Teologi agama-agama dalam pemikiran Paul F Knitter

(1)

Skripsi

Disusun Oleh:

M. SYAHID JULI ASHARI NIM. 106032101066

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Disusun Oleh:

NIM: 106032101066 M. SYAHID JULI ASHARI

Di Bawah Bimbingan

NIP: 19510304 198203 1 003 Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer

Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta


(3)

Skripsi yang berjudul TEOLOGI AGAMA-AGAMA DALAM PEMIKIRAN PAUL F. KNITTER telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus pada 16 Desember 2010 di hadapan dewan penguji. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) pada Jurusan Perbandingan Agama.

Jakarta, 16 Desember 2010

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua

Drs. M. Nuh Hasan, MA NIP. 19610312 198903 002

Sekretaris

Maulana, MA NIP. 19650207 199903 001 Anggota

Penguji I

Dr. Ismatu Ropi, MA NIP. 1691115 199503 1 002

Penguji II

Dr. Media Zainul Bahri, MA NIP. 19751019 200031 21 003 Di bawah bimbingan

Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer NIP. 19510304 198203 1 003


(4)

i

Segala puja dan puji bagi Allah SWT sudah sepantasnya penulis panjatkan sebagai ungkapan rasa syukur atas segala karunia, rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya yang telah membimbing dan mengajarkan umat manusia untuk peduli terhadap keadilan dan pembebasan saudara-saudara kita yang tertindas, agar tercipta hubungan yang harmonis antara penguasa dan rakyat, kaya dan miskin, bahkan antar umat beragama.

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan sesamanya. Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, banyak pihak yang telah membimbing dan membantu penulis. Oleh karena itu, ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada pihak-pihak tersebut, terutama kepada :

1. Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran serta kesabaran memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis, terutama mengenai penulisan skripsi yang baik dan benar.

2. Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA; Ketua Jurusan Perbandingan Agama, Drs. M. Nuh Hasan, MA; Sekretaris Jurusan, Maulana, MA; serta seluruh civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Sri Mulyati, MA, yang telah memberikan arahan kepada penulis, serta bersedia menerima penulis untuk konsultasi mengenai proposal skripsi.


(5)

ii yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

5. Pimpinan Perpustakaan Utama dan FU UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dalam penulisan skripsi ini memberikan andil dalam hal penyediaan bahan pustaka dan sumber-sumber bacaan untuk kelancaran penulisan skripsi ini.

6. Ibunda Helida Abbas dan Ayahanda Syahruddin Hasyamin yang penulis cintai dan hormati sepanjang hidup, dengan rasa cinta dan kasih sayang mereka secara tulus telah mengurus, membesarkan dan mendidik penulis hingga hari ini. Munajat doanya di setiap waktu telah memberikan kekuatan lahir dan batin dalam mengarungi bahtera kehidupan.

7. Siti Mahbubah tercinta yang tak pernah menyerah memberikan semangat bersaing dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga kita berjodoh di dunia dan akhirat, amin.

8. Adik-adik penulis, M. Syarif Syahruddin, S.Pdi, M. Syafri Syahruddin, M. Syahrir Syahruddin, dan si kecil Siti Shofia Syahruddin, yang selalu memberikan motivasi dan keceriaan disaat kejenuhan menghampiri.

9. Teman-teman mahasiswa Juruasan PA angkatan 2006 (Dwi-Q, Jibrun, Sofyan, Abbas, IskandR, Babeh, Iqbal, Aji Jr., Syamsul BEM, Ay, Nung, Yuni, Y. Bhakti, Ghoffur, Raja, Ratu, Rudi, Riri dll)

10.Bob Acri dengan lantunan pianis Sleeping Away, suara merdu Phil Collins dalam You’ll Be in My Heart, dan senandung Negeri di Awan Katon


(6)

iii penulisan skripsi ini.

11.Pihak-pihak lain yang mungkin belum penulis sebutkan.

Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan, perhatian, dan motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan sampai selesainya skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat pada penulis khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin.

Jakarta,

Dzul Hijjah 1431 H November, 2010 M


(7)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Metode Penelitian ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II SIKAP TEOLOGIS KRISTEN TERHADAP BERBAGAI AGAMA LAIN A. Tipologi Sikap ... 8

1. Eksklusivisme ... 8

2. Inklusivisme ... 12

3. Pluralisme ... 16

B. Sikap Gereja Katolik Terhadap Agama-Agama Lain ... 20

1. Sebelum Konsili Vatikan II ... 21

2. Pasca Konsili Vatikan II ... 28

BAB III PAUL F. KNITTER A. Riwayat Hidupnya ... 34


(8)

v GLOBAL

A. Pandangan Paul F. Knitter Terhadap Agama-Agama Lain ... 43

1. Model Penggantian ... 44

2. Model Pemenuhan ... 48

3. Model Mutualitas ... 52

4. Model Penerimaan ... 57

B. Arti Kesetiaan Pada Yesus ... 67

C. Konvergensi Agama-Agama ... 77

D. Dialog Korelasional dan Tanggung Jawab Global ... 84

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……… 94

B. Saran ……….. 96


(9)

1 A. Latar Belakang

Pluralisme1 agama ̶ sampai detik ini masih memicu pro dan kontra yang

akhirnya menimbulkan perbedaan sikap terhadap gagasan tersebut ̶ merupakan

pandangan yang menerima adanya keragaman2

1

Istilah pluralisme perlu dibedakan dengan istilah “Pluralitas” agar tidak terjadi kesalahan pemaknaan. “Pluralitas” atau dalam bahasa Inggrisnya “plurality” mengandung makna “mayoritas; jumlah besar,” “keadaan jamak.”

kebenaran dan keselamatan agama.

Istilah “pluralisme” sering diartikan sebagai “suatu konsepsi yang menegaskan adanya pelbagi prinsip, ruang lingkup dan bentuk realitas yang tidak mungkin dikurangi atau dijabarkan lagi. Pluralisme mengasumsikan terjadinya proses diskontinuitas.” Dalam istilah sosiologi, pluralisme adalah “keadaan dimana kelompok yang besar dan kelompok yang kecil dapat mempertahankan identitas mereka di dalam masyarakat tanpa menentang kebudayaan yang dominan.” Sedangkan dalam perspektif ilmu politik, pluralisme diartikan sebagai “doktrin yang menyatakan bahwa kekuasaan pemerintahan di suatu negara harus dibagi-bagikan antara pelbagi golongan karyawan dan tidak dibenarkan adanya monopoli suatu golongan. Adapun dalam istilah filsafat, pluralisme diartikan sebagai “Pandangan yang menyatakan bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi atau dua substansi, tetapi banyak substansi yang bersifat independen satu sama lain” (lawan dari monisme). Lihat Kamus Dwibahasa Oxford-Erlangga. Inggris-indonesia indonesia-inggris (Jakarta: Erlangga, 1993), h. 256., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, cet. 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 641., Peter Salim, Salim's Ninth Collegiate English-Indonesian Dictionary (Jakarta: Modern English Press, 2000), h. 1106., Suryono Sukanto, Kamus Sosiologi, cet. 3 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), h. 329, Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Cet 1 (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997), h. 861.

2

Gerald O’Colins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, terj. I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 257.


(10)

Jadi tidak hanya ada satu agama yang benar dan mampu memberikan keselamatan bagi pemeluknya, namun banyak agama.

Sikap anti (penolakan) terhadap pluralisme memperkeruh hubungan antar agama yang sedang dalam masa konflik, baik intra maupun lintas agama (interreligius). Konflik semacam itu, tak jarang kita temui pada bangsa ini. Misalnya, konflik Poso dan Ambon yang bermula dari konflik politik kemudian diselipkan sentimen keagamaan yang berupa klaim kebenaran dan keselamatan agama tertentu adalah contoh konkret tantangan pluralisme di Indonesia. Secara historis, konflik-konflik itu tidak lepas dari pemahaman dan kesadaran masyarakat yang kurang terhadap pentingnya kerjasama, toleransi, dan hidup berdampingan dengan agama lain.

Untuk mengatasi masalah tersebut, kesadaran tentang pluralisme harus ditanamkan sejak dini. Menurut Paul F. Knitter, untuk menciptakan hubungan antar agama tanpa konflik hanya ada satu jalan, yaitu dengan interreligius dialog.

Paul F. Knitter, seorang teolog Kristen, bukan orang asing bagi mereka yang selama ini mencurahkan perhatian pada proses dialog antar-iman di Tanah Air,

khususnya dari lingkungan Kristiani. Karya besarnya, No Other Name? (1985), yang

kontroversial sekaligus menjadi survei kritis tentang berbagai paradigma yang

muncul dalam teologi Kristen tentang pluralitas agama-agama.3

3

Joas Adiprasetya, "Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter", dalam Soegeng Hardiyanto, Agama dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan. Punjung Tulis 60 Tahun Prof. DR. Olaf Herbert Schumann (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), h. 145.


(11)

Praktek dialog antar-iman bagi Knitter bukan sekadar kenikmatan intelektual semata, melainkan pergulatan yang menyentuh dan mengubah seluruh aspek kehidupan, yaitu suatu pertaruhan eksistensial yang meminta keterlibatan penuh dan

terbuka bagi transformasi timbal-balik (mutual transformation) para pelakunya.

Di situ terjadi proses perjumpaan suatu keimanan dengan keimanan yang lain yang kemudian menghasilkan keimanan yang berjalan bersama-sama dan mengalami transformasi timbal balik. Hal ini yang menyebabkan Knitter dalam perjalanan rohaninya berjumpa dengan berbagai tradisi keagamaan yang kemudian mengubahnya secara radikal: dari seorang misionaris Katolik menjadi pengusung

dialog antar-iman.4

Fakta sejarah menceritakan bahwa terjadi pergeseran-pergeseran paradigma teologi Kristiani beberapa abad lalu, pergeseran dari eklesiosentris (teologi yang berpusat pada gereja) ke teologi agama-agama yang kristosentris (berpusat pada Kristus), yang diembuskan oleh Konsili Vatikan II, kemudian ke teologi agama-agama yang teosentris (berpusat pada Allah).

5

4

Perubahan paradigma teologi Paul F. Knitter secara panjang lebar dikisahkan dalam autobiografisnya yang terdapat dalam Menggugat Arogansi Kekeristenan, terj. M. Purwatman (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 23-42, dan Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, terj. Nico A. Likumahua (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), h. 1-31.

Umumnya, sejak Alan Race (1983),

5

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, terj. Nico A. Likumahua (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 74-91.


(12)

orang menandai pergeseran-pergeseran itu sebagai pergeseran paradigma dari

eksklusivisme menjadi inklusivisme, kemudian pluralism.6

Menurut Knitter, pergeseran itu belum memadai dan harus dilanjutkan. Di sinilah sumbangan utama Knitter. Ia mengusulkan sebuah langkah baru dalam membangun teologi agama-agama yang pada akhirnya mampu membawa umat beragama untuk duduk bersama menghadapi masalah-masalah, dalam istilah Knitter,

eko-manusiawi.

