Kajian ekonomi keterkaitan antara perkembangan industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional

(1)

1.1. Latar Belakang

Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi

perekonomian nasional. Dikatakan unik karena I ndonesia adalah negara

produsen sekaligus konsumen bahkan merupakan pengimpor cengkeh terbesar

di pasar cengkeh dunia yang tipis (thin market), yang hanya dapat memenuhi

maksimal seperempat dari kebutuhan nasional (Gonarsyah, 1996). Dikatakan

strategis karena komoditas ini berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja,

baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, berupa

penyerapan tenaga kerja dalam usahatani cengkeh secara keseluruhan, yang

dimulai dari kegiatan budidaya sampai dengan proses panen dan pascapanen

serta pemasaran cengkeh. Sementara itu, secara tidak langsung, melalui

penyerapan tenaga kerja, dalam keseluruhan kegiatan di dalam pabrik rokok

kretek. Selain itu, penyerapan tenaga kerja juga dalam kegiatan lain yang terkait

dengan industri rokok kretek, seperti: percetakan, pedagang pengecer maupun

petani tembakau dalam kegiatan usahatani tembakau.

Gonarsyah (1998) mengemukakan bahwa usahatani cengkeh mampu

menghidupi sekitar 6 hingga 8 juta orang dan menjadi salah satu sumber

pendapatan utama bagi sebagian besar daerah sentra produksi cengkeh. Di lain

pihak, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok I ndonesia atau Gappri (2003),

menyatakan bahwa industri rokok kretek yang merupakan industri khas

I ndonesia mampu menghidupi sekitar 18 hingga 20 juta orang dalam kegiatan

memproduksi dan memasarkan produk rokok kreteknya yang terdiri dari sigaret


(2)

Selain itu, bagi perekonomian nasional, industri rokok kretek juga

mempunyai peranan strategis karena memiliki kontribusi yang signifikan

terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), khususnya melalui

penerimaan pajak dalam negeri yang bersumber dari cukai dan pajak

penghasilan. 0 5 10 15 20 25 30

94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04

TAHUN P E NG G UNA AN P IT A CU KAI (T RI L Y U N RU P IA H)

Sumber: Gappri, 2005

Gambar 1. Penggunaan Cukai Rokok Kretek, Tahun 1994-2004

Gambar di atas menunjukkan bahwa penggunaan pita cukai rokok kretek,

selama kurun waktu tahun 1994-2004, cenderung mengalami peningkatan

sejalan dengan meningkatnya produksi rokok kretek serta searah dengan

ditingkatkannya target penerimaan negara yang bersumber dari cukai. Pada

tahun 2005, penerimaan pemerintah dari cukai mencapai Rp. 33.3 trilyun dimana

sebagian besar atau sekitar 98 persen merupakan kontribusi dari cukai hasil

tembakau, yakni sebesar Rp. 32.6 trilyun. Hal ini menunjukkan bahwa

keberadaan industri rokok kretek cukup signifikan kontribusinya terhadap

penerimaan negara (Siregar dan Suhendi, 2006). Disamping itu, pabrik rokok


(3)

terus berkembang hingga kini, tampak bahwa setelah berlangsungnya krisis

moneter pada tahun 1998, penggunaan cukai rokok kretek justru mengalami

peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan sebelum krisis, artinya industri

ini mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Malah belakangan ini, pada

tanggal 19 Mei 2005, PT. Phillip Morris, salah satu produsen rokok dunia

mengakuisisi saham PT. H.M. Sampoerna Tbk, salah satu dari 3 produsen utama

rokok kretek1.

0 50 100 150 200 250

1975 1978 1981 1984 1987 1990 19993 1996 1999 2002

TAHUN P RO DU KS I RO KO K K RE T E K (M IL Y AR BAT AN G )

SKT SKM KLB TOTAL

Sumber: Gappri, 2005

Gambar 2. Perkembangan Produksi Rokok Kretek, Tahun 1975-2004

Sementara itu, data yang kemukakan Gappri (2005), menunjukkan bahwa

dalam kurun waktu sepuluh tahun, yaitu dari tahun 1994 hingga 2004, total

produksi rokok kretek meningkat sebesar 30.6 persen. Pada tahun 1994, total

produksi masih sekitar 156.3 milyar batang, yang didominasi oleh SKM sebesar

69.2 persen, diikuti SKT sebesar 30.4 persen dan KLB sebesar 0.4 persen.

Sedangkan pada tahun 2004, produksi rokok kretek menjadi 204.2 milyar


(4)

batang, yang tetap didominasi oleh SKM sebesar 59.1 persen, diikuti SKT

sebesar 40.6 persen dan KLB sebesar 0.3 persen. Hal menarik yang tampak pada

peningkatan produksi rokok kretek ini adalah meskipun produksi rokok kretek

masih tetap didominasi oleh rokok jenis SKM namun tingkat produksinya justru

mengalami penurunan sebesar 10.1 persen, sementara produksi rokok jenis SKT

meningkat sebesar 10.2 persen dan produksi rokok jenis KLB cenderung tetap.

Pesatnya peningkatan produksi rokok kretek produksi dalam negeri,

didorong oleh dua hal, yaitu: (1) meningkatnya potensi pasar rokok kretek di

dalam negeri. Ditunjukkan oleh meningkatnya rata-rata konsumsi rokok kretek

per kapita per bulan, baik untuk daerah pedesaan maupun daerah perkotaan,

dari 2.4 batang SKT dan 4.0 batang SKM pada tahun 1990 menjadi 3.7 batang

SKT dan 6.0 SKM pada tahun 2003 dan (2) meningkatnya potensi ekspor rokok

kretek terlihat dari nilai ekspor rokok kretek. Ditunjukkan oleh meningkatnya

sumbangan devisa dari ekspor rokok kretek, dari 100 juta US$ tahun 1998, 113

juta US$ tahun 1999, 137 juta US$ tahun 2000, dan 172 juta US$ tahun 2001,

serta bertambahnya negara-negara tujuan ekspor baru yang cukup potensial

bagi rokok kretek produksi I ndonesia (BPS, 2003).

Tabel 1. Kandungan Cengkeh Dalam Rokok Kretek Yang Digunakan Pabrik Rokok Kretek

(mg/ batang) Jenis Rokok Kretek

Tahun Sigaret Kretek Tangan (SKT)

Sigaret Kretek

Mesin (SKM) Klobot (KLB)

1989 800 600 1 000

1995 640 480 880

2004 650 350 880

Sumber: Gonarsyah, 1996 ; Gappri, 2004

Meningkatnya produksi rokok kretek, secara teoritis mestinya berarti akan


(5)

utamanya karena permintaan akan cengkeh merupakan permintaan turunan

(derived demand) dari permintaan akan rokok kretek. Kebutuhan akan cengkeh

pabrik rokok kretek (PRK), yang merupakan konsumen utama cengkeh karena

menyerap sekitar 90 persen produksi cengkeh nasional, tergantung pada

besarnya kandungan cengkeh jenis-jenis rokok kretek yang diproduksinya. Rokok

jenis SKM menggunakan cengkeh lebih sedikit dibandingkan jenis SKT dan KLB.

Perkembangan penggunaan cengkeh PRK menurut jenis rokok kretek, yang

diproduksinya, dapat dilihat pada Tabel 1. Tampak bahwa terjadi penurunan

kandungan cengkeh yang cukup signifikan terutama untuk rokok jenis SKM,

sementara untuk rokok jenis SKT dan KLB kandungan cengkehnya cenderung

tidak berubah.

Dibandingkan dengan produksi rokok kretek PRK yang menunjukkan

peningkatan pesat, maka konsumsi cengkeh PRK cenderung stagnan. Dalam

periode tahun 1994 hingga 1999, konsumsi cengkeh mengalami pertumbuhan

rata-rata sebesar 1.9 persen per tahun. Sedangkan untuk periode tahun 2000

hingga 2004 pertumbuhan rata-rata tersebut mengalami levelling off hingga

hanya mencapai 0.7 persen per tahun.

Tabel 2. Konsumsi Cengkeh untuk Rokok Kretek, Tahun 1994-2004

(Ton)

Tahun Konsumsi Cengkeh Tahun Konsumsi Cengkeh

1994 95 378 2000 96 818

1995 98 703 2001 96 106

1996 92 298 2002 86 823

1997 96 777 2003 85 245

1998 99 906 2004 95 670

1999 93 410


(6)

Sementara itu, perbandingan perkembangan produksi dan konsumsi

cengkeh nasional, dapat dilihat pada Gambar 3. Tampak bahwa, perkembangan

produksi cengkeh cenderung fluktuatif bila dibandingkan dengan perkembangan

konsumsi cengkeh yang cenderung stagnan. Terjadinya fluktuasi produksi

cengkeh, terutama disebabkan oleh perilaku produksi tanaman cengkeh itu

sendiri yang mengikuti siklus empat tahunan. Produksi cengkeh mencapai

puncaknya pada saat panen raya berlangsung, setelah itu produksi akan kembali

turun drastis pada tahun berikutnya karena tanaman cengkeh dalam tahap

pemulihan, setelah itu terjadi panen kecil pada dua tahun berikutnya, dan begitu

seterusnya.

0 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000

94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04

TAHUN

VO

L

U

M

E (

T

O

N

)

PRODUKSI KONSUMSI

Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan, Gappri dan FAO (2005)

Gambar 3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Cengkeh, Tahun 1994-2004

Selain itu, gejala penurunan produksi juga disebabkan oleh kurang

intensifnya pemeliharaan tanaman di sebagian besar daerah sentra produksi

cengkeh, sebagai dampak dari rendahnya tingkat harga cengkeh pada beberapa


(7)

tanaman cengkeh yang mati karena diserang hama dan penyakit seperti bakteri

pembuluh kayu cengkeh (BPKC), cacar daun cengkeh (CDC) dan gugur daun

cengkeh (GDC). Sedangkan konsumsi cengkeh nasional dari pabrik rokok kretek

yang menguasai sebagian besar produksi cengkeh dunia, cenderung mengalami

peningkatan sejalan dengan meningkatnya produksi rokok kretek (Gonarsyah,

1998; Ditjen Perkebunan, 2000).

Tabel 3. Produksi Cengkeh Dunia, Tahun 1997-2004

(Ton) Tahun Produksi

Negara

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Asia 62 194 70 227 57 003 76 247 83 384 92 759 92 809 92 809

I ndonesia 59 194 67 177 52 903 74 047 80 684 87 909 87 909 87 909

China 300 350 400 500 500 550 600 600

Malaysia 200 200 200 200 200 200 200 200

Srilanka 2 500 2 500 3 500 1 500 2 000 4 100 4 100 4 100

Afrika 19 046 20 844 25 535 28 732 29 275 31 419 31 563 31 550

Komoro 2 000 2 294 2 438 2 582 2 725 2 869 3 013 3 000

Grenada 20 20 20 20 20 20 20 20

Kenya 40 50 70 550 550 550 550 550

Madagaskar 14 500 13 500 15 000 15 600 15 500 15 500 15 500 15 500

Tanzania 2 506 5 000 8 027 10 000 10 500 12 500 12 500 12 500

Dunia 81 204 91 071 82 538 104 979 112 659 124 178 124 372 124 359 Sumber: Food and Agriculture Organization (FAO), 2005

Produksi cengkeh I ndonesia tahun 2004 sekitar 87.9 ribu ton, sedangkan

produksi cengkeh dunia pada tahun yang sama mencapai sekitar 124.4 ribu ton

(Tabel 3). Dari tahun 2000-2004, tampak bahwa I ndonesia memberikan

kontribusi produksi cengkeh rata-rata sebesar 71 persen terhadap total produksi

dunia. Sedangkan untuk Asia, I ndonesia memberikan kontribusi produksi

rata-rata sebesar 95 persen. Dua negara lain yang cukup potensial sebagai penghasil

cengkeh adalah Madagaskar dan Tanzania (Zanzibar) yang total produksinya

mencapai sekitar 20 000 hingga 27 000 ton per tahun. Disamping itu, terdapat

enam negara sebagai produsen kecil, yaitu Komoro, Srilanka, Malaysia, China,

Grenada, Kenya dan Togo, dengan total produksi mencapai sekitar 5 000 hingga


(8)

1.2. Perumusan Masalah

Permintaan cengkeh pada hakekatnya merupakan permintaan turunan

(derived demand) dari permintaan akan rokok kretek. Dan dengan asumsi

inventori/ stok adalah konstan maka perkembangan permintaan akan rokok

kretek dapat didekati melalui perkembangan produksi rokok kretek (Gwyer, 1977

dan Gonarsyah, 1996). Secara umum, walaupun cukai yang dikenakan dan

kampanye anti rokok terus meningkat, namun sebagaimana yang dikemukakan

sebelumnya, produksi rokok kretek menunjukkan peningkatan yang signifikan

dari tahun ke tahun, terutama untuk rokok jenis SKT, dimana kandungan

cengkehnya lebih banyak daripada rokok jenis SKM. Selama kurun waktu

1994-2004, produksi rokok jenis SKT meningkat dari 30.4 persen menjadi 40.6

persen dari total produksi rokok kretek (Gappri, 2005).

