Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 631 K/Pdt.Sus/2012)

(1)

(Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 631 K/Pdt.Sus/2012)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

ATIEK AF’ IDATA

1110048000010

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI I L M U HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi ini berjudul Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis

Putusan Mahkamah Agung No. 631/K/Pdt.Sus/2012), telah diujikan dalam Sidang

Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 2014 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

DR. H. JM Muslimin, MA NIP. 196808121999031014

PANITIA UJIAN

Ketua : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., MA (...) NIP. 195003061976031001

Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum (...) NIP. 196509081995031001

Pembimbing I : Nahrowi, S.H., M.H. (...) NIP. 197302151999031002

Pembimbing II : Andi Syafrani, S.H.I., M.C.C.L. (...)

Penguji I : H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H. (...) NIP. 19740252001121001

Penguji II : H. M. Yasir, S.H.,M.H. (...) NIP.


(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan telah tercantum sesuai dengan ketentuan

yang ada pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan karya asli saya atau

jiplakan karya orang lain, maka saya siap dikenakan sanksi sesuai dengan

ketentuan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 April 2014

Atiek Af’ Idata NIM : 1110048000010


(5)

iv

ABSTRAK

Nama : Atiek Af’ Idata Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Skripsi : PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

(Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 631/K/Pdt.Sus/2012)

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peraturan mengenai Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional, serta praktek beracara yang dilakukan oleh lembaga peradilan di Indonesia terutama terkait hukum acara arbitrase asing. dalam penulisan ini Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi kepustakaan.

Hasilnya bahwa peraturan mengenai pembatalan putusan arbitrase internasional belum jelas dan lengkap, masih terdapat multi tafsir pada suatu pasal di UU AAPS yang menyatakan pembatalan putusan arbitrase dapat dilakukan dan prosedur pelaksanaan beracara yang tumpang tindih antara putusan arbitrase lokal atau internasional.

Hal tersebut dapat dilihat pada kasus antara Harvey Nichols and Company Limited melawan PT Harapan Nusantara dan PT Mitra Adi Perkasa, Tbk. Dimana kasus terebut erat kaitannya dengan upaya pembatalan suatu putusan arbitrase internasional dan adanya prosedur pelaksanaan kasasi terhadap putusan putusan PN Jakarta Pusat yang telah menolak gugatan Pemohon Pembatalan Putusan Arbitrase.

Upaya analisis ini dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain Undang-undang No. 30 Tahun 1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Konvensi New York 1985, serta prinsip-prinsip yang digunakan dalam Hukum Perdata Internasional maupun Hukum Dagang Internasional.

Kata Kunci : Arbitrase, Arbitrase Internasional, Arbitrase Asing, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional

Dosen Pembimbing I : Nahrowi, S.H., M.H

Dosen Pembimbing II : Andi Syafrani, S.HI., MCCL


(6)

KATA PENGANTAR

Sebuah mimpi tak akan terwujud jika usahamu tak sebesar mimpimu. Dan “Aku adalah apa yang hambaKu fikirkan tentangKu”.

Selama menempuh Pembelajaran di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Program Studi Ilmu Hukum ini, tentu jalannya tak semudah kelihatannya. Banyak penyesuaian-penyesuaian yang Penulis jalankan dalam menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah ini, yang patut disyukuri ialah Penulis mendapatkan ilmu yang diselaraskan dengan ilmu agama.

Tidak Penulis pungkiri, bahwa dalam penulisan skripsi ini Penulis banyak menemui berbagai rintangan. Namun sebanyak apapun kesulitan itu, Penulis selalu mendapat motivasi besar untuk memacu semangat Penulis dalam menjalankan proses-proses untuk meraih gelar Sarjana Hukum, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik. Untuk itu Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT yang Rahman dan RahimNya menjadikan jaminan bahwa perjuangan Penulis akan selalu dilancarkan. IlmuNya meliputi langit dan bumi, bahkan alam semesta tak dapat menggambarkan keluasan ilmuNya. FirmanNya selalu menjadi benteng bagi Penulis dalam menjalani hidup, selalu memberikan kenikmatan yang tak ternilai.

2. Nabi Muhammad Saw. Motivator terhebat dalam hidup Penulis, yang kasih sayangnya selalu membuat Penulis meneteskan air mata ketika mengingat kecintaannya kepada ummat. Semoga Penulis termasuk kedalam golongannya.


(7)

vi

3. DEKAN Fakultas Syariah dan Hukum Bp. JM. Muslimin, MA., Ph.D. yang sangat Penulis hormati, menjadi Guru, Pemimpin sekaligus menjadi Pengayom bagi Mahasiswa/i nya.

4. Ketua Jurusan Bp. Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA dan Sekretaris Jurusan Bp. Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum atas kesabarannya dan dedikasinya untuk Jurusan Ilmu Hukum begitu besar.

5. Pembimbing Penulis Bp. Nahrowi S.H., M.H dan Bp. Andi Syafrani S.HI., MCCL. atas semua nasihat, ilmu dan waktunya hingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

6. Ibu Masitoh dan ayahanda Bapak Zaenal Muslimin, telah menjadikan Penulis dewasa dan mandiri, jasa kalian tak akan sanggup Penulis balas dengan apapun. Tante Tuti Ulwiyah dan Om Syafrudin yang telah menjadi rumah kedua bagi Penulis. Reza Wahyu Prawira, Afien Aninnas dan Salman Al Farisi, kakak dan adik Penulis yang sangat mempengaruhi perkembangan Penulis, mendidik Penulis dengan cara yang berbeda.

7. Keluarga Besar alm. H. Naisan dan alm. Muslim, kedekatan dan kasih sayang kalian selalu menjadi bahan bakar bagi Penulis. Sebagai motivasi terhebat untuk Penulis, agar selalu berusaha menjadi manusia yang lebih baik lagi.

8. Sepupuku tercinta Alvi Muhibbah, Syifa Sakinah, Chairunnisa, Ulfa Fauziyah, Zakiyah Mulyani, Faiz Zakaria, kalian bukan hanya berperan sebagai sepupu, tetapi kalian adalah partner yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian Penulis.

9. Teman-teman Ilmu Hukum 2010, terutama teman-teman hukum bisnis, Nourma Andriany Utami, Apriyanti, Ayyida Sabila, Liza Tri Kusuma, Andi Komara, Nur Fika, Nazia, Ka Defi, Ka Ninis, Basith, Endah, Ainul, Cantika,


(8)

Kendri dan tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Trimakasih telah sabar menjadi teman terbaik Penulis dalam berdiskusi. Dan kawanku di Lembaga Negara Hopsah, Setyo, M. Rizky dan khususnya Zikri Muliansyah yang telah banyak membantu kesulitan Penulis dalam menulis skripsi ini.

10.Keluarga Besar BLC (Business Law Community) UIN Jakarta, Nanda, Marwan, Dhani, Anto, Azhar dan yang tak dapat Penulis sebutkan di sini. Teruslah menjadi bagian dari keluarga besar BLC UIN yang solid dan maju.

11.Sahabat tercinta Penulis, Meryam Zahida, Puspita Anggraini, Annisa Suciati, Defi Rizky Amanda, Kilat Liliani Ningtyas, Arfan Zuhdi dan Cendy Tiara. Kalian sangat berperan dalam membentuk kedewasaan Penulis, bukan hanya sahabat, kalian adalah keluarga bagi Penulis. Dan Mas Furqon Wicaksono, timakasih atas kritikan, bimbingan dan kesabarannya yang secara lamban tapi pasti telah melatih mental Penulis menjadi lebih tangguh.

12.Keluarga Besar “KKN Garuda 18”, terimakasih untuk pembelajaran yang kalian berikan, sehingga Penulis termotivasi atas kegigihan kalian, atas sifat-sifat positif yang kalian tularkan kepada Penulis.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan nikmat dan kasih sayangnya untuk membalas kebaikan seluruh pihak yang telah membantu dan menjadi inspirasi bagi Penulis. Tidak ada gading yang tak retak, tentunya dalam penulisan skripsi ini banyak kekurangan. Namun demikian, besar harapan Penulis, karya tulis ini dapat memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang Hukum Bisnis.

