Perikatan dalam Hukum Perdata badan hukum perdata

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perikatan merupakan hubungan hukum. Hubungan hukum adalah suatu
hubungan yang diakui dan diatur oleh hukum. Hubungan hukum yang diatur oleh
hukum, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, dan lain-lain, sedangkan
memenuhi makan malam dan janji untuk jalan-jalan bukan merupakan hubungan
hukum. Namun, ia dikuasai oleh peraturan kesopanan. perikatan itu difokuskan pada
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain. Namun perlu
dikemukakan bahwa subjek hukum dalam lalu lintas hukum tidak hanya orang saja,
tetapi juga mencakup badan hukum, terutama badan hukum privat, sehingga definisi
perikatan perlu dilengkapi dan disempurnakan.
Dalam perikatan terdapat banyak sekali hal-hal yang perlu dijelaskan kembali,
termasuk di dalamnya mengenai unsure-unsurnya, jenis-jenis, risiko, ganti rugi, dan
lain-lain. Oleh karena itu dalam makalah ini saya akan membahas lebih detail
mengenai perikatan.
2. Rumusan Pembahasan
Berasarkan latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
1. Pengertian dan Unsur-Unsur Perikatan
2. Jenis-jenis perikatan

3. Somasi
4. Ganti rugi
5. Keadaan memaksa
6. Risiko
3. Tujuan Penulisan
Untuk memahami tentang perikatan dalam hukum perdata dan guna
memenuhi tugas hukum perdata.
1

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Unsur-Unsur Perikatan
Istilah perikatan merupakan terjemahan dari kata verbintenis (Belanda).
Namun demikian, dalam kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam
istilah untuk menerjemahkan verbintenis. Subekti dan Tjiptosudibio, menggunakan
istilah perikatan untuk verbintenis dan perjanjian untuk Overeenkomst.1 ada ahli
yang menggunakan istilah perutangan untuk menerjemahkan kata verbinteni. Dalam
bahasa Inggris disebut dengan obligation. Obligation hanya dilihat dari kewajiban
saja. Perikatan dapat dipandang dari dua segi, yaitu hak dan kewajiban. Para ahli
memberikan definisi perikatan, sebagai berikut.

Nieuwenhuis mengartikan perikatan sebagai:
“Hubungan hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, di mana pihak
yang satu (debitor) wajib melakukan prestasi2, sedangkan pihak lain berhak atas suatu
prestasi.”
Pendapat lain dikemukakan oleh C. Asser’s dan Sudikno Mertokusumo yang
mengartikan perikatan sebagai: “ hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua
orang atau lebih berdasarkan mana orang yang satu terhadap orang lainnya berhak
atas suatu penunaian/prestasi dan orang lain ini terhadap orang itu berkewajiban atas
penunaian/prestasi itu.”
Ciri khas perikatan menurut Asser’s adalah, bahwa perikatan merupakan
hubungan hukum. Hubungan hukum adalah suatu hubungan yang diakui dan diatur
oleh hukum. Hubungan hukum yang diatur oleh hukum, seperti jual beli, sewa
menyewa, tukar-menukar, dan lain-lain, sedangkan memenuhi makan malam dan

1 Subekti dan Tiptosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pramita) h. 179
2 Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditor dan kewajiban debitor. (1) memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu, dan tidak berbuat, (2) dapat ditentukan, (3) prestasi itu mungkin dan diperkenankan,
dan dapat terdiri dari satu [erbuatan saja dan terus menerus (Salim H.S.: 2006)

