Pembatalan Putusan Arbitrase Internacional di Pengadilan Indonesia

Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional di Pengadilan Indonesia

Sebagai syarat untuk memenuhi
Ujian Tengah Semester

Hukum Penyelesaian Sengketa Alternatif Dan Arbitrase

Oleh

Bella Anggini Putri
110110140251

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2017

HALAMAN PERNYATAAN
“DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA UJIAN TENGAH SEMESTER INI MURNI
DIKERJAKAN SENDIRI TANPA ADANYA BANTUAN DARI ORANG LAIN”


Bella Anggini Putri
(110110140251)

PENDAHULUAN
Ada beberapa cara yang bisa dipilih untuk menyelesaikan sengketa secara
internasional. Berdasarkan Pasal 33 dari Piagam PBB dibahas mengenai cara–cara
penyelesaian sengketa internasional secara damai yang meliputi negotiation, enquiry,
mediation, arbitration, judical settlement, dan resort to regional agencies or arraggement,
serta dimasukan juga good-offices.
Dalam sebuah transaksi bisnis, potensi timbulnya sengketa antara para pihak selalu
ada dan tentunya penyelesaian sengketa yang diinginkan adalah penyelesaian yang bersifat
efektif. Sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase dipandang sebagai
cara yang efektif dan adil. Badan arbitrase akan efektif apabila kedua belah pihak sepakat
untuk menyerahkan sengketanya kepada badan arbitrasi baik sebelum maupun sesudah
adanya sengketa. Berbicara mengenai arbitrase atau lembaga arbitrase, sebenarnya sudah
ada dan telah dipraktekkan selama berabad-abad (bahkan pertama kali diperkenalkan oleh
masyarakat

Yunani


sebelum

masehi).

Menurut

M.

Domke

bangsa-bangsa

telah

menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrasi sejak zaman Yunani kuno.
Praktek ini berlangsung pula pada masa keemasan Romawi dan Yahudi (biblical times)
serta terus berkembang terutama di negara-negara dagang di Eropa seperti Inggris dan
Belanda.
Pemilihan forum secara litigasi atau pengadilan sebagai penyelesaian sengketa
menjadi tidak di lirik lagi dalam transaksi bisnis yang bersifat internasional 1. Seringkali dalam

transaksi bisnis internasional bidang yang menjadi pokok sengketa bersifat teknis. Dengan
arbitrase, para pihak dapat memilih arbitrator yang memiliki keahlian di bidang yang menjadi
pokok sengketa2. Transaksi bisnis internasional, di antaranya, adalah transaksi bisnis yang
melibatkan para pihak yang berbeda kewarganegaraan. Memilih pengadilan nasional salah
satu pihak sebagai forum penyelesaian sengketa memberikan rasa tidak nyaman
(unconvinience) bagi pihak yang lainnya3. Ketidaknyamanan itu disebabkan oleh beberapa
hal. Pertama, pihak asing kurang memahami prosedur pengadilan negara tersebut. Sebagai
contoh, sidang pada pengadilan menggunakan bahasa nasional negara tersebut yang tidak
dimengerti oleh pihak asing. Kedua, pihak asing cenderung merasa kurang mempercayai

1 Randall and John E. Norris Washington, “A New Paradigm for International Business Transactions”,
Washington University Law Quarterly, 1993, hlm. 1.
2 Huala Adolf, “Arbitrase Komersial Internasional ed.2”, Jakarta: Rajawali Press, 1993, hlm. 13.
3 Kenneth R. Davis, “Unconventional Wisdom: A New Look at articles V and VII of the Convention on
the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” Texas International Law Journal, Winter
2002, hlm.1.