Mengingat terbatasnya produksi cengkeh negara produsen lain seperti

Madagaskar dan Tanzania (Zanzibar) serta negara produsen kecil lainnya yang

hanya mampu memasok sekitar 20-25 persen dari konsumsi cengkeh PRK, maka

kebutuhan cengkehnya sangat bertumpu pada produksi domestik. Secara

teoritis, adanya peningkatan permintaan cengkeh sementara penawarannya

cenderung terbatas akan menyebabkan harga cengkeh cenderung meningkat.

Namun, harga per kilogram cengkeh di tingkat petani tidak menunjukkan

peningkatan yang signifikan. Belakangan ini, dengan diberlakukannya Keppres RI

Nomor 21 Tahun 1998 tentang Perdagangan Cengkeh, dimana cengkeh produksi

dalam negeri diperdagangkan secara bebas berdasarkan harga pasar, maka

fluktuasi harga cengkeh terjadi lagi. Pada awal pemberlakuan kebijakan ini,

rata-rata harga cengkeh meningkat hampir tiga kali lipat dari Rp. 7 420 per kg tahun


(9)

hingga berkisar antara Rp. 75 000 hingga Rp. 100 000 per kg pada Juni 2002,

namun kembali berangsur turun hingga mencapai titik terendah pada Rp. 13 500

diakhir tahun 2003 (Ditjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,

Puslitbun, dan FAO, 2004)2. Meskipun perkembangan terakhir menunjukkan

bahwa harga cengkeh per kilogram berangsur meningkat kembali, antara

Rp. 30 000 hingga Rp. 40 0003, namun Simatupang (2003) menyatakan bahwa

pada kondisi normal, anjloknya harga cengkeh semestinya tidak terjadi karena

neraca cengkeh I ndonesia masih defisit, dalam arti kebutuhan atau konsumsi

dalam negeri masih lebih besar dari pada produksi, sementara volume

perdagangan cengkeh di pasar dunia juga amat kecil. Dari perspektif nasional, ini

berarti tantangan untuk dapat meningkatkan produksi cengkeh dan menutupi

kesenjangan ini.

Uraian di atas menunjukkan bahwa antara petani cengkeh dan PRK

memiliki kesalingtergantungan yang tinggi. Di satu pihak, bagi petani cengkeh,

adanya fluktuasi harga berdampak langsung pada kegiatan usahataninya, tingkat

pendapatan serta kesejahteraannya, sehingga dibutuhkan jaminan kestabilan

harga untuk kepastian kelangsungan kegiatan usahataninya. Apalagi pemasaran

cengkehnya sangat tergantung pada tingkat kebutuhan cengkeh PRK sebagai

konsumen utama cengkeh. Di lain pihak, kelangsungan produksi rokok kretek

dari PRK, juga sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku cengkeh

produksi dalam negeri, karena relatif terbatasnya pasokan cengkeh impor.

Dengan demikian kontinuitas pasokan cengkeh yang berasal dari produksi dalam

negeri sangat dibutuhkan bagi kelangsungan proses produksi rokok kretek.

2

Koran Tempo, 10 Desember 2003


(10)

Namun kenyataannya, petani cengkeh memiliki posisi tawar-menawar yang lebih

rendah dibandingkan dengan PRK.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, melalui beberapa kebijakan

di bidang tataniaga, seperti Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 atau Keppres RI

Nomor 20 Tahun 1992, yang dalam pelaksanaannya membentuk BPPC, juga

dengan meningkatkan peran KUD sebagai lembaga tataniaga, namun hasilnya

belum sesuai dengan yang diharapkan. Padahal untuk menjamin kelangsungan

usaha masing-masing sekaligus untuk masa depan industri cengkeh dan industri

rokok kretek nasional sangat tergantung kepada kerjasama yang sinergis antara

petani cengkeh dan PRK melalui Gappri. Namun, mengapa upaya kearah ini

belum dapat terwujud? Dari hasil evaluasi terhadap pelaksanaan tataniaga

cengkeh menurut Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992, Gonarsyah et al. (1995)

menyarankan agar pemerintah membatasi kegiatan penyanggaan dengan

mengikutsertakan Gappri. Sementara itu, Husodo (2006) menyatakan bahwa

perlu diciptakan hubungan kemitraan yang adil dan harmonis antara petani dan

pabrik rokok kretek agar tercapai kesepakatan harga yang menguntungkan

semua pihak, juga perlu untuk memperkuat posisi tawar petani cengkeh.

Dari penjelasan di atas, menarik untuk dikaji:

1. Bagaimana keterkaitan antara industri cengkeh nasional dan industri rokok

kretek dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?

2. Berapa sebenarnya harga cengkeh per kilogram? Bagaimana sebenarnya

rentabilitas usahatani cengkeh? Bagaimana dengan perubahan harga

cengkeh dan kebijakan pemerintah di bidang tataniaga terhadap rentabilitas


(11)

3. Bagaimana kemungkinan adanya kerjasama antara industri cengkeh nasional

(petani cengkeh) dan industri rokok kretek (pabrik rokok kretek) dan

faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?

Beberapa penelitian terdahulu sebenarnya telah mencoba menelaah

isu-isu tersebut di atas, seperti beberapa studi berikut ini :

Studi tentang permintaan dan penawaran cengkeh dilakukan oleh Gwyer

(1976) dan Chaniago (1980). Selain itu, pernah juga dilakukan oleh Wachyutomo

(1996), yang menggunakan pendekatan ekonometrik untuk menganalisis

dampak kebijakan pemerintah dalam percengkehan nasional dan hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa satu-satunya kebijakan yang berdampak pada

peningkatan surplus dan penerimaan petani produsen cengkeh serta produsen

sigaret kretek adalah kebijakan kenaikan harga cengkeh di tingkat petani.

Sementara itu, penelitian yang mengevaluasi perkembangan serta

pelaksanaan tataniaga cengkeh di Sulawesi Utara oleh Rumondor (1993) dan

secara nasional, dilakukan oleh Gonarsyah et al. (1995), hasil penelitiannya

antara lain menyarankan bahwa perlu dibatasi kegiatan penyanggaan oleh BPPC

dengan mengikut sertakan Gappri.

Dalam kaitannya dengan usahatani cengkeh di Sulawesi Utara, Dumais

et al. (2002) mengevaluasi dampak kebijakan pemerintah apabila diterapkan

suatu kebijakan pemerintah daerah berupa pajak terhadap komoditas tersebut.

Namun, masih menggunakan metode analisis single-period PAM.

Sedangkan penelitian mengenai industri rokok kretek, pernah dilakukan

oleh Bird (1999) yang menguji aspek struktur pasarnya, Sumarno dan Kuncoro


(12)

mencoba menggambarkan potret industri rokok I ndonesia, serta Tjahjaprijadi

dan I ndarto (2003) yang menganalisis pola konsumsi rokok kretek.

Sebagaimana penjelasan di atas, tampak bahwa studi-studi terdahulu,

pendekatannya secara parsial, dan hasilnya relatif kurang memuaskan, dalam

arti temuan yang diperoleh belum dapat memperbaiki industri percengkehan

nasional. Dengan menganalisisnya secara utuh dan dengan menggunakan

pendekatan ekonometrik, matriks analisis kebijakan (PAM), dan teori permainan

(game theory), diharapkan hasil studi ini dapat memberikan masukan berharga

bagi perkembangan percengkehan nasional.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka secara

umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keterkaitan antara perkembangan

industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional. Secara spesifik, bertujuan

untuk :

1. Menganalisis keterkaitan antara industri cengkeh nasional dan industri rokok

kretek dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya

2. Menganalisis perkembangan sistem produksi dan tataniaga dalam usahatani

cengkeh di Sulawesi Utara.

3. Menganalisis kemungkinan kerjasama antara industri cengkeh nasional

(petani cengkeh) dan industri rokok kretek (pabrik rokok kretek).

Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber

informasi tentang perkembangan percengkehan nasional. Dan secara khusus,

dapat menjadi bahan masukan serta pertimbangan bagi pemerintah dalam


(13)

nasional. Selain itu, juga sebagai bahan masukan bagi berbagai pihak lainnya

yang terkait dalam permasalahan percengkehan nasional, lebih khusus lagi bagi

upaya peningkatan kesejahteraan petani cengkeh. Serta sebagai bahan rujukan

untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah percengkehan nasional dengan dua

komponen utamanya yaitu industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional.

Untuk menganalisis hubungan antara industri cengkeh dan industri rokok

kretek nasional serta analisis usahatani cengkeh, digunakan data primer dan data

sekunder yang dipublikasikan. Lokasi penelitian untuk usahatani cengkeh,

dibatasi pada salah satu daerah sentra produksi cengkeh yang potensial di

I ndonesia yakni Provinsi Sulawesi Utara, dan lokasi ini ditentukan secara sengaja

supaya dapat diperoleh informasi yang relatif akurat mengenai pertanaman

cengkeh.

Sedangkan, untuk industri rokok kretek, informasi yang bisa ditelusuri

relatif terbatas karena hanya dapat diperoleh melalui publikasi Gappri serta

publikasi dari berbagai media lainnya yang tersedia karena adanya hambatan

struktural sehingga mengalami kesulitan untuk mengakses secara langsung ke

pabrik rokok kretek.

1.5. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini :

1. Keterbatasan data terutama data yang berasal dari industri rokok kretek,


(14)

serta data biaya produksi rokok kretek menurut jenis rokok kretek yang

diproduksi oleh pabrik rokok kretek.

2. Keterbatasan data deret waktu percengkehan nasional yang memadai

sehingga tidak memungkinkan penulis untuk menggunakan pendekatan lain

selain yang digunakan dalam penelitian ini, misalnya pendekatan

cointegration dan vector error corection model (VECM).

3. Keterbatasan data harga output dan input pada analisis multi-period PAM


(15)

Pada bagian ini, akan dipaparkan tinjauan perkembangan pertanaman

cengkeh di I ndonesia, tinjauan perkembangan kebijakan dalam percengkehan

nasional, serta perkembangan industri cengkeh dan industri rokok kretek

nasional.

2.1. Tinjauan Perkembangan Pertanaman Cengkeh di I ndonesia 2.1.1. Sejarah Singkat Penyebaran Tanaman Cengkeh

Hingga saat ini, belum ada kesepakatan di antara para ahli botani tentang

asal tanaman cengkeh. Cosmos I ndocoplantus, seorang biarawan Mesir pada

tahun 547, secara tegas menyatakan bahwa cengkeh berasal dari Tiongkok dan

Thailand. Tetapi menurut Nicolo Conti seorang saudagar Venesia, orang pertama

yang membuka tabir rahasia asal rempah-rempah termasuk cengkeh, adalah

daerah Banda di I ndonesia. Pendapat ini didukung oleh banyak ahli yang

menyatakan bahwa cengkeh berasal dari gugusan pulau-pulau Ternate, Tidore,

Roti, Makian dan Bacan di kepulauan Maluku. Terlepas dari hal itu, yang jelas

hingga abad ke delapan belas, kepulauan Maluku merupakan satu-satunya

produsen cengkeh terbesar di dunia. Di daerah itu pula ditemukan tanaman

cengkeh tertua di dunia, tepatnya di Pulau Ternate.