2


janji untuk jalan-jalan bukan merupakan hubungan hukum. Namun, ia dikuasai oleh
peraturan kesopanan. Sudikno Mertokusumo mendefinisikan perikatan sebagai:3
“Hubungan hukum (vermogensreechtelijke rechtbetrekking) yang berisi hak di
satu pihak dan kewajiban di pihak lain, yang timbul karena dua orang berhubungan
(karena hubungan hukum).”
Pada prinsipnya, ketiga definisi perikatan itu difokuskan pada hubungan
hukum antara orang yang satu dengan orang lain. Namun perlu dikemukakan bahwa
subjek hukum dalam lalu lintas hukum tidak hanya orang saja, tetapi juga mencakup
badan hukum, terutama badan hukum privat, sehingga definisi perikatan perlu
dilengkapi dan disempurnakan. Menurut Salim H.S. mengatakan dalam bukunya
bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum antara subjek hukum yang satu
dengan subjek hukum yang lain dalam bidang hukum harta kekayaan, di mana subjek
hukum yang satu berhak atas suatu prestasi, sedangkan subjek hukum yang lain
berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut.
Unsur-unsur perikatan sebagai berikut:4
1. Adanya hubungan hukum.
2. Adanya dua pihak, yaitu pihak kreditor dan pihak debitor. Kreditor adalah
orang atau badan hukum yang berhak atas suatu prestasi. Pihak debitor
adalah orang atau badan hukum yang berkewajiban untuk memenuhi

prestasi.
3. Adanya hak dan kewajiban.
4. Adanya prestasi
5. Dalam bidang hukum harta kekayaan.
Kaidah hukum perikatan meliputi: (1) Kaidah hukum tertulis yaitu kaidah
hukum yang terdapat dalam undang-undang, traktat, dan yurisprudensi; (2) kaidah
hukum tidak tertulis yaitu kaidah yang timbul, tumbuh dan hidup dalam praktik
kehidupan masyarakat (kebiasaan), seperti transaksi gadai, jual tahunan atau jual
3 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Yogyakarta: Sinar Grafika, CIV 2006), h. 173
4 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 174

3

lepas. Subjek hukum dalam hukum perikatan terdiri dari: (1) kreditor, yaitu orang
(badan hukum) yang berhak atas prestasi, (2) debitor, yaitu orang (badan hukum)
yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Sedangkan bidang yang dimaksud
adalah bidang harta kekayaan, yaitu menyangkut hak dan kewajiban yang dapat
dinilai uang. Suatu harta kekayaan dapat berwujud atau tidak berwujud.5
2. Jenis-jenis Perikatan
Pada dasarnya jenis perikatan dapat dibedakan menjadi dua jenis: perikatan

perdata (obligation verbintesis) dan perikatan wajar (natuurlijk verbintenis).
Perikatan perdata atau disebut juga dengan obligation verbintesis adalah suatu
perikatan yang dapat dituntuk di muka dan di hadapan pengadilan manakala salah
satu pihak atau lebih telah melakukan wanprestasi. Contoh: A berutang pada B
sebesar Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan berjanji akan membayarnya
pada tanggal 25 Januari 1996. Namun, pada tanggal tersebut A tidak membayar
utangnya. Ada dua tindakan yang dapan dilakukan B, yaitu: (1) memberikan teguran
atau somasi sebanyak tiga kali kepada A, dan (2) Apabila teguran itu tidak
diindahkan, maka B dapat menuntut/meminta kepada pengadilan supaya A dapat
melunasi hutangnya pada B, sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat di antara
mereka. Perikatan wajar atau natuurlijk verbintenisa adalah suatu perikatan
yang timbul karena adanya perjudian. Perikatan seperti itu tidak dapat dituntut di
depan pengadilan. Namun secara moral, pihak yang berhutang berkebajiban untuk
melunasi hutangnya.
Sedang perikatan perdata dapat dibagi menjadi enam jenis, di antaranya:6
1. Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata sampai
dengan Pasal 1267 KUH Perdata. Yang dimaksud dengan perikatan
bersyarat adalah perikatan yang digantungkan pada suatu peristiwa
yang masih akan datang dan yang belum tentu akan terjadi, baik

5 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008) h. 200
6 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 175

4

secara

menangguhkan

perikatan

hingga

terjadinya

peristiwa

semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut
terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (Pasal 1253 KUH

