Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia

セ@
セ@

If,[tセ@
セ@
セ@

8

World Health
Organization

KEBIJAKAN DAN STRATEGI
PENGEMBANGAN KESEHATAN KERJA
SEKTOR INFORMAL DIINDONESIA

DIREKTORAT BINA KESEHATAN KERJA DAN OLAHRAGA
DIREKTORAT JENDERAL BINA GIZI DAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
2012


SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAl BII\lA GIZI DAN KIA
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dengan selesainya
penyusunan buku Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kesehatan Kerja Sektor
Informal di Indonesia, kerjasama Kementerian Kesehatan dengan World Health
Organization (WHO) . Dengan telah selesainya penyusunan buku ini, diharapkan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan sektor informal dapat lebih berkembang dan
lebih baik, sehingga dapat diwujudkan perlindungan kesehatan yang diakibatkan
oleh pekerjaannya.
Perkembangan jumlah pekerja sektor informal di Indonesia, setiap tahun semakin
meningkat yang bekerja diberbagai sektor antara lain pertanian , nelayan,
perindustrian, perdagangan, pertambangan, transportasi dan jasa serta bidang
yang lain. Namun demikian perlindungan kesehatan bagi pekerja sektor informal ini
belum lebih baik.
Buku ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh pemangku kepentingan yang
terkait dengan pengembangan upaya kesehatan di sektor informal baik di pusat
maupun daerah sampai lini terdepannya yaitu Pu skesmas sebagai penanggungjawab
wilayah kerja bidang kesehatan. Keberhasilan penyelenggaraan upaya kesehatan
kerja di sektor informal tidak dapat hanya mengandalkan peran kesehatan tetapi

justru dibalik itu ada sektor-sektor lain yang lebih dominan perannya sebagai
penanggungjawab . Untuk itu kebijakan dan strategi pengembangan kesehatan kerja
sektor informal melibatkan berbagai sektor terkait agar terwujud suatu upaya yang
berkelanjutan .
Harapan melalui buku pedoman ini, semua sektor yang terkait dengan sektor
informal ikut berperan aktif untuk mewujudkan pekerja yang sehat dan meningkat
produktifitasnya sehingga akan semakin meningkatkan kesejahteraan pekerja , dan
keluarganya.
Jakarta, September 2011
Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
Kementerian Kesehatan Republik I

Dr. dr. H. Siamet Riyadi Yuwono,
DTM&H, MARS, M.Kes
Nip. 195305231980031006

ii

Keb'lak II dOrl Stro r('91 ppnt] cmbongQll Kesehntn n kerja 5ekfor Informal 、 ャョ、ッエAセゥ@


KATA PENGANTAR
DIREKTUR BINA KESEHATAN KERJA DAN OLAHRAGA
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Perkembangan industrialisasi di Indonesia berkembang sangat pesat baik
pada sektor formal maupun informal, hal tersebut dapat dilihat dengan
semakin meningkatnya jumlah penduduk Indonesia yang bekerja, saat ini
telah mencapai 111,3 juta jiwa. Sektor informal menyerap tenaga kerja
76,69 juta jiwa. Segi kesejahteraan khususnya perlindungan kesehatan
sektor informal bernasib tidak lebih baik dari sektor formal yang sebagian
besar telah dijamin oleh pengusaha atau pengelola tempat kerja.
Jaminan kesehatan di sektor informal perlu mendapat perhatian serius
khususnya oleh pemerintah, karena dari sebagian sektor informal yang
ada di Indonesia tidak ada atau tidak jelas yang memberi jaminan
kesehatan kecuali oleh pekerja itu sendiri, sementara sebagian sektor
informal termasuk dalam usaha kecil dan mikro yang tergolong ekonomi
tidak mampu.
Keberhasilan usaha di sektor informal sangat dipengaruhi oleh dukungan
sektor terkait melalui fasilitasi, pembinaan dan berbagai dukungan
manajemen, sumberdaya termasuk kesehatan agar pekerja dapat hidup
sehat dan terbebas dari masalah kesehatan yang timbul akibat dari

pekerjaan, sehingga meningkat produktifitasnya dan kesejahteraannya.
Buku ini khususnya bagi sektor kesehatan dapat dipakai sebagai
acuan dalam pengembangan upaya kesehatan kerja sektor informal di
Indonesia, dengan melibatkan sektor terkait dengan masing-masing
peran, yang jelas kebijakan dan strategi pengembangan ini tidak akan
berjalan dengan baik apabila tidak ada keterlibatan secara aktif dari
sektor terkait di luar kesehatan.
Jakarta, September 2011
Direktur Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,

dr. Kuwat Sri Hudoyo, MS
Nip. 196209151991021001

DAFTAR lSI
KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KESEHATAN KERJA
SEKTOR INFORMAL DI INDONESIA
Sambutan Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA ......... ... .... ........ ... ........... ii
Kata Pengantar Direktur Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga .. ...... ...... iii
BAB I


: PENDAHULUAN .... ... ..... .. ... .... .... .... ... .... .......... ..... .......... .. ..... 1

A. Latar Belakang ...... ... ... .. ... ......... ........ ..... .... .. ....... .... .. ........ .. 1
B. Tujuan .. .. .......... .... ....... ... .. ....... .................... .. ... .... ..... ............ 4

C. DasarHukum .... .............. ....... .... .. ............... .......................... 5
D. Pengertian ............................................ ................ ..... ........... 6
BAB II

: ANALISA SITUASI KESEHATAN KERJA SEKTOR INFORMAL
DIINDONESIA ......... ........ ..... ... .... .................... ............... .... ........... 9

A. Perkembangan Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia .... 9
B. Komitmen dan Tantangan Global .... ........... ........................ 22
C. Analisa SWOT (Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Tantangan) ..... 25
BAB III : KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
KESEHATAN KERJA SEKTOR INFORMAL DI INDONESIA ... 27

A. Kebijakan ........... .. ............ ............. .......... ............... ... .... ...... 27

B. Strategi ....................................................... ... ...... ..... .... .. .. .. 28
C. Sasaran (peran lintas sektor) ................ ... .. .................. ....... 30
BAB IV : LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN KESEHATAN KERJA
SEKTOR INFORMAL DIINDONESIA ............. ............. .... ..... 41

A. Identifikasi Kelompok Kerja Informal .......................... ...... 41
B. Pemetaan .......... .......... ........ .... .......... ... .................... ... ..... . 41
C. Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Kerja (UKK) ........... .... . 41
D. Pembentukan Wadah Pelayanan Kesehatan
Pekerja Informal (Pos UKK) ......... .. .. ................... .... .. ........ .. ... 45
E. Pembinaan ..... .............. ... .... .... ... .... .. .. ... ........... .. ................ 46
BAB V : PENUTUP ...................................... .... ...................... .... ....... 49

