Kajian ekonomi keterkaitan antara perkembangan industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional

(1)

I NDUSTRI CENGKEH DAN

I NDUSTRI ROKOK KRETEK NASI ONAL

GRACE A.J. RUMAGI T

SEKOLAH PASCASARJANA

I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

Pujilah Tuhan, hai jiwaku!

Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku!

Pujilah Tuhan, hai jiwaku,

dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya!

(Mazmur 103 : 1& 2)

Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala hal :

Dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan

(I Korintus 1 : 5)

Memperoleh hikmat sungguh jauh melebihi memperoleh emas,

Dan mendapat pengertian jauh lebih berharga dari pada mendapat perak

(Amsal 16 : 16)


(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

dalam disertasi saya yang berjudul:

KAJI AN EKONOMI KETERKAI TAN ANTARA PERKEMBANGAN I NDUSTRI CENGKEH DAN I NDUSTRI ROKOK KRETEK NASI ONAL

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan ketua dan anggota Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, April 2007

Grace A.J. Rumagit NRP.A546010041


(4)

ABSTRAK

GRACE A.J. RUMAGI T. Kajian Ekonomi Keterkaitan antara Perkembangan I ndustri Cengkeh dan I ndustri Rokok Kretek Nasional. (I SANG GONARSYAH sebagai Ketua, HERMANTO SI REGAR dan DEDI BUDI MAN HAKI M

sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Cengkeh merupakan komoditi unik dan strategis bagi perekonomian nasional. Dikatakan unik karena I ndonesia adalah negara produsen, konsumen, dan pengimpor cengkeh terbesar di dunia, dan dikatakan strategis karena berperan langsung dalam penyerapan tenaga kerja. Secara umum, permasalahan dalam percengkehan nasional adalah rendahnya tingkat harga cengkeh terutama pada saat panen raya yang menyebabkan petani enggan untuk melakukan pemeliharaan tanamannya sehingga produktivitasnya cenderung menurun. Di lain pihak, pabrik rokok kretek membutuhkan kontinuitas pasokan cengkeh karena sebagian besar kebutuhannya dipasok dari dalam negeri, mengingat produksi cengkeh dunia hanya mampu memenuhi sekitar 25 persen dari kebutuhannya. Tujuan penelitian ini adalah: untuk menganalisis (1) keterkaitan antara industri cengkeh dengan industri rokok kretek nasional, (2) perkembangan sistem produksi dan tataniaga dalam usahatani cengkeh, dan (3) kemungkinan kerjasama antara industri cengkeh dengan industri rokok kretek nasional.

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data dianalisis dengan menggunakan pendekatan ekonometrika, matriks analisis kebijakan periode ganda (multi-period PAM), dan teori permainan (game theory). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: (1) keterkaitan antara industri cengkeh dan industri rokok kretek perlu untuk diperbaiki, (2) rendahnya harga cengkeh terutama pada saat panen raya menyebabkan keuntungan privat usahatani cengkeh relatif rendah, walaupun masih tetap memiliki keunggulan komparatif, dan (3) kerjasama yang sinergis antara petani cengkeh dan pabrik rokok kretek diperlukan untuk keberlanjutan industri cengkeh dan industri rokok kretek.

Kata kunci: Keterkaitan, I ndustri Cengkeh, I ndustri Rokok Kretek, Kerjasama Sinergis


(5)

ABSTRACT

GRACE A.J. RUMAGI T. An Economic Study of the Linkages betw een the Development of National Cloves and Kretek Cigarettes I ndustries.

(I SANG GONARSYAH as Chairman, HERMANTO SI REGAR and DEDI BUDI MAN HAKI M as Advisory Committee Members).

Clove is a unique and strategic commodity for I ndonesian economy. I t is unique because I ndonesia is both the largest producing and consuming as well as importing country of cloves in the world. Cloves farming and kretek cigarettes industry play a very important role in the I ndonesian economy due their capability of absorbing a lot of labor works. I n general, the problem of I ndonesian cloves industry is due to a relatively low price of cloves especially during peak harvest season, which is reducing incentive for farmers to increase their farming productivity. On the other hand, continuity of clove as raw material is very important for the survival of kretek cigarettes factory, since most of cloves needed come from domestic production and only around 25 percent supplied by world production. The objectives of this study are to analyze: (1) the linkages between national cloves and kretek cigarettes industries and factors affecting them, (2) the development of cloves farming and its economic efficiency, and (3) the possibility of cooperation between cloves industry and kretek cigarettes industry to improve the performance of both industries in the future.

Decsriptive analysis, multi-period PAM, game theory and econometric model are used to analyze the primary and secondary data. Results of study indicate that: (1) in the future, the linkages between clove industry and cigarettes kretek industry need to be corrected, (2) though cloves farming still has a comparative advantage, however the persistent and relatively low farm-gate prices of clove tend to deteriorate its competitiveness, and (3) a synergistic cooperation between cloves farmers and kretek cigarettes factories is required to ensure the national cloves and the kretek cigarettes industries facing with intense competition in the global market.

Key words: Linkages, Cloves I ndustry, Kretek Cigarettes I ndustry, Sinergistic Cooperation


(6)

@ Hak cipta milik I nstitut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari I nstitut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(7)

KAJI AN EKONOMI KETERKAI TAN ANTARA PERKEMBANGAN I NDUSTRI CENGKEH DAN

I NDUSTRI ROKOK KRETEK NASI ONAL

GRACE A.J. RUMAGI T

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada

Program Studi I lmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR

BOGOR 2007


(8)

Judul Penelitian : Kajian Ekonomi Keterkaitan Antara Perkembangan I ndustri Cengkeh dan I ndustri Rokok Kretek Nasional

Nama Mahasiswa : Grace A.J. Rumagit Nomor Pokok : A546010041

Program Studi : I lmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. I r. I sang Gonarsyah Ketua

Dr. I r. Hermanto Siregar, M.Ec. Dr. I r. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana I lmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. I r. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. I r. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(9)

RI WAYAT HI DUP

Penulis dilahirkan di Tomohon, Minahasa pada tanggal 27 Agustus 1964,

sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari ayah Arnold V. Rumagit dan ibu Mariantje M. Runturambi. Penulis menyelesaikan pendidikan SD dan SMP di

Tompaso, Minahasa serta SMA di Manado. Pada tahun 1989, penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas

Pertanian, Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado. Selanjutnya, pada tahun 1995-1997, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S2

pada Program Studi I lmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor (I PB). Pada tahun 2001 kembali mendapat kesempatan untuk

menempuh program S3 pada Program Studi I lmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana I nstitut Pertanian Bogor.