Selanjutnya, penyebaran tanaman cengkeh ke kepulauan lainnya di

I ndonesia dimulai sejak tahun 1798, ketika I nggris menduduki Bengkulu dan ini

merupakan penanaman pertama cengkeh di luar kepulauan Maluku. Selanjutnya

penanaman cengkeh di Sumatera Barat, pada tahun 1878 yang menyebar ke


(16)

1870. Sementara itu, penyebaran cengkeh ke luar negeri, terjadi pada saat VOC

memonopoli perdagangan cengkeh di Maluku, bibit tanaman cengkeh

diselundupkan keluar pulau Maluku untuk dibudidayakan di Malagasi dan

Tanzania oleh pedagang Arab. Di Zanzibar cengkeh dimuliakan oleh ahli-ahli

Perancis dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia, bahkan kembali lagi ke tanah

asalnya yaitu I ndonesia. Saat ini, tanaman cengkeh telah menyebar di hampir

seluruh I ndonesia bahkan dunia (Dhalimi, 1997; Najiyati dan Danarti, 2003).

2.1.2. Tipe, Karakteristik dan Aspek I klim Tanaman Cengkeh

Hadipoentyanty (1997), mengemukakan bahwa cengkeh merupakan

tanaman asli I ndonesia, termasuk famili Myriaceae yang mempunyai ± 3 000

jenis tersebar di daerah tropik dan subtropik. Eugenia merupakan genera yang

terbesar dengan ± 2 800 jenis yang tersebar luas di daerah tropik dan subtropik

di Amerika, Asia, Afrika dan Australia. Akan tetapi beberapa ahli memasukkannya

ke dalam Syzygium. Adapun sistematiknya adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Klasis : Dicotyledoneae

Sub klasis : Dialypetales

Bangsa : Myrtales

Suku : Myrtaceae

Marga : Eugenia/ Syzygium

Jenis : Eugenia aromaticum L.


(17)

Secara umum, tanaman cengkeh memiliki karakteristik seperti berikut ini,

tanaman ini berbentuk pohon dan tingginya dapat mencapai 15-40 meter,

dengan kanopi berbentuk piramid, silindris dan bulat, tergantung pada

varietasnya. Memiliki akar tunggang yang mampu mencapai kedalaman hingga

tujuh meter. Batangnya berkayu keras, tumbuh lurus ke atas, membentuk

percabangan dengan anak-anak cabang yang tumbuh miring ke atas dengan

sudut kira-kira 45 derajat pada pangkalnya. Daun letaknya berhadap-hadapan

dengan ranting dan beraroma, berukuran panjang 7-13 cm dan lebar 3-6 cm,

sementara bentuknya lonjong dengan pangkal daun yang runcing sampai tumpul

dan ujungnya biasanya runcing. Cengkeh mempunyai sistem pembungaan

terminal, berbentuk tandan yang terdiri dari 5-25 bunga dan bersifat

hermaprodit, ketika matang buah tersebut berwarna ungu merah kehitaman,

dengan daging buah relatif tebal, berbentuk bulat telur sampai lonjong dan

berukuran panjang 2.5-3.5 cm dengan diameter 1-2 cm. Bijinya berbentuk bulat

telur sampai lonjong dan mempunyai dua keping lembaga (dicotyl).

Cengkeh di I ndonesia bermacam-macam tipe dan memiliki kriteria yang

berbeda pula. Menurut Rahayu, terdapat enam tipe cengkeh yang berada di

kebun koleksi Sukamantri dan koleksi Balittro di Cimanggu yaitu Zanzibar,

Sikotok, Simenir, Siputih, Ambon dan Sihutan. Sementara Hadiwijaya

membedakan tipe cengkeh menjadi tiga golongan yaitu Zanzibar, Sikotok dan

Siputih, yang dikenal dan banyak dibudidayakan di I ndonesia.

Dilihat dari persyaratan tumbuh, tanaman cengkeh dapat tumbuh dengan

baik pada 200 lintang utara dan lintang selatan dan masih bisa tumbuh di

daerah-daerah dengan curah hujan sampai dengan 6 000 mm per tahun.


(18)

cukup merata. Untuk petumbuhannya, curah hujan optimal bagi tanaman

cengkeh berkisar antara 1 500 hingga 4 500 mm per tahun. Suhu optimal yang

dikehendaki tanaman ini adalah 22-330 C, dengan suhu siang hari tidak lebih dari

340C. Kelembaban nisbi antara 60-80 persen. Tanaman ini juga dapat

dibudidayakan di daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, namun lebih

cocok pada ketinggian 0-900 m di atas permukaan laut (dpl), dengan ketinggian

optimum pada 300-600 m dpl. Tanaman ini akan lebih produktif bila ditanam di

dataran rendah, sehubungan dengan suhu udara, dimana semakin tinggi tempat

suhu udaranya semakin rendah.

Selain iklim, faktor tanah juga memegang peranan penting pada

pertumbuhan dan produksi cengkeh, terutama sifat fisiknya. Jenis tanah yang

baik untuk tanaman ini adalah latosol, andosol dan podsolik merah. Tanaman

cengkeh menyukai tanah gembur dengan drainase yang baik. Derajat keasaman

(pH) yang cocok untuk tanaman cengkeh adalah 5.5-5.6. Kondisi tanah yang

dikehendaki adalah remah, drainase dan aerase yang baik, kedalaman air tanah

sekitar 3 meter serta tidak terdapat lapisan tanah yang keras (Ruhnayat dan

Wahid, 1997; Siregar dan Suhendi 2006).

2.2. Tinjauan Kebijakan Percengkehan Nasional 2.2.1. Kebijakan di Bidang Produksi

Hadiwijaya (1992) menyatakan bahwa awal mula adanya kebijakan di

bidang produksi, dilatarbelakangi oleh tingginya impor cengkeh I ndonesia pada

tahun 1941/ 1942 dari Zanzibar, Pemba dan Madagaskar yang merupakan

produsen cengkeh terbesar di dunia saat itu. Hal ini menyebabkan, hingga tahun


(19)

tanaman cengkehnya, melalui peningkatan luas areal pertanaman cengkeh

(ekstensifikasi) maupun peningkatan sistem penanaman dan pemeliharaan

tanaman cengkeh (intensifikasi).

Sampai tahun 1958/ 1959, I ndonesia tidak memiliki perkebunan besar

cengkeh hingga Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek I ndonesia (Gappri)

memelopori dan membiayai Pilot Project Perkebunan Besar Cengkeh di

perkebunan Brangah Banaran Jawa Timur seluas 550 hektar, Selokaton Jawa

Tengah seluas 300 hektar, serta Pasir Madang dan Jonggol Jawa Barat

masing-masing seluas 1 700 hektar dan 300 hektar. Namun, pada tahun 1963/ 1964

proyek perkebunan di Jonggol Jawa Barat dihentikan karena ada gangguan dari

BTI . Pilot Project Perkebunan Besar Cengkeh tersebut menanam cengkeh tipe

Zanzibar suatu tipe cengkeh unggul hasil seleksi Prof. Tojib Hadiwijaya yang

merupakan hasil silangan antara tipe Bunga-lawang-kiri dengan tipe sikotok.

Kemudian mulai tahun 1969, perkebunan Brangah Banaran, Pasir Madang dan

Selokaton telah berfungsi sebagai Kebun I nduk Pilihan dan benih unggulnya

disebarluaskan ke seluruh I ndonesia.

Sejak tahun 1969 berbagai kegiatan dalam pengembangan cengkeh telah

dilakukan. Selama periode Pelita I hingga Pelita I I I telah dilakukan kegiatan

penyebaran benih cengkeh ke seluruh propinsi di I ndonesia kecuali propinsi DKI

Jakarta dan Timor Timur. Kegiatan tersebut merupakan pola parsial sehingga

biaya penanaman cengkeh diluar penyediaan benih tersebut ditanggung oleh

petani. Hingga Pelita I V kegiatan penyediaan benih masih tetap dilakukan oleh

berbagai propinsi dengan sumber dananya dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja daerah (APBD). Selanjutnya, pada periode tahun 1976 hingga 1982 telah


(20)

Masal yang paketnya disalurkan baik berupa uang tunai untuk pemeliharaan

kebun dan berupa pupuk dan pestisida untuk sarana produksi. Kegiatan ini

dilakukan oleh UPP I ntensifikasi Cengkeh di 9 propinsi, yaitu : D.I . Aceh,

Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku (Soeharjan, 1989).

Selain itu, dilakukan kegiatan pembinaan dan penyuluhan kepada petani

secara terus menerus, juga dilakukan berbagai kegiatan dalam Proyek Monitoring

Pemantapan Produksi Cengkeh dimana dananya dari bantuan presiden

(BANPRES). Proyek tersebut dilakukan di 25 propinsi, dan kegiatannya adalah

melakukan monitoring mengenai berbagai aspek produksi cengkeh di lokasi

tersebut, serta pembuatan kebun percontohan yaitu kebun milik petani yang

diberikan sarana produksi sehingga dapat dicontoh oleh para petani disekitarnya.

Hasil dari berbagai kegiatan tersebut adalah terjadi peningkatan luas areal

pertanaman cengkeh dan produksi cengkeh. Setelah tercapainya swa sembada

cengkeh pada tahun 1983 dan 1984, hingga kini tidak ada lagi paket kebijakan

pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang

menunjang peningkatan luas areal pertanaman cengkeh maupun produksi dan

produktivitas cengkeh cengkeh.

2.2.2. Kebijakan di Bidang Tata Niaga

Dalam tata niaga cengkeh produksi dalam negeri maupun cengkeh impor,

banyak kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah, masing-masing

kebijakan memiliki dasar pertimbangan tersendiri pula. Berbagai paket kebijakan

tersebut dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden Republik I ndonesia


(21)

terkait (Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, 1991 dan 1992; Gonarsyah, 1995).

Berikut ini akan diuraikan tiga kebijakan utama yang dianggap penting dalam

sejarah tata niaga cengkeh:

2.2.2.1. Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980

Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 yang ditetapkan tanggal 15 Januari

1980 tentang Tata Niaga Cengkeh Produksi Dalam Negeri bertujuan, guna

mengatasi permasalahan yang timbul akibat tidak berjalannya kebijakan

sebelumnya yaitu Keppres RI Nomor 50 Tahun 1976 dan Keppres RI Nomor 58

Tahun 1977. Beberapa butir pokok kebijakan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk melindungi petani produsen cengkeh maka pembelian/ pengumpulan

cengkeh dari petani dilakukan hanya oleh KUD yang telah diseleksi.

2. Untuk menjamin kelangsungan pengadaan dan kemantapan harga cengkeh

maka semua cengkeh hasil produksi dalam negeri diarahkan terutama untuk

memenuhi kebutuhan bahan baku industri rokok kretek.

3. Cengkeh yang di antar pulaukan dikenakan Sumbangan Rehabilitasi Cengkeh

(SRC) sebesar Rp. 500 per kg yang keseluruhannya diserahkan kepada

Pemerintah Daerah yang bersangkutan dan selanjutnya penggunaannya

diutamakan untuk meningkatkan produksi cengkeh di daerah-daerah

tersebut.

Selanjutnya, sehubungan dengan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 maka

diterbitkan pula beberapa peraturan/ ketentuan pemerintah dari Departemen

yang terkait, sebagai berikut:

1. Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.28/ KP/ I / 1980


(22)

kemudian diubah menjadi Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi

No.46/ Kp/ XI / 1982.

2. Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.29/ Kp/ I / 1980

tentang Pembentukan Tim Teknis Tingkat I untuk Pengadaan Cengkeh

Produksi Dalam Negeri, yang kemudian diubah menjadi Keputusan Menteri

Perdagangan dan Koperasi No.267/ Kp/ VI / 1980.

3. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.74a/ Kp/ I V/ 1987 tentang

Penetapan Harga Dasar Lelang Cengkeh Produksi Dalam Negeri.

4. Surat Menteri Perdagangan No.558/ M/ XI I / 1981 tentang Penunjukkan PT

(Persero) Kerta Niaga Sebagai pemegang Stock Nasional Cengkeh Dalam

Negeri.

5. I nstruksi Bersama Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No.

01/ DAGRI / I NS/ I V/ 1987 dan Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi No.

01/ I NS/ BUK/ I V/ 1987 tanggal 4 April 1987 tentang Penyempurnaan petunjuk

Teknis Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh menurut Keppres No.8 Tahun 1980.

Tata niaga cengkeh dengan pola lelang ini diberlakukan di sembilan

daerah sentra produksi cengkeh nasional, yaitu: D.I Aceh, Sumatera Utara,

Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Utara, dan Maluku. Dalam pelaksanaan pola lelang tersebut, lembaga yang

terlibat adalah Koperasi Unit Desa (KUD), Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD),

PT (Persero) Sucofindo, Pedagang Antar Pulau (PAP), Pedagang Perantara, PT

(Persero) Kerta Niaga, dan Bank Rakyat I ndonesia (BRI ).

Secara ringkas, mekanisme tata niaga sebagaimana yang ditunjukkan

pada Gambar 4 adalah petani cengkeh dapat menjual hasil produksinya melalui


(23)

cengkeh petani dilakukan melalui KUD dengan harga dasar sebesar Rp. 6 500 per

kg cengkeh dengan kadar air 14 persen dan kadar kotor 5 persen. Untuk

kegiatan pembelian ini, KUD memperoleh fasilitas kredit dari BRI dan cengkeh

hasil pembeliannya dikumpulkan ke PUSKUD untuk dilelang yang diikuti oleh

pedagang antar pulau dan PT (Persero) Kerta Niaga.

Gambar 4. Sistem Tata Niaga Cengkeh Menurut Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980

Ada pemenang

lelang Penalti: 5%

Harga dasar/ kg SRC: Rp.510/ kg

Fee: 1% X harga dasar/ kg SRC: Rp.500/ kg

Petani

Pedagang Perantara

KUD

LELANG

Kredit Perbankan

Penelitian Mutu oleh PT(Persero) Sucofindo

Tidak ada pemenang lelang

Pedagang Antar Pulau

PT (Persero) Kerta Niaga

PRK Konsumen Lain

PUSKUD Badan Pelaksana


(24)

Apabila harga lelang di atas harga dasar maka PAP dapat melakukan pembelian,

tapi bila di bawah harga dasar maka PT (Persero) Kerta Niaga wajib membeli

sesuai dengan harga dasar. Baik PAP maupun PT (Persero) Kerta Niaga

dikenakan fee lelang sebesar 1 persen dari harga dasar dan dana SRC sebesar

Rp. 500 per kg, selanjutnya mereka dapat menjual cengkeh yang dibelinya

kepada PRK ataupun konsumen lainnya. Sedangkan, melalui jalur non lelang,

petani menjual cengkehnya ke padagang perantara yang kemudian menjualnya

ke PAP. Karena tidak melalui lelang, PAP dikenakan penalty sebesar 5 persen dari

harga dasar cengkeh dan SRC sebesar Rp. 510 per kg. Selanjutnya PAP dapat

menjual cengkeh yang dibelinya tersebut ke PRK atau konsumen lainnya.

Kebijakan ini pada kenyataannya tidak dapat berjalan sebagaimana yang

diharapkan kecuali terjaminnya penyediaan cengkeh bagi PRK karena harga yang

diterima petani turun drastis, hal ini antara lain disebabkan:

1. PT (Persero) Kerta Niaga tidak dapat melakukan fungsi penyanggaan dengan

baik karena keterbatasan dana.

2. Dana SRC tidak digunakan untuk rehabilitasi/ peningkatan produksi cengkeh

tapi digunakan untuk membangun infrastruktur seperti: jalan, jembatan atau

gedung-gedung pemerintahan.

3. Pengenaan pinalti tidak mencapai sasaran.

Untuk lebih menyempurnakan lagi pelaksanaan tata niaga cengkeh dalam

negeri maka pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan untuk melengkapi

Keppres RI No.8 Tahun 1980, sebagai berikut:

1. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.306/ KP/ XI I / 1990 tentang


(25)

2. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.307/ KP/ XI I / 1990 tentang

Pembentukan Badan Cengkeh Nasional (BCN).

3. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.308/ KP/ XI I / 1990 tentang

Penunjukkan PT Sucofindo sebagai Surveyor Standar Mutu dan Berat

Cengkeh yang Diperdagangkan.

4. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.23/ KP/ I / 1991 tentang

Penetapan Harga Dasar Cengkeh, Harga Pembelian Cengkeh Dari Petani,

Harga Pembelian Cengkeh dari Petani, Harga Pembelian Cengkeh dari KUD,

dan Harga Penyerahan BPPC.

5. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.125/ KP/ V/ 1991 tentang

Penetapan Cengkeh Sebagai Barang dalam Pengawasan.

6. Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan RI No.307/ KPB/ XI / 91 dan

Menteri Keuangan RI No.1180/ KMK.00/ 1991 tentang Pengkaitan Penyerahan

Cengkeh dengan Pemesanan Pita Cukai.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor

306/ KP/ XI I / 1990, tata niaga cengkeh dilaksanakan di empat belas daerah sentra

produksi cengkeh, yaitu: D.I Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu,

Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi

Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Maluku.

Perubahan penting dari Keppres ini dibandingkan sebelumnya adalah

dibentuknya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), suatu lembaga/ badan yang dibentuk atas dasar usaha bersama yang anggotanya

terdiri dari unsur Koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Swasta,


(26)

kegiatan pembelian, penyanggaan, penjualan cengkeh dan stabilisasi harga cengkeh di tingkat petani.

Kebijakan ini pada kenyataannya tidak dapat berjalan sebagaimana yang

diharapkan, antara lain disebabkan:

1. Pembelian cengkeh oleh PRK tidak berjalan lancar karena ternyata PRK

memiliki stok cengkeh yang cukup besar.

2. Harga pembelian BPPC yang dianggap terlalu mahal.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah menetapkan Keputusan

Bersama Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan Nomor 307/ Kbp/ XI / 91 dan

Nomor 1180/ KMK.00/ 1991 tentang Pengkaitan Pembelian Cengkeh dengan

Pemesanan Pita Cukai. Namun, upaya melalui kebijakan ini pada awalnya cukup

efektif, namun dalam perkembangannya kebijakan inipun tidak berhasil

mengatasi permasalahan karena peningkatan permintaan cengkeh oleh PRK tidak

sebesar peningkatan produksi sehingga terjadi kelebihan pasokan yang harus

disangga BPPC.

2.2.2.2. Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992

Diterbitkannya Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992 bertujuan untuk

menyempurnakan dan mengganti Keppres RI Nomor 8 tahun 1980. Butir pokok

dari kebijakan ini adalah: terhadap penjualan cengkeh oleh badan penyangga

kepada pabrik rokok kretek atau konsumen lainnya dikenakan Sumbangan

Diversifikasi Tanaman Cengkeh (SDTC) yang besarnya Rp. 150 untuk setiap

kilogram. Selanjutnya, SDTC diserahkan kepada Pemerintah Daerah penghasil

cengkeh yang bersangkutan untuk digunakan dalam melaksanakan diversifikasi


(27)

tanaman cengkeh disusun oleh Pemerintah Daerah berdasarkan petunjuk

Departemen Pertanian. Yang dimaksud dengan diversifikasi tanaman cengkeh

adalah usaha penganekaragaman pada suatu bidang areal pertanaman cengkeh,

sedangkan konversi tanaman cengkeh adalah usaha untuk menggantikan

tanaman cengkeh dengan tanaman lain. Gambar 5 di bawah ini menjelaskan

mekanisme tataniaga berdasarkan kebijakan tataniaga tersebut di atas.

Gambar 5. Sistem Tata Niaga Cengkeh Menurut Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992

Untuk melengkapi pelaksanaan Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992, maka

pemerintah mengeluarkan beberapa paket kebijakan, sebagai berikut:

BPPC STOK

PRK Konsumen Lain

Pemasaran

Pengadaan Petani

PUSKUD/ Perwakilan

BPPC KUD

I NKUD

BANK


(28)

1. I nstruksi Presiden RI No.1 Tahun 1992 tentang Harga Dasar Pembelian

Cengkeh oleh Koperasi Unit Desa dari Petani Cengkeh.

2. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.91/ KP/ I V/ 92 tentang

Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri.

3. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.92/ KP/ I V/ 92 tentang Harga

Pembelian Cengkeh dari Petani, Harga Pembelian Cengkeh dari KUD dan

Harga Penyerahan Cengkeh BPPC.

4. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.93/ KP/ I V/ 92 tentang Badan

Cengkeh Nasinal (BCN).

5. Surat Keputusan Menteri Koperasi RI No.808/ KPTS/ M/ I V/ 1992 tentang

Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri oleh Koperasi

Unit Desa.

6. Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No.248/ Kpts/ M/ I V/ 92 tentang Petunjuk

Diversifikasi dan Konversi Tanaman Cengkeh.

7. Surat Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri

No.03/ DAGRI / KPB/ I V/ 92 dan Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi dan

No.05/ BUK/ SKB/ I V/ 92 tentang Pelaksanaan Teknis Tata Niaga Cengkeh Hasil

Produksi Dalam Negeri.

8. Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan RI No.221/ kpb/ I X/ 94 dan

Menteri Keuangan RI No.475/ KMK.05/ 94 tentang Pengkaitan Penyerahan

Cengkeh dengan Pemesanan Pita Cukai.

9. Surat Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil RI No.282/ M/ X/ 94

tentang Pengembalian SWKP Cengkeh Tahun 1994.

10.Surat Direktur Jenderal Pembinaan Koperasi Pedesaan No.120/ PKD/ X/ 94


(29)

2.2.2.3. Keppres RI Nomor 21 Tahun 1998

Pada tahun 1998, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru berkaitan

dengan tata niaga cengkeh yang dituangkan dalam Keppres RI Nomor 12 Tahun

1998 tentang Perdagangan Cengkeh. Terjadi perubahan yang sangat besar

dalam mekanisme tata niaga cengkeh dalam negeri karena Pemerintah

melepaskan intervensinya dengan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme

pasar. Dasar pertimbangannya adalah untuk menciptakan perdagangan cengkeh

yang berorientasi pasar dan memberikan peluang yang lebih menguntungkan

bagi petani serta terjaminnya pasokan cengkeh bagi industri rokok kretek.

Terdapat dua butir pokok dari kebijakan tataniaga ini, yakni:

1. Petani dapat menjual cengkeh kepada dan pedagang dapat membeli cengkeh

dari pihak manapun secara bebas berdasarkan harga pasar.

2. Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh wajib menyelesaikan semua hal

yang menyangkut kegiatannya selambat-lambatnya sampai dengan 30 Juni

1998. Terhitung mulai 30 Juni 1998, Badan Penyangga dan Pemasaran

Cengkeh dibubarkan.

Sebagai peraturan pelaksanaannya, ditetapkanlah Surat Keputusan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 22/ MPP/ Kep/ 1/ 1998 tentang

Pedoman Pelaksanaan Perdagangan Cengkeh.

2.2.3. Kebijakan di Bidang I mpor

Kebijakan di bidang impor cengkeh, diatur melalui Surat Keputusan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI , sebagai berikut:

1. S.K Menperindag RI No.25/ MPP/ Kep/ 11/ 1997 tentang Perubahan Keputusan


(30)

Barang Yang Diatur Tata Niaga I mpornya Sebagaimana telah diubah dengan

Kepmenperindag No.406/ MPP/ Kep/ 11/ 1997. Komoditas cengkeh termasuk

dalam daftar barang yang diatur tata niaga impornya.