I iv

Kebij okan don 5IfOl"9' Pcngembangon Kesehotan Kerja Seklur Info rmal d. Indone5ia

DAFTAR TABEL
label 1 : Pekerja Formal dan Informal di Indonesia menurut
Jenis Kelamin, 2006-2008 ......... ...... ...... .......... ... ..... ...... .. ... ... ... 2


label 2: Penduduk Usia 15 Ke atas yang Bekerja Menurut
Status Pekerjaan Utama lahun 2009 - 2011 (juta orang) ........... 3
label 3 : Faktor Risiko Berdasarkan Tempat Kerja ............ .. .... .. ... .. .. .. .... 10
label 4 : Peran Lintas Sektor dalam Pengembangan Kesehatan
Kerja Sektor Informal .. ........ ............ ....... .. .. ..... ...... .... .... .. ....... 31

Keb ijakon dan Strotegi Pengembong a n Kes ehaton Ke rja Sek tor Informal dl Indonesia

V

BAB I
PENDAHULUAN

A. latar Belakang
erdasarkan amanat UUD 1945 pasal 28 H ayat (1) menyebutkan
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam hal
ini termasuk kesehatan bagi pekerja. Pada pasal34 ayat (3) menyatakan

bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

B

Dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan khususnya
pada BAB XII Kesehatan Kerja pasal164 ayat (1) yang menyebutkan bahwa
upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup
sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang
diakibatkan oleh pekerjaan , pad a ayat (2) menyebutkan bahwa Upaya
Kesehatan Kerja meliputi pekerja di sektor formal dan informal.
Dalam analisis pembagian pekerja menjadi pekerja sektor formal dan
pekerja sektor informal sering terkendala dengan data yang tersedia.
Tidak adanya keseragaman secara internasional tentang definisi sektor
informal dan ketersediaan data yang ada di Indonesia, pengertian
pekerja informal dalam analisis ini didekati dengan status pekerjaan.
Pekerja informal adalah mereka yang berusaha sendiri, berusaha sendiri
dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas dan
pekerja keluarga/tak dibayar. Pada umumnya pekerja informal dimaknai
sebagai pekerja pada pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik,

pada kelompok lapangan usaha di Indonesia biasanya dimasukkan ke
dalam jenis pekerjaan di sektor usaha pertanian, kehutanan, perburuan,
perikanan, tenaga produksi, Pedagang Kaki Lima (PKL), becak, penata
parkir, pengamen dan anak jalanan, pedagang pasar, alat angkut dan
pekerja kasar.
Gambaran sektor formal-informal juga dapat menjadi sinyal
perekonomian negara . Semakin maju perekonom ian, semakin besar
peranan sektor formal. Sampai dengan Agu stus 2008, sektor informal
Keb 'j nka n na n SI rotefJl Pf'ng embon gon J(f'"photon Kprjo Spk ror Informof rll Indo[1f"!"IO

1 I

masih mendominasi kondisi ketenagakerjaan di Indonesia dengan
kontribusi sekitar 65,92 persen pekerja laki-Iaki dan 73,54 persen pekerja
perempuan (TabeI1).
Tabell : Pekerja Formal dan Informal di Indonesia menu rut Jenis Kelamin,

2006-2008
-


--

Pekerja

2006
Perempuan

Laki - Laki
(%)

r

2007
(%)

Laki - Laki
(%)

2008


Perempuan
(%)

I Laki(%)- Laki

Perempuan
(%)

'--

Formal

32.92

25.80

33.15

25.80

Informal

67.08

74.20

66.85

74.20

Total

100

100

100

100

I

I

34.08

26.46

65.92

73.54

100

I

100

Sumber: Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernasj

Sampai bulan februari tahun 2011, jumlah penduduk yang bekerja di
Indonesia menurut data BPS mencapai 111,3 juta orang, bertambah
sekitar 3,9 juta orang dibanding keadaan Februari 2010 sebesar 107,4
juta orang.
Secara sederhana, pendekatan kegiatan formal dan informal dari
penduduk yang bekerja dapat diidentifikasi berdasarkan status pekerjaan.
Dari tujuh kategori status pekerjaan utama (berusaha sendiri, berusaha
dibantu buruh tidak tetap, berusaha dibantu buruh tetap, buruh/
karyawan, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di nonpertanian,
pekerja keluarga/tak dibayar), pendekatan pekerja formal mencakup
kategori berusaha dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh/
karyawan, sisanya termasuk pekerja informal. Berdasarkan identifikasi
ini sesuai dengan data BPS, maka pada Februari 2011 sebesar 38,1 juta
orang (34,24 persen) bekerja pada kegiatan formal dan 73,2 juta orang
(65,76 persen) bekerja pada kegiatan informal.
Dari 111,3 juta orang yang bekerja pada Februari 2011, status pekerjaan
utama yang terbanyak sebagai buruh/karyawan sebesar 34,5 juta orang
(31,01 persen), diikuti berusaha dibantu buruh tidak tetap sebesar 21,3
juta orang (19,15 persen), dan berusaha sendiri sejumlah 21,1 juta orang
(19,01 persen), sedangkan yang terkecil adalah berusaha dibantu buruh
tetap sebesar 3,6 juta orang (3,23 persen). Selengkapnya dapat dilihat
pada tabel 2 berikut ini :



k ・「L ェ Bォ u ョ@

da n Srru l eg l Penqem bonqa n Keseholon Kefla Sek l or ' n! ormo l d , Indones,a

Tabel 2 : Penduduk Usia 15 Keatas yang Bekerja Menurut Status
Pekerjaan Utama Tahun 2009 - 2011 (juta orang)

No

Status PekerJaan Utama

2011

2010

2009

Februarl

Asustus

Februarl

Asustus

Februari
21,15

1

Berusaha sendiri

20,81

21,05

20,46

2

Berusaha dibantu buruh
tidak tetap

21,64

21,93

21,92

21,03
21,68

3

Berusaha dibantu buruh
tetap

2,97

3,03

3,02

3,2 6

3,59

4

Buruh/karyawan

28,91

29,11

30,72

32,52

34,51

5

Pekerja bebas di pertanian

6,35

5,88

6,32

5,82

5,58

6

Pekerja bebas di non
pertanian

5,15

5,67

5,28

5,13

5,16

7

Pekerja keluarga/
tak dibayar

18,66

18,19

19,68

18,77

19,98

104,49

104,87

107,41

108, 21

111,28

21,31

--

Jumlah

-_.-

Sumber: Laporan bulanan BPS, data sosial ekonomi edisi 13 Bulan Juni 2011

Tuntutan pekerjaan dengan kualifikasi pendidikan dan keterampilan
memadai di perkotaan menjadi kendala pencari kerja dalam memperoleh
pekerjaan . Mereka yang pada mulanya berkeinginan bekerja di sektor
formal pada akhirnya bermuara di sektor informal. Wilayah pedesaan
sebagai sarang sektor informal. Dari seluruh pekerja di perdesaan, lebih
dari 75 persen bekerja di sektor informal, sementara di perkotaan, dari
100 pekerja, lebih dari 40 bekerja di sektor informal.
Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk
meningkatkan
efektivitas program pelayanan kesehatan kerja.
Tetapi kebijakan dan strategi yang fokus pada aspek pengembangan
pelayanan kesehatan kerja sektor informal belum ada . Alasan utama
untuk memfokuskan pengembangan kesehatan kerja sektor Informal
sebenarnya tidak terlepas dari makin besarnya jumlah pekerja sektor
informal di Indonesia.