pengadilan nasional pihak lawannya, apalagi apabila forum pengadilannya adalah
pengadilan suatu negara berkembang yang sistem peradilannya masih sarat dengan
praktek korupsi, kolusi, nepotisme dan tekanan politis. Praktek-praktek ini tentunya akan

mempengaruhi objektivitas hakim, hakim bisa saja bersikap bias4. Untuk mencapai
kesepakatan bersama di antara para pihak yang berbeda kewarganegaraan mengenai
forum penyelesaian sengketa yang akan dipilih tentu bukanlah hal yang mudah. Inilah
sebabnya pemilihan forum penyelesaian sengketa yang tepat menjadi salah satu hal yang
patut dipertimbangkan dengan seksama ketika sebuah kontrak disusun5.
Negara Indonesia telah memiliki peraturan yang mengatur arbitrase secara khusus
yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (UU Arbitrase). Akan tetapi, dalam undang-undang mengenai arbitrase tersebut
sifatnya nasional bukan bersifat internasional. Selain itu di dalam peraturan tersebut
diadopsi ketentuan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam New York
Convention 1958 yang telah disahkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 34 Tahun 1981. Dengan melaksanakan konvensi ini secara sebaik-baiknya,
Indonesia telah meningkatkan kepercayaan dunia internasional dengan memberikan
kepastian hukum mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Pemeriksaan sengketa melalui arbitrase akan berujung pada putusan arbitrase. UU
Arbitrase mengatur bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat. Namun demikian,
UU Arbitrase mengatur pula bahwa putusan arbitrase tersebut dapat dibatalkan oleh
pengadilan negeri. Pembatalan putusan arbitrase sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
70 UU Arbitrase merupakan upaya hukum yang diberikan kepada para pihak yang
bersengketa untuk meminta kepada pengadilan negeri membatalkan sebagian atau seluruh

putusan arbitrase. Terdapat pro dan kontra dalam menginterpretasikan ketentuan yang
mengatur pembatalan putusan arbitrase tersebut. Antara lain ialah pendapat yang
mengemukakan bahwa alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 70 UU Arbitrase tidak
bersifat limitatif6.
Pembatalan putusan

arbitrase pada

dasarnya berbeda

dengan penolakan

pelaksanaan putusan arbitrase asing seperti yang diatur dalam New York Convention 1958.
Perbedaan tersebut dapat dilihat berdasarkan konsekuensi hukum pembatalan putusan

4 William W. Park (a), “The Specificity of International Arbitration: the Case for FAA Reform”
Vanderbilt Journal of International Law, October 2003, par. 25.
5 Ralph H. Folsom, Michael Wallace Gordon dan John A. Spanogle,JR, “International Business
Transaction In A Nutshell” St. Paul : West Publishing Co, 1996, hlm. 328.
6 Tony Budidjadja, Public Policy as Grounds for Refusal of Recognition and

Enforcement of Foreign Arbitral Awards in Indonesia, Jakarta: PT Tata Nusa, 2002, hlm. 22.

arbitrase yang memberikan dampak dinafikannya (seolah tidak pernah dibuat) suatu
putusan arbitrase dan pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang proses
arbitrase (re-arbitrate), sedangkan penolakan putusan arbitrase asing oleh pengadilan, tidak
berarti menafikan putusan tersebut. Penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing
memiliki konsekuensi tidak dapatnya putusan arbitrase asing dilaksanakan di yurisdiksi
pengadilan yang telah menolaknya7.
Dalam praktik pengadilan di Indonesia seringkali dijumpai adanya kerancuan
pemahaman terhadap penyelesaian sengketa arbitrase internasional sehingga menimbulkan
pertanyaan besar mengenai apakah pengadilan nasional memiliki kewenangan dalam
membatalkan suatu putusan arbitrase internasional. Berdasarkan latar belakang tersebut
mendorong penulis untuk membahas lebih lanjut dalam bentuk paper terkait “Pembatalan
Putusan Arbitrase Internasional di Pengadilan Indonesia”

7 Hikmahanto Juwana, “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan
Nasional” Jurnal Hukum Bisnis Vol.21, 2002, hlm. 67.

