Pemberantasan Caplak Sapi, Boophilus microplus (Canestrini) Dengan Pestisida Dan Masalah Resistensi Yang Diakibatkan

"Belajarlah ilmu pengetahuan semata-mata karena Allah, sebab balajarnya itu merupakan tanda taqwa pada-Nya, mencarinya merupakan ibadah. menelaahnya sebagai bertasbih
(memahasucikan Allah), menyelidikinya adalah sebagai jihad,
mengajarkan kepada orang yang belum mengetahuinya sebagai
sedekah, menyampaikan kepada ahlinya adalah kebaktian"
(Hu I adz) •

Kupersembahkan untuk :
Ibu, Abah, adik-adikku tercinta dan kekasihku tersayang
serta sahabat-sahabatku seper juangan.

PEMBERANTASAN CAPLAK SAPI, Boophilus micropfus
( CANESTRINI) DENGAN PESTIS IDA
DAN MASALAH RESISTENSI YANG D1AKIBATKANNYA

SKRIPSI

oleh
IWAN SOFWAN
B 16.0794

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN eOGOR
1 gas

RINGKASAN

IWAN SOFWAN.

Pemberantasan Caplak Sapi, Boophilus microp-

Ius (Canestrini) Dengan Pestisida Dan Masalah Resistensi
Yang Diakibatkannya (Di bawah bimbingan SINGGIH H. SIGIT).
Masalah parasit yang kerap kali terdapat pada sapi adalah caplak.

Caplak sapi tersebar hampir di seluruh dunia.

Ia selain merupakan vektor beberapa penyakit, juga ia dapat
menimbulkan gangguan yang lain, yaitu menghisap darah induk
semang.

Penanggulangan utama terhadap serangan caplak pada sapi adalah secara kimiawi dengan menggunakan pestisida.


Me-

nurut Barnett (1961), pestisida yang pertama kali digunakan
secara 1uas adalah garam arsenat.

Selanjutnya digunakan

pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yaitu nikotin
dan pirethrum.

Dengan perkembangan teknologi, pestisida

asal tumbuhan ini ditinggalkan pemakaiannya dan diganti dengan bahan organik dari golongan hidrokarbon berkhlor seperti DDT, dieldrin, BHC, toxaphen, khlordan dan aldrin.
Namun penggunaan DDT saat ini tidak dibenarkan untuk hewan
berproduksi, karena pengaruh residu DDT tetap ada dan bertahan lama di dalam jaringan tubuh hewan.

Bahan organik

1ainnya adalah dari golongan organofosfat dan karbamat.

Go1ongan organofosfat merupakan senyawa yang kini paling
banyak digunakan, karena tidak adanya bahaya residu pada
daging atau air susu.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk memberantas

caplak sapi dengan pestisida, antara lain dengan cara "dip_
ping", penyemprotan dengan tangan, "backrubber", kan tung
bubuk gantung pestisida dan "jetting".
Narnun, pestisida pada penggunaannya untuk mernberantas
caplak, selain dampaknya yang positif, dapat pula menirnbulkan galur baru caplak yang resisten terhadap pestisida yang
digunakan.

Dewasa ini sedikitnya terdapat 14 galur caplak

baru yang resisten, baik terhadap golongan anorganik maupun
terhadap golongan organik seperti hidrokarbon berkhlor, organofosfat dan karbamat.

Galur baru caplak tersebut antara

lain Ridge land, Hackay, Ingham, Biarra, Bajool, Gracemere,

Mt. Alford dan Tully di Australia; St. Catherine, St. Ann,

Manchester, St. Elizabeth, Claredon dan Hanover di Jamaika.
l1ekanisme terjadinya resistensi pada caplak terhadap
pestisida dapat dilihat dari berbagai sudut, diantaranya
adalah dari sudut biokimiawi, faali dan genetis.

Namun

perkembangan untuk terjadinya resistensi ini berlangsung
relatif lama.

FEMBERANTASAN CAPLAK SAPI, Boophilus microplus
(CANESTRINI) DENGAN PESTISI DA
DAN MASALAH RESISTENSI YANG DIAKIBATKANNYA

.oleh
.IWAN SOFV/AN
. NRP :


B16. 0794

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
DOKTER HEWAN
. pada
Fakultas

Kedokteran

Hewan

Institut Pertanian Bogar

FAKULT,\S

KEOOKTERAN

HEWA:[


INSTITUT PERTANIAN BOGaR
1 9 8 5

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS

JUDUL SKRIPSI

KEDOKTERAN

HEWAN

PD1BERANTASAN CAPUK SAPI, Boophilus
microplus (CANESTRINI) DENGAN PESTISIDA
DAN MASALAH RESISTENSI YANG DIAKIBATKANNYA

NAHA
セャahsiw@

NOHOR POKOK


I WAN SOFW Ai'!

B16. 0794

Disetujui.
Bogor,

セ@ - 8' - ("13 S• •••••• •• • •• • • • • • • • •

,

Dr.

SINGGIH H. SIGIT

DOSEN PEHBIMBING

RIWAYAT HIDUP


Penu1is di1ahirkan di Serang pada tangga1 10 Pebruari
1960 dari ayah Haji 11uharnmad Suarie dan ibu Chasbiah.

Pe-

nu1is merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
Pada akhir tahun 1972 penu1is menamatkan pendidikan
di Seko1ah Dasar I'legeri V, tahun 1975 tamat Seko1ah Hene ngah Pertama rTegeri II dan pertengahan tahun 1979 menamatkan pendidikan di ileko1ah l'Ienengah Atas Negeri yang kesemua
nya berdomisi1i di Serang, Banten.
Pada tahun yang sarna (1979) me1a1ui Proyek Perintis
II penu1is terdaftar sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan
Institut Pertanian Bogor dan tahun 1980 terdaftar pada FaKu1tas Kedokteran Hewan.
ヲエセ。ョ@

tetapi penu1is baru di izin

kan Tuhan- _untuk mengikuti kUliah di FKH pada tahun berikui
nya.

Setahun kemudian diangkat

ウ・「セァ。ゥ@

Asisten Muda tidak

tetap pada mata kuliah 3isto1ogi sampai tahun 1984.

Kemu-

dian di1anjutkan sebagai Asisten Muda tidak tetap pada mata ku1iah Entomo1ogi (tahun 1984).

Tangga14 September

1984 penu1is dinyatakan 1u1us sebagai Sarjana Kedokter?n
Hewan, Institut Pertanian Bogor.

KAT A PENGANTAR

Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Assalaamualaikum Warohma tullah 'Nabarokaatuh.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat

Allah S.W.T. yang telah memberikan rakhmat dan hidayah-Nya
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar dokter hewan pada
Fakultas Kedokteran Hevran, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dr. Singgih H. Sigit sebagai dosen pembimbing yang
telah memberikan saran dan bimuingan hingga terlaksananya
tulisan ini.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis
tujukan pada Abah dan Ibu penulis, serta adik-adik tersayang atas segala pengorbanan materiil dan spirituil sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Institut
Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih
jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor,
Wassalam
Penulis


Juni 1985

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR GAMBAR





















ix





















x





















1

BIOLOGI CAPLAK SAPI



















3















3

















7

















8

3.l.