Sejak tahun 1992 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai Staf Pengajar pada Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Sam Ratulangi


(10)

PRAKATA

Puji Tuhan dan segala Ucapan Syukur dipersembahkan kepadaNya, atas berkat, kasih, anugerah dan penyertaanNya sehingga penulis dimampukan untuk

menyelesaikan disertasi ini. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini dapat tercipta melalui bimbingan, petunjuk, arahan, serta dukungan dari berbagai

pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. I r. I sang Gonarsyah sebagai Ketua Komisi Pembimbing serta Dr. I r.

Hermanto Siregar, M.Ec dan Dr. I r. Dedi Budiman Hakim, M.Ec sebagai anggota Komisi Pembimbing yang dengan kasih dan penuh kesabaran, telah

memberikan motivasi, sejak persiapan melanjutkan pendidikan S3, petunjuk akademik selama perkuliahan, pembimbingan serta banyak membuka

wawasan menyangkut analisis data hingga proses penyusunan dan penyelesaian disertasi ini.

2. Dr. I r. Rina Oktaviani, MS selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup serta Dr. I r. Tahlim Sudaryanto, MS dan Dr. I r. Endah Murniningtyas, M.Sc selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka, yang telah memberikan

masukan untuk penyempurnaan disertasi ini.

3. Dekan Sekolah Pascasarjana I PB, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Ekonomi

dan Manajemen, Ketua Program Studi I lmu Ekonomi Pertanian Prof. Dr. I r. Bonar M. Sinaga, MA, serta seluruh staf pengajar dan staf administrasi pada

Program Studi I lmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana I PB atas bimbingan dan arahan akademik, serta bantuan yang bersifat administratif


(11)

4. Rektor Universitas Sam Ratulangi Manado, Prof. Dr. I r. L.W. Sondakh, M.Ec,

serta Dekan dan Ketua Jurusan SOSEK Fakultas Pertanian yang memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan S3 juga bantuan biaya penelitian.

5. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan biaya pendidikan melalui beasiswa BPPS.

6. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara atas bantuan biaya penelitian serta

fasilitas asrama yang ditempati selama menempuh pendidikan di Bogor. 7. Kepala Badan Pusat Statistik Sulut Drs. Jasa Bangun, M.Si. beserta staf,

Kepala dan Staf Dinas Peridustrian Sulut, Dinas Perdagangan Sulut, Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Minahasa I r. Wenny Talumewo dan Staf, juga

I r. Handry Rawung, M.Si dan Drs. Sjaiful Bahri, M.Ec, serta para petani dan pedagang cengkeh di Desa Kombi, pedagang cengkeh di Kecamatan Tondano

serta para nara sumber yang telah memberikan bantuan data dan informasi. 8. Rekan-rekan sejawat di Fakultas Pertanian Unsrat, teman-teman di asrama

Sam Ratulangi, teman-teman di PS. EPN-I PB khususnya bu Reni, bu Atien, bu Umy, bu Poer, pak Adolf, dan pak Bayu, atas dukungan dan bantuan dalam

perkuliahan hingga penyusunan dan penyelesaian disertasi ini.

9. Mami Altje Masengi-Mait, Toche, serta Besse yang dengan penuh kesabaran

dan kesetiaan tak henti-hentinya memberikan semangat, dukungan serta senantiasa mendoakan untuk penyelesaian disertasi ini.

10.Secara khusus kepada Mama dan Papa, kakak-kakak Nico & Fenny, Fred & Leida, Joyce & William, serta keluarga besar Rumagit-Runturambi yang

senantiasa menopang melalui doa, selalu mendukung dengan segala nasehat dan saran, serta atas pengertian dan pengorbanannya selama penulis


(12)

11.Dan dengan penuh cinta kasih untuk putraku Rick, atas kesabaran dan keikhlasannya, merelakan kehilangan waktu bersama yang begitu panjang, juga atas kesetiaannya untuk senantiasa memberikan doa dan dukungan

terbesar selama ini.

12.Juga untuk berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna karena

keterbatasan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis senantiasa mengharapkan saran dan kritik yang berguna dalam rangka penyempurnaan

karya ilmiah ini. Walaupun demikian, penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembangunan pertanian di Provinsi Sulawesi Utara juga bagi

semua pihak yang membutuhkannya, lebih khusus lagi bagi kesejahteraan petani cengkeh di I ndonesia.

Bogor, April 2007


(13)

DAFTAR I SI

Halaman

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xviii

DAFTAR LAMPI RAN... xix

I . PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 8

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 12

1.4. Ruang Lingkup Penelitian... 13

1.5. Keterbatasan Penelitian... 13

I I . TI NJAUAN PERKEMBANGAN PERCENGKEHAN NASI ONAL... 15

2.1. Tinjauan Perkembangan Pertanaman Cengkeh di I ndonesia... 15

2.1.1. Sejarah Singkat Penyebaran Tanaman Cengkeh... 15

2.1.2. Tipe Karakteristik dan Aspek I klim Tanaman Cengkeh.... 16

2.2. Tinjauan Kebijakan Percengkehan Nasional... 18

2.2.1. Kebijakan di Bidang Produksi... 18

2.2.2. Kebijakan di Bidang Tataniaga... 20

2.2.2.1. Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980... 21

2.2.2.2. Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992... 26

2.2.2.3. Keppres RI Nomor 21 Tahun 1998... 29

2.2.3. Kebijakan di Bidang I mpor... 29

2.2.4. Kebijakan di Bidang Cukai Rokok Kretek... 30

2.2.4.1. Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.597/ KMK.05/ 2001... 30

2.2.4.2. Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.449/ KMK.04/ 2002... 31


(14)

