus dilegalisasi terlebih dahulu.

Legalisasi dalam pengertian sebenarnya adalah membuktikan bahwa dokumen yang dibuat oleh para pihak itu memang benar-benar di tanda tangani oleh para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu diperlukan kesaksian seorang Pejabat Umum yang diberikan wewenang untuk itu yang dalam hal ini adalah Notaris untuk menyaksikan penanda tanganan tersebut pada tanggal yang sama dengan waktu penanda tanganan itu. Dengan demikian Legalisasi itu adalah me-legalize dokumen yang dimaksud dihadapan Notaris dengan membuktikan kebenaran tandan tangan penada tangan dan tanggalnya.

Legalisasi adalah pengesahan akta dibawah tangan oleh Notaris atau pejabat umum lainnya yang ditunjuk oleh undang- undang dengan membubuhkan pernyataan tertentu pada akta dibawah tangan tersebut.


(40)

BAB III

PENERAPAN PUTUSAN NOMOR 22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO

3.1. Peralihan hak atas tanah.

Putusan hakim diikuti dengan upaya hukum, jika para pihak tidak puas dengan putusan hakim tersebut. Tetapi, jika tidak ada upaya hukum lagi dari pihak yang berlawanan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Seperti dalam putusan perkara nomor 22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO mengenai sengketa sebidang tanah sawah yang terletak di Desa Karanganyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo.

Setiap peralihan hak atas tanah selalu diikuti atau disertai dengan bukti-bukti surat yang melekat pada tanah yang dialihkan, sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku pada waktu terjadinya peristiwa peralihan hak.

Dalam putusan perkara nomor 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB yaitu mengenai sengketa sebidang tanah sawah yang terletak di Desa Karanganyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo. Sebagai penggugat adalah Endji


(41)

melawan Sarini sebagai tergugat I dan Haji Misro sebagai tergugat II. Permasalahan dimulai ketika penggugat masih kecil (sekitar umur 6 tahun), tanpa sepengetahuan penggugat, kemudian tanah sengketa tersebut dikuasai oleh tergugat I dengan tidak memperhatikan kepentingan penggugat selaku pemilik tanah sengketa tersebut . Setelah itu , oleh tergugat I tanah tersebut dipindah tangankan kepada tergugat II sampai dengan sekarang.

Dari putusan hakim, disebutkan bahwa asal mula tanah sengketa tersebut adalah dari buku C desa No. 155 persil 17 luas 0,313 ha atas nama Bapak Sameno Nadin dan pada tanggal 2 Mei 1970 telah dikasih kepada buku C desa 812 persil 17 luas 0,313 ha. Atas nama Endji sebagaimana dalam bukti P.1 yang sesuai pula dengan bukti T-4 yang merupakan buku C desa. Perubahan dari bukti T-4 buku C desa No. 812 kepada bukti T-3 buku C desa atas nama Sarini Saripa, terdapat hubungan yang terputus, karena perubahan tersebut tidak terdapat keterangan, mengapa berubah akan tetapi hanya tertulis kasih.

Awalnya tanah sengketa tersebut, sejak Sagi dan Senema meninggal dikerjakan oleh Nudin,ayah Senema bersama dengan Yatim dan sejak Nudin dan Yatim meninggal tanah tersebut dikerjakan oleh Sarini, anak Nudin dari istri ke2 Arbidin alias Aryam.Sarini mengerjakan tanah tersebut bersama dengan Liyami .Liyami adalah anak angkat Sarini yang merupakan anak dari Sarijo adik kandung dari Sarini ,hal ini berdasar keterangan saksi penggugat Misnatun, Mat Astayat, Sudi, saksi tergugat H.Abd. Kholiq Hudi.


(42)

Dalam putusan ini disebutkan ada bukti perjanjian yaitu, akta jual beli no. 580/Paiton/XII/2005 antara Sarini dan Saripa alias Sunarmi sebagai penjual dengan H.Misro sebagai pembeli. Menurut keterangan dari saksi tergugat, yaitu H.Abdul Kholiq Hudi menyatakan bahwa ada 2 proses perolehan kepemilikan hak atas tanah, yaitu peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum adalah waris, sedangkan perbuatan hukum meliputi hibah,pembagian hak bersama,jual beli dan tukar menukar. Khusus tukar menukar, sudah jarang dilakukan lagi, karena kekhawatiran mengenai pajak yang bisa dipalsukan oleh si pemilik tanah. Tukar menukar sekarang beralih menjadi jual beli, karena harus menggunakan keterangan pajak yang paling baru.

