Kewenangan Pengadilan Negeri Menyelesaikan Sengketa Bisnis Dalam Hal Adanya Klausul Arbitrase

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU - BUKU MAKALAH

Abdurrasyid, Prayitna, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengkete : Suatu Pengantar, Fikahati Aneka, Jakarta, 2002.

Adolf, Huala, Arbitrase Komersial Internasional, Rajawali Press, Jakarta, 1991. _______Hukum Arbitrase Komersial, Rajawali Press, Jakarta, 1993.

_______Arbitrase Dagang International, Rajawali Press, Jakarta, 1994. Huala

_______Dasar-dasar Hukum Kontrak International, Refika Aditama, Bandung, 2007

Anwar, Chairul, Hukum Perdagangan Internarional, Novindo Pustaka Mandiri Jakarta 1999.

Bhakti, Yudha, Beberapa Catatan Tentang Badan penyelesaian Sengketa; Arbitrase, makalah disampaikan pada Kuliah Umum Hukum International di Fakultas Hukum UMY April, 2001.

Emerson, Robert W, Business Law, Barron's, New York, 2004.

Fuady, Munir, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Gautama, Sudargo, Pengantar Hukum Perdata International Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1987.

________Perkembangan Arbitrase Dagang International di Indonesia, Eresco, 1989.

________Arbitrase Dagang International, Alumni, Bandung, 1986.

________Arbitrase Luar Negeri dalam Pemakaian Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

_____Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa dalam Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995.

Harahap, Yahya, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata, Peraturan Prosedur BANI, ICSID, dan Peraturan Arbitrase UNCITRAL, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.


(2)

________Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

________Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991. ________Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Ichsan, Ahmad, Kompendium Tentang Arbitrase Perdagangan International (Luar Negeri), Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.

Juwana Hikmahanto, Pembantalan Putusan Arbitrase Internasional oleh

Pengadilan Nasional, Jurnal Hukum Bisnis, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Volume 21, Oktober-November 2002, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.

Longdong, Tineke Louise Tuegeh, Azas Ketertiban Umum & Konvrensi New York 1958, Citra Aditya Bakti Bandung, 1998.

Kantaatmadja, Komar, Beberapa Hal Tentang Arbitrasi, FH-Unpad, Bandung, 1989.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999.

Rajagukguk, Erman, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2001.

Soemartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.

________Gatot, Analisis Yuridis Keefektifan Penggunaan Arbitrase International (UNCITRAL) Melawan Pertamina, Lembaga Penelitian dan Publikasi Ilmiah Universitas Tarumanegara, Jakarta, 2003.

Subekti, R, Arbitrase Perdagangan, Binacipta, Bandung, 1981.

________R, Kumpulan Karangan Hukum Perikanan, Arbitrase dan Peradilan, Alumni, Bandung, 1980.

Umar, M. Husseyn, dan A. Supriyani kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Komponen Hukum Ekonomi ELIPS Project, Jakarta, 1995.

Usman, Rachmadi, Hukum Arbitrase Nasional, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2002.

Yuhassaire, Emmy ed, Interaksi antara arbitrase dan proses kepailitan, Prosiding, Pusat Kajian Hukum, Jakarta, 2005.


(3)

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

Goodpaster, Gary, Felix Oetoeng, Soebagjo dan Fatimah Jatim, Arbitrase di Indonesia Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan dalam Praktek, Dalam Arbitrase Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995.


(4)

BAB III

ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS NASIONAL DAN INTERNASIONAL

A. Eksistensi Lembaga Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Nasional dan Internasional.

1. Eksistensi Lembaga Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Nasional Apabila diperhatikan nampaknya ada sikap mendua dalam sistem pengadilan di Indonesia untuk dapat menerima kekuatan mengikat yang bersifat final dan mempunyai daya eksekusi atas suatu putusan perkara yang dilakukan melalui arbitrase, terutama oleh arbitrase internasional. Bahkan menurut sistem hukum Indonesia, terhadap arbiter dapat diajukan tuntunan ingkar apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.35

Terhadap putusan arbitrase Internasio hukum di Indonesia dapat melakukan pengingkaran pengaku (denial of awards) akan substansi yang telah diputus oleh lembaga arbitrase internasional, dan juga terhadap eksekusi (denial of awards) terhadap objek arbitrase yang ada di wilayah jurisdiksi hukum Indonesia. Pada Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 dibawah sub judul arbitrase internasional berbunyi : Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dari pengertian Pasal tersebut bukan saja pengadilan berwenang untuk menolak mengeksekusi suatu putusan

35

Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 21.


(5)

arbitrase, bahkan memiliki kewenangan untuk menolak pengakuan terhadap materi yang telah diputuskan oleh lembaga arbitrase internasional.

Pengakuan atas daya ikatan putusan arbitrase, diletakkan di bawah sub judul arbitrase nasional, pada pasal 60 yang berbunyi : Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Di sisi lain dalam pasal 456 Rv atau Hukum Acara Perdata menyebutkan bahwa pengadilan Indonesia tidak akan mengakui dan melaksanakan putusan pengadilan yang dibuat di negara lain. Dengan kata lain, apabila hendak mengeksekusi suatu putusan arbitrase Internasional, pihak yang bersangkutan harus mengajukan gugatan baru di Indonesia.

Selanjutnya dalam Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :36

a. Putusan Arbitrase Intemasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase disuatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupu n multiteral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;

b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaiman dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;

c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaiman dimaksud dalam huruf a hanya

dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan keterlibatan umum;


(6)

d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan

e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang

menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekutor dari Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Berdasarkan Pasal 3 UU no. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terkait dengan perjanjian arbitrase. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa rumusan pasal tersebut adalah mendua (ambiguite) dan tidak jelas (unplain meaning). Kemudian dalam Pasal 11 ayat 2 UU No. 30 Tahun 1999 mengatur bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan di dalam suatu sengketa yang telah ditetapkan dalam undang-undang ini.37

Namun, apabila satu pihak menganggap bahwa sengketa perdata mereka adalah sengketa kepailitan berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004, maka pihak tersebut akan melihat ada celah untuk memeriksakan perkara tersebut ke Pengadilan Niaga yang adalah salah satu perangkat pengadilan negeri. Apabila seseorang dinyatakan pailit, maka pada dasarnya telah terjadi sita jaminan terhadap seluruh kekayaannya, dan dia tidak cukup lagi untuk melalakukan perkaitan perdata. Seluruh kewenangan pengurusan harta kekayaannya telah beralih kepada kurator. Kurator tidak terkait

37


(7)

dengan perjanjian arbitrase yang dibuat semula oleh debitur pailit dengan mitra bisnisnya.38

Salah satu contohnya adalah dalam perkara kasasi (perkara no. 019/K/N/1999). Amar putusannya antara lain menyatakan bahwa legal effect arbitrase sebagai extra judicial tidak dapat menyingkirkan kedudukan dan kewenangan Pengadilan Niaga untuk menyelesaikan permohonan yang berkategori insolvensi atau pailit berdasarkan UU No. 4 Tahun 1998, meskipun lahirnya permasalahan insolvensi tersebut bersumber dari perjanjian utang yang mengandung klausa arbitrase. Betapa dinamis dan fleksibelnya pengertian pelanggaran terhadap ketentuan umum, dan persyaratan causa halal dapat dilihat pada putusan MA No. 1205.K/Pdt/1990, menyangkut suatu kasus impor gula oleh swasta Indonesia dari swasta di Inggris, dimana dalam kontraknya dinyatakan bahwa sengketa diselesaikan melalui arbitrase. Namun ketika akan diminta untuk dieksekusi di Indonesia, Pengadilan di Indonesia berpendapat bahwa sengketa diselesaikan melalui arbitrase. Namun ketika akan diminta untuk dieksekusi di Indonesia, Pengadilan di Indonesia berpendapat bahwa esksekusi tidak, dapat dilaksanakan karena mengandung causa yang tidak halal, dan melanggar ketertiban umum. Ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa pada waktu itu satu-satunya Badan yang diberi kewenangan mengimpor gula adalah BULOG. Pengadilan Indonesia memutuskan bahwa putusan hakim negara lain tidak mempunyai daya ikat di Indonesia. Bahkan karena hanya menyangkut titel eksekutorial, penetapan MA hanya bersifat prima facie, tidak perlu melakukan penilaian hukum atas isi perjanjian yang dibuat para pihak

38

Emmy Yuhassaire, ed., Interaksi antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Prosiding, Pusat Kajian Hukum, Jakarta, 2005, hal.


(8)

yang bersengketa.39

39

Ibid, hal. 40.

Salah satu kasus yang dapat dijadikan analisa adalah sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas Corporation (KBC) bermula dengan ditandatanganinya perjanjian Joint Operation Contrac (JOC) pada tanggal 28 November 1994. Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di satu pihak dan Pertamina serta KBC pada pihak lain menandatangani perjanjian Energy Supply Contrac (ESC). Perjanjian kerjasama ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan tenaga panas bumi yang ada di Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam perjalanannya ternyata proyek kelistrikan ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997 tertangga120 September 1997. Dampak penanggulangan adalah kerjasama Pertamina dengan KBC tidak dapat dilanjutkan.

KBC pada tanggal 30 April 1998 memasukkan gugatan ganti rugi ke Arbitrase Jenewa sesuai dengan tempat penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak dalam JOC. Pada tanggal 18 Desember 2000 Arbitrase Jenewa membuat putusan agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC, kurang lebih sebesar US$ 261.000.000.

Agar putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sekarela melaksanakannya. Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan (dismis) karena tidak dibayarnya uang deposit sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court.


(9)

Majelis arbitrase telah salah menafsirkan force majeure, sehingga mestinya Pertamina tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas sesuatu yang di luar kemampuannya. Di samping itu, Majelis Arbitrase dianggap telah melampaui wewenangnya karena tidak menggunakan hukum Indonesia, pada hal hukum Indonesia adalah yang harus dipakai menurut kesepakatan para pihak, Majelis arbitrase hanya menggunakan hati nuraninya sendiri berdasarkan pertimbangan ex aequeo et bono.

Dalam kasus ini hal ketertiban umum tidak tersinggung-singgung. Pada hal adalah sangat nyata, bahwa alasan tidak dapatnya Pertamina memenuhi kewajiban kontraknya adalah karena larangan dari Pemerintah Negara Indonesia yang berdaulat melalui Keppres No. 39 Tahun 1997 tanggal 20 September 1997 tentang Penangguhan/pengkajian kembali proyek Pemerintah, badan usaha milik Negara, dan swasta yang berkaitan dengan pemerintah/badan usaha milik Negara pada amar menimbangnya jelas-jelas dinyatakan bahwa Keputusan Pemerintah tersebut terkait dengan upaya mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan nasional, serta berdasarkan landasan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden. Jelaslah di sini, bahwa penafsiran, perluasan dan pemaknaan pengertian kepentingan umum dan causa yang halal sangat situasional dan kontekstual yang dapat melebar dan meluas keluar dari wilayah hukum dan memasuki wilayah pertimbangan polotik, ekonomi dan lain-lain.40

Memang dalam hukum perdata internasional, ada asas yang menyatakan apabila pemakian dari hukum asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi-sendi azasi hukum nasional, hakim dalam hal-hal pengecualian, dapat

40 Emmy Yuhassaire, ed,


(10)

mengesampingkan hukum asing ini. Tetapi pengesampingan tersebut haruslah sedemikian rupa alasannya, agar tidak tergelincir menjadi kebanggaan sempit pada hukum nasional, yang oleh Sudargo Gautama diistilahkan dengan chauvinisme yuridis.41

Menurut Hikmahanto Juwana, dalam kasus tersebut Putusan Arbitrase internasional tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan nasional. Kalaupun pengadilan nasional melakukan pembatalan, pengadilan di negara lain yang sedang diminatkan untuk melaksanakan putusan arbitrase dapat saja tidak terikat, bahkan mengabaikannya. Beberapa hal yang menjadi catatan Hikmahanto adalah

Di sisi lain, apabila hukum nasional tertentu dikesampingkan, dan sebaliknya meng adopt bagian tertentu dari hukum internasional untuk kepentingan sesaat dan konteksual, hal ini dapat dikatagorikan sebagai penyeludupan hukum. Kasus Karaha Bodas Compani adalah kasus hukum perdata Internasional di bidang hukum kontrak lnternasional yang menarik. Sayangnya putusan Pengadilan di Indonesia menganai pembataan kasus tersebut tidak komprehensif dari sisi legal.

42

a. Dasar Kewenangan Pengadilan di Indonesia Hikmahanto membedakan

antara pembatalan dengan penolakan putusan arbitrase adalah bahwa terhadap putusan arbitrase yang dibatalkan, pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang proses arbitrase. Putusan arbitrase yang dibatalkan, akan menafikan (seolah tidak pernah dibuat) putusan arbitrase tersebut.

:

41

Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata lnternasional Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal. 55.

42

Hikmahanto Juwana Pemhatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional, Jurnal Hukum Bisnis, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Volume 21, OktoberNovember 2002, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, hal. 68.


(11)

Dalam hal ini Pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa pokok perkara, tetapi hanya terbatas pada memeriksa keabsahan dari segi prosedur pengambilan putusan arbitrase, seperti pemilihan para arbiter dan pemberlakuan hukum dipilih. Dalam pembatalan putusan arbitrase pengadilan dianggap bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak. Sedangkan penolakan putusan arbitrase tidak berarti pengadilan menafikan putusan tersebut, melainkan tidak dapatnya putusan arbitrase dilaksanakan di yurisdiksi pengdilan yang telah menolaknya. Apabila ternyata di negara lain masih ada aset dari pihak yang dikalahkan, pihak yang dimenangkan masih dapat meminta eksekusi di pengadilan negeri tersebut.

Menurut Hikmahakto, kewenangan pengadilan negeri di Indonesia untuk mengadili kasus KBC di Indonesia, harus dipertanyakan. Dalam proses arbitrase paling tidak ada tiga jenis hukum yang berlaku, yaitu hukum

material (substantive law), hukum acara yang mengikat atau

(governing/curial law) dan hukum dari suatu negara yang mendasari penyelesaian sengketa (lex arbitri). Dari ketiga jenis hukum tersebut tidak satu jenis pun yang memberi kewenangan kepada pengadilan Indonesia untuk mengadili perkara dimaksud. Dalam kasus Kahara Bodas Company (KBC), hukum yang digunakan adalah hukum Switzerland (Swiss).


(12)

Upaya hukum yang dilakukan pertamina atas putusan arbitrase Jenewa, pertamina tidak bersedia secara sukarela malaksanakannya. Sebagai upaya hukum, pertamina telah meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan (dinamis) karena tidak dibayarnya uang diposit sebagai mana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court. Hikmahanto berpendapat upaya hukum melalui pengadilan Swiss lah yang benar. Pengadilan Swiss adalah pengadilan yang berwenang untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase Jenewa berdasarkan dua alasan. Pertama, Pertamina dan KBC telah menentukan saa arbitrase dalam JOC di Jenewa, dan kedua putusan arbitrase Jenewa di boat di Swiss.


(13)

Sebagai pihak yang kalah perlu dipertanyakan mengapa justru Pertamina yang melakukan pendaftaan arbitrase Jenewa di Indonesia. Apabila dimaksudkan untuk melakukan pembatalan agar memenuhi asas pendaftaran sesuai pasal 71 UU 30 Tahun 1999, dan alasan tersebut dapat diterima oleh majelis hakim, pendirian yang tidak tepat. Kewenangan Pengadilan Negeri di Indonesia untuk membatalkan putusana arbitrase hanyalah yang terbatas pada putusan arbitrase yang di buat di Indonesia. Terhadap putusan arbitrase asing, kewenangan yang ada hanyalah terbatas dalam konteks pelaksanaan (eksekusi) suatu putusan. Belakangan, memang Hikmahanto tersebut di atas nampaknya sejalan dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Edward Baldwin et al mencatat, pada akhirnya putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut di atas, dibatalkan oleh Mahkamah Agung atas dasar bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa perkara itu, dan juga tidak berwenang untuk memutuskan Maim KBC. Jadi, akar masalahnya adalah dari Keppres atau Pengaturan Pemerintah yang menyebabkan Pertamina tidak dapat memenuhi kewajiban Pertamina tidak dapat memenuhi kewajiban kontraktualnya, maka apabila ada konsekuensi hukum dan klaim atau kerugian yang ditimbulkannya, soyogianya hal tersebut harus diambil alih oleh Pemerintah. Mengikuti ketentuan Pemerintah tidak boleh mendatangkan kerugian bagi diri sendiri. Hal ini dalam konstruksi hukum dapat dianalogkan dengan adagium umum pada hukum perdata dimana seorang bawahan tidak dapat dipersalahkan dari akibat


(14)

perbuatannya yang sekedar melaksanakan perintah yang dipersalahkan dari akibat perbuatannya yang menugaskannya.43

Kesepakatan atau aturan main yang perlu disepakati dalam arbitase tersebut adalah menyangkut pilihan hukum (choice of law), pilihan forum (choice of jurisdiction) dan pilihan domisili (choice of domicile). Namun, sekalipun telah ada penyepakatan di depan atas cara-cara penyelesaian sengketa tersebut, dalam implementasinya

2. Eksistensi Lembaga Arbitrase Datam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional

Hukum Kontrak, sebagai bagian dari hukum perdata memiliki beberapa asas yang bersifat universal seperti asas kebebasan berkontrak (party authonomy), kontrak mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, serta asas sepakat. Para pihak yang terlibat dalam kontrak atau perjanjian dimana isi yang diperjanjikan melewati batas satu negara, dalam hal timbul suatu sengketa perlu menetapkan terlebih dahulu cara-cara untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Salah satu upaya untuk menyelesaikan sengketa adalah dengan arbitrase.

Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesain sengketa umum, yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara adalah cara penyelesaian sengketa umum, yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Adapun perjanjian arbitrase diartikan sebagai suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

43


(15)

tidaklah mudah. Komplikasi yang muncul terutama dari pihak yang tidak menerima basil arbitrase antara lain adalah menyangkut kompetensi para pihak, kompetensi pengadilan. prosedur (proceedings) beracara, materi yang dipersengketakan, sampai kepada daya eksekusi dari putusan arbitrase tersebut. Paper ini akan mengangkat kasus kontemporer di Indonesia, yaitu sengketa antara Pertamina dengan Karaha Bodas Company menyangkut perselisihan sehubungan dengan pemutusan kontrak. Sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas Corporation (KBC) bermula dengan ditandatangani perjanjian Join Operation Contract (JOC) pada tanggal 28 November 1994. Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di satu pihak dan Pertamina serta KBC pada pihak lain menandatangani perjanjian Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian kerjasama ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan tenaga panas bumi yang ada di Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam perjalananya ternyata proyek kelistrikan ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan presiden No. 39 tahun 1997 tertanggal 20 September 1997. Kasus ini menarik untuk diangkat, karena selain adanya perlawanan dari pihak yang dikalahkan oleh Pengadilan arbitrase, juga adalah karena timbulnya kasus tersebut tidak terlepas dari kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia, yang sebenarnya bukan merupakan pihak dalam perjanjian, tetapi dampak kebijakan tersebut mempengaruhi kemampuan pemenuhan isi Kontrak.44

Hukum kontrak Internasional, sebagai bagian dari hukum perdata Internasional, pada dasarnya adalah hukum kontrak nasional, dimana ada unsur asingnya. Setiap negara memliki kedaulatan hukum tersendiri, dan tidak ada satu sistem hukum

44 Ibid.


(16)

nasional. termasuk pengaturan dan kedaulatan pemerintah suatu negara dalam mengartikan kepentingan publik, tidak boleh diabaikan dalam membuat suatu kontrak yang berdimensi Internasional. Pendapat Sudargo Gautama yang memandang kontrak internasional sebagai bagian dari sistem kontak nasional telah diakui sebagai doktrin.

Dalam kontrak-kontrak berdimensi internasional, penentuan pilihan hukum (choice of law) adalah sangat penting untuk menghindarkan terjadinya conflict of law, mengingat para pihak yang terlibat, tempat transaksi dan sistem hukum yang terkait, tempat transaksi dan sistem hukum yang terkait berbeda-beda dan bahkan mungkin bertentangan atau berkebalikan antar satu jurisdiksi hukum dengan jurisdiksi hukum lainnya. Bahkan sekalipun choice of law telah ditetapkan dalam suatu kontrak atau perjanjian, hukum perdata internasional tetap menyisakan persoalan-persoalan mendasar dalam proceedings suatu perkara. Hal ini berakar dari perbedaan kualifikasi antara berbagai sistem hukum perdata internasional di dunia. Perbedaan kualifikasi itu terutama terdapat dalam tiga golongan besar, yaitu :45

Pengakuan sistem peradilan di Indonesia akan arbitrase telah berlangsung sejak jaman kolonial. Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif dalam penyelesaian sengketa keperdataan telah mendapat pengakua formal yuridis dalam

a. Kwalifikasi menurut lex.fori (yaitu menurut hukum hakim)

b. Kualifikasi menurut lex cau.sae (yaitu hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan Hukum Perdata Internasional yang bersangkutan). c. Kualifikasi secara otonom (outonomen qualification), berdasarkan "comparative

method atau analytical jurisprucation.

45


(17)

sistem hukum Indonesia. Jejak aturan-aturan tersebut antara lain dapat dilihat pada pasal 377 HIR, Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1968, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1999 dan teranyar dalam UU No. 30 Tahun 1999. Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Adapun perjanjian arbitrase diartikan sebagai suatu kesepakatan berupa kausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.46

Pokok-pokok materi yang diatur dalam konvensi tersebut antara lain adalah :

Konvensi New York 1985 yaitu Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award (konvensi atas pengakuan atas pelaksanan putusan arbitrase luar negeri) yang telah diterima/diaksesi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 merupakan pengakuan resmi arbitrase internasional dalam sistem tata hukum nasional di Indonesia.

47

b. Asas resiprositas, berarti penerapan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing dalam suatu negara atas permintaan dari negar lain, a. Arti putuasn arbitrase asing, yaitu putusan-putusan arbitrase yang dibuat di wilayah negara lain dari negara tempat di mana diminta pengakuan dan pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase yang bersangkutan.

46

Sudargo Gautama, Arbitrase Luar ,Negeri dalam Pemakaian Hukum Indonesia,

Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 134. 47

Tineke Louise Teugeh Longdong, Asas Ketertihun Umum & Korrvensi New York 1958,


(18)

hanya dapat diterapkan apabila antara negara yang bersangkutan telah ada lebih dulu hubungan ikatan bilaterral atau multiteral.

c. Pembatasan sepanjang sengketa dagang, negara peserta membatasi penaklukan diri hanya terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, sepanjang mengenai persengketaan bisnis dan perdagangan

d. Berbentuk tertulis, yakni perjanjian atau klausula harus ditetapkan secara tertulis e. Arbitrase memiliki kompetensi absolut, artinya sekali para pihak membuat persetujuan penyelesaian perselisihan melalui arbitrase, sejak saat itu arbitrase telah memiliki kompetensi absolut utuk memutus persengketaan yang timbul dari perjanjian yang bersangkutan.

f. Putusan arbitrase, final and binding, artinya sebagai putusan yang mengikat dan binding serta harus melaksanakan eksekusi menurut aturan hukum acara yang beraku dalam wilayah negara di mana putusan arbitrase yang bersangkutan dimohon eksekusi

g. Eksekusi tunduk pada asas ius sanguinis, atau asas personalitas, yaitu tata cara pelaksanaan eksekusi tunduk pada pengadilan di mana permohonan eksekusi diaj ukan

h. Dokumen yang dilampirkan pada permohonan pengakuan eksekusi, meliputi seluruh dokumen sebagai dasar terbitnya putusan arbitrase tersebut

i. Penolakan eksekusi, dapat dimungkinkan apabila

a) Masalah yang disengketakan menurut hukum dari negara di tempat mana permohonan diajukan, tidak boleh diselesaikan menurut forum arbitrase b) Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang bersangkutan akan


(19)

Makna arbitrase yang menjadi pilihan para pihak dalam kontrak adalah untuk:48

Pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dimaksudkan para pihak untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang cepat, murah dan efektif. Kesepakatan para pihak tersebut diharapkan tidak akan diingkari sesuai dengan asas pacta sunt servanda mana kala ada sengketa, untuk menyelesaikan melalui jalur arbitrase. Namun demikian, pihak yang dikalahkan dalam arbitrase, sering kali mencalleng keputusan arbitrase, naik atas dasar bahwa arbitrase tidak memiliki kewenangan dalam memutuskan materi yang menjadi objek sengketa, atau para arbiter bertindak tidak sesuai dengan prinsip- prinsip keadilan, cover both side atau impartiaitas. Lebih jauh lagi, sering keputusan murni bisnis dalam arbitrase, dikaitkan dengan penekanan atau campur tangan politis negara kuat tertentu yang menekan salah satu pihak yang berpekara.

a) Arbitrase adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak.

b) Arbitrase adalah pranata swasta ( Private tools)atau ekstra-judicial atau mekasnisme penyelaian diluar pengadilan.

c) Eksiitensi arbitrase adalah pada prinsip kemandirian yang dimilikinya.

d) Sumber atau dasar hukum jurisdiksi dan ruang lingkupnya adalah ditentukan dan dibatasi oleh kehendak para pihak sendiri, dalam arti pada pihak yang bersengketa dapat menentukan sendiri aturan hukum yang akan diberlakukan, dengan prosedur atau hukum acara apa, maupun dapat menyepakati lain dengan cara bagaimana arbitrase dijalankan.

48


(20)

Berdasarkan aturan normatif apabila para pihak sepakat untuk melalui arbitrase, sesungguhnya tidak ada lagi kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa substansi sengketa tersebut. Namun dengan berbagai alasan pengadilan negeri di Indonesia atau eksekusinya tidak dilaksanakan, membuat banyak pihak mempertanyakan efektivitas eksekusi putusan arbitrase dalam sistem hukum indonesia. Hal-hal seperti conflic of law, error in persona,mempertanyakan jurisdiksi pengadilan adalah alasan yang legally umum disampaikan para lawyer. Hal ini sering diplesetkan, bukan merupakan conflict of law, tetapi conflict of lawyer.49

Kepentingan umum atau ketertiban umum, itu sendiri mengandung batasan yang sangat longgar, multi tafsir dan dapat merubah menurut waktu dan tempat. Ketertiban umum juga ada yang bermakna internal ( internal public order) dan ada juga yang menyangkut internasional order. Ketertiban umum intern adalah ketentuan ketentuan yang hanya membatasi perseorangan sedangkan ketertiban umum eksternal adalah kaidah kaidah yang bertujuan untuk melindungi kesejahteraan negara dalam pengertian seluruhnya. Namun dalam implementasinya, hal ini tidak terlalu mudah dibedakan. Setiap negara memiliki aturan, kaidah dan ukuran ketertiban umunya sendiri. Contohnya, di Mesir adalah hal yang lumrah dan sesuai dengan panggilan nurani apabila dilaksanakan di Prancis.50

Perumusan atau konstruksi hukum pada konvensi New York 1985 mengandung beberapa Kontrovensi, ambiguitas dan contradictio in terminis dalam klausul- klausulnya. Di satu pihak, konvensi tersebut menegaskan bahwa arbitrase sebagai ekstra judical untuk penyelesaian perkara memiliki kompetensi absolut,

49

Komar Kantaatmadja,beberapa hal tentang arbitrase, FH-Unpad,Bandung,1989.hal 12.

50


(21)

namun disini lain juga membukan ruang kepada para negara anggota untuk mengesampingkan keputusan arbitrase manakala hal tersebut dianggap bertentangan dengan kepentingan umum, dan memperjanjikan hal hal yang tidak boleh diperjanjikan menurut hukum negara tertentu (causa tidak halal). Bahkan sekiranya tidak bertentangan dengan aturan hukum materiil di suatu negara, eksekusinya tergantung pada Pemerintah Negara dimana objek sengketa berada. Apakah kepentingan Umum? Kriteria kepentingan umum ini adalah sesuatu yang sangat longgar dan berbeda-beda di masing-masing negara. Bahkan dalam satu negara pun, kepentingan umum dapat berbeda pemahaman dan artinya dalam rentang dimensi waktu, ruang tempat dan subjec yang berbeda. Karena itu Tineke Longdong menyarankan agar konsepsi ketertiban umum ini dipergunakan seirit mungkin. Sedemikian fleksibelnya pengertian kepentingan umum (public policy) tersebut, sehingga menggurangi efectivitas suatu Putusan Arbitrase dengan dalih dan dalil melanggar kepentingan nasional negara lainya tidak dapat memaksakan eksekusinya di negara tersebut. Setiap negara memiliki kedaulatan hukumnya masing-masing. Paling jauh yang dapat dilakukan adalah semacam hukuman kolektif yang sifatnya non legal seperti pemboikotan quata dan tindakan hostile lainya. Ditarik dan diperluasnya persoalan bisnis antar entitas non negara menjadi seolah-olah karena faktor pemerintah negara sehingga diarahkan ke hukuman kolektif, adalah karena ada anggapan bahwa tidak dipatuhinya putusan arbitrase oleh para pihak terutama pihak yang kalah adalah sebagian campur tangan atau pengaruh negara tuan rumah. Negara dalam hal ini didalilkan memiliki state responsibility kepada warganya.51

51

Yudha Bhakti, Beberapa Catatan Tentang Badan penyelesaian Sengketa; Arbitrase, makalah disampaikan pada Kuliah Umum Hukum International di Fakultas Hukum UMY April, 2001


(22)

B. Perkembangan Penggunaan Lembaga Arbitrase untuk Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia

Dalam era global seperti sekarang ini dunia seolah-olah tanpa batas (borderless), orang bisa berusaha dan bekerja di manapun tanpa ada halangan, yang penting dapat menghadapi lawannya secara kompetitif. Suatu hal yang sering dihadapi dalam situasi semacam ini adalah timbulnya sengketa. Sengketa merupakan suatu hal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa sengeketa mulai dikenal sejak adanya manusia, di mana ada kehidupan manusia di situ ada sengketa. Oleh karena itu, sengketa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari sengketa ini dapat berwujud sengketa antara sesama rekan bisnis, antarkeluarga, antarteman, antara suami dan istri, dan sebagainya.

Sengketa yang timbul dalam kehidupan manusia ini untuk diselesaikan. Masalahnya, siapa yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut? Cara yang paling mudah dan sederhana adalah para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketa tersebut melalui forum yang pekerjaannya atau tugasnya memang menyelesaikan oleh negara adalah "Pengadilan", sedangkan yang disediakan oleh lembaga swasta adalah "Arbitrase". Penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan sering disebut juga dengan Alternative Dispute Resulution (ADR) atau dalam istilah Indonesia diterjemahkan menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Istilah ”alternatif” dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa, memang dapat menimbulkan kebingunan, seolah-olah mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada akhirnya khususnya dalam sengketa bisnis akan menggantikan proses litigasi di pengadilan. Dalam kaitan ini dipahami terlebih dahulu bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang


(23)

berdampingan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadialan. Selanjutnya, Alternatif Penyelesaian Sengketa lazimnya dilakukan diluar yuridiksi pengadilan. Sama seperti ”pengobatan alternatif”, bahwa pengobatan alternatif sama sekali tidak mengeliminasi ”pengobatan dokter”. Bahkan terkadang duanya saling berdampingan, begitu juga dengan alternatif penyelesaian sengketa dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat berjalan saling berdampingan. Oleh karena itu, para hakim tidak khawatir dengan digunakannya mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengket, pengadilan menjadi kurang pekerjaan.52

Meskipun Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak dianggapi sebagai pengganti dari forum pengadilan, namun jangan dilupakan bahwa faktanya UU NO. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup menganut bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sedangkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa secara inplisit menganut paham bahwa arbitrase merupakan hal yang berbeda dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sehingga judul UU tersebut adalah Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Teknik atau prosedur teknis Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar pengdilan yang sudah lazimnya dilakukan adalah negosiasi, konsiliasi, mediasi dan arbitrase. Arbitrase merupakan cara yang paling dikenal dan paling banyak digunakan oleh kalangan bisnis dan hukum. Teknik negosiasi, mediasi dan konsiliasi tidak dikenal di Indonesia. Namun. secara tidak sadar masyarakat Indonesia telah menerapkan mekanisme Alternatrif Penyelesaian Sengketa, yakni yang disebut musyawarah untuk mufakat. Asas musyawarah untuk mufakat telah lama dikenal dan diperomosikan oleh pemerintah sebagai suatu budaya bangsa Indonesia.

52

Wicipto Setiadi,Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR),


(24)

Alternatif Penyelesaian Sengketa dianggap sebagai alternatif oleh mereka yang sangat kritis terhadap sistem peradilan Indonesia. Kelembaban proses perkara ( di Mahka_mah Agung ) dilihat sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah sebagai kelemahan dan sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah berpolitik, persengkokolan ( KKN ), dan tuduhan bahwa mereka bobrok atau rusak.

Alternatif Penyelesaian Sengketa sebetulnya telah lama digunakan masyarakat tradisional di Indonesia dalam rangka menyelesaikan sengketa di antara mereka. Mereka lazimnya menempuh musayawarah untuk mufakat dalam berbagai sengketa. Mereka tidak menyadari bahwa sebetulnya musyawarah untuk mufakat adalah embiro dari Alternatif Penyelesaian Sengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa tradisional dianggap sangat efektif dan merupakan suatu kesalahan jika sengketa itu dibuka ditengah masyarakat. Dalam banyak sengketa, orang lebih suka mengusahakan suatu dialog (musyawarah), dan biasanya minta pihak ke tiga, kepala desa atau suku, untuk bertindak sebagai mediator (perantara), konsiliator, atau malahan sebagai arbiter. Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa tradisional biasanya dapat mencairakan suatu keputusan yang dianggap adil dan dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat dalam sengketa.53

Permasalahanya, tradisi dan mekanisme musyawarah untuk mufakat yang hidup dalam masyarkat indonesia belum secara langsung dikaitkan dengan hukum nasional. Artinya , ” hukum adat” dan ” hukum nasional” hidup dalam dunia yang berbeda. Sebagai contoh, BANI sendiri tidak menerapkan konsep alternatif penyelesain sengketa tradiosinal. Pemahaman terhadap hukum yang hidup

53 ibid


(25)

masyarakat itu sangat penting. Suatu hukum yang tidak mengakar ke dalam kebudayaan hukum masyarakat, biasanya tidak mudah mendapatkan dukungan dalam pelaksanaanya. Oleh karena itu, lebih baik memperkuat hukum yang hidup dalam masyarakat untuk memperoleh suatu pemecahan melalui hukum adat dan praktik kebiasaan. Begitu juga dengan pengembangan Alternatif Penyelesain sengketa perlu diperkuat pengembangan Musyawarah untuk mencapai mufakat yang masih hidup dalam masyarakat, dan mengembangkanya menjadi metode Alternatif Penyelesaian Sengketa yang bisa diterima secara nasional.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dewasa ini aspirase untuk pengembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa semakin banyak, terutama dari masyarkat bisnis. Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki beberapa keuntungan dan mentaat ketimbang penyelesaian sengketa secara informal, sukarela, dengan kerja sama langsung antara kedua belah pihak, dan didasarkan pasa pemecahan sengketa yang saling menguntungkan.

Dukungan dari masyarkat bisnis dapat dilihat dari klausul perjanjian dala berbagai kontrak belakang ini. Saat ini kaum bisnis Indonesia sudah biasa mencantumkan klausul Alternatif Penyelesaian Sengketa yang tercantum dalam kontrak adalah : ”Semua sengketa Yang mungkin timbul antara kedua belah pihak dan hasilnya akan dibuat secara tertulis. Jika sengketa tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah, maka para pihak sepakat untuk membawa perkaranya ke pengadilan”. Klausul ini merupakan perkembangan yang menarik dan akan mempercepat pengembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia.54

Faktor penting yang berkaitan dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa

54 Ibid.


(26)

adalah kedudukan yang independen (mandiri) dan netral dari lembaga clan aparaturnya (mediator, konsilator, arbiter). Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak mempunyai hubungan dengan lembaga yang berlaku setiap putusan arbirase harus didaftarkan pada pengadilan.

Sadar atau tidak Alternatif Penyelesaian Sengketa sebenarnya sudah sejak lama dikenal di Indonesia. Lembaga-lembaga hukum adat sebenarnya melakukan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berdampingan dengan forum pengadilan. Memang Alternatif Penyelesaian Sengketa yang telah dikenal ini diartikan secara luas, yaitu bukan untuk menyelesaikan sengketa dagang atau bisnis saja, tetapi termasuk juga sengketa-sengketa lain. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Arbitrase yang juga mengatur tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa harus diinterprestasikan sebagai penyelesaian sengketa khusus untuk bidang perdata (yagn berkaitan dengan arbitrase).

Lembaga-lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang telah dibentuk di Indonesia antara lain: Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), Pusat Perselisihan Bisnis Indonesia (P3BI), Indra (Perkasa Jakarta).


(27)

BAB IV

KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENYELESAIKAN BISNIS YANG MENGANDUNG KLASUL ARBITRASE

A. Pelaksanaa Putusan Arbitrase Nasional

Dalam UU No. 30 Tahun 1999 tidak dirumuskan pengertian putusan arbitrase nasional, yang ada rumusan pengertian putusan arbitrase internasional. Di dalamnya disebutkan, putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

Secara penafsiran argumentum a contrario dapat dirumuskan bahwa putusan arbitrase nasional adalah putusan yang dijatuhkan di wilayah hukum Republik Indonesia berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia. Sepanjang putusan tersebut dibuat berdasarkan dan dilakukan di Indonesis, maka putusan arbitrase ini termasuk dalam putusan arbitrase nasional.

Untuk menentukan apakah putusan arbitrase itu merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional, didasarkan prinsip kewilayahan (territory) dan hukum yang digunakan dalam penyelesaian sengketa arbitrase tersebut. Di samping berdasarkan tempat dijatuhkan putusan arbitrase, juga didasarkan hukum yang digunakan para pihak dalam menyelesaikan sengketa arbitrase tersebut. Jika mempergunakan hukum asing sebagai dasar penyelesaian sengketanya, walaupun putusannya dijatuhkan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, putusan arbitrase tersebut tetap merupakan putusan arbitrase internsional. Sebaliknya, walaupun para


(28)

pihak yang bersengketa itu bukan berkewarganegaraan Indonesia, tetap memprgunakan hukum Indonesia sebagai dasar penyelesaian sengketanya arbitrasenya, maka putusan arbitrase yang demikian merupakan putuasn arbitrase nasional, bukan putusan arbitrase internasional. Konvensi New York melalui Pasal l menentukan patokan yang demikian untuk mengklasifikasikan putusan arbitrase sebagai putusan arbitrase dalam negeri.55

Ciri putusan arbitrase asing yang didasarkan pada faktor teritorial, tidak menggantungkan syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata hokum. Meskipun pihak-pihak yang terlibat dalam putusan terdiri dari orang-orang Indonesia, dan sama-sama warga negara Indonesia, jika putusan dijatuhkan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, dengan sendirinya menurut hukum, putusan Dalam UU No. 30 Tahun 1999 telah dirumuskan pengertian putusan arbitrase internasional yang merupakan penegasan lebih Ianjut dari Peraturan Mahkamah Agung (PEMA) No. 1 Tahun 1990 tentang fata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Pasal 2 dari peraturan tersebut menegaskan, yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase ataupun arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase asing, yang berkekuatan hukum tetap. Dari rumusan yang ada, suatu putusan arbitrase akan dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase internasional atau asing, jika putusan arbitrase tersebut dijatuhkan di luar teritorial hukum Republik Indonesia. Sepanjang putusan arbitrase tersebut diputuskan di luar wilayah Republik Indonesia, maka putusan itu dikualifikasikan sebagai bagian dari wilayah hukum negara yang bersangkutan.

55

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 35.


(29)

tersebut dikualifikasikan menjadi putusan arbitrase asing. Dalam hal ini, faktor teritorial mengungguli maupun kesamaan tata hukum yang berlaku terhadap para pihak, tunduk sepenuhnya kepada faktor teritorial. Asal putusan dijauhkan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, sudah pasti tergolong dan disebut "putusan arbitrase asing".56

Dalam Konvensi New york 1958 tersebut, prinsip teritorial langsung dikaitkan dengan permintaan pengakuan dan eksekusi. Artinya untuk menegaskan apakah suatu putusan termasuk putusan arbitrase asing, apabila pengangkutan dan eksekusi yang dijatuhkan di luar teritorial suatu negara pengangkutan dan eksekusi kepada negara tersebut. Pengkaitan ini memang logis. Walaupun suatu putusan arbitrase dijatuhkan di luar wilayah dia itu putusan arbitrase asing atau tidak, apabila ada permintaan kepada Pengadilan Negeri agar putusan itu diakui dan dieksekusi. Pengertian yang sama juga dianut oleh Konveni New York 1958. Pasal 1 ayat (1) merumuskan pengertian putusan arbitrase asing dengan kata-kata : "arbiral awards made in the territory of a state other then the state where the recognition and enforcement ofsuch awards are sough, and arising out of differences between persons whether physical of legal ". Dan bunyi pasal tersebut, dapat diketahui kalau prinsip territory yang dijadikan dasar mengkualitikasikan suatu putusan arbitrase itu dijatuhkan di luar teritorial Republik Indonesia, maka putusan arbitrasenya dinamakan dengan putusan arbitrase asing atau internasional bilamana diputuskan di

luar wilayah dari negara yang diminta pengakuan (recognition) dan eksekusi

(enforcement).

56


(30)

Selama belum ada permintaan pengakuan dan eksekusi, kita akan perlu repot-repot untuk mengetahui dan meneliti setiap putusan yang dijauhkan diluar teritorial kita.57

Syarat permintaan pengakuan dan eksekusi pada dasarnya merupakan suatu kesatuan dengan pprinsip teritorial. Prinsip teritorial baru eksekusinya diminatkan kepada negara itu juga, dia tidak tergolong arbitrase asing, tapi termasuk putusan arbitrase domestik atau nasional.58

Pasal 59 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan batas waktu penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase nasional tersebut, yaitu dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan oleh arbiter atau Pengaturan pelaksanaan putusan arbitrase diatur sekaligus dalam suatu paket, agar UU No. 30 Tahun 1999 dapat dioprasikan sampai pelaksanaan putusan, baik yang menyangkut masalah arbitrase nasional maupun internasional dan hal ini secara system hokum dibenarkan. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional harus dilaksanakan oleh para pihak secara sukarela. Jika para pihak tidak bersedia memenuhi pelaksanaan putusan arbitrase nasional tersebut secara sukarela, maka putusan arbitrase nasional tersebut dilaksanakan secara paksa. Supaya putusan arbitrase nasional dapat dilaksanakan, putusan tersebut harus dideponir ini dilakukan dengan cara menyerahkan dan mendaftarkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya kepada penitera Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran dimaksud dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan bersama-sama pada bagian akhir atau kuasanya yang menyerahkan. Selanjutnya, catatan tersebut menjadi dan merupakan akta pendaftaran pututsan arbitrase nasional.

57

lbid, hal. 39.

58


(31)

majelis arbitrase. Bila tindakan deponis terhadap putusan arbiter nasional tidak dipenuhi, maka berakibat putusan arbitrase nasional yang bersangkutan tidak dapat dilaksanakan.

Tindakan deponis putusan arbitrase nasional bukan hanya meupakan tindakan pendaftaran yangbersifat administrasi belaka, tetapi telah bersifat konstitutif, dalam arti merupakan satu rangkaian dalam mata rantai proses arbitrase, dengan resiko tidak dapat dieksekusi putusan jika tidak dilakukan pendeponiran tersebut.59

59 Munir Fuady

, Op.. cit, hal. 162.

Putusan arbitrase nasional yang telah dicatat dalam akta pendaftaran di kepaniteraan Pengadilan Negeri harus sudah dilaksanakan secara sukarela paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Jika dalam waktu tersebut, putusan arbitrase nasional belum dieksekusi, maka dilakukan pelaksanaan secara paksa ini diberikan ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersangketa. Putusan arbitrase nasional yang telah dibubuhi perintah ketua Pengadilan Negeri, dapat dilaksanakan secara paksa, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara pardata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Putusan arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat, sehingga ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan untuk memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional. Kewenangan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional. Kewenangan memeriksa yang dipunyai ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau mejelis arbitrase. Pasal


(32)

sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase nasional jika terdapat alasan-alasan, sebagai berikut :60

Dari uraian di atas terlihat bahwa penolakan eksekusi oleh Pengadilan Negeri terhadap suatu putusan arbitrase hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan yang sangat terbatas dan khusus. Karena itu, penolakan eksekusi tersebut oleh Pengadilan Negeri oleh hukum sendiri di harapkan tidak akan menimbulkan distorsi terhadap sifat “final” dan “mengikat”nya suatu putusan arbitrase. Perintah pelaksanaan eksekusi ketua Pengadilan Negeri tadi ditulis pada lembar ash dan salinan autentik putusan arbitrase nasional uang dikeluarkan.

1. putusan dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbiter yang tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara sengketa arbitrase yang bersangkutan.

2. putusan dijatuhkan melebihi batas kewenangan arbiter atau majelis arbitrase yang diberikan oleh para pihak yang bersengketa.

a. sengketa yang diputus bukan sengketa di bidang perdagangan yang menjadi wewenang lembaga arbitrase untuk menyelesaikannya.

b. sengketa yang diputus bukan mengenai hak vang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

c. Sengketa yang diputus ternyata termasuk sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

3. putusan yang dijatuhkan ternyata bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

61

60

Huala Adolf, Arbitrase Dagang Internasional, Rajawali Press, Jakarta, 1994, hal.

61


(33)

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

1. Prinsip Final dan Binding

Putusan arbitrase internasional yang diakui dan dapat dijalankan di Indonesia, dianggap sebagai “suatu putusan arbitrase internasional yang berkekuatan hukum tetap” dari putusan arbitrase Internasional di Indonesia. Demikian isi Pasal 68 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 yang menentukan bahwa terhadap putusan arbirase Internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Sebelumnya, Pasal 2 PEMA No. I Tahun 1990 juga menegaskan hal yang sama. Demikian pula Pasal III New York Convention 1958 antara lain

menyatakan “each contracting state sha recognize arbitral awards as binding

and enforce them”. Demikian jelaslah bahwa setiap anggota konvensi berkewajiban (shall) mengakui putusan arbitrase internasional sebagai suatu

putusan yung mengikat ( binding) mempunyai kekuatan eksekusi terhadap para

pihak.62

Dengan adanya penegasan pengakuan putusan arbitrase internasional yang diajukan permintaan eksekutoral kepada pengadilan, sama halnya sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap, tidak ada alasan lagi untuk menolak atau menyatakan pemberian eksekutornya tidak dapat diterima, kecuali putusan

62 Huala Adolf,


(34)

melanggar asas-asas yang ditentukan. Di samping itu, dengan adanya penegasan ini, pengadilan tidak berwenang untuk mempermasalahkan materi putusan. Tugas pokoknya dalam menjalankan fungsi eksekutor, hanya meneliti apakah ada dilanggar asas-asas yang dilarang maupun penggaran atas aturan formal yang bersifat serius atau fundamental Bila tidak ada, dia harus memberi eksekutor. Bila ada, dia menolak memberi pemberian eksekutor.63

Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 antara lain menegaskan, putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia bila putusan tersebut dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase disuatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Demikian pula sebelumnya, Pasal 3 PEMA No. 1 Tahun 1990

2. Prinsip Resiproritas

Pengadilan dalam memberikan eksekutor juga harus berlandaskan pada prinsip resiproritas, yang berarti tidak semua putusan arbitrase Internasional dapat diakui dan dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia. Indonesia hanya akan mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase Internasional tersebut juga mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase Indonesia. Untuk itu, dipersyaratkan adanya ikatan secara bilateral maupun multiteral dengan Indonesia mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Inilah yang dimaksud dengan asas atau prinsip resiproritas atau timbal balik.

63


(35)

menentukan syarat pengakuan dan pekasanaan putusan arbitrase asing didasarkan atas asas timbal balik (resiprositas). Prinsip resiprositas ini pun juga diakui oleh hukum internasional. Pasal 1 ayat (3) New York Convention 1958 antara lain menyatakan : "any state may on the basis of reciprocity declare that it will apply the Convention to the Recognition and Enforcement of awards only in the territory of another Contrating Stage“. Dengan merujuk bunyi pasal 1 ayat (3) New York Convention 1958 dideklarasikan pernyataan prinsip resiprositas ini dalam Keputusan Presiden No.34 Tahun 1981, bahwa “the Government of Republic of Indonesia declares that it will apply the Convencation on the basis of reciprociyy”.

Sikap negara Indonesia yang berpegang teguh pada prinsip resiprositas mengenai pengakuan dan pengeksekusian putusan arbitrase internasional, merupakan landasan atas prinsip kedaulatan negara dan hukum maupun pengadilan negara dan bangsa Indonesia. Asas ini berpegang teguh pada prinsip saling hormat-menghormati diantara sesama bangsa dan negara lain. Kita akan hormat-menghormatinya apabila secara timbal balik dia juga menghormati kita. Kita akan mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase yang dijatuhkan di suatu negara. Penegasan ini bukan didasarkan atas sikap eksekusi. Tidak pula didasarkan atas sikap sempit dan ekstrim. Penegasan asas tersebut, didasarkan atas nilai-nilai hukum internasional yang secara universal telah berlaku sejak dulu dalam semua bidang kehidupan antar bangsa. Prinsip resiprositas yang terjalin sejak dulu antar kehidupan bangsa, meliputi semua aspek, termasuk bidang hukum.64

Putusan arbitrase internasional yang diakui dan dapat dilaksanakan di Indonesia, selain harus memenuhi syarat diatas, juga harus putusan yang menurut

64 Huala Adolf,


(36)

hukum Indonesia termasuk dalam kasus atau ruang linkup hukum dagang atau perdagangan atau ekonomi. Sepanjang putusan arbitrase internasional itu termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan, maka dapat dilaksanakan pula di Indonesia.

Pembatasan ini dengan tegas disebutkan dalam pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 yang antara lain menyatakan, putusan arbitrase internasional yang diakui dan dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Demikian juga pengaturan yang sama dapat dijumpai sebelumnya dalam Pasal 3 PEMA No. 1 Tahun 1990, yang menegaskan bahwa putusan-putusan arbitrase asing yang dapat diakui dan dieksekusi di Indonesia hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang.

Baik Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 maupun Pasal 3 PEMA No. 1 Tahun 1990 tidak lain adalah nasionalisasi bunyi Pasal 1 ayat (3) New York Convention 1958 maupun pernyataan yang di cantumkan dalam Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981. Pasal 1 ayat (3) New York Convention 1958 antara lain menyatakan :it may also declare that it will apply the Convention onlv to differences arising out of legal telationships whether contractual or not, which are considered as commercial inder the national law of state making .such declaration ".

Sedangkan dalam lampiran Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 antara lain menyatakan : "and that it will aplyy the Convention only to coA nsidered as commercial under the Indonesia law ". Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa putusan arbitrase internasional yang dapat diakui dan dieksekusi oleh pegadilan di Indonesia hanya terbatas pada putusan yang berhubungan dengan


(37)

sengketa atau perselisihan di bidang hukum dagang atau ekonomi dalam artian yang luas.

Pembatasan inilah yang harus dijadikan sebagai salah satu patokan dalam penelitian pemberian eksekutor terhadap putusan arbitrase Internasional. Namun, dalam hal ini jangan sampai terjebak kepada pemahaman hukum dagang yang terlampau sempit. Tetapi harus dipahami secara luas. Ke dalamnya termasuk nilai- nilai globalisasi maupun kebiasaan-kebiasaan yang ada di atas asas-asasnya dalam hukum dagang Indonesia maupun dalam asas-asas hukum perjanjian. Beberapa jenis bentuk bisnis yang dapat dimasukkaan kedalam ruang lingkup "commercial" yang tidak diatur dalam hukum dagang Indonesia, sehingga merupakan hal baru dalam praktik hukum di lingkungan pengdilan. Namum

secara konkreto dia tergolong salah satu bentuk bidang bisnis. Dia dianggap

sebagai salah satu aspek komersial.

3. Prinsip Ketertiban Umum

Putusan arbitrase Internsional hanya diakui dan dieksekusi di Indonesia bila putusan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum (openbaar orde) menurut hukum di Indonesia. Dengan sendirinya permohonan eksekutor akan ditolak jika putusan arbitrase yang dimintakan pengakuan dan pengeksekusian tersebut bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia.

Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 antara lain dengan tegas mengakui prinsip ini. dikatakan bahwa putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di Indonesia. Jika putusan dimaksud tidak bertentangan dengan


(38)

etertiban umum. Sebelumnya, syarat yang demikian juga dicantumkan dalam Pasal V ayat (2) huruf b New York Cinvention 1985 yang menyatakan :”the recognition; of enforcennt of the award would be country to the public policy of the country.65

1. asli atau salinan autentik putusan arbitrase Internasional dengan disertai naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia.

4. Pendoporian Putusan Arbitrase Internasional

Putusan arbitrase Internasional hanya dapat dieksekusi jika sebelumnya telah dideponir di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tata caranya diatur dalam Pasal 67 s/d 69 UL1 No. 30 Tahun 1999, sebagai pembaruan ketentuan yang sama yang diatur dalam PEMA No. 1 Tahun 1990.

Pendeponiran putusan arbitrase Internasional dilakukan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, setelah arbiter atau kuasanya menyerahkan dokumen-dokumen yang akan dideponir tersebut, meliputi :

2. asli atau salinan oientik perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase dengan disertai naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia.

3. surat keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat putusan arbitrse Internasioanl ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multiteral denga snegara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Permohonan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase Internasional disampaikan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan yang isinya

65 Yahya Harahap,


(39)

menerima atau menolak untuk mengakui dan mengeksekusi suatu putusan arbitrase Internasional. Apabila putusan arbitrase internasional, maka putusannya bersifat final, sehingga tidak dapat diajukan upaya banding atau kasasi. Sebaliknya, apabila putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu putusan arbitrase Internasional, maka terhadapnya dapat diupayakan kasasi ke Mahkamah Agung. Selanjutnya dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima, Mahkamah Agung akan mempertimbangkan serta memutuskannya untuk menerima atau menolak pengajuan kasasi dimaksud. Putusan Mahkamah Agung ini juga bersifat final, karenanya tidak dapat diajukan upaya perlawanan apapun.

5. Syarat-Syarat Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional.

Tidak semua putusan arbitrase Internsional dapt diakui dan dilaksanakan eksekusinya di negara kita. Untuk dapat diakui dan dilaksanakan eksekusinya di Indonesia harus memenuhi persyaratan tertentu yang harus dipenuhi agar suatu putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dilaksanakan eksekusinya di wilayah hukum Republik Indonesia, yaitu :66

66

Komar Kantaatmadja, Beberapa Hal Tentang Arbitrase, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, 1989, hal. 11.

a. putusan dijtuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian. baik secara bilateral maupun Internasional, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional.


(40)

b. putusan dimaksud terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.

c. putusan dimaksud hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

d. putusan arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

e. Putusan arbitrase Internasional dimaksud yang menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekutor dari Mahkamah Agung yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terhadap putusan Agung yang menerima atau menolak mengakui dan mengeksekusi arbitrase Internasional, tidak dapat diajukan upaya perlawanan apapun.

Suatu putusan arbitrase Internasional baru dapat dilaksanakan eksekusinya dengan putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk perintah (eksekutor). Pada dasarnya, pihak yang berwenang melaksanakan eksekusi putusan arbitrase Internasional tersebut kepada ketua Pengadilan Negeri lainnya sesuai dengan kewenangan relatifnya untuk.67

Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan arbitrase Internasional dapat dilakukan dengan melakukan sita eksekusi atas harta kekayaan serta milik termohon tata caranya mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam hukum acara perdata. Demikian pula dengan tata cara pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase nasional mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam hukum acara perdata.

67

Erman Rajagukguk,Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2001, hal 39.


(41)

C. Keterkaitan Arbitrase dan Pengadilan

Arbitrase adalah lembaga yang peling penting umum digunakan untuk menyelesaikan sengketa komersial dalam lingkup baik transaksi bisnis domestik maupun internasional.

Disini, lembaga peradilan harus menghormati lembaga arbitrase. Kewajiban pengadilan tersebut ditegaskan dalam Pasal 3 Juncto Pasall 11 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwewenang mengadili para pihak yang telah terikan pada perjanjian arbitrase. Selain itu pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal ini merupakan prinsip limited court involmen.

Dilarangnya campur tangan pengadilan hanya untuk menegaskan bahwa arbitrase adalah sebuah lembaga yang mandiri (endependen) dan menjadi kewajiban pengadilan untuk menghormati lembaga arbitrase. Meskipun arbitrase merupakan suatu lembaga independent yang terpisah dari pengadilan, tidak berarti bahwa tidak ada kaitan yang erat antara keduanya. Seperti dua sisi sekeping mata uand yang sama, meskipun dapat dibedakan, arbitrase tidak dapat dipisahkan dari lembaga pengadilan.

Lembaga arbitrase membutuhkan dan masih tergantung pada pengadilan, misalnya dalam pelaksana putusan arbitarse. Adanya keharusan putusan arbitrase untuk didaftarkan di pengadilan negeri mununjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusanya. Dalam


(42)

UU No. 30 1999 banyak diatur pengadilan dalam pelanggaraan arbitrase, yaitu sejak dimulainya proses arbitrase sampai dilaksanakanya putusan arbitrase. Berikut ini adalah beberapa contoh dalam hal apa dan bagaimana peran pengadilan terhadap pelaksanaan arbitrse.68

Demikian pula, putusan arbitrase nasional dan internasional harus dilaksanakan melalui mekanisme sistem peradilan. Bagi putusan arbitrase nasional, lembar asli atau salinan autentik putusan atbitrase harus diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau ku

Jika para pihak dapat mencapai kata sepakat atau tidak ada ketentuan mengenai pengangkatan arbiter, ketua Pengdilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbiter (Pasal 13 ayat(1)) Ketua Pengadilan Negeri, atas permintaan saah satu (para) pihak, dapat mengangkat arbiter tunggal dari daftar nama dari organisasi atau lembaga arbitrase (Pasal 14 ayat 3 dan 4). Jika para pihak sudah menunjuk dua arbiter dan kedua arbiter tersebut tidak dapat memilih arbiter ketiga, ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga atas permohonan ssalah satu pihak (Pasal 15 ayat (4) dan (5) UU No. 30 Tahun 1999).

asanya kepada Paniter Pengadilan Negeri, paling lama tiga puluh hari sejak tanggal putusan diucapkan, dengan sanksi putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan (Pasal 59 ayat (1) dan (4)). Khusus untuk permohonan pelaksanaan outusan arbitrase Internsional, putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasa167 ayat (1)).69

68

Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata international Indonesia, Bina Cipta Bandung,1987, hal.20

69 R. .Subekti,


(43)

Di samping itu, keterkaitan arbitrase dan pengadilan juga berlaku di dunia internasional, di mana sebagian besar pengadilan menghormati ketentuan yang ada dalam klausul arbitrase. Di sini, agar sebuah arbitrase Internsional dapat bekerja secara efektif, pengadilan-pengadilan nasional dari kedua belah pihak yang bersengketa harus mengakui dan mendukung arbitrse. Jika salah satu pihak mencoba menghindari arbitrase setelah sengketa timbul, pihak lain harus dapat mengandalkan sistem peradilan negara pihak lawan untuk memaksa pelaksanaan perjanjian dengan arbitrase. Dikatakan : “the UN and many nations’ courts almost routiney enforce contracts’ arbitration clauses and arbitrator’ decisions”. (PBB dan banyak pengadilan negara-negara rutin melaksanakan klausul arbitrase dalam perjanjian dan putusan-putusan arbiter.70

Meskipun lembaga peradilan harus mendukung arbitrase dan melaksanakan putusannya, dalam praktik masih saja ditemukan pengadilan yang menetang. Bahkan, ketika proses arbitrase Internasional telah berlangsung dan putusan arbitrase telah dijatuhkan, masih dijumpai pengadilan negeri yang melayani gugatan pihak yang kalah.” Dalam kasus Bankers Trust Company dan Bankers Trus International PLC (BT) melawan PT. Mayora Indah Tbk. (Mayora), Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tetap menerima gugatan Mayora (meskipun terdapat klausul arbitrase di dalamnya), dan memenangkan PT. Mayora Indah Tbk (Mayora). Anehnya Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan Bankers Trus bagi pelaksana Putusan arbitrase di London, dengan alas an perkara tersebut masih dalam peruses pengadilan dan belum memiliki kekuatan hokum tetep. Penolakan

70 Robert W. Emerson,


(44)

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut oleh Putusan Mahkamah Agung NO. 02 K/Ex’Arb.Int/Pdt/2000 tanggal 5 september 2000.71

Dalam kegiatan bisnis Internasional terdapat dua alasan mengapa pengadilan merupakan system yang penting dalam proses kelangsungan arbitrase. Pertama, putusan arbtrase dapat dilaksanakan melalui system pengadilan negara tersebut. Jadi, sebelum memutuskan penggunaan sebuah lembaga arbitrse, perlu dipelajari sikap dan perilaku pengadilan serta peraturan negar tersebut. Hal itu mengingat bahwa tidak dapat dilaksanakannya putusan arbitrase oleh pengadilan negeri tersebut akan membuat seluruh proses arbitrase sia-sia. Kedua, klausul arbitrase hendaknya secara tegas menyatakan bahwa para pihak setuju ats yurisdiksi setiap pengdilan yang berkompeten terhadap pelaksanaan setiap putusan. Pencantuman klausul tersebut sangat penting meskipun Konvensi New York 1958 telah memberikan jaminan atas pelaksanaan putusan arbitrase di banyak yurisdiksi nasional. Dengan demikian, jika salah satu pihak menang melalui proses arbitrase di banyak yurisdiksi (dimanapun itu dilakukan), maka ia yakin bahwa pengadilan nasional di setiap negara akan bersedia melaksanakan putusan arbitrase.72

Lembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut

D. Kewenangan Pengadilan Negeri Memeriksa Perkara Yang Sudah Dijatuhkan Putusan Arbitrasenya.

71 Ibid.

72 Sudargo Gautama


(45)

campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement.

Dalam prakteknya masih saja ditemukan pengadilan yang menentang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri sudah menjatuhkan putusannya. Seperti dalam kasus Bankers Trust Company dan Bankers Trust International PLC (BT) melawan PT. Mayora Indah Tbk. (Mayora), PN Jakarta Selatan yang tetap menerima gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrase didalamnya) dan menjatuhkan putusan No. 46/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT bagi pelaksanaan putusan Arbitrase London. dengan alasan pelanggaran ketertiban umum, yang dimaksud adalah bahwa perkara tersebut masih dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Penolakan PN Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No. 02 K/Exr/Arb.Int/Pdt./2000, tanggal 5 September 2000.73

Dalam jurisprudensi salah satu contoh adalah Arrest Artist de Labourer. Arrest HR 9 Februari 1923. NJ. 1923,676. Arrest ".Artist de Labourer" Persatuan Kuda Jantan (Penggugat) telah mengasuransikan Kuda Pejantan bernama Artist de Pabourer terhadap suatu penyakit / cacat tertentu, yang disebut cornage. Ternyata pada suatu

Kasus di atas adalah salah satu contoh dimana pengadilan menentang lembaga arbitrase. Sebelumnya telah jelas bahwa pengadilan tidak boleh mencampuri segketa para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase. Lalu apakah ada alasan-alasan yang dapat membenarkan pengadilan memeriksa perkara para pihak yang sudah terikat dengan klausul arbitrase.

73

Budhy Budiman, Mencari Modal Ideal Penvelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata Dan IJndang-Undang .No. 30 Tahun 1999, diakses dari situs : http://www.uikabogor.ac.id/jur05.htm, tanggal 30 Agustus 2007.


(46)

pemreiksaan oleh Komisi Undang-Undang Kuda, kuda tersebut dinyatakan diapkir, karena menderita penyakit cornage. Penggugat menuntut santunan ganti rugi bahwa sengketa mengenai Asuransi, dengan menyingkirkan Pengadilan, akan diputus oleh Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi, kecuali Dewan melimpahkan kewenangan tersebut kepada suatu arbitrase. Dewan Asuransi telah memutuskan untuk tidak membayar ganti rugi kepada Penggugat. Penggugat mengajukan gugatan dimuka Pengadilan. Sudah tentu dengan alasan adanya klausula tersebut diatas, maka tergugat membantah dengan mengemukakan, bahwa Pengadilan tidak berwenang untuk mengadili perkara ini.74

Hof Amsterdam dalam keputusannya antara lain telah memperitmbangkan bahwa berdasarkan Polis yang bersangkutan. para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa mengenai Asuransi tersebut kepada Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi. Sekalipun terhadap keputusan Dewan, yang diambil dengan tanpa aturan main yang pasti, dan bersifat mutlak, yang dikeluarkan oleh pihak telah membuatnya menjadi undang-undang bagi mereka, karena telah terbentuk melalui kesepakatan para pihak, yang tidak ternyata bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan, sehingga Pengadilan's Gravenhage antara lain telah mempertimbangkan bahwa setelah Pengadilan menyatakan dirinya berwenang memriksa perkara tersebut, maka Pengadilan menyatakan, bahwa keputusan Dewan Asuransi harus disingkirkan, karena keputusan tersebut tidak didasarkan kepada suatu penyelidikan yang teliti dan bahkan Dewan menganggap tidak perlu mendengar pihak penggugat, sehingga perjanjian itu tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik. Pengadilan mengabulkan tuntunan uang santunan ganti-rugi sampai sejumlah uang tertentu. Pihak Asuransi naik banding.

74

Indonesia Banking Restructuring Agency (IBRA). Arbitrase, Pilihan Tanpa Kepastian,http://gontha.com/view.pnp?nid=104, diakses 30 Agustus 2007.


(47)

permasalahannya adalah, apakah ketentuan perjanjian itu, oleh Dewan, tidak tela dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana pendapat dari Pengadilan Amsterdam, pernyataan mana manurut pendapat Hof, karena mengenai pelaksanaan suatu perjanjian, adalah masuk kewenangan Hakim.75

Hof, untuk menjawab permasalahnnya tersebut, setelah mengemukakan patokan, bahwa itikad baik dipersangkakan dan tidak adanya itikad baik harus dibuktikan, telah menerima fakta-fakta yang disebutkan dalam keputusan Dewan sebagai benar, antara lain, bahwa menurut pendapat Hof keputusan tersebut, sehingga dapat dianggap tidak telah diberikan dengan itikad baik, dan bahwa itikad buruk pada pelaksanaan perjanjian, sepanjang mengenai pengambilan keputusan oleh Dewan Asuransi, tidak telah dibuktikan "atas dasar mana Hof menyatakan keputusan Dewan Asuransi tidak bisa dibatalkan oleh Hakim dan karenanya membatalakan keputusan Pengadilan Amsterdam. Persatuan Kuda Jantan naik kasasi. Pengadilan dalam hal ini menganggap dirinya wenang untuk menangani perkara tersebut dan menyatakan keputusan Dewan tidak melenggar itikad baik.76

75

1bid.

76 Ibid.

Pokok pertanyaan dalam pemeriksaan kasasi ini ternyata adalah, apakah maksud ayat ke-3 Pasal 1374 B.W. (Pasal 1338 ayat 3) dengan itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus dinilai dengan petokan, subyektif - suatu sikap batin tertentu dari di pelaksana - atau obyektif - suatu cara pelaksanaan. HR meninjau, apakah isi keputusan Dewan Asuransi. sebagai pelaksanaan dari perjanjian Asuransi antara masyarakat yang bersangkutan. Disini dipakai ukuran itikad baik yang obyektif.


(48)

Dalam Arrest Artist de Labourer ini pengadilan menyatakan berwenang memEriksa karena yang diperiksa bukanlah pokok perkaranya melainkan cara pengambilan keputusannya, apakah Dewan Asuransi sudah mengambil keputusan berdasarkan itikad baik yang sesuai dengan asas kepatutan dan kepantasan. Itikad baik disini memiliki dua kemungkinan yaitu itikad baik objektif atau subjektif, diman Hof dan Hoge Raad kemudian menilai bahwa itikad baik yang objektif yang dipakai.77 Pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki klausul arbitrase tidak bisa dilanjutkan ke Pengadilan Negeri, dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik.78

PT Bursa Efek Jakarta (BEJ), PT Bursa Efek Surabaya (BES), PT Miring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) serta 17 asosiasi di lingkungan Pasar modal Indonesia, dengan dukungan dari Badan Pengawas Pasar Modal (kini Bapepam-LK), membuat kesepakatan bersama untuk mendirikan sebuah lembaga yang dinamakan BAPMI (Akta No. 14 dan No. 15, dibuat oleh Notaris Fathiah Helmy SH, 9 Agustus 2002).

E. Keberadaan Lembaga Arbitrase di Indonesia

1. Pendirian BAPMI ( Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia)

77

Subekti, R, Kumpulan Karangan Hukum Perikanan, Arbitrase dan Peradilan, Alumni Bandung, 1980, hal. 31.

78


(49)

Penandatanganan akta disaksikan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam suatu upacara di Departemen Keuangan Republik Indonesia. Selanjutnya BAPMI memperoleh pengesahan sebagai badan hukum melalui Keputusan Menteri kehakiman & HAM Republik Indonesia No. C-2620 HT.01.03.TH 2002, tanggal 29 Agustus 2002. Pengesahan itu telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 18 Oktober 2002, No. 84/2002, Tambahan Berita Negara No. 5/PN/2002.

Pendirian BAPMI tidak terlepas dari konteks di Pasar Modal Indonesia pada saat itu yakni upaya perbaikanipenyempurnaan kelembagaan di Pasar Modal keberadaan BAPMI diharapkan dapat menambah rasa nyaman dan proteksi kepada investor dan masyarakat melalui penyediaan layanan jasa alternatif penyelesaian sengketa yang dari segi waktu dan biaya jauh lebih efisien dibandingkan dengan pengadilan serta ditangani oleh orang-orang (Mediator/Arbiter) yang sungguhsungguh memahami seluk beluk Pasar Modal. Penyelesaian sengketa yang berlarutlarut hanya akan menimbulkan kerugian dan mengikat risiko bisnis.79

a. Layanan Jasa BAPMI

2. Kegiatan Jasa BAPMI

BAPMI menyediakan tiga mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yakni Mediasi, Arbitrase dan Pendapat Mengikat. Di dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga APS (Alternatif Penyelesaian

79

Zen, Achmad Umar Purba, BAPMI Dan Penyelesaian Sengketa Pasar Modal, Diakses dari situs


(50)

Sengketa), BAPMI menjalin profesionalitas, netralitas dan independensinya.

b. Kewenangan BAPMI

BAPMI menangani sengketa hanya apbila diminta oleh pihak-pihak yang bersengketa. Namun tidak semua persengketaan dapat diselesaikan melalui BAPMI, syaratnya adalah :80

1. perdata par pihak sehubungan dengan kegiatan di bidang Pasar

Modal, bukan merupakan perdata pidana dan administrasi, seperti manipulasi pasar, insider trading, dan pembekuan/pencabutan izin usaha;

2. terdapat kesepakatan di antara para pihak yang bersengketa bahwa

persengketaan akan diselesaikan melalui BAPMI;

3. Terdapat permohonan tertulis dari pihak-pihak yang bersengketa

kepada BAPMI;

4. Membayar biaya yang terdiri dari biaya pendaftaran, biaya

pemeriksaan dan komisi (fee). c. Kelengkapan Organisasi BAPMI

BAPMI telah siap beroperasi secara penuh dengan kelengkapan organisasi yang terdiri dari. 81

1. Anggota, berjumlah 22 organisasi/asosiasi di lingkungan Pasar

Modal Indonesia, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas

80 Ibid. 81

Bacelius Ruru, Dispute Management, diakses dari situs : http:/www.bapmi.org, tanggal 5 Agustus 2007.


(51)

jalannya organisasi melalui mekanisme Rapat Umum Anggota.

2. Pengurus, diangkat untuk masa jabatan 3 tahun dan dapat dipilih

kembali oleh Rapat Umum Anggota. Pengurus melaksanakan kegiatan operasional BAPMI sehari- hari dengan kewenangan antara lain ; menetapkan peraturan beracara BAPMI, mengangkat dan memberhentikan Arbiter/Mediator BAPMI.

3. Dewan Kehormatan, diangkat untuk masa jabatan 3 tahun dan dapat

dipilih kembali oleh Rapat Umum Anggota. Dewan Kehormatan mempunyai tugas antara lain : memberikan pendapat mengenai penafsiran ketentuan peraturan dan Anggaran Dasar BAPMI, menyelenggarakan sidang atas pengaduan pelanggaran Etika Perilaku (Code of Conduct).

4. Artiber/Mediator, diseleksi dan diangkat berdasrkan integritas dan

kompetensi di bidang Pasar Modal menurut latar belakang keahliannya masing-masing, sebagian berlatar belakang praktisi, ahli hukum, akuntan dan

Fakta lain di Pasar Modal Indonesia adalah banyaknya kasus yang nilainya material yang menjadi permberitaan di media massa seperti perhitungan NAB Reksadana, penyalahgunaan portofolio nasabah oleh Manajer Investasi, penawaran Reksadana tanpr Pernyataan Pendaftaran, dan penyimpangan pengguanan dana obligasi oleh emiten. Kasus-kasus tersebut manurut kami tidak hanya mengandung unsur pelanggaran pidana clan administrasi umum juga mempunyai aspek perdata yang juga perlu diselesaikan oleh para pihak yang


(1)

KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENYELESAIKAN

SENGKETA BISNIS DALAM HAL ADANYA

KLAUSUL ARBITRASE

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

NIM : 040 – 200 – 282

FENDI RIFINTA BARUS

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

NIP. 131 764 556

Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS

Dosen Pembimbing I

NIP. 131 764 556

Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS

Dosen Pembimbing II

NIP. 131 764 556 M. Hayat, SH

FAKULTAS HUKUM


(2)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR

ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan... 7

E. Tinjaun Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI ARBITRASE BERDASARKAN UU NO. 30 TAHUN 1999 A. Pengertian Arbitrase dan Jenis-jenis Arbitrase ... 16

B. Perjanjian dan Bentuk Klausula Arbitrase ... 23

C. Kebaikan dan Kelemahan Arbitrase ... 29

D. Tata Cara Pengangkatan Arbitrase ... 34

BAB 111 ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS NASIONAL DAN INTERNASIONAL A. Eksistensi Lembaga Arbitrase dalam Penyelesaian Sengket Bisnis Nasional dan Internasional ... 43

1. Penyelesaian Sengketa Bisnis Nasional ... 43

2. Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional ... 52

B. Perkembangan Penggunaan Lembaga Arbitrase Untuk Penyelesaian Sengketa Bisnis ... 60

BAB IV KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENYELESAIKAN SENGKETA BISNIS DALAM ADANYA KLAUSUL ARBITRASE A. Proses Pemeriksaan Melalui Arbitrase ... 66

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Intemasional Berdasarkan UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ... 73

C. Keterkaitan Arbitrase dan Pengadilan ... 80

D. Kewenangan Pengadilan Memeriksa Perkara yang sudah Dijatuhkan Putusan Arbitrasenya ... 84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 100


(3)

OUTLINE SKRIPSI

KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENYELESAIKAN SENGKETA BISNIS DALAM HAL ADANYA KLAUSUL ARBITRASE

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang B. Perumusan Masalah

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan D. Keaslian Penulisan

E. Tinjaun Kepustakaan F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI ARBITRASE BERDASARKAN UU NO.

30 TAHUN 1999

E. Pengertian Arbitrase dan Jenis-jenis Arbitrase

F. Perjanjian dan Bentuk Klausula Arbitrase

G. Kebaikan dan Kelemahan Arbitrase

H. Tata Cara Pengangkatan Arbitrase

BAB III ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF

PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS NASIONAL DAN INTERNASIONAL

C. Eksistensi Lembaga Arbitrase dalam Penyelesaian Sengket Bisnis Nasional dan Internasional

1. Penyelesaian Sengketa Bisnis Nasional 2. Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional

D. Perkembangan Penggunaan Lembaga Arbitrase Untuk Penyelesaian Sengketa Bisnis

BAB IV KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI

MENYELESAIKAN SENGKETA BISNIS DALAM ADANYA KLAUSUL ARBITRASE

E. Proses Pemeriksaan Melalui Arbitrase

F. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Intemasional Berdasarkan UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

G. Keterkaitan Arbitrase dan Pengadilan

H. Kewenangan Pengadilan Memeriksa Perkara yang sudah Dijatuhkan Putusan Arbitrasenya

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

C. Kesimpulan D. Saran DAFTAR PUSTAKA


(4)

ABSTRAK

Dunia perniagaan modern berpaling kepada Alternatif Dispute Resolution

(ADR) sebagai penyelesaian sengketa alternatif karena keperluan perniagaan modern menghendaki penyelesaian sengketa yang cepat dan tidak menghambat iklim perniagaan sedangkan lembaga penyelesaian sengketa yang tersedia (yaitu Pengadilan) dirasa tidak dapat mengakomodasikan harapan demikian. Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Hal ini ditandai dengan adanya UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Keberadaan Arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 3 ayat(1)yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan. akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (Library Research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

Lembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involment. Dilarangnya carnpur tangan pengadilan hanya untuk menegaskan bahwa arbitrase adalah sebuah lembaga yang mandiri (independen), dan menjadi kewajiban pengadilan untuk menghormati lembaga arbitrase. Meskipun arbitrase merupakan suatu lembaga independen yang terpisah dari pengadilan, tidak berarti bahwa tidak ada kaitan yang erat antara keduanya. Seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang sama, meskipun dapat dibebankan, arbitrase tidak dapat dipisahkan dari lembaga pengadilan.Lembaga arbitrase membutuhkan dan masih tergantung pada pengadilan, misalnya dalam pelaksanaan putusan arbitrase. Adanya keharusan putusan arbitrase untuk didaftarkan di pengadilan negeri menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya. Dalam UU No. 30 tahun 1999 banyak diatur peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase, yaitu sejak dimulainya proses arbitrase sampai dilaksanakannya putusan


(5)

dirugikan bisa menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik.


(6)

KATA PENGANTAR

Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengkarunia kesehatan dan kelapangan berpikir kepada Penulis sehingga akhirnya tulisan dalam bentuk skipsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi ini berjudul “KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENYELESAIKAN SENGKETA BISNIS DALAM HAL ADANYA KLAUSUL ARBITRASE”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Keperdataan.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH.M. Huk selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatara Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH.MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

3. Bapak Syafruddin, SH.MH selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

4. Bapak M. Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.