2.2.4.3. Peraturan Menteri Keuangan RI

No.17/ PMK.04/ 2006... 32

2.2.5. Kebijakan di Bidang Kesehatan... 33

2.2.5.1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 81 Tahun 1999... 33

2.2.5.2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2000... 35

2.2.5.3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2003... 36

2.3. Perkembangan I ndustri Cengkeh dan I ndustri Rokok Kretek Nasional... 37

2.3.1. Perkembangan Penawaran Cengkeh... 37

2.3.1.1. Perkembangan Luas Areal Tanaman Cengkeh Menghasilkan... 37

2.3.1.2. Perkembangan Produktivitas Tanaman Cengkeh Menghasilkan... 39

2.3.1.3. Perkembangan Produksi Cengkeh... 41

2.3.1.4. Perkembangan I mpor Cengkeh... 43

2.3.1.5. Perkembangan Stok Cengkeh... 45

2.3.2. Perkembangan Permintaan Cengkeh... 46

2.3.2.1. Perkembangan Permintaan Rokok Kretek... 47

2.3.2.2. Perkembangan Konsumsi Cengkeh... 52

2.3.2.3. Perkembangan Ekspor Cengkeh... 54

2.3.4. Perkembangan Harga Cengkeh dan Harga Rokok Kretek... 55

2.3.4.1. Perkembangan Harga Cengkeh... 55

2.3.4.2. Perkembangan Harga Rokok Kretek... 56

I I I . TI NJAUAN PUSTAKA... 59

3.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu Tentang Percengkehan Nasional... 59

3.1.1. Aspek Permintaan dan Penawaran Cengkeh... 59

3.1.2. Aspek Kebijakan dalam Produksi Cengkeh... 61

3.1.3. Aspek Tataniaga dan Kebijakan dalam Tataniaga Cengkeh... 61

3.1.4. Aspek I ndustri Rokok Kretek... 64


(15)

3.2. Tinjauan Tulisan dan Makalah Tentang Percengkehan

Nasional... 67

3.2.1. Aspek Usahatani Cengkeh... 67

3.2.2. Aspek Kebijakan dalam Percengkehan Nasional... 68

3.2.3. Aspek Kesehatan... 71

3.3. Aspek yang Dikaji dalam Penelitian I ni... 72

I V. METODOLOGI PENELI TI AN... 74

4.1. Kerangka Pemikiran... 74

4.1.1. Kerangka Konseptual... 74

4.1.2. Kerangka Teoritis... 85

4.1.2.1. Kerangka Teoritis Model Keterkaitan I ndustri Cengkeh dan I ndustri Rokok Kretek Nasional.... 85

4.1.2.2. Kerangka Teoritis Policy Analysis Matrix... 94

4.1.2.3. Kerangka Teoritis Game Theory... 101

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 103

4.3. Jenis dan Sumber Data... 104

4.4. Metode Pengambilan Contoh... 106

4.5. Metode Analisis... 108

4.5.1. Pendekatan Deskriptif... 108

4.5.2. Pendekatan Ekonometrik... 108

4.5.2.1. Spesifikasi Model... 109

4.5.2.2. I dentifikasi Model... 122

4.5.2.3. Pendugaan Model... 124

4.5.3. Pendekatan Policy Analysis Matrix... 124

4.5.3.1. Perilaku Produksi Tanaman Cengkeh... 125

4.5.3.2. Asumsi-asumsi dalam Multi-period PAM... 126

4.5.3.3. Metode Penentuan Harga Sosial... 127

4.5.4. Pendekatan Game Theory ... 130

V. KETERKAI TAN I NDUSTRI CENGKEH DAN I NDUSTRI ROKOK KRETEK NASI ONAL... 136

5.1. Penawaran Cengkeh... 136

5.1.1. Luas Areal Tanaman Cengkeh Menghasilkan... 136


(16)

5.1.3. Produksi Cengkeh Nasional... 140

5.1.4. I mpor Cengkeh... 140

5.1.5. Stok Cengkeh... 142

5.1.6. Jumlah Penawaran Cengkeh... 144

5.2. Permintaan Cengkeh... 144

5.2.1. Konsumsi Cengkeh Nasional... 145

5.2.1.1. Konsumsi Cengkeh Pabrik Rokok Kretek... 145

5.2.1.1. Konsumsi Cengkeh Non-Pabrik Rokok Kretek... 147

5.2.2. Ekspor Cengkeh... 147

5.2.3. Jumlah Permintaan Cengkeh... 149

5.3. Harga Cengkeh... 150

5.4. Permintaan, Ekspor dan Harga Rokok Kretek... 151

5.4.1. Permintaan Rokok Kretek... 151

5.4.2. Ekspor Rokok Kretek... 153

5.4.3. Harga Rokok Kretek... 155

5.5. Simpulan... 157

VI . PERKEMBANGAN SI STEM USAHATANI CENGKEH DI SULAWESI UTARA SERTA I NTERAKSI ANTARA PETANI CENGKEH DAN PABRI K ROKOK KRETEK... 159 6.1. Perkembangan Tataniaga Cengkeh... 159

6.2. Perkembangan Usahatani dan Pemasaran... 165

6.3. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Cengkeh... 167

6.3.1. Kondisi Awal... 168

6.3.1.1. Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial... 168

6.3.1.2. Efisiensi Finansial dan Ekonomi... 170

6.3.1.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah dan/ atau Kegagalan Pasar dalam Usahatani Cengkeh... 171

6.3.2. Analisis Dampak Kenaikan Harga Cengkeh... 176

6.3.3. Simpulan... 180

6.4. Analisis Game Theory Permasalahan Percengkehan Nasional 181 6.4.1. Pilihan Strategi Masing-masing Pemain... 182

6.4.2. Simpulan... 185


(17)

VI I . SI MPULAN DAN I MPLI KASI KEBI JAKAN... 187

7.1. Simpulan... 187

7.2. I mplikasi Kebijakan... 189

7.3. Saran Penelitian Lanjutan... 191

DAFTAR PUSTAKA... 193


(18)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan Cengkeh Dalam Rokok Kretek Yang Digunakan Pabrik

Rokok Kretek... 4 2. Konsumsi Cengkeh untuk Rokok Kretek, Tahun 1994-2004... 5 3. Produksi Cengkeh Dunia, Tahun 1997-2004... 7 4. Tarif Cukai Rokok Berdasarkan SK. a.n. Menteri Keuangan RI

Dirjen Bea CukaiNomor 609a/ KMK.04/ 2001... 31 5. Tarif Cukai Rokok Berdasarkan SK Menteri Keuangan RI Nomor

449/ KMK.04/ 2002... 32 6. Tarif Cukai Rokok Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI

Nomor 17/ PMK.04/ 2006... 33 7. Perkembangan Luas Areal Tanaman Cengkeh Nasional, Tahun