KebiJokon don Slrolegi Pengembongan Kesehalan Kerja Sektor Informal di Indon esia

3

Kegiatan pelayanan kesehatan kerja sektor informal di Indonesia
dilaksanakan oleh Puskesmas melalui POS Upaya Kesehatan Kerja (POS
UKK). Hasil kajian kesehatan kerja sektor informal pada tahun 2007 di 8
Provinsi di Indonesia dibandingkan dengan hasil kajian mendalam tahun
2010 maka pelaksanaan pembinaan kesehatan kerja sektor informal telah
mengalami berbagai perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi
adalah adanya beberapa POS UKK yang sudah tidak berfungsi, tetapi di
sisi lain banyak POS UKK baru yang terbentuk. Hasil studi kualitatif pada
beberapa Puskesmas di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur dapat disimpulkan bahwa kelancaran dan perkembangan
POS UKK masih tergantung dari keseriusan dan frekuensi pembinaan dari
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota serta adanya stimulan dari Provinsi
maupun Pusat. Mengingat pembinaan kesehatan kerja sektor informal
ini sangat penting jika dilihat dari angka ketergantungan ekonomi, maka
harapan ke depan dari daerah adalah inisiasi Direktorat Bina Kesehatan
Kerja dan Olahraga untuk menyusun Standar Pelayanan Minimal Upaya
Kesehatan Kerja. Dengan demikian, upaya kesehatan kerja mendapat
anggaran di tingkat daerah. (Denny, Azwar, Patriajati, Purnami, 2007 dan
Denny, 2010).
Perkembangan kesehatan kerja sektor informal relatif kurang mendapat
perhatian, sehingga perlu disusun Kebijakan dan Strategi Pengembangan
Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia. Selanjutnya kebijakan dan
strategi ini diharapkan dapat menjadi alternatif kebijakan dan strategi
kesehatan kerja bagi pekerja informal untuk melengkapi berbagai
kebijakan program kesehatan kerja yang telah ada, sehingga dapat
mengantisipasi dan memberi solusi bagi berbagai hambatan dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja sektor informal di daerah.

B. Tujuan
Tujuan umum :
Meningkatnya akses pemerataan dan kualitas upaya kesehatan kerja
sektor informal dalam mewujudkan pekerja yang sehat yang mandiri dan
berkeadilan.
Tujuan khusus :

1. Terimplementasinya kebijakan kesehatan kerja sektor informal.
2. Teridentifikasinya berbagai strategi pengembangan kesehatan kerja
sektor informal.

r ; - Kebljakan don Strateg; Pen gernbangan Keselw''' n Kerja Sektar Informal d; IndarJI!\I('- - - - -

3. Tercapainya peningkatan koordinasi yang sinergis dari berbagai sektor
terkait dalam pengembangan kesehatan kerja sektor informal.
4. Terlaksananya pengembangan kesehatan kerja sektor informal.
5. Tercapainya peningkatan cakupan pelayanan kesehatan kerja sektor
informal.
6. Tercapainya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan kerja sektor
informal.
C. Dasar Hukum
Beberapa peraturan perundangan yang terkait yaitu :
1. UUD 1945 amandemen ke-4
2. UU Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
3. UU Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
4. UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
5. UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
6. UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN)
7. UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara
8. UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
9. Perpres NO.5 tahun 2010 tentang RPJMN
10. Keppres No.22 tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul Karena
Hubungan Kerja .
11. Permenkes No .1075 tahun 2003 tentang Sistem Informasi Manajemen
Kesehatan Kerja .
12 . Permenkes No .1758 tahun 2003 Standar Pelayanan Kesehatan Kerja
Dasar.
13 . Kepmenkes No .038 tahun 2007 tentang Pedoman
Kesehatan Kerja Pada Puskesmas Kawasan Industri .

Pelayanan

14. Kepmenkes No.131/Menkes/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan
Nasional.
15. Kepmenkes No : HK.03.01/60/1/2010 tentang Rencana Strategi
Kemenkes RI tahun 2010-2014.

Keb,jakon dnn \lroreql Pen Of"mo onqon Kl?S(1hO(on 1< e'J(l Sekf Of I"formal dllndones;o

5

D. Pengertian

1. Upaya Kesehatan Kerja adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan
berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat pekerja dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan
serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
2.

Pekerja Informal adalah:
a.

Pekerja yang berstatus berusaha sendiri, berusaha dengan buruh
tidak tetap, bekerja bebas di pertanian, bekerja bebas di non
pertanian dan pekerja tidak dibayar.
b. Pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap,
tempat pekerjaan yang tidak terdapat keamanan kerja, tempat
kerja yang tidak ada status permanen dan unit usaha yang tidak
berbadan hukum.
c. Pekerja informal adalah mereka yang berusaha sendiri, berusaha
sendiri dibantu buruh tidak tetap/ buruh tidak dibayar, pekerja
bebas dan pekerja keluarga/tidak dibayar
3. Sektor informal menurut pengertian BPS adalah perusahaan non
direktori (PND) dan rumah tangga (RT) dengan jumlah tenaga kerja
kurang dari 20 orang. Pekerja informal adalah tenaga kerja informal
yang melakukan pekerjaannya pada suatu unit kerja tertentu, seperti:
nelayan, petani dan pengrajin.
4. Pekerja informal individu adalah pekerja informal yang bekerja
sendiri, seperti; tukang bakso, tukang becak, pedagang pasar, dll.
5.

Kelompok informal terorganisir adalah sekumpulan pekerja informal
yang memiliki jenis pekerjaan sama bergabung dalam suatu kelompok
yang memiliki kepengurusan, seperti; kelompok nelayan, petani,
perajin dll.

6.

Kelompok informal tidak terorganisir adalah sekumpulan pekerja
informal yang memiliki jenis pekerjaan sama yang tidak tergabung
dalam suatu kelompok, seperti; tukang ojek, tukang jamu gendong,
dll.

7.