7

Indonesia adalah bangsa yang plural, terdiri dari berbagai etnis, suku, bahasa, dan agama. Hal ini menyimpan potensi konflik yang tinggi. Di samping itu, sikap terhadap agama-agama lain bermacam-macam, mulai dari yang pluralisme hingga eksklusivisme. Seharusnya ajaran agama dapat dipahami sebagaimana setiap agama mengajarkan kepada pemeluknya keharusan menghormati sesama manusia, serta pentingnya hidup damai dan harmonis di antara sesama. Hal ini yang penulis temui dalam teologi agama-agama Paul F. Knitter yang berusaha menjawab persoalan-persoalan hubungan antar-umat beragama.

Oleh karena itu, penulis merasa perlu menggali lebih dalam pemikiran-pemikiran Paul F. Knitter terutama mengenai teologi agama-agama yang berujung

pada terciptanya dialog antar-iman dengan judul “Teologi Agama-Agama Dalam

Pemikiran Paul F. Knitter”.

6

Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, h.36, atau lihat Alan Race, Christian and Religious Pluralism: Patterns in Christian Theology of Religions (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1983).

7


(13)

B. Rumusan Masalah

Untuk menggali lebih dalam bangunan teologi agama-agama Paul F. Knitter, penulis merumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: bagaimana pandangan Paul F. Knitter terhadap berbagai agama yang ada? Jika ada pengakuan terhadap kebenaran agama-agama lain, apakah hal itu berarti meninggalkan kesaksian Kristen yang disampaikan Injil dan tradisi melalui Kristus? Adakah konvergensi agama-agama, dengan kata lain, mungkinkah terdapat semacam esensi bersama atau pengalaman religius yang sama ataupun suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama? Karena konsep teologi agama-agama Paul Knitter tidak terlepas dari, bahkan menitikberatkan pada upaya terwujudnya dialog antar-umat beragama (interreligious dialog), timbul pertanyaan; bagaimana konsep dialog antar-umat beragama yang dapat membawa kedamaian dan keharmonisan di antara sesama?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari pembahasan skripsi ini adalah untuk mengetahui rumusan teologi agama-agama Paul F. Knitter yang meliputi pandangannya terhadap agama-agama lain, arti kesetian terhadap Kristus, konvergensi agama-agama, serta konsep dialog antar-umat beragama.

Adapun relevansinya terhadap kehidupan bangsa Indonesia adalah timbulnya kesadaran terhadap kebhinekaan masyarakat terutama dalam hal agama, sehingga tercipta pola hubungan antar-agama yang relasional, dialogis dan peduli terhadap penderitaan bangsa Indonesia.


(14)

D. Metodologi Penelitian

Dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode riset kepustakaan (library

research), yaitu suatu teknik dengan cara menuliskan data-data yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti, serta menuliskan data-data dari buku-buku yang ada relefansinya untuk memperoleh data kepustakaan.

Oleh karena itu penulis menggunakan sumber yang diperlukan, baik sumber primer maupun sumber sekunder. Adapun sumber primer skripsi ini adalah

karya-karya intelektual Paul F. Knitter. Di antaranya, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog

Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, Pengantar Teologi Agama-Agama,

Menggugat Arogansi Kekeristenan, dan Mitos keunikan Agama Kristen. Selain itu, penulis juga menggunakan karya intelektual penulis lain yang menulis pemikiran-pemikiran beliau.

Untuk membahas permasalahan yang ada, penulis menggunakan pendekatan deskiptif-analitik, yang mana data-data yang diperoleh dijabarkan dan dihubungkan satu sama lain kemudian penulis menganalisis data-data tersebut guna mendapatkan

gambaran mengenai permasalahan yang dibahas.8

Dalam Penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan CeQDA (Center For Quality Development and Assurance) (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

8

Lih U. Maman Kh. et. al., Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), h. 29.


(15)

E. Sistematika Penulisan

Agar skripsi lebih terarah, pembahasan dibagi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab I, merupakan pendahuluan yang sedikit memaparkan masalah pluralisme agama di Indonesia yang sering menimbulkan konflik atas nama agama, serta memuat latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian. Bab II, berbicara mengenai Sikap Teologis Kristen Terhadap Berbagai Agama Lain yang terdiri dari dua sub bab, yaitu tipologi sikap, serta sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama lain sebelum dan pasca Konsili Vatikan II. Bab III, memuat biografi singkat Paul F. Knitter beserta karya-karyanya.

Adapun Bab IV, berisi pembahasan dari permasalahan skripsi ini, yaitu pandangan Paul F. Knitter terhadap agama-agama lain, arti kesetian terhadap Kristus, konvergensi agama-agama, serta konsep dialog antar-umat beragama dengan beberapa analisa yang penulis buat. Ditutup dengan kesimpulan dan saran dalam Bab V.


(16)

8

SIKAP TEOLOGIS KRISTEN TERHADAP BERBAGAI AGAMA LAIN

A. Tipologi Sikap

Untuk mengetahui sikap umat Kristen terhadap agama-agama lain, perlu digambarkan terlebih dahulu tipologi sikap beragama secara umum. Paul F. Knitter, begitu pula John Hick, membagi sikap Kristen terhadap agama-agama lain menjadi

tiga bagian, eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralism.1 Klasifikasi ini pertama kali

digunakan oleh Alan Race (1983).2

1. Eksklusivisme

Istilah “eksklusivisme” berasal dari kata “eksklusif”. Secara terminologi, eksklusif diartikan sebagai “terpisah dari yang lain”, “khusus”, atau “tidak termasuk”. Sedangkan “eksklusivisme” dalam perspektif sosial berarti paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari

masyarakat.3

1

Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, terj. Nico A. Likumahua (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), h.36.

2

Klasifikasi ini dapat juga dilihat dalam buku Alan Race yang berjudul Christians and Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology of Religions, diterbitkan oleh Orbis Books pada 1983.

3

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Cet 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1990,) h. 221.


(17)

Adapun Eksklusivisme dalam arti teologis merupakan paham yang memandang bahwa hanya ada satu agama saja yang mengajarkan kebenaran dan satu-satunya jalan menuju keselamatan dan pembebasan, yaitu agamanya. Agama lain dipandang keliru bahkan sesat karena merupakan buatan manusia atau telah menyeleweng dari Kitab Suci sehingga tidak ada kemungkinan kompromi dengan kebenaran agama lain. Pengikut-pengikutnya berada di luar

lingkup keselamatan dan tidak ada harapan apa pun bagi mereka.4

Oleh karena itu, mereka berusaha agar umat beragama lain masuk atau memeluk apa yang mereka yakini. Eksklusivisme dapat mengambil beragam bentuk. Ia dapat menekankan nilai penting, keyakinan-keyakinan fundamental yang membentuk inti keselamatan dan tanpanya orang akan merugi, ia dapat menekankan sentralisasi suatu institusi keagamaan otoritatif yang kepadanya orang masuk ke dalam wilayah keselamatan, pada tingkat yang lebih sosiologis ia dapat menekankan signifikasi kelompok etnisnya sendiri sebagai

titik pijak keagamaan yang benar. Jenis pertama, fundamental agama Kristen

antara tahun 1912-1914 dan melahirkan istilah fundamentalisme; kedua,

menemukan ekspresi klasiknya dalam gagasan bahwa di luar Gereja tidak ada

keselamatan (extra eclesiam nulla salus); dan ketiga, muncul dalam

4

Lih John Hick, “Religious Pluralism”, dalam Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion (New York: Macmillan Library Reverence, 1993), vol 11, h. 331, Frank Whaling, “Pendekatan Teologis,” dalam Peter Connolly, ed. Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002,) h. 345-346, ABD. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009), h. 54, Raimundo Pannikar, Dialog Intrareligius, terj. J. Dwi Helly Purnomo dan P. Puspobinatmo (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 18-20.


(18)

batasan kasta yang dibangun dalam tradisi Hinduisme klasik, dan batasan

etnik yang dibangun dalam Yahudi klasik, sebagai umat pilihan Tuhan (God’s

Chosen People).5

Menurut Paul F. Knitter, eksklusivisme dalam Kristen memandang umat beragama lain yang tidak mengenal atau tidak tertarik kepada Kristus tidak memperoleh keselamatan. Mereka meyakini walaupun Allah adalah orang tua yang mengasihi dan merangkul semua anak-Nya, Ia sendiri telah memilih untuk melaksanakan karya penyelamatan-Nya, yaitu mengaku dan merespon tawaran kasih ilahi, yang tersedia hanya melalui realitas historis Kristus dan melalui komunitas dimana berita dan kuasa keselamatan ada

dalam Gereja Kristen.6 Contoh model ini adalah evangelikal konservatif dan

pentakosta yang bercorak eklesiosentris (terpusat pada Gereja) dengan model

kristologis “Kristus bertentangan dengan agama-agama lain.”7

Dengan demikian, pengakuan terhadap adanya keselamatan dari agama selain Kristen merupakan suatu tamparan terhadap muka Allah; suatu penghinaan terhadap apa yang telah dilakukan Allah dalam Yesus. Begitupun dalam AlKitab, agama-agama selain Kristen dipandang sebagai usaha manusia yang sia-sia dalam mengenal Allah dan memperoleh keselamatan. Dikatakan sia-sia karena Allah telah mewahyukan kehendak-Nya hanya,

5

Frank Whaling, “Pendekatan Teologis,” h. 345-346, John Hick, “Religious Pluralism”, h. 331.

6

Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama; Diolog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, h. 37-38.

7


(19)

secara eksklusif, dalam dan melalui Yesus Kristus. Dialah satu-satunya Penyelamat manusia.

Walaupun gereja-gereja eksklusivis berdialog dengan agama lainnya, tujuannya tidak lain untuk membuat orang bertobat dan menerima kuasa keselamatan melalui gereja. Menurut mereka, Allah menghendaki Buddha, Hindu, Islam dan Yahudi menjadi Kristen. Karena hanya ada satu agama yang benar. Jika orang penganut agama lain tidak mengenal keselamatan melalui Kristus yang bukan karena kesalahan mereka, itu adalah urusan Allah di alam Tranhistoris, tugas misionaris adalah mengkristenkan manusia. Tokoh

pendekatan ini antara lain Karl Barth dan H. Kraemer.8

Sikap ini, menurut Raimundo Pannikar, telah membawa dua dampak

negatif terhadap hubungan antar-agama. Yaitu, pertama, menimbulkan sikap

intoleransi, kesombongan, dan penghinaan terhadap agama lain, kedua, sikap

ini mengandung kelemahan intrinsik karena mengandaikan konsepsi

kebenaran yang seolah logis secara murni dan tidak kritis.9

Terlepas dari hal tersebut, sikap ini biasanya memiliki komitmen yang teguh dalam memelihara keyakinannya. Jadi eksklusivisme tidak selamanya Kebenaran kitab suci diterima dan ditafsirkan secara tekstual, tanpa adanya interpretasi kontekstual yang melatarbelakangi ayat-ayat eksklusif.

8

Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 38, Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid VII: Pi-Sek (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), h. 17, dan Ensiklopedi Gereja, Jilid IV: Ph- To (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994), h. 16.

9


(20)

bisa disalahkan dan dipandang negatif, tetapi sikap tersebut lebih banyak dipengaruhi minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang agamanya, bahkan sangat terpengaruh terhadap lingkungan sosial dan kultural di mana ia tinggal.