1975-2004... 38 8. Perkembangan Produksi Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004... 42 9. Perkembangan I mpor Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004... 44 10. Perkembangan Produksi Rokok Kretek Nasional, Tahun

1975-2004... 48 11. Perkembangan Ekspor Rokok Kretek Nasional, Tahun

1975-2004... 51

12. Perkembangan Kandungan Cengkeh Dalam Rokok Kretek Menurut Berbagai Penelitian/ Laporan, Tahun 1989-2003... 53 13. Perkembangan Ekspor Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004... 55 14. Perkembangan Harga Riil Cengkeh di Pasar Domestik dan Dunia,

Tahun 1975-2004... 56 15. Perkembangan Harga Riil Rokok Kretek dan Rokok Putih, Tahun

1975-2004... 57 16. Bentuk Umum Tabel Multi-period PAM... 95 17. Peubah-peubah yang Digunakan dalam Gaming Permasalahan

Percengkehan Nasional... 135 18. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Areal

Tanaman Cengkeh Menghasilkan... 137 19. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas

Tanaman Cengkeh... 139


(19)

20. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi I mpor

Cengkeh... 141

21. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stok Cengkeh 143 22. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Cengkeh Pabrik Rokok Kretek... 146

23. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Cengkeh... 148

24. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Cengkeh... 150

25. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Rokok Kretek... 152

26. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Rokok Kretek... 154

27. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Rokok Kretek... 155

28. Struktur Marjin Tataniaga Cengkeh di Sulawesi Utara, Tahun 2005... 164

29. Nailai Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial... 169

30. Rasio Biaya Privat dan Rasio Sumberdaya Domestik... 170

31. Transfer Output dan Koefisien Proteksi Output Nominal... 172

32. Transfer I nput dan Koefisien Proteksi I nput Nominal... 173

33. Transfer Faktor dan Transfer Bersih... 175

34. Koefisien Proteksi Efektif, Koefisien Profitabilitas dan Rasio Subsidi Bagi Produsen... 176

35. Dampak Peningkatan Harga Cengkeh Berdasarkan Tiga Alternatif Kebijakan... 179


(20)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Penggunaan Cukai Rokok Kretek, Tahun 1999-2004... 2

2. Perkembangan Produksi Rokok Kretek, Tahun 1975-2004... 3

3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Cengkeh, Tahun 1994-2004... 6

4. Sistem Tataniaga Cengkeh Menurut Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980... 23

5. Sistem Tataniaga Cengkeh Menurut Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992... 27

6. Perkembangan Produktivitas Tanaman Cengkeh Nasional... 40

7. Perkembangan Stok Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004... 46

8. Perkembangan Konsumsi Rokok Per Kapita Menurut Jenisnya, Tahun 1975-2002... 50

9. Struktur Percengkehan Nasional... 75

10. Dampak Stabilisasi Harga Akibat Fluktuasi Pasokan Cengkeh... 77

11. Prinsip Penyanggaan Cengkeh oleh BPPC... 80

12. Dilema Narapidana... 103

13. Bentuk Permainan antara Petani Cengkeh dan PRK... 135


(21)

DAFTAR LAMPI RAN

Nomor Halaman

1. Hasil Pendugaan Model Ekonometrik Percengkehan Nasional... 199

2. Nama-nama Peubah dalam Model Ekonometrik Percengkehan Nasional... 204

3. Data Peubah-peubah yang Digunakan dalam Model Ekonometrik Percengkehan Nasional... 206

4. Hasil Perhitungan Harga Sosial Output dan I nput Tradable... 214

5. Hasil Perhitungan Harga Sosial Modal... 215

6. Hasil Perhitungan Multi-period PAM pada Kondisi Awal... 216

7. Hasil Perhitungan Multi-period PAM untuk Simulasi Alternatif Kebijakan I : Harga Cengkeh Rp. 30 000 per kg... 217

8. Hasil Perhitungan Multi-period PAM untuk Simulasi Alternatif Kebijakan I I : Harga Cengkeh Rp. 32 500 per kg... 218

9. Hasil Perhitungan Multi-period PAM untuk Simulasi Alternatif Kebijakan I I I : Harga Cengkeh Rp. 40 000 per kg... 219


(22)

1.1. Latar Belakang

Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi perekonomian nasional. Dikatakan unik karena I ndonesia adalah negara

produsen sekaligus konsumen bahkan merupakan pengimpor cengkeh terbesar di pasar cengkeh dunia yang tipis (thin market), yang hanya dapat memenuhi maksimal seperempat dari kebutuhan nasional (Gonarsyah, 1996). Dikatakan strategis karena komoditas ini berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja,

baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, berupa penyerapan tenaga kerja dalam usahatani cengkeh secara keseluruhan, yang

dimulai dari kegiatan budidaya sampai dengan proses panen dan pascapanen serta pemasaran cengkeh. Sementara itu, secara tidak langsung, melalui

penyerapan tenaga kerja, dalam keseluruhan kegiatan di dalam pabrik rokok kretek. Selain itu, penyerapan tenaga kerja juga dalam kegiatan lain yang terkait

dengan industri rokok kretek, seperti: percetakan, pedagang pengecer maupun petani tembakau dalam kegiatan usahatani tembakau.

Gonarsyah (1998) mengemukakan bahwa usahatani cengkeh mampu menghidupi sekitar 6 hingga 8 juta orang dan menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi sebagian besar daerah sentra produksi cengkeh. Di lain

pihak, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok I ndonesia atau Gappri (2003), menyatakan bahwa industri rokok kretek yang merupakan industri khas

I ndonesia mampu menghidupi sekitar 18 hingga 20 juta orang dalam kegiatan memproduksi dan memasarkan produk rokok kreteknya yang terdiri dari sigaret


(23)

Selain itu, bagi perekonomian nasional, industri rokok kretek juga

mempunyai peranan strategis karena memiliki kontribusi yang signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), khususnya melalui

penerimaan pajak dalam negeri yang bersumber dari cukai dan pajak penghasilan. 0 5 10 15 20 25 30

94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04

TAHUN P E NG G UNA AN P IT A CU KAI (T RI L Y U N RU P IA H)

