Bahan PA 21 Maret 2016 F. Teologi UKDW

MENJADI TELADAN DALAM KERENDAHAN HATI
(1 Petrus 5:1-11)
Pengantar: Penghakiman mulai dari rumah Allah
Penghakiman bahkan dimulai dari rumah Allah sendiri (4:17-18 bdk. Pet. 2:2-5
“rumah rohani”). Bagian ini mengingatkan saya pada bagaimana para orang tua di
Sumba Barat bersikap ketika anaknya dipikul atau berkelahi dengan anak tetangga. 1
Dalam hubungannya dengan pasal 5:1-11, ini merupakan satu program eskatologis 1
Petrus, berupa penghakiman yang akan dimulai dari rumah Tuhan. Andrew M. Mbuvi
menegaskan bahwa hal ini merupakan pengertian sentral mengenai imaginalitas Bait
Allah sebagai perhatian dari 1 Petrus terhadap restorasi eskatologis. 2 Sebab, hukum,
Bait Allah, dan Kitab Suci telah dimengerti dan diinterpretasi dalam terang
penggenapan di dalam diri Yesus Kristus.3
Para pembaca merupakan jemaat yang baru, yang harus meninggalkan air susu
dan mulai mengkonsumsi makanan keras untuk membangun rumah rohani mereka
(2:2-5). Menurut pak Yusak (dikutip dari John Elliot), bahwa 1 Petrus ini merupakan
produk sekaligus sumbangan bagi kehidupan masyarakat yang sedang “menjadi”. Secara
internal kebutuhan untuk menolong proses formasi diri seperti ini juga tersirat dalam
nasihat-nasihat yang bersifat organisatoris. Nasihat praktis ini bergunauntuk mereka
berproses menjadi komunitas yang lebih tertata secara organisatoris yang ditunjukkan
dalam pasal 5 ini.
1-4: Nasihat Bagi Para Gembala (Penatua)

Petrus adalah siapa, dan bagaimana pembangunan tubuh dari surat tersebut
merupakan sesuatu yang menjadi kontroversi bagi para teolog. John Drane 4 misalnya
begitu mempertahankan Rasul Petrus sebagai penulis dengan memberikan beberapa
alasan. Namun, saya sendiri lebih setuju dengan pendapat Marxen 5 bahwa penulisnya
bukanlah Rasul Petrus, dilihat dari jaman maupun identitas penerima surat (bdk. Gal
2:7-8). Adapun kepentingan dari ungkapan penulis dalam 5:1 ‘sebagai teman penatua
dan saksi (martyr) Penderitaan Yesus Kristus’ merupakan cara penulis untuk
menempatkan diri dalam kesetaraan (saya membaca hal ini sebagai konsistensi penulis
atas tema dalam pasal 5 ini: humality), sekaligus dapat dilihat sebagai usaha untuk
membangun otoritas kerasulannya yang memakai wibawa Rasul Petrus.
“Gembalakan kawan domba Allah,” (2-3) menunjuk pada tanggung jawab
penatua dalam penggembalaan tersebut: 1) bertanggung jawab dalam memberi makan
(bdk. 2:2; Maz 78:70-72); 2) dengan suka rela dan bukan untuk keuntungan (yang tidak
selalu cenderung pada uang, tetapi bisa juga pada pementingan diri sendiri untuk
mencari nama atau kedudukan6); 3)Seperti Krisus menjadi teladan dalam keseluruhan
surat ini, seperti itulah seharusnya para gembala menjadi teladan bagi kawanannya.
Otoritas penatua, sewaktu-waktu dapat menjadi godaan untuk bersikap otoriter yang
justru bertentangan dengan sikap rendah hati yang Yesus teladankan. Sikap hati dalam
mengembalakan kawanan domba ini menjadi catatan penting bagi para gembala.
Menurut Kelly D. Liebengood, restorasi kepemimpinan gereja ini juga merupakan bagian

dari program eskatologi dari 1 Petrus 7 Ketika kita melaksanakan tanggung jawab

pelayanan tersebut, maka rewardnya ketika kedatangan Kristus kedua kali (parousia)
adalah “mahkota kemuliaan yang tidak dapat layu” (1 Pet. 5:4).8
5-11: Kawana Domba Allah (jemaat) dan kepastian
Ayt.5: Nasihat dilanjutkan bagi orang-orang muda (νεώτεροι: new, young).
Menunjukkan kata sifat ‘baru,muda’ sehingga, dapat diartikan sebagai seluruh anggota
jemaat yang ada yang terbagi menjadi penatua dan jemaat. 9 “yang lain” bukanlah orang
‘di luar sana” tetapi lebih kepada seluruh komunitas “di dalamnya” 10 dalam kerangka
penataan organisasionis secara internal. Selanjutnya Penulis mengenakan kalimat
imperatif (rendahkanlah) untuk nasihat saling merendahkan diri. (ἐγκομβώσασθε: to
put on, clothe) pakaian kerendahan hati dalam kehidupan bersama adalah kehendak
Allah bagi kehidupan baru mereka sekaligus bahan bangunan bagi rumah rohani
mereka. Pentingnya sikap ini dipertegas dengan ayt. 5b-6 bahwa saat peninggian adalah
waktu Allah (bagian Allah) sedangkan bagian mereka adalah mewujud nyatakan sikap
itu baik dalam relasi vertikal (di bawah tangan Tuhan yang kuat) maupun horizontal
(seorang terhadap yang lain). Pola pembagian ini terus muncul dalam: ayt. 7, bahwa
bagian jemaat adalah menyerahkan kekuatiran dan bagian Allah adalah memelihara;
ayt. 8, bagian jemaat, sadar dan berjaga-jaga dalam iman yang teguh dan bagian Allah
adalah melengkapi, meneguhkan, menguatkandan mengokohkan.

Ayt. 8: penulis Petrus memberikan saran sebagai kiat untuk melawan Iblis: 1)
umat menyadari metode dari Iblis itu sendiri dengan cara “sabar” dan “berjaga-jaga; 2)
melawannya dengan iman yang teguh (ayat 9). 11 Bagian ini juga mengandung tradisi
gembala dari para nabi yang mendeskripsikan Iblis sebagai singa yang mengaum di
mana ia merupakan predator dari domba (Yes. 31:4; 38:13; Yer. 4:7; Yeh. 22:25; 32:2;
Hosea 5:14).12 Ibils (διάβολος: slanderous) merupakan hujatan yang sewaktu-waktu
mereka terima dan membahayakan kehidupan mereka.13
Ayt. 9-11: ini, Mark Dubis yang dikutip Mbuvi, menujukkan bahwa ayat ini memiliki
sifat persuasif menyangkut penggenapan harapan dan kemulian eskatologis di sini. 14
Motif ini juga hadir di dalamnya secara seketika dalam ayat sebelumnya (5:9) yang
mana menghadirkan gambaran dari umat percaya sebagai berserakan di seluruh dunia
(cf 1:1). Mereka mengingat memori pembuangan anak Israel di Babilonia. Hal ini
membuat kata ὀλίγον “seketika lamannya” dimengerti sebagai sebuah ekspektasi
penggenapan yang akan segera terjadi. Kata ini mengandung makna “kepastian” akan
penebusan dan pemulihan umat Allah dalam konteks pembuangan tersebut (2 Taw.
14:10; 24:24; 1 Mak. 3:18; 7:28; Sir. 32:8).15
Pertanyaan Diskusi:

(1) Ada satu pola menonjol dari umat Allah yang selalu muncul dalam keadaan buruknya.
Yakni munculnya sebuah tindakan etis sebagai respon terhadap konteks kekinian mereka.

Saya membaca pola ini sebagai sebuah ‘budaya tandingan’ yang berusaha dibentuk sebagai
respon dan cara menghadapi konteks tersebut. Apakah saudara setuju? Jika ya, apakah pola
ini relevan di Indonesia?
(2) “aku sebagai teman penatua” menurut saya merupakan ungkapan petrus yang menjadi
keteladanan awal bagi para penatua. Petrus berusaha menunjukkan prinsip egaliter dalam
kerendahan hati di antara mereka sebagai sesama yang setara yang saling menasihati. Pada

jaman sekarang penatua adalah orang yang paling dipertimbangkan sebagai pihak yang
“keras” dalam institusi gereja. Di Sumba misalnya, rapat majelis hingga pagi sampai ‘potong
babi’ menjadi hal yang lazim karena semua penatua merasa berhak mengungkapkan
pendapatnya. Mungkinkah perdebatan sampai pagi yang memakan korban (babi, hehe) dan
menguras kas gereja ini diakibatkan kurangnya penghayatan atas sikap yang ditawarkan oleh
penulis 1 Petrus dalam semangat kerendahan hatnya untuk menjadi teladan dan bukan
pemerintah. Bagaimana pendapat saudara?
UKDW, 17.3.2016
Mangi

1 Mereka akan memanggil anaknya lalu mengadilinya terlebih dahulu. Jika anaknya kedapatan juga bersalah maka, yang pertama-

tama akan dihukum adalah anaknya sendiri (yang dalam keadaan sakit), baru kemudian dia akan mencari sampai ke lubang

semut, si anak tetangga tersebut. Jadi, dapat dibayangkan jika anaknya sendiri dipukul, lalu bagaimana perlakuannya terhadap
musuh anaknya? Analogi ini pastinya tidak persis sama dengan gambaran Allah dalam konteks surat 1 Petrus. Tetapi setidaknya
cukup untuk menggambarkan kengerian hari pengahakiman tersebut.
2 Pemurnian terhadap Bait Allah sebagai bagian dari penghakiman terakhir yang mana terdukung dalam PL (Yes. 10:11-12; Yer.
25:29, Zakh. 13:7-9). Andrew M. Mbuvi, Temple, Exile, and Identity in 1 Peter, (London, T&T Clark International, 2007), p. 39
3 Andrew M. Mbuvi, Temple, Exile, and Identity in 1 Peter, (London, T&T Clark International, 2007), p. 128
4 John Drane, Memahami Perjanjian Baru, Pengantar Historis -Teologis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), p.491-494
5 Willi Marxen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-masalahnya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), p.
292
6 David H. Wheaton, “1 Petrus”, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-Wahyu, Berdasarkan Fakta-fakta Sejarah Ilmiah dan Alkitabiah,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976), p.864
7 Kelly D. Liebengood, The Eschatology of 1 Peter: Considering the Influence of Zechariah 9-14, (UK: Cambrige University Press,
2014), p.151
8 Arnold G. Fruchtenbaum, The Messianic Jewish Epistles: Hebrews, James, First Peter, Second Peter, Jude, (San Antonio: Ariel
Ministries, 2005), 377. Mahkota yang dimaksud bukanlah mahkota kerajaan. Mahkota di sini dalam bahasa Yunaninya adalah
στέφανος yang juga memiliki nama seorang martyr pertama yaitu Stefanus. Mahkota yang dimaksud di sini adalah mahkota
kebanggaan (pride), mahkota kemenangan. Bentuk mahkota saat itu berupa semak belukar, tumbuhan menjalar, paterseli, violet
atau mawar. Mahkota itu tidak layu, atau kekal
9 M. Eugene Boring and Fred B. Craddock, “The First Letter of Peter”, The People’s New Testament Commentary, (LouisvelleLondong: Westminster John Knox Press, 2004), p.734. Jika berdasarkan identitas pembaca, maka saya condong pada makna:
orang muda dalam artian jemaat baru yang masih muda dalam iman, yang perlu pemeliharaan dan pengawasan dari

gembala/penatua.
10 Lih. Mark Dubis, 1 Peter: A Handbook on the Greek Text, (Baylor University Press, 2010), 164. Berdasarkan kata dari πάντες.
Ia menyatakan “The vocative marks an exhortational transition to a more comprehensive group of addressees…. clearly addresses
the entire community”
11 Arnold G. Fruchtenbaum, The Messianic Jewish Epistles: Hebrews, James, First Peter, Second Peter, Jude, p. 379-380
12 Kelly D. Liebengood, The Eschatology of 1 Peter: Considering the Influence of Zechariah 9-14, (UK: Cambrige University Press,
2014), p. 197
13 Perubahan perilaku yang menjadi alasan bagi mereka untuk mendapatkan fitnahan, membawa pak Yusak pada kesimpulan
bahwa menjadi orang Kristen lalu otomatis menderita, namun penderitaan merupakan ‘kemungkinan’ yang bisa terjadi dalam
kehidupan Kristen, kapan saja dan di mana saja (tercermin dalam frase ei de = tetapi jikalau/seandainya 4:16).
Dalam materi diskusi panel Pdt. DR. Yusak Tridarmanto, 15.3.2016, p.4,8
14 Andrew M. Mbuvi, Temple, Exile, and Identity in 1 Peter, p. 122
15 Andrew M. Mbuvi, Temple, Exile, and Identity in 1 Peter, p. 123