Kewenangan Pengadilan Membatalkan Putusan Arbitrase Internasional

Kewenangan Pengadilan Membatalkan Putusan Arbitrase
Internasional
(Suatu Tinjauan Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam
Perkara PT. Pertamina Melawan Karaha Bodas Company)
Novran Harisa
Program Pasca Sarjana
Progam Studi Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Para pelaku bisnis dalam melakukan transaksi bisnis internasional pada umumnya
didasarkan pada hubungan kepercayaan (trust) diantara para pihak. Namun hal ini
tetap saja ada kemungkinan terjadinya perselisihan diantara para pihak. Perselisihan
tersebut dapat menimbulkan sengketa yang tentunya mernerlukan penyelesaian secara
hukum. Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi)
dan di luar pengadilan (non litigasi). Biasanya para pelaku bisnis dalam isi klausula
perjanjian mereka, jika terjadi sengketa maka mereka lebih memilih badan arbitrase
dari pada pengadilan. Karena arbitrase diyakini banyak kelebihan dibandingkan
pengadilan, antara lain (1) keahlian arbiternya; (2) cermat dan hemat biaya; (3)
bersifat rahasia.
Seperti kita lihat dalam kasus antara PT. Pertamina melawan Karaha Bodas Company,
dimana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah membatalkan Putusan Arbitrase

Jenewa, Swiss. Dengan adanya Putusan tersebut terdapat kontroversi diantara para
ahli hukum, sehingga menimbulkan tanda tanya apakah Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat berwenang untuk membatalkan putusan arbitrase Jenewa. Jika di lihat
berdasarkan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian sengketa bahwa penyelesaian sengketa melalui pranata
arbitrase memiliki kompentensi absolut terhadap penyelesaian sengketa di luar
pengadilan (non liligasi). Setiap perjanjian yang telah mencantumkan klausula
arbitrase menghapuskan kewenangan dari pengadilan negeri untuk menyelesaikan
sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausula arbitrase tersebut. Telah
dibatalkannya Putusan Arbitrase Jenewa oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
semakin menonjolkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Ini berarti bahwa
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memperhatikan sifat dari pada
putusan arbitrase yakni bersifat final and binding (terakhir dan mengikat)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 60 Undang-undang No. 30 Tahun 1999. Jika
kita lihat Pasal 67 ayat (1) Undang-undang No. 30 Tahun 1999, tindakan PT.
Pertamina adalah tindakan yang tidak sesuai dengan hukum, karena pendaftaran
putusan arbitrase hanya dapat dilakukan oleh arbiter atau kuasanya sedangkan PT.
Pertamina bukan arbiter atau kuasa arbiter. Jadi PT. Pertamina tidak berhak
memintakan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana yang tercantum dalam pasal
tersebut. Oleh karena itu gugatan dari PT. Pertamina ini adalah tindakan yang

premature. Apabila kita lihat Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 ada 3
alasan yang dapat dipakai untuk mengajukan pembatalan terhadap putusan arbitrase
yakni (1) apabila dokumen yang dipakai dalam proses arbitrase ternyata palsu; (2)
apabila ada dokumen yang disembunyikan; (3) apabila adanya tipu muslihat yang
dilakukan oleh salah satu pihak saat pemeriksaan di arbitrase. Berdasarkan hal
1
e-USU Repositoty ©2004 Universitas Sumatera Utara

tersebut, seharusnya majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
membatalkan putusan arbitrase Jenewa, hanya dapat diajukan berdasarkan salah satu
dan tiga alasan yang ditentukan oleh Pasal 70 UU Arbitrase tersebut.

2
e-USU Repositoty ©2004 Universitas Sumatera Utara