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) adalah kegiatan ekonomi
yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu
6

Kehij ako.r') do n Stratf' Y{ ppn gembo ng an K,".,('hn tn n K(' ri a SC' i" tor Informal dlln do neslI.)

badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk
diperniagakan secara komersial, yang mempunyai tenaga kerja 5-99
orang serta mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp . 200 juta .
8. Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) adalah wahana
pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan yang dibentuk atas
dasar kebutuhan masyarakat, dikelola oleh masyarakat dan untuk
masyarakat, dengan bimbingan dari petugas Puskesmas dan lintas
sektor terkait.
9. Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber
daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi
masalah -masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan
kesehatan secara mandiri. Sebuah Desa dikatakan menjadi desa siaga
apabila desa tersebut telah mem iliki sekurang-kurangnya sebuah Pos
Kesehatan Desa (Poskesdes).
10. Poskesdes adalah UKBM yang dibentuk di desa dalam rangka
mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi
masyarakat desa .
11. Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah setiap penyakit yang disebabkan
oleh pekerjaan atau lingkungan kerja .
12. Kecelakaan Kerja (KK) adalah suatu kejadian atau peristiwa dengan
unsur-unsur tidak diduga, tidak dikehendaki, tidak disengaja, terjadi
dalam hubungan kerja , menimbulkan trauma/ruda paksa, kecacatan,
dan kematian disamping itu menimbulkan kerugian dan/atau
kerusakan properti .
13 . Balai Kesehatan Kerja Masyarakat (BKKM) adalah salah satu unit upaya
kesehatan kerja yang berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan
dan rujukan spesifik kesehatan kerja termasuk rujukan pengetahuan
dan teknis kesehatan kerja serta pengembangan teknologi tepat
guna pelayanan kesehatan kerja .
14. Pos Upaya Kesehatan Kerja (Pos UKK) adalah bentuk pemberdayaan
masyarakat di kelompok pekerja informal atau sebagai wadah
pelayanan kesehatan kerja yang berada di tempat kerja dan dikelola
oleh pekerja itu sendiri (kader) yang berkoordinasi dengan Puskesmas
(sebagai pembina) dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
pekerja untuk meningkatkan produktivitas kerjanya.

Keb ijo kon don Strotegi Pengem ba ngon Kes eho ron Kerjo Sektor Inform al di Indonesia

BAB II
ANALISA SITUASI KESEHATAN KERJA
SEKTOR INFORMAL 01 INDONESIA

A. Perkembangan Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia
1. Karakteristik Pekerja Informal

ektor informal mempunyai ciri-ciri khusus yaitu bekerja pada diri
sendiri, unit usaha berskala kecil dan bersifat usaha keluarga,
modal kecil , pekerja bekerja secara intensif dengan alat yang
seadanya, menggunakan bahan murah atau bahan-bahan yang telah
menjadi sampah, kualitas pekerjaan sering berstandar rendah , jam kerja
dan gaji tidak teratur, harga sangat jarang harga pas dan bahkan sering
berlaku tawar-menawar, pekerjaan sering dilakukan di rumah dan di
jalan, sangat sed ikit dan bahkan tidak ada bantuan pemerintah, sering
tidak berbadan hukum, banyak pekerja berjenis kelamin perempuan dan
banyak pekerja anak . Sedangkan jenis pekerjaan pada sektor informal
terdistribusi di jalan-jalan maupun kios-kios kecil, transportasi lokal,
industri yang berskala kecil seperti kayu, logam, tekstil dan kerajinan,
pekerjaan jasa, penjualan makanan, pakaian dan buah-buahan . Industri
pengolahan yang termasuk dalam sektor informal misalnya: pengolahan
makanan, penjahit dan reparasi mebel (llO, 2002).

S

2. Faktor Bahaya dan Risiko Kesehatan pada Pekerja Informal

Oi setiap tempat kerja terdapat bahaya/risiko yang dapat menyebabkan
gangguan kesehatan , dan kecelakaan yang berakibat kecacatan dan
kematian tetapi kondisi di sektor informal saat ini belum ada kajian risiko
secara sistematis oleh instansi terkait. Berikut ini dapat dilihat tabel 3
faktor risiko berdasarkan tempat kerja.

Tabel 3. Faktor Risiko Berdasarkan Tempat Kerja

Faktor Rlslko
Tempat
Kerja

Fislk

Kimia

Biologi

Ergonomi

Psikososial

4

5

6

Pertani an,
Peternakan
perkebunan,
kehutanan

Debu,
getaran,
bising,
se ngatan
si nar
matahari.

Pestisida,
herbisida
dan bahan
organofosfat
lainya.

Infeksi bakteri,
jamur, dan
parasit berupa
cacingan,
peternakan
infeksi virus
seperti H1Nl
termasuk NS,
jamur, pekerja
kehutanan
selain agen
penyakit virus,
jamur parasit
dan bakteri
termasuk
penya kit atau
kecelakaan
karena gigitan/
sengatan
berbisa dari
binatang.

Sikap kerja
yang tidak
benar seperti
jongkok dan
memb ungkuk,
bekerja
berdiri terlalu
lama, posisi
duduk, posisi
membungkuk
dan posisi
jongkok keti ka
bekerja, salah
posisi/sikap
kerja, serta
duduk tanpa
sandaran
ketika bekerja.

Tekanan mental
berupa nil ai
hasil yang
didapati dalam
pekerjaan
tidak sesuai
dengan yang
diharapkan,
ketidakpuasan
upah, upah
terlalu renda h,
dan
kekhawatiran
akan PHK.

Ped aga ng

Bising suara
pedagang,
panas,
ventilasi,
luas
ruangan

Emisi gas
buang
kendaraan
(polutan)
yakn i CO2,
Dioxin.

Virus, jamur,
parasit dan
bakteri .

Sikap kerja
yang tidak
benar seperti
Jongkok dan
membungkuk,
bekerja
berdiri terlalu
lama, posisi
dud uk, posisi
membungkuk
dan posisi
jongkok ketika
bekerja, salah
posisi/sikap
kerja, serta
duduk tanpa
sandaran
ketika bekerja.

Hubungan
sosia l yang
tida k baik.

1

10

2

3

Kebl}akan dan Srraregi Pengembangan Keseharan Kerja Sek ror Inform al di Indonesia

Faktor RIsIIco
Tempat
KerJa

I

Fisik

Kimia

Biologi

Ergonomi

Psikososial

2

3

5

6

Nelayan

Sinar
radiasi dari
matahari,
tekanan
hyperbarik,
suhu dingin,
dan
perubahan
tekanan
udara.

Penggunaan
bahan-bahan
kimia untuk
tangkapan
ikan.

Virus, jamur,
bakteri dan
parasi!.

Sikap kerja
yang tidak
benar seperti
jongkok dan
membungkuk,
bekerja
berdiri terlalu
lama, posi si
dud uk, posisi
membungkuk
dan posisi
jongkok ketika
bekerja, salah
posisi/sikap
kerja, serta
duduktanpa
sanda ran
ketika bekerja .