Sumber: Gappri, 2005

Gambar 1. Penggunaan Cukai Rokok Kretek, Tahun 1994-2004

Gambar di atas menunjukkan bahwa penggunaan pita cukai rokok kretek,

selama kurun waktu tahun 1994-2004, cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya produksi rokok kretek serta searah dengan ditingkatkannya target penerimaan negara yang bersumber dari cukai. Pada

tahun 2005, penerimaan pemerintah dari cukai mencapai Rp. 33.3 trilyun dimana sebagian besar atau sekitar 98 persen merupakan kontribusi dari cukai hasil

tembakau, yakni sebesar Rp. 32.6 trilyun. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan industri rokok kretek cukup signifikan kontribusinya terhadap

penerimaan negara (Siregar dan Suhendi, 2006). Disamping itu, pabrik rokok kretek (PRK) merupakan salah satu industri nasional yang mampu bertahan dan


(24)

terus berkembang hingga kini, tampak bahwa setelah berlangsungnya krisis

moneter pada tahun 1998, penggunaan cukai rokok kretek justru mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan sebelum krisis, artinya industri

ini mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Malah belakangan ini, pada tanggal 19 Mei 2005, PT. Phillip Morris, salah satu produsen rokok dunia

mengakuisisi saham PT. H.M. Sampoerna Tbk, salah satu dari 3 produsen utama rokok kretek1.

0 50 100 150 200 250

1975 1978 1981 1984 1987 1990 19993 1996 1999 2002

TAHUN P RO DU KS I RO KO K K RE T E K (M IL Y AR BAT AN G )

SKT SKM KLB TOTAL

Sumber: Gappri, 2005

Gambar 2. Perkembangan Produksi Rokok Kretek, Tahun 1975-2004

Sementara itu, data yang kemukakan Gappri (2005), menunjukkan bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun, yaitu dari tahun 1994 hingga 2004, total

produksi rokok kretek meningkat sebesar 30.6 persen. Pada tahun 1994, total produksi masih sekitar 156.3 milyar batang, yang didominasi oleh SKM sebesar

69.2 persen, diikuti SKT sebesar 30.4 persen dan KLB sebesar 0.4 persen. Sedangkan pada tahun 2004, produksi rokok kretek menjadi 204.2 milyar


(25)

batang, yang tetap didominasi oleh SKM sebesar 59.1 persen, diikuti SKT

sebesar 40.6 persen dan KLB sebesar 0.3 persen. Hal menarik yang tampak pada peningkatan produksi rokok kretek ini adalah meskipun produksi rokok kretek

masih tetap didominasi oleh rokok jenis SKM namun tingkat produksinya justru mengalami penurunan sebesar 10.1 persen, sementara produksi rokok jenis SKT

meningkat sebesar 10.2 persen dan produksi rokok jenis KLB cenderung tetap. Pesatnya peningkatan produksi rokok kretek produksi dalam negeri, didorong oleh dua hal, yaitu: (1) meningkatnya potensi pasar rokok kretek di

dalam negeri. Ditunjukkan oleh meningkatnya rata-rata konsumsi rokok kretek per kapita per bulan, baik untuk daerah pedesaan maupun daerah perkotaan,

dari 2.4 batang SKT dan 4.0 batang SKM pada tahun 1990 menjadi 3.7 batang SKT dan 6.0 SKM pada tahun 2003 dan (2) meningkatnya potensi ekspor rokok

kretek terlihat dari nilai ekspor rokok kretek. Ditunjukkan oleh meningkatnya sumbangan devisa dari ekspor rokok kretek, dari 100 juta US$ tahun 1998, 113

juta US$ tahun 1999, 137 juta US$ tahun 2000, dan 172 juta US$ tahun 2001, serta bertambahnya negara-negara tujuan ekspor baru yang cukup potensial

bagi rokok kretek produksi I ndonesia (BPS, 2003).

Tabel 1. Kandungan Cengkeh Dalam Rokok Kretek Yang Digunakan Pabrik Rokok Kretek

(mg/ batang) Jenis Rokok Kretek

Tahun Sigaret Kretek Tangan (SKT)

Sigaret Kretek

Mesin (SKM) Klobot (KLB)

1989 800 600 1 000

1995 640 480 880

2004 650 350 880

Sumber: Gonarsyah, 1996 ; Gappri, 2004

Meningkatnya produksi rokok kretek, secara teoritis mestinya berarti akan


(26)

utamanya karena permintaan akan cengkeh merupakan permintaan turunan

(derived demand) dari permintaan akan rokok kretek. Kebutuhan akan cengkeh pabrik rokok kretek (PRK), yang merupakan konsumen utama cengkeh karena

menyerap sekitar 90 persen produksi cengkeh nasional, tergantung pada besarnya kandungan cengkeh jenis-jenis rokok kretek yang diproduksinya. Rokok

jenis SKM menggunakan cengkeh lebih sedikit dibandingkan jenis SKT dan KLB. Perkembangan penggunaan cengkeh PRK menurut jenis rokok kretek, yang diproduksinya, dapat dilihat pada Tabel 1. Tampak bahwa terjadi penurunan

kandungan cengkeh yang cukup signifikan terutama untuk rokok jenis SKM, sementara untuk rokok jenis SKT dan KLB kandungan cengkehnya cenderung

tidak berubah.

Dibandingkan dengan produksi rokok kretek PRK yang menunjukkan

peningkatan pesat, maka konsumsi cengkeh PRK cenderung stagnan. Dalam periode tahun 1994 hingga 1999, konsumsi cengkeh mengalami pertumbuhan

rata-rata sebesar 1.9 persen per tahun. Sedangkan untuk periode tahun 2000 hingga 2004 pertumbuhan rata-rata tersebut mengalami levelling off hingga hanya mencapai 0.7 persen per tahun.

Tabel 2. Konsumsi Cengkeh untuk Rokok Kretek, Tahun 1994-2004

(Ton)

Tahun Konsumsi Cengkeh Tahun Konsumsi Cengkeh

1994 95 378 2000 96 818

1995 98 703 2001 96 106

1996 92 298 2002 86 823

1997 96 777 2003 85 245

1998 99 906 2004 95 670

1999 93 410


(27)

Sementara itu, perbandingan perkembangan produksi dan konsumsi

cengkeh nasional, dapat dilihat pada Gambar 3. Tampak bahwa, perkembangan produksi cengkeh cenderung fluktuatif bila dibandingkan dengan perkembangan

konsumsi cengkeh yang cenderung stagnan. Terjadinya fluktuasi produksi cengkeh, terutama disebabkan oleh perilaku produksi tanaman cengkeh itu

sendiri yang mengikuti siklus empat tahunan. Produksi cengkeh mencapai puncaknya pada saat panen raya berlangsung, setelah itu produksi akan kembali turun drastis pada tahun berikutnya karena tanaman cengkeh dalam tahap

pemulihan, setelah itu terjadi panen kecil pada dua tahun berikutnya, dan begitu seterusnya.