Ciputat, April 2014 Atiek Af’ Idata


(9)

viii

DAFTAR ISI

halaman

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 8

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 9

F. Kerangka Teori dan Konseptual ... 10

G. Metode Penelitian ... 11

H. Sumber Penelitian ... 13

I. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE INTERNASIONAL A. Pengertian dan Perkembangan Arbitrase Internasional ... 17

B. Kekuatan Hukum Arbitrase Internasional (Choice of Forum, Choice of Law, Final and Binding) 1. Choice of Forum ... 22


(10)

3. Final and Binding ... 27

C. Pengakuan dan Pelaksanaan Arbitrase Internasional di Indonesia .. 28

BAB III PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL A. Ditinjau dari Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ... 34

B. Ditinjau dari Hukum Perdata Internasional ... 40

BAB IV ANALISIS YURIDIS PUTUSAN Mahkamah Agung RI No. 631/K/Pdt.Sus/2012 A. Posisi Kasus ... 47

B. Isi Putusan Mahkamah Agung ... 54

C. Analisis Putusan Hakim 1. Menurut Konvensi New York 1985 dan Hukum Perdata Internasional ... 56

2. Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ... 62

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Sengketa merupakan suatu kondisi dimana siapapun tak

menginginkannya, tetapi ada baiknya setiap subjek hukum menghindari maupun

mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan sengketa tersebut terjadi.1 Terlebih

dalam hal ini yang menjadi subjek hukum merupakan perusahaan yang

didalamnya memiliki kepentingan-kepentingan untuk meningkatkan profit (tujuan

ekonomi) perusahaan tersebut. Tentunya hal ini dapat memicu terjadinya suatu

benturan kepentingan yang berujung pada sengketa.

Kelemahan yang dimiliki oleh proses Pengadilan „meja hijau‟ dan kelebihan-kelebihan tersendiri dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase,

membuat Arbitrase menjadi primadona. Dengan keunggulannya bahwa, proses

penyelesaian sengketa melalui arbirase kerahasiaannya dapat terjamin dengan

baik. Selain itu seorang arbiter yang dipilih secara seksama dan sesuai

kesepakatan kedua belah pihak tentunya, harus memiliki pengetahuan khusus

berkaitan dengan sengketa tersebut. Sehingga dalam pengambilan keputusannya

1

Priyatna Abdurrasyid. Arbitrase dan APS Suatu Pengantar. (Jakarta: Fikahati aneska, 2011), h. 4. Menerangkan bahwa dalam setiap sengketa salah satu pihak mungkin benar dalam masalah-masalah tertentu dan pihak lainnya benar dalam masalah-masalah lainnya.


(12)

dapat bersifat praktis.2 Hal ini yang menjadikan suatu kelebihan tersendiri dalam

proses ber-arbitrase.

Pemilihan seorang Arbiter yang berkompeten dalam bidang sengketa

selain mempersingkat proses penyelesaian sengketa karena kompetensi arbiter

(dibidang „hal‟ yang disengketakan). Dapat juga memberikan output dalam penyelesaian sengketa tersebut dengan rasa yang tidak merugikan bagi para pihak

yang bersengketa (win-win solution).3

Arbitrase pada dasarnya merupakan penyelesaian sengketa diluar

pengadilan. Namun yurisdiksi pengadilan tetap sangat berperan terhadap putusan

arbitrase. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 59 yaitu mengenai pendaftaran putusan

arbitrase, kemudian Pasal 61 mengenai pengakuan, dan Pasal 64 mengenai

pelaksanaan yang tertuang dalam UU No. 30 Tahun 1999 mengenai Arbitrase dan

APS.

Dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS

sendiri tidak menyatakan jelas apakah pembatalan putusan arbitrase berlaku

2

Priyatna Abdurrasyid. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)Suatu Pengantar, 2011. (BANI-PT. Fikahati Aneska), h. 63. Priyatna Arrasyid secara tidak langsung menjelaskan banyaknya kelebihan yang ada pada Arbitrase selain terletak pada prosedur ber-Arbitrase itu sendiri. Kelebihan alternatif penyelesaian sengketa ini terletak pada Arbiternya, karena diharuskan seorang Arbiter haruslah memiliki pengetahuan khusus mengenai hal yang disengketakan, sehingga dapat menghasilkan putusan yang bersifat praktis dan tidak memihak, wajar dan adil.

3

Priyatna Abdurrasyid. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)Suatu Pengantar, 2011., (BANI-PT. Fikahati Aneska),. h. 58. Menerangkan penting memilih arbiter yang tepat, kompeten, jujur dan memiliki integritas bukan saja pribadinya akan tetapi juga kemampuan dan keahliannya dibidang hukum arbitrase dan kemudian tentang inti sengketa yang dihadapinya.


(13)

umum untuk semua jenis putusan arbitrase, arbitrase asing salah satunya. Dalam

Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 secara tegas disebutkan bahwa

permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase dapat diajukan oleh para

pihak.

Terkait dengan pembatalan putusan arbitrase internasional di Indonesia,

harus kita ketahui terlebih dahulu perbedaan antara pembatalan dengan penolakan

putusan arbitrase. Ada perbedaan mendasar antara kedua konsepsi ini, pertama

dari segi istilah, pembatalan dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai annulment

atau set aside, sementara penolakan dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai

refusal.4Perbedaan keduanya dapat dilihat dari konsekuensi hukumnya. Pembatalan putusan arbitrase berakibat pada dinafikannya (seolah tidak pernah

dibuat) suatu putusan arbitrase.5

Terhadap putusan arbitrase yang dibatalkan, pengadilan dapat meminta

agar para pihak mengulang proses arbitrase (re-arbitrate). Hanya saja pembatalan putusan arbitrase tidak membawa konsekuensi pada pengadilan yang

membatalkan untuk memiliki wewenang memeriksa dan memutus sengketa.

4

Hikmahanto Juwana. “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Vol.21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisnis, 2002. h. 68.

5

Hikmahanto Juwana “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Vol.21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisnis, 2002. h. 68, „Namun demikian, ada pengadilan dari suatu negara yang harus dan tetap melaksanakan putusan arbitrase sehingga mengabaikan putusan pengadilan dari negara lain yang membatalkan putusan pengadilan arbitrase tersebut. Sebagaimanan akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan ini.


(14)

Apabila hal ini dilakukan maka akan bertentangan dengan asas kebebasan

berkontrak yang dimiliki oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa mereka

dan pengadilan dapat dianggap sebagai tidak menghormati asas kebebasan

berkontrak.6

Dalam Konvensi Pasal II ayat (3) menjelaskan “The court of a

Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement with in the meaning of article, shall, at the request of one of the parties refer the parties to arbitration, unless it finds that

said agreement is null and void in operative or incapable of being performed”.

Berdasarkan pasal ini, Konvensi New York menempatkan status arbitrase

sebagai forum atau mahkamah yang memiliki kompetensi absolut untuk memutus

persengketaan yang timbul dari perjanjian yang bersangkutan.7 Terlihat jelas

bahwa apabila penyelesaian sengketa sudah dilaksakan melalui jalur arbitrase

maka pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikannya kembali.

Tidak dijelaskan apakah mengenai pembatalan putusan arbitrase, termasuk juga

kewenangan yang dimaksud.

6

Hikmahanto Juwana. “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Vol.21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisnis, 2002. h. 68.

7

Yahya Harahap. Arbitrase Ditinjau dari: (Reglemen Acara Perdata, Peraturan Prosedur BANI, ICSID, UNCITRAL Arbitration Law, convention on the Recognition and Enforcment of Foreign Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990). (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 26.


(15)

Namun dapat kita perhatikan bahwasanya ketentuan pembatalan putusan

telah mencederai asas bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat. Pemberian asas ini seharusnya tidak relevan lagi dengan perkembangan hukum

dan segala ketentuan yang muncul dari kebiasaan-kebiasaan internasional yang

kemudian menjadi hukum perdata internasional. Secara garis besar asas tersebut

jika dihubungkan dan kita analisis, maka akan bertentangan dengan asas

resiprositas dan kemudian kedaulatan Negara.

Dalam kasus penelitian ini yaitu putusan MA No. 631/K/Pdt.Sus/2012

Harvey Nichols and Company Limited dengan PT Harapan Nusantara dan PT

Mitra Adiperkasa,Tbk, berawal dari sengketa bisnis antara para pihak yang

kemudian dibawa oleh Harvey Nichols and Company Limited untuk diselesaikan

di Badan Arbitrase London. Sebagaimana sesuai dengan kesepakatan antara

keduanya dalam perjanjian. Namun atas dasar ketidakpuasan, pihak PT Hamparan

Nusanatara dan PT Mitra Adiperkasa,Tbk mengajukan gugatan pembatalan

putusan arbitrase kehadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun PN Jakarta

Pusat tidak memberikan putusan sebagaimana kewenangan yang diberikan oleh

Undang-undang terkait dengan pembatalan putusan arbitrase untuknya. Sehingga

putusan PN Jakarta Pusat ini dibantah melalui gugatan kasasi ke Mahkamah

Agung oleh Harvey Nichols and Company Limited.