Sejarah penggunaan pestisida









8

3.2.

Cara pemberantasan









11

"Dipping" • • • • • •
Penyemprotan dengan tangan





11





11

12

3.2.4.

"Backrubber" • • • • •

Kantung bubuk gantung pestisida

3.2.5.

"Jetting"



13



13



16



18



18



18



20



DAFTAR LAMPIRAN
I.

II.

III.

PENDAHULUAN



2.1.

Daur hidup

2.2.

Induk semang

USAHA





penゥャセgula@

3.2.1.
3.2.2.
3.2.3.



















Beberapa macam pestisida yang dipakai
dewasa ini • • • • • • • • •
3.4. Strategi pemberantasan • • • • •
DAHPAK NEGATIF YANG DIAKIBATKANNYA • • •

3.3.

IV.

4.1.

Hekanisme resistensi

4.1.2.

Status resistensi

DAFTAR PUSTAKA
laセャpi@

Rill't









f1ekanisme resistensi secara
biokimiawi dan faali . • • •
Hekanisme resistensi secara
genetis
• • • • • • •

4.1.1.

4.2.







12















20





24



28

































DAFTAR GAM BAR

No.

Ha1aman
Teks

1.

Daur hidup cap1ak
セN@

micron1us

5

DAFTAR LAMPI RAN

No.

1.

2.

Halaman

Grafik respon kematian beberapa galur caplak
e.
micronlus pada beberapa konsentrasi dari
beberapa macam senyawa organofosfat • • •



29

Tabel LC 50 (%3konsentrasi セ@ 95% fiducial
limit x
10) dari beberapa macam pestisida
pada larva
micronlus umur 2-3 minggu
dari tiga tempat di Jamaika
••••• •

30

e.

Tabel LC
(%3konsentrasi セ@ 95% fiducial
limit x 50 10) dari beberapa macam pestisida
Dada larva
microplus umur 2-3 minggu
dari tiga tempat di Jamaika
••••• •
Tabel resistensi terhadap beberapa macam
pestisida pada beberapa galur Jamaika dari
microplus dibandingkan dengan galur lokal
St. Catherine dan dengan galur Yeerongpilly
dari Australia
••••••••• •

e.

30

e.
5.
6.

Kepekaan beberapa galur caplak yang resisten
terhadap beberapa macam pestisida yang umum
dipakai
• • •
• • • • • • • •



32



33

Persentase kematian pada dua galur
microplus
pada bermacam-macam pestisida secara murni
dibandingkan dengan penambahan
khlorfenamidine
••••••••••

34

Perbandingan besar faktor resistensi pada
larva lima galur
microplus dari galur
yang resisten terhadap enam senyawa

e.

organofosfat.

7.

31





















e.

I.

PENDAHULUAN

Dalam upaya meletakkan kerangka dasar menuju lepas
landas pembangunan dengan terwujudnya swasembada pangan,
subsektor peternakan memegang andil yang tak kalah penting
dibanding dengan sektor lainnya.
Usaha peternakan sapi yang merupakan salah satu komponen usaha peternakan umumnya, sedang giat-giatnya dikembangkan pemerintah.

Melalui proyek bantuan International

Funds for Agricultural Development (IFAD), Asian Development Bank (ADB) dan Bantuan Presiden (3anpres), sapi-sapi
disebar luaskan kepara petani ternak dan masyarakat umum.
l-1asalah parasit yang kerap kali terdapat pada sapi
adalah caplak.

Caplak sapi Boophilus micronlus (Canestri-

nl) tersebar di Australia, Amerika Selatan, Afrika Selatan
dan Asia.

Ia merupakan vektor Babesia bigemina,

dan Ananlasma
セ。イァゥョャ・@

(Lapage, 1956).

セN@

bovis

Seekor caplak be-

tina dewasa dapat menghisap darah sebanyak 0,3 mililiter
sehari (Ralph, 1982), sedangkan kerugian ekonomi yang
pernah terjadi di Queensland, Australia ditaksir mencapai
$ A. 16.933.070 (Seddon, 1967).

Penanggulangan utama terhadap serangan caplak pada
sapi adalah secara kimiawi dengan menggunakan pestisida.
l'Tamun demikian, pestisida juga akan menimbulkan galur
baru yang resisten.

Kini sedikitnya terdapat 224 spesies

artropoda yang resisten (Brovm, 1969), termasuk di da lamnya 14 spesies caplak (Wharton dan Roulston, 1970).

Tidak

2

disangsikan lagi gejala resistensi ini telah menjadi peng-

,

hambat usaha manusia untuk menghasilkan protein hewani,
berupa daging dan susu.
Tulisan ini bertujuan untuk mencoba memaparkan usaha
pemberantasan caplak menggunakan pestisida dan mengenai
salah satu dampak negatifnya yaitu resistensi.

II.

2.1.

BIOLOGI CAPLAK SAPI

Daur hidup
Caplak sapi merupakan caplak berumah satu, yaitu mu-

1ai dari stadium larva sampai dewasa hidup pada satu ekor
induk semang.

Stadium kehidupan caplak ini terdiri dari

stadium parasitik yaitu kehidupan di tubuh hewan dan stadium non-parasitik yaitu kehidupan di luar tubuh hewan.
Kehidupan pada stadium parasitik dimulai dari saat larva
menempel pada tubuh hewan sampai caplak dewasa jenuh darah
jatuh dari tubuh hewan, sedangkan stadium non-parasitik
dimulai dari saat caplak dewasa jenuh darah jatuh dari hewan sampai stadium larva generasi berikutnya sebelum menempel pada tubuh hewan.
Caplak betina dewasa yang sudah jenuh darah akan jatuh dari tubuh hewan ke tanah dan untuk selanjutnya memasuki stadium non-parasitik sebagai persiapan untuk bertelure

Jatuhnya caplak jenuh darah umumnya terjadi pada pa-

gi hari antara pukul 6 sampai 10 (Hitchcock, 1955).

Ia

kemudian akan bergerak mencari tempat yang terlindung, seperti di din ding kandang, bawah batu, dahan kering atau
sela-sela rumput.

Tiga sampai empat hari kemudian caplak

bertelur selama kurang lebih satu minggu.

l'Ienurut Seddon

(1967) temperatur yang cocok menjelang saat bertelur adalah antara 23,9

°c

sampai 26,6

°c,

dan telur diletakkan

dalam tumpukan sebanyak 3000-5000 butir.

Bilamana sudah

4
selesai masa bertelurnya maka caplak tersebut akan mengering dan mati.
Telur akan men etas menjadi larva dalam waktu kurang
lebih 3 minggu setelah diletakkan.
sang kaki.