Dari bukti penggugat bertanda P.1 surat ketetapan pajak hasil bumi atas nama Endji C no.812, persil 17, S II , luas 0,313 ha. Yang diterbitkan pada tanggal 2 Mei 1970, dalam kolom sebab dan tanggal perubahan tanah pada tanggal 2 Mei 1970 kasih dari no. 155, hal tersebut bersesuaian dengan C no. 155 atas nama P. Sameno Nadin yang dilihat Majelis Hakim pada saat sidang di tempat pada tanggal 21 Agustus 2009 dalam buku C desa di kantor desa yang ditunjukkan oleh kepala desa Karanganyar bernama Emmat dan dihubungkan lagi dengan bukti T-4 buku C desa no. 812 persil 17 S II luas 0,313 ha. Atas nama Endji, yang di dalam kolom sebab dan tanggal perubahan tanah pada tanggal 18 September 1981 kasih ke C no. 1068, dimana C 1068 atas nama Sarini Saripa (bukti T-2), dan bukti T-1 akta jual beli no. 580/Paiton/XII/2005 antara Sarini dan Saripa alias Sunarmi sebagai penjual dengan H.Misro (Tergugat II) sebagai pembeli.


(43)

Adapun dari perjanjian di bawah tangan pada putusan tersebut adalah kurang kuat ,disebabkan karena dalam proses kepemilikanya para Tergugat secara melawan hak dan melawan hukum sehingga tanah tersebut menjadi sengketa dan menimbulkan gugatan.

Kekuatan hukum dalam perjanjian,pembuktiannya terletak di antara para pihak yang melakukan suatu perjanjian tersebut dan apabila para pihak tersebut tidak menyangkal atau mengakui adanya perjanjian tersebut, dengan mengakui tanda tangannya di dalam perjanjian yang dibuat. artinya salah satu pihak tidak dapat menyangkal akan kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian tersebut. Karena setiap terjadi suatu perjanjian akan dapat dikatan sah atau benar dan dipertanggung jawabkan oleh yang bertanda tangan dalam perjanjian.

Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian historis yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.

Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan


(44)

seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.

Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain : - hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui

- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal

- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.


(45)

Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.

Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 KUHPer, bahwa:

" Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia

mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"

Berbeda dengan akta autentik, dalam akta autentik atau yang biasa disebut dengan akta notaries, maka akta tersebut memiliki kekuatan hukum, sepanjang yang hadir dihadapan notaris adalah benar-benar para pihak yang berkepentingan, oleh karena itu setiap orang yang melakukan perjanjian wajib hadir dihadapan notaris, maka perjanjian yang dibuatnya memiliki kekuatan hukum, tetapi jika dalam pembuktian di pengadilan bila terjadi sengketa, para pihak dapat tidak mengakui adanya perjanjian yang telah dibuat dihapan notaris.

Dalam akta autentik untuk sementara ini dapat dijamin kepastian hukumya, karena dalam akta akan termuat adanya tanggal ketika yang melakukan perjanjian


(46)

hadir dihadapan notaris. Perjanjian yang dibuat di hadapan notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat “relaas” atau menguraikan secara autentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta (notaries) dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Akta yang dibuat akan menguraikan apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat “oleh” (door) notaris ( sebagai pejabat umum ).

Akta autentik dapat disebut sebagai Akta Notariil yaitu akta yang dibuat dan dibacakan serta ditandatangani di hadapan notaris, sedangkan substansi perjanjian yang termuat sebagai isi akta merupakan keinginan para pihak yang melakukan perjanjian, tapi sebagai pejabat umum, seorang notaris bertanggung jawab penuh atas isi akta tersebut, tentang kebenaran dan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya, menjamin bahwa para pihak yang menandatangani perjanjian adalah orang yang cakap menurut hukum.