0 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000

94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04

TAHUN

VO

L

U

M

E (

T

O

N

)

PRODUKSI KONSUMSI Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan, Gappri dan FAO (2005)

Gambar 3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Cengkeh, Tahun 1994-2004

Selain itu, gejala penurunan produksi juga disebabkan oleh kurang

intensifnya pemeliharaan tanaman di sebagian besar daerah sentra produksi cengkeh, sebagai dampak dari rendahnya tingkat harga cengkeh pada beberapa


(28)

tanaman cengkeh yang mati karena diserang hama dan penyakit seperti bakteri

pembuluh kayu cengkeh (BPKC), cacar daun cengkeh (CDC) dan gugur daun cengkeh (GDC). Sedangkan konsumsi cengkeh nasional dari pabrik rokok kretek

yang menguasai sebagian besar produksi cengkeh dunia, cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya produksi rokok kretek (Gonarsyah,

1998; Ditjen Perkebunan, 2000).

Tabel 3. Produksi Cengkeh Dunia, Tahun 1997-2004

(Ton)

Tahun Produksi Negara

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Asia 62 194 70 227 57 003 76 247 83 384 92 759 92 809 92 809

I ndonesia 59 194 67 177 52 903 74 047 80 684 87 909 87 909 87 909

China 300 350 400 500 500 550 600 600

Malaysia 200 200 200 200 200 200 200 200

Srilanka 2 500 2 500 3 500 1 500 2 000 4 100 4 100 4 100

Afrika 19 046 20 844 25 535 28 732 29 275 31 419 31 563 31 550

Komoro 2 000 2 294 2 438 2 582 2 725 2 869 3 013 3 000

Grenada 20 20 20 20 20 20 20 20

Kenya 40 50 70 550 550 550 550 550

Madagaskar 14 500 13 500 15 000 15 600 15 500 15 500 15 500 15 500

Tanzania 2 506 5 000 8 027 10 000 10 500 12 500 12 500 12 500

Dunia 81 204 91 071 82 538 104 979 112 659 124 178 124 372 124 359

Sumber: Food and Agriculture Organization (FAO), 2005

Produksi cengkeh I ndonesia tahun 2004 sekitar 87.9 ribu ton, sedangkan produksi cengkeh dunia pada tahun yang sama mencapai sekitar 124.4 ribu ton

(Tabel 3). Dari tahun 2000-2004, tampak bahwa I ndonesia memberikan kontribusi produksi cengkeh rata-rata sebesar 71 persen terhadap total produksi

dunia. Sedangkan untuk Asia, I ndonesia memberikan kontribusi produksi rata-rata sebesar 95 persen. Dua negara lain yang cukup potensial sebagai penghasil

cengkeh adalah Madagaskar dan Tanzania (Zanzibar) yang total produksinya mencapai sekitar 20 000 hingga 27 000 ton per tahun. Disamping itu, terdapat

enam negara sebagai produsen kecil, yaitu Komoro, Srilanka, Malaysia, China, Grenada, Kenya dan Togo, dengan total produksi mencapai sekitar 5 000 hingga


(29)

1.2. Perumusan Masalah

Permintaan cengkeh pada hakekatnya merupakan permintaan turunan (derived demand) dari permintaan akan rokok kretek. Dan dengan asumsi inventori/ stok adalah konstan maka perkembangan permintaan akan rokok kretek dapat didekati melalui perkembangan produksi rokok kretek (Gwyer, 1977

dan Gonarsyah, 1996). Secara umum, walaupun cukai yang dikenakan dan kampanye anti rokok terus meningkat, namun sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, produksi rokok kretek menunjukkan peningkatan yang signifikan

dari tahun ke tahun, terutama untuk rokok jenis SKT, dimana kandungan cengkehnya lebih banyak daripada rokok jenis SKM. Selama kurun waktu

1994-2004, produksi rokok jenis SKT meningkat dari 30.4 persen menjadi 40.6 persen dari total produksi rokok kretek (Gappri, 2005).

Mengingat terbatasnya produksi cengkeh negara produsen lain seperti Madagaskar dan Tanzania (Zanzibar) serta negara produsen kecil lainnya yang

hanya mampu memasok sekitar 20-25 persen dari konsumsi cengkeh PRK, maka kebutuhan cengkehnya sangat bertumpu pada produksi domestik. Secara

teoritis, adanya peningkatan permintaan cengkeh sementara penawarannya cenderung terbatas akan menyebabkan harga cengkeh cenderung meningkat.

Namun, harga per kilogram cengkeh di tingkat petani tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Belakangan ini, dengan diberlakukannya Keppres RI

Nomor 21 Tahun 1998 tentang Perdagangan Cengkeh, dimana cengkeh produksi dalam negeri diperdagangkan secara bebas berdasarkan harga pasar, maka

fluktuasi harga cengkeh terjadi lagi. Pada awal pemberlakuan kebijakan ini, rata-rata harga cengkeh meningkat hampir tiga kali lipat dari Rp. 7 420 per kg tahun


(30)

hingga berkisar antara Rp. 75 000 hingga Rp. 100 000 per kg pada Juni 2002,

namun kembali berangsur turun hingga mencapai titik terendah pada Rp. 13 500 diakhir tahun 2003 (Ditjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,

Puslitbun, dan FAO, 2004)2. Meskipun perkembangan terakhir menunjukkan bahwa harga cengkeh per kilogram berangsur meningkat kembali, antara

Rp. 30 000 hingga Rp. 40 0003, namun Simatupang (2003) menyatakan bahwa pada kondisi normal, anjloknya harga cengkeh semestinya tidak terjadi karena neraca cengkeh I ndonesia masih defisit, dalam arti kebutuhan atau konsumsi

dalam negeri masih lebih besar dari pada produksi, sementara volume perdagangan cengkeh di pasar dunia juga amat kecil. Dari perspektif nasional, ini

berarti tantangan untuk dapat meningkatkan produksi cengkeh dan menutupi kesenjangan ini.

