Bahan PA 1 Maret 2016 F. Teologi UKDW

Bahan Pengantar PA Fakultas Teologi
Penderitaan Sebagai Kasih Karunia Allah
(I Petrus 2 : 18 – 25)
Pendahuluan
Pada bahan pengantar PA Selasa lalu, Sdri. Cathalia menyimpulkan bahwa teks I Petrus 2:11-17
berisi mengenai ajakan penulis kepada orang-orang Kristen perantau yang menjadi tujuan dari
surat Petrus ini untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik sebagai kesaksian yang hidup di
tengah-tengah orang-orang kafir.1 Demikian juga, bahan penanggap yang memberikan
persetujuan terhadap bahan pengantar PA, dengan memberikan beberapa tambahan dan contoh
kasus bagaimana layaknya sebagai orang-orang Kristen menyikapi permasalahan kejahatan
sosial-politik yang terjadi di bangsa Indonesia, misal: Korupsi, sedangkan penulis surat Petrus
dalam bagian ini memberikan nasihat mengenai kepatuhan terhadap pemerintah. Bagian
selanjutnya dari diskusi PA fakultas Teologi akan secara khusus membahas teks I Petrus 2:1825.
Pembahasan
a. Hamba: hidup dalam penderitaan sebagai kasih karunia (ayat 18-20)
Dalam perikop ini, nasihat dari penulis surat Petrus ditujukan khusus kepada para hamba-hamba
Kristen yang hidup dalam perantauan. Barclay mengatakan, kata yang penulis gunakan untuk
“hamba-hamba” bukanlah  (douloi) –kata yang biasa digunakan dalam PB-, melainkan
(oiketai) yang menunjuk budak-budak dalam negeri atau dalam rumah tangga. 2 Tentu
saja, kita sudah tidak asing dengan budaya perbudakan yang terjadi pada zaman tersebut dan
bagaimana mereka diperlakukan oleh para majikannya. Namun demikian, hal yang menjadi

persoalan adalah mengapa Petrus memberikan nasihat ini? Mengingat, para budak/hamba
bahkan tidak memiliki hak atas kehidupannya sendiri, ketika ia menjadi hamba dari seorang
tuan. Oleh sebab itulah, secara otomatis seorang hamba harus tunduk kepada tuannya, baik itu
tuan yang baik ataupun kejam sekalipun. Bartlett menjelaskan, “mungkin saja bahwa yang
dimaksudkan hamba adalah orang-orang Kristen yang takut kepada Allah saja.”3 Berdasarkan
argumen di atas, kita dapat memahami bahwa nasihat ini ditujukan kepada orang-orang Kristen
pada umumnya yang dimetaforakan sebagai hamba-hamba. Pada satu sisi, saya mungkin sepakat
dengan pemahaman seperti ini, mengingat dalam konteks penulisan surat ini, orang-orang
Kristen hidup sebagai perantauan, sekaligus mereka sedang hidup dalam penderitaan dan
dianiaya karena iman mereka saat itu. Namun demikian, di sisi yang lain, saya juga masih
bertanya-tanya, benarkah bahwa kata hamba atau (oiketai) digunakan sebagai metafora
untuk menggambarkan orang-orang Kristen atau justru maksud penulis asli ialah hamba dalam
1 Bahan Pengantar PA Sdri. Cathalia pada Selasa, 23 Februari 2016, h.2.
2 William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat Yakobus, 1&2 Petrus (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2010), 334. Bdk. Simon J. Kistemaker, New Testament Commentary: Peter
and Jude (Michigan: Baker Book House, 1990), 104, “budak rumah tangga memiliki
kehidupan yang lebih baik daripada orang merdeka yang sering tidur di jalanan-jalanan kota
atau tinggal dalam ruang-ruang yang sangat murah. Oleh majikannya mereka diberikan
tempat yang layak, makanan dan minuman yang cukup.”
3 David L. Bartlett, “The First Letter of Peter” dalam The New Interpreter’s Bible: A

Comentary in Twelve Volumes (Nashville: Abingdon Press, 1998), 280.

artian secara harafiah. Jika hamba diartikan secara harafiah, maka saya menebak bahwa maksud
penulis menuliskan nasihat ini agar menghindari terjadinya konflik masa/keributan akibat
pemberontakan budak-budak. Akan tetapi, jika diartikan secara metafora, maka
permasalahannya akan berlanjut siapakah orang-orang Kristen yang dimaksudkan, apakah orang
Kristen non-Yahudi atau orang Kristen Yahudi?
Beberapa ahli biblika belum sepakat mengenai penerima/pembaca asli dari surat Petrus ini.
Sebagian menganggap bahwa alamat surat ini ialah orang-orang Kristen non-Yahudi (I Petrus
2:10), sedangkan sebagian lagi menganggap bahwa alamat surat ini ialah untuk orang-orang
Kristen Yahudi (I Petrus 2:12). Bagi saya sendiri, ini sebuah permasalahan yang menarik untuk
didalami. Mengapa? karena akan ada nuansa tertentu ketika kita membaca teks ini dari sudut
pandang masing-masing kelompok, terutama menyangkut penghayatan kasih karunia Allah
dalam penderitaan yang dialami sebagai orang Kristen. Sebagai orang-orang Kristen nonYahudi, mungkin saja penghayatan kasih karunia Allah di dalam penderitaan tidaklah seberat
orang Kristen Yahudi. Maksudnya ialah, orang-orang Kristen saat itu (baik non-Yahudi maupun
Yahudi) tentu saja mengalami penderitaan dan penganiayaan, hal ini disebabkan sejak jaman
pemerintahan kaisar Nero, orang-orang Kristen dijadikan ‘kambing hitam’ sehingga mereka
dipersalah-salahkan jika terjadi hal-hal yang buruk di wilayah mereka, dan hal ini pun terus
berlanjut pada pemerintahan selanjutnya. Dengan demikian, kita sudah belajar dan mengetahui
dalam sejarah gereja mula-mula bagaimana orang Kristen mengalami penderitaan dan

penganiayaan. Akan tetapi, jika pembaca aslinya ialah orang Kristen Yahudi, maka mereka
mengalami penderitaan berkali-kali lipat dibandingkan orang Kristen non-Yahudi. Pertama,
bangsa Yahudi berkali-kali mengalami penjajahan dari bangsa lain, bahkan periode waktunya
sangat lama. Kedua, ketika kekristenan mulai menyebar dan sebagian orang Yahudi menjadi
Kristen, mereka pun masih hidup dalam penjajahan, bahkan permulaan abad 2 harus mengalami
diaspora. Ketiga, status sosial akibat penjajahan tersebut menjadikan orang-orang Yahudi
sebagai budak-budak dari bangsa Romawi. Terakhir, sekalipun menjadi seorang Kristen yang
notabenenya mereka percaya bahwa telah dibebaskan dan diselamatkan oleh Kristus, namun
mereka nyatanya belum dapat menikmati apa yang disebut dengan kemerdekaan tersebut, justru
mereka mengalami penindasan dan penganiayaan. Oleh sebab itulah, penekanan terhadap tema
menghayati kasih karunia Allah di dalam penderitaan menjadi sebuah topik menarik yang
dibahas oleh penulis surat ini. Apalagi jika surat ini ditujukan bagi orang-orang Kristen Yahudi,
sehingga muncul ‘nuansa istimewa’ yang mungkin tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
b. Kristus: Guru Teladan Penderitaan (ayat 21-25)
Masih terkait dengan pembahasan di atas, bagaimana menghayati kasih karunia Allah dalam
penderitaan, terutama dalam konteks ketertundukan seorang hamba kepada tuannya, maka pada
bagian ini secara khusus penulis sengaja memberikan jalan keluar bagaimana melakukan hal
tersebut, yaitu dengan meneladani penderitaan yang dialami Kristus. Muncul beberapa pokok
pemikiran para ahli yang dapat digunakan terkait dengan uraian penulis dalam ayat 21-25. Willi
Marxsen misalnya, menganggap bahwa maksud penulis surat ini adalah untuk mendorong

orang-orang Kristen agar teguh dalam pencobaan-pencobaan mereka dengan mengingatkan saat
baptisan mereka, baik sebagai amanat bagi orang Kristen yang baru dibaptis, atau sebagai