Perdata). Ada dua syarat dalam perikatan bersyarat, yaitu:
a. Syarat yang menangguhkan, adalah perikatan bersyarat yang
pelaksanaannya dapat ditangguhkan sampai syaratnya terpenuhi.
b. Syarat batal, adalah suatu syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan
perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula,
seolah-olah tidak terjadi suatu perikatan.
2. Perikatan dengan Ketetapan Waktu
Perikatan dengan ketetapan waktu diatur dalam pasal 1268 SW
sampai dengan pasal 1271 BW. Yang disebut dengan perikatan dengan
ketetapan

waktu

adalah

suatu

perikatan

yang


ditangguhkan

pelaksanaannya sampai pada waktu yang ditentukan. Suatu contoh, Ali
telah membeli sebuah rumah pada Ahmad seharga Rp. 5.000.000,00.
Tetapi, Ahmad menangguhkan pelaksanaan prestasinya itu pada saat
terjadi perjanjian. Ia akan membayarnya pada waktu yang telah
ditentukannya. Misalnya tanggal 15 Januari 1997.
Keuntungan perikatan dengan ketetapan waktu adalah membantu
pihak si berhutang, karena ia dapat menangguhkan pelaksanaan
utangnya/prestasinya sampai waktu yang ditentukan.7
3. Perikatan Alternatif
Perikatan mana suka atau alternative diatur dalam pasal 1272 KUH
Perdata sampai dengan pasal 1277 KUH Perdata. Dalam perikatan
alternative, debitor dalam memenuhi kewajibannya dapat memilih salah
satu di antara prestasi yang telah ditentukan. Di sini alternative didasarkan
pada segi sisi dan maksud perjanjian.
4. Perikatan Tanggung Renteng
7 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 176


5

Perikatan tanggung renteng diatur dalam Pasal 1278 KUH Perdata
s.d. Pasal 1295 KUH Perdata. Perikatan tanggung renteng adalah suatu
perikatan di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang
berutang berhadapan dengan satu orang kreditor, di mana salah satu dari
debitor itu telah membayar uangnya kepada kreditor, maka pembayaran
itu akan membebaskan teman-teman yang lain dari hutang. Contoh, A, B,
dan C berutang pada D. Dari ketiga debitor, salah satu di antaranya,
misalnya B telah membayar utang itu kepada D, maka pihak A dan C telah
terbebas dari pembayaran utang mereka.8
5. Perikatan Dapat Dibagi dan Tak Dapat Dibagi
Diatur dalam Pasal 1296 KUH Perdata s.d. Pasal 1303 KUH
Perdata. Perikatan dapat dibagi adalah suatu perikatan di mana setiap
debitor hanya bertanggung jawab sebesar bagiannya terhadap pemenuhan
prestasinya. Dengan demikian dia pun terbebas dari kewajiban pemenuhan
prestasi selebihnya. Masing-masing kreditor hanya berhak menagih
sebesar bagiannya saja. Jadi, di sini, jika barang atau harga yang menjadi
objek prestasi memang sesuai untuk dibagi-bagi. Contoh: empat orang
kreditor berhadapan dengan empat orang debitor yang diwajibkan

membayar

Rp.

100.000,00.

Masing-masing

debitor

menanggung

kewajiban sebesar RP. 20.000,00 serta masing-masing kreditor berhak
menagih bagiannya hanya sebesar 25.000,00.9
Ada dua penyebab timbulnya perikatan tak dapat dibagi, yaitu: (1)
oleh karena sifat prestasi tidak dapat dibagi-bagi/dipisah-pisahkan, dan (2)
berdasarkan kekuatan. Sedangkan berdasarkan tujuan atau maksud
perjanjian, dapat dibagi menjadi tiga segi, yaitu: (1) maksud para pihak
sendiri, (2) dari penentuan yang jelas dalam perjanjian, (3) dari hakiakat
perjanjian itu benar-benar tidak mungkin dibagi-bagi.