Sedang akta yang di legalisasi adalah akta yang disebut dengan akta atau perjanjian di bawah tangan, substansi perjanjian dibuat dan disepakati olah para pihak yang melakukan perjanjian, agar perjanjian tersebut lebih memiliki kekuatan hukum, para pihak meminta legalitas notaris, sebelum di legalitas para pihak yang melakukan perjanjian harus hadir dihapan notaris dan membacakan substansi perjanjian, bila dipandang cukup selanjutnya perjanjian tersebut dicatatkan dalam buku register dengan memberi nomor, dan dilegalitas oleh notaris.


(47)

Dalam hal ini perjanjian yang dilagalisasi notaris memiliki kelemahan bahwa notaris tidak bertanggungjawab terhadap substansi perjanjian, notaris hanya menjamin tanggal perjanjian dan orang/pihak yang menandatangani perjanjian adalah orang yang cakap dan berwenang.

Berbeda dengan akta yang di Waarmerk, karena akta yang dibuat di bawah tangan yang sudah ditandatangani oleh para pihak dan dibawa di hadapan notaris

dan kemudian dicatatkan di dalam buku regester, dengan memberi nomor.8 Dalam

hal ini notaris hanya menjamin tanggal dari akta itu saja.

Perbedaan antara perjanjian yang dibuat oleh notaris yang disebut akta autentik dan perjanjian yang di buat di bawah tangan, yang selanjutnya disebut akta dibawah tangan adalah:

a Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti ( perhatikan bunyi pasal 1 P.J.N. yang menyatakan “menjamin kepastian tanggalnya dan seterusnya), sedang mengenai tanggal dari akta atau perjanjian yang dibuat dibawah tangan tidak selalu demikian;

b. Grosse dari akta atau perjanjian yang dibuat di hadapan notaris dalam beberapa hal memiliki kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim, sedangkan akta atau pejanjian yang dibuat di bawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial.

3.2. Penerapan putusan nomor 22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO

Dalam pokok perkara menetapkan menurut hukum, bahwa tanah sengketa yang terletak di Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo


(48)

adalah milik Penggugat, yaitu Endji Atau Suradji, karena penggugat lah yang dapat membuktikan asal muasal tanah sengketa tersebut.

Menurut hukum, penguasaan tanah sengketa yang dilakukan para tergugat adalah tanpa hak dan melawan hukum, karena terdapat cacat dalam akta jual beli, karena pihak penjual adalah orang yang tidak berwenang melakukan jual beli sesuai dengan pasal 1457 KUHPer yang maksudnya jual beli suatu bentuk perikatan untuk memberikan sesuatau yang terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.

Menyatakan tidak sah dan batal demi hukum segala pemindahan hak atas tanah sengketa beserta surat-surat yang berkaitan dengan pemindahan hak tersebut kepada para tergugat atau siapa saja.

Menghukum para tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari mereka untuk mengosongkan tanah sengketa dari semua benda miliknya dan selanjutnya menyerahkannya kepada penggugat dalam keadaan kosong dan baik.

Penerapan putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN. KABUPATEN PROBOLINGGO telah dilaksanakan oleh para pihak karena tidak ada upaya hukum yang lain.

3.3. Hak Atas Tanah

Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah


(49)

berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo pasal 53 UUPA, antara lain:

 Hak Milik

 Hak Guna Usaha

 Hak Guna Bangunan

 Hak Pakai

 Hak Sewa

 Hak Membuka Tanah

 Hak Memungut Hasil Hutan

 Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang

ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.

Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga–lembaga hak atas tanah yang


(50)

keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak–hak yang dimaksud antara lain :

 Hak gadai,

 Hak usaha bagi hasil,

 Hak menumpang,

 Hak sewa untuk usaha pertanian.

Hak–hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak–hak tersebut menimbulkan pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas–asas Hukum Tanah Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu, hak–hak tersebut juga bertentangan dengan jiwa dari pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak. Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah tersebut adalah pemegang hak gadai.

Hak menumpang dimasukkan dalam hak–hak atas tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan dan budaknya. Feodalisme masih mengakar kuat sampai sekarang di Indonesia


(51)

yang oleh karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim. Sehingga rakyat hanya menunngu perintah dari penguasa tertinggi.