Yang menarik dalam pembahasan kasus ini ialah ketika adanya suatu


(16)

namun ditengah-tengah penggugat melakukan upaya tuntutan hukum dengan

alasan bahwa pelaksanaan perjanjian tersebut telah menyalahi aturan hukum di

negara RI terkait dengan menyalahi aturan PP No. 42 tahun 2007 tentang

Waralaba jo. Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M-DAG/PER/8/2008

tentang Penyelenggaraan Waralaba, hal ini patut diselidiki sebatas mana suatu

perjanjian dapat dikatakan bertentangan dengan hukum. Selain itu dalam

putusannya MA mengeluarkan putusan yang membatalkan putusan sela

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Patut menjadi pertanyaan ialah, karena meskipun UU mengatur mengenai

Pembatalan Putusan Arbitrase, UU No. 30/1999 mengenai AAPS terkait pasal

pembatalan putusan arbitrase tersebut mengalami contra dictio in termidis, seharusnya apabila ini terjadi maka majelis dapat menggunakan yurisprudensi

yang menyatakan bahwa putusan arbitrase internasional dapat dibatalkan.

Berdasarkan pemaparan tersebut penulis bermaksud meneliti dan

mengkaji lebih dalam lagi mengenai pembatalan putusan arbitrase internasional di

Indonesia dan keterkaitannya dengan pertimbangan hakim yang akan dibenturkan

dengan asas-asas serta teori yang berlaku di setiap Negara. Oleh karena itu

penulis memilih judul “PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

INTERNASIONAL (Analisis Putusan Mahkamah Agung No.


(17)

B. Identifikasi Masalah

1. Putusan Arbitrase asing masih menjadi perdebatan dalam hal penerapan dan

pelaksanaannya, terkait dengan hal penolakan putusan arbitrase asing yang

dinyatakan tidak dapat diakui.

2. Efektifitas UU yang dikritisi dengan fenomena kasus tertentu, menunjukkan

ada banyaknya kelemahan yang seharusnya menjadi alasan dan tujuan untuk

membentuk aturan mengenai arbitrase agar lebih baik lagi.

C. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Agar pembahasan fokus dan tidak meluas, Penulis membatasi

permasalahan yang akan dibahas hanya pada substansi Undang-undang dan

Peraturan dalam bidang pembatalan putusan arbitrase internasional yang

belum memiliki aturan secara benar dalam hukum materiil. Selain itu Penulis

juga membatasi analisis kasus ini pada Putusan MA No. No.

631/K/Pdt.Sus/2012.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan ulasan yang Penulis paparkan dalam latar belakang dan

permasalahan yang sudah Penulis batasi, rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah :

1. Bagaimana aturan dalam hukum perdata internasional dan hukum


(18)

2. Bagaimana kedudukan hukum putusan kasasi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke MA dalam kasus Harvey Nichols Company Ltd melawan PT Mitra Adi Perkasa dan PT Hamparan Nusantara?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui tentang aspek-aspek hukum pembatalan putusan

arbitrase internasional di Indonesia.

b. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana proses penyelesaian

sengketa putusan arbitrase internasional di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan

kontribusi pemikiran dalam Ilmu Hukum, khususnya Hukum Bisnis yang

berkaitan dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

b. Manfaat praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai

bahan rujukan bagi mahasiswa, mengenai sengketa pembatalan putusan

arbitrase internasional di Indonesia, mengingat skripsi tentang ini masih

sangat minim. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gagasan

kepada pemerintah mengenai bagaimana agar Peraturan dan Perundangan

tentang Arbitrase dan APS lebih baik lagi dan sesuai dengan kondisi


(19)

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, Penulis melakukan

tinjauan kajian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini di beberapa

perpustakaan yang Penulis temukan, yaitu :

1. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012 ,

yang disusun oleh Maisaroh Harahap, dengan judul skripsi “Pembatalan

Putusan Arbitrase Tentang Sengketa Ekonomi Syariah Oleh Pengadilan

Agama”. Penulis skripsi ini hanya membahas tentang bagaimana penyelesaian sengketa ekonomi syariah dalam pembatalan putusan Basyarnas,

berbeda dengan skripsi yang akan Penulis tulis mengenai pembatalan putusan

arbitrase asing, putusan asing berarti putusan yang dikeluarkan di luar

teritorial negara Indonesia.

2. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2012, yang disusun oleh Raden

Umar Faaris Permadi dengan judul skripsi “Pembatalan Putusan Arbitrase

Internasional di Indonesia (Studi Kasus: Putusan MA No.

273PK/Pdt/2007 dan Putusan MA No. 56PK/Pdt.Sus/2011)”. Skripsi menelaah mengenai aspek hukum perdata internasional dalam pembatalan

putusan arbitrase internasional dan membandingkan secara komparatif

putusan hakim. Berbeda dengan Penulis, substansi skripsi ini tidak

menyinggung mengenai hukum acara untuk pelaksanaan putusan arbitrase


(20)

pembahasan mengenai prosedural suatu putusan arbitrase yang dimohonkan

pembatalannya.

3. Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2011, yang disusun oleh Arman

dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap pembatalan Putusan Arbitrase di pengadilan Negeri Indonesia Dalam Hal Adanya Dugaan Pemalsuan

Dikaitkan Dengan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”. Tesis ini menelaah tentang pembatalan putusan arbitrase di Indonesia terkait dengan

adanya dugaan upaya pemalsuan dan perilaku hakim. Penulis tesis

mempermasalahkan mengenai pembatalan putusan final arbitrase dengan

hanya berdasarkan adanya dugaan pemalsuan dokumen oleh salah satu pihak.

Sedangkan skripsi yang penulis angkat mengenai kedudukan arbitrase asing di

Indonesia, hal ini memiliki keterkaitan dalam hal pembatalan tetapi sangat

berbeda dari segi substansi pada masing-masing penelitian.

F. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan

umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis

oleh para pihak yang bersengketa. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 butir 1 UU

No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS.

2. Putusan Arbitrase Asing, adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu Badan

Arbitrase ataupun Arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum


(21)

tertuang dalam Pasal 2, Perma No. 1 tahun 1990 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

3. Teori Kedaulatan Negara, menurut George Jellinek menyatakan bahwa

hukum adalah penjelmaan daripada kehendak atau kemauan Negara. Jadi,

negara jualah yang menciptakan hukum, maka negara dianggap satu-satunya

sumber hukum dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau

kedaulatan.8

G. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Pada penelitian jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis

dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai

kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang

dianggap pantas9. Penelitian ini berpacu pada putusan Mahkamah Agung

sebagai putusan yang dianalisis dan kaitannya dengan landasan norma hukum

yang berlaku dan terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun

perjanjian-perjanjian internasional. Karenanya penulisan ini menggunakan

8

Soehino. Ilmu Negara. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2004), h. 155. 9

Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet.I. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.118.


(22)

metode penelitian hukum normatif atau studi pustaka10, analisa data bersifat

kualitatif yaitu hasil pembahasan tidak berupa angka-angka.

2. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum normatif sendiri memiliki beberapa pendekatan.

Melalui pendekatan ini, Penulis mendapatkan informasi dari berbagai aspek

mengenai isu yang akan dibahas. Pendekatan yang digunakan dalam

penelitian hukum normatif yaitu11: pendekatan perundang-undangan,

pendekatan kasus, pendekatan historis dan pendekatan konseptual.

Dalam penelitian ini Penulis tentu menggunakan pendekatan

perundang-undangan (Statue Approach), karena Penulis menggunakan metode normatif yang melibatkan aturan-aturan hukum terkait dengan

masalah penelitian Penulis. Undang-undang yang penulis gunakan yaitu

Undang-undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999, Konvensi New York 1958 dan

peraturan-peraturan hukum lainnya yang berkaitan erat dengan pembatalan

putusan arbitrase Internasional.

Pendekatan kasus (Case Approach) yang Penulis gunakan yaitu, pendekatan kasus pembatalan putusan Arbitrase Internasional oleh Mahkamah

Agung. Kemudian Penulis analisis dan teliti terkait dengan

10

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 2010), h. 10. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, jenis penelitian penulis ialah problem-focueds research, yaitu penelitian yang berfokus pada masalah.

11


(23)

ketentuan dalam segi pelaksanaannya menurut peraturan dan perundangan

terkait, yaitu Konvensi New York 1958 dan UU No.30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase serta peraturan-peraturan hukum lain yang dapat Penulis kaitkan

secara normatif.

Pendekatan historis (Historical Approach) yang akan Penulis singgung ialah mengenai sejarah awal aturan tentang arbitrase dan terakhir, Pendekatan

konseptual (Conceptual Approach) membantu Penulis dalam mengkonsep pembuatannya dan alur penulisannya, serta bagaimana bentuk penulisan

selanjutnya.