8 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 176
9 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 177

6

6. Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Diatur dalam Pasal 1304 KUH Perdata s.d. 1312 KUH Perdata.
Perikatan dengan ancaman hukuman adalah suatu perikatan di mana
seseorang untuk jaminan pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan
melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi.
Ada dua macam perikatan dengan ancaman hukuman, meliputi
sebagai berikut:
a. Untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban. Jadi, suatu janji
pidana atau benda.
b. Untuk menetapkan penggantian kerugian yang akan terutang karena
wanprestasi dan menghindarkan percekcokan tentang itu.10
3. Somasi
Istilah

pernyataan

lalai

atau

somasi

merupakan

terjemahan

dari

ingebrekestelling.11 Somasi adalah teguran dari kreditor kepada debitor agar dapat
memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara
keduanya. Ketentuan tentang somasi diatur dalam Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUH
Perdata.
Ada tiga faktor terjadinya somasi, antar lain:
1) Debitor melaksanakan prestasi yang keliru
2) Debitor tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah dijanjikan
3) Prestasi yang dilaksanakan oleh debitor tidak lagi berguna bagi kreditor
karena kadaluarsa.
Isi yang harus dimuat dalam surat somasi, yaitu: (1) apa yang dituntut, (2)
dasar tuntutan, (3) tanggal paling lambat untuk memenuhi prestasi. Sedangkan
peristiwa yang tidak memerlukan somasi, di antaranya: (1) debitor menolak
pemenuhan, (2) debitor mengakui kelalaian, (3) pemenuhan prestasi tidak mungkin

10 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 177
11 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 178

7

dilakukan, (4) pemenuhan tidak berarti lagi (zinloos), (5) denitor melakukan prestasi
tidak sebagaimana mestinya.12
Ajaran tentang somasi ini sebagai instrument hukum guna mendorong debitor
untuk memenuhi prestasinya. Bila prestasi tidak dilaksanakan, maka sudah tentu tidak
dapat diharapkan prestasi. Momentum adanya somasi ini apabila prestasi tidak
dilakukan pada waktu yang telah diperjanjikan antara kreditor dengan debitor.13
Bentuk dan Isi Somasi
Dari telaahan berbagai ketentuan tentang somasi, tampaklah bahwa bentuk
somasi yang harus disampaikan kreditor kepada debitor adalah dalam bentuk surat
perintah atau sebuah akta yang sejenis. Yang berwenang mengeluarkan surat perintah
itu adalah kreditor atau pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang
adalah juru sita, Badan Urusan Piutang Negara, dan lain-lain.
Surat teguran harus dilakukan paling sedikit tiga kali, dengan
mempertimbangkan jarak tempat kedudukan kreditor dengan tempat tinggal debitor.
Tenggang waktu yang ideal untuk menyampaikan teguran antara peringatan I, II, dan
III adalah tiga puluh hari, sehingga waktu yang diperlukan untuk itu selama tiga
bulan atau Sembilan puluh hari. Contoh, BUPN mengirimkan surat teguran kepada
debitor supaya menghadaop ke kantor BUPN dengan tujuan untuk melunasi utangutang yang tidak dibayarnya kepada bank.14
4. Wanprestasi
Wanprestasi berasal dari istilah yang terdapat dalam bahasa Belanda yaitu
“wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah
ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan
yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undangundang.
Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih
terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak
12 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, h. 206
13 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 178
14 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 179

8

terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan.
Istilah mengenai wanprestasi ini terdaspat di berabgai istilah yaitu: “ingkar janji,
cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya. Dengan adanya bermacam-macam
istilah mengenai wanprestsi ini, telah menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud
aslinya yaitu “wanprestsi”. Ada beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah
“wanprestasi” dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai wanprestsi
tersebut.
Wirjono Prodjodikoro, mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu
prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai
isi dari suatu perjanjian. Barangkali dalam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah
“pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk
wanprestasi”.15
Ada empat akibat adanya wanprestasi, sebagaimana dikemukakan berikut ini:
a. Perikatan tetap ada
Kreditor masih dapat menuntut kepada debitor pelaksanaan prestasi,
apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditor berhak
untuk menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya.
Hal ini disebabkan kreditor akan mendapat keuntungan apabila debitor
melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.
b. Debitor harus membayar ganti rugi kepada kreditor (Pasal 1243 KUH
Perdata)
c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitor jika halangan itu timbul
setelah debitor wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan
besar dari pihak debitor. Oleh karena itu, debitor tidak dibenarkan untuk
berpegang pada keadaan memaksa.
d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbale balik, kreditor dapat
membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan
menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata.
15 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bhakti,1990) h. 201
9