Sutan Syahrir dalam diskusinya dengan Josh Mc. Tunner, pengamat Amerika (1948) mengatakan bahwa feodalisme itu merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan pemerintahan diktatorial. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda merupakan tujuan jangka pendek. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah membebaskan Indonesia dari pemerintahan yang sewenang–wenang dan mencapai kesejahteraan masyarakat. Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak atas tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam UUPA, hak–hak atas tanah dikelompokkan sebagai berikut :

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :

 Hak Milik

 Hak Guna Usaha

 Hak Guna Bangunan

 Hak Pakai

 Hak Sewa Tanah Bangunan

 Hak Pengelolaan

2. Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :

 Hak Gadai

 Hak Usaha Bagi Hasil


(52)

 Hak Sewa Tanah Pertanian

Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut Undang–undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda–benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan umum mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta menteri lain yang bersangkutan. Setelah Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat besarnya ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya dicabut tadi. Kemudian jika pemilik tanah tidak setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia bisa mengajukan keberatan dengan naik banding pada pengadilan tinggi

Hak-hak perorangan dan badan hukum atas tanah memperoleh pengakuan yang kuat dalam sistem dan tata hukum di Indonesia. Hak milik atas tanah adalah bagian dari hak-hak kebendaan yang dijamin dalam konstitusi. Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 sebagai hasil dari amandemen kedua, dinyatakan sebagai berikut :


(53)

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Pasal 28 h

Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun.

Selanjutnya dalam UUPA, dinyatakan antara lain sebagai berikut : Pasal 4 ayat (2)

Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Berdasarkan pengertian pada pasal 4 ayat (2) tersebut, hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak

meliputi tubuh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Asas yang hanya mengakui hak atas tanah adalah terbatas pada hak atas permukaan bumi saja disebut dengan asas pemisahan horisontal. Asas pemisahan horisontal adalah asas dimana pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horisontal


(54)

horisontal adalah asas yang didasarkan pada hukum adat, dan merupakan asas yang dianut oleh UUPA.

Berbeda dengan asas yang dianut oleh UUPA, KUHPerdata menganut asas perlekatan, baik yang sifatnya perlekatan horisontal maupun perlekatan vertikal, yang menyatakan bahwa benda bergerak yang tertancap atau terpaku pada benda tidak bergerak, berdasarkan asas asesi maka benda-benda yang melekat pada benda pokok, secara yuridis harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya.

Menurut KUHPerdata pasal 571 hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepemilikan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah. Sedangkan dalam UUP dibedakan berbagai hak atas tanah sebagai berikut : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah , memiliki fungsi sosial serta dapat dialihkan dan beralih.

Sedangkan hak-hak penguasaan atas tanah, menurut Boedi Harsono, dikelompokkan menjadi hak bangsa, hak menguasai dari negara, hak ulayat, hak perorangan dan hak tanggungan.

Hak milik atas tanah mengandung unsur hak kebendaan dan hak perseorangan. Sebagai hak kebendaan, hak atas tanah memiliki ciri-ciri bersifat absolut, jangka waktunya tidak terbatas, hak mengikuti bendanya (droit de suite), dan memberi wewenang yang luas bagi pemiliknya seperti dialihkan, dijaminkan, disewakan atau dipergunakan sendiri. Sebagai hak perseorangan, ciri-cirinya


(55)

adalah bersifat relatif, jangka waktunya terbatas, mempunyai kekuatan yang sama tidak tergantung saat kelahirannya hak tersebut, memberi wewenang terbatas

kepada pemiliknya.24

Sementara itu, menurut Aslan Noor, teori kepemilikan ataupun pengalihan kepemilikan secara perdata atas tanah dikenal empat teori, yaitu :

a. Hukum Kodrat, menyatakan dimana penguasaan benda-benda yang ada di dunia termasuk tanah merupakan hak kodrati yang timbul dari kepribadian manusia

b. Occupation theory, dimana orang yang pertama kali membuka tanah, menjadi pemiliknya dan dapat diwariskan

c. Contract theory, dimana ada persetujuan diam-diam atau terang-terangan untuk pengalihan tanah