Larva mempunyai 3 pa-

Pada waktu keluar dari telur, larva tersebut

berwarna kuning pucat dan gerakannya lambat.

Setelah ku-

rang lebih 1 minggu larva bergerak sangat aktif menuju
ujung-ujung rumput atau tanaman lain mengumpul menanti induk semang lewat.

Mengumpulnya larva pada ujung tumbuhan

merupakan suatu adaptasi caplak agar dapat berpindah secara cepat ke induk semang (Treverrow, 1980).

Bilamana ada

sapi berjalan melalui'rumput tersebut, larva akan berpindah
ke tubuh sapi menjalani stadium parasitik.
Selanjutnya larva akan mencapai tempat yang disenangi
nya yaitu di daerah inguinal, lipat paha, leher, dada dan
daerah yang berbulu lebat.

Beberapa hari kemudian, larva

menghisap darah dan membesar dengan warna yang lebih coklat
Setelah kenYang, larva akan berganti kulit menjadi nimfe
dalam waktu rata-rata 5,5 hari (4,5-13,1 hari).

Nimfe akan

menghisap darah sampai kenyang dan berganti kulit lagi menjadi imago dengan waktu rata-rata 8,4 hari (7,9-8,4 hari).
Akhirnya imago akan menghisap darah sampai kenyang, kemudian akan jatuh dari tubuh hewan dalam waktu rata-rata 16,4
hari (14,5-22,4 hari) (Hitchcock, 1955).
Caplak jantan menghisap darah lebih sedikit, karena
,I

seluruh tubuhnya dibalut oleh skutum, sehingga bentuk dewa ...
sanya hampir sama dengan bentuk stadium nimfe caplak beti-

5
Se1ama me1ekat pada induk semang, waktunya 1ebih ba-

na.

nyak digunakan untuk merayap mencari cap1ak betina untuk
mengadakan kopu1asi.
Untuk 1ebih je1asnya bagan daur hidup cap1ak sa pi ini
dapat di1ihat pada gambar 1 di bawah ini.

・セ@

セ@
$

1

セ@
セ@

セ@

セ@

..
セ@

E

vセca@

セ@

j
セ@

セ@

セ@

•\

セ@

セ@

セD@

rU8
カセ@

セ@

セ@
セ@

セ@
セ@

0
セ@
セ@

0

ffl

セ@

セ@

-1

3

?

セ@
Q

>

セ@

セOM
Gambar 1.

:

Daur hidup cap1ak
セN@

microp1us.

6
Daya tahan hidup larva non-parasitik bervariasi.

Me-

nurut Harley (1966) selama 10-22:..minggu padadaerah dengan
curah hujan setinggi 25 inci, 14-22 minggu pada daerah dengan curah hujan 40 inci dan 15-26 minggu pada daerah dengan curah hujan 80 .inci.
Daya tahan larva juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban nisbi.

Hasil percobaan Gede (1976) di

daerah
セゥァ。@

°c

menunjukkan bahwa di Jakarta (suhu rata-rata 26,9

dan

kelembaban nisbi rata-rata 80%) adalah 3,8 minggu (minimum
3 minggu dan maksimum 4 minggu), di Cipanas (suhu rata-rata
19,4

°c

dan kelembaban nisbi rata-rata 83%) adalah 3,2

minggu (minimum 2 minggu dan maksimum 4 minggu) dandi Boo
.
gor (suhu rata-rata 25 C dan kelembaban nisbi rata-rata
84%) adalah 6,2 minggu (minimum 4 minggu dan maksimum 7
minggu) •
Wiyoso (1976) melakukan pengamatan pada tiga macam
tanaman, masing-masing rumput jarum (Chrysopogon
。」ゥオセ@

latus), alang-alang (Imperata cylindrica) dan stilo (Stylosanthes sundaica) di tiga daerah yaitu Tambun (suhu ratarata 27

°c

dan kelembaban nisbi 75%) ュ・ョオェセ。@

day a ta-

han hidup larva rata-rata berturut-turut 4,4 minggu, 2,6
minggu dan 3,2 minggu; Cisarua (suhu rata-rata 19

°c

dan

kelembaban nisbi 88%) rata-rata berturut-turut 10,4 minggu,
7,2 minggu dari'8,2 minggu.
Jadi semakin tinggi angka kelembaban nisbi, semakin
lama daya tahan hidupnya.

Pada angka kelembaban nisbi

yang rendah larva mempunyai kemampuan untuk mengatur kehi-

7

1angan air dengan cara absorbsi air dari udara selama periode kelembaban
ョゥウ「セ@

tinggi.

Adapun mengenai daya tahan hidup caplak jantan dilaporkan oleh

yMセッュウョ@

et al. (1980) adalah 42 hari, dan dila-

porkan pula bahwa seekor caplak jan tan mampu berkopulasi
dengan 11 ekor caplak betina.
2.2.· Induk semang

Heskipun sapi merupakan induk semang yang paling sesUai, namun resistensinya dari ras yang satu ke ras lainnya menunjukkan ketidak samaan.

Riek (1966) dan Robert

(1968) melaporkan bahwa bangsa sapi Asia umumnya dianggap
1ebih resisten terhadap caplak daripada bangsa sapi Eropa.
Penilaian ini diperoleh berdasarkan kriteria yang dibuat
oleh Johnson dan Bancroft (dalam Ralph, 1982) berikut ini:
1.

Adanya kecenderungan terserang ringan pada bangsa sapi
Asia, semen tara bangsa sapi Eropa terserang parah.

2.

Kegagalan pada sebagian besar caplak betina menjadi
caplak yang jenuh darah pada bangsa sapi Asia dibanding pada bangsa sapi Eropa dalam kondisi yang sarna.

3.

Adanya peningkatan dalam waktu yang diperlukan oleh
caplak betina dalam menyelesaikan daur hidupnya.

4.

Adanya penurunan dalam rata-rata berat caplak betina.

III.

3.1.

USAHA PENANGGULANGAN

Sejarah penggunaan pestisida
Da1am usaha me1indungi induk semang dari berbagai ke-

rugian akibat gigita'n cap1ak, te1ah digunakan beberapa pestisida yang dinyatakan mampu untuk membunuh cap1ak sapi
dengan baik.
Pestisida yang pertama kali digunakan secara luas adalah garam arsenat.

Nenurut Barnett (1961) garam arsenat

merupakan salah satu bahan kimia termurah yang mampu membunuh caplak sapi pada semua stadium, dan garam arsenat ini
dipakai dengan cara "dipping".

Kekuatan larutan arsenat

yang digunakan tergantung pada jarak waktu "dipping".

Na-

mun demikian dianjurkan konsentrasi yang digunakan tidak
melebihi 0,24%.

Setiap negara mempunyai standar pemakaian

tertentu yang tergantung pada kepekaan cap1aknya.