Tuntutan atas Dasar Wanprestasi
Kreditor dapat menuntut kepada debitor yang telah melakukan wanprestasi
hal-hal sebagai berikut:
a. Kreditor dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitor.
b. Kreditor dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitor (Pasal
1267 KUH Perdata)
c. Kreditor dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian
karena keterlambatan (H.R. 1 November 1918)
d. Kreditor dapat menuntut pembatalan perjanjian.
e. Kreditor dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitor.
Ganti rugi berupa pembayaran uang denda.
Akibat kelalaian debitor yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu:
a. Debitor berada dalam keadaan memaksa
b. Beban risiko beralih untuk kerugian kreditor, dan dengan demikian debitor
hanya bertanggung jawab atas wanprestasi dalam hal ada kesengajaan atau
kesalahan besar lainnya.
c. Kreditor tetap diwajibkan member prestasi balasan (Pasal 1602 KUH
Perdata)16
5. Ganti Rugi
Menurut pasal 1243 KUH Perdata, pengertian ganti rugi perdata lebih
menitikberatkan pada ganti kerugian karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, yakni
kewajiban debitur untuk mengganti kerugian kreditir akibat kelalaian pihak debitur
melakukan wanprestasi. Ganti rugi tesebut meliputi:
1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan.
2. Kerugian yang sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik
kreditur akibat kelalaian debitur.
3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan.17
16 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 181
17 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, h. 45

10

Sedangkan dalam buku Salim H.S. mengatakan bahwa ada dua sebab
timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan ganti rugi karena
perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam buku III
KUH Perdata, yang dimulai dari pasal 1243 KUH Perdata s.d. pasal 1252 KUH
Perdata, sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal
1365 KUH Perdata. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk
ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada
pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul karena adanya kesalahan, bukan
karena adanya perjanjian.
Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan
kepada debitor yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditor
dengan debitor. Misalnya, A berjanji akan mengirimkan barang kepada B pada
tanggal 10 Januari 1996, tetapi pada tanggal yang telah ditentukan, A belum juga
mengirimkan barang tersebut kepada B. Supaya B dapat menuntut ganti rugi karena
keterlambatan tersebut, maka B harus memberikan peringatan (somasi) kepada A,
minimal tiga kali. Apabila peringatan/teguran itu telah dilakukan, maka barulah B
dapat menuntut A untuk membayar ganti kerugian. Jadi momentum timbulnya ganti
rugi adalah pada saat telah dilakukan somasi.
Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditor kepada debitor, yaitu:18
1. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya
dan kerugian.
2. Keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246 KUH Perdata), ini
ditujukan kepada bungan-bunga.
Yang diartikan dengan biaya-biaya adalah ongkos yang telah dikeluarkan oleh
kreditor untuk mengurus objek perjanjian. Kerugian adalah berkurangnya harta
kekayaan yang disebabkan adanya kerusakan atau kerugian, sedangkan bunga-bunga
adalah keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditor. Penggantian biaya-biaya,
18 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 183