H. Sumber Penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder, yaitu :

1. Bahan Hukum Primer, yakni bahan-bahan yang berisi kekuatan mengikat

kepada masyarakat. Bahan hukum primer yang penulis gunakan antara lain

UU No. 30 Tahun 1990 tentang Arbitrase; Konvensi New York 1958;

Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1982 dan peraturan-peraturan hukum

lainnya yang berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase internasional.

2. Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan-bahan yang memberikan informasi

atau hal-hal yang berkaitan dengan ini sumber primer serta implementasinya.

Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan antara lain ialah; buku-buku;


(24)

3. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum, Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder,

diklasifikasikan sesuai isu hukum yang akan dibahas. Kemudian bahan

hukum diuraikan dan diteliti sehingga mendapatkan penjelasan secara

sistematis. Pengolahan bahan hukum bersifat deduktif, yaitu menarik

kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara umum ke

permasalahan yang khusus. Bahan hukum itu diolah dan diuraikan, kemudian

Penulis menganalisanya (melakukan penalaran ilmiah) dan

menyimpulkannya. Sehingga dapat terjawab isu hukum yang telah

dirumuskan dalam rumusan masalah.

I. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempermudah pembahasan dan sistematis, penulis

mengklasifikasikan penelitian yang akan disusun ke dalam lima bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah,

batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat

penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode penelitian serta sumber Penelitian.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE INTERNASIONAL


(25)

insternasional, sejarah munculnya arbitrase dan perkembangan di

Indonesia, Perjanjian Arbitrase dan Kewenangannya.

BAB III : PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

Dalam bab ini penulis menjelaskan mengenai Ketentuan Hukum

Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional ditinjau dari

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang AAPS dan ditinjau dari Hukum

Perdata Internasional yang akan dikaitkan dengan asas-asas yang

berlaku secara internasional.

BAB IV : ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

INTERNASIONAL (Studi Analisis Putusan Mahkamah Agung No.

631/K/Pdt.Sus/2012)

Dalam bab ini akan dianalisis perkara putusan sela oleh MA terkait

kewenangan Pengadilan dalam Pembatalan Putusan Arbitrase

Internasional. Yaitu antara Harvey Nichols and Company Ltd,

dengan PT Hamparan Nusantara dan PT Mitra Adiperkasa, Tbk.

Pembahasan merupakan hasil kritisisasi UU No. 30/1999 tentang

AAPS dengan mengaitkannya pada putusan hakim Mahkamah

Agung dalam kaitannya pada Pembatalan Putusan Arbitrase


(26)

BAB V : PENUTUP

Pada bab penutup dimuat suatu kesimpulan dan saran, yaitu uraian

kesimpulan dari hasil penelitian yang dapat diberikan terhadap

permasalahan-permasalahan yang dibahas serta saran yang akan


(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM

TENTANG ARBITRASE INTERNASIONAL

A. Pengertian dan Perkembangan Arbitrase Internasional

Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu perkara perdata di luar

pengadilan, umumnya yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.12 Pada dasarnya arbitrase

merupakan perjanjian perdata dimana para pihak sepakat untuk menyelesaikan

sengketa yang terjadi di antara mereka, atau mungkin akan timbul di kemudian

hari yang diputuskan oleh orang ketiga.

Penyelesaian sengketa dilakukan oleh seorang atau beberapa orang wasit

(arbitrator) yang bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara, dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara musyawarah menunjuk pihak

ketiga dan dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak.13 Kata Arbitrase

berasal dari bahasa latin yaitu arbitrare yang berarti kekuasaan untuk

12

Pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

13

Joni Emirzon. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi, dan Arbitrase). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001. h. 97.


(28)

menyelesaikan suatu perkara menurut kebijaksanaan.14 Dalam Islam arbitrase

lebih dikenal dengan dengan istilah al tahkim, dan dalam hukum Islam istilah yang sepada dengan tahkim adalah ash-shulhu yang berarti memutus pertengkaran atau perselisihan.15

Dalam Hadist Riwayat An Nasa‟i, tentang dialog Nabi Muhammad

dengan Abu Sjureich (sering juga dipanggil Abu al hakam):16

Nabi Muhammad: Sesungguhnya hakam itu adalah Allah dan kepadaNya lah dimintakan keputusan hukum. Mengapa kamu dipanggil Abu Al hakam?

Abu Sjurech : Sesungguhnya apabila kaumku bertengkar mereka akan datang kepadaku meminta Penyelesaian dan kedua belah pihak rela dengan putusanku itu.

Nabi Muhammad: Alangkah baiknya perbuatanmu itu!

Arbitrase pada dasarnya menggunakan konsep musyawarah, dan Islam

sangat banyak membahas mengenai musyawarah. Salah satunya dalam

firmanNya, Allah Swt menjelaskan bahwa:

14

Joni Emirzon. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi, dan Arbitrase). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001. h. 97.

15

Achmad Djauhari, Arbitrase Syariah di Indonesia, 2006, Jakarta: Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), h. 26.

16

Achmad Djauhari, Arbitrase Syariah di Indonesia, 2006, Jakarta: Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), h. 30.


(29)

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka

bertakwallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”

Suatu arbitrase dianggap “Internasional” apabila para pihak pada saat

dibuatnya perjanjian, yang bersangkautan mempunyai tempat usaha mereka

(place of business) di negara-negara yang berbeda.17 Misalnya dalam suatu kerjasama, salah satu pihak memiliki Perusahaan di London. Dalam arti,

perusahaan tersebut berdiri berdasarkan hukum di Inggris dan pihak lain memiliki

Perusahaan di Indonesia. Jika terjadi perselisihan dan keduanya menyepakati

penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka arbitrase ini tergolong arbitrase

internasional.

17

Sudargo Gautama. Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia. Bandung: PT Eresco, 1989. h. 3.


(30)

Dalam sejarah perundang-undangan di negara Indonesia, aturan mengenai

Arbitrase diatur dalam Buku Ketiga Reglemen Acara Perdata tentang Aneka

Acara, yaitu pada Bab Pertama yang mengatur mengenai Putusan Wasit

(Arbitrase) yang terdiri mulai dari Pasal 615-651. Sebagai pedoman aturan umum

arbitrase yang diatur dalam Reglemen Acara Perdata, meliputi lima bagian

pokok18:

- Bagian Pertama (615-623): Persetujuan arbitrase dan pengangkatan

arbitrator atau arbiter

- Bagian Kedua (624-630): Pemeriksaan di muka badan Arbitrase

- Bagian Ketiga (631-640): Putusan Arbitrase

- Bagian Keempat (641-647): Upaya-upaya terhadap putusan Arbitrase

- Bagian Kelima (647-651): Berakhirnya acara-acara Arbitrase.

Sumber hukum perdata zaman kolonial tidak mengatur sama sekali aturan

mengenai Arbitrase Internasional. “Seolah-olah, peraturan itu memencilkan bangsa Indonesia dari lingkungan kehidupan hubungan antarnegara di bidang

arbitrase”.19

18

M. Yahya Harahap. Arbitrase (Ditinjau dari: Regelemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990). Jakarta: Sinar Grafika, 2006. h. 2.

19

M. Yahya Harahap. Arbitrase (Ditinjau dari: Regelemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990). Jakarta: Sinar Grafika, 2006. h. 3.


(31)

Beberapa landasan pelaksanaan arbitrase asing di Indonesia antara lain

yaitu UU No. 5 Tahun 1968 yang merupakan persetujuan atas konvensi tentang

penyelesaian perselisihan antar negara dan warganegara asing mengenai

penanaman modal atau biasa disebut „Convention on the Settlement of Investment

Disputes between States and Nationals of other States‟. Konvensi ini lazim juga disebut World Bank Convention atau Konvensi Bank Dunia.

Tujuan menetapkan persetujuan ratifikasi atas Konvensi ini bermaksud

untuk mendorong dan membina perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia.20 Hal ini diupayakan, sebab Pemerintah Indonesia ingin memberikan suatu rasa aman dan kepercayaan kepada Investor asing bahwa,

apabila terjadi sengketa penyelesaiannya dapat dibawa ke ranah forum arbitrase.

Namun meskipun Indonesia telah meratifikasi Convention on the Recognition and Enforcment of Foreign Arbitral Award, namun dalam hal eksekusi putusan arbitrase asing masih memiliki kendala.

Keppres No. 34 Tahun 1981 menunjukkan Pemerintah RI telah

mengesahkan dan bergabung ke dalam Konvensi New York 1958. Namun

kendala pelaksanaannya terjadi dikarenakan belum adanya dasar hukum

mengenai pelaksanaan tersebut, karena itu Perma No. 1 Tahun 1990 merupakan

jawaban terhadap tata cara pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Ketika

20

Yahya Harahap. Arbitrase (Ditinjau dari : Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), INCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990, Cet. Ke-3. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. h. 5.


(32)

unsur-unsur mengakui sudah terpenuhi, unsur melaksanakan eksekusi

(enforcement) yang masih belum dapat dilaksanakan.

Pasalnya, sesuai dengan praktek hukum yang berlaku diperlukan lagi

peraturan pelaksanaan tentang tata cara “exequatur”. Tanpa peraturan

pelaksanaan, pengadilan Indonesia tidak dapat menilai dan mempertimbangkan

dengan hukum atau ketertiban umum yang berlaku di Indonesia.21

Penyempurnaan dilakukan melalui undang-undang pelaksanaanya, yaitu

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa. Penjelasan mengenai Arbitrase Internasional dapat dilihat dalam Pasal

1 dalam ketentuan umum butir 9 bahwa “Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase Internasional”.

B. Kekuatan Hukum Arbitrase Internasional (Choice of Forum, Choice of Law,

Final and Binding)

1. Choice of Forum

21

Yahya Harahap. Arbitrase (Ditinjau dari : Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), INCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990, Cet: ke-3. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. h. 32.


(33)

Pilihan forum merupakan pilihan terhadap jurisdiksi lembaga atau badan

yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik sendiri-sendiri

maupun bersama-sama dalam rangka mengajukan tuntutan pengembalian hak

terhadap pihak yang dianggap telah melanggar dan/atau merugikan pihak

yang mengajukan tuntutan.22

Sedangkan dalam HPI (Hukum Perdata Internasional) yang dimaksud

dengan pilihan hakim atau pilihan forum (Choice of Court, Choice of Forum) adalah pemilihan yang dilakukan terhadap instansi peradilan atau instansi lain

yang oleh para pihak ditentukan sebagai instansi yang akan menangani

sengketa mereka jika terjadi di kemudian hari.23

Pilihan forum memiliki beberapa prinsip yang berlaku antara lain:24

1. Prinsip kebebasan para pihak

Kebebasan para pihak termasuk di dalamnya kebebasan untuk

mengubah forum yang sebelumnya telah disepakati. Prinsip kebebasan

22

Erman Suparman. Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan. Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012. h. 50.

23

Sudargo Gautama. Hukum Perdata Internasiona Indonesial. Bandung: Alumni, 1989. h. 53-54. Para pihak di dalam suatu kontrak dapat menyepakati sebuah klausula yang isinya menentukan bahwa, apabila di kemudian hari timbul sengketa dari substansi kontrak yang mereka sepakati tersebut, sengketa dimaksud akan dibawa untuk diselesaikan oleh sebuah lembaga peradilan yang mereka pilih selain pengadilan negeri di Indonesia. Pilihan dapat dilakukan terhadap lembaga tempat penyelesaian sengketa yang ada, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.” Lihat juga Erman Suparman, Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012), h. 52.

24

Huala Adolf. Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, Cet: ke-II. Bandung: Rafika Aditama, 2008. h. 167-168.


(34)

para pihak dalam memilih forum ini pada prinsipnya adalah hukum

yang mengikat.

2. Prinsip bonafid

Kesepakatan para pihak harus dihormati dan dilaksanakan dengan

iktikad baik. Penghormatan terhadap prinsip ini terletak pada

penghormatan atas ekspektasi dan keyakinan para pihak bahwa forum

yang dipilihnya adalah forum yang netral dan adil untuk

menyelesaikan sengketa, termasuk keahlian pengadilan di dalam

menyelesaikan sengketa.

3. Prinsip prediktabilitas dan efektifitas

Pilihan forum tidak boleh dilakukan secara sparodis. Pemilihan suatu

forum harus didasarkan pada pertimbangan apakah forum yang akan

menangani sengketa suatu kontrak dapat diprediksi kewenangannya

dalam memutus sengketa. Selain itu perlu diperhatikan pula efektifitas

putusan yang akan dikeluarkan dan kemungkinan akan ditaati dan

dilaksanakan.

4. Prinsip jurisdiksi eksklusif

Pilihan forum hendaknya tegas, eksklusif dan tidak menimbulkan

jurisdiksi ganda. Di dalam perancangan kontrak internasional, tidak

jarang para pihak mencantumkan lebih dari satu pilihan forum untuk


(35)

Pilihan forum arbitrase berawal dari adanya perjanjian atau kesepakatan

yang memang sebatas persoalan perniagaan. Kompetensi forum arbitrase

sebagai akibat adanya pilihan jurisdiksi melalui perjanjian arbitrase

(agreement to arbitrate), baik melalui klausul arbitrase (arbitration clause) maupun melalui submission agreement, secara implisit diakui dan dinyatakan dalam artikel II ayat (3) Konvensi New York 1958. Bahwa pengadilan dari

negara penandatanganan konvensi harus merujuk pada pihak ke forum

arbitrase, menunjukkan betapa akibat adanya pilihan forum pengadilan negeri

menjadi tidak berwenang memeriksa sengketa dimaksud, kecuali apabila

ternyata dapat dibuktikan bahwa “... the said agreement is “null and void”

inoperative or incapable of being performed”.25

Prof. Erman menjelaskan bahwa, negara kita menganut asas kebebasan

berkontrak, karenanya klausula arbitrase mengikat secara mutlak terhadap

para pihak yang membuatnya. Klausula arbitrase langsung melahirkan

kompetensi absolut forum arbitrase sesuai pilihan para pihak.

2. Choice of Law

Dalam mengantisipasi terjadinya sengketa, para pihak dapat melakukan

pilihan hukum terkait klausul perjanjian yang mereka sepakati. Dalam

25

Erman Suparman. Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan. Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012. h. 68-69. Yang dimaksud yaitu apabila dalam kesepakatan memiliki adanya kehendak yang tidak bebas dalam menentukan persetujuan, maupun adanya penipuan dalam berjalannya suatu proses ber-arbitrase. Maka perananya, pengadilan negeri menjadi memiliki kewenangan dalam menangani perkara.


(36)

bukunya “Arbitrase Komersial Internasional”, Huala Adolf membagi dua jenis pilihan hukum yang dikenal dalam Hukum Perdata Internasional:

Pertama, pilihan hukum secara tegas. Dalam hal ini memberitahukan secara jelas dalam kontrak yang biasanya memiliki klausul tersendiri, yaitu

menyatakan menggunakan hukum mana dalam pelaksanaan perjanjian

tersebut. Contohnya, untuk menyelesaikan perkara jual beli yang mungkin

timbul antara perusahaan/pengusaha Amerika Serikat dengan pengusaha

Indonesia. Maka dengan persetujuan bersama di dalam kontrak itu

dicantumkan klausul tambahan. Misalnya saja dalam klausul itu ditentukan

bahwa untuk perjanjian jual beli itu berlaku ketentuan hukum Indonesia.26

Kedua, pilihan hukum secara diam-diam. Yang dimaksud dalam pilihan hukum ini ialah para pihak tidak memilih hukum mana yang akan berlaku,

tetapi pilihan hukum itu akan tampak melalui penafsiran terhadap isi kontrak

atau dalam kehendak para pihak. Misalnya dalam dokumen kontrak itu, para

pihak mengutip beberapa pasal hukum perdata Amerika Serikat. Maka secara

tidak langsung tampak bahwa para pihak menginginkan kontrak itu tunduk

pada hukum Amerika Serikat, sehingga apabila timbul sengketa di kemudian

hari, maka hukum yang akan mengaturnya adalah hukum Amerika Serikat.27

26

Huala Adolf. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta : Rajawali Pers, 1991. h. 44. 27


(37)

Selanjutnya, apabila para pihak tidak memberikan petunjuk sama sekali,

maka hakim yang menangani perkara harus mencari hukum yang paling tepat

sesuai dengan fakta-fakta yang melekat pada para pihak yang saling

mengikatkan janji maupun ketentuan-ketentuan yang dituangkan dalam

perjanjian tersebut. Perjanjian arbitrase seperti halnya perjanjian hukum

lainnya, hanya dapat dirubah atau ditambah oleh kedua belah pihak atau lebih

dalam perjanjian.28

3. Final dan Binding

Arbitrase memiliki asas final dan binding yang berarti putusan arbitase bersifat putusan akhir dan tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain,

seperti banding atau kasasi.29 Hal tersebut dituangkan dalam Pasal 60 UU

AAPS “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum

tetap dan mengikat para pihak”.

Padahal pada prakteknya asas ini tidak sesuai dengan kenyataan, nyatanya

putusan arbitrase dapat dimintai pembatalan untuk putusan arbitrase nasional

melalui jalur Pengadilan Negeri. Dan penolakan pengakuan yang

mempengaruhi dapat dilakukan eksekusi atau tidaknya, melalui Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat. Pelaksanaan eksekuaturnya pun setelah memperoleh

28

Priyatna Abdurrasyid. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Suatu Pengantar. BANI: PT Fikahati Aneska, 2011. h. 76.