2. SK Menperindag RI No.528/ MPP/ Kep/ 7/ 2002 tentang Ketentuan I mpor

Cengkeh. Sebagai dasar pertimbangannya adalah dalam rangka

mengantisipasi lonjakan impor cengkeh yang mengakibatkan terjadinya

penurunan harga cengkeh dan pendapatan petani cengkeh di dalam negeri,

dan untuk meningkatkan kesejahteraan petani cengkeh dengan tetap

memperhatikan kepentingan industri pengguna cengkeh.

Tarif impor yang dikenakan untuk komoditas cengkeh saat ini adalah sebesar 5

persen.

2.2.4. Kebijakan di Bidang Cukai Rokok Kretek

Sebagaimana diketahui, penerimaan dari cukai rokok kretek merupakan

salah satu sumber penerimaan pemerintah yang sangat besar dan penetapan

tarif cukai rokok ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan.

2.2.4.1. Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.597/ KMK.05/ 2001

Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 597/ KMK.05/ 2001 tentang

Penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau tersebut, kemudian

direvisi melalui Surat Keputusan a.n. Menteri Keuangan RI Dirjen Bea Cukai

Nomor 609a/ KMK.04/ 2001, tampak pada Tabel 4. Pada intinya, perubahan

terjadi pada penurunan batasan harga jual eceran terutama pada sigaret kretek

mesin (SKM), juga terjadi penurunan tarif cukai untuk kelompok pengusaha

menengah, sementara pengelompokkan pengusaha pabrik rokok juga mengalami


(31)

Tabel 4. Tarif Cukai Rokok Kretek Berdasarkan Surat Keputusan a.n. Menteri Keuangan Dirjen Bea Cukai No.609a/ KMK.04/ 2001

Batasan HJE Jenis Rokok Kretek Pengusaha Pabrik Produksi Dalam

Satu Tahun Minimum Per Batang/ Gram Maksimum Per Batang/ Gram Tarif Cukai

Besar Lebih dari 2

milyar batang Rp. 270.00 Bebas 40%

Menengah

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 270.00 Bebas 31%

Sigaret Kretek Mesin (SKM)

Kecil Tidak melebihi

500 juta batang Rp. 270.00 Bebas 26%

Besar Lebih dari 2

milyar batang Rp. 225.00 Bebas 20%

Menengah

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 225.00 Bebas 12%

Kecil Tidak melebihi

500 juta batang Rp. 225.00 Bebas 8% Sigaret Kretek Tangan (SKT) Kecil Sekali

Tidak Melebihi 6

juta batang Rp. 175.00 Rp. 220.00 4%

Besar Lebih dari 2

milyar batang Rp. 125.00 Bebas 8%

Menengah

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 125.00 Bebas 8%

Kecil Tidak melebihi

500 juta batang Rp. 125.00 Bebas 8% Klobot

(KLB)

Kecil Sekali

Tidak Melebihi 6

juta batang Rp. 100.00 Rp. 125.00 4%

Sumber: Departemen Keuangan, 2001

2.2.4.2. Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.449/ KMK.04/ 2002

Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 449/ KMK.04/ 2002 ini juga

mengatur tentang Penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau.

Tabel 5 menunjukkan bahwa terjadi beberapa perubahan mendasar

dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya, antara lain: (1) pengelompokkan


(32)

peningkatan harga jual eceran minimum dan tidak ada lagi harga maksimum,

dan (3) terjadi peningkatan tarif cukai.

Tabel 5. Tarif Cukai Rokok Kretek Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 449/ KMK.04/ 2002

Jenis Rokok Kretek

Golongan Pengusahaan

Pabrik

Produksi Dalam Satu Tahun HJE Minimum Per Batang/ Gram Tarif Cukai

I Lebih dari 2 milyar

batang Rp. 400.00 40%

I I

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 330.00 36% Sigaret

Kretek Mesin (SKM)

I I I Tidak melebihi 500 juta

batang Rp. 320.00 26%

I Lebih dari 2 milyar

batang Rp. 340.00 22%

I I

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 280.00 16%

I I I A Tidak melebihi 500 juta

batang Rp. 270.00 8%

Sigaret Kretek Tangan

(SKT)

I I I B Tidak Melebihi 6 juta

batang Rp. 200.00 4%

I Lebih dari 6 juta

batang Rp. 150.00 8%

Klobot (KLB)

I I Tidak lebih dari 6 juta

batang Rp. 125.00 4%

Sumber: Departemen Keuangan, 2002

2.2.4.3. Peraturan Menteri Keuangan RI No. 17/ PMK.04/ 2006

Peraturan yang dikeluarkan Kementerian Keuangan Republik I ndonesia

No.17/ PMK.04/ 2006 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan

No.43/ PMK.04/ 2005, juga mengatur tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif

Cukai Hasil Tembakau. Penjabaran lebih lanjut dari peraturan tersebut di atas

dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini, dan kebijakan ini yang berlaku hingga saat


(33)

Tabel 6. Tarif Cukai Rokok Kretek Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 17/ PMK.04/ 2006

Jenis Rokok Kretek

Golongan Pengusahaan

Pabrik

Produksi Dalam Satu Tahun HJE Minimum Per Batang/ Gram Tarif Cukai

I Lebih dari 2 milyar

batang Rp. 510.00 40%

I I

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 420.00 36% Sigaret

Kretek Mesin (SKM)

I I I Tidak melebihi 500 juta

batang Rp. 410.00 26%

I Lebih dari 2 milyar

batang Rp. 440.00 22%

I I

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 365.00 16%

I I I A Tidak melebihi 500 juta

batang Rp. 255.00 8%

Sigaret Kretek Tangan

(SKT)

I I I B Tidak Melebihi 6 juta

batang Rp. 200.00 4%

I Lebih dari 6 juta

batang Rp. 200.00 8%

Klobot (KLB)

I I Tidak lebih dari 6 juta

batang Rp. 165.00 4%

Sumber: Departemen Keuangan, 2006

2.2.5. Kebijakan di Bidang Kesehatan

Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,

maka pemerintah perlu mengatur tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan

seperti yang telah dituangkan dalam beberapa peraturan, berikut:

2.2.5.1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 81 Tahun 1999

Peraturan Pemerintah (PP) yang ditetapkan tanggal 5 Oktober 1999 ini

mengatur tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Dasar pertimbangannya

adalah: rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan


(34)

itu diperlukan berbagai kegiatan pengamanan rokok bagi kesehatan. Beberapa

hal penting yang diatur adalah:

1. Kadar kandungan nikotin dan tar

Kadar kandungan nikotin dan tar pada setiap batang rokok yang beredar

di wilayah I ndonesia tidak boleh melebihi kadar kandungan nikotin 1,5 mg dan

kadar kandungan tar 20 mg.

2. Persyaratan produksi dan penjualan rokok

Setiap orang yang memproduksi rokok wajib melakukan pemeriksaan

kadar kandungan nikotin dan tar pada setiap hasil produksinya, wajib

mencantumkan keterangan tentang kadar kandungan nikotin dan tar pada Label

dengan penempatan yang jelas dan mudah dibaca, wajib mencantuman kode

produksi pada setiap kemasan rokok, dilarang menggunakan bahan tambahan

dalam proses produksi yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan.

3. Persyaratan iklan dan promosi rokok

I klan dan promosi rokok hanya dapat dilakukan oleh setiap orang yang

memproduksi rokok dan atau yang memasukkan rokok ke dalam wilayah

I ndonesia. Materi iklan yang dilarang adalah: (a) merangsang atau menyarankan

orang untuk merokok, (b) menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok

memberikan manfaat bagi kesehatan, (c) memperagakan atau menggambarkan

dalam bentuk gambar, tulisan atau gabungan keduanya, rokok atau orang

sedang merokok atau mengarah pada orang yang sedang merokok, (d) ditujukan

terhadap atau menampilkan dalam bentuk gambar atau tulisan anak dan atau

wanita hamil, dan (e) mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah


(35)

dalam wilayah I ndonesia dilarang melakukan promosi dengan memberikan

secara cuma-cuma atau hadiah berupa rokok atau produk lainnya dimana

dicantumkan bahwa merek dagang tersebut merupakan rokok.

4. Penetapan kaw asan rokok

Tempat umum dan atau tempat kerja yang secara spesifik sebagai

tempat menyelenggarakan upaya kesehatan, proses belajar mengajar, arena

kegiatan anak, kegiatan ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai

kawasan tanpa rokok. Pimpinan atau penanggung jawab tempat umum dan

tempat kerja harus menyediakan tempat khusus untuk merokok harus

menyediakan alat penghisap udara sehingga tidak mengganggu kesehatan bagi

yang tidak merokok.

Penyesuaian terhadap persyaratan kadar maksimum kandungan nikotin

dan tar diberikan kelonggaran paling lambat 5 (lima) tahun setiap orang yang

memproduksi rokok yang tergolong dalam industri besar, dan 10 (sepuluh) tahun

untuk setiap orang yang memproduksi rokok yang tergolong dalam industri kecil.

2.2.5.2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2000

Peraturan Pemerintah ini yang ditetapkan tanggal 7 Juni tahun 2000

mengatur tentang Perubahaan Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 81 Tahun

1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Dasar pertimbangannya

adalah: bahwa untuk memenuhi ketentuan kadar maksimum kandungan nikotin

dan tar rokok diperlukan jangka waktu pengkajian baik teknologi maupun

dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat, maka perlu dilakukan perubahan

terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan


(36)

Terdapat dua perubahan yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah ini:

1. I klan yang dulunya hanya boleh di tempatkan pada media cetak dan media

luar ruangan, sekarang selain dua media tersebut ditambah lagi dengan

media elektronik.

2. Setiap orang memproduksi rokok kretek buatan mesin dan buatan tangan

yang telah ada pada saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini harus

menyesuaikan produksinya dengan persyaratan kadar maksimum kandungan

nikotin dan tar sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling

lambat: (a) 7 (tujuh) tahun untuk setiap orang yang memproduksi rokok

kretek buatan mesin dan (b) 10 (sepuluh) tahun untuk setiap orang yang

memproduksi rokok kretek buatan tangan.

2.2.5.3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2003

Peraturan Pemerintah yang ditetapkan pada tanggal 10 Maret tahun 2003

ini bertujuan untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan pengamanan rokok bagi

kesehatan. Pada dasarnya isi dari PP ini masih sama dengan peraturan-peraturan

sebelumnya. Peraturan ini kembali menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 4,

kandungan kadar nikotin dan tar ditetapkan, sebagai berikut: (1) Setiap orang

yang memproduksi rokok wajib melakukan pemeriksaan kandungan kadar nikotin

dan tar pada setiap hasil produksinya dan (2) Pemeriksaan kandungan kadar

nikotin dan tar sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dilakukan di laboratorium

yang sudah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, pada Pasal 5 dinyatakan bahwa setiap

orang yang memproduksi rokok wajib memberikan informasi kandungan kadar


(37)

2.3. Perkembangan I ndustri Cengkeh dan I ndustri Rokok Kretek Nasional

2.3.1. Perkembangan Penaw aran Cengkeh

2.3.1.1. Perkembangan Luas Areal Tanaman Cengkeh Menghasilkan

Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa secara

nasional, luas areal pertanamanan cengkeh yang menghasilkan, sebagian besar

merupakan perkebunan rakyat (PR), kemudian diikuti oleh perkebunan besar

negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS).

Perkembangan luas areal pertanaman cengkeh yang menghasilkan,

seperti yang tampak pada Tabel 7, cenderung meningkat pada periode tahun

1975-1989 sebagai dampak tidak langsung dari kebijakan pemerintah di bidang

usahatani. Gonarsyah et al. (1995), menyatakan bahwa sejak dicanangkannya

swasembada cengkeh pada awal Repelita I -I I I , maka luas areal mengalami

peningkatan yang signifikan melalui program perluasan pertanaman cengkeh

secara parsial, yaitu dengan melakukan penyediaan dan penyebaran bibit

cengkeh ke seluruh propinsi kecuali propinsi DKI Jakarta dan Timor Timur secara

gratis. Dengan adanya bibit cengkeh yang dibagikan secara gratis, petani

bersedia menanami lahannya dengan tanaman cengkeh. Kebijakan usahatani

tersebut ditujukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman cengkeh

(intensifikasi), sementara itu perluasan areal tanaman cengkeh (ekstensifikasi)

diharapkan berasal dari insentif harga cengkeh yang tinggi.

Kebijakan di atas dianggap berhasil sehingga, kegiatan/ program ini terus

dilanjutkan dalam Repelita I V. Pada periode tahun 1976-1982, kegiatan/ program

intensifikasi pertanaman cengkeh adalah dengan memberikan fasilitas kredit


(38)

Tabel 7. Perkembangan Luas Areal Tanaman Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004

PR PBN PBS TOTAL

Tahun

(Ha) (% ) (Ha) (% ) (Ha) (% ) (Ha) (% )

1975 74 931 - 1 538 - 749 - 77 218 -

1976 84 208 12.38 1 855 20.61 767 2.40 86 830 12.45

1977 90 334 7.27 1 626 -12.35 911 18.77 92 871 6.96

1978 97 888 8.36 1 695 4.24 1 058 16.14 100 641 8.37

1979 107 631 9.95 1 848 9.03 1 131 6.90 110 610 9.91

1980 166 819 54.99 2 249 21.70 1 057 -6.54 170 125 53.81

1981 179 843 7.81 2 426 7.87 1 396 32.07 183 665 7.96

1982 186 460 3.68 2 758 13.69 1 942 39.11 191 160 4.08

1983 208 042 11.57 2 947 6.85 2 001 3.04 212 990 11.42

1984 237 844 14.32 1 815 -38.41 4 428 121.29 244 087 14.60

1985 268 805 13.02 1 909 5.18 5 038 13.78 275 752 12.97

1986 301 661 12.22 6 500 240.49 6 556 30.13 314 717 14.13

1987 352 974 17.01 3 483 -46.42 5 018 -23.46 361 475 14.86

1988 338 770 -4.02 3 332 -4.34 6 585 31.23 348 687 -3.54

1989 359 933 6.25 3 429 2.91 6 618 0.50 369 980 6.11

1975-1989 203 743 12.49 2 627 16.50 3 017 20.38 209 387 12.43

1990 389 826 8.31 3 081 -10.15 7 240 9.40 400 147 8.15

1991 390 905 0.28 3 204 3.99 8 128 12.27 402 237 0.52

1992 393 535 0.67 2 992 -6.62 8 794 8.19 405 321 0.77

1993 373 721 -5.03 2 225 -25.64 8 202 -6.73 384 148 -5.22

1994 392 949 5.15 1 984 -10.83 7 768 -5.29 402 701 4.83

1995 385 754 -1.83 486 -75.50 7 526 -3.12 393 766 -2.22

1996 352 355 -8.66 1 914 293.83 6 608 -12.20 360 877 -8.35

1997 335 641 -4.74 1 914 0.00 6 417 -2.89 343 972 -4.68

1998 328788 -2.04 1 860 -2.82 5 978 -6.84 336 626 -2.14

1999 310 097 -5.68 1 860 0.00 5 978 0.00 317 935 -5.55

2000 357 214 -0.77 1 860 0.00 5 641 -5.64 364 715 14.71

2001 351 282 3.44 1 860 0.00 6 102 8.17 359 244 -1.50

2002 346 615 -1.48 1 860 0.00 5 669 -7.10 354 144 -1.42

2003 352 123 1.59 1 860 0.00 5 663 -0.11 359 646 1.55

2004 336 510 -4.43 1 860 0.00 5 886 3.94 344 256 -4.28

1990-2004 359 821 -1.09 2 055 11.88 6 773 -0.57 368 649 -0.34

1975-2004 281 782 5.50 2 341 13.70 4 895 9.57 289 018 5.84

Sumber: Ditjenbun dan BPS, 2005 Keterangan:

PR = Perkebunan Rakyat PBN = Perkebunan Besar Negara PBS = Perkebunan Besar Swasta


(39)

Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui pola unit pelaksana proyek (UPP)

intensifikasi cengkeh di sembilan propinsi, yaitu : Daerah I stimewa Aceh,

Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku.

Pada Tabel 7 juga tampak, bahwa sejak tahun 1986-2004, luas areal

tanaman cengkeh menghasilkan berkisar antara 300-400 ribu hektar. Meskipun

beberapa tahun terakhir, luas areal tanaman cengkeh mulai menunjukkan

peningkatan (BPS, 2006; Siregar Suhendi, 2006), namun secara rataan pada

periode 1990-2004, terjadi penurunan luas areal tanamanan cengkeh sebesar

0.34 persen, bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan pada periode

1975-1989 sebesar 12.43 persen.

Adanya gejala penurunan harga cengkeh, terutama sejak terjadinya

kelebihan pasokan di pasar domestik, konsekuensinya banyak petani mengganti

tanamannya dengan tanaman perkebunan lainnya yang dianggap lebih

menguntungkan. Juga, ditemukan banyak tanaman cengkeh yang mati karena

diserang hama dan penyakit, serta kurang intensifnya pemeliharan tanaman

sebagai dampak dari rendahnya harga cengkeh, pada periode 1990-1998.

2.3.1.2. Perkembangan Produktivitas Tanaman Cengkeh Menghasilkan

Produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan merupakan rasio dari

produksi cengkeh dan luas areal tanaman cengkeh menghasilkan. Gambar 6

menunjukkan bahwa produktivitas tanaman cengkeh untuk kurun waktu tahun

1975 hingga 2004, berada pada kisaran 0.15-0.26 ton per hektar, kecuali untuk

tahun 1977 sebesar 0.43 ton per hektar. Secara rataan, produktivitas tanaman


(40)

dan belum menunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu sekitar 0.20 ton per

hektar. Meskipun demikian, telah terjadi peningkatan laju pertumbuhan

produktivitas tanaman cengkeh yang cukup signifikan, yakni sebesar 4.84 persen

per tahun pada periode 1990-2004, bila dibandingkan dengan periode 1975-1989

yang hanya sebesar 1.41 persen. Sementara itu, Gonarsyah (1996)

mengemukakan bahwa dari 14 daerah penghasil cengkeh di I ndonesia pada saat

itu, propinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu daerah yang memiliki

produktivitas pertanaman cengkeh yang tinggi.

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45 0.50

1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 TAHUN

P

R

O

DUKT

IV

IT

A

S

(

T

O

N

/HA)

Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan dan BPS, 2005

Gambar 6. Perkembangan Produktivitas Tanaman Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004

Meningkatnya laju pertumbuhan produktivitas tanaman cengkeh pada

lima tahun terakhir ini atau pada periode tahun 2000 hingga 2004, terutama

karena meningkatnya produksi cengkeh nasional. Peningkatan produksi cengkeh


(41)

domestik yang sangat tinggi, hingga mencapai lebih dari Rp. 120 000 per

kilogram, pada tahun 1998 (Husodo, 2005), yang langsung direspons secara

positif oleh petani dengan kembali melakukan pemeliharaan tanamannya.

2.3.1.3. Perkembangan Produksi Cengkeh

Produksi cengkeh nasional sebagian besar dihasilkan oleh perkebunan

rakyat (PR) yang tersebar di hampir seluruh penjuru tanah air. kemudian diikuti

oleh perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS) yang

terutama terdapat di pulau Jawa. Tabel 8 menyajikan perkembangan produksi

cengkeh nasional. Selama rentang waktu tahun 1975 hingga 1995, produksi

cengkeh nasional menunjukkan perkembangan yang cenderung meningkat, hal

ini terutama karena adanya peningkatan luas areal pertanaman cengkeh.

Peningkatan luas areal pertanaman cengkeh, terutama pada periode 1975 hingga

1989, disebabkan oleh relatif tingginya harga cengkeh di pasar dalam negeri

pada saat itu, disamping adanya dorongan dari pemerintah melalui beberapa

paket kebijakan yang diterapkan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi.

Gonarsyah (1996) mengemukakan bahwa setelah swasembada cengkeh

dicapai (1983/ 1984), pemerintah menghentikan pelaksanaan program

intensifikasi dan ekstensifikasi pertanaman cengkeh. Disamping itu, pemerintah

juga menghimbau masyarakat untuk tidak melakukan perluasan areal tanaman

cengkeh guna menghindari terjadinya pasokan berlebih (oversupply) cengkeh di

pasar dalam negeri. Pada kenyataannya, himbauan tersebut kurang mendapat

tanggapan positif sebab meskipun harga cengkeh di sebagian daerah mulai

menurun, tapi masih memberikan keuntungan yang signifikan bagi petani. Selain

itu, petani juga mengalami kesulitan untuk langsung beralih ke tanaman lainnya


(42)

melalui Departemen Pertanian telah menerapkan program diversifikasi dan

konversi tanaman cengkeh yang dibiayai oleh dana Sumbangan Diversifikasi

Tanaman Cengkeh (SDTC) yang dikenakan pada pabrik rokok kretek atau

konsumen lainnya yang membeli cengkeh pada BPPC, sebagaimana yang diatur

dalam Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992 .

Tabel 8. Perkembangan Produksi Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004

Produksi Pertumbuhan Produksi Pertumbuhan

Tahun

(Ton) (% ) Tahun (Ton) (% )

1975 19 294 - 1990 66 912 18.64

1976 20 032 3.83 1991 80 253 19.94

1977 39 923 99.30 1992 73 124 -8.88

1978 21 554 -46.01 1993 67 366 -7.87

1979 18 208 -15.52 1994 78 379 16.35

1980 34 218 87.93 1995 90 007 14.84

1981 29 354 -14.21 1996 59 479 -33.92

1982 32 809 11.77 1997 59 195 -0.48

1983 41 828 27.49 1998 67 177 13.48

1984 48 888 16.88 1999 52 903 -21.25

1985 41 990 -14.11 2000 59 879 13.19

1986 50 628 20.57 2001 72 685 21.39

1987 71 002 40.24 2002 79 010 8.70

1988 81 224 14.40 2003 87 909 11.26

1989 56 398 -30.56 2004 87 909 0.00

1975-1989 40 490 14.43 1990-2004 72 146 4.36

1975-2004 56 318 9.22

Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan dan BPS, 2005

Tabel 8 juga menunjukkan bahwa secara nasional, telah terjadi

penurunan laju pertumbuhan produksi cengkeh nasional, terutama pada periode

1990 hingga 2004 bila dibandingkan dengan periode tahun 1975 hingga 1989.

Secara rataan, laju pertumbuhan produksi cengkeh nasional dalam periode 1975

hingga 1989 sebesar 14.43 persen jauh lebih besar daripada periode 1990


(43)

hingga 2004, produksi cengkeh nasional cenderung meningkat, seiring dengan

mulai membaiknya harga cengkeh di pasar dalam negeri, terutama sejak

dibubarkannya BPPC pada tahun 1998. Tampak bahwa dalam waktu kurun waktu

3 hingga 4 tahun setelah tahun 1998, produksi cengkeh kembali meningkat, hal

ini sesuai dengan pola produksi tanaman cengkeh yang mengikuti siklus empat

tahunan. Kondisi ini merupakan dampak positif dari membaiknya harga cengkeh

di tingkat petani sehingga pendapatan petani meningkat dan kembali memelihara

tanaman cengkehnya, dan pada gilirannya produksi cengkeh kembali meningkat.