d. Creation theory, menyatakan bahwa hak milik privat atas tanah diperoleh

karena hasil kerja dengan cara membukan dan mengusahakan tanah25

Mengenai pengalihan atau penyerahan hak atas tanah, terdapat dua pendapat yaitu yang pertama adalah bahwa jual beli harus dilakukan dengan akta otentik yang diikuti dengan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah. Akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akte Tanah, bukan saja hanya sebagai alat bukti untuk pendaftaran tetapi merupakan syarat mutlak adanya perjanjian penyerahan. Pendapat ini diwakili oleh Mariam Darus Badrulzaman dan Saleh Adiwinata. Pendapat lainnya adalah bahwa perbuatan jual beli tanpa diikuti dengan akta otentik adalah sah, sepanjang

24

www.hukumonline.com, hak atas tanah, diakses tanggal 28 Februari 2011, pukul 23.05 WIB

25


(56)

diikuti dengan penyerahan konkret. Pendapat ini diwakili oleh Boedi Harsono dan R. Soeprapto. Penyerahan yang sifatnya konsensual sebagaimana dianut hukum perdata sekaligus dengan penyerahan yang sifatnya konkret sebagaimana dianut oleh hukum adat ada dasarnya adalah bertentangan dan dapat terjadi dualisme dalam penafsiran kepastian hukumnya.

Mariam Darus Badrulzaman berpendapat, bahwa lembaga pendaftaran, tidak semata-mata mengandung arti untuk memberikan alat bukti yang kuat, akan tetapi juga menciptakan hak kebendaan. Hak kebendaan atas suatu benda tanah terjadi pada saat pendaftaran dilakukan. Sebelum dilakukan pendaftaran yang ada baru milik, belum hak. Dalam kaitan itulah, maka salah satu asas dari hak atas tanah adalah adanya asas publisitas.

Peraturan Pemerintah Nomor. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, adalah bersifat stelsel pasif. Artinya yang didaftar adalah hak, peralihan hak dan penghapusannya serta pencatatan beban-beban atas hak dalam daftar buku tanah. Hubungan antara pemindahan dengan alas hak adalah bersifat kausal, karena sifat peralihan hak tersebut adalah bersifat levering. Stelsel negatif ini berakibat : 1) Buku tanah tidak memberikan jaminan yang mutlak

2) Peranan yang pasif dari pajak balik nama, artinya pejabat-pejabat pendaftaran tanah tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran dari dokumen-dokumen yang diserahkan kepada mereka.

Selanjutnya, Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan bahwa berrdasarkan ajaran KUHPerdata pasal 584, dianut ajaran untuk sahnya penyerahan dibutuhkan beberapa syarat yaitu :


(57)

a. Alas hak (rechttitel)

b. Perjanjian kebendaan yang diikuti dengan perbuatan penyerahan (pendaftaran) dan penerbitan sertifikat

c. Wewenang menguasai (beschikkings bevoegheid)

Pendapat yang dianut Mariam Darus Badrulzaman di atas, tampaknya sangat dipengaruhi oleh ajaran teori causal, yang memandang bahwa hubungan hukum adalah obligatoirnya, sedangkan levering adalah akibatnya. Artinya levering baru sah, dan karenanya baru menjadikan yang menerima penyerahan sebagai pemilik, kalau rechtstitel yang memindahkan hak milik sah.

Di sisi lain, ada juga teori abstraksi yang menganut bahwa ada pemisahan antara levering dengan rechtstitel. Jadi kalau sekiranya ada suatu penyerahan, dimana yang melakukan penyerahan tidak memiliki titel, penyerahan tersebut tetap sah. Pemilik asal tidak dapat menuntut hak kebendaan dari pihak ketiga, yang membeli dengan itikad baik. Tuntutan pemilik asal adalah tuntutan pribadi terhadap orang yang mengalihkan hak kepada pihak ketiga tadi tanpa hak.

Pandangan para pakar di atas sangat menentukan dalam hal ada dua kepemilikan atas objek yang sama untuk menentukan pemilik dan pemegan hak yang sesungguhnya. Mengenai hak kepemilikan atas tanah, sifatnya tidak mutlak, artinya apabila kepentingan Negara atau kepentingan umum menghendaki, hak kepemilikan perorangan atau badan usaha atas sebidang tanah dapat dicabut dengan pemberian ganti rugi. Prinsip ini dianut baik dalam KUHPerdata maupun dalam UUPA.