Uraian di atas menunjukkan bahwa antara petani cengkeh dan PRK memiliki kesalingtergantungan yang tinggi. Di satu pihak, bagi petani cengkeh,

adanya fluktuasi harga berdampak langsung pada kegiatan usahataninya, tingkat pendapatan serta kesejahteraannya, sehingga dibutuhkan jaminan kestabilan

harga untuk kepastian kelangsungan kegiatan usahataninya. Apalagi pemasaran cengkehnya sangat tergantung pada tingkat kebutuhan cengkeh PRK sebagai

konsumen utama cengkeh. Di lain pihak, kelangsungan produksi rokok kretek dari PRK, juga sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku cengkeh

produksi dalam negeri, karena relatif terbatasnya pasokan cengkeh impor. Dengan demikian kontinuitas pasokan cengkeh yang berasal dari produksi dalam

negeri sangat dibutuhkan bagi kelangsungan proses produksi rokok kretek.

2

Koran Tempo, 10 Desember 2003


(31)

Namun kenyataannya, petani cengkeh memiliki posisi tawar-menawar yang lebih

rendah dibandingkan dengan PRK.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, melalui beberapa kebijakan

di bidang tataniaga, seperti Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 atau Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992, yang dalam pelaksanaannya membentuk BPPC, juga

dengan meningkatkan peran KUD sebagai lembaga tataniaga, namun hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Padahal untuk menjamin kelangsungan usaha masing-masing sekaligus untuk masa depan industri cengkeh dan industri

rokok kretek nasional sangat tergantung kepada kerjasama yang sinergis antara petani cengkeh dan PRK melalui Gappri. Namun, mengapa upaya kearah ini

belum dapat terwujud? Dari hasil evaluasi terhadap pelaksanaan tataniaga cengkeh menurut Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992, Gonarsyah et al. (1995) menyarankan agar pemerintah membatasi kegiatan penyanggaan dengan mengikutsertakan Gappri. Sementara itu, Husodo (2006) menyatakan bahwa

perlu diciptakan hubungan kemitraan yang adil dan harmonis antara petani dan pabrik rokok kretek agar tercapai kesepakatan harga yang menguntungkan

semua pihak, juga perlu untuk memperkuat posisi tawar petani cengkeh.

Dari penjelasan di atas, menarik untuk dikaji:

1. Bagaimana keterkaitan antara industri cengkeh nasional dan industri rokok

kretek dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?

2. Berapa sebenarnya harga cengkeh per kilogram? Bagaimana sebenarnya

rentabilitas usahatani cengkeh? Bagaimana dengan perubahan harga cengkeh dan kebijakan pemerintah di bidang tataniaga terhadap rentabilitas


(32)

3. Bagaimana kemungkinan adanya kerjasama antara industri cengkeh nasional

(petani cengkeh) dan industri rokok kretek (pabrik rokok kretek) dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?

Beberapa penelitian terdahulu sebenarnya telah mencoba menelaah

isu-isu tersebut di atas, seperti beberapa studi berikut ini :

Studi tentang permintaan dan penawaran cengkeh dilakukan oleh Gwyer (1976) dan Chaniago (1980). Selain itu, pernah juga dilakukan oleh Wachyutomo (1996), yang menggunakan pendekatan ekonometrik untuk menganalisis

dampak kebijakan pemerintah dalam percengkehan nasional dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa satu-satunya kebijakan yang berdampak pada

peningkatan surplus dan penerimaan petani produsen cengkeh serta produsen sigaret kretek adalah kebijakan kenaikan harga cengkeh di tingkat petani.

Sementara itu, penelitian yang mengevaluasi perkembangan serta pelaksanaan tataniaga cengkeh di Sulawesi Utara oleh Rumondor (1993) dan

secara nasional, dilakukan oleh Gonarsyah et al. (1995), hasil penelitiannya antara lain menyarankan bahwa perlu dibatasi kegiatan penyanggaan oleh BPPC

dengan mengikut sertakan Gappri.

Dalam kaitannya dengan usahatani cengkeh di Sulawesi Utara, Dumais et al. (2002) mengevaluasi dampak kebijakan pemerintah apabila diterapkan suatu kebijakan pemerintah daerah berupa pajak terhadap komoditas tersebut.

Namun, masih menggunakan metode analisis single-period PAM.

Sedangkan penelitian mengenai industri rokok kretek, pernah dilakukan

oleh Bird (1999) yang menguji aspek struktur pasarnya, Sumarno dan Kuncoro (2002) menelaah struktur, kinerja dan klusternya, dan Wibowo (2003) yang


(33)

mencoba menggambarkan potret industri rokok I ndonesia, serta Tjahjaprijadi

dan I ndarto (2003) yang menganalisis pola konsumsi rokok kretek.

Sebagaimana penjelasan di atas, tampak bahwa studi-studi terdahulu,

pendekatannya secara parsial, dan hasilnya relatif kurang memuaskan, dalam arti temuan yang diperoleh belum dapat memperbaiki industri percengkehan

nasional. Dengan menganalisisnya secara utuh dan dengan menggunakan pendekatan ekonometrik, matriks analisis kebijakan (PAM), dan teori permainan (game theory), diharapkan hasil studi ini dapat memberikan masukan berharga bagi perkembangan percengkehan nasional.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keterkaitan antara perkembangan

industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional. Secara spesifik, bertujuan untuk :

1. Menganalisis keterkaitan antara industri cengkeh nasional dan industri rokok

kretek dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya

2. Menganalisis perkembangan sistem produksi dan tataniaga dalam usahatani

cengkeh di Sulawesi Utara.

3. Menganalisis kemungkinan kerjasama antara industri cengkeh nasional

(petani cengkeh) dan industri rokok kretek (pabrik rokok kretek).

Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber

informasi tentang perkembangan percengkehan nasional. Dan secara khusus, dapat menjadi bahan masukan serta pertimbangan bagi pemerintah dalam


(34)

nasional. Selain itu, juga sebagai bahan masukan bagi berbagai pihak lainnya

yang terkait dalam permasalahan percengkehan nasional, lebih khusus lagi bagi upaya peningkatan kesejahteraan petani cengkeh. Serta sebagai bahan rujukan

untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah percengkehan nasional dengan dua

komponen utamanya yaitu industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional. Untuk menganalisis hubungan antara industri cengkeh dan industri rokok

kretek nasional serta analisis usahatani cengkeh, digunakan data primer dan data sekunder yang dipublikasikan. Lokasi penelitian untuk usahatani cengkeh,

dibatasi pada salah satu daerah sentra produksi cengkeh yang potensial di I ndonesia yakni Provinsi Sulawesi Utara, dan lokasi ini ditentukan secara sengaja

supaya dapat diperoleh informasi yang relatif akurat mengenai pertanaman cengkeh.