Jadi eksklusivisme adalah suatu pandangan yang mengklaim bahwa hanya agama, bahkan alirannya yang benar dan satu-satunya jalan menuju keselamatan. Agama lain dipandang sesat, tidak ada keselamatan darinya, dengan begitu ia berusaha untuk memasukkan penganut agama lain ke dalam apa yang dipahaminya. Eksklusivisme memiliki dampak negatif terhadap hubungan antar agama, akan tetapi ia juga memilki bentuk-bentuk positif, terutama terhadap keteguhan memegang kepercayaannya sendiri.

2. Inklusivisme

Menurut John Hick, inklusivisme merupakan suatu pandangan bahwa tradisi keagamaan lain juga memuat kebenaran religius namun di hari akhir

akan dimasukkan ke dalam posisi yang mereka miliki.10

Ia menambahkan bahwa inklusivisme merupakan paham bahwa suatu agama tertentu adalah kebenaran terakhir agama-agama lain. Raimundo Panikkar berpendapat bahwa walaupun sikap ini lebih toleran terhadap keyakinan-keyakinan agama lain, pada akhirnya “anda menyatakan sebagai pemilik kebenaran yang lebih penuh dibandingkan dengan semua orang lain

10


(21)

yang hanya mempunyai kebenaran-kebenaran parsial dan relative.”11

Paham ini muncul melalui perjumpaan dengan nilai-nilai dari agama lain yang menyadarkan bahwa jalan menuju Tuhan tidak terbatas pada agama tertentu, namun tidak sesempurna agama yang dianutnya. Umat Buddha sering melihat aspek Dharma yang tercermin dalam agama-agama lain yang tidak lengkap

Dengan kata lain kebenaran agama-agama lain adalah sementara, tidak sempurna, dan mencerminkan adanya kebenaran final dalam agamanya. Oleh karena itu, melalui agamanya lah penyempurnaan itu terjadi.

12

. Kalangan Islam inklusif memandang bahwa agama semua nabi adalah satu, dimana masing-masing umat telah ditetapkan syari’atnya

menurut situasi dan kondisi zamannya masing-masing.13

Konsili Vatikan II (Oktober 1962) merupakan awal lahirnya pengakuan pihak gereja terhadap kebenaran dan nilai-nilai dari agama Hindu, Buddha, Islam yang sebelumnya tidak pernah diakui dalam satu dokumen resmi gereja.

Dasar teologis dari inklusivisme terdapat dalam kristologinya yang

bercorak kristosentris, Kristus sebagai pusat keselamatan. Beberapa di antara

mereka memandang bahwa Yesus bersifar konstitutif atas keselamatan.

Maksudnya ialah bahwa tawaran Allah atas kebenaran dan anugerah

11

Pannikar, Dialog Intrareligius, h. 21-22. 12

Hick, “Religious Pluralism”, h. 331. 13

Budi Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 47.


(22)

penyelamatan telah berlangsung atau telah dimungkinkan oleh kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus historis. Jadi, apa pun kebenaran dan kehadiran Roh dalam agama-agama lain adalah secara anonim bersifat Kristen (anonymous Christian), Kristen tanpa nama, disebabkan oleh dan diarahkan

ke pemenuhan di dalam Yesus dan umat-Nya.14

Karl Rahner adalah orang yang telah meletakkan dasar-dasar teologis bagi pandangan Vatikan II yang baru dan positif tentang agama-agama dunia lainnya. Ia berpendapat bahwa orang Kristen bukan hanya bisa tetapi harus menganggap agama-agama lainnya sebagai “sah” dan merupakan “jalan keselamatan,”

Tokoh yang terkenal dalam perspektif ini adalah Karl Rahner.

15

dalam istilahnya disebut “Kristen Anonim”, yaitu mereka yang bukan Kristen yang “diselamatkan” oleh anugerah dan kehadiran Kristus

secara terselubung dalam agama-agama mereka.16

Jadi ada pandangan bahwa manusia hanya bisa diselamatkan dengan perantaraan Kristus namun Allah juga ingin menyelamatkan semua orang. Oleh karena itu orang yang tidak mengenal Kristus memperoleh keselamatan dari agama-agama mereka sendiri namun tanpa disadari Kristuslah yang

menyelamatkan mereka.17

14

Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h 39.

15

Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 6-7. 16

Lih Adolf Heuken, Ensiklopedia Gereja, Jilid III,: H-J, Edisi ke-4 ( Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004), h. 111, dan Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 8.

17

Atau dimaksudkan oleh Allah, untuk mencari pemenuhan final dan identitas di dalam Yesus Kristus. Lih Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid VII: Pi-Sek, h. 17.


(23)

Perspektif kristologis berikutnya ialah Yesus sebagai reperesentative, wakil, kasih dan kebenaran Allah yang menyelamatkan. Ia bukan penyebab adanya kasih Allah, sebab kasih adalah bagian dari struktur keberadaan Allah. Namun Yesus mewujudkan dan menyatakan kasih Allah dan karena itu Dia mewakili kasih itu yang menyelamatkan secara sepenuhnya di dalam lingkungan hidup manusia. Aliran ini masih segan mengatakan umat agama lain, seperti Buddha, sebagai Kristen tanpa nama, mereka lebih cenderung mengatakan umat Buddha sebagai “Kristen Potensial”, yaitu kebenaran yang diperoleh umat Buddha diwakili oleh Kristus dan Karen itu memperoleh

kepenuhan di dalam-Nya.18

Sikap ini membawa individu untuk bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain dan hendak merangkul agama lain dengan cara halus untuk hidup harmonis di tengah-tengah keragaman. Cara pandang ini memang terbuka terhadap adanya berbagai jalan menuju Tuhan, tetapi mereka menganggap jalan yang paling benar atau paling sempurna adalah melalui agamanya.

Panikkar menambahkan, sikap ini juga menimbulkan kesombongan

sebab hanya agama tertentu yang memiliki privilese atas kebenaran yang

mencakup semua. Jadi patokan agamanyalah yang digunakan untuk menilai agama lain sehingga sikap ini masih menginginkan kelompok lain di luar

agama atau kelompok mereka menempuh jalan yang sama dengan dirinya.19

18

Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 39. 19

Lih Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, h. 61, dan Pannikar, Dialog Intra religious, h. 21.


(24)

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa inklusivisme adalah paham bahwa semua tradisi keagamaan memiliki jalan keselamatannya masing-masing. Namun jalan tersebut tidak sempurna, sebab agama yang dianutnya adalah bentuk pemenuhan/ final dari agama-agama lain.

3. Pluralisme20

Seperti yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, bahwa

pluralisme, yang dimaksud adalah pluralisme agama, adalah suatu pandangan

yang menerima adanya keragaman kebenaran dan keselamatan agama (secara teologis), suatu paham bahwa tradisi-tradisi keagamaan mengejawantahkan

diri dalam beragam konsepsi mengenai yang sejati (the real) dan memberi

respon terhadapnya, dari sana muncul jalan kultural yang berebeda-beda bagi

manusia.21

Adapun menurut John Hick, pluralisme adalah “teori bahwa agama-agama besar dunia merupakan konsepsi dan persepsi berbeda dari, dan

tanggapan terhadap, sesuatu yang abadi atau realitas misterius ilahi.”22

20

Raymundo Panikkar lebih sering menyebut paralelisme dari pada Pluralisme, lih Raimundo Panikkar, Dialog Intra religious, h. 22-24.

Pandangan tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh

21

Frank Whaling, “Pendekatan Teologis,” dalam Peter Connolly, ed. Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri, h. 344-345.

22


(25)

Knitter,23 bahwa agama-agama lain juga memiliki pandangan dan respons mereka sendiri yang abash terhadap Misteri ini (Misteri Ilahi). Jadi mereka

tidak perlu dimasukkan dalam kekeristenan (eksklusif dan inklusif).24

Dengan kata lain, setiap agama memiliki perbedaan dalam rumusan teologis, doktrin, dan ritual sebagai respon mereka terhadap realitas Tunggal. Meskipun berbeda, setiap agama memiliki tujuan yang sama, yaitu membawa para pengikutnya kepada keselamatan akhirat.

Berbeda dengan perspektif mereka berdua, Hick dan Knitter, Panikkar berpendapat bahwa, semua kepercayaan yang berbeda-beda sesungguhnya

mempunyai kesejajaran untuk bertemu pada eschaton, akhir kehidupan

manusia. Oleh karena itu, setiap agama merupakan jalan-jalan yang sejajar dan setiap pemeluk agama selayaknya tidak mencampuri, mengklaim sesat

atau merendahkan ketidaksempurnaan, agama lain.25

Walaupun berbeda perspektif, pluralisme/paralelisme mengindikasikan adanya fenomena “Satu Tuhan banyak agama” yang berarti suatu sikap menerima dan menghargai terhadap adanya jalan lain kepada Tuhan, dan ini merupakan suatu keuntungan yang sangat positif bagi hubungan

23

Dalam Satu Bumi Banyak Agama sikap teologis Knitter tidak lagi pluralis, sebagaimana yang dapat dilihat dalam No Other Name?. Ia telah beranjak menuju suatu teologi “korelasional.” Pembahasan tersebut penulis tuangkan dalam bab IV pada sub judul “Pandangan Paul F. Knitter Terhadap Agama-Agama Lain.”

24

Lih Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, terj. M. Purwatman (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 37, dan Satu Bumi Banyak Agama, h. 11.

25


(26)

agama.26

Kita menemukan contoh visi keagamaan, baik inklusivis atau pluralis, yang mampu berkembang dalam masing-masing tradisi agama-agama dunia, walaupun biasanya tidak sebagai tema sentral. Jadi, dalam bukti baru ini

tertulis bahwa logos yang berinkarnasi sebagai Yesus Kristus, adalah "cahaya

yang mencerahkan setiap orang" (Yoh 1:9). Dalam Bhagavadgita dikatakan bahwa, "siapapun manusia dapat mendekati saya, bahkan begitu juga saya menerima mereka, sebab, pada semua pihak, apa pun jalan mereka pilih adalah milikku/jalanku: (4.11). dan dalam aliran Buddhisme Mahayana, Bodhisattva memberikan diri "untuk keselamatan semua makhluk" (Siksasamuccaya 280). Di dalam Alquran (2:115) kita membaca:

Dengan demikian tradisi-tradisi keagamaan harus dianggap sebagai alternatif keselamatan di mana atau sepanjang semua manusia dapat

menemukan keselamatan, pembebasan, dan pemenuhan di dalamnya.