2.3.1.4. Perkembangan I mpor Cengkeh

Tabel 9 menyajikan perkembangan impor cengkeh nasional. Tampak

bahwa volume impor dari tahun ke tahun sangat fluktuatif. Badan Pusat Statistik

(BPS) mencatat bahwa impor cengkeh mencapai titik tertinggi pada tahun 1975

sebesar 28 948 ton dan tidak melalukan impor pada tahun 1996. Terdapat dua

periode waktu, dimana impor cengkeh tercatat memiliki volume yang sangat

besar hingga mencapai lebih dua puluh ribu ton, yaitu periode sebelum

tercapainya swa sembada cengkeh (1975-1982), dan periode pasca BPPC

(1999-2004). Sementara itu, pada periode 1988-1998, pada masa terjadinya kelebihan

pasokan cengkeh di pasar domestik, juga sekaligus periode beroperasinya BPPC,

impor cengkeh sangat kecil, hanya berkisar antara 0.1 hingga 12 ton.

Gonarsyah (1996) mengemukakan bahwa sejak awal 1988, yakni saat

awal terjadinya kelebihan pasokan (oversupply) cengkeh di pasar domestik,

impor cengkeh diatur secara ketat. I mpor cengkeh hanya dapat dilakukan

dengan izin khusus oleh importir terdaftar atau yang ditunjuk. Kemudian pada


(44)

dalam negeri, yaitu di tangan BPPC. Langkah strategis ini ditempuh pemerintah

dengan alasan untuk meredam perembesan cengkeh impor. Hal ini berdampak

pada tidak adanya impor cengkeh untuk tahun 1996.

Tabel 9. Perkembangan I mpor Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004

I mpor Pertumbuhan I mpor Pertumbuhan

Tahun

(Ton) (% ) Tahun (Ton) (% )

1975 28 948 - 1990 8 -33.33

1976 10 291 -64.45 1991 3 -62.50

1977 3 787 -63.20 1992 6 100.00

1978 9 791 158.54 1993 5 -16.67

1979 10 993 12.28 1994 3 -40.00

1980 9 510 -13.49 1995 4 33.33

1981 14 492 52.39 1996 0 -100.00

1982 7 998 -44.81 1997 0.1 -

1983 3 -99.96 1998 1 900.00

1984 2 -33.33 1999 22 610 2 260 900.00

1985 13 725 68 6150.00 2000 20 873 -7.68

1986 2 189 -84.05 2001 16 899 -19.04

1987 1 996 -8.82 2002 796 -95.29

1988 6 -99.70 2003 192 -75.88

1989 12 100.00 2004 25 -86.98

1975-1989 7 583 48 990.10 1990-2004 4 095 161 528.28

1975-2004 6 228 112 781.28

Sumber: BPS, 2005

Namun, kondisi ini berbalik saat dibubarkannya BPPC pada tahun 1998,

dimana kegiatan pengadaan dan impor cengkeh tidak lagi ditangannya. Mulai

saat itu, terjadi lonjakan impor cengkeh terutama pada periode tahun

1999-2001. Pada periode itu pula, harga cengkeh di pasar dalam negeri mencapai

puncaknya, bahkan lebih tinggi dari harga cengkeh di pasar dunia.

Dengan demikian, untuk mengantisipasi terjadinya lonjakan impor

cengkeh yang mengakibatkan kembali turunnya harga cengkeh di pasar domestik

(terlebih pada saat panen raya), maka pada tahun 2002 melalui SK Menperindag


(45)

mengatur bahwa importir cengkeh adalah industri pengguna cengkeh yang

memiliki Angka Pengenal I mpor Produsen (API -P) atau Angka Pengenal I mpor

Terbatas (API -T) yang disetujui untuk mengimpor cengkeh yang diperlukan

semata-mata untuk proses produksinya dan pada saat ini impor cengkeh

dikenakan tarif impor sebesar 5 persen. Dampak langsung dari pembatasan

impor tersebut menunjukkan penurunan volume impor cengkeh yang signifikan

pada tahun 2003 dan 2004.

2.3.1.5.Perkembangan Stok Cengkeh

Stok cengkeh nasional merupakan selisih antara penjumlahan produksi

cengkeh nasional, impor cengkeh dan sisa stok tahun sebelumnya dengan

penjumlahan ekspor cengkeh dan penggunaan (konsumsi) cengkeh dalam

negeri.

Perkembangan stok cengkeh dengan asumsi stok tahun 1974 sama

dengan nol, di sajikan pada Gambar 7. Tampak bahwa pada periode 1975-1988,

besarnya stok cengkeh nasional meningkat secara tajam, hal ini nampaknya

sejalan dengan peningkatan produksi cengkeh secara nasional, sebagai dampak

dari pesatnya pertambahan luas areal pertanaman cengkeh pada periode

tersebut. Peningkatan stok berlanjut terus, pada periode 1989-1995, secara

rataan stok cengkeh sekitar 187 ribu ton per tahun, bahkan mencapai puncaknya

pada tahun 1995 sebesar 223 ribu ton. Pada periode itu pula, terjadi kelebihan

pasokan cengkeh di pasar domestik.

Selanjutnya, sejak tahun 1996-2004, secara rataan stok cengkeh nasional

mengalami penurunan hanya sebesar sebesar 42 ribu ton per tahun, meskipun


(46)

cengkeh nasional mulai menunjukkan peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa

apabila ekspor cengkeh tidak berubah maka penurunan stok cengkeh nasional,

disebabkan oleh peningkatan konsumsi cengkeh dalam negeri oleh PRK.

0 50 100 150 200 250

1974 197 6

1978 1980 1982 1984 1986 1988 199 0

1992 199 4

1996 1998 2000 2002 200 4 TAHUN V O L U M E ( R IB U T O N )

Sumber: Ditjenbun, Gappri, dan BPS (2005)

Gambar 7. Perkembangan Stok Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004

2.3.2. Perkembangan Permintaan Cengkeh

Permintaan akan cengkeh pada dasarnya adalah permintaan turunan

(derived demand) dari permintaan akan rokok kretek. Sebagaimana dikemukakan

sebelumnya, sekitar 90 persen dari total permintaan cengkeh di pasar domestik

dikonsumsi oleh industri rokok kretek (pabrik rokok kretek), dan sisanya diserap

oleh industri farmasi dan makanan, rumah tangga dan pasar

internasional/ ekspor. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan permintaan

cengkeh dalam penelitian ini adalah jumlah konsumsi cengkeh baik oleh PRK


(47)

2.3.2.1. Perkembangan Permintaan Rokok Kretek

a. Perkembangan Produksi Rokok Kretek

Gwyer (1976) dan Gonarsyah (1996) menyatakan bahwa dengan asumsi

inventori/ stok konstan maka perkembangan permintaan akan rokok kretek dapat

didekati melalui perkembangan produksi rokok kretek.

Perkembangan produksi rokok kretek berdasarkan jenisnya, disajikan

pada Tabel 10 di bawah ini. Tampak bahwa secara total, produksi rokok kretek,

cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode 1975 hingga 1984,

produksi rokok kretek didominasi oleh rokok jenis SKT, kemudian pada periode

1985 hingga 2004, dominasi tersebut telah diambil alih oleh rokok jenis SKM,

sementara produksi rokok jenis KLB hingga saat ini, relatif sedikit dan cenderung

tetap.

Pesatnya perkembangan produksi rokok kretek jenis SKM, tidak terlepas

dari perkembangan teknologi dalam industri rokok kretek melalui kegiatan

masinisasi dalam produksi rokok kretek yang dipelopori oleh PT Bentoel, Malang.

Pada tahun 1976 masih sebanyak 51 juta batang, kemudian meningkat sangat

signifikan menjadi lebih dari 78 kali lipat pada tahun 1977 yakni sekitar 4 milyar

batang. Peningkatan produksi rokok jenis SKT juga erat kaitannya dengan

perkembangan selera konsumen dan seiring dengan kemajuan teknologi dalam

industri rokok kretek (Gonarsyah, 1996, Bird, 1999). Secara rataan dalam kurun

waktu tiga puluh tahun (1975-2004), total produksi rokok kretek menunjukkan

peningkatan sebesar 6.77 persen per tahun, dengan laju pertumbuhan produksi

rokok kretek pada periode 1975-1989 sebesar 10.6 persen, lebih tinggi


(48)

Tabel 10. Perkembangan Produksi Rokok Kretek Nasional, Tahun 1975-2004

SKT SKM KLB Total

Tahun (Juta

batang) (% )

(Juta

batang) (% )

(Juta

batang) (% )

(Juta

batang) (% )

1975 32 078 - 39 - 836 - 32 953 -

1976 38 272 19.31 51 30.77 852 1.91 39 175 18.88

1977 40 015 4.55 3 994 7731.37 985 15.61 44 994 14.85

1978 36 384 -9.07 3 945 -1.23 1 998 102.84 42 327 -5.93

1979 36 369 -0.04 3 963 0.46 1 467 -26.58 41 799 -1.25

1980 37 493 3.09 13 882 250.29 1 391 -5.18 52 766 26.24

1981 39 511 5.38 23 461 69 1 283 -7.76 64 255 21.77

1982 39 809 0.75 20 573 -12.31 1 291 0.62 61 673 -4.02

1983 43 186 8.48 23 988 16.6 805 -37.65 67 979 10.22

1984 43 873 1.59 31 579 31.64 953 18.39 76 405 12.4

1985 41 771 -4.79 43 785 38.65 1 032 8.29 86 588 13.33

1986 41 465 -0.73 56 678 29.45 1 160 12.4 99 303 14.68

1987 42 016 1.33 69 908 23.34 1 091 -5.95 113 015 13.81

1988 41 945 -0.17 81 165 16.1 1 111 1.83 124 221 9.92

1989 40 298 -3.93 87 413 7.7 1 108 -0.27 128 819 3.7

1975-1989 39 632.33 1.84 30 961.60 587.99 1 157.53 5.61 71 751.47 10.61

1990 40 598 0.74 98 418 12.59 1 143 3.16 140 159 8.8

1991 44 108 8.65 89 424 -9.14 988 -13.56 134 520 -4.02

1992 40 274 -8.69 93 454 4.51 866 -12.36 134 593 0.05

1993 40 881 1.51 97 858 4.71 731 -15.58 139 470 3.62

1994 47 440 16.04 108 218 10.59 631 -13.63 156 289 12.06

1995 50 928 7.35 111 026 2.59 665 5.38 162 619 4.05

1996 53 038 4.14 116 789 5.19 609 -8.44 170 436 4.81

1997 52 382 -1.24 127 480 9.15 566 -7.01 180 429 5.86

1998 60 226 14.97 104 373 -18.13 825 45.68 165 425 -8.32

1999 73 041 21.28 95 982 -8.04 741 -10.18 169 764 2.62

2000 77 036 5.47 104 458 8.83 4 054 447.1 185 549 9.3

2001 84 790 10.06 101 868 -2.48 675 -83.34 187 333 0.96

2002 79 409 -6.35 93 862 -7.86 640 -5.26 173 911 -7.16

2003 76 159 -4.27 103 293 9.13 611 -4.75 180 063 3.42

2004 82 882 8.11 120 649 14.39 626 2.40 204 158 11.80

1990-2004 60 212.80 5.18 104 476.80 2.40 958.07 21.97 165 647.87 3.19

1975-2004 49 922.57 3.57 67 719.20 285.10 1 057.80 14.07 118 699.67 6.77

Sumber: Gappri, 2005 Keterangan:

SKT = Sigaret Kretek Tangan (rokok kretek tanpa filter) SKM = Sigaret Kretek Mesin (rokok kretek filter)


(49)

Hal menarik yang juga tampak pada Tabel di atas adalah pada periode

1975 hingga 1989, laju rataan peningkatan produksi rokok jenis SKM sangat luar

biasa yaitu sebesar 587.99 persen. Namun pada periode 1990 hingga 2004, laju

rataan produksi rokok jenis SKM menurun menjadi hanya sebesar 2.40 persen.