Amerika

Serikat menetapkan 0,22%, sedangkan di Australia, Jamaika
dan beberapa negara di Amerika Selatan menetapkan 0,20%.
Larutan arsenat pada ku1it induk semang akan mere sap secara
merata dan kekuatannya di dalam bak "dipping" sangat stabil,
hanya saja yang perlu dipertimbangkan adalah residunya.
Dalam waktu dua hari induk semang sudah depat terinfestasi
kembali.
Selanjutnya digunakan bahan kimia yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan yai tu nikotin dan pirethrum.

Nikotin ini

dipakai di Australia dan Afrika Selatan di dalam bak "dip_
ping" dengan kekuatan 0,05-0,075%.

Penggunaan nikotin un-

9
tuk mengatasi caplak yang telah resisten terhadap larutan
arsenat.

Pirethrum digunakan karena dapat membunuh semua

stadium caplak.

Percobaan secara in vitro menunjukkan bah-

wa larva yang resist en terhadap arsenat, BRG dan DDT tidak
resisten terhadap pirethrum (Whitehead dalam Barnett, 1961).
Namun karena tidak mempunyai daya residual, maka pemakaiannya terbatas hanya untuk disemprotkan.
Dengan berkembangnya teknologi, bahan kimia asal
エオュセ@

buhan ini ditinggalkan pemakaiannya dan diganti dengan bahan organik dari golongan hidrokarbon berkhlor sepertiDDT,
BHG, toxaphen, khlordan, dieldrin dan aldrin.

Hidrokarbon

berkhlor bekerja pada syaraf dan merupakan racun kontak.
Secara kimiawi relatif sukar bereaksi dan merupakan persenyawaan yang stabil.

Sifat khas senyawa golongan ini ada-

lah daya residualnya yang dapat bertahan lama tanpa menimbulkan iritasi, seperti diketahui akibat gigitan caplak akan menimbulkan luka-luka kecil, dan jika larutan "dipping"
mengiritasi, maka keadaan "stress" akan diperhebat.

Di

Australia menurut laporan GSIRO Cdalam Barnett, 1961) penggunaan DDT sebanyak 1,15 uound tiap acre yang disemprotkan
di padang penggembalaan dapat terbunuh larva caplak secara
baik untuk selama 6-8 hari.

Hamun 27 hari setelah perlaku-

an, populasi larva meningkat jumlahnya melebihi populasi
asal.

DDT larut dalam lemak, dan jika hewan memakan pakan

yang mengandung DDT, sebagian DDT akan tinggal di dalam jaring an lemak.
tuk
ィ・キ。セ@

Penggunaan DDT saat ini tidak dibenarkan un-

berproduksi, karena seperti diterangkan di atas

10
pengaruh residu DDT tetap ada dan bertahan lama di da1am
jaringan tubuh hewan.

Di Indonesia DDT hanya digunakan un-

tuk hal khusus seperti pemberantasan malaria.

Bahan orga-

nik lainnya ada1ah dari golongan organofosfat.

Organofos-

fat merupakan senyawa yang pada saat ini paling banyak digunakan, karena tidak adanya bahaya residu pada daging atau
air susu.

Organofosfat rnempunyai day a kerja yang bersifat

sistemik, dan bartindak sebagai pengganggu sistem enzim
yang bekerja da1am penghantaran rangsangan syaraf arthropoda, yaitu kho1inesterase.

Ka1au terjadi hambatan pada sis-

tem enzim tersebut akibat adanya organofosfat, maka terjadilah penimbunan asetilkholin, sehingga perarnbatan rangsangan syaraf tidak dapat terjadi atau mengakibatkan perpanjangan kerja asetilkho1in.

Di da1am tubuh hewan, organo-

fosfat cepat terurai menjadi persenyawaan yang tidak toksik.
Yang termasuk golongan ini adalah antara lain coumaphos,
malathion, ethion dan diazinon.
Dewasa ini sete1ah cap1ak sapi menunjukkan sifat resi§
ten terhadap senyawa organofosfat, CSIRO terlibat di dalam
penanggu1angan dan penyelidikan terhadap jenis pestisida
baru yang berpotensi dari golongan karbamat.

Karbamat se-

perti ha1nya organofosfat, merupakan pestisida antikho1inesterase yang bersifat sistemik.

Pestisida baru dari golo-

ngan karbamat tersebut dikena1 sebagai khlorphenamidine atau dengan nama dagangnya Spike(R) dan Fundex(R) (Woodruff,

1972).

11

3.2.

Cara pemberantasan
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan

caplak"yang menyerang sapi, antara lain dengan cara "dipping", penyemprotan dengan tangan, "backrubber", kantung
bubuk gantung pestisida dan "jetting".
Berikut ini diuraikan secara singkat cara pemberantasan tersebut.

3.2.1.

"Dipping"

"Dipping" adalah suatu cara mencelupkan ternak pada
kolam "dip" yang berisikan pestisida.
gunakan harus bersifat sistemik.

Pestisida yang di-

Menurut Seddon (1967)

"dipping" adalah suatu cara yang cepat dan praktis terutama
untuk peternakan sapi dalam jumlah besar, akan tetapi berdasarkan percobaan yang dilakukan pada tahun 1957 di
aセウエイF@

lia terbukti bahwa dengan cara ini bagian kepa1a sapi tidak
basah.

Un tuk melengkapi peker jaan "dipping", maka harus

dibantu dengan membasahi kepalanya, misalnya dengan cara
penyernprotan.

3.2.2.

Penyemprotan dengan tangan

Penyemprotan dengan tangan dapat menggunakan mesin
penyemprotan atau pompa tangan.

Hal ini digunakan pada

ternak dengan jumlah relatif sedikit, terutama di Indonesia
pada sapi rakyat.

Menurut Seddon (1967), biasanya untuk

satu sapi diperlukan pestisida yang sudah diencerkan sebanyak ±. 1,7 liter, dengan memakan waktu lima menit.

12

3.2.3.

"Backrubber"

"Backrubber" adalah suatu cara pemberantasan terhadap
infestasi ektoparasit, biasanya digunakan pada sapi-sapi
padang.

Sapi-sapi tersebut akan menggosokkan punggungnya

pada alat "backrubber" yang terbuat dari bahan karung goni
yang digulung pada rantai besi.

Karung tersebut dibasahi

atau dicelupkan ke dalam larutan pestisida yang bersifat
sistemik, selanjutnya karung direntangkan di an tara dua
tiang dan dipasang pada tempat tertentu.

Gulungan karung

goni harus dipasang melengkung agar hewan dapat menggosokkan tubuhnya pada alat tersebut.

Sapi-sapi akan belajar

mengobati dirinya sendiri secara teratur apabila "backrubber" ditempatkan di daerah yang sering dikunjungi sapi-sapi, misalnya daerah dekat tempat makanan, garam jilat dan
tempat minum.

3.2.4.