Sedangkan, untuk industri rokok kretek, informasi yang bisa ditelusuri relatif terbatas karena hanya dapat diperoleh melalui publikasi Gappri serta

publikasi dari berbagai media lainnya yang tersedia karena adanya hambatan struktural sehingga mengalami kesulitan untuk mengakses secara langsung ke pabrik rokok kretek.

1.5. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini :

1. Keterbatasan data terutama data yang berasal dari industri rokok kretek,


(35)

serta data biaya produksi rokok kretek menurut jenis rokok kretek yang

diproduksi oleh pabrik rokok kretek.

2. Keterbatasan data deret waktu percengkehan nasional yang memadai

sehingga tidak memungkinkan penulis untuk menggunakan pendekatan lain selain yang digunakan dalam penelitian ini, misalnya pendekatan cointegration dan vector error corection model (VECM).

3. Keterbatasan data harga output dan input pada analisis multi-period PAM sehingga digunakan data pada saat penelitian ini dilakukan (2005).


(36)

Pada bagian ini, akan dipaparkan tinjauan perkembangan pertanaman cengkeh di I ndonesia, tinjauan perkembangan kebijakan dalam percengkehan

nasional, serta perkembangan industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional.

2.1. Tinjauan Perkembangan Pertanaman Cengkeh di I ndonesia 2.1.1. Sejarah Singkat Penyebaran Tanaman Cengkeh

Hingga saat ini, belum ada kesepakatan di antara para ahli botani tentang asal tanaman cengkeh. Cosmos I ndocoplantus, seorang biarawan Mesir pada

tahun 547, secara tegas menyatakan bahwa cengkeh berasal dari Tiongkok dan Thailand. Tetapi menurut Nicolo Conti seorang saudagar Venesia, orang pertama

yang membuka tabir rahasia asal rempah-rempah termasuk cengkeh, adalah daerah Banda di I ndonesia. Pendapat ini didukung oleh banyak ahli yang

menyatakan bahwa cengkeh berasal dari gugusan pulau-pulau Ternate, Tidore, Roti, Makian dan Bacan di kepulauan Maluku. Terlepas dari hal itu, yang jelas

hingga abad ke delapan belas, kepulauan Maluku merupakan satu-satunya produsen cengkeh terbesar di dunia. Di daerah itu pula ditemukan tanaman

cengkeh tertua di dunia, tepatnya di Pulau Ternate.

Selanjutnya, penyebaran tanaman cengkeh ke kepulauan lainnya di

I ndonesia dimulai sejak tahun 1798, ketika I nggris menduduki Bengkulu dan ini merupakan penanaman pertama cengkeh di luar kepulauan Maluku. Selanjutnya

penanaman cengkeh di Sumatera Barat, pada tahun 1878 yang menyebar ke Tapanuli dan Aceh. Sedangkan di Sulawesi Utara mulai ditanam pada tahun


(37)

1870. Sementara itu, penyebaran cengkeh ke luar negeri, terjadi pada saat VOC

memonopoli perdagangan cengkeh di Maluku, bibit tanaman cengkeh diselundupkan keluar pulau Maluku untuk dibudidayakan di Malagasi dan

Tanzania oleh pedagang Arab. Di Zanzibar cengkeh dimuliakan oleh ahli-ahli Perancis dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia, bahkan kembali lagi ke tanah

asalnya yaitu I ndonesia. Saat ini, tanaman cengkeh telah menyebar di hampir seluruh I ndonesia bahkan dunia (Dhalimi, 1997; Najiyati dan Danarti, 2003).

2.1.2. Tipe, Karakteristik dan Aspek I klim Tanaman Cengkeh

Hadipoentyanty (1997), mengemukakan bahwa cengkeh merupakan tanaman asli I ndonesia, termasuk famili Myriaceae yang mempunyai ± 3 000

jenis tersebar di daerah tropik dan subtropik. Eugenia merupakan genera yang terbesar dengan ± 2 800 jenis yang tersebar luas di daerah tropik dan subtropik

di Amerika, Asia, Afrika dan Australia. Akan tetapi beberapa ahli memasukkannya ke dalam Syzygium. Adapun sistematiknya adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae Klasis : Dicotyledoneae

Sub klasis : Dialypetales Bangsa : Myrtales

Suku : Myrtaceae Marga : Eugenia/ Syzygium Jenis : Eugenia aromaticum L.


(38)

Secara umum, tanaman cengkeh memiliki karakteristik seperti berikut ini,

tanaman ini berbentuk pohon dan tingginya dapat mencapai 15-40 meter, dengan kanopi berbentuk piramid, silindris dan bulat, tergantung pada

varietasnya. Memiliki akar tunggang yang mampu mencapai kedalaman hingga tujuh meter. Batangnya berkayu keras, tumbuh lurus ke atas, membentuk

percabangan dengan anak-anak cabang yang tumbuh miring ke atas dengan sudut kira-kira 45 derajat pada pangkalnya. Daun letaknya berhadap-hadapan

dengan ranting dan beraroma, berukuran panjang 7-13 cm dan lebar 3-6 cm, sementara bentuknya lonjong dengan pangkal daun yang runcing sampai tumpul dan ujungnya biasanya runcing. Cengkeh mempunyai sistem pembungaan

terminal, berbentuk tandan yang terdiri dari 5-25 bunga dan bersifat hermaprodit, ketika matang buah tersebut berwarna ungu merah kehitaman,

dengan daging buah relatif tebal, berbentuk bulat telur sampai lonjong dan berukuran panjang 2.5-3.5 cm dengan diameter 1-2 cm. Bijinya berbentuk bulat

telur sampai lonjong dan mempunyai dua keping lembaga (dicotyl).

Cengkeh di I ndonesia bermacam-macam tipe dan memiliki kriteria yang

berbeda pula. Menurut Rahayu, terdapat enam tipe cengkeh yang berada di kebun koleksi Sukamantri dan koleksi Balittro di Cimanggu yaitu Zanzibar,

Sikotok, Simenir, Siputih, Ambon dan Sihutan. Sementara Hadiwijaya membedakan tipe cengkeh menjadi tiga golongