Fenomena Sektor Informal di Indonesia

Fenomena Sektor Informal di Indonesia
Disusun Oleh :
1. Ricky Fitra W

041411131033

2. M. Faldi Fatchurrohman

041411131046

Mata Kuliah : Ekonomi Pembangunan 1 – Kelas B
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Airlangga

Sektor informal sebenarnya memiliki peran penting dalam perekonomian negara yang sedang
berkembang. Sektor informal memiliki daya tahan akan dampak krisis ekonomi yang sering menimpa
negara yang sedang berkembang meskipun dengan keterbatasan . Dalam referensi yang ada, sektor
informal mampu menjadi tempat berlindung bagi para kaum urban yang ada di perkotaan. Akumulasi
perputaran modal yang ada disektor informal dapat menyerap tenaga kerja yang berdampak pada
permintaan output secara teratur.
Sebagai bagian dari sistem perekonomian di Indonesia, keberadaan sektor informal memiliki

daya serap tenaga kerja yang cukup tinggi dan berperan sebagai sektor penyangga (buffer zone) yang
sangat lentur dan terbuka, juga memiliki kaitan erat dengan jalur distribusi barang dan jasa di tingkat
bawah, bahkan menjadi ujung tombak pemasaran yang potensial ( Bagong Suyanto dan Karnaji;2005;46).
Ciri-ciri sektor informal
a. Mudah untuk dimasuki
b. Bersandar pada sumber daya lokal
c. Usaha milik sendiri
d. Operasinya dalam skala kecil
e. Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif
f.

Keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal

g. Tidak terkena secara langsung oleh Regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif

Sektor informal memang sudah mendarah daging bagi perekonomian Indonesia karena disaat revolusi
industri terjadi masyarakat masih menganut sistem perekonomian tradisional yang lebih berorientasi pada
sumber daya alam yang ada. Perkembangan teknologi industri yang ada saat ini menyebabkan tersisihnya
sumber daya manusia yang kurang memadai terpaksa keluar dari rantai ekonomi. Sektor informal
merupakan payung ataupun wadah yang ada sebagai bentuk keresahan yang terjadi di masyarakat.

Di kota besar sering kali kita jumpai PKL mencoba bertahan hidup dan berjuang untuk tetap memutar
roda ekonominya. Sektor informal dapat menjadi wadah nyata bila kita berfikir apa yang dilakukan oleh
para PKL merupakan suatu usaha yang disebabkan oleh lemahnya kebijakan pemerintah yang terlalu
mengabaikan sektor ekonomi kelas menengah bawah. Dari tahun ke tahun semakin banyak urabanisasi
yang tejadi dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dari tahun ke tahun di daerah perkotaan.
Sektor informal memiliki peran besar terhadap pertumbuhan ekonomi yang terjadi di perkotaan.

Dinamika Informalitas di Perkotaan
Sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart (1971) yang menggambarkan bahwa
sektor informal merupakan angkatan kerja yang berada diluar pasar tenaga terorganisir. Arus migrasi yang
cepat dari desa menuju kota menyebabkan tidak seimbangnya permintan tenaga kerja yang dibutuhka
oleh sektor formal. Sektor usaha modern memiliki keterbatasan dan tidak semua kaum urban dapat
memasuki indutri tersebut, oleh sebab itu para kaum urban yang memiliki keterbatasan skill lebih memilih
memasuki sektor informal yang relatif mudah.
Persentase sektor informal di negara-negara Dunia Ketiga seperti di Amerika Latin, Sub-sahara
Afrika, Timur Tengah dan Afrika Utara dan Asia Selatan berkisar antara 30-70 persen dari total tenaga
kerja. Di Indonesia, menurut data Indikator Ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statistik (BPS), November
2003, 64,4 persen penduduk bekerja di sektor informal. Di pedesaan, sektor informal didominasi oleh
sektor pertanian (80,6 persen), sementara di perkotaan didominasi oleh sektor perdagangan (41,4 persen).
Dengan demikian sektor informal memiliki peran penting dalam perkembangan perekonomian

suatu kota, sektor yang mampu menyerap tenaga kerja tidak terlatih (terutama masyarakat kebawah) agar
tetap dapat memenuhi kebutuhan ekonominya. Namun, sektor informal perlu pengawasan khusus dari
pemerintahan karena sektor informal merupakan sektor bebas yang tidak terorganisir dan memiliki
kekuatan hukum yang lemah.
Keberadaan usaha kecil yang dirintis oleh kaum urban telah menjamur dibanyak kota besar yang
ada di Indonesia. Dapat dengan mudah kita jumpai para pedagang yang berjualan di sekitar rumah kita

namun, harus disadari juga bahwa perhatian terhadap sektor informal masih sangat rendah. Banyak
kegiatan usaha yang masih melakukan kecurangan karena minimnya peraturan maupun perhatian
pemerintah yang kurang memperhatikan sektor ini.