Kantung bubuk gantung pestisida

Kantung bubuk gantung pestisida adalah suatu kantung
yang berisi bubuk pestisida yang digantung, sehingga apabila sapi yang dilewatkan di bawahnya menyinggung kantung
bubuk itu maka bagian muka, kepala dan punggungnya akan
tertaburi bubuk pestisida.

Kantung bubuk pestisida digan-

tungkan di tempat sapi-sapi sering berkumpul, sehingga sapi
sapi tersebut mengobati sendiri.

Tempat menggantung dapat

dilakukan pada pohon atau tiang, tingginya tergantung dari
sapi yang ingin diberantas ektoparasitnya.

13
3.2.5.

"Jetting"

"Jetting" adalah suatu cara pemberantasan infestasi
caplak·dengan penyemprotan memakai tekanan tinggi seperti
pada pemadam kebakaran. Tekanan berkisar antara 35,1 sampai 70,2 hg/cm 2 ke arah kulit punggung sapi, dan cairan akan mengalir ke sisi badan sapi.

Cara ini sudah lama di-

gunakan di USA, kurang lebih sejak 20 tahun yang lalu.
Pemakaian dengan cara ini lebih berdaya guna untuk sapi-sapi yang berbulu relatif tebal.
3.3.

Beberapa macam pestisida yang dipakai dewasa ini
Pestisida yang dewasa ini banyak dipakai untuk pembe-

rantasan caplak adalah golongan organofosfat, karena tidak
adanya bahaya residu pada hasil hewan seperti air susu dan
daging.

Disamping organofosfat, juga golongan organokarba-

mat, namun demikian di beberapa negara masih ada yang menggunakan pestisida golongan lain, misalnya dari bahan organik sintetik berasal dari tumbuhan.
Di bawah ini disajikan laporan beberapa pemakaian pestisida yang termasuk golongan organofosfat, karbamat, senyawa organik sintetik dari tumbuhan dan kombinasi pestisida golongan organofosfat dengan pirethroid sintetik.
Dengan cara "dipping" dalam suspensi 0,15; 0,2 atau
0,25% khloromethiuron yang dilakukan di Brazil, prosentase
kematian caplak yang diperoleh adalah berturut-turut sebesar 91,3; 94,58 dan 97,98 (Artache et al., 1979).

Henurut

Khan (1980) dengan cara penyemprotan phosphamidon (Dimecron R)

14
dikhlorfenthion (Haxanema(R)), malathion, dikhlorvos (sebagai Marex Super-IOO R atau Nuvan R) dan parathion (Paramer
M-50 R).di tiga desa dekat Port Blair, Andaman, India diperoleh kematian kurang lebih 90% populasi caplak pada konseu
trasi 0,125 dan 0,25%, dan dapat melindungi hewan dari infestasi kembali untuk selama 10 hari.

Penggunaan nimidan

500 p.p.m. yang dilakukan di Monteria, Colombia terhadap
populasi caplak dewasa menurunkan 92,656 dari populasi dua
hari setelah hewan disemprot, dan meningkat menjadi 93,3%
pada hari ke-19.

Caplak betina kenyang darah yang dikenai-

nya pada konsentrasi yang sarna meletakkan telurnya 87,9%
lebih kecil daripada caplak betina yang tidak mendapat perlakuan.

Adapun sisa pestisida yang masih tertinggal, masih

efektif selama kurang lebih delapan hari (Betacourt et al.,
1980).

Dalam Livestock International (1980) penggunaan

propetamphos dengan cara semprot an tara 0,6 sampai 1,05 g
a. i. tiap hewan pada sa pi di Afrika Selatan dan Nikaragua

menghasilkan kematian 12. microu1us hampir 100% pada hari
ke-2, ke-4 dan ke-6 setelah perlakuan.
phos (Davey et
セL@

Penggunaan couma-

1982) yang dilakukan di Texas tahun

1980 dengan cara "dipping" dapat menurunkan index reproduksi sebesar 95,9% pada konsentrasi 0,06% dan 100% pada 0,12%
pada hari ke-7 setelah perlakuan pertama.
ャセ・ョオイエ@

laporan

Kosshy (1982) pada tahun 1979-1980 di Tamil, Nadu, India
telah dilakukan penyemprotan terhadap 12. microulus menggunakan emu lsi yang mengandung 0,5% a tau 1.0% phosolone (ZoloneR) dan telah berhasil diberantas hampir 100% dari popu-

15
lasi dalam 2-3 hari.
Roulston (dalam Woodruff, 1972) telah melakukan suatu
percobaan terhadap pestisida baru dari persenyawaan karbamat.

Pestisida tersebut dikenal sebagai khlorphenamidine
atau dengan nama dagangnya SpikeR dan Fundex R• Pada konserr
trasi 0,0015% khlorphenamidine mampu membunuh lebih dari
60% caplak pada sapi yang terinfestasi dan pada konsentrasi
0,22% mampu membunuh 94%.
Di labora torium G.ueensland, Australia 99% isolat

l2.. microplus dari galur Biarra, Nackay, Mt. Alford, DDT-resistant dan Ulan berhasil diberantas dengan pestisida dQri
golongan pirethroid sintetik yaitu cyhalotrine dengan konsentrasi 0,007%.

Pada percobaan lapang dengan cara "dip_

ping" pada konsentrasi cyhalotrine yang sarna

telah dipero-

leh perlindungan minimum selama tujuh hari terhadap infestasi kembali (Stubbs et al., ,982).
Di Argentina telah dilakukan pengujian terhadap ins tar
nimfe kedua dan caplak betina kenyang darah terhadap pestisida dagang (BaydipR) yang mengandung campuran 16% coumaphos dengan 1,6% flumethrine.

Sediaan tersebut di larutkan

sampai masing-masing 400 p.p.m. dan 30 p.p.m., dan setiap
hewan di semprot dengan 20 liter suspensi tersebut.
lakuan diu lang setelah 9 hari.

Per-

Pada hari ke-2, ke-5 dan

ke-9 setelah hari pertama perlakuan, diperoleh prosentase
kematian masing-masing sebesar 91,19; 98,11 dan 99,64.
Pada hari ke-5 setelah penggunaan kedua,.kematian mencapai
100%.

Sapi tersebut masih memperoleh perlindungan terhadap

16
infestasi nimfe kembali selama 12 hari, sedangkan caplak
betina kenyang darah dihilangkan dari tubuh sapi dan mati
tiga ja.m setelah disemprot beberapa jam tanpa sempat bertelur lebih dahulu (Romano, 1981).

3.4.

Strategi pemberantasan
Adanya suatu strategi yang khusus dalam pemberantasan

caplak diharapkan dapat membantu mengatasi masalah infestasinya.

Di negara tropis di mana dalam setahun hanya terda-

pat dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau, diduga populasi caplak meningkat pada musim kemarau, karena telur yang
diletakkan di tanah atau rerumputan akan banyak yang menetas menjadi larva dibandingkan pada waktu musim hujan, hal
mana telur akan terbawa air.

