Menurut Hukum Perdata BW

Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek tertentu. Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga merupakan syarat tentang isi perjanjian. Kata halal disini bukan dengan maksud untuk memperlawankan dengan kata haram dalam hukum islam, tetapi yang dimaksudkan disini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum. 3 [3] 2. Menurut KHES dalam pasal 22 sebagai berikut : Rukun akad terdiri atas : a. Pihak-pihak yang berakad; b. Obyek akad; c. Tujuan pokok akad; dan d. Kesepakatan. Didalam pasal 23 KHES pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang memilki kecakapan dalam melakuakan perbuatan hukum. Di dalam pasal 24 KHES yang dimaksud dengan obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Dan didalam pasal 25 KHES akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.

C. Macam-macam Perikatan

1. Menurut Hukum Perdata BW

Bentuk perikatan paling sederhana ialah suatu perikatan yang terdiri hanya dua pihak saja dan hanya mengenai satu prestasi yang seketika itu juga dapat ditagih pembayarannya. Macam-macam perikatan pada umumnya ialah sebagai berikut: a. Perikatan Bersyarat Voorwaardeijk Dalam KUH Perdata pasal 1253 Perikatan bersyarat yaitu suatu perikatan yang digantungkan pada suatu peristiwa atau keadaan tertentu yang belum pasti terjadi. Bentuk-bentuknya: 3 [3] Miru Ahmadi dan Pati Sakka, Hukum Perikatan, Jakarta: Rajawali Pers, 2011 hlm.67 1. Menangguhkan opschortende voorwaarde, maksudnya ialah perikatan yang menggantungkan pada suatu syarat menangguhkan, dimana perikatan itu barulah dilahirkan apabila kejadian atau keadaan yang belum pasti itu timbul atau terjadi. 2. Membatalkan ontbindende voorwaarde, maksudnya ialah perikatan yang menggantungkan pada suatu syarat yang membatalkan, di mana suatu perikatan yang sudah seketika akan berlaku, akan dibatalkan apabila kejadian yang belum pasti itu terjadi atau timbul. 4 [4] b. Perikatan ketetapan waktu tidjbepaling Yaitu suatu perikatan yang pelaksanaannya didasarkan atas ketetapan waktu yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak. c. Perikatan yang membolehkan memilih alternative Perikatan ini adalah suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah. d. Perikatan tanggung-menanggung hoofdelijk atau solidair Perikatan ini adalah dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan seperti ini sedikit sekali di dalam praktek. e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan atau tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil kemuka jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Yang mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digntikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya. 5 [5] f. Perikatan dengan ancaman hukuman Perikatan semacam ini, adalah suatu perikatan dimana ditentukan bahwa si berutang, untuk jaminan pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak terpenuhi. Penetapan hukum ini dimaksudkan sebagai 4 [4] Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: UIn Jakarta Press, 2007 hlm. 101 5 [5] Prof. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2001 hlm. 130 gantinya penggantian kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya perjanjian. Ia mempunyai dua maksud: 1. Untuk mendorong atau menjadi cambuk bagi si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya. 2. Untuk membebaskan si berpiutang dari pembuktian tentang jumlah atau besarnya kerugian yang dideritanya. Sebab, berapa besarnya kerugian itu harus dibuktikan oleh si berpiutang. 6 [6]

2. Menurut Hukum Islam KHES