11

kerugian, dan bunga itu harus merupakan akibat langsung dari wanprestasi dan dapat
diduga pada saat sebelum terjadinya perjanjian.
Di dalam pasal 1249 KUH Perdata, ditentukan bahwa penggantian kerugian
yang disebabkan karena wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang. Namun,
dalam perkembangannya menurut para ahli dan yurisprudensi bahwa kerugian dapat
dibedakan menjadi dua macam; ganti rugi materiil dang anti rugi inmateriil. Kerugian
materiil adalah suatu kerugian yang diderita kreditor dalam bentuk uang/kekayaan
benda, sedangkan kerugian inmateriil adalah suatu kerugian yang diderita oleh
kreditor yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit, pucat, dan lain-lain.19
6. Keadaan Memaksa
1. Dasar Hukum dan Pengertian Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa atau overmacht atau force majeure adalah suatu
keadaan di luar kendali manusia yang terjadi setelah diadakannya
perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya kepada
kreditur. Atas keadaan memaksa ini, debitur tidak dapat dipersalahkan dan
tidak harus menanggung resiko.
Ketentuan tentang overmarcht (keadaan memaksa) dapat kita lihat
dan baca dalam Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata.
Pasal 1244 KUH Perdata berbunyi, ‘“Jika ada alasan untuk itu, si berutang
harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat
membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat
dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun
tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad
buruk tidaklah ada pada pihaknya”. Selanjutnya Pasal 1245 KUH Perdata
berbunyi: “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi
lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si
berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan,
19 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 182

12

atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatanyang terlarang
olehnya.’
Ketentuan ini memberikan kelonggaran kepada debitor untuk tidak
melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga kepada kreditor, oleh
karena suatu kedaan yang berada di luar kekuasaannya. Ada tiga hal yang
menyebabkan debitor untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian,
dan bunga yakni:20
1. Adanya suatu hal yang tak terduga sebelumnya, atau
2. Terjadinya secara kebetulan, dan atau
3. Keadaan memaksa
Yang diartikan denga keadaan memaksa adalah suatu keadaan di
mana debitor tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditor, yang
disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, seperti
karena adanya gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-lain.
2. Macam Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:21
1. Keadaan memaksa absolute, adalah suatu keadaan di mana debitor
sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditor,
oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar.
Contohnya: A ingin membayar utangnya kepada B, namun tiba-tiba
pada saat A ingin melakukan pembayaran, terjadi gempa bumi,
sehingga A sama sekali tidak dapat membayar utang kepada B.
2. Keadaan memaksa yang relative adalah suatu keadaan yang
menyebabkan

debitor

masih

mungkin

untuk

melaksanakan

prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan
memberikan korban yang besar, yang tidak seimbang. Atau
menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia, atau
20 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 183
21 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 183

13

kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contoh,
keadaan memaksa relative, seorang penyanyi telah mengikat dirinya
untuk menyanyi di sebuah konser tetapi beberapa detik sebelum
pertunjukan, ia menerima kabar bahwa anaknya meninggal. Contoh
lainnya, A telah meminjam kredit usaha tani dari KUD dengan janji
akan dibayar pada musim panen, tetapi sebelum panen, padinya
diserang oleh ulat. Dengan demikian, pada saat itu ia tidak mampu
membayar kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi ia akan membayar
pada musim mendatang.22
Teori-teori Keadaan Memaksa
Ada dua teori yang membahas tentang keadaan memaksa, yaitu:
(1) teori ketidakmungkinan, dan (2) teori penghapusan atau peniadaan
kesalahaan. Teori

ketidakmungkinan

berpendapat

bahwa

keadaan

memaksa adalah suatu keadaan ‘tidak mungkin’ melakukan pemenuhan
prestasi yang diperjanjikan.
Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam:
a. Ketidakmungkinan ‘absolut’ atauu objektif adalah ketidakmungkinan
sama sekali dari debitor untuk melakukan prestasinya pada kreditor.
b. Ketidakmungkinan relative atau ketidakmungkinan subjektif, adalah
suatu ketidakmungkinan relative dari debitor untuk memenuhi
prestasinya.
Teori/ajaran penghapusan atau peniadaan kesalahan, berarti dengan
adanya overmacht, terhapuslah kesalahan debitor atau overmacht
peniadaan kesalahan, sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi
tidak boleh/bisa dipertanggungjawabkan.
Sedangkan ada tiga akibat keadaan memaksa:23
1. Debitor tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata)
22 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 184
23 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 184