(58)

Pasal 570 KUHPerdata

Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.

Pasal 16 ayat 4 UUPA

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

Pengertian kepentingan umum, harus dijaga dengan ketat untuk tidak melebar dan terlalu elastis sehingga hal-hal yang tidak sepatutnya digolongkan sebagai kepentingan umum, tetapi justru memperoleh penguatan dan legitimasi. Batasan tentang pengertian kepentingan umum yang abstrak dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di masyarakat, dan dapat menjurus kepada ketidakpastian yang baru dan menimbulkan konflik di masyarakat. Karena itu harus ada pengertian yang konkret akan makna kepentingan umum.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 pada pasal 2 dinyatakan bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum


(59)

oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya pada pasal 5 diatur secara limitatif bidang-bidang yang termasuk dalam kategori pembangunan untuk kepentingan umum.

Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa yang dimaksudkan untuk pembangunan kepentingan umum haruslah yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Pembebasan tanah yang dilakukan oleh pihak selain Pemerintah, berdasarkan aturan Peraturan Presiden tersebut di atas tidak dapat digolongkan sebagai pembangunan untuk kepentingan umum.


(60)

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Kekuatan pembuktian yang terdapat pada akta dibawah tangan yang

dilegalisasi oleh notaris adalah kekuatan pembuktian formil dan kekuatan materiil, sedangkan pada akta yang dibuat dihadapan notaris, selain terdapat kekuatan pembuktian formil dan materiil, juga terdapat kekuatan pembuktian lahiriah. Selain itu pada akta dibawah tangan yang dilegalisasi, notaris hanya menjamin kepastian tanggal dan tanda tangan dari para pihak saja, sedangkan pada akta yang dibuat dihadapan notaris, notaris bertanggung jawab sebagaimana yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Kekuatan pembuktian yang ada pada akta otentik lebih kuat dari pada akta dibawah tangan yang dilegalisasi oleh notaris, namun apabila akta yang dilegalisasi tersebut tidak disangkal oleh para pihak, atau dengan kata lain mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam perjanjian yang dilegalisasi tersebut, sehingga sesuai pasal 1857 KUHPer kekuatan pembuktianya dapat disamakan dengan akta otentik.

2. Perjanjian yang dilegalisasi oleh notaris adalah merupakan pejanjian dibawah


(1)

b. Perjanjian kebendaan yang diikuti dengan perbuatan penyerahan (pendaftaran) dan penerbitan sertifikat

c. Wewenang menguasai (beschikkings bevoegheid)

Pendapat yang dianut Mariam Darus Badrulzaman di atas, tampaknya sangat dipengaruhi oleh ajaran teori causal, yang memandang bahwa hubungan hukum adalah obligatoirnya, sedangkan levering adalah akibatnya. Artinya levering baru sah, dan karenanya baru menjadikan yang menerima penyerahan sebagai pemilik, kalau rechtstitel yang memindahkan hak milik sah.

Di sisi lain, ada juga teori abstraksi yang menganut bahwa ada pemisahan antara levering dengan rechtstitel. Jadi kalau sekiranya ada suatu penyerahan, dimana yang melakukan penyerahan tidak memiliki titel, penyerahan tersebut tetap sah. Pemilik asal tidak dapat menuntut hak kebendaan dari pihak ketiga, yang membeli dengan itikad baik. Tuntutan pemilik asal adalah tuntutan pribadi terhadap orang yang mengalihkan hak kepada pihak ketiga tadi tanpa hak.

Pandangan para pakar di atas sangat menentukan dalam hal ada dua kepemilikan atas objek yang sama untuk menentukan pemilik dan pemegan hak yang sesungguhnya. Mengenai hak kepemilikan atas tanah, sifatnya tidak mutlak, artinya apabila kepentingan Negara atau kepentingan umum menghendaki, hak kepemilikan perorangan atau badan usaha atas sebidang tanah dapat dicabut dengan pemberian ganti rugi. Prinsip ini dianut baik dalam KUHPerdata maupun dalam UUPA.


