Hidup beragama menurut A. Mukti Ali tidak hanya hidup batin saja atau pribadi saja melainkan hidup yang berpangkal pada kepercayaan terhadap agama
yang diyakini serta penerapannya dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan ucapan batinnya.
237
Pada aspek refleksi cara pengumpulan data dan gejala-gejala tersebut dalam penelitian agama yaitu dengan menafsirkan data dan gejala-gejala
ilihat dari aspek ajaran atau doktrin agama. Dalam hal ini ajaran atau doktrin agama ditarik untuk menganalisis gejala-gejala tersebut.
Cara pengumpulan gejala-gejala tersebut mirip dengan cara pengumpulan data dalam sosiologi. Tetapi pengumpulan data itu bukanlah sosiologi melulu.
Penelitian agama menafsirkan data dan gejala-gejala itu dalam cahaya agama. Ini sudah merupakan suatu indikasi bahwa penelitian agama tidak perlu
berlandaskan sosiologi melulu, tetapi berlandaskan penelitian yang mempunyai nilai agamis. Dan gejala-gejala itu memang ditemukan dalam
kenyataan sosial yang didekati secara empiris. Dengan demikian pendekatan tradisional dari agama selain memakai metosde historis juga mulai terbuka
terhadap metode empiris.
238
2. Pengungkapan Iman dalam Situasi Kongkrit
Agama sebagai refleksi Iman tidak hanya hanya terbukti dalam ucapan keyakinan dan iman saja, tetapi agama juga merefleksikan sejauh mana iman itu
diungkapkan dalam kehidupan di dunia ini.
239
Dalam pandangan ini penulis menyimpulkan bahwa pengungkapan Iman dalam situasi konkrit merupakan
merefleksikan iman atau kepercayaan terhadap agamanya dalam wujud tindakan atau perbuatan. Menurut Mukti Ali, penelitian agama yang menjadi pusat
perhatian, antara lain; 1 mengamati fakta-fakta, 2 menentukan dimana letak kemungkinan-kemungkinan yang paling menonjol, artinya mencoba memahami
arti dari fakta-fakta tersebut, dan 3 berdasarkan pemahaman yang rasional.
240
3. Sikap Agamis dalam Penelitian Situasi Kongkrit Kaum Agama Sikap agamis seseorang dalam melakukan penelitian agama itu diperlukan.
Menurut Mukti Ali bahwa persoalan agama merupakan persoalan yang pribadi pada diri manusia sehingga butuh kehati-hatian dalam meneliti agama seseorang.
237
Ibid.
238
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali, 1981, 330
239
Ibid
240
Mukti Ali, Penelitian Agama di Indonesia, h. 26
Ia mengatakan bahwasanya belum tentu seseorang yang meneliti agama sudah baik secara teknis belum tentu dapat menggali persoalan-persoalan agama pada
seseorang yang diteliti. Apalagi jika yang menelti tersebut orang yang tidak beragama maka cenderung akan mengkonstantir ungkapan-ungkapan kepercayaan
dan gejala-gejala agama, tetapi bukan iman atau agama itu sendiri. Sehingga menurutnya ditekankan si peneliti tersebut adalah orang yang beragama dan
merefleksikan agamanya. Artinya peneliti menghadapi kenyataan di lapangan itu dengan perspektif agamis dan sikap agamis. Jadi, sikap objektivitas atau netralitas
tidak merupakan kriteria utama dalam proses penelitian agama karena subjektif merupakan kriteria yang diutamakan dalam penelitian agama. Hal-hal tersebut
menurutnya yang membedakan penelitian agama dengan sosiologi agama dan psikologi agama.
241
Berdasarkan penjelasan di atas, kaitannya dengan penelitian keagamaan, disadari bahwa agama sebagai salah satu sumber nilai, karena itu penelitian-
penelitian dalam rangka mencari titik temu sangatlah penting. Karena agamalah yang memberikan etos spiritual yang sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan
dan kebudayaan manusia. Sebagaimana dijelaskan Mukti Ali bahwa arti penting agama dalam kehidupan manusia dapat dilihat secara individual dan sosial. Secara
individual dirumuskan sebagai berikut: a. Faktor motivatif yang mendorong, mendasari, serta melandasi cita-cita dan
amal perbuatan manusia dalam seluruh aspek kehidupan. b. Faktor kreatif yang mendorong manusia, bukan saja melakukan kerja yang
produktif melainkan juga karya yang kraetif dan inovatif. c. Faktor sublimatif yang menguduskan segala kegiatan manusia, bukan hanya
yang bersifat keagamaan melainkan juga yang bersifat keduniaan. Dalam hal ini agama mengajarkan agar manusia menjadikan Tuhan sebagai
pangkal dari tujuan hidupnya. Dengan dasar dan sikap batin seperti itu, kehidupan manusia menjadi bermana dan bernilai luhur sebagai pengabdian
kepada Tuhan Yang Maha Esa. d. Faktor integratif yang memadukan segenap aktifitas hidup manusia, baik
241
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, h. 330 – 332
perorangan maupun sebagai anggota masyarakat dalam beragai kehidupan, yang kadang-kadang datu dengan yang lain kurang serasi. Kayakinan dan
penghayatan keagamaan akan menghindarkan manusia dari situasi dan kepribadian yang pecah. Dengan kepribadian yang utuh itulah manusia akan
mampu menghadapi bermacam-macam tantangan dan resiko kehidupan, yang tidak jarang memorakporandakan kehidupan manusia.
242
Sedangkan fungsi sosial agama dapat dilihat bahwa agam merupakan bangunan dasar dari moral masyarakat. Agama merupakan sumber nilai dan
norma yang mengilhami dan mengikat masyarakt. Hal ini sangat penting sebab kelangsungan dan ketentraman suatu masyarakat menut Mukti Ali tidak hanya
ditentukan oleh ketentuan hukum saja melainkan juga oleh ikatan moral yang didukung dan dihayati masyarakat.
243
Demikian pentingnya fungsi agama itu dalam kehidupan, sehingga perlu untuk mengadakan penelitian keagama terhadap seluruh aspek kehidupan umat
beragama, dengan maksud untuk menemukan titik temu antara umat beragama yang hidup di dunia ini. Karena disadari bahwa, mereka sebagai hamba Allah swt.
yang berusaha mengembangkan hubungannya dengan Tuhan ditengah-tengah pergaulan antar manusia di dunia ini. Maka dalam konteks ini, kebenaran suatu
agama maupun kebenaran suatu pengalaman keagamaan harus dianggap dapat mengalami perubahan atau proses evolusi yang terus-menerus sebagai bagian dari
pengalaman umat manusia yang terus mengalami perubahan. Penelitian agama akan mengantarkan seseorang terhindar dari kekeliruan, bahkan sebaliknya akan
melahirkan sikap kepekaan sosial, serta peduli terhadap keberagamaan yang ada. Deangan penjelasan yang lebih tegas bahwa, penelitian keagamaan melihat
hubungan semua umat manusia sebagai makhluk Tuhan yang menjalankan pesan- pesan agamanya sebagai anggota masyarakat, sehingga muncil sikap kepedulian,
atau dengan ungkapan lain terwujudlah masyarakat yang socialistis-religious. Jadi dengan agama, hidup manusia jadi bermakna.
242
H.A. Mukti Ali, Agama dan Pembangunan, h. 64-65. Baca pula, H.A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, h. 208-209
243
Singgih Basuki, Pamikiran Keagamaan A. Mukti Ali, h. 171-172
3. Perjuangan A. Mukti Ali dalam Membina Hubungan Antaragama