Fenomena PKL di Perkotaan
Sebagai salah salah satu bentuk sektor informal yang banyak kita jumpai disekitar kita adalah
pedagang kaki lima(PKL). Perlu disadari bahwa dikota – kota besar yang ada di Indonesia kita dapat
menemukan PKL disepanjang perjalanan yang mengindikasikan bahwa sektor informal tumbuh subur dan
membantu memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar. Selain itu para pedagang tersebut dapat membantu
pemerintah dengan penyerapan tenaga kerja, pemerataan pendapatan dan masih banyak lagi. PKL bukan
merupakan bagian masyarakat yang gagal dalam masuk untuk membantu roda ekonomi tetap berjalan.
Banyaknya pedagang kaki lima yang ada membuat suatu angin segar yang menandakan bahwa
lapangan kerja yang tersedia bukan hanya pada sektor formal saja yang terpaku pada pedagang kecil yang

berusaha survive dalam menjalani roda kehidupanya. Sektor informal dianggap hanya menjadi benalu
dalam tatan kota yang modern saat ini, padahal, sektor informal besar kecil telah berperan terhadap
kelangsungan ekonomi yang ada di era sekarang.
Atas nama estetika para pelaku sektor informal khususnya para pedagang kaki lima harus mejadi
bulan-bulanan para pengejar estetika. Keindahan kota yang dijadikan alibi sebaagai bagaimana kota
dipandang menjadi besar melupakan pahlawan yang tak dianggap ini. Atas dasar itulah banyak kota besar
yang rela menggusur bahkan menghancurkan sektor informal yang menjadi sandaran hidup kaum urban.
Minimnya ruang yang diberikan kota terhadap sektor informal seakan semakin menegaskan bahwa sektor
informal menjadi inferior disbanding sektor formal.
Kebijakan peaturan pemerintah yang lebih mementingkan keindahan kota membuat sektor
informal sulit untuk bergeliat dan berkembang dalam peranan ekonomi. Pentingnya peran pemerintah
dalam hal ini sangat dibutuhkan dikarenakan semakin minimnya ruang yang tersedia sebagai sarana
pengembangan sektor informal diperkotaan. Satu sisi para pelaku sektor informal harus memiliki
kesadaran akan perlunya public space guna menjaga kenyamanan hidup bersama dalam suatu tatanan
kota.

Banyaknya Usaha yang Tidak Berbadan Hukum Menurut
Pulau/Provinsi, 1996-2004
Pulau/
1996

1998
Provinsi
2 744 345 2 285 053
Sumatera
(16,35) (16,35)
852 073 711 020
Jakarta, Ibukota
(5,08)
(5,09)
3 472 506 2 901 883
Jawa Barat
(20,69) (18,00)
2 899 288 2 515 013
Jawa Tengah
(17,28) (18,00)
364 386 304 583
Yogyakarta
(2,17)
(2,18)
3 470 711 2 879 439

Jawa Timur
(20,68) (20,60)
Bali dan Nusa
827 649 707 673
(4,93)
(5,06)
Tenggara

2 182 568 2 228 518 2 208 110 2 171 116 2 342 815 2 522 561
(15,03) (14,88) (15,06) (13,83) (14,84) (14,71)
675 923 719 941 696 963 1 057 765 893 623 1 053 427
(4,66)
(4,81)
(4,75)
(6,74)
(5,66)
(6,14)
3 035 152 2 969 114 2 886 209 3 059 558 3 216 567 2 908 228
(20,90) (19,82) (19,69) (19,48) (20,38) (16,96)
2 781 586 2 893 016 2 891 273 3 351 931 3 080 105 3 508 577

(19,16) (19,31) (19,72) (21,35) (19,51) (20,46)
354 285 366 855 404 742 509 176 469 898 409 814
(2,44)
(2,45)
(2,76)
(3,24)
(2,98)
(2,39)
3 012 492 3 199 556 3 074 286 3 118 640 3 272 845 3 551 777
(20,75) (21,36) (20,97) (19,86) (20,74) (20,72)
752 255 864 204 763 561 857 380 824 742 804 689
(5,18)
(5,77)
(5,25)
(5,45)
(5,22)
(7,7)

838 110 700 646
(5,00)

(5,01)
1 129 005 912 370
(6,73)
(6,53)
182 558 56 575
(1,09)
(0,41)

741 054 715 337 712 957 812 960 860 481 969 107
(5,10)
(4,78)
(4,86)
(5,18)
(5,45)
(5,65)
933 509 979 055 849 198 622 011 671 821
745
(6,43)
(6,54)
(5,76)

(3,96)
(4,26)
(4,35)
51 217 44 842 173 346 143 029 151 162 158 525
(0,35)
(0,30)
(1,18)
(0,91)
(0,96)
(0,92)

Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Irian
Jaya

16 780

1999


13 975 14,520,0

2000

14 980

2001

14 660

2002

15 703

2003

15 784

2004


17 145

Indonesia

631
255
41
438
640
560
059
244
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00) (100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1581
Dapat dilihat dari table diatas bahwa pertumbuhan sektor informal yang tidak memiliki badan
hukum yang kuat semakin tumbuh dari setiap periodenya. Kita ambil contoh di Jawa Timur sektor usaha
yang tidak berbadan hukum memeliki fluktuasi yang tidak stabil, banyak gejolak yang dialami oleh sektor
informal seperti sempitnya lahan yang disediakan oleh pemerintah guna menunjang keberadaan sektor
informal

Kebijakan Pemerintah Terhadap Pedagang Kaki Lima
Apabila kita berbicara mengenai kebijakan – kebijakan yang dibuat pemerintah pasti mempunyai
alas hak (aturan hukum) atau didasarkan pada asas legalitas, yaitu bahwa pemerintah tunduk pada
undang-undang.

Kebijakan publik mempunyai arti serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau
tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi
kepentingan seluruh masyarakat.
Berbicara mengenai kebijakan pemerintah berarti di sini adalah segala hal yang diputuskan
pemerintah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan
yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan terdapat dua model pembuatan, yang bersifat
top-down dan bottom-up. Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat
dengan pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah.
Pemerintah dalam hal ini memiliki suatu kebijakan untuk menangani masalah PKL, yaitu suatu
kebijakan yang melarang keberadaan PKL dengan dikeluarkannya Perda (Peraturan Daerah).
Pemerintah Kota/daerah mengeluarkan kebijakan yang isinya antara lain :
1)

Pedagang Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan berupa kios-kios.

2)

Kios kios tersebut disediakan secara gratis.

3)

Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi

4)

Bagi Pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah keputusan ini dikeluarkan akan
dikenakan sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, Pemerintah kota menganggap kebijakan relokasi tersebut merupakan tindakan
yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios – kios yang disediakan
pemerintah, pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain itu, pemerintah juga berjanji
akan memperhatikan aspek promosi, pemasaran, bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha.
Pemerintah merasa telah melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL.
Pemerintah Kota merasa telah melakukan yang terbaik bagi para PKL. Namun, Pasca relokasi
tersebut, beberapa pedagang kaki lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban melakukan berbagai aksi
penolakan terhadap rencana relokasi ini. Kebijakan Relokasi ini tidak dipilih karena adanya asumsi
bahwa ada kepentingan dalam kebijakan ini yaitu :
Pertama, dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak sebagai
agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikut sertakan atau
dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim
relokasi yang selama ini dibentuk oleh Pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten
Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar.