Bekerja under
pressure
karena situasi
dan kondisi di
laut sehingga
stress .

Perajin batik,
garment,
tekstil, sablon
dan yang
sejenis

Pencahayaan
yang kurang
memenuhi
syarat,
penghawaan
yang kurang
dan panas.

Pemajanan
bahan-bahan
kimia
terhadap
kulit, dan uap
zat kimia
terhadap
saluran
pernafa san .

Infeksi jamur,
virus, parasit
dan bakteri

Sikap kerja
yang tidak
benar seperti
jongkok dan
membungkuk,
bekerja
berdiri terlalu
lama, posisi
duduk, pos is i
membungkuk
dan posisi
jongkok ketika
bekerja , sa lah
posisi/sikap
kerja, serta
duduk tanpa
sanda ran
ketika bekerja .

Tekanan
menta l berupa
nilai hasil
yang didapati
da la m
pekerjaan
tidak sesuai
dengan yang
diharapkan,
ketidakpua sa n
upah, upah
terlalu
rendah,
dan
kekhawatiran
akan PHK .

1

4

Kebi)okon dan Srrotegi Pengemba ngon Kesehoton Kerjo Sekto r Inf ormal di Indonesia

11

Faktor Risiko
Tempat
Kerja

1

Fisik

i

Kimia

Biologi

Ergonomi

Psikososial

2

3

4

5

6

Perajin tahu
dan tempe

Uap panas
dan panas,
kelembaban
tinggi,
bau yang
menyengat,
penghawaan
kurang.

Tumpahan
cairan panas,
pemajanan
zaHat kimia
yang
digunakan
dalam proses
penggu m pa la n
terhadap kulit
dan uap zat
kimia terhadap saluran
pernafasan.

Infeksi jamur,
virus, parasit
dan bakteri

Sikap kerja
yang tidak
benar seperti
jongkok dan
membungkuk,
bekerja
berdiri terlalu
lama, posisi
duduk, posisi
membungkuk
dan posisi
jongkok ketika
bekerja, salah
posisi/sikap
kerja, serta
duduk tanpa
sanda ran
ketika bekerja.

Tekanan mental
berupa nilai
hasil yang
didapati dalam
pekerjaan
tidak sesuai
dengan yang
diharapkan,
ketidakpuasan
upah, upah
terlalu rendah,
dan
kekhawatiran
akan PHK.

Perajin
meubel kayu

Debu dan
partikel
kecil kayu,
suara
yang bisa
menyebabkan pekak
atau tuli,
penerangan
lampu yang
kurang baik
misalnya
kelainan
pada indera
pengelihatan
atau
kesilauan
yang
memudahkan
terjadinya
kecelakaan
dan getaran.

Uap cat/zat
kimia seperti
H202, thinner,
sanding
sealer,
melamic
clear, dan
wood stain
serta jenis
cat lainnya,
uap, misalnya
dari proses
pemanasan
dempul,
dermatitis
misalnya
karena alergi
dengan cat
kayu,debu
yang
menyebabkan
pneumoconioses,
diantaranya;
silicosis,
asbestosis,

Vektor dan
binatang
pengganggu

Kesalahankesalahan
konstruksi
mesin, sikap/
posisi kerja
yang tidak
benar seperti
jongkok dan
membungkuk,
bekerja berdiri
terlalu lama,
posisi duduk,
serta duduk
tanpa sandaran
ketika bekerja,
dan lain
sebagainya
yang
kesemuanya
dapat
menimbulkan
kelelahan fisik,
yang bahkan
lambat laun
dapat
merembet pad a
perubahan fisik
tubuh pekerja.

Stress beban
kerja, hubungan
kerja yang tidak
baik atau
misalnya
keadaan
monoton dan
statis yang
membosankan,
tekanan mental
berupa nilai
hasil yang
didapati dalam
pekerjaan tidak
sesuai dengan
yang diharapkan,
ketidakpuasan
upah, upah
terlalu rendah,
dan
kekhawatiran
akan PHK.

12

Kr'blJokan rim. Straf f'tj J Prnqp.m oanqan Kese h aton Kerlo s セ A\エ

ッイ@

Informal dl Indont?s /o

Faktor Rlslko
Tempat
Kerja

Fislk

Kimia

Biologi

Ergonomi

Psikososial

2

3

5

6

Perajin
peleburan
AKI beka s

Debu
pecahan
logam atau
kotoran
AKI bekas,
pencahayaan
yang ku rang,
panas, dan
penghawaan
yang kurang.

Uap timah
hitam,
tumpaha n
logam cair,
sisa -sisa
pembakaran
yang masih
mengand ung
kadar timah .

Vektor,
parasi!,
bakteri dan
virus

Posi si kerja
yang tidak
ben arsepe rti
jongkok,
duduk di
lantai dan
membungkuk,
bekerja
berdiri terlalu
lama, posisi
duduk, posisi
membungkuk
dan po sisi
j ongkok ketika
bekerja , sa lah
pos isi/s ikap
kerja, serta
duduk tanpa
sanda ran
ketika bekerja .

Stress beban
kerja , hubungan
kerja, tekanan
mental berupa
nilai hasil yang
didapati da lam
pekerjaan
tidak sesuai
dengan yang
diharapkan,
ketidakpuasan
upah,upah
terlalu rendah ,
dan
kekhawatiran
akan PHK .

Perajin
penyamakan
kuli t

Debu/
serbu k kulit,
pencahayaan
kurang, dan
kelembaban
rendah.

Pajanan
bahan kimia
terhadap ku lit, terutama
asam sulfat
(H2S04) dan
asam formiat,
pajanan dari
berbagai jeni s
bahan kimia
terutama
garam -ga ram
logam berat
Cr berupa
Natrium
Bikhromat
dan Kalium
Bikhromat,
chromium
(Cr) se bagai
uap. Pajanan
dari serbuk
cat yang
berasal dari

Bakteri, viru s,
dan vekto r
pengganggu .

Posisi kerja
yang tidak
benar seperti
jongkok,
duduk di
la ntai dan
membungkuk,
bekerja
berdiri terlalu
lama, posisi
duduk, posisi
membungkuk
da n posisi
jo ngkok ketika
bekerja , salah
posisi/sikap
kerja, serta
duduktanpa
sanda ran
ketika bekerja .

Hubungan
kerja yang
tidak harmon is,
bekerja dalam
lingkungan yang
jelek, dibawah
tekana n,
Tekanan mental
berupa nilai
hasil yang
didapati dalam
pekerjaan tidak
sesuaid engan
yang
diharapkan,
ketidakpuasa n
upah, upah
terlalu rendah ,
dan
kekhawa tiran
akan PHK .

1

4

spray gun .