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Penyair sufi muslim, Rumi, menuliskan hal tersebut dari tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda: "lampu berbeda tetapi cahaya kami sama: yaitu

berasal dari luar jangkauan."27

26

Lih Budhi Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, h. 51, dan Pannikar, Dialog Intrareligius, h. 23

27


(27)

Menghadapi pluralitas agama tidak hanya melahirkan sikap eksklusif dan inklusif, akan tetapi membawa individu kepada suatu paradigma yang mengakui bahwa jalan menuju Tuhan tidaklah tunggal. Jalan tersebut terdapat di dalam setiap agama, semuanya bergerak menuju tujuan yang satu, Tuhan. Tuhan yang satu tidak dapat dipahami secara tunggal oleh umat manusia karena adanya perbedaan kualitas intelektual dan pencerapan setiap

individu28. Setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan

karena itu klaim kebenaran sepihak (eksklusif), atau yang melengkapi maupun mengisi jalan yang lain (inklusif), harus ditolak, demi alasan-alasan teologis

dan fenomenologis.29

Konsekuensi dari paradigma ini adalah pemberian hak yang sama terhadap semua agama untuk tumbuh dan berkembang termasuk hak pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara bebas. Dengan begitu diharapkan tercipta sikap saling mengakui dan saling mempercayai, tanpa ada kekhawatiran untuk dikonversikan ke dalam agama tertentu. Jadi paradigma seperti ini tidak menyatakan bahwa semua agama adalah sama (paralel).

30

Sekalipun pluralisme memiliki efek positif bagi kelangsungan hubungan antar-agama, model ini juga memiliki sisi negatif, terutama terhadap pengakuan banyak agama yang benar dan relatif. Knitter berpendapat bahwa pluralisme seringkali terjebak dalam universalisme dan

28

Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme, h. 59. 29

Budhi Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, h. 48. 30


(28)

sinkritisme serta tidak jarang para teolog tergelincir dalam imperialisme dan

relativisme.31

Dari keterangan di atas, penulis menyimpulkan bahwa, Pluralisme adalah pandangan bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama, sebagai akibat dari respon dan persepsi, walaupun berbeda-beda, terhadap realitas Ilahi yang satu. Dengan begitu bisa dikatakan bahwa banyak agama yang benar dan menyelamatkan.

Pluralisme membawa sikap positif bagi hubungan antar-agama yang saling menerima dan menghargai eksistensi agama-agama lain, akan tetapi

juga berdampak negatif karena pluralisme seringkali terjebak dalam

universalisme dan sinkritisme serta tidak jarang para teolog tergelincir dalam imperialisme dan relativisme.

B. Sikap Gereja Katolik Terhadap Agama-Agama Lain

Konsili Vatikan II, 8 Desember 1965, disebut sebagai titik tolak sikap Gereja yang dialogis. Namun hal ini tidak berarti bahwa sebelum konsili Vatikan II sikap Gereja yang dialogis tidak ada. Menurut penelitian Jean L. Jadot (1983) bahwa sikap Gereja, melalui pendekatan Paulus dan para rasul lain, mengutamakan dan

31

Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 44-45, dan Togardo Siburian, “Tren-Tren Teologis dalam Spirit Pascamodernisme” dalam, Jurnal Teologis Stulos (Bandung: Yayasan STT Bandung, September 2009), h. 142. Ulasan mengenai kritik Knitter terhadap pluralisme penulis bahas pada bab IV dengan sub judul “Pandangan Paul F. Knitter Terhadap Agama-Agama Lain.”


(29)

menghargai pribadi-pribadi lain. Hal tersebut merupakan suatu contoh sikap positif

terhadap umat kepercayaan lain.32

Sikap positif Gereja terhadap agama lain sebenarnya kurang menjadi sikap yang menonjol dan mendasar. Sebaliknya sikap yang menonjol adalah eksklusivisme, triumphalisme, dan sejenisnya. Akibatnya Gereja sebelum Vatikan II tampak tertutup dan kurang memandang positif agama-agama lain.

1. Sebelum Konsili Vatikan II

Telah dikemukakan di atas bahwa sikap Gereja terhadap agama-agama lain sebelum Vatikan II menunjukkan sikap bersahabat dan tidak menampilkan agresivitas kekerasan. Sikap ini diwariskan kepada Bapa Gereja, seperti Ireneus, Origenes, Hippolitus, dan Gregorius Nazianse (sekitar abad ke-3). Mereka merefleksikan peranan agama-agama non-Kristen dalam

rencana keselamatan universal Allah.33

Ketika Eropa mulai melakukan ekspansi ke benua-benua baru, sekitar abad ke-16 dan 17, terjadilah perjumpaan yang intens antara Kristen dengan agama-agama lain. Pada 1510 kekeristenan masuk ke Goa, pada tahun yang sama juga sampai ke Congo. Kemudian, Fransiskus Xaverius tiba di Jepang pada 1549. Perjuampaan Kristen dengan agama dan kebudayaan lain membuat para misionaris, menurut penulis mereka terpaksa, mengambil sikap

32

Armada Rianto, Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 23-24.

33


(30)

toleran34

Sikap positif Gereja Katolik terhadap agama-agama lain ditegaskan

pula oleh Kongregasi untuk Penyebaran Iman (Propaganda Fide, berdiri pada

1622) dalam surat, dibuat pada 1659, yang memuat norma-norma bagi para Uskup Eropa yang menadapat tugas memimpin Gereja-Gereja Asia.

dan merangkul agama dan kebuadayaan pribumi. Tokoh-tokoh seperti Matteo Ricci di China, Valignano di Jepang, dan De Nobili di India merupakan tokoh-tokoh yang mengambil sikap positif dan menegaskan bahwa iman Kristen tidak eksklusif dan tidak mengucilkan apa yang baik dan suci dari agama serta budaya lain.

Norma-norma tersebut berbicara mengenai desakan untuk tidak memaksa masyarakat pribumi mengubah ritus-ritus asli, kebudayaan, dan cara-cara hidup khas mereka, kecuali jelas-jelas bertentangan dengan agama dan moral. Ditegaskan pula agar tidak memunculkan budaya baru seperti (sinkritisme) Prancis-China, Spanyol-Philipina, dan Portugis-Indonesia. Budaya-budaya asli patut dipertahankan dan dilestarikan kerena mengarah

pada benih-benih keselamatan.35

34

Tolerant atau dalam bahasa Latin Tolerantis berasal dari kata Tolero. Berarti kemampuan untuk menahan terhadap/ dapat menerima. Toleransi yang dimaksud adalah kecenderungan untuk sabar menghadapi/ tahan terhadap keyakinan orang lain yang berbeda-beda. Jadi, menurut penulis, walaupun tidak ada penerimaan terhadap keyakinan orang lain. Namun masih ada sikap menerima (selain konsep teologis) dan kesediaan bekerja sama dengan umat agama lain. Lih Philip Babcok Gove, ed., The New Grolier Webster’s International Dictionary of The English Language, Vol II (Massachusetts: G & C. Merriam Company Publishers, 1960), h. 1035.

35


(31)

Sikap positif ini kemudian meluntur ketika praktek kolonialisme dilancarkan, salah satu usahanya ialah mengganti kebudayaan pribumi dengan kebudayaan Eropa, termasuk agama sehingga pewartaan misionaris identik dengan invasi kubudayaan Eropa. Ditambah lagi dengan muculnya aliran/ordo Yansenisme yang mempropogandakan bahwa di luar Gereja tidak ada

keselamatan, dikenal dengan istilah Extra Ecclesiam Nulla Salus yang

mendapat simpati luas pada abad ke-18 hingga 1936

Namun menurut Harold Coward, pertikaian Arius dan Athanasius mengenai hakikat hubungan antara Allah dan Yesus, yang dimenangkan oleh Athanasius, bahwa Yesus adalah penjelmaan sejati satu-satunya, merupakan puncak sikap tertutup dan eksklusif agama Kristen, sebelumnya sikap tersebut telah dimulai pada masa Gnostik (abad ke-2).

. Dengan demikian, sikap eksklusivisme Gereja Katolik muncul sekitar abad 18-19 M.

37

Adapun John Hick berpandangan bahwa, sikap eksklusivisme merupakan fase awal dari perkembangan sikap Kristen terhadap agama-agama lain, ditandai dengan adanya Konsili Florence (1438-1445) yang menyatakan bahwa “tidak ada seorang pun yang berada di luar Gereja Katolik dapat menjadi bagian di dalam kehidupan abadi tetapi mereka akan pergi ke dalam

36

Rianto, Dialog Agama, h. 25. 37

Harold Coward, Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama, terj. Bosco Carvallo (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 84-85.


(32)

api kekal yang disiapkan untuk setan dan pengikutnya kecuali jika sebelum

akhir hidupnya mereka menjadi anggota Gereja.”38

Jadi ada tiga pendapat mengenai awal mula sikap eksklusif Kristen

terhadap agama-agama lain, pertama, dimulai pada abad pertengahan ketika

Bangsa Eropa mulai mempraktekkan Kolonialisme (abad ke-16, namun secara

intens terjadi pada abad 18-19), Kedua, dimulai sejak awal perkembangan

agama Kristen ketika berjumpa dengan filsafat Yunani (abad ke-2), dan

ketiga, sejak diadakannya Konsili Florence pada abad ke-15.

Meskipun demikian, menurut Armada Rianto, pendapat pertama mengenai awal mula sikap eksklusif Kristen dipertegas dan diperkuat oleh

pernyataan bahwa extra ecclesiam nulla salus adalah ungkapan yang berasal

dari Santo Cyprianus (abad ke-3) yang sebenarnya bersifat apologetik dan bukan eksklusif, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ungkapan tersebut disalahartikan. Sesungguhnya ungkapan Cyprianus tersebut ditujukan kepada baptisan yang diberikan oleh para bidaah (yang memisahkan dari dari Gereja yang benar). Ditegaskan bahwa baptisan para bidaah itu sesat dan tidak membawa kepada keselamatan. Hanya melalui Gereja Katolik yang membawa keselamatan, “baptisan” di luar Gereja tidak ada keselamatan.

Pandangan tersebut bertolak dari pemikiran bahwa Gereja merupakan “bahtera” Nuh yang menyelamatkan para penghuni di dalamnya, yang memisahkan diri dengan sendirinya juga menjauhkan diri dari keselamatan.

38

John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, terj. Amin Ma’ruf dan Taufik Aminuddin (Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 2006), h. 23-24.


(33)

Pernyataan serupa juga disampaikan Santo Agustinus yang menyatakan bahwa “di luar Gereja Katolik ada apa saja, kecuali keselamatan.” Pandangan tersebut semakin meluas sejak disebarluaskan oleh murid Santo Agustinus,

Uskup Fulgentius (467-533).39

Menurut John Hick, doktrin extra ecclesiam nulla salus menekankan

bahwa hanya orang Katolik yang dapat diselamatkan. Meskipun demikian, orang-orang yang bukan Katolik secara metafisis adalah Katolik sebab mereka

mungkin mempunyai iman implisit sebagai ganti iman yang eksplisit. Hal ini

diperkuat oleh pernyataan Sri Paus Pius XI pada 1854, sebagai berikut:

tentu saja itu harus dipegang sebagai persoalan iman bahwa di luar Gereja kerasulan Roma tidak seorang pun dapat diselamatkan, serta bahwa Gereja menjadi satu-satunya perahu keselamatan dan siapa pun yang tidak memasukinya akan binasa dalam banjir. Pada sisi lain, harus diyakini sebagai hal khusus bahwa siapa pun yang dipengaruhi oleh ketidakmengertian akan agama yang benar bukanlah orang yang harus menanggung kesalahan dari permasalahan ini di hadapan Tuhan

jika itu merupakan ketidakmengertian yang tidak terelakkan.40

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa, umat agama lain selain Kristen yang tidak mengenal karya penyelamatan Yesus karena informasi mengenai Dia tidak sampai pada mereka, secara tidak sadar atau secara implisit adalah Kristen. Hal ini akan kembali dipertegas oleh Rahner dengan istilah “Kristen Anonim.”

39

Rianto, Dialog Agama, h. 26. 40


(34)

Menurut Walter Kasper bahwa ungkapan extra ecclesiam nulla salus

pada awalnya tidaklah eksklusif. Ungkapan tersebut hanyalah sebagai “pagar” bagi kesatuan dan persatuan umat Kristen yang pada masa itu mulai goyah.

Dengan kata lain ungkapan extra ecclesiam nulla salus digunakan untuk

mencegah keluarnya umat Kristen dari ajaran yang benar (Gereja Katolik) dan untuk meyakinkan kesesatan pandangan-pandangan para bidaah dan kaum gnostis.

Diketahui bahwa pada masa itu Bapa Gereja hanya mengenal satu Gereja yang benar, Gereja Katolik. Adapaun Fulgentinus adalah Uskup Rospe, Afrika Utara dan murid setia Santo Agustinus yang dikenal sebagai penentang kuat aliran sesat Arianisme. Kemudian pada 1442 dalam Konsili

Florence ungkapan extra ecclesiam nulla salus pertama kali, dalam

dokumennya, ditujukan kepada orang kafir atau, secara khusus, orang yang sesat dalam beriman Kristen sebagai apologetika, bukan kepada orang

beragama lain.41

Namun, seperti yang telah disebutkan bahwa dalam perjalanan sejarahnya, ungkapan tersebut disalahartikan. Penafsiran mengenai di luar iman Kristus atau bahkan di luar Gereja Katolik tidak ada keselamtan semakin meluas, terutama setelah ditemukannya benua-benua baru sekitar abad ke-15. Oleh karena itu, para misionaris meyakini bahwa memenangkan jiwa-jiwa yang dipandang celaka karena tidak mengenal Kristus merupakan tugas mulia. Dengan demikian wajar jika ungkapan tersebut dimunculkan.

41


(35)

Menurut Aloysius Pieris bahwa semangat misionaris pada waktu itu bukanlah eksklusif, akan tetapi lebih kepada kesadaran dan tanggung jawab besar terhadap keselamatan orang kafir dan tidak bersifat negatif bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan. Dengan begitu dasar pewartaan para misionaris adalah berdasarkan cinta kepada Kristus dan kemiskinan rohani

orang-orang kafir.42

Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap Gereja terhadap agama-agama lain sebelum Konsili Vatikan II adalah bersahabat dan toleran, meskipun ada ungkapan bahwa umat non-Kristen, walaupun tidak mengenal Yesus dan Gerejanya bukan karena kesalahan mereka, memiliki keterarahan pada Kristus

(inklusivisme). Munculnya ungkapan extra ecclesiam nulla salus pada

awalnya dimaksudkan untuk membentengi kesatuan dan persatuan umat Kristen yang pada masa tersebut mulai goyah akibat munculnya para bidaah yang digolongkan sebagai kaum gnostis. Seiring dengan jalannya waktu, terjadi salah penafsiran terhadap ungkapan tersebut, terutama ketika ditemukannya benua-benua baru dan kolonialisme, menjadi tidak ada keselamatan pada agama-agama lain. Hal ini berlangsung hingga Konsili Vatikan II yang merubah sikap eksklusivisme Gereja menjadi lebih terbuka terhadap agam lain, inklusif.

42


(36)

2. Pasca Konsili Vatikan II

Sikap Gereja terhadap agama-agama lain pasca Konsili Vatikan II

tidak jauh berbeda dari apa yang dirumuskan dalam Nostra Aetate seperti

yang terungkap dalam NA 2:

Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci dalam agama-agama. Gereja memandang dengan penghargaan yang tulus cara hidup dan cara bertindak, peraturan dan ajaran agama-agama itu, yang biarpun dalam hal banyak berbeda dengan apa yang dipahami dan diajarkan Gereja, toh tidak jarang memantulkan cahaya

Kebenaran, yang menerangi semua manusia.”43

Penilaian teologis mengenai tradisi agama-agama berangkat dari prinsip bahwa semua manusia diselamatkan oleh dan dalam Kristus. Berikut adalah beberapa ayat yang berbicara mengenai hal tersebut:

Allah menghendaki semua manusia diselamatkan. Rencana keselamatan Allah itu sudah mulai sejak awal penciptaan. Sebab penciptaan sendiri merupakan pencetusan awal keselamatan. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, janji keselamatan Allah kepada semua manusia diwartakan. Dan janji keselamatan Allah itu terpenuhi dalam diri Kristus. Allah Putra yang menjelma menjadi manusia. Yesus Kristuslah Sang Penyelamat satu-satunya yang dengan wafat di salib menuntaskan karya penyelamatan Allah bagi manusia. Yesus Kristus mati di salib sebagai tebusan bagi semua orang.

(1 Tim 2:3-7)

43

Lih Riyanto, Dialog Agama, h. 83, dan Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana (Jakarta: Yayasan Obor, 1993), h. 310, dan Deklarasi Vatikan II: Asas Pendidikan Kristen, Sikap Gereja Terhadap Agama-Agama Bukan Kristen, Kebebasan Beragama (Ende: Arnoldus Ende Flores, 1966), h. 32.


(37)

“Maka Kristus adalah Penebus dan Penyelamat bagi semua orang.” (Kis 2:38; 4:12; 10:43)

Dalam Perjanjian Baru, Mazmur dan Amsal terbitan Lembaga Alkitab Indonesia44

Gereja memandang setiap tradisi-tradisi keagamaan merupakan ungkapan hasil rahmat Allah. Sebagaimana yang diajarkan oleh Bapa Gereja, seperti Ireneus dan Clemens dari Alexandria yang meyakini bahwa Allah juga menyatakan diri-Nya di luar kekeristenan. Namun pernyataan Allah tersebut tidak sempurna seperti dalam kesempurnaan iman Kristen. Sebab Kristus adalah pemenuhan definitif Wahyu Allah, maka tradisi-tradisi keagamaan memiliki keterarahan kepada Kristus.

disebutkan bahwa “…Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia.” (1 Tim 2: 5-6) dan dalam Kisah Para Rasul

pasal 4 ayat 12 yang menyatakan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan, menurut penulis, adalah tanda bahwa sebenarnya Allah menginginkan semua manusia selamat melalui peran Kristus. Akan tetapi, tidak semua manusia mengenal Kristus sebagai penyelamat, sehingga Kasih Allah yang universal bertentangan dengan peran Yesus yang partikular. Hal tersebut memicu perdebatan di kalangan teolog Kristen. Inilah yang berusaha dijawab oleh Gereja Katolik Roma dengan teori “iman implisit” atau “Kristen Anonim” Karl Rahner.

45

44

Lih Perjanjian Baru, Mazmur dan Amsal, cet ke-3 (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2008), h. 319.

45


(38)

Inilah yang disebut oleh Karl Rahner sebagai Kristen Anonim atau dalam istilah Gereja “Iman implisit”, yaitu iman yang disatu pihak perlu bagi

keselamatan ̶ sejauh memenuhi syarat yang dituntut pembenaran dan

keselamatan kekal, yaitu pengharapan dan cinta kasih kepada Tuhan dan

manusia ̶ tetapi dilain pihak iman itu tercetus tanpa hubungan eksplisit dan

sadar atas imannya kepada Kristus.46

Istilah imam implisit atau Kristen anonin tidak tertulis dalam dokumen-dokumen konsili Vatikan II, akan tetapi istilah tersebut tersirat

dalam beberapa dokumennya, antara lain: Lumen Gentium, seterusnya

disingkat menjadi LG (konstitusi dogmatik tentang Gereja) 13, mengenai hubungan antara Gereja sebagai sakramen keselamatan bagi seluruh manusia dengan agama-agama lain pada umumnya, LG 16, tentang keterarahan mereka yang belum menerima Injil kepada Umat Allah yang baru dalam Kristus sebagai kepalanya, LG 17, berisi penetapan Kristus sebagai dasar penyelamatan seluruh dunia oleh Allah di satu pihak dan semakin tidak

sedikit/banyak manusia yang belum mengenal Kristus di pihak lain, Gaudium

et Spes (konstitusi pastoral tentang Gereja dalam dunia modern) 22, tentang

partisipasi semua manusia dalam misteri Paskah Kristus, dan Nostra Aetate

(deklarasi hubungan Gereja dengan agama bukan Kristen) 2 yang berisi Dengan kata lain iman implisit adalah kesaksian atas Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa pengakuan Kristus sebagai juru selamat.

46

Riyanto, Dialog Agama, h. 86-87, Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, h. 30, dan Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h 39.


(39)

mengenai nilai-nilai keselamatan yang hadir dalam tradisi-tradisi keagamaan lain.47

Dengan demikian Gereja mengakui bahwa iman implisit atau Kristen anonim dapat menjadi syarat yang cukup untuk keselamatan. Sebab mereka yang bukan karena kesalahnnya sendiri tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati yang tulus mencari Allah, serta karena terdorong oleh rahmat dengan perbuatan mereka berusaha memenuhi kehendak Allah yang dikenal melalui suara hatinya, mereka itu dapat memperoleh keselamtan abadi. Sungguh apa yang benar dan baik dari

agama-agama lain dipandang oleh Gereja sebagai persiapan akan Injili.

48

Istilah “persiapan Injili” (preparation Evangelica) pertama kali dicetuskan oleh Eusebius dari Cesarea yang dimaksudkan sebagai paham mengenai apa-apa yang baik, benar, dan suci dari agama-agama lain. Persiapan Injili adalah ide-ide yang baik dan benar mengenai Allah, jiwa manusia serta kebenaran-kebenaran yang ditampilkan dalam berbagai ritual keagamaan. Persiapan Injili merangkum pengertian dan praktik hubungan antara Allah dengan manusia serta hubungan antara manusia yang dikatakan dapat menjadi persiapan yang tepat untuk wahyu Injili.

Persiapan Injili juga mencakup keyakinan-keyakinan bahwa sejarah manusia selalu ada dalam bimbingan Allah. Allah mendidik manusia dalam sejarahnya agar manusia siap menerima Wahyu Kristus. Agama-agama lain

47

Riyanto, Dialog Agama, h. 86. 48


(40)

disebut sebagai persiapan akan Injili, bila sejauh agama tersebut mengajarkan

ajaran-ajaran yang membuat para pemeluknya terbuka akan kebenaran Injil.49

Oleh karena itu, Gereja mengajak umatnya agar melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama lain, memelihara dan mengembangkan hal-hal yang baik, spiritual dan moral, maupun nilai-nilai sosio-kultural yang terdapat di kalangan orang-orang tersebut. Gereja pun berusaha membina dan memelihara hubungan baik dengan kepercayaan-kepercayaan lain demi kepentingan seluruh umat manusia, mengutuk keras tindakan diskriminasi kepada siapa pun, karena hal itu bertentangan dengan

semangat Kristus.50

Dari keterangan di atas, penulis menyimpulkan bahwa sikap Gereja terhadap agama lain pasca Konsili Vatikan II lebih terbuka, dialogis dan telah benar-benar menghilangkan sikap eksklusif mereka. Hal tersebut ditandai

dengan dikeluarkannya dokumen Nostra Aetate yang berisi sikap Gereja

terhadap agama non-Kristen. Jika diperhatiakn, sikap toleran Gereja terhadap agama lain pasca Konsili Vatikan II tidak jauh berbeda dari sebelumnya .

Kristus merupakan kepenuhan dari agama -agama lain , dengan kata lain ,

agama-agama yang bukan Kristen ̶ walaupun eksistensinya diakui oleh

Gereja ̶ memerlukan Kristus sebagai jalan Final menuju keselamatan,

49

Riyanto, Dialog Agama, h. 92. 50

Deklarasi Vatikan II: Asas Pendidikan Kristen, Sikap Gereja Terhadap Agama-Agama Bukan Kristen, Kebebasan Beragama, h. 32-37.


(41)

meskipun mereka tidak menyadari kehadiran Kristus sebagai iman implisit maupun sebagai Kristen anonim.


(42)

34

PAUL F. KNITTER

A. Riwayat Hidupnya

Paul F. Knitter lahir pada 25 Februari 1939 di Chicago.1 Pada usianya yang ke-13, ia mulai menjalani kehidupan kependetaan Katolik. Pada tahun 1958 setelah empat tahun belajar di seminari ditambah dua tahun novisit, Knitter resmi menjadi anggota “Divine Word Missionaries” (SDV, singkatan dari Societas Verbi Divini) sebagai seorang misionaris. Hal tersebut merupakan fase awal dari kehidupannya yang dipengaruhi oleh keberadaan agama lain terutama setelah ia mempelajari “adaptasi misioner”, yaitu proses mencari titik persamaan agama Kristen dengan agama lain2 sebagai langkah awal misi pertobatan. Setelah meraih gelar sarjana muda filsafat dari Divine Word Seminary pada 1962, ia mulai merasakan bahwa model Kristen yang eksklusif sebagai terang dan agama lain sebagai kegelapan tidak sesuai dengan kenyataannya.3

Knitter melanjutkan studinya di Pontifical Gregorian University, Roma, pada 1962, bertepatan dengan diselenggarakannya Konsili Vatikan II 11 Oktober 1962. Pada 1965 Karl Rahner menjadi guru besar tamu di Universitas Gregorian

1

Paul F. Knitter, artikel diakses pada 03 Juni 2010 dari situs resmi Union Theological Seminary New York,

2

Bagi Knitter adaptasi missioner merupakan langkah awal untuk mengakui nilai-nilai positif dari agama-agama lain. Hal ini, pada perkembangan selanjutnya, sangat mempengaruhi perspektif teologisnya.

3

Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 4-6, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, terj. M. Purwatman (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 29-31.


(43)

tempat Knitter menuntut ilmu. Melalui gagasan-gagasan Rahner, sikap teologis Knitter terhadap agama lain mulai bergeser dari eksklusivisme menjadi lebih terbuka terhadap agama lain, inklusivisme. Setelah memperoleh gelar lisensiat

bidang teologi di Roma (1968), ia melanjutkan studi ke Universitas Münster, Jerman (1972) dibawah bimbingan Karl Rahner dengan tesis berjudul “Sikap Katolik Terhadap Agama-Agama Lain”. Karena ada kesamaan judul dengan disertasi orang lain di Roma, ia disarankan untuk menulis hal yang sama dalam sudut pandang Protestan Kontemporer.

Akhirnya Knitter pindah ke Universitas Marburg, Jerman (1972) di bawah bimbingan Prof. Carl Heinz Ratschow, Penasehat bantuan dari Prof. Rudolf Bultman, dengan judul disertasi “Menuju Suatu Teologi Agama-Agama Protestan”. Hal tersebut menjadikannya sebagai orang Katolik Roma pertama yang mendapatkan gelar Doktor Teologi dari Departement of Protestant Theology dari University of Marburg.4

Pada 1972 Knitter mulai mengajar mata kuliah teologi agama-agama di Teologi Union Katolik (Catholic Theological Union), Chicago, sebagai asisten profesor studi doktrinal. Pada 1975 ia keluar dari SDV dan pindah ke Universitas Xavier, Cincinnati, Ohio dan mengajar studi yang sama. Dari mata kuliah yang diajarkannya dan perjumpaan dengan orang beragama lain yang lebih baik dari orang Kristen yang dikenalnya, Knitter merasakan jembatan Rahner mulai goyah.

4

Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 6-8, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 31-34. dan Paul F. Knitter,


(44)

Oleh karena itu ia mulai mencari pedoman/perspektif baru dalam memandang “sesuatu yang religius” di luar teori Kristen anonim Rahner.

Di antara sekian banyak pedoman yang dipercaya dan berani yang digunakannya tercermin dalam dua tokoh, Raimundo Panikkar dan Thomas Merton sebelum akhirnya ia membaca buku Hans Küng, On Being a Christian

(1976). Menurt Knitter, kritik Küng terhadap teori Kristen anonim telah membuatnya keluar dari jembatan Rahner, akan tetapi ia tidak sependapat dengan Küng, dan itu dianggapnya salah, ialah mengenai finalitas Kristus. Pada 1985 Knitter menulis buku No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward World Religions sebagai survei kritis atas sikap Kristen.

Sebelumnya pada 1984 ia dan istrinya, Cathy, menjadi anggota “Santuary Movement”, yaitu suatu organisasi oikumenis dari berbagai gereja dan sinagoge yang memberi bantuan dan tempat perlindungan bagi para pengungsi korban perang El Savador, Amerika Tengah. Dari kegiatan organisasi ini, Knitter mengunjungi El Savador dan Nikaragua dengan membawa misi kemanusiaan. Di sana ia menyaksikan langsung bagaimana penderitaan yang dialami masyarakat El Savador. Oleh karena itu, bagi Knitter teologi pembebasan bukan saja sebagai “metode baru”, tetapi suatu pemahaman baru tentang agama dan kesetiaan sebagai murid Yesus dengan mendahulukan mereka yang tertindas sebagai tuntutan. Hal ini berpengaruh terhadap cara berteologinya di mana ia tidak dapat menjalankan teologi agama-agama kecuali ada kaitannya dengan teologi pembebasan.5

5

Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 8-12, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 34-39.


(45)

Knitter telah menggabungkan dua teologi yang berbeda, teologi agama-agama dan teologi pembebasan yang ia sebut sebagai teologi korelasional yang bertanggung jawab secara global. Hal ini membuat Harvey Cox memberikan apresiasi penuh terhadap langkah Knitter dalam menyatukan teologi yang tampak berbeda tersebut, bahwa keprihatinan terhadap mereka yang menderita (Suffering

Others) dan terhadap mereka yang berkeyakinan lain (religious Others)

merupakan keprihatinan bersama, keduanya saling membutuhkan dan akan timpang dan tidak efektif jika salah satunya ditiadakan.6

Hal tersebut mempengaruhi tulisannya, Toward a Liberation Theology of

Religions, dalam buku yang ditulis Knitter bersama John Hick dan beberapa

teolog untuk melihat sejauh mana pengaruh pluralisme di antara para teolog Kristen dengan judul The Myth of Christian Uniqueness: Toward a Pluralistic Theology of Religions (1987).7

Sebagai salah satu anggota Dewan Penyantun CRISPAZ (Umat Kristen untuk perdamaian di El Savador), Knitter aktif dalam berbagai kelompok perdamaian dan keadilan di Cincinnati. Ia telah mengunjungi El Savador dan Nikaragua selama musim panas 84, 85, 86, 88, 90, 91 dan Januari 95, 96 untuk mempelajari situsi politik dan kehidupan gereja-gereja disana.

8

Pada 1991 Knitter mengunjungi India selama lima bulan cutinya. Di sana ia menemukan bahwa dialog dan pembebasan harus merupakan dua segi dari

6

Harvey Cox dalam “Pengantar”, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 14-15.

7

Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 11-12, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 39. 8


(46)

agenda yang sama. Hal ini telah berlangsung di India, diantara umat Hindu, Kristen dan Muslim yang bersatu memerangi penindasan selama berabad-abad. Disamping hal tersebut, ia juga belajar bahwa penderitan bukan hanya meliputi manusia, tetapi semua makhluk lainnya termasuk bumi. Senada dengan Hans Küng mengenai etika global, bahwa keprihatinan bagi suatu dialog harus dipadukan dengan keprihatinan terhadap keadilan. Dengan kata lain, dialog antar-agama harus memasukkan masalah etis di balik penderitaan manusia dan bumi sebagai agenda yang paling mendesak.9

Pada 2002 Knitter menjadi Profesor Emeritus Teologi di Xavier University sebelum ia bergabung dengan Uni Theologi Seminary, New York pada 2007. Sebagian besar penelitian dan tulisan Knitter berkaitan dengan pluralisme agama dan dialog antar-agama.

Sejak menulis buku No Other Name? (1985), Knitter telah menjelajahi bagaimana komunitas beragama di dunia dapat bekerja sama dalam mempromosikan kesejahteraan manusia dan ekologi, hal tersebut ia tuangkan dalam buku One Earth Many Religions: Multifaith Dialogue & Global

Responsbility (1995) dan Jesus and the Other Names: Christian Mission and

Global Responsibility (1996), dan survei kritis tentang pendekatan Kristen

terhadap agama lain: Introducing Theologies of Religions ( Orbis Books, 2002). Pada 2005, Knitter mengedit buku mengenai eksplorasi antar-agama dengan The

Myth of Religious Superiority (Orbis Books). Saat ini proyek tulisannya

9

Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 14-15, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 39-42.


(47)

dijadwalkan dipublikasikan pada awal tahun 2009, adalah Without Buddha I Could Not Be A Christian: A Personal Journey of Passing Over and Passing Back.10

B. Karya-karyanya

Karya-karya intelektual Knitter yang berupa buku kurang lebih berjumlah 15 buah, sedangkan yang berbentuk artikel berjumlah sekitar 5311

Selain itu, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes

toward World Religions (1985) juga termasuk karya monumentalnya, merupakan

survey kritis mengenai sikap Kristen terhadap agama-agama lain. Buku ini ditulis setelah Knitter merasa perlu dan harus melampaui inklusivisme Rahner dan Küng. . Karya-karya intelektual Paul F. Knitter yang terpenting terutama yang berkaitan dengan pluralisme dan dialog antar-agama adalah, Towards a Protestant Theology of

Religions (1974), merupakan karya pertama Knitter yang berupa disertasi

mengenai teologi agama-agama dalam sudut pandang Protestan. Hal ini menjadikannya sebagai orang Katolik pertama yang mendapatkan gelar Doktor Teologi dari Departement of Protestant Theology dari University of Marburg.

Ada pun The Myth of Christian Uniqueness: Toward a Pluralistic

Theology of Religions (1987), merupakan kumpulan tulisan mengenai tinjauan

para teolog terhadap pluralisme. Buku ini diedit oleh Kintter dan John Hick, ia

10

Paul F. Knitter, artikel diakses pada 03 Juni 2010 dari

11

Untuk lebih jelas, lih Paul F. Knitter, dalam Union Theological Seminary of New York


(48)

sendiri menulis dalam buku tersebut sebuah judul, yaitu “Toward Liberation of Religions” yang merupakan konsep awal teologi korelasional dan bertanggung jawab global, perpaduan antara teologi agama-agama dengan teologi pembebasan.