PEMBAHASAN
Penting untuk membedakan antara putusan arbitrase domestik dengan putusan

arbitrase asing karena hukum nasional suatu negara memberikan perlakuan yang berbeda
terhadap keduanya8. Terlebih dahulu akan dibahas makna arbitrase internasional dari Alan
Redfern dan Martin Hunter yang menyatakan kata “internasional” dalam arbitrase
internasional digunakan untuk membedakan yang mana arbitrase nasional atau domestik
dan yang telah melampaui batas nasional. Perlu diketahui saat ini terdapat beragam
terminologi yang digunakan untuk arbitrase internasional seperti arbitrase asing namun
dalam tulisan ini akan digunakan terminologi arbitrase internasional. Penulis mengacu pada
Pasal 1 ayat (3) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration bahwa
arbitrase internasional yaitu arbitrase yang :
a. para pihak dalam suatu perjanjian arbitrase, pada saat menutup perjanjian memiliki
tempat usaha dalam negara yang berbeda; atau
b. salah satu dari tempat di bawah ini berada di luar negara para pihak memiliki tempat
usaha mereka:
1. Tempat arbitrase telah ditentukan di dalam atau berdasarkan perjanjian arbitrase
ini;
2. Setiap tempat di mana suatu bagian penting dari kewajiban menurut pilihan
bisnis ini akan dilakukan atau tempat dengan mana pokok permasalahan ini
yang disengketakan memiliki hubungan yang paling dekat; atau
c. para pihak secara tegas menyetujui bahwa pokok masalah dari perjanjian arbitrase
ini berhubungan dengan lebih dari satu negara.

Penentuan apakah suatu putusan arbitrase termasuk putusan arbitrase domestik
atau putusan arbitrase internasional menurut Mauro Rubino Sammartano terdapat dua
kriteria yang dipakai yaitu geographic criterion dan procedural criterion9. Berdasarkan
geographic criterion, tempat di mana putusan arbitrase dibuat menjadi faktor penentu dalam
membedakan antara putusan arbitrase domestik dengan putusan arbitrase internasional.
Dengan geographic criterion, suatu putusan arbitrase digolongkan sebagai putusan arbitrase
internasional apabila putusan tersebut dibuat di negara selain negara di mana
pelaksanaannya dimintakan (enforcing country). Sedangkan procedural criterion, hukum dari
suatu negara yang mendasari penyelesaian sengketa melalui arbitrase (procedural law, lex

8 Alan Redfern dan Martin Hunter, “Law and Practice of International Arbitration”, London: Sweet &
Maxwell, Ltd., 1986, hlm. 10.
9 Mauro Rubino Sammartano, “International Arbitration Law” The Hague : Kluwer Law an Taxation
Publishers, 1990, hlm 16-17.

arbitri atau curial law) menjadi faktor penentu dalam membedakan antara putusan arbitrase
domestik dengan putusan arbitrase internasional. Dengan procedural criterion, suatu
putusan arbitrase digolongkan sebagai putusan arbitrase domestik apabila persidangan
arbitrasenya didasarkan pada procedural law dari negara yang bersangkutan. Sebaliknya,
suatu putusan arbitrase dianggap sebagai putusan arbitrase asing apabila persidangan

arbitrasenya tunduk pada procedural law dari negara lain.
Putusan arbitrase internasional dalam Pasal 1 angka 9 UU Arbitrase didefinisikan
sebagai :
a.

Putusan arbitrase tersebut dijatuhkan di luar wilayah hukum Indonesia; dan

b.

Putusan arbitrase tersebut dianggap sebagai suatu putusan arbitrase
internasional berdasarkan ketentuan Hukum Republik Indonesia.

Berkaitan dengan klasifikasi yang kedua, terdapat ketidakjelasan mengenai “ketentuan
Hukum Republik Indonesia” yang harus digunakan. Pasal 1 (1) New York Convention 1958
juga tidak memberikan pendefinisian mengenai putusan arbitrase asing secara tegas namun
intinya adalah putusan arbitrase yang dibuat di negara selain negara di mana
pelaksanaannya dimintakan dan tidak ditentukan dari kewarganegaraan pihak-pihak yang
bersengketa10. Pendaftaran putusan arbitrase internasional diatur dalam ketentuan Pasal 67
ayat (1) UU Arbitrase yang menyatakan, “permohonan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter

atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”.
Sangat sering dijumpai pihak yang kalah tidak segera melaksanakan putusan
arbitrase. Sebagai gantinya harus dilakukan upaya hukum tertentu atas putusan arbitrase
agar dilaksanakan. Pada dasarnya putusan arbitrase bersifat final dan mengikat namun
tidak berarti ia kebal dari upaya hukum11. Sebenarnya terbukanya kemungkinan untuk
melakukan upaya hukum atas putusan arbitrase merupakan suatu bentuk perlindungan bagi
para pihak dari putusan arbitrase yang mungkin saja salah dalam penerapan hukumnya
atau dalam segi prosedur pengambilan putusan arbitrase tersebut12. Dengan kata lain,
upaya hukum merupakan bentuk pengawasan dari pengadilan negara yang hukum
arbitrasenya mendasari penyelesaian sengketa melalui arbitrase terhadap integritas
arbitrator dalam segi prosedur pengambilan keputusan13. Namun demikian, tidak ada

10 Albert Jan Van den Berg, The New York Arbitration Convention of 1958, Netherlands: Kluwer Law
and Taxation Publisher, 1981, hlm. 15.
11 Kaj Hobér dan Howard S. Sussman, “Cross-Examination In International Arbitration : Nine Basic
Priciples”, New York : Oxford University Press, 2014 hlm. 10.
12 Alan Redfern dan Martin Hunter, “Law and Practice of International Arbitration”,op.cit., hlm. 317.
13 William W. Park (b), International Forum Selection, The Hague: Kluwer Law International, 1995,
hlm. 127.


konvensi internasional yang mengatur sampai batas-batas mana suatu negara boleh
melakukan pengawasan atas putusan arbitrase yang dibuat berdasarkan hukum arbitrase
negara yang bersangkutan. Apalagi, setiap negara memiliki kedaulatan, termasuk untuk
merumuskan hukum nasionalnya sendiri14. Sebagai konsekuensinya, bentuk upaya hukum
atas putusan arbitrase berbeda-beda dalam setiap negara.
Upaya hukum (dalam Bahasa inggris diistilahkan dengan Recourse atau Challenge).
Challenge bisa berupa banding (Appeal) kepada pengadilan yang berwenang atau
permohonan untuk melakukan pembatalan (Annulment atau Setting Aside)15. Hukum
arbitrase beberapa negara, khususnya yang sistem hukumnya menganut sistem Common
Law, menyediakan kemungkinan untuk melakukan banding ke pengadilan atas suatu
putusan arbitrase16. Secara umum alasan diajukannya banding adalah apabila terdapat
kesalahan dalam penerapan hukum oleh arbitrator sekaligus juga dapat disimpulkan bahwa
pengadilan akan memerikasa kembali pokok perkara (merit of the case) yang sebelumnya
telah diperiksa oleh arbitrator. Melalui upaya hukum banding ke pengadilan, putusan
arbitrase yang salah dalam penerapan hukumnya dapat dikoreksi. Hal ini merupakan bentuk
pengawasan oleh pengadilan (judicial control) atas arbitrase dilakukan berdasarkan hukum
arbitrase negara yang bersangkutan.
Upaya hukum pembatalan putusan yang biasanya dikenal di negara-negara yang
sistem hukumnya menganut sistem Civil Law17. Berbeda dengan banding atas putusan
arbitrase di mana pengadilan akan memeriksa kembali pokok perkara, pada pembatalan
pengadilan hanya memeriksa keabsahan dari segi prosedur pengambilan keputusan
arbitrase. Dengan demikian, pengadilan tidak akan memeriksa kembali pokok perkara.
Pembatalan suatu putusan arbitrase akan berakibat putusan arbitrase tersebut batal demi
hukum. Putusan arbitrase itu tidak memiliki kekuatan hukum lagi di negara di mana putusan
tersebut dibuat18. Selain itu, putusan tersebut mungkin tidak dapat dilaksanakan di negaranegara yang telah mengesahkan New York Convention 1958 dikarenakan salah satu alasan
penolakan putusan arbitrase adalah apabila putusan arbitrase tersebut telah dibatalkan (set
aside) oleh forum yang berwenang. Karena putusan arbitrase tersebut telah batal demi

14 Martin Dixon, Textbook on International Law, ed.3, London: Blackstone Press Limited, 1996, hlm.
156.

15 International Council for Commercial Arbitration”International Handbook on Commercial
Arbitration : National Reports and Basic Legal Texts”, General Editor Pieter Sanders Kluwer , hlm 2326
16 Kenneth R. Simmonds dan Brian H.W Hill, “International Commercial Arbitration: Commercial
Arbitration Law in Asia and the Pasific”, New York : Oceana Publications Inc., 1987, hlm. 21 Lihat
International Council for Commercial Arbitration”International Handbook on Commercial Arbitration :
National Reports and Basic Legal Texts”, The Hague : Kluwer Law International, hlm 23-26
17 Alan Redfern dan Martin Hunter, “Law and Practice of International Arbitration”, op.cit., hal. 324.
18 ibid

hukum, para pihak tentunya harus menempuh upaya hukum yang baru lagi untuk
memperoleh ganti rugi (remedy) yang mereka harapkan, baik melalui arbitrase lagi (rearbitrate) atau dengan litigasi.
Pada dasarnya pembatalan putusan tidak diatur dalam New York Convention 1958
namun pada Pasal V ayat 1 (e) New York Convention 1958 menyinggung kemungkinan
terjadinya pembatalan putusan abritrase oleh apa yang disebutnya sebagai Competent
Authority (otoritas yang berwenang) dari negara dibuatnya putusan arbitrase atau
berdasarkan hukum dalam pembuatan putusan arbitrase tersebut (Lex Arbitri). Setelah
dikeluarkannya UU Arbitrase, pembatalan putusan arbitrase diatur pada Pasal 70-72.
Namun tidak disebutkan secara tegas, apakah pembatalan putusan tersebut berlaku untuk
putusan arbitrase nasional dan internasional. Karenanya, ada yang berpendapat bahwa
pembatalan putusan pada Pasal 70-72 UU Arbitrase, juga mencakup pembatalan putusan
arbitrase internasional. Sementara yang lainnya berpendapat bahwa masalah pembatalan
hanya berlaku untuk putusan arbitrase nasional, tidak termasuk putusan arbitrase
internasional. Upaya hukum dalam UU Arbitrase dianggap lebih sempit dari ketentuan
UNCITRAL Model Law karena dalam Pasal 70 tidak membolehkan pengadilan untuk
melaksanakan putusan diluar negara tempat arbitrase dibuat19.
Pasal 70 UU Arbitrase berbunyi:
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
c. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan,
diakui palsu atau dinyatakan palsu;
d. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan; atau
e. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa
Alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase seperti halnya diatur
dalam ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase bukan merupakan satu-satunya alasan untuk
membatalkan suatu putusan arbitrase. Pendapat tersebut didukung argumentasi bahwa
alasan yang tidak diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase bukan berarti tidak dapat
dipergunakan Salah satu contoh alasan yang tidak disebutkan dalam Pasal 70 UU Arbitrase

19 Noah Rubins “The Enforcement And Annulment Of International Arbitration Awards In Indonesia”,
American University International Law Review Rev. 359, 2005, hlm 5

namun dapat digunakan oleh Pengadilan dalam hal pembatalan putusan arbitrase adalah
alasan bahwa sengketa yang diputus oleh forum arbitrase menurut hukum telah terjadi
“kesalahan prosedural”20. Adanya kesalahan prosedural dapat mengakibatkan putusan
arbitrase internasional dapat dibatalkan. Sebagai satu contoh, untuk putusan arbitrase
internasional, eksekusinya harus melalui New York Convention 1958 di mana sebelum
eksekusi putusan tersebut harus terlebih dahulu didaftarkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Apabila pendaftaran tersebut tidak dilaksanakan maka terdapat suatu
kesalahan dalam proses pelaksanaan putusan arbitrase tersebut sehingga pengadilan dapat
membatalkannya.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase hanya bisa diajukan terhadap putusan
arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Dasar-dasar pembatalan putusan arbitrase
tersebut harus terlebih dahulu dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan
menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan
pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan
atau menolak permohonan. Permohonan pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Pasal
71 UU Arbitrase harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera
Pengadilan Negeri.
Pembatalan putusan arbitrase internasional yang ramai diperbincangkan adalah
dikabulkannya gugatan pembatalan putusan arbitrase Swiss oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat (PN Jakpus) dalam kasus pertamina vs Karaha Bodas. Sistem Hukum Indonesia
menentukan pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Berdasarkan Pasal V (1) (e) New York Convention 1958, pembatalan suatu putusan
arbitrase hanya dapat dilakukan oleh competent authority yaitu pengadilan dari negara di
mana putusan arbitrase tersebut dibuat dan pengadilan dari negara yang hukumnya
dijadikan dasar dikeluarkannya putusan arbitrase tersebut hal ini sesuai dengan asas lex
arbitri bahwa negara dengan yurisdiksi primer (primary jurisdiction) memiliki kewenangan
membatalkan putusan arbitrase internasional. Jadi pengadilan di negara tempat putusan
arbitrase tersebut dijatuhkan merupakan pengadilan dengan yurisdiksi primer. Sudargo

20 Priyatna Abdurrasyid, “Salah Prosedur, Putusan Arbitrase Internasional Dapat Dibatalkan”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6416/salah-prosedur-putusan-arbitraseinternasional-bisadibatalkan

Gautama mengungkapkan bahwa perlu diperhatikan “Country of Origin” dalam penentuan
yurisdiksi primer.
Sementara yurisdiksi sekunder (secondary jurisdiction) adalah badan peradilan dari
negara di mana suatu putusan arbitrase dimintakan pelaksanaannya21. Negara dengan
yurisdiksi sekunder tidak boleh menolak pelaksanaan suatu putusan arbitrase berdasarkan
alasan selain dari dasar penolakan sebagaimana tercantum dalam Pasal V (1) (e) New York
Convention 1958. Pendapat ini telah dikuatkan oleh putusan US Court of Appeal, Second
Circuit dalam perkara antara Yusuf Ahmed Alghanim & Sons melawan Toys “R” S.
Pertamina mendasarkan karena kedua belah pihak telah memilih hukum Indonesia
sebagai hukum yang mengatur perjanjian maka pengadilan Indonesia bisa membatalkan
putusan arbitrase internasional berdasarkan Pasal V New York Convention 1958. Menurut
Pertamina pengadilan di Amerika atau di negara manapun tidak bisa melaksanakan putusan
Swiss karena PN Jakpus telah membatalkan dan pengadilan ini telah kompeten
berdasarkan hukum22. Sangat jelas bahwa PN Jakpus tidak berwenang untuk membatalkan
putusan Swiss. Ada dua kesalahan yang fatal dalam putusan PN Jakpus. Pertama,
sementara dalam putusan PN Jakpus dapat menerapkan New York Convention 1958 tapi
konvensi tersebut tidak diaplikasikan. Kedua, menganggap pengadilan memiliki yurisdiksi
adalah salah tafsir terhadap dua kewenangan pengadilan berdasarkan konvensi. Pasal V(1)
(e) New York Convention 1958 menyatakan bahwa hanya “court of origin” yang bisa
melaksanakan putusan berdasarkan hukum nasional. Indonesia hanya merupakan yurisdiksi
primer, yang tidak berwenang untuk membatalkan Putusan Arbitrase Swiss sedangkan
pengadilan yang berwenang untuk membatalkan putusan arbtitrase dalam kasus tersebut
ialah Pengadilan di Swiss karena ia yurisdiksi utama. Berdasarkan Pasal 1338 KUHPer
semua perjanjian adalah undang-undang bagi mereka yang membuatnya 23. Lex Arbitri
terdapat dalam hukum Swiss dan tidak dimungkinkan untuk memilih Lex Arbitri lain hal ini
terlihat dalam Joint Operation Contract dan Energy Sales Contract yaitu ”The site of the
arbitration shall be Geneva, Switzerland”.