Kebijokon do n Srrareg, Pengembollgon Kesehoton Kerjo Sektor Inform al di Indonesia

13

Faktor Rlslko
Tempat
Kerja

Fisik

Kimia

Biologi

Ergonomi

Psikososial
I

1
Perajin
sepatu/ tas /
kulit

2

3

4

Pencahayaan
dan
penghawaan
yang kurang,
debu/partikel
sese tan kulit
dapat ma suk
ke dalam
tubuh melalui
pernafa san,
panas, dan
bising .

Bahan-bahan
kimia (perekat,
pelarut)
terhadap
kulit, misalnya
chlorophene,
benzena dll,
pemaj anan
berbagai
uap logam/
uap zat-zat
kimia saluran
pernafasan
dan mata
misalnya cat,

Sisa-sisa
bahan sebagai
sarang vektor
dan bakteri.

Sikap kerja
yang tidak
benar (tidak
ergonomis)
seperti kerja
berulang,
bekerja
dalam po stur
tidak sesuai,
gerakan
berulang
monoton.

Peningkatan
ketegangan
fisik akibat
tekanan
terhadap
waktu
penyelesaian
pekerjaa n,
Tekanan
mental berupa
nilai hasil yang
didapati dalam
pekerjaan
tidak sesuai
dengan yang
diha rapkan,
ketidakpuasan
upah, upah
terlalu rendah,
dan
kekhawatiran
aka n PHK .

Virus, bakteri ,
jamur dan
parasit .

Sikap kerja
yang tidak
benar (tidak
ergonomis)
sepe rti kerja
berulang,
bekerja
dalam postur
tidak sesuai,
gerakan
berulang
monoton.

Tekanan mental
berupa nilai
hasil yang
didapati dalam
pekerjaan
tidak sesuai
dengan yang
diharapka n,
ketidakpuasan
upah, upah
terlalu rendah ,
dan
kekhawatiran
akan PHK .

5

vern is, semir,

perekat dll,
larutan kimia
misalnya
asam sulfat,
kalium,
bikhromat,
natrium sulfat.

Perajin
batu -batuan

114

Bising, debu ,
pana s, dan
getaran.

Debu silica
dan debu
kapur

Kebljokon don 5trotegl Pengembongon Keseh oton Kerjo Sek tor Informal di Indonesia

6

Faktor Risiko
Tempat
Kerja

II

Fisik

Kimia

Biologi

Ergonomi

Psikososial

5

6

Transporta si
(ojek, sopir)

Bising, debu,
panas, dan
getaran .

Timbal,
Benzen, dan
Hg

Jamur dan
parasit.

Berkendaraan
>4 jam.

Tekanan
mental berupa
nilai hasil yang
didapati dalam
pekerjaan
tidak sesuai
denganyang
diharapkan.

Manufacturing
(tukang las,
pengecatan)

Pencahayaan
kurang,
debu logam,
panas,
getaran,dan
sinar las.

Uap logam,
cat, fernis
debu amplas,
dan si nar las.

Jamur dan
bakteri

Sikap kerja
yang tidak
benar{tidak
ergonomis)
seperti kerja
berulang,
bekerja
dalam postur
tidak sesuai,
gerakan
berulang
monoton.

Tekanan mental
berupa nilai
ha si l yang
didapati dalam
pekerjaan
tidak sesuai
dengan yang
diharapkan,
ketidakpuasan
upah, upah
terlalu rendah ,
dan
kekhawatiran
akan PHK .

Pekerja
bengkel

Beban kerja,
kebisingan,
getaran,
benda tajam
dan tekanan
panas

Oli, pelumas,
debu, asap
knalpot , dan
karat .

Jamur,
parasit, dan
bakteri.

Sikap kerja
yang tidak
benar{tidak
ergonomi s)
seperti kerja
berulang,
bekerja
dalam postur
tidak sesuai,
gerakan
berulang
monoton .

Tekanan mental
berupa nilai
hasil yang
didapati dalam
pekerjaan
tidak sesuai
dengan yang
diharapkan,
ketidakpuasan
upah, upah
terlalu rendah,
dan
kekhawatiran
akan PHK .

1

2

3

4

KebiJokon don Stroregi Pengembangan Kesehaton KerJD Sektor Informal di (ndonesio

lS

Selain bahaya-bahaya yang berasal dari bahan maupun lingkungan kerja
yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan kerja, pekerja
informal juga tidak memiliki kesadaran akan bahaya di lingkungan kerja.
Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang metoda
kerja, lingkungan tempat kerja yang memenuhi standar kesehatan dan
keamanan bekerja.
Perilaku kerja dan gaya hidup yang tidak sehat misalnya; bekerja sambil
merokok, kondisi status kesehatan pekerja yang belum diperhatikan
oleh pemilik usaha maupun pekerja yang bersangkutan, kurangnya
pembinaan dan pendampingan dari instansi yang berkepentingan serta
kurangnya kema mpuan kapasitas pembina kesehata n kerja da n ku rangnya
koordinasi antar lintas program dan lintas sektor juga merupakan kondisi
yang masih belum menjadi suatu prioritas nasional (Depkes, 2008).

3. Masalah Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia
Dari 27 negara yang dipantau oleh ILO pada tahun 2001, Indonesia
berada pada urutan ke 26 untuk jumlah kasus kematian, kesakitan dan
kecelakaan akibat kerja. Sementara itu dari data Jamsostek pada tahun
2003 diketahui bahwa setiap hari kerja terjadi 7 kematian pekerja dari
400 kasus kecelakaan kerja, 9,83% (10,393 kasus) mengalami cacat dan
terpaksa tidak mampu bekerja lagi.
Angka ini merupakan angka yang dilaporkan, sedangkan angka
sesungguhnya belum diketahui secara pasti. Data penyakit akibat kerja
belum masuk Sistem Informasi Kesehatan Nasional sehingga data yang
ada biasanya hanya data Kecelakaan Kerja dari Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi yang biasanya merupakan data yang bersumber dari
laporan yang dikirim oleh Dinas Tenaga Kerja Provinsi yang bersumber
dari laporan perusahaan maupun bersumber dari klaim asuransi
kecelakaan di PT. Jamsostek.
Karena kondisi sistem informasi kesehatan nasional belum mencantumkan
sistem pelaporan kesehatan kerja khususnya penyakit akibat kerja, maka
data kesehatan kerja atau keluhan kesehatan secara subyektif dari
pekerja diperoleh dari data hasil-hasil penelitian yang sifatnya sporadis
dari berbagai kajian instansi kesehatan maupun hasil-hasil penelitian dari
perguruan tinggi . Beberapa hasil kajian kesehatan kerja yang cakupan
area penelitiannya cukup luas adalah sebagai berikut:

KebiJo kon don Srra tegi Pc. ngembongan

k セ・

ャキ

ョ@

Kerjo ScHor Informal di

iョ、ッ

ヲZA セ ャ ッ@

a. Hasil studi Pusat Kesehatan Kerja, Depkes (2004) di 8 Provinsi pada
pekerja informal didapatkan gambaran bahwa 75,8% Perajin Batu
Bata mengalami gangguan Otot Rangka ; 41% Perajin kulit & Petani
Kelapa Sawit mengalami gangguan Mata dan 23,2% Perajin Batu Onix
mengalami gangguan Dermatitis kontak/alergi.
b. Profil Masalah Kesehatan Pekerja di Indonesia (Depkes, 2005)
menunjukkan 40.5%dari pekerja memiliki keluhan gangguan kesehatan
yang berhubungan dengan pekerjaannya antara lain : 16% Muskulo
Skeletal Diseases; 8% gangguan kardiovaskuler; 6% gangguan Saraf;
3% gangguan pernafasan; 1,5% gangguan THT dan 1,3% gangguan
Kulit.

c. Hasil Kajian Departemen Kesehatan RI (2006) tentang Pembiayaan
Jaminan Kesehatan bagi Pekerja Informal yang terorganisir, didapatkan
gambaran sebagai berikut: 46% responden sudah melaksanakan upaya
pengumpulan dana untuk berobat yang pada umumnya dikelola oleh
kelompoknya. Keluhan sakit yang dirasakan dalam 1 bulan terakhir
yaitu : pegal-pegal (67%), pilek (45%) dan batuk (42%) . Bila pekerja
tidak mampu bekerja karena sakit atau kecelakaan akan menyebabkan
terganggu pekerjaannya dengan rata-rata waktu terganggu 3 hari dan
rata-rata kehilangan pendapatan Rp 182 .000,d.  Hasil  kajian  Kesehatan  Kerja  oleh  Direktorat Bina  Kesehatan  Kerja  di 8 
Provinsi  (2007) yang  melibatkan 704  responden  menunjukkan  bahwa 
keluhan  sakit  berupa  batuk  dan  pegal  adalah  keluhan  yang  paling 
sering  dirasakan  oleh  para  perajin;  buruh  pembuat/penggali  bahan 
bangunan,  bengkel;  pedagang;  pekerja  industri bahan  kimia ; buruh di 
pertanian/perkebunan, penjahit, sopir dan pembuat makanan seperti 
krupuk,  empek­empek,  kripik  dan  tempe.  Kehilangan  hari  kerja  pada 
satu  bulan  terakhir  karena  sakit  berkisar  pada  rerata  0,72  hari  dan 
oleh  kecelakaan  akibat kerja  (KAK)  rerata  0,96 hari.  Rerata  biaya yang 
dikeluarkan untuk pengobatan/pemeliharaan kesehatan karena sakit/ 
kecelakaan  bagi  yang  membiayai  sendiri  diperkirakan  sebesar  Rp . 
41.238,­ per bulan . Pelatihan  kerja  merupakan  salah  satu  cara  untuk 
mencegah dan  meminimalkan terjadinya  kecelakaan  kerja,  tetapi dari 
hasil  tersebut  hanya  sekitar  26%  responden  yang  pernah  mendapat 
pelatihan sehubungan  dengan tugas sekarang.  Kecelakaan  di tempat 
kerja  dialami oleh 34,2%  responden . 

Kcb Jjakan dl1n 5rruteqi PCl1 gcmbanr;JDtl Kesehatan Kerin Sr k(Or fnJnrmoi di Indoneslo

17

4. Pelayanan Kesehatan Kerja Sektor Informal

Dari hasil studi kajian kesehatan kerja di 8 Provinsi Tahun 2007 diketahui
bahwa hanya 25,6% tempat kerja yang memiliki tempat pelayanan
kesehatan, tetapi seluruhnya melayani pengobatan . Data penyakit akibat
kerja (PAK) tidak bisa di akses karena belum adanya sistem pencatatan
khusus PAK di tempat pelayanan kesehatan . Hanya 38,07% responden
yang menggunakan alat pelindung diri (APD) sewaktu bekerja - pada
umumnya berupa sarung tangan, helm/tutup kepala, kaca mata, masker,
dan lain-lain. Hanya sebagian kecil (14%) responden yang mengetahui
tentang pos UKK, dengan opini responden sebagian besar mengharapkan
pelayanan pengobatan kualitas obat bermutu di pos UKK.

a. SDM Kesehatan Kerja

Program Kesehatan Kerja di Sektor Informal memerlukan SDM yang
kompeten di bidang Kesehatan Kerja . Peningkatan kompetensi dapat
dari berbagai pertemuan ilmiah maupun hasil bacaan, publikasi dari
berbagai perguruan tinggi . Kompetensi keahlian di bidang kesehatan
kerja, dapat diperoleh melalui pelatihan dan pendidikan formal mulai
D3 sampai dengan Spesialis bahkan sampai jenjang Doktor (S3) dalam
bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan Kedokteran Okupasi,
namun saat ini di Indonesia jumlahnya masih terbatas. Keadaan tenaga
ahli K3 yang bebasis pendidikan kesehatan masyarakat setiap tahunnya
diperkirakan bertambah 1.600 lulusan baru . Kebanyakan lulusan ini
diserap oleh industri sebagai petugas keselamatan kerja. Untuk dokter
spesialis okupasi (kedokteran kerja) pada saat ini masih di bawah 100
orang sedangkan S2 Okupasi 211 orang. Keberadaan jumlah lulusan ini
dalam melaksanakan tugas yangsesuai dengan kompetensi pendidikannya
tidak tercatat. Ahli kesehatan kerja yang memperoleh sertifikat melalui
pelatihan pada umumnya adalah tenaga kesehatan dan non ke sehatan
yang berminat dalam bidang kesehatan kerja, mengikuti berbagai kursus
dan pelatihan terstruktur yang dapat menjadikan seseorang ahli dalam
bidang kesehatan kerja .
Dalam berbagai pertemuan dan diskusi juga dibahas bahwa Kementerian
Tenaga Kerja dan Tran smigrasi belum memiliki kecukupan jumlah ahli K3
berlatar belakang pendidikan formal di bidang K3 sesuai luasnya cakupan
wilayah pengawasan K3 di tempat kerja . Bahkan setelah diberlakukannya