29

Sudiarto dan Zaenani Asyhadie, Mengenal Arbitrase (Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis). Jakarta : PT Raja Grafindo, 2004. h. 32.


(38)

persetujuan dari Mahkamah Agung yang selanjutnya dilimpahkan kepada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Keterlibatan pengadilan di sini, patut dipertanyakan, terkait dengan prinsip

kemandirian, final dan mengikatnya putusan arbitrase. Terlebih terhadap

putusan arbitrase asing yang sangat terkait erat dengan prinsip timbal balik

atau resiprositas (reciprocity principle).30

C. Pengakuan dan Pelaksanaan Arbitrase Internasional di Indonesia

Dalam hal pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase yang dibuat di

luar negeri masih menjadi perdebatan. Pasalnya dalam suatu pengakuan dan

pelaksanaannya, terkait dengan Arbitrase Internasional ini bukan hanya

mengandalkan pengakuan terkait Konvesi New York 1958 saja, namun harus ada

aturan yang bersifat nasional yang dibuat di masing-masing negara bersangkutan

yang saling mengakui, sebagai aplikasi pelaksanaan dari putusan arbitrase

internasional tersebut.

Sebenarnya, timbulnya masalah ini merupakan refleksi dari peraturan atau

konvensi internasional pada umumnya, termasuk Konvensi New York 1958,

yakni bahwa konvensi internasional ini tidak mengatur peraturan-peraturan yang

detail, namum hanya mengatur hal-hal pokoknya saja. Dalam lingkup nasional,

konvensi ini ibarat undang-undang pokok yang pelaksanaannya dijabarkan

30

Erman Suparman. Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan. Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012. h. 147.


(39)

melalui Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden, Keputusan

Menteri, yang kesemuanya ini merupakan Implementating Legislation-nya.31 Mengacu pada Konvensi New York 1958 yang menjadi landasan bagi

negara dalam melaksanakan „pelaksanaan keputusan arbitrase komersial

internasional‟ di negara-negara yang saling meratifikasi, maka apabila diperhatikan Konvensi ini mengandung 16 Pasal. Dari pasal-pasal ini dapat

ditarik 5 prinsip berikut ini:32

Pertama, konvensi ini menerapkan prinsip pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri dan menempatkan keputusan tersebut pada

kedudukan yang sama dengan keputusan arbitrase luar negeri dan menempatkan

keputusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan keputusan peradilan

nasional. Kedua, konvensi ini mengakui prinsip keputusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu ditarik dalam pengambilan keputusannya. Ketiga, konvensi ini menghindari proses pelaksanaan ganda (doubleenforcement process).

Keempat, Konvensi New York 1958 menyaratkan penyerderhanaan dokumentasi yang diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan

konvensi, dalam hal ini hanya menyaratkan 2 dokumen saja untuk dapat

melaksanakan suatu keputusan, yaitu dokumen keputusan yang asli atau kopinya

yang sah dan dokumen perjanjian arbitrase yang asli atau kopinya yang sah (Pasal

31

Huala Adolf. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta : PT Rajawali, 1991. h. 78.

32


(40)

IV). Prinsip kelima, Konvensi New York 1958 lebih lengkap, lebih komprehensif daripada hukum nasional pada umumnya. Secara garis besar Konvensi New York

tidak hanya mengatur pada pelaksanaan saja (enforcement), namun juga mengenai pengakuan (recognition) terhadap suatu keputusan arbitrase meskipun tak ada pembahasan terkait pembatalan putusan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pasal

dalam konvensi tersebut yang menerangkan mengenai pengakuan dan

pelaksanaan keputusan arbitrase yaitu Pasal I, III dan V Konvensi New York

1958.

Pasal I menjelaskan bahwa Konvensi berlaku untuk putusan-putusan

arbitrase yang dibuat dalam wilayah suatu negara maupun negara lain, yang mana

pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase itu diminta dan berlaku terhadap

putusan-putusan arbitrase yang bukan domestik di suatu negara dimana

pengakuan dan pelaksanaannya diminta.

Pasal III menjelaskan mengenai kewajiban bagi setiap negara peserta

untuk mengakui keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri mempunyai

kekuatan hukum dan melaksanakannya sesuai dengan hukum (secara) nasional

dimana keputusan tersebut akan dilaksanakan.

Konvensi hanya menyebutkan saja tentang daya mengikat suatu keputusan

dan tentang bagaimana pelaksanaan suatu keputusan dan tentang bagaimana

pelaksanaan atau eksekusinya. Konvensi tidak mengatur siapa pihak yang


(41)

mengenai alasan-alasan yang dapat diajukan oleh para pihak untuk menolak

pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase asing.

Namun pada waktu itu Mahkamah Agung berpendapat, bahwa meskipun

pemerintah RI telah mengaksesi Konvensi melalui Keppres No. 34 Tahun 1981,

namun dengan adanya perundang-undangan tersebut tidak serta merta berarti

bahwa keputusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia. Mahkamah

berpendapat bahwa perlu adanya peraturan pelaksana dari Keppres tersebut agar

pelaksanaan (eksekusi) keputusan arbitrase asing dapat dilaksanakan. Lengkapnya

Mahkamah menyatakan sebagai berikut33:

“Bahwa selanjutnya mengenai Keppres No. 34 Tahun 1981 tanggal 5

Agustus 1981 dan lampirannya tentang pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award sesuai dengan praktek hukum yang masih berlaku harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi putusan hakim arbitrase dapat diajukan langsung kepada Pengadilan Negeri, kepada Pengadilan Negeri yang mana, ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum Indonesia bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, permohonan pelaksanaan Hakim

Arbitrase asing seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima”.

Cairnya kevakuman pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing di

Indonesia terjadi setelah MA mengeluarkan peraturannya, yaitu Perma No. 1

33

Huala Adolf. Arbitrase Komersial Internasional, Cet: ke-3. Jakarta : PT Rajawali, 2002. h. 120.


(42)

Tahun 1990. Pada tahun itu pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing

dilakukan di bawah kewenangan Mahkamah Agung (Pasal 4). Namun kemudian

dibentuknya UU AAPS No. 30 Tahun 1999 yang mana pelaksanaan eksekusi

arbitrase asing dibahas melalui Pasal 67 “(1) Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat”. Maka, pelimpahan kewenangan mengenai eksekusi putusan arbitrase asing berada di bawah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terkecuali, jika

terjadi penolakan pengakuan dan pelaksanaan maka dapat diajukan kasasi ke

Mahkamah Agung.

Dalam sejarahnya Mahkamah Agung pernah mengeluarkan putusan

mengenai pembatalan Putusan Arbitrase Asing yang terjadi pada tahun 1992

dimana terjadi sengketa mengenai kontrak Bulog antara Haryanto (Pengusaha

Indonesia) dan Man (Pengusaha Inggris). Karena saat itu harga Bulog sedang

melambung tinggi akhirnya Haryanto membatalkan perjanjian secara sepihak dan

pihak Man merasa dirugikan akan hal tersebut sehingga mengajukan gugatan ke

Badan Arbitrase di London sesuai kesepakatan dalam perjanjian.

Namun Haryanto tidak mematuhi putusan Arbitrase tersebut dan

mengajukan gugatan pembatalan kontrak tadi ke PN Jakarta Pusat dengan

gugatan melanggar ketertiban umum. Baik PN Jakarta Pusat maupun Pengadilan


(43)

pelaksanaan putusan arbitrase London dan MA mengabulkan Permohonan

tersebut.

Pada tanggal 14 Desember 1992, Majelis Hakim diketuai oleh Prof.

Bustanil Arifin menolak kasasi Man. Keputusan tersebut menyatakan penetapan

exequatur tadi tidak bisa dilaksanakan. Alasannya, penetapan tersebut hanya

bersifat tittel eksekuatur saja, yang belum merupakan perintah (prima facie). Sedangkan pelaksanaan putusan menurut Majelis, tetap harus tunduk kepada

hukum acara Indonesia.34 Dari kasus ini dapat dilihat bahwa alasan kepentingan

umum dipakai sebagai alasan suatu pembatalan putusan arbitrase.

34

Huala Adolf. Arbitrase Komersial Internasional,Cet: ke-3 .Jakarta : PT Rajawali, 2002. h. 127.