Terdapat dua pandangan yang bertentangan mengenai pelaksanaan putusan

21 Carolyn B. Lamm, Eckhard R. Hellbeck dan Chiara Giorgetti, “The New Frontier of Investor–State
Arbitration: Annulment of NAFTA Awards” International Arbitration Law Review, 2008
22 Noah Rubins “The Enforcement And Annulment Of International Arbitration Awards In Indonesia”,
Op.cit. hlm. 8-9.
23 Robert N. Hornick, "Indonesian Arbitration in Theory and Practice", The American Journal of
Comparative Law, Vol. 39, No. 3 Summer 1991

arbitrase yang telah dibatalkan. Pandangan yang pertama didasarkan pada pandangan
yang tradisional. Sedangkan pandangan yang kedua didasarkan pada teori delokalisasi
(

delocalisation theory). Menurut pandangan yang tradisional, penyelesaian sengketa melalui

arbitrase terikat pada hukum arbitrase dari negara di mana arbitrase berlangsung.
Sedangkan apabila para pihak telah memilih hukum arbitrase yang lain dengan hukum dari
negara tempat arbitrase, maka penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut didasarkan
pada hukum arbitrase yang telah dipilih oleh para pihak.
Selanjutnya, negara yang hukum arbitrasenya dipilih untuk mendasari penyelesaian
sengketa melalui arbitrase tersebut dipandang sebagai negara asal dari putusan arbitrase
yang bersangkutan. Sebagai konsekuensinya, keabsahan dari suatu putusan arbitrase
bersumber dari hukum negara asal putusan tersebut24. Berdasarkan pemikiran tersebut,
maka apabila suatu putusan arbitrase di negara asalnya telah dibatalkan, putusan arbitrase
tersebut seolah-olah tidak ada lagi. Dengan demikian, putusan arbitrase yang telah
dibatalkan di negara asalnya tidak bisa dilaksanakan lagi di negara lain karena putusan
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum lagi.
Pendekatan yang kedua adalah pendekatan yang didasarkan pada delocalisation
theory. Berlawanan dengan pandangan tradisional, menurut delocalisation theory,
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dipisahkan dari hukum negara asal putusan
arbitrase25. Ini berarti keberadaan putusan arbitrase dipisahkan dari hukum negara asal
putusan itu sehingga negara tersebut dipandang tidak memiliki hubungan hukum dengan
putusan arbitrase tersebut. Apabila negara tersebut telah membatalkan putusan tersebut,
negara lain tetap boleh mengakui dan melaksanakan putusan tersebut26.
Tidak sampai disitu pihak Karaha Bodas mengajukan permohonan banding dan
permohonan tersebut dikabulkan. Mahkamah Agung berpendapat bahwa pembatalan
putusan arbitrase hanya dapat dilakukan atas putusan arbitrase domestik, tidak pada
putusan arbitrase internasional. Putusan yang diajukan pembatalannya di PN Jakpus itu
adalah sebuah putusan arbitrase internasional oleh karenanya, Mahkamah Agung dalam
putusan No. 01/BANDING/WASIT.INT/2002 menyatakan bahwa PN Jakpus tidak memiliki
wewenang untuk membatalkan putusan arbitrase Swiss. Putusan ini telah sejalan dengan

24 Kenneth R. Davis, “Unconventional Wisdom: A New Look at articles V and VII of the Convention
on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards”, op.cit. hlm 10
25 Alan Redfern dan Martin Hunter, “Law and Practice of International Arbitration”, op.cit, hlm 56
26 Kenneth R. Davis, “Unconventional Wisdom: A New Look at articles V and VII of the Convention
on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” op.cit. hlm 11

ketentuan Pasal V 1 (e) New York Convention 1958 bahwa yang berwenang untuk
membatalkan putusan arbitrase luar negeri adalah badan berwenang di negara dimana
putusan arbitrase tersebut dijatuhkan dalam hal ini adalah Pengadilan di Swiss.

KESIMPULAN
Pembatalan Putusan Arbitrase ialah suatu upaya hukum yang diberikan kepada para
pihak yang bersengketa untuk meminta kepada Pengadilan Negeri agar suatu putusan
arbitrase dibatalkan. pembatalan putusan arbitrase memberikan dampak dinafikannya
(seolah tidak pernah dibuat) suatu putusan arbitrase dan pengadilan dapat meminta agar
para pihak mengulang proses arbitrase. Undang-Undang Arbitrase dalam Pasal 70
memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase namun
ketentuan dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 UU Arbitrase tidak jelas mengatur
apakah ketentuan tersebut berlaku atas putusan arbitrase nasional saja atau berlaku pula
atas putusan arbitrase internasional.
Pasal V ayat (1) e New York Convention 1958 menyatakan bahwa pengadilan yang
memiliki wewenang untuk memutus permohonan pembatalan terhadap Putusan Arbitrase
Internasional adalah hanya Pengadilan di negara mana, atau berdasarkan hukum mana
putusan tersebut dibuat. hal ini sesuai dengan asas lex arbitri bahwa negara dengan
yurisdiksi primer memiliki kewenangan membatalkan putusan arbitrase internasional
sedangkan negara yang memiliki yurisdiksi sekunder tidak boleh menolak pelaksanaan
suatu putusan arbitrase.
Putusan Arbitrase Internasional tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan nasional
sehingga dalam sengketa Pertamina dengan Karaha Bodas dalam putusan Mahkamah
Agung Nomor 01/BANDING/WASIT.INT/2002 yang mengabulkan permohonan banding
untuk membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat serta menyatakan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan
telah tepat dengan Pasal V (1) (e) New York Convention 1958.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Albert Jan Van den Berg, The New York Arbitration Convention of 1958, Netherlands: Kluwer
Law and Taxation Publisher, 1981.
Alan Redfern dan Martin Hunter, “Law and Practice of International Arbitration”, London:
Sweet & Maxwell, Ltd., 1986.
Huala Adolf, “Arbitrase Komersial Internasional ed.2”, Jakarta: Rajawali Press, 1993.
International Council for Commercial Arbitration”International Handbook on Commercial
Arbitration : National Reports and Basic Legal Texts”, The Hague : Kluwer Law an Taxation
Publishers
Kaj Hobér dan Howard S. Sussman, “Cross-Examination In International Arbitration : Nine
Basic Priciples”, New York : Oxford University Press, 2014.
Kenneth R. Simmonds dan Brian H.W Hill, “International Commercial Arbitration:
Commercial Arbitration Law in Asia and the Pasific”, New York : Oceana Publications Inc.,
1987.
Mauro Rubino Sammartano, “International Arbitration Law”, The Hague : Kluwer Law and
Taxation Publishers, 1990.
Martin Dixon, Textbook on International Law, ed.3, London: Blackstone Press Limited, 1996.
Ralph H. Folsom, Michael Wallace Gordon dan John A. Spanogle,JR, “International
Business Transaction In A Nutshell” St. Paul : West Publishing Co, 1996
Tony Budidjadja, Public Policy as Grounds for Refusal of Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards in Indonesia, Jakarta: PT Tata Nusa, 2002.
William W. Park (b), International Forum Selection, The Hague : Kluwer Law International,
hlm. 1995.

JURNAL

Carolyn B. Lamm, Eckhard R. Hellbeck dan Chiara Giorgetti, “The New Frontier of Investor–
State Arbitration: Annulment of NAFTA Awards” International Arbitration Law Review, 2008
Hikmahanto Juwana, “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan
Nasional” Jurnal Hukum Bisnis Vol.21, 2002.
Kenneth R. Davis, “Unconventional Wisdom: A New Look at articles V and VII of the
Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” Texas
International Law Journal, Winter 2002
Noah Rubins “The Enforcement And Annulment Of International Arbitration Awards In
Indonesia”, American University International Law Review Rev. 359, 2005.
Randall and John E. Norris Washington, “A New Paradigm for International Business
Transactions”, Washington University Law Quarterly, 1993.
Robert N. Hornick, "Indonesian Arbitration in Theory and Practice", The American Journal of
Comparative Law, Vol. 39, No. 3 Summer 1991.
William W. Park (a), “The Specificity of International Arbitration: the Case for FAA Reform”
Vanderbilt Journal of International Law, October 2003.