18

KebiJukon don Srralegi Pong cmiJ onqon Ke,enowll Ker)Q Sektor Ill/o rma l dl Indone siD

otonomi daerah, di beberapa Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota
terjadi mutasi petugas Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(Pengawas K3) yang sudah mempunyai sertifikat kompetensi Pengawas
K3 dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan mendapat
tugas atau ditempatkan di kantor yang tidak terkait dengan tugas-tugas
pengawasan K3 pada tenaga kerja.
Dari data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2005
diketahui bahwa jumlah dokter dengan keahlian kesehatan kerja yang
telah mengikuti pelatihan hiperkes tercatat sebanyak 14.277 orang
dan perawat sebanyak 7.405 orang. Pelatihan ini belum mencerminkan
standar kompetensi SDM kesehatan kerja sesuai yang tertera dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia,
Nomor: Kep. 42/Men/III/2008 Tentang Penetapan Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia Sektor Ketenagakerjaan Bidang Keselamatan
Dan Kesehatan Kerja .
Perhitungan kebutuhan tenaga ahli kesehatan kerja sampai dengan tahun
2010 jika dibandingkan jumlah angkatan kerja dan cakupan wilayah di
Indonesia diperkirakan sebesar 70.000 orang dengan kompetensi seperti
yang tertuang dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia, Nomor: Kep. 42/Men/III/2008, maupun kompetensi
yang akan diusulkan dalam Jabatan Fungsional Ahli Kesehatan Kerja di
Departemen Kesehatan. Hal ini terkait dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 32 tahun 1996.
b. Fasilitas Pelayanan Kesehatan

1) Pos UKK
Pos UKK merupakan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat
dalam menjalankan kegiatannya meliputi upaya promotif, preventif
dan pengobatan sederhana yang bersifat pertolongan pertama pada
kecelakaan dan pertolongan pertama pada penyakit . Dari hasil kajian
terhadap pola pelayanan Pos UKK (Depkes, 2007) diketahui Pos UKK
yang melakukan upaya promotif berbentuk penyuluhan sebesar
91,3%, upaya pencegahan identifikasi potensi risiko 78,3%, penyediaan
contoh dan penggunaan APD 65,2%, dan mendorong usaha perbaikan
lingkungan kerja 80,4%, upaya pengobatan di bidang P3K 88,9% dan
pertolongan pertama pada penyakit 82,6%. Pembinaan Puskesmas
terhadap Pos UKK dilakukan dengan mengirim tenaga pendamping
Kcbi/okan don 51 rol"91 PerJgem bon90n Keseho tall Ke1lo Seklor Informal d, Indonesia

19

yang datang secara berkala. Baru sekitar 32% tenaga pendamping
pernah mendapat pelatihan K3. Demikian pula dengan kader Pos UKK
baru 16% yang pernah mendapat pelatihan K3.
2) Pas Kesehatan Desa (Paskesdes)

Poskesdes merupakan salah satu terobosan pembangunan kesehatan
dalam pemberdayaan masyarakat dan salah satu Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa dalam
rangka mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi
masyarakat desa yang meliputi kegiatan peningkatan hidup sehat
(promotif), pencegahan penyakit (preventifj, pengobatan (kuratif)
yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan (terutama bidan) dengan
melibatkan kader atau tenaga sukarela lainnya .
Poskesdes fungsinya sebagai pembina UKBM di wilayahnya .
Poskesdes walaupun bersumberdaya masyarakat, namun mengingat
kemampuan masyarakat terbatas, pemerintah membantu stimulan
biaya Operasional Poskesdes melalui anggaran Dana Bantuan Sosial
Pembangunan Poskesdes. Selain stimulan dari Kementerian Kesehatan
diharapkan Pemda dan Lintas Sektor terkait turut m.embantu
operasional Poskesdes .
3) Puskesmas

Pola penyelenggaraan pelayanan Kesehatan Kerja Dasar dilakukan
oleh 55% Puskesmas, yang bila dipilah berdasarkan lokasi, maka
penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja dasar dilaksanakan oleh
79% Puskesmas di Jawa, namun hanya 42 % di luar Jawa. Hanya 27%
Puskesmas yang melakukan pembinaan Pos UKK . Hal ini di sebabkan:
• Belum adanya instruksi dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dan provinsi selaku atasan Puskesmas, karena Program Kesehatan
Kerja belum menjadi prioritas di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dan Provinsi.
• Keterbatasan Sumber Daya Manusia, baik secara kualitas maupun
kuantitas.
• Ketersediaan sarana dan prasarana, termasuk obat-obatan yang
belum memenuhi standar untuk menyelenggarakan Pelayanan
kesehatan Kerja Dasar.

20

Kebrjokon dan ,[toreg' Pf'ngemOOngon KcsellOlon KerJCJ SrklOr Informal d, Indon e,,,,

Konsep Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar adalah upaya pelayanan
yang diberikan kepada masyarakat pekerja secara minimal dan
paripurna meliputi upaya peningkatan kesehatan kerja, pencegahan,
penyembuhan serta pemulihan Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit
Akibat Hubungan Kerja (PAK dan PAHK) oleh institusi pelayanan
kesehatan kerja dasar. Perkembangannya merupakan suatu jalan
ke tahapan yang diharuskan oleh Konvensi ILO No. 161/1985 dan
No 155/1981 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. Berdasarkan hal
tersebut, dikembangkan konsep pelayanan kesehatan kerja pada
Puskesmas di kawasan Industri yang dikembangkan berdasarkan
sK Menkes No 128/Menkes/sK/II/2004. Puskesmas yang di dalam
wilayah kerjanya terdapat kawasan industri mempunyai tanggung
jawab mengembangkan pelayanan kesehatan yang dilakukan dengan
melaksanakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat pekerja .
Dalam suatu kawasan industri biasanya terdapat beragam jenis usaha
dari industri besar, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta
jenis usaha informal. Peran para pengandil (Pemerintah daerah,
Dinas Perindustrian, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Kesehatan yang terdiri
dari lintas program yang terkait, Pengusaha, serikat Pekerja) sangat
diperlukan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan kerja
4) Balai Kesehatan Kerja Masyarakat
BKKM merupakan sarana pelayanan kesehatan kerja rujukan, yang
keberadaannya saat ini baru berjumlah 5 BKKM se-Indonesia (Banten:
Tangerang, Jawa Barat: Bogor, Bandung, Bekasi dan IViakassar) dengan
tugas pokok dan fungsi adalah sebagai rujukan pelayanan kesehatan
kerja, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian kesehatan kerja.
5) Rumah Sakit
Pola pelayanan Rumah sakit untuk sa at ini hanya menerima rujukan
pasien dan belum melaksanakan pelayanan kesehatan kerja,
misalnya: pelayanan pengobatan, serta pencatatan dan pelaporan.
Untuk pencatatan dan pelaporan penyakit yang terkait dengan
pekerjaan, telah diintegrasikan dalam pencatatan dan pelaporan
Rumah sakit RL2a dan 2b, tetapi sa at ini belum dimasukkan dalam
sistem informasi data kesehatan nasional. Pencatatan dan pelaporan
penyakit ini juga lebih merupakan kepentingan klaim asuransi untuk
pembiayaan pasien di Rumah Sa kit.
l