14

2. Beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa
sementara.
3. Kreditor tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi
hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi,
kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
7. Risiko
Di dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer
(ajaran tentang risiko). Resicoleer adalah suatu ajaran di mana seseorang
berkewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada sesuatu kejadian di luar kesalahan
salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian.
Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht). Ajaran ini
dapat diterapkan pada perjanjian sepihak dan perjanjian timbale balik. Perjanjian
sepihak adalah suatu perjanjian di mana salah satu pihak aktif melakukan prestasi,
sedangkan pihak lainnya pasif. Misalnya: A memberikan sebidang tanah pada B.
Tanah itu direncanakan untuk diserahkan pada tangga 10 Mei 1966, tetapi pada
tanggal 15 April 1996 tanah itu musnah. Pertanyaannya kini, siapa yang menanggung
risiko? Yang menanggung risiko atas musnahnya tanah tersebut adalah B (penerima
tanah) (Pasal 1237 KUH Perdata). Perjanjian timbale balik adalah suatu perjanjian di
mana kedua belah pihak diwajibkan untuk melakukan prestasi sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak.24
Sedang yang termasuk dalam perjanjian timbale balik adalah jual beli, sewamenyewa, tukar-menukar, dan lain-lain. Contohnya: A telah membeli seuah rumah
beserta tanahnya kepada B seharga Rp. 10.000.000,-. Rumah itu dibeli pada tanggal
10 Januari 1996, namun rumah tersebut belum diserahkan kuncinya oleh B kepada A.
pada tanggan 10 Februari 1996 terjadi gempa bumi yang memusnahkan rumah
tersebut. Menurut Pasal 1460 KUH Perdata, yang menanggung risiko atas musnahnya
rumah tersebut adalah A, walaupun rumah tersebut belum diserahkan dan dibayar
lunas, sehingga B berhak menagih pembayaran yang belum dilunasi oleh A.
24 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 185

15

Ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata telah dicabut berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun
1963, sehingga ketentuan ini tidak dapat diterapkan secara tegas, namun
penerapannya harus memperhatikan:
1. Bergantung pada letak dan tempat beradanya barang itu
2. Bergantung pada orang yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang
tersebut.
Di dalam perjanjian tukar-menukar, risiko tentang musnahnya barang di luar
kesalahan pemilik, maka persetujuan dianggap gugur, dan pihak yang telah
memenuhi persetujuan dapat menuntut pengembalian barang yang ia telah berikan
dalam tukar menukar (Pasal 1545 KUH Perdata). Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa dalam perjanjian jual beli, risiko atas musnahnya barang
tanggung jawab pembeli, sedangkan dalam perjanjian tukar-menukar, maka
perjanjian menjadi gugur.25

25 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 186

16

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara subjek hukum yang satu
dengan subjek hukum yang lain dalam bidang hukum harta kekayaan, di mana
subjek hukum yang satu berhak atas suatu prestasi, sedangkan subjek hukum
yang lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut.
2. Jenis perikatan dapat dibedakan menjadi dua jenis: perikatan perdata
(obligation verbintesis) dan perikatan wajar (natuurlijk verbintenis). Perikatan
perdata atau disebut juga dengan obligation verbintesis adalah suatu perikatan
yang dapat dituntuk di muka dan di hadapan pengadilan manakala salah satu
pihak atau lebih telah melakukan wanprestasi.
3. Somasi adalah teguran dari kreditor kepada debitor agar dapat memenuhi
prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya.
Ketentuan tentang somasi diatur dalam Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUH
Perdata.
4. Wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat bermacam-macam
istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat
untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai
wanprestasi ini terdaspat di berabgai istilah yaitu: “ingkar janji, cidera janji,
melanggar janji, dan lain sebagainya.
5. Dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi karena wanprestasi dang anti
rugi karena perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi diatur
dalam buku III KUH Perdata, yang dimulai dari pasal 1243 KUH Perdata s.d.
pasal 1252 KUH Perdata, sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan
hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

17

DAFTAR PUSTAKA
H.S., Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Yogyakarta: Sinar Grafika,
2006.
Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bhakti,1990
Subekti dan Tiptosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pramita

18