Waktu pemberantasannya dapat

dilakukan pada saat jumlah populasi mulai meningkat, yaitu
pada awal musim kemarau sampai menjelang musim hujan.

Di

Indonesia sampai saat ini belum ada data tentang jadwal
pemberantasannya.
Di negara dengan empat musim strategi pemberantasan
hadap caplak telah banyak dirumuskan.

エ・セ@

Hal-hal yang mengun-

tungkan dari kenyataan alami adalah bahwa populasi caplak
pada akhir musim panas dan musim gugur tinggi, sedangkan
pada akhir musim dingin dan musirn semi rendah.

Pernberanta-

san yang dilakukan di Queensland, Australia dengan cara
"dipping" setiap 21 hari selama musirn gugur dapat mengharnbat pertumbuhan caplak betina dengan cukup memuaskan.
Ius 21 hari tersebut secara meyakinkan dapat mengurangi

Sik-

17
jumlah populasi caplak yang akan bertahan hidup di musim
gugur.

Sedikitnya tiga kali perendaman dalam waktu 21 hari

di musim gugur dapat mengontrol populasi caplak secara berhasil guna dan ekonomis (Woodruff, 1972).
Dalam usaha penanggulangan caplak ini, yang perlu diperhatikan disamping cara dan strategi pemberantasan juga
jenis pestisida yang digunakan.

Pestisida yang digunakan

haruslah memenuhi persyaratan tertentu, antara lain tidak
toksik pada induk semang, tidak menetap, tidak meninggalkan
residu yang terlalu lama, berhasil guna terhadap organisme
sasaraQ., mudah pemakaiannya, murah, mudah diperoleh dan dapat disimpan lama tanpa mengurangi nilainya.

IV.

DAMPAK NEGATIF YANG DIAKIBATKANNYA

Dengan makin menjamurnya jenis-jenis pestisida pada
penggunaannya untuk memberantas caplak, selain dampaknya
yang positif, dapat pula menimbulkan galur baru caplak yang
resisten terhadap pestisida yang digunakan.

Resistensi di-

definisikan sebagai pengembangan kemampuan dalam suatu galur caplak untuk tahan terhadap dosis toksik yang dapat mematikan pada sebagian besar individu populasi normal jenis
caplak yang sama (WHO Expert Committee on Insecticide, dalam Stone, 1972).

4.1.

Mekanisme resistensi
Mekanisme terjadinya resistensi pada caplak terhadap

pestisida dapat dilihat dari berbagai sudut, diantaranya
adalah dari sudut biokimiawi, faali dan genetis.

Di baViah

ini dipaparkan secara singkat bagaimana mekanisme tersebut
berlangsung.

4.4.1.

f1ekanisme resistensi secara biokimiawi dan faali

Mekanisme terjadinya resistensi terhadap pestisida
secara biokimiawi dan faali telah diselidiki oleh Wharton
dan Roulston (dalam Stone, 1972).

Hereka menyatakan bahwa

resistensi arthropoda terhadap suatu bahan kimia disebabkan
oleh salah satu atau kombinasi dari faktor-faktor berikut
a.

Kurangnya penetrasi melalui integumen atau kurangnya
pengambilan bahan-bahan kimia.

19
b.

Bertambahnya penumpukan atau pengeluaran racun yang tidak berubah.

c.

Berkurangnya sifat racun dari bahan kimia yang digunakan, yang memerlukan perubahan di dalam tubuh artropoda untuk menjadi racun yang tepat atau cocok.

d.

Berkurangnya reaktivitas atau kepekaan racun, karena
tempat yang vital dari sistem biokimiawi dan faalinya
dilumpuhkan dan dibuat tidak aktif.

e.

Meningkatnya detoksikasi di dalam tubuh artropoda dengan cara menghancurkan metabolisme pemasukan racun
sebelum mencapai tempatnya atau target organ.

Mekanisme (a) dan (b) tidak pernah menunjukkan peranan pentingnya terhadap resistensi pada :§.. microplus.

Hekanisme

(c) diduga mempunyai potensi yang sangat penting terutama
pada ketahanan senyawa organofosfat, yang perubahannya menjadi analog oksigen akan menghambat asetilkholin esterase.
Enzim ini sangat penting untuk transmisi impuls syaraf kholinergik pada serangga, juga pada vertebrata, sebagai enzim sasaran untuk senyawa: organofosfat.

Mekanisme (d) ter-

jadi pada galur Ridgeland dan Biarra terhadap golongan organofosfat dalam bentuk modifikasi asetilkholin esterase
yang kurang peka dalam penghambatan asetilkholin esterase
yang peka.

Mekanisme (e) ditunjukkan sebagai metoda resis-

tensi yang prinsipiel pada galur t'!ackay terhadap golongan
organofosfat yang memetabolisme coroxon, analog oksigen dari coumaphos pada tingkat yang lebih cepat dari pada galur
yang rentan.

Hal ini meningkatkan detoksikasi yang di-

20

iringi oleh berkurangnya aktifitas asetilkholin esterase.

4.1.2.

Mekanisme resistensi secara genetis

Sedikit diketahui mengenai genetika dari caplak, tetapi secara sitogenetik telah dipelajari cukup terperinci.
Jumlah diploid khromosom ada 21-28.
2n=21 (jantan) dan 2n=22 (betina).

Pada

&.

microplus

Jenis kelamin caplak

ini ditandai dengan simbol XX-XO (Oliver, dalam Stone,
1972) •
Walaupun tidak ada data percobaan ten tang pertukaran
bahan-bahan genetik oleh khromosom yang sama (pindah
ウゥセN@

lang), terdapat data sitologi dalam bentuk pengamatan pada
khromosom khiasmata yang telah dilaporkan pada sejumlah
spesies.

Diduga bahwa

&.

microplus menyesuaikan diri de-

ngan pola yang umum terjadi pada khiasmata (Stone, 1972).
Namun diakui bahwa perkembangan resistensi ini berlangsung relatif lama, sebagai contoh ketahanan terhadap
arsenat terjadi 50 tahun setelah pemakaian pertama (\'inarton dan Roulston, 1977) dan 7 tahun terhadap ethion (-Brun
et ale, 1983).

4.2.

Status resistensi
Dewasa ini hampir di seluruh dunia telah timbul cap-

lak yang resisten terhadap berbagai golongan pestisida
yang ada.

Sedikitnya terdapat 14 galur caplak baru yang

resisten, baik terhadappestisida golongan anorganik maupun golongan organik seperti hidrokarbon berkhlor, organo-

21

fosfat dan organokarbamat.

Galur caplak baru tersebut an-

tara lain Ridgeland, Mackay, Ingham, Biarra, Bajool, Gracemere, Mt. Alford dan Tully di Australia; St. Catherina,
St. Ann, Manchester, St. Elizabeth, Claredon dan Hanover
di Jamaica.
Resistensi
セN@

microplus terhadap pestisida golongan

anorganik telah dilaporkan di Afrika Selatan berdasarkan
percobaan secara "in vitro" terhadap larva yang belum menghisap darah dan caplak betina kenyang darah.