Kedua, adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara
pemerintah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi timbal balik diantara
keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah seringkali menggunakan perspektif yang
teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk
menemukan titik temu antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima
menganggap Pemerintah Kota tidak pernah memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan
relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi tersebut semata-mata
hanya untuk keuntungan dan kepentingan Pemerintah Kota atas proyek tamanisasi. Selain itu, tidak
adanya sosialisasi tersebut mengakibatkan ketidak jelasan konsep relokasi yang ditawarkan oleh
pemerintah, sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.
Oleh karena itu dikembangkan model bagi pengembangan sektor informal yang bernuansa tata
kota. Model ini dibagi dalam beberapa tahap :
Tahap perencanaan
Yang harus dilakukan oleh pemerintah :
- Mendata jumlah sektor informal dan target sektor informal yang akan ditangani
- Menginformasikan tentang program pembinaan
- Pemerintah sudah memiliki alternatif lokasi/tempat yang akan digunakan untuk sektor informal (tempat
strategis dan biayanya murah)
- Pemerintah boleh menyediakan modal senri untuk sektor informal atau bekerja sama dengan pihak swasta
- Pemerintah harus menyediakan aparat yang mempunyai loyalitas tinggi terhadap tugas
Tahap pelaksanaan
a)

Dialog dan musyawarah

- Mampu memberikan arahan dan pembinaan dengan tujuan membantu sektor informal dalam memperoleh
lokasi yang lebih baik, membantu permodalan dan bernuansa tata kota
- Pemerintah mensosialisasikan kebijakan tentang tata kota
b)

Musyawarah dan dialog

- Diharapkan pemerintah bisa memancing aspirasi dari sektor informal
- Mencari jalan keluar yang menguntungkan dua belah pihak
- Diharapkan pelaku sektor informal dapat menerima dengan kesadaran tentang kebijakan pemerintah
c)

Pemberian pembinaan

- Pembinaan keterampilan membuat produk

- Pembinaan kelembagaan, agar sektor informal mempunyai wadah untuk menampung segala kegiatannya
sehingga kegiatannya menjadi lebih ringan dan lancar
- Pembinaan permodalan, untuk membantu mengembangkan usahanya dengan pemberian kredit
- Pembinaan pasar, pengelolaan lokasi sektor informal di pasar sebagai lokasi terbarunya
- Pembinaan manajemen usaha, agar dapat mengembangkan usahanya dan pemerintah bisa menerapkan pajak
progresif. Pembinaan manajemen usaha dapat dibagi dalam 2 bagian :
1)
2)

Pembinaan manajemen dalam hal mengelola keuangan
Pembinaan manajemen dalam hal pemasaran dan pelayanan konsumen

LANGKAH PEMBERDAYAAN SEKTOR INFORMAL
1) Pemerintah daerah dapat memahami modernisasi di perkotaan bukan hanya pembangunan plaza dan malmal saja. Tetapi, modernisasi perkotaan perlu diartikan sebagai pemberian tempat yang lebih layak bagi
ekonomi informal pada struktur ekonomi perkotaan yang merupakan sumber kehidupan sebagian besar
rakyat miskin.
2) Retribusi atau pajak yang dibebankan kepada sektor ekonomi informal oleh pemerintah daerah
seharusnya memperhitungkan tarif retribusi tersebut berdasarkan pendapatan real yang juga adanya
timbal balik berupa pelayanan kebersiha dan keamanan sektor ekonomi informal. Pemerintah juga harus
membantu dalam hal permodalan berbubga rendah untuk mendapatkan lokasi usaha, baik itu kerja sama
dengan swasta atau dari APBD.
3)

Hendaknya pemerintah daerah bekerja sama dengan LSM menciptakan pusat pelayanan bagi sektorsektor ekonomi informal demi pemberdayaan dan peningkatan SDM. Selain itu juga harus dilaksanakan
pelatihan bagi sektor informal. Pelatihan ditujukan untuk menyebarkan informasi seputar kegiatan usaha,
pengembangan wawasan, dasar pengelolaan usaha, dan pemanfaatan peluang usaha.

Kesimpulan dan Saran
Hal pertama yang harus dilakukan pemerintah kota adalah relokasi bagi pedagang kaki lima.
Pemerintah harusnya menyediakan tempat yang dapat digunakan oleh para pedagang sebagai tempat yang
layak bagi mereka. Selain itu relokasi dapat menjadi tameng pedagang karena mereka tidak perlu
khawatir dalam penertiban yang dilakukan aparat pemerintahan.

Daftar Pustaka
http://syukriputra.blogspot.co.id
http://hazindidamaisty.blogspot.co.id