peringatan akan peristiwa baptisan.4 Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa kali digunakan
kalimat, seperti: orang-orang pilihan (I Pet 1:2); dahulu bukan umat Allah, tetapi sekarang telah
menjadi umatNya (I Pet 2:10); sebagai orang merdeka (I Pet 2:16); Sebab untuk itulah kamu
dipanggil (I Pet 2:21); dst. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa surat Petrus ini sebagai
surat yang memberikan kekuatan kepada orang-orang Kristen dalam masa penganiayaan agar
tetap teguh di dalam baptisan mereka (iman percaya kepada Kristus).
Setelah penulis mengingatkan pembaca akan makna baptisan yang diterima sebagai kekuatan di
dalam penderitaan, maka bagian selanjutnya pembaca asli dibawa ke dalam sebuah ingatan akan
penderitaan yang dialami oleh Kristus. Neyrey mengatakan,
“fokus nasihat ini ialah keadaan buruk dan sukar para hamba sangat diakui dan penderitaan
mereka menjadi pusat perhatian di sini. Penderitaan, terutama dalam tingkat perbudakan,
merupakan kenyataan pahit kehidupan. Tetapi, surat ini berusaha menafsirkan pengalaman itu
dalam terang kerigma Kristen mengenai penderitaan Yesus. Dengan demikian, orang Kristen
akan memandang penderitaan dalam kehidupan mereka sebagai suatu pemulihan bagi sikap yang
tak bertanggungjawab.”5

Menarik memang ketika penderitaan yang dialami oleh orang-orang Kristen ataupun hamba

(jika diartikan secara harafiah) dikaitkan dengan teladan Kristus ketika mengalami penderitaan.
Hal ini dibenarkan oleh Kistemaker bahwa kata teladan (example) yang digunakan dalam teks
ini berasal dari dunia pendidikan. Dalam pendidikan, kata ini berkaitan dengan pelatihanpelatihan yang diterima seorang anak di sekolah. 6 Dengan demikian, penderitaan dan
penganiayaan yang dialami oleh orang-orang Kristen dipandang sebagai hal positif, serta
sebagai langkah orang-orang Kristen meneladani (sebagai seorang murid) penderitaan Kristus
yang memperkuat penghayatan iman mereka di tengah-tengah penderitaan dan penganiayaan
yang dialami sebagai kasih karunia Allah.
Pada karyanya, penulis tidak hanya menekankan orang-orang Kristen harus meneledani
penderitaan Kristus saja, melainkan ia memberikan contoh penderitaan yang dialami oleh
Kristus. Pada bagian akhir ini, penulis mengutip nas PL dalam Yesaya 53. Bagi C.S. Song,
“Hal yang amat penting dicatat di sini ialah bahwa melalui penderitaanlah jabatan mesianis
Yesus terkait dengan kedudukan seorang nabi sebagai hamba yang digambarkan begitu agung
dalam “Nyanyian-nyanyian Hamba Tuhan” dalam Deutro Yesaya, khususnya dalam pasal 53.” 7

Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa justru karena Kristus mengalami penderitaan, maka kasih
karunia Allah nyata dalam dan melalui penderitaan Kristus. Seorang Mesias tidak dapat
dipahami terpisah dari penderitaan. Penderitaan adalah intisari sifat mesianis.8 Akhirnya,
maksud dan tujuan dari bagian perikop ini ialah mengingatkan kembali kepada orang-orang
Kristen yang mengalami perbudakan, penganiayaan, penindasan yang membuat mereka
mengalami penderitaan untuk melihat kasih karunia Allah melalui penderitaan Kristus di atas

4 Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-masalahnya
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 293.
5 Jerome H. Neyrey, “ Tafsiran I Petrus” dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, ed. Dianne
Bergant & Robert J. Karris, (Jogjakarta: Kanisius, 2002), 450.
6 Simon J. Kistemaker, New Testament Commentary: Peter and Jude (Michigan: Baker Book
House, 1990), 109.
7 C.S. Song, Allah yang Turut Menderita (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 162.
8 Ibid., h. 163

kayu salib. Hal ini dilakukan supaya mereka pun tetap teguh di dalam baptisan (iman percaya
kepada Kristus) ketika mengalami penderitaan, karena kasih karunia Allah justru ada di dalam
dan melalui penderitaan itu sendiri.
Pertanyaan diskusi
1. Sebagian besar orang Kristen masih menganggap bahwa penderitaan yang dialami oleh
manusia merupakan teguran, bahkan hukuman dari Allah. Mustahil rasanya, ketika
penderitaan dihayati sebagai kasih karunia Allah, sekalipun Kristus telah menderita.
Bagaimana pendapat anda?
2. Sudah tentu, penghayatan akan penderitaan Kristus akan dialami secara berbeda antara
orang merdeka – budak/hamba; orang kaya – miskin; sehat – sakit; sukacita – dukacita;
dll, padahal sejauh pembacaan teks ini ditujukan bagi orang-orang yang mengalami

ketertindasan. Apakah orang yang tidak mengalami penderitaan bisa menghayati
penderitaan Kristus?
Rumah bersama yang akan ditinggalkan,
Mutiara 5
Mario Gunawan