Hasil perco-

baan menunjukkan bahwa 57 dari 64 isolat lapangan resisten
terhadap arsenat (Baker et al., 1979).
Resistensicaplak ini terhadap golongan organofosfat
telah dilaporkan dari hampir seluruh negara di dunia.

Sua-

tu penelitian yang dilakukan Roulston et al.,(1981) dari
tahun 1976 sampai 1977 di Queensland, Australia menunjukkan terdapatnya resistensi tersebut.' Caplak yang resisten
terhadap organofosfat yang di uji tersebut adalah galur
Biarra, Ridgeland, Tully dan Mt. Alford.

Namun terhadap

organofosfat seperti amidin, khlordimeform, khlorometiuron
atau amitraz semua caplak tidak ada yang resisten.

Pada

penelitian ini caplak yang digunakan sebagai standar adalah dari galur Yeerongpilly.

Perincian tentang tingkat re-

sistensinya disajikan pada lampiran 1.
Di Santo Tome, Propinsi Corientes, Argentina pada awal tahun 1978,-populasi caplak yang ada telah mengalami
perkembangan' resistensi terhadap senyawa coumaphos dan

22
khlorpyrifos (Dursban(R)), juga terhadap senyawa organofosfat yang lain sepertiumbethion, ethion, khlorfenvinphos
(Supona (R)) dan pyrimithat (Perez et a1., 1980)..

Namun ti-

dak dilaporkan sampai os§ber?pa jauh .. tingi3;:ilt, perkembangannya.
Di Afrika Selatan, 8 dari 55 isolat caplak lapangan resisten terhadap dioxathion.

Caplak yang lain resisten terha-

dap benoxaphos, diazinon, carbophenothion, dicrotophos, ethion, feni trothion, . quil1 trofos, 'khlorpyriphos, bromophosethyl dan amitraz (Baker et al., 1979).

Resistensi terha-

dap ethion di Brazil ditunjukkan pada konsentrasi 1200
p.p.m., sedangkan terhadap khlorfenvinphos pada konsentrasi 1000 p.p.m. (Branco et
セL@

1982).

Rawlins dan Mansingh (1978) mengatakan bahwa populasi
caplak di Jamaica telah mengalami resistensi terhadap sedikitnya 26 pestisida.

Pestisida tersebut adalah dari go-

longan hidrokarbon berkhlor, organofosfat dan karbamat.
Perinciannya dapat dilihat pada lampiran 2, 3 dan 4.
Resistensi terhadap golongan hidrokarbon berkhlor, selain di Jamaica, telah dilaporkan pula terjadi di Australia
dan Afrika Selatan.

Di Australia, resistensi caplak ini

terjadi terhadap dieldrin dan DDT (Roulston et al., 1981).
Di Afrika Selatan, resistensi terjadi selain pada kedua senyawa tersebut, juga resistensi telah terjadi terhadap lindan (Baker et al., 1979).
Disamping Jamaica, resistensi caplak terhadap golongan
karbamat terjadi pula di Afrika Selatan.

Menurut Baker

et a1., :(1979) resistensi caplak di Afrika Selatan terhadap

23
senyawa golongan karbamat, yaitu terhadap carbaryl.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa penggunaan
pestisida pada pemberantasan caplak sapi telah menimbulkan
dampak yang negatif.

Boleh dikatakan, satu-satunya dampak

negatifnya yang berarti adalah resistensi.
セN@

Resistensi

microplus telah meluas ke seluruh penjuru dunia, kemung-

kinan telah terjadi pula di Indonesia, mengingat pemakaian
pestisida untuk pemberantasannYa telah lama dilakukan.
Data mengenai status resistensi
セN@

microulus di Indo-

nesia terhadap pestisida yang digunakan dewasa ini belum
ada, maka untuk melengkapinya akan sangat baik apabila dilakukan inventarisasi mengenai data ini.

daftNセpusk@

.

Artache, C. C. P., Arregui, L. A. and Laranja, R. 1979.
(Behavior of chloromethiuron "in vitro"). Boletion
do Instituto de Pesquisas Veterrinarias Desiserio Finamor. No. 4:5-11. Santana do Livramento, 333, Rio
Grande do Sul, Brazil. Dalam Rev. Appl. Entomol. Series B. 1979. 67(7).
Baker, J. A. F., Jordan, J. O. and Robertson, W. O. 1979.
Ixodicidal resistance in Boophilus micronlus (Canestrini) in the Republic of South Africa and Transkei.
J. South Africa Vet. Ass. 50(4):296-301. Dalam Rev.
Appl. Entomol. Series B. 1981. 69(4).
Barnett, S. F.
FAO Rome.

1961. The control of ticks on livestock.
106 hal.

Betacourt, E. A., Parra, G. D. and Angel, C. A. 1980.
Evaluation of effectiveness of the acaricide Nimidane
for the control Boonhilus microflus. Revista Instituto Colombiana Agropecuaria. 13 2):257-361. Monteria,
Colombia. Dalam Rev. Appl. Entomol. Series B. 1981.
690) •
Branco, F. de P. J. A., Pinheiro, A da C. and Ribeiro, J.
B. R. 1982. (Mixture of Nimidane with ethion or with
chlorfenvinphos for the control of the tick, Boouhilus
micronlus resistant to organophosphate). l'listura de
Nimidane com ethion on com chlorfenvinuhos on controle
de carapato, Boouhilus microulus resistante a organofosforados. Brasilia, Brazil. Dalam Rev. Appl. Entomol. Series B. 1982. 70 (12) •
Brown, A. W. A. 1969. Farm chemicals. Sept., Nov. Dalam
Stone, B. F. 1972. The genetics of resistance by
ticks to acaricides. Austral. Vet. J. 48(6).
Brun, L. 0., Wilson, J. T. and Daynes, P. 1983. Ethion
resistance in the cattle tick (Boouhilus microulus)
in New Caledonia. Tropical Pest Nanagement. 29(1):
16-22. Dalam Rev. Appl. Entomol. Series B. 1982.

70(4).

1982. Control of Boouhi1us microplus tick
on cattle with a flowable formulation of coumaphos.
J. Econ. Entomol. 75(2):228-231. Dalam Rev. Appl.
Entomol. Series B. 1982. 71(2).

Devay, R. B.

Gede, I. G. M. 1976. The survival of unfed larvae of the
cattle tick, Boophilus microplus under field condition.
BIOTROP Report.

25
Harley, K. L. s. 1966. Studies on the survival of the
non parasitic stages of the cattle tick in three
climatically dissimilar districs of North Queensland.
Austral. J. Agric. Res. 17:387-410.
hゥエ」ィッセォL@

L. F. 1955. Studies on the parasitic stages
of the cattle tick, Boophilus microplus. Austral. J.
Zool. 3:145-155.

Kartasanjaya, S. 1982. Dampak negatif penggunaan pestisida. Warta Balai Industri Semarang. Th. I. No.1.
Khan, M. H. 1980. Field test in Port Blair with some
newer insecticides for the control of cattle tick
Boophilus microplus. Indian Vet. J. 57(1):27-31.
Indian Veterinary Research Institute, Regional Centre,
Port Blair, Nセ、。ュョ@
Is, India. Dalam Rev. Appl. Entomol. Series B. 1981. 69(10).
Kosshy, T. J. 1982. Zolone as an acaricide cheiron.
11(4) :217-219. Department of Parasitology, Veterinary College, Hadras-600007, India. Dalam Rev. Appl.
Entomol. Series B. 1983. 7lCl) •
Lapage, G. 1956. Honnig's veterinary helminthology and
entomology. Bailliere, Tindall and Cox. 7 and 8 Henrietta Street. Convent-Garden, London.
Livestock International. 1981. Propetamphos for the control of ticks. 9(3):8. Dalam Rev. Appl. Entomol.
Series B. 1982. 70(4).
Perez, A., Harti, V. J. K. and Bulman, G. 1-1. 1980. Determination and study of a new Argentinian organophosphorus resistant strain of Boophilus microplus from Santo
Tome, Corrientes Province. Revista Militar de Veterinaria. 26(123):275-276, 278-280, 282-283. Departemento de Patologia Animal, CICV, niTA, Buenos Aires,
Argentina. Dalam Rev. Appl. Entomol. Series B. 1982.
70(4).
Ralph, W. 1982. Strategic dipping for tick control in
northern Australia. Rural research. No. 116.
Ralph, VI. 1983.
No. 119.

A model for tick control.

Rural research.

Rawlins, S. C. and セゥ。ョウァィL@
A. 1978. Pattern of resistance to various acaricides in some Jamaican populations of Boophilus microplus. J. Econ. Entomo1. 71(6).

26
Rawlins, S. C. and Hansingh, A. 1981. Susceptibility of
ergorged adults of the cattle tick, Boophilus microolus (Canestrini) to acaricides. Insect science and
its application. 1(4):377-378. Department of Zoology, 'Nest Indies University, Kingston 7, Jamaica.
J. Econ. Entomol. 71(6).
Riek, R. F. 1965. The cattle tick and tick fever.
Austral. Vet. J. 41:211-216.
Robert, J. A. 1968. Acquisition by the host of resistance
to the cattle tick, Boophilus microplus. J. Parasi tol.
54:657-662.
Romano, A. 1981. The acti vi ty against Ixodes of a new
acaricide based on organophosphorus insecticide (coumaphos) together with a synthetic pyrethroid (flumethrin) tested against different developmental etages of
Booohilus microplus (Canestrini). Gaceta Veterinaria.
43(365):870-877. Dalam Rev. Appl. Entomol. Series B.
1983. n(3).
Roulston, W. J., Wharton, R. H., Nolan, J., Kerr, J. D.,
Wilson, J. T., Thomson, P. G. and Scholtz, M. 1981.
A survey for resistance in cattle ticks to acaricides.
Austral. Vet. J. 57(8):362-371.
Seddon, H. R. 1967. Diseases of domestic animals in Australia. Tick and mite infestation. Servo Publ. Dept.
Health. Austral. Vet. Hyg. 7. 165 hal.
Soenardi. 1977. Impak ekonomi pemberantasan hama penyakit
tanaman dalam produksi. Aspek pestisida di Indonesia.
Lembaga Pusat Penelitian Bogor. Ed. khusus 3.
Stone, B. F. 1972. The genetics of resistance by ticks to
acaricides. Austral. Vet. J. 48(6).
Stubbs, V. K., Wilshire, C. and Webber, L. G. 1982. Cyhalothrin a novel acaricidal and insecticidal synthetic
pyrethroid for the control of the cattle tick (Boophilus microolus) and the buffalo fly (Haematobia irritans exigua). Austral. Vet. J. 59(5):152-155. Australian cattle tick research station, D'Aguilar,
Queensland 4517, Australia. Dalam Rev. Appl. Entomol.
Series B. 1983. 71(3).
Tarumingkeng, R. 1977. Pestisida sebagai alat pengelola
hama tanaman. Aspek pestisida di Indonesia. Lembaga
Pusat Penelitian Bogor. Ed. khusus. 3:27-32.

27
Treverrow, N. L. 1980. A possible function of aggregation
of the cattle tick Boophilus microplus (Canestrini)
(Acarina:Ixodidae). Gen. Appl. Entornol. 12:3-4.
Wharton, R. H. and Roulston, W. J. 1977. Acaricide resistance in Boophilus rnicronlus. In Workshop on hernoparasites. 17-22 Harch. 1975. Cali, Colombia. Dalarn
Rev. Appl. Entornol. Series B. 1979. 67(6).
Wiyoso, K. D. 1979. Studies on the length of survival of
the preparasitic stages of cattle tick larvae, Boonhilus micronlus (Canestrini) on di different stimulated
pasture conditions. seヲオセoMbitrp@
Intern. Rep.
25 hal.
Woodruff, B. J. (Editor) 1972. New acaricide kills resistant tick. Rural research in CSIRO. 75:31-32.

Lampiran

29
Lampiran 1.

Grafik respon kematian beberapa galur caplak セN@
microulus pada beberapa konsentrasi
dari berbagai macam senyawa organofosfat.

,=.
"'

..

TULLY

'lOCH"'"

»

W

>-

"'''CIIA'

" ....u."
セ@

0

:z:
>W

"

!
Q

Lセ@

IlUeG!l"'.!)S
オセ@

"

..

CiI'l.t,Ct:UERIE

"

セ@

..

."'

!fOG.......

U'

TULLY

I,• •

»

(lIU.Cflolt:M

•• ·
"

IUOGft...o.HOS

セ@

:z:
>-

I.' •

セ@

><

.... cx..,.

0
Q

セ@

B.... _ ..

WCXIHT AlR)fIO

,.,

>
>::;

..,..

"

;!

0

"

:z:

,.
0

1.3 •

GII .. CfU(II(

•. :1 •

., .
"
.
u
..5 •

=c,

"

:J

1.3 •

'''OClU ..... OS

--.,-

セ@

a: u

"

.""'"

M'

.,0

..

..... CK",.

·

,.,

セ@

"'
セ@

..
..

0

z

>

U

"

TUI.I.'

"

lItO .......

.

セ@

..... CK ... '

l.l·

JUDGEl ..... OS

"I.' ..'
1.2 •

""'"

,."

G""COIVIIIE

11.11"'."

...

.

1.1 •

I,IQUHT ALfOI'lO

."
'"

·

,

.,

..
a:
0

nru..

"

1.0 •

liIIOC£UNOS

U

"
"
"



.

. . - ..
.
"
'"

>
a:

loUC ..... "

セ@