(44)

Bab III

Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional

A. Ditinjau dari Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa No. 30 Tahun 1999 (UU AAPS)

Arbitrase merupakan lembaga yang paling umum digunakan untuk

menyelesaikan sengketa komersial dalam lingkup transaksi bisnis domestik

maupun bisnis internasional. Dalam hal ini lembaga peradilan diharuskan

menghormati lembaga arbitrase. Kewajiban pengadilan tersebut ditegaskan dalam

Pasal 3 juncto Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah

terikat dalam perjanjian arbitrase.35

M. Yahya Harahap kurang setuju mengenai hal ini. Menurutnya yang

dikaitkan dengan yurisdiksi arbitrase dan pengadilan yang digariskan Pasal 3 dan

11 menimbulkan kecenderungan yang keliru. “Terdapat kecenderungan penerapan yurisdiksi arbitrase secara generalisasi dan absolut, tanpa

memperhatikan rumusan klausul yang disepakati dalam perjanjian”.36

35

Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 2006. h. 70.

36

M. Yahya Harahap. “Beberapa Cacatan Yang Perlu Mendapat Perhatian Atas UU. 30 Tahun 1999”, Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Vol 21, Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisns, 2002. h. 16. Dalam tulisannya M. Yahya Harahap menerangkan bahwa bentuk klausula yang bersifat umum yang disepakati dalam perjanjian. Para pihak sepakat agar para pihak sepakat agar segala atau setiap disputes yang terjadi atau yang timbul dari perjanjian, akan


(45)

Artinya, ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 telah membentuk kecenderungan

penerapan klausula arbitrase secara generalisasi dan absolut berbentuk klausul

umum, sehingga setiap klausula yang diperjanjikan otomatis melahirkan

yurisdiksi absolut arbitrase untuk menyelesaikan segala atau setiap sengketa yang

terjadi dari perjanjian. Padahal di sisi lain, hukum tidak hanya mengakui dan

membenarkan bentuk klausula umum saja, tetapi juga bentuk klausula yang

bersifat enumeratif atau parsial secara terbatas untuk jenis sengketa tertentu saja.

Dalam bentuk klausula yang bersifat rinci (enumeratif) dan parsial atau terbatas, harus ditegakkan penerapan yurisdiksi secara terbatas untuk jenis

sengketa tertentu saja. Dalam bentuk klausula yang enumeratif dan parsial, harus

ditegakkan penerapan yurisdiksi secara terpisah dan mendua:37

- Yang menjadi yurisdiksi arbitrase hanya terbatas sepanjang jenis

sengketa yang disebut dalam klausula;

- Sebaliknya segala sengketa yang timbul di luar ruang lingkup yang

disebut dalam klausula arbitrase, mutlak menjadi yurisdiksi PN.

Keterangan mengenai kelemahan pasal UU Arbitrase tersebut apabila

dilihat pada pasal-pasal lain memiliki beberapa kelemahan yang hampir sama.

Salah satunya pasal mengenai Pembatalan Putusan Arbitrase.

diselesaikan oleh arbitrase. Sedangkan absolut dalam pasal tersebut, menerangkan bahwa sengketa apa saja yang timbul dari perjanjian menjadi mutlak yurisdiksi arbitrase untuk menyelesaikannya.

37

M. Yahya Harahap. “Beberapa Cacatan Yang Perlu Mendapat Perhatian Atas UU. 30 Tahun 1999”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Vol 21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisns, 2002. h. 18.


(46)

Dalam pasal yang menyinggung mengenai Pembatalan Putusan Arbitrase,

yaitu dijelaskan pada Bab VII di Pasal 70 hingga Pasal 72. Isi dalam bab tersebut

mengenai Pembatalan Putusan Arbitrase dan tidak dijelaskan diperuntukkan

untuk putusan arbitrase mana yang dapat dibatalkan.

Sebelumnya patut diperhatikan perbedaan mengenai Pembatalan dan

Penolakan. Dari segi bahasa Inggris Pembatalan diistilahkan sebagai annulment

atau set aside, sementara Penolakan dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai

refusal. Dalam hal ini, Pembatalan dan Penolakan dapat dilihat dari konsekuensi hukumnya. Pembatalan putusan berakibat pada dinafikannya (seolah tak pernah

dibuat) suatu putusan arbitrase, dan Penolakan putusan arbitrase oleh pengadilan

tidak berarti menafikan putusan tersebut.38

Pasal 65 menjelaskan”Yang berwenang menangani masalah Pengakuan

dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat”. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan tempat

penyelenggaraan pendaftaran terkait dengan pengakuan putusan arbitrase asing,

dan hal tersebut merupakan yurisdiksi yang kewenangannya diberikan melalui

Perma No. 1 Tahun 1990 dan diperkuat lagi melalui UU No. 30 Tahun 1999.

Kemudian sebatas mana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berhak atas pengakuan

dan pelaksanaan tersebut diatur kemudian di dalam pasal selanjutnya.

38

Hikmahanto Juwana. “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Vol 21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisns, 2002. h. 68.


(47)

Keterkaitan kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap

Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional, dijelaskan di dalam UU No. 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS juga tidak secara jelas menerangkan

arbitrase nasional maupun arbitrase Internasional. Para penegak hukum pun masih

banyak yang keliru menerapkan bunyi pasal ini.

Adanya indikasi bahwa aturan pembatalan putusan arbitrase

diperuntukkan untuk putusan arbitrase nasional, terlihat pada pengaturan tentang

pengadilan yang berwenang untuk menerima pendaftaran putusan arbitrase.

Dalam hal pelaksanaan terhadap Putusan Arbitrase Internasional, sebagaimana

diatur dalam Pasal 65 dan 67 ayat (1), pembentuk UU menunjuk secara eksklusif

„Pengadilan Negeri Jakarta Pusat‟. Sementara dalam pembatalan putusan

arbitrase, sebagaimana diatur dalam Pasal 70 dan 71, tidak dilakukan secara

eksklusif di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melainkan bisa didaftarkan di

panitera „Pengadilan Negeri‟.39

Hal tersebut menerangkan bahwa pembatalan putusan arbitrase

Internasional tidak diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999. Dalam praktiknya

Pengadilan Indonesia pernah membatalkan Putusan Arbitrase Internasional, yaitu

pada Kasus Karaha Bodas Company (KBC). Dimana PN Jakarta Pusat

39

Hikmahanto Juwana. “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Vol 21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisns, 2002. h. 71.


(48)

menyatakan bahwa dirinya memiliki kompetensi untuk membatalkan Putusan

Arbitrase Jenewa.

Sengketa ini bermula dengan ditandatanganinya perjanjian Join Operation Contract (JOC) pada tanggal 28 Nopember 1994. Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di satu pihak dan Pertamina serta KBC

menandatangani perjanjian Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian kerjasama ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan

tenaga panas bumi yang ada di Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam

perjalanannya proyek kelistrikan ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tertanggal 20 September 1997.

Dampak penangguhan adalah kerjasama Pertamina dengan KBC tidak dapat

dilanjutkan.40

Secara garis besar, kesimpulannya Pertamina tidak mau melaksanakan

putusan Arbitrase Jenewa tersebut dan berusahan menolakan putusan Arbitrase

melalui berbagai cara. Salah satunya yaitu melakukan penolakan ke

pengadilan-pengadilan di negara-negara dimana KBC meminta untuk dilakukan eksekusi.

Bahkan Pertamina bukan hanya melakukan upaya hukum dengan menolak

putusan tersebut, tetapi melakukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase

yang dilakukan di Pengadilan Indonesia.

40

Hikmahanto Juwana. “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Vol 21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisns, 2002. h. 69.


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

"Menimbang, bahwa setelah memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (9) UU No.

30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta bukti T-1 tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa dalil Tergugat yang menyatakan bahwa putusan yang sedang disengketakan adalah putusan Arbitrase Internasional dapat dibenarkan";

9. Bahwa pertimbangan Judex Facti tingkat pertama tersebut telah nyata memperlihatkan, bahwa Majelis Hakim sependapat dengan eksepsi kompetensi yang diajukan oleh Tergugat (sekarang Pemohon Banding) bahwa objek yang disengketakan, yakni putusan Arbitrase Internasional ISDR 129100009, adalah merupakan putusan Arbitrase lnternasional. Namun pada amar putusannya, Majelis Hakim tidak konsisten dalam memberikan putusannya dengan menyatakan bahwa "Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini";

Dengan demikian, jelas terlihat adanya ketidakkonsistenan antara pertimbangan hukum yang diuraikan dan amar putusan dari Majelis Hakim yang memeriksa dan menjatuhkan putusan sela a quo;

B Keberatan kedua;

Judex Facti tingkat pertama salah dalam menerapkan Pasal 65 UU Arbitrase sebagai dasar kewenangannya dalam memeriksa dan mengadili perkara a quo;

1. Bahwa berdasarkan apa yang kami dengar dan kami catat dari pembacaan putusan sela a quo oleh Hakim Judex Facti, Majelis Hakim Judex Facti menyatakan bahwa:

"Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan tersebut apabila diterapkan dalam perkara a quo maka Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan Penggugat harus tetap diperiksa oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Pengadilan yang diberi kewenangan berdasarkan Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 dengan terlebih dahulu mendengar dan memperhatikan hak-hak dari pihak Tergugat untuk memberikan tanggapan";

2. Bahwa Pasal 65 UU Arbitrase menyatakan bahwa: "Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;

3. Pasal 65 hingga Pasal 69 UU Arbitrase mengatur tatacara pengajuan permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional. Tidak satupun pasal-pasal dalam UU Arbitrase yang mengatur tentang pembatalan putusan Arbitrase Internasional;

Hal. 33 dari 38 hal. Put. No. 631 K/Pdt.Sus/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

4. Bahwa gugatan yang diajukan oleh para Penggugat (sekarang para Termohon

Banding) adalah merupakan gugatan "Pembatalan putusan Arbitrase Internasional".Permohonan pembatalan putusan arbitrase diatur pada Pasal 70 UU Arbitrase. Pasal 70 UU Arbitrase menyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut mengandung unsur-unsur tertentu yang disebutkan pada Pasal 70 tersebut; 5. Pasal 70 UU Arbitrase mengatur permohonan pembatalan putusan arbitrase

dalam negeri bukan putusan Arbitrase Internasional;

6. Pasal 65 hingga Pasal 69 UU Arbitrase merupakan tatacara bagi para Pemohon pengakuan dan pelaksanaanputusan Arbitrase Internasional. Pasal-pasal tersebut bukan merupakan tatacara pengajuan gugatan pembatalan putusan Arbitrase Internasional;

Maka oleh karena itu, Judex Facti telah salah dalam menerapkan Pasal 65 UU Arbitrase sebagai dalil kewenangannya dalam menangani perkara gugatan pembatalan putusan Arbitrase Internasional;

C. Keberatan ketiga;

Berdasarkan Konvensi New York, Pengadilan yang berwenang untuk mengadili permohonan pembatalan putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan di tempat putusan arbitrase tersebut dijatuhkan;

1. Konvensi New York mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing ("Konvensi NewYork"), yang telah diratifikasi oleh Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 34/1981,tanggal 5 Agustus 1981, menyatakan bahwa Pengadilan yang berwenang untuk mengadili permohonan pembatalan putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan di tempat putusan arbitrase tersebut dijatuhkan;

2. Pasal V butir (e) menyatakan bahwa pelaksanaan suatu putusan Arbitrase Internasional dapat ditolak apabila putusan Arbitrase Internasional tersebut telah dibatalkan oleh:

"a competent authority of the country in which, or under the law of which, that a ward was made”;

Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

“Lembaga yang berwenang di Negara di mana, atau berdasarkan hukum mana putusan tersebut dijatuhkan";

34

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

3. Putusan Arbitrase IDSR 129100009 adalah putusan Arbitrase Internasional yang

dijatuhkan di London, Inggris. Oleh karena itu, sekiranya terdapat alasan pembatalan atas putusan Arbitrase IDSR 129100009, para Penggugat (sekarang para Termohon Banding) harus mengajukan permohonan pembatalan tersebut ke Pengadilan di London, Inggris, dan bukan Pengadilan di Indonesia;

D Keberatan keempat;

Pedoman yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung menyatakan bahwa yang dapat dimohonkan pembatalan adalah hanya putusan arbitrase nasional, dan dengan demikian Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili permohonan pembatalan putusan Arbitrase Internasional;

1. Permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 UU Arbitrase hanya mengatur pembatalan putusan arbitrase nasional dan bukan pembatalan putusan Arbitrase Internasional; 2. Mahkamah Agung Republik Indonesia telah secara tegas mengatur hal ini dalam

pedoman yang telah dikeluarkan kepada seluruh Pejabat struktural dan fungsional beserta Aparat peradilan melalui Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan sebagaimana terlampir dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. KMA/032/SK/IV.2006;

3. Dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, halaman 178 dinyatakan dengan tegas sebagai berikut:

"C. Pembatalan putusan arbitrase

1. Yang dapat dimohonkan pembatalan adalah putusan arbitrase nasional, sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, sesuai ketentuan Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999." (Vide bukti T-2);

4. Dari ketentuan di atas, terlihat dengan jelas bahwa putusan arbitrase yang dapat dimohonkan pembatalan kepada Pengadilan Negeri hanya terbatas kepada putusan arbitrase nasional saja, itupun sepanjang putusan arbitrase nasional tersebut memenuhi syarat pembatalan sebagaimana diatur dalam UU Arbitrase. Adapun putusan Arbitrase Internasional tidak dapat dimohonkan pembatalan kepada Pengadilan Negeri;

5. Dengan demikian, jelas bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili permohonan pembatalan putusan Arbitrase IDSR 129100009

Hal. 35 dari 38 hal. Put. No. 631 K/Pdt.Sus/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

karena putusan Arbitrase IDSR 129100009 a quo merupakan putusan Arbitrase

Internasional dan bukan putusan arbitrase nasional;

6. Lebih lanjut, dalam butir kedua Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor: KMA/032/SK/IV.2006, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia menetapkan:

"Memerintahkan kepada semua Pejabat struktural dan fungsional beserta Aparat peradilan untuk melaksanakan Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilansebagaimana tersebut dalam Buku II secara seragam, disiplin, tertib dan bertanggung jawab." (Vide bukti T-3);

7. Jelas bahwa dengan adanya surat keputusan di atas, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah secara khusus memberikan arahan yang wajib diikuti oleh semua Pejabat struktural dan fungsional beserta Aparat Pengadilan, yang isinya menyatakan, bahwa Pengadilan Negeri tidak dapat menerima permohonan pembatalan putusan Arbitrase Internasional, karena yang dapat dimohonkan pembatalan hanyalah permohonan pembatalan putusan arbitrase nasional saja;

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut dapat dibenarkan, dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:

- Bahwa Pengadilan yang berwenang membatalkan putusan Arbitrase IDSR 129100009 a quo adalah di Negara mana putusan arbitrase tersebut dibuat yaitu Pengadilan di London, Inggris;

- Bahwa pembatalan putusan Arbitrase Internasional tidak diatur dalam perjanjian internasional, oleh sebab itu Pengadilan Nasional suatu Negara tidak mungkin dapat membatalkan putusan Arbitrase Internasional;

- Bahwa pembatalan putusan Arbitrase Internasional diatur dalam Konvensi New York 1958 dan sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing Negara peserta konvensi untuk menentukan sendiri kriteria dan dasar yang digunakan sebagai alasan pembatalan putusan arbitrase, sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang, namun pertimbangan hukum Pengadilan Negeri tentang gugatan prematur sudah tepat sebab landasan putusan adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang belum berkekuatan hukum tetap;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari 36

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Pemohon Kasasi: HARVEY NICHOLS AND COMPANY LIMITED tersebut, dan

membatalkan putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 126/Pdt.G/2011/ PN.Jkt.Pst tanggal 13 Oktober 2011 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/ Tergugat dikabulkan dan para Termohon Kasasi/para Penggugat berada di pihak yang kalah, maka para Termohon Kasasi/para Penggugat harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan;

Memperhatikan pasal-pasal dari undang No. 48 Tahun 2009, Undang-undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2009, dan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;

M E N G A D I L I :

Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: HARVEY NICHOLS AND COMPANY LIMITED tersebut;

Membatalkan putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 126/ Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst tanggal 13 Oktober 2011;

MENGADILI SENDIRI:

Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili gugatan pembatalan putusan Arbitrase Internasional atas putusan IDSR 129100009;

Menghukum para Termohon Kasasi/para Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 27 Desember 2012 oleh Prof. Dr. Valerine J.L.K, SH., MA., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. Nurul Elmiyah, SH., MH., dan Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH., LL.M.,

Hakim-Hakim Agung masing-masing sebagai Hakim Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota tersebut, dan dibantu oleh Bongbongan Silaban, SH., LL.M., Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh para pihak.

Hakim-Hakim Anggota: K e t u a :

Hal. 37 dari 38 hal. Put. No. 631 K/Pdt.Sus/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

ttd/Prof. Dr. Valerine J.L.K, SH., MA.

ttd/Dr. Nurul Elmiyah, SH., MH.

ttd/Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH., LL.M.

Biaya-biaya: Panitera Pengganti:

1. M e t e r a i ... Rp. 6.000,- ttd/Bongbongan Silaban, SH.,LL.M. 2. R e d a k s i ... Rp.

5.000,-3 Adminstrasi Kasasi... Rp. Jumlah = Rp. ============

Untuk Salinan: Mahkamah Agung RI

a.n. Panitera

Panitera Muda Perdata Khusus,

RAHMI MULYATI, SH.,MH. Nip. 19591207 1985 12 2 002

38

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id