Konsep Peraturan Perundang-undangan Yang Baik

4 dengan pendapat W. Zevenbergen bahwa setiap kaidah hukum harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya op de vereischte wijze is not stand gekomen. Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidakbelum mempunyai kekuatan hukum mengikat. Peraturan daerah dibuat oleh DPRD dengan persetujuan Kepala Daerah. Kalau ada Peraturan Daerah tanpa mencantumkan persetujuan Kepala Daerah, maka batal demi hukum. Kalau Peraturan Daerah disyaratkan untuk dimuat dalam lembaran daerah sebagai syarat mempunyai kekuatan mengikat, maka Peraturan Daerah tersebut hanya mempunyai kekuatan mengikat kalau telah dimuat dalam Lembaran Daerah. Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu Undang-Undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan UUD. Begitu pula seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan yang tingkat lebih bawah. 4 Dasar berlaku secara sosiologis artinya mencerminkan kenyataan hidup dalam masyarakat. Dalam suatu masyarakat industri, hukumnya harus sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah- masalah yang dihadapi seperti masalah perburuhan, hubungan majikan dan buruh, dan sebagainya. Dasar sosiologis ini diharapkan peraturan perundang- undangan yang dibuat akan diterima secara wajar bahkan spontan. Dengan itu suatu peraturan perundang-undangan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya. Kenyataan yang hidup dalam masyarakat termasuk pula kecenderungan dan harapan-harapan masyarakat. Tanpa kedua faktor tersebut, peraturan perundang-undangan hanya sekedar merekam keadaan seketika sekedar moment opname. Keadaan seperti ini akan menyebabkan kelumpuhan peranan hukum. Hukum akan tertinggal dan dinamika masyarakat. Bahkan 4 Hans Kelsen, Op Cit., hlm. 39 5 peraturan perundang-undangan akan menjadi konservatif karena seolah-olah mengukuhkan kenyataan yang ada. Hal ini bertentangan dengan sisi lain dari peraturan perundang-undangan yang diharapkan mengarahkan perkembangan masyarakat. Bagaimanakah berlakunya peraturan perundang-undangan dengan dasar filosofis? Setiap masyarakat selalu mempunyai “rechtsidee” yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum, misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan, dan sebagainya. Rechtsidee atau cita hukum tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, tentang kedudukan wanita, tentang dunia gaib dan lain sebagainya. Semuanya itu bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakekat sesuai. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat sehingga setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan harus dapat menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau peraturan perundang-undangan. Tetapi ada kalanya sistem nilai tersebut telah terangkum secara sistimatik dalam suatu rangkuman baik berupa teoni-teori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin filsafat resmi seperti Pancasila. Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan sudah semestinya memperhatikan sungguh- sungguh “rechtsidee” yang terkandung dalam Pancasila. Selain ketiga dasar tersebut, terkadang juga suatu peraturan perundang- undangan yang telah memenuhi ketiga dasar tersebut masih mengandung masalah, yaitu perumusan yang tidak jelas dan menimbulkan makna yang ambiguitas atau rumusannya dimaknakan dengan beragam penafsiran, inkonsistensi penggunaan istilah, sistimatika yang tidak baik, bahasa yang berbelit-belit sehingga sulit dipahami, dan sebagainnya. Persoalan ini bekaitan dengan teknik perancangan suatu peraturan perundang-undangan. Hal itu berarti bahwa teknik perancangan peraturan perundang-undangan juga menjadi faktor penting bagi berlakumya suatu peraturan perundang-undangan. 6 Perancangan suatu penaturan perundang-undangan harus memperhatikan secara cermat, keempat unsur dasar yuridis, sosiologis dan filosofis, dan teknik perancangan tersebut. Keempat unsur tersebut terbagi dalam dua kelompok utama dan sekaligus sebagai tahapan perancangan peraturan perundang-undangan, yaitu: 1 tahap penyusunan Naskah Akademik; dan 2 tahap perancangan, mencakup aspek-aspek prosedural dan kemahiran penulisan rancangan. Kedua hal tersebut akan dijelaskan tersendiri agar dapat dipahami secara baik.

2. Peraturan yang Memiliki Efektivitas yang Baik Apabila Diterapkan dalam Masyarakat

Kata efektivitas berasal dari kata dasar efektif dalam bahasa Latin “efficere” yang mengandung arti menimbulkan, mencapai hasil. Efektivitas lebih mengarah pada nuansa hasil hasil guna, doeltreffendheid. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai hasil akibat, dalam keadaan berhasil atau sesuatu yang dapat menghasilkan atau membuahkan, mengakibatkan. 5 Dengan demikian efektivitas dimaknakan sebagai suatu usaha dilakukan untuk mencapai hasil sebesar-besarnya, dengan menggunakan waktu, energi, serta sumberdaya yang sekecil-kecilnya. 6 Para pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang yang dibidiknya. Soerjono Soekanto berbicara mengenai derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa: ”Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, 5 WJ.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1975, hlm. 16. 6 Koerniatmanto Soetoprawiro, Fungsi Hukum Administrosi Dalam Pencegahan Masalah Kemiskinan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1998, hlm. 19. 7 yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”. 7 Dalam kehidupan masyarakat akan selalu terdapat hubungan atau interaksi sosial. Dalam hubungan tersebut, ada suatu aturan sebagai pedoman yang dipatuhiditaati yang mengatur hubungan atau pergaulan unsur-unsur sosial yang ada dalam struktur masyarakat dengan bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup antar pribadi, yang meliputi ketertiban, keserasian dan ketentraman hidup. Warga masyarakat tidak akan mungkin hidup teratur tanpa hukum, karena norma-norma berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia akan keteraturan dan ketentraman secara tuntas. 8 Dalam hubungannya dengan kaedah hukum, dikenal adanya pola interaksi sosial sebagai berikut : 9 a. Pola tradisional integrated group : interaksi sosial terjadi apabila warga- warga masyarakat berperilaku atas dasar kaedah-kaedah dan nilai-nilai yang sama sebagaimana diajarkan oleh warga masyarakat lainnya. Interaksi ini tampak terutama pada masyarakat sederhana dimana para warga berperilaku menurut adat-istiadatnya. Dalam hal ini karena kaedah hukum yang berlaku sudah melembaga dalam masyarakat, kaedah-kaedah tersebut mempermudah interaksi diantaranya. b. Pola public: interaksi sosial terjadi apabila warga-warga masyarakat berperilaku atas dasar pengertian-pengertian yang sama yang diperoleh dari komunikasi langsung. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa, berlaku bagi seluruh masyarakat dalam wilayah negara. c. Pola audience: interaksi sosial terjadi apabila warga-warga masyarakat berperilaku atas dasar pengertian-pengertian yang sama yang diajarkan oleh suatu sumber secara individual, yang disebut sebagai “propagandist”. Kaedah-kaedah yang berlaku dalam suatu golongan politik sosial tertentu. 7 Soejono Soekanto, Sosiologi ; Suatu Pengantar, Rajawali Pres, Bandung, 1996, hlm. 62. 8 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 86-87. 9 Soejono Soekanto, Op Cit., hlm. 49.