Sedangkan, rokok jenis SKT menunjukkan peningkatan produksi yang signifikan

pada periode 1990 hingga 2004 sebesar 5.18 persen, bila dibandingkan pada

periode 1975 hingga 1989 yang masih sebesar 1.84 persen. Hal ini

mengindikasikan bahwa, meskipun volume produksi rokok jenis SKT lebih kecil

daripada rokok jenis SKM, namun pertumbuhan produksinya cenderung

meningkat. Dengan demikian, kekhawatiran akan berkurangnya konsumsi

cengkeh oleh PRK, menjadi tidak cukup beralasan karena rokok jenis SKT lebih

tinggi kandungan cengkehnya bila dibandingkan dengan rokok jenis SKM, berarti

secara total penggunaan cengkehnya juga lebih banyak.

b. Perkembangan Konsumsi Rokok Kretek Per Kapita

Perkembangan konsumsi rokok penduduk I ndonesia tergambar dari hasil

survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh BPS, sekali tiap

tiga tahun. Pada Gambar 8 disajikan perkembangan rataan konsumsi rokok per

kapita selama seminggu untuk semua golongan pendapatan yang terdiri dari

rokok kretek (jenis SKT dan SKM) serta rokok putih.

Secara rataan, konsumsi rokok kretek jenis SKT dan SKM, dari tahun ke

tahun cenderung meningkat. Namun, rokok jenis SKM dikonsumsi lebih banyak

dibandingkan rokok jenis SKT. Menurut Gonarsyah (1996), hal ini tampaknya

berkaitan dengan kesadaran masyarakat mengenai bahaya tar dan nikotin pada

rokok kretek non filter, terutama di daerah perkotaan. Sedangkan konsumsi


(50)

Lebih lanjut, Tjahjaprijadi dan I ndarto (2003) dalam bagian dari studinya

tentang analisis pola konsumsi rokok kretek, menemukan bahwa harga rokok

kretek jenis SKT dan SKM berpengaruh nyata terhadap konsumsi masing-masing

rokok tersebut, meskipun faktor selera ternyata lebih dominan daripada faktor

harga. Selain itu, faktor pendapatan ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap

konsumsi baik rokok jenis SKT maupun rokok jenis SKM.

Berdasarkan penjelasan di atas maupun dari hasil studi sebelumnya,

kembali menegaskan dan sekaligus membuktikan bahwa peluang pasar rokok

kretek yang terbesar dan tetap terbuka adalah pasar rokok kretek dalam negeri,

sehingga dapat dikatakan bahwa industri rokok kretek merupakan tuan rumah di

negaranya sendiri. Selain itu, semakin terbukanya peluang ekspor rokok kretek

akhir-akhir inipun semakin menjanjikan untuk perkembangan industri rokok

kretek dimasa mendatang.

0 1 2 3 4 5 6 7

76 79 81 84 87 90 93 96 99 02

TAHUN

(BAT

ANG

/K

AP

IT

A/

M

ING

G

U)

KONSUMSI SKT KONSUMSI SKM KONSUMSI RP Sumber: BPS, 2005

Gambar 8. Perkembangan Konsumsi Rokok Per kapita Menurut Jenisnya, Tahun 1975-2002


(51)

c. Perkembangan Ekspor Rokok Kretek

Perkembangan ekspor rokok kretek I ndonesia masih relatif kecil dan

cenderung fluktuatif tapi menunjukkan kecenderungan meningkat, sebagaimana

tampak pada Tabel 11. Tampak bahwa, selama kurun waktu 1975-1988, volume

ekspor rokok kretek kurang dari 500 ton, kemudian meningkat mencapai hampir

5 kali lipat pada tahun 1989, dan cenderung terus meningkat hingga mencapai

6 838 ton pada tahun 2004.

Tabel 11. Perkembangan Ekspor Rokok Kretek Nasional, Tahun 1975-2004

Ekspor RK Pertumbuhan Ekspor RK Pertumbuhan Tahun

(Ton) (% ) Tahun

(Ton) (% )

1975 47 - 1990 2 595 32.40

1976 39 -17.02 1991 3 683 41.93

1977 49 25.64 1992 3 537 -3.96

1978 58 18.37 1993 3 458 -2.23

1979 87 50.00 1994 1 306 -62.23

1980 124 42.53 1995 3 848 194.64

1981 203 63.71 1996 3 839 -0.23

1982 346 70.44 1997 3 240 -15.60

1983 501 44.80 1998 2 542 -21.54

1984 703 40.32 1999 6 318 148.54

1985 261 -62.87 2000 6 618 4.75

1986 355 36.02 2001 6 764 2.21

1987 333 -6.20 2002 6 783 0.28

1988 430 29.13 2003 6 810 0.4

1989 1 960 355.81 2004 6 838 0.4

1975-1989 366 49.33 1990-2004 4 545 21.32

1975-2004 2 456 34.84

Sumber: BPS, 2005

Tabel 11 menunjukkan bahwa secara umum, perkembangan ekspor rokok

kretek meningkat secara signifikan, dengan laju pertumbuhan rataan sebesar

34.84 persen selama periode 1975-2004. Volume ekspor mengalami peningkatan


(1)

5.1.3. Produksi Cengkeh Nasional... 140

5.1.4. I mpor Cengkeh... 140

5.1.5. Stok Cengkeh... 142

5.1.6. Jumlah Penawaran Cengkeh... 144

5.2. Permintaan Cengkeh... 144

5.2.1. Konsumsi Cengkeh Nasional... 145

5.2.1.1. Konsumsi Cengkeh Pabrik Rokok Kretek... 145

5.2.1.1. Konsumsi Cengkeh Non-Pabrik Rokok Kretek... 147

5.2.2. Ekspor Cengkeh... 147

5.2.3. Jumlah Permintaan Cengkeh... 149

5.3. Harga Cengkeh... 150

5.4. Permintaan, Ekspor dan Harga Rokok Kretek... 151

5.4.1. Permintaan Rokok Kretek... 151

5.4.2. Ekspor Rokok Kretek... 153

5.4.3. Harga Rokok Kretek... 155

5.5. Simpulan... 157

VI . PERKEMBANGAN SI STEM USAHATANI CENGKEH DI

SULAWESI UTARA SERTA I NTERAKSI ANTARA PETANI

CENGKEH DAN PABRI K ROKOK KRETEK...

159 6.1. Perkembangan Tataniaga Cengkeh... 159

6.2. Perkembangan Usahatani dan Pemasaran... 165

6.3. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Cengkeh... 167

6.3.1. Kondisi Awal... 168

6.3.1.1. Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial... 168

6.3.1.2. Efisiensi Finansial dan Ekonomi... 170

6.3.1.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah dan/ atau Kegagalan Pasar dalam Usahatani Cengkeh... 171

6.3.2. Analisis Dampak Kenaikan Harga Cengkeh... 176

6.3.3. Simpulan... 180

6.4. Analisis

Game Theory

Permasalahan Percengkehan Nasional 181 6.4.1. Pilihan Strategi Masing-masing Pemain... 182

6.4.2. Simpulan... 185


(2)

VI I . SI MPULAN DAN I MPLI KASI KEBI JAKAN... 187

7.1. Simpulan... 187

7.2. I mplikasi Kebijakan... 189

7.3. Saran Penelitian Lanjutan... 191

DAFTAR PUSTAKA... 193


(3)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Kandungan Cengkeh Dalam Rokok Kretek Yang Digunakan Pabrik

Rokok Kretek... 4 2. Konsumsi Cengkeh untuk Rokok Kretek, Tahun 1994-2004... 5 3. Produksi Cengkeh Dunia, Tahun 1997-2004... 7 4. Tarif Cukai Rokok Berdasarkan SK. a.n. Menteri Keuangan RI

Dirjen Bea Cukai Nomor 609a/ KMK.04/ 2001... 31 5. Tarif Cukai Rokok Berdasarkan SK Menteri Keuangan RI Nomor

449/ KMK.04/ 2002... 32 6. Tarif Cukai Rokok Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI

Nomor 17/ PMK.04/ 2006... 33 7. Perkembangan Luas Areal Tanaman Cengkeh Nasional, Tahun

1975-2004... 38 8. Perkembangan Produksi Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004... 42 9. Perkembangan I mpor Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004... 44 10. Perkembangan Produksi Rokok Kretek Nasional, Tahun

1975-2004... 48 11. Perkembangan Ekspor Rokok Kretek Nasional, Tahun

1975-2004... 51

12. Perkembangan Kandungan Cengkeh Dalam Rokok Kretek Menurut Berbagai Penelitian/ Laporan, Tahun 1989-2003... 53 13. Perkembangan Ekspor Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004... 55 14. Perkembangan Harga Riil Cengkeh di Pasar Domestik dan Dunia,

Tahun 1975-2004... 56 15. Perkembangan Harga Riil Rokok Kretek dan Rokok Putih, Tahun

1975-2004... 57 16. Bentuk Umum Tabel

Multi-period

PAM... 95 17. Peubah-peubah yang Digunakan dalam Gaming Permasalahan

Percengkehan Nasional... 135 18. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Areal

Tanaman Cengkeh Menghasilkan... 137 19. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas

Tanaman Cengkeh... 139


(4)

20. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi I mpor

Cengkeh... 141

21. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stok Cengkeh 143 22. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Cengkeh Pabrik Rokok Kretek... 146

23. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Cengkeh... 148

24. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Cengkeh... 150

25. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Rokok Kretek... 152

26. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Rokok Kretek... 154

27. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Rokok Kretek... 155

28. Struktur Marjin Tataniaga Cengkeh di Sulawesi Utara, Tahun 2005... 164

29. Nailai Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial... 169

30. Rasio Biaya Privat dan Rasio Sumberdaya Domestik... 170

31. Transfer Output dan Koefisien Proteksi Output Nominal... 172

32. Transfer I nput dan Koefisien Proteksi I nput Nominal... 173

33. Transfer Faktor dan Transfer Bersih... 175

34. Koefisien Proteksi Efektif, Koefisien Profitabilitas dan Rasio Subsidi Bagi Produsen... 176

35. Dampak Peningkatan Harga Cengkeh Berdasarkan Tiga Alternatif Kebijakan... 179


(5)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Penggunaan Cukai Rokok Kretek, Tahun 1999-2004... 2

2. Perkembangan Produksi Rokok Kretek, Tahun 1975-2004... 3

3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Cengkeh, Tahun 1994-2004... 6

4. Sistem Tataniaga Cengkeh Menurut Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980... 23

5. Sistem Tataniaga Cengkeh Menurut Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992... 27

6. Perkembangan Produktivitas Tanaman Cengkeh Nasional... 40

7. Perkembangan Stok Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004... 46

8. Perkembangan Konsumsi Rokok Per Kapita Menurut Jenisnya, Tahun 1975-2002... 50

9. Struktur Percengkehan Nasional... 75

10. Dampak Stabilisasi Harga Akibat Fluktuasi Pasokan Cengkeh... 77

11. Prinsip Penyanggaan Cengkeh oleh BPPC... 80

12. Dilema Narapidana... 103

13. Bentuk Permainan antara Petani Cengkeh dan PRK... 135


(6)

DAFTAR LAMPI RAN

Nomor Halaman

1. Hasil Pendugaan Model Ekonometrik Percengkehan Nasional... 199

2. Nama-nama Peubah dalam Model Ekonometrik Percengkehan Nasional... 204

3. Data Peubah-peubah yang Digunakan dalam Model Ekonometrik Percengkehan Nasional... 206

4. Hasil Perhitungan Harga Sosial Output dan I nput Tradable... 214

5. Hasil Perhitungan Harga Sosial Modal... 215

6. Hasil Perhitungan

Multi-period

PAM pada Kondisi Awal... 216

7. Hasil Perhitungan

Multi-period

PAM untuk Simulasi Alternatif Kebijakan I : Harga Cengkeh Rp. 30 000 per kg... 217

8. Hasil Perhitungan

Multi-period

PAM untuk Simulasi Alternatif Kebijakan I I : Harga Cengkeh Rp. 32 500 per kg... 218

9. Hasil Perhitungan

Multi-period

PAM untuk Simulasi Alternatif Kebijakan I I I : Harga Cengkeh Rp. 40 000 per kg... 219