Pada 1990, Knitter menulis sebuah buku yang berjudul Buddhist Emptiness and Christian Trinity Essays and Explorations (1990). Buku tersebut merupakan editan Knitter bersama Roger Corless. Pada tahun yang sama ia bersama John B. Cobb, Jr., Monika Hellwig, dan Leonard Swidler menulis buku yang berjudul Death or Dialogue: From the Age of Monologue to the Age of Dialogue (1990), yang berisi tentang perkembangan dan pentingnya dialog antar-agama. Selain itu, ia juga menulis mengenai pluralisme dan tantangan terhadap teologi agama-agama yang dikarang oleh beberapa teolog dengan judul Pluralism and Oppression: Theology in World Perspective (1990) diedit oleh Knitter pada tahun yang sama.

Buku Knitter yang cukup populer, diterbitkan dalam berbagai bahasa, salah satunya berbahasa Indonesia adalah One Earth Many Religions: Multifaith Dialogue and Global Responsibility (1995). Buku tersebut diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia pada 2008 dengan judul Satu Bumi Banyak Agama: Dialog

Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global. Buku ini berisi mengenai hubungan antar

agama yang tidak hanya pada tataran intelektual dan spiritual, akan tetapi berbagai agama yang berbeda bersama-sama menaggapi penderitaan eko-manisiawi dalam praksis pembebasan, dimulai dengan dialog yang korelasional.

Selanjutnya Jesus and the Other Names: Christian Mission and Global Responsibility (1996), merupakan tantangan kristologi Kristen mengenai misi dan


(49)

respon Gereja/Kristen terhadap dunia global. Buku ini merupakan kelanjutan dari

One Earth Many Religions dan lebih menitikberatkan pada masalah kristologi. Diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Menggugat Arogansi Kekeristenan oleh penerbit Kanisius, 2005.

Setahun kemudian, Leonard Swidler dan Paul Mojzesmenjadi editor buku

The Uniqueness of Jesus: A Dialogue with Paul Knitter (1997), buku ini berisi tentang lima Thesis Knitter terhadap keunikan Yesus beserta tanggapan dari para teolog. Pada 2005, Knitter mengedit buku mengenai eksplorasi antar-agama dengan dengan judul The Myth of Religious Superiority.

Karya terakhir Knitter sebelum ia mengeluarkan buku Without Buddha I Could Not Be A Christian: A Personal Journey of Passing Over and Passing Back

pada awal 2009 adalah Introducing Theologies of Religions (2002). Buku tersebut merupakan revisi dari No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward World Religions (1985), berupa deskripsi mengenai model sikap Kristen terhadap agama-agama lain dengan tambahan satu model baru yang disebut model pemenuhan (teologi korelasional).


(50)

42

BAB IV

TEOLOGI KORELASIONAL DAN TANGGUNG JAWAB GLOBAL

Pada bab sebelumnya, penulis telah memaparkan bagaimana pergeseran paradigma teologi Knitter, diawali dengan paradigma eksklusif dengan perspektif kristologi eklesiosentris ketika ia bergabung dengan SDV, kemudian inklusif-kristosentris, dan akhirnya pluralis yang teosentris saat pengaruh mereka yang berkeyakinan lain dan mereka yang menderita semakin kuat. Namun menurut Knitter, pergeseran tersebut belum memadai dan harus dilanjutkan.

Knitter telah menggabungkan dua teologi yang berbeda, teologi agama-agama dan teologi pembebasan, yang disebut sebagai teologi korelasional dan tanggung jawab global. Hal ini membuat Harvey Cox memberikan apresiasi penuh terhadap langkah Knitter dalam menyatukan teologi yang tampak berbeda tersebut, bahwa

keprihatinan terhadap mereka yang menderita (Suffering Others) dan terhadap

mereka yang berkeyakinan lain (religious Others) merupakan keprihatinan bersama,

keduanya saling membutuhkan dan akan timpang dan tidak efektif jika salah satunya

ditiadakan.1

Alasan Knitter menggabungkan teologi agama-agama dengan teologi

pembebasan adalah pertama, agama berperan penting dalam menghasilkan

1

Harvey Cox dalam “Pengantar”, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, terj. M. Purwatman (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 14-15.


(51)

transformasi sosial dan politik. Pembebasan ekonomi, politik, dan sosial merupakan tugas yang sangat berat bagi satu bangsa, budaya, maupun agama. oleh karena itu, gerakan pembebasan membutuhkan bukan hanya satu agama, tetapi berbagai agama dalam suatu kerja sama lintas budaya, antar agama dalam praksis pembebasan.

Kedua, dialog antar agama tidak hanya terjadi di tataran teologis. Namun juga mengharapkan aksi berbagai agama terhadap penderitaan yang dialami manusia, seperti kemiskinan dan ketidakadilan, serta terhadap penderitaan bumi yang

diakibatkan oleh ulah manusia sendiri2

Adapun unsur-unsur penting dalam teologi korelasional dan

bertanggungjawab secara global yang penulis bahas adalah pemahaman tentang agama-agama lain, pemahaman tentang kesetiaan kepada Kristus dan titik temu (konvergensi) agama-agama, kesemuanya itu berujung atau tertuju pada dialog antar-agama dan tanggung jawab global.

.

A. Pandangan Paul F. Knitter Terhadap Agama-Agama Lain

Salah satu tugas yang paling mendesak yang dihadapi teologi Kristen hari ini adalah memberikan laporan tentang eksistensi dan vitalitas baru dari agama -agama

lain ̶ dengan kata lain , suatu teologi agama-agama dunia. Jika peran teologi adalah

untuk memfokuskan terang Kitab Suci dan tradisi sejarah berlangsung pada pengalaman manusia, maka pengalaman baru dari pluralisme agama menuntut

2

Paul F. Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”, dalam John Hick & Paul F. Knitter, ed. Mitos keunikan Agama Kristen (Jakarta: PT PBK Gunung Mulia, 2001), h. 276-279.


(52)

semacam interpretasi terhadap kekristenan.3

Sebelum membahas perspektif Knitter terhadap agama-agama lain, ada baiknya penulis mendeskripsikan secara ringkas beberapa model teologi agama Kristen menurut Knitter. Dalam perspektif teologis Kristen terhadap agama-agama lain (teologi agama-agama-agama-agama), Knitter membagi empat model pendekatan, yaitu: Untuk itulah, Knitter berusaha menafsir ulang doktrin-doktrin Kristen agar dapat “berjalan bersama” dengan agama lain.

1. Model Penggantian

Model penggantian menghormati perbedaan yang ditemui dalam agama-agama lain, namun tujuannya menghilangkan dan menggantikannya dengan tradisi Kristen (eksklusivisme). Agama Kristen diciptakan untuk menggantikan semua agama lain. Sikap ini juga dominan dan pada umumnya dianut sepanjang sebagian besar sejarah agama Kristen.

Di dalam model ini, Allah menghendaki hanya satu agama, yaitu agama Kristen. Kasih Allah memang universal untuk semua orang, namun kasih itu diwujudkan melalui komunitas Yesus Kristus yang partikular dan singular. Model ini terutama dianut oleh komunitas Kristen beraliran

Fundamentalisme atau Evangelikalisme.4

Dalam menganalisis model penggantian, Knitter membaginya ke dalam dua bagian, penggantian total dan parsial.

3

Paul F. Knitter, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward World Religions (Maryknoll: Orbis, 1985), h. 17.

4

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, terj. Nico A. Likumahua (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 21.


(53)

a. Penggantian Total

Model ini menganggap bahwa ada yang kurang, atau menyimpang, di dalam agama-agama lain. Dengan kata lain, tidak ada nilai dalam agama-agama lain. Sikap semacam ini masih dianut oleh

banyak gereja fundamentalis dan sebagian gereja Pentakosta.5 Salah

satu tokohnya adalah Karl Barth6

Model penggantian total menganggap bahwa di dalam agama-agama lain tidak ada nilai, tidak ada kehadiran Allah. Agama-agama-agama lain dianggap buatan manusia sehingga menjadi penghalang,

(1886-1968).

7

5

Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 25.

bukan

6

Dasar pemikiran Barth tertuang dalam perkataannya “Biarlah Tuhan menjadi Tuhan – di dalam Yesus Kristus”. Ia berpendapat bahwa berdasarkan kitab-kitab Injil dan surat-surat Santo Paulus, manusia tidak sanggup bertindak sendiri tanpa Allah. Agar hal itu dimungkinkan, manusia harus membiarkan Allah menjadi Allah.

Bagi Barth, hal tersebut terkandung dalam Perjanjian Baru, khususnya yang diberitakan Santo Paulus dan para Revormator yang dijelaskan dalam empat “hanya”, yaitu: pertama, “Kita diselamatkan hanya oleh rahmat”. Menurut Barth, ketika kejatuhan manusia (dosa asal), manusia akan selamanya menderita kecuali ia mengakui adanya satu “Kekuasaan yang Lebih Tinggi”, disebut rahmat; kedua, “Kita diselamatkan hanya oleh iman”, agar bias menerima rahmat, kita harus mundur, keluar dari jalan yang salah, dan mengakui ketidakmampuan kita menuntun kehidupan kita sendiri. Namun, hal ini bisa dilakukan hanya kalau percaya; ketiga, “Kita diselamatkan hanya oleh Kristus”, dan keempat, “Kita diselamatkan hanya oleh firman Tuhan”. Dengan begitu, hanya umat Kristen lah yang selamat dari penderitaan karena telah memenuhi syarat empat “hanya” di atas. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 26-27.

7

Menurut Barth, semua agama pada dasarnya sama yaitu, sama-sama menghalangi yang Ilahi, termasuk Kristen. Karena agama adalah ketidakpercayaan, tepatnya di dalam agama dan karena agama, manusia tidak percaya dan tidak membiarkan Allah menjadi Allah di dalam Kristus. Jadi tidak ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa Kristen lebih baik dari pada yang lain. Akan tetapi,


(54)

saluran, kasih Allah. Dalam istilah teologi, tidak ada wahyu maupun keselamatan di dalam agama-agama lain.

Atas dasar itu umat Kristen, dengan model penggantian total, tidak memungkinkan untuk berdialog dengan agama-agama lain, bahkan Barth melarang para misionaris mencari titik temu di dalam agama-agama lain. Kalau pun ada, dialog antara umat Kristen dengan umat beragama lainnya hanya berupa usaha memahami agama-agama lain secara mendalam agar bisa menggantikan agama-agama itu

dengan agama Kristen.8

Dalil yang sering digunakan untuk memperkuat paham mereka adalah :

“dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis 4; 12).

“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang

pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:16).9

menurut Barth, Kristen merupakan agama yang benar karena merupakan satu-satunya agama yang sadar akan kepalsuan dirinya dan juga tahu betul bahwa umatnya diselamatkan melalui Yesus Kristus. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 28-29.

8

Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 29 9


(55)

b. Penggantian parsial

Model ini lebih halus dalam memandang agama-agama lain, perbedaannya dengan pergantian total terletak pada masalah wahyu. Menurut mereka yang beraliran penggantian parsial bahwa wahyu Allah ada dan tersebar dalam agama-agama lain yang disebut sebagai “wahyu/ rahmat penciptaan” atau “wahyu umum”.

Jadi dalam model ini, agama-agama lain bukan “buatan manusia”, seperti yang dikatakan Barth, tetapi agama-agama lain itu dikehendaki oleh Allah, mereka adalah “wakil” Allah, “alat” Allah di mana Allah menjalankan rencana ilahinya. Dengan kata lain, Allah berbicara kepada umat beragama lain melalui agama mereka

masing-masing.10

Meskipun wahyu Allah ada pada agama-agama lain, Allah tidak memberi keselamatan di dalam agama-agama lain dengan alasan kesaksian Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa keselamatan dibawa dan diperkenalkan hanya oleh Yesus Kristus, dan bukti yang berasal dari agama-agama itu sendiri, yaitu bahwa agama-agama lain tidak membiarkan Allah bekerja sebagai Allah. Maksudnya ialah agama-agama lain berusaha dengan berbagai cara dan tingkatan

10


(56)

menyelamatkan diri mereka sendiri tanpa mengakui atau menyadari

karya Allah melalui Kristus.11

Berkaitan dengan sikap teologis agama Kristen dengan agama-agama lain, model ini menyetujui adanya dialog. Namun, dialog pada akhirnya sampai pada perbedaan yang jelas-jelas berbeda antara agama Kristen dengan agama-agama lain. Hal ini yang menjadikan dialog bukan hanya saling berbagi informasi atau menyelesaikan masalah-masalah sosial, tetapi juga membicarakan apa yang menjadi kendala dalam hubungan antar agama, yaitu klaim kebenaran. Dengan begitu dialog menjadi ajang kompetisi suci, di mana setiap agama berusaha membuktikan bahwa dirinya lebih mampu menerangi kehidupan, menjawab berbagai masalah hidup dan kebutuhan rohani manusia.

12

Meskipun kedua model pergantian di atas berbeda, keduanya tetap bersikukuh bahwa tidak seorang pun akan diselamatkan kecuali mereka yang berada dalam hubungan khusus dengan Yesus dan injilnya.

2. Model Pemenuhan

Model pemenuhan merupakan satu langkah ke depan dalam usaha agama Kristen membangun satu pemahaman yang berimbang tentang

11

Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 40-44. 12


(57)

agama lain. Model ini menawarkan satu teologi yang dapat memberikan bobot yang sama kepada dua keyakinan dasar Kristen yaitu, bahwa kasih Allah itu universal, diberikan kepada semua bangsa, namun kasih itu juga partikular yang hanya diberikan secara nyata di dalam Yesus Kristus.

Model pemenuhan mewakili pandangan mayoritas umat Kristen saat ini, yaitu gereja-gereja “aliran utama”: Lutheran, Reformasi, Methodis,

Anglikan, Ortodoks Yunani, dan Roma Katolik.13 Mereka percaya bahwa

agama-agama lain memiliki nilai, Tuhan ada pada mereka, dan umat Kristen

perlu berdialog dengan mereka, bukan sekedar memberitakan Injil.14

Meskipun demikian, terdapat keterbatasan dalam model ini. Pandangan yang menyeimbangkan pengakuan kehadiran Tuhan di dalam agama-agama lain dan kehadiran Tuhan yang khusus melalui Yesus tidak dapat diperjelas lagi, sebab kalau beranjak terlalu jauh (menuju pluralisme, menurut penulis), identitas Kristen akan hilang, keunikan Yesus sebagai

penyelamat manusia dan inkarnasi Tuhan tidak berarti.15

13

Pembahasan model pemenuhan memfokuskan pada komunitas Kristen yang pertama kali mengembangkan model ini, yaitu Gereja Roma Katolik.

Jadi model pemenuhan mengakui adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama-agama lain, namun agama-agama-agama-agama tersebut memiliki keterarahan kepada Kristus melalui Gereja (inklusivisme).

14

Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 73. 15


(1)

95

mengaktualisasikan karya Yesus dalam keterlibatan dengan agama-agama lain. Oleh karena itu, ia “menerjemahkan ulang” klaim kristologi tradisional tentang keunikan Yesus. Dengan menekankan praksis dalam kristologi, klaim bahwa Yesus satu-satunya, absolut, normatif, dan final harus ditolak, kemudian memunculkan interpretasi baru bahwa Yesus “sungguh-sungguh, tapi bukan satu-satunya”, bahwa pesan-Nya adalah sarana yang pasti untuk menghasilkan pembebasan dari ketidakadilan dan penindasan, kemudian pesan-Nya itu memang efektif, penuh pengharapan, secara universal merupakan cara yang bermakna untuk menunjukkan Soteria dan mengembangkan kerajaan Allah. Dengan demikian, Yesus akan menjadi unik, bersama-sama dengan para pembebas lainnya yang juga unik, Ia akan menjadi juruselamat yang universal, bersama-sama dengan para juruselamat lain yang universal.

Knitter berpendapat bahwa memaksakan pemahaman tentang Yang Ilahi berarti sama seperti dengan imperialisme atau penjajahan keyakinan orang lain, sebab tidak semua agama berbicara mengenai Yang Ilahi. Oleh karena itu, ia mengusulkan sebuah landasan etis bersama, suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama, tanggung jawab global. Tanggung jawab global, bagi Knitter, merupakan konteks yang dapat menyatukan berbagai agama-agama yang jelas berbeda, walaupun dengan respon yang tidak satu.

Teologi agama-agama Knitter tidak dapat dipisahkan dari dialog antar agama, karena dialog merupakan sarana untuk mempelajari lebih dalam keyakian pribadi maupun keyakinan orang lain. Oleh karena itu, Knitter mengusung suatu


(2)

96

bentuk dialog korelasional dan bertanggung jawab global, di mana semua pihak bisa saling mendengar dan menantang, suatu hubungan dialogis yang otentik dan sungguh timbal-balik di antara komunitas-komunitas agama di dunia, serta bertanggung jawab terhadap pembebasan dan keadilan eko-manusiawi. Atas dasar tersebut, suara korban yang tersingkir, termasuk mereka yang berbicara atas nama Bumi yang dikorbankan, memiliki tempat terhormat dalam dialog.

Dalam metode dialog, Knitter mengajukan empat langkah, compassion, conversion, collaboration dan comprehension yang berlangsung dalam komunitas basis manusiawi. Diharapkan komunitas basis manusiawi, setelah melalui langkah-langkah tersebut, akan saling memahami satu sama lain, bersama-sama menanggapi penderitaan manusia dan lingkungan serta mampu mencegah penyalahgunaan agama.

B. Saran

Agar tercipta pola hubungan antar-agama yang relasional, dialogis dan peduli terhadap penderitaan bangsa Indonesia, penulis mengharapkan pemerintah bersama tokoh agama duduk bersama mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan berbagai masalah hubungan antar agama yang kurang harmonis. Salah satu contohnya adalah, penguatan fungsi, revitalisasi, FKUB dalam menyelesaikan perseteruan antar agama.

Selain itu, penulis berharap forum dialog antar umat agama ditingkatkan, mulai dari tingkat desa hingga perkotaan yang tidak hanya berbicara tentang


(3)

97

keyakinan masing-masing pemeluk agama, tetapi juga berusaha mencari solusi terbaik bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia yang tertindas dan juga mengenai problem-problem mendasar dari kerusakan lingkungan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adiprasetya, Joas. "Etikosenrisme Hans Küng dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter". Dalam Soegeng Hardiyanto. Agama dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan. Punjung Tulis 60 Tahun Prof. DR. Olaf Herbert Schumann. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.

Coward, Harold. Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama. Terj. Bosco

Carvallo. Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Cet 1. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997.

Deklarasi Vatikan II: Asas Pendidikan Kristen, Sikap Gereja Terhadap Agama-Agama Bukan Kristen, Kebebasan Beragama. Ende: Arnoldus Ende Flores, 1966.

Dokumen Konsili Vatikan II. Terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Yayasan Obor, 1993.

Hick, John. Tuhan Punya Banyak Nama. Terj. Amin Ma’ruf dan Taufik

Aminuddin. Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 2006.

________. “Religious Pluralism”. Dalam Mircea Eliade, ed. In Chief, The Encyclopedia of Religion. 16 Volume. New York: Macmillan Library Reference, 1995, 11: 331-333.

Heuken, Adolf. Ensiklopedia Gereja, Jilid III: H-J. Edisi ke-4. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004.

________. Ensiklopedi Gereja, Jilid VII: Pi-Sek. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.

________. Ensiklopedi Gereja, Jilid IV: Ph- To. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994.

Kamus Dwibahasa Oxford-Erlangga. Inggris-indonesia indonesia-inggris, (Jakarta: Erlangga, 1993)

Kh., U. Maman, et. al, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.

Knitter, Paul F.. Pengantar Teologi Agama-Agama. Terj. Nico A. Likumahua. Yogyakarta: Kanisius, 2008.


(5)

________. Menggugat Arogansi Kekeristenan. Terj. M. Purwatman. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

________. “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”. Dalam John Hick & Paul F. Knitter, ed. Mitos keunikan Agama Kristen. Terjemahan. Jakarta: PT PBK Gunung Mulia, 2001.

________. No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward

World Religions. Maryknoll: Orbis, 1985.

________. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global. Terj. Nico A. Likumahua. Jakarta: Gunung Mulia, 2008.

Moqsith Ghazali, ABD. Argumen Pluralismee Agama: Membangun Toleransi

Berbasis Al-Qur’an. Depok: KataKita, 2009.

Munawar Rachman, Budi. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman.

Jakarta: Paramadina, 2001.

O’Colins, Gerald dan Farrugia, Edward G. Kamus Teologi. Terj. I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Pannikar, Raimundo. Dialog Intrarelogius. Terj. J. Dwi Helly Purnomo dan P. Puspobinatmo. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Perjanjian Baru, Mazmur dan Amsal. Cet ke-3. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2008.

Rianto, Armada. Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik. Yogyakarta:

Kanisius, 1995.

Salim, Peter. Salim's Ninth Collegiate English-Indonesian Dictionary. Jakarta: Modern English Press, 2000.

Siburian, Togardo “Tren-Tren Teologis dalam Spirit Pascamodernisme”. Dalam Jurnal Teologis Stulos. Bandung: Yayasan STT Bandung, September 2009.

Sukanto, Suryono. Kamus Sosiologi. cet. 3. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993.

Swidler, Leonard dan Paul Mojzez, ed.. The Uniqueness of Jesus: A Dialogue with Paul F. Knitter. Maryknoll: Orbis Books, 1997.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet. 3. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.


(6)

Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta: CeQDA UIN Jakarta, 2007. Whaling, Frank. “Pendekatan Teologis”. Dalam Peter Connolly, ed. Aneka

Pendekatan Studi Agama. Terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002.

Website :

Paul F. Knitter, artikel diakses pada 03 Juni 2010 dari situs resmi Union Theological Seminary New York,