(2)

Pasal 570 KUHPerdata

Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.

Pasal 16 ayat 4 UUPA

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

Pengertian kepentingan umum, harus dijaga dengan ketat untuk tidak melebar dan terlalu elastis sehingga hal-hal yang tidak sepatutnya digolongkan sebagai kepentingan umum, tetapi justru memperoleh penguatan dan legitimasi. Batasan tentang pengertian kepentingan umum yang abstrak dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di masyarakat, dan dapat menjurus kepada ketidakpastian yang baru dan menimbulkan konflik di masyarakat. Karena itu harus ada pengertian yang konkret akan makna kepentingan umum.


(3)

penyerahan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya pada pasal 5 diatur secara limitatif bidang-bidang yang termasuk dalam kategori pembangunan untuk kepentingan umum.

Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa yang dimaksudkan untuk pembangunan kepentingan umum haruslah yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Pembebasan tanah yang dilakukan oleh pihak selain Pemerintah, berdasarkan aturan Peraturan Presiden tersebut di atas tidak dapat digolongkan sebagai pembangunan untuk kepentingan umum.


(4)

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Kekuatan pembuktian yang terdapat pada akta dibawah tangan yang dilegalisasi oleh notaris adalah kekuatan pembuktian formil dan kekuatan materiil, sedangkan pada akta yang dibuat dihadapan notaris, selain terdapat kekuatan pembuktian formil dan materiil, juga terdapat kekuatan pembuktian lahiriah. Selain itu pada akta dibawah tangan yang dilegalisasi, notaris hanya menjamin kepastian tanggal dan tanda tangan dari para pihak saja, sedangkan pada akta yang dibuat dihadapan notaris, notaris bertanggung jawab sebagaimana yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Kekuatan pembuktian yang ada pada akta otentik lebih kuat dari pada akta dibawah tangan yang dilegalisasi oleh notaris, namun apabila akta yang dilegalisasi tersebut tidak disangkal oleh para pihak, atau dengan kata lain mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam perjanjian yang dilegalisasi tersebut, sehingga sesuai pasal 1857 KUHPer kekuatan pembuktianya dapat disamakan dengan akta otentik.


(5)

pada umumnya, juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai akta otentik, yaitu dibuat dihadapan oleh pejabat umum, bentuknya telah ditentukan oleh undang-undang, pejabat yang membuat akta tersebut adalah pejabat yang berwenang. Jadi antara perjanjian yang dilegalisasi oleh notaris tidak sama dengan perjanjian yang dibuat di hadapan notaris.

3. Sertifikat hak atas tanah adalah surat bukti hak atas tanah yang dikeluarkan oleh kepala kantor pertanahan kabupaten atau kota. Tata cara perolehannya adalah pemohon melaksanakan pembayaran kepada bendaharawan khusus di kantor badan pertanahan kabupaten atau kota setempat, setelah itu kantor pertanahan membuat sertifikat hak atas tanah tersebut. Sertifikat kemudian diserahkan kepada yang berhak.

4.2. Saran

1. Untuk kekuatan pembuktian akta dibawah tangan agar terhindar dari masalah dikemudian hari, sebaikya melengkapi persyaratan untuk mengajukan suatu perjanjian, baik secara legalisasi maupun secara otentik.Karena apabila terjadi suatu masalah, pembuktian yang dilakukan dipengadilan cukup membantu bahwa isi perjanjian tersebut benar-benar dibuat berdasarkan kesepakatan bersama.

2. Pemerintah agar selalu melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang tata cara perolehan hak atas tanah baik melalui media cetak atau media elektronik agar masyarakat mengerti dan paham mengenai perbedaan perjanjian yang


(6)

dilegalisasi oleh notaris dan perjanjian yang dibuat dihadapan notaris adalah tidak sama, mengenai pembuatan, isi dan kekuatan hukumnya.

3. Sertifikat hak atas tanah sangat penting adanya, karena hanya dengan setifikat tersebut yang membuktikan bahwa tanah tersebut sah kepemilikannya. Oleh sebab itu,dalam pengurusan sertifikat tersebut harus dengan seksama, agar tidak timbul permasalahan di kemudian hari.


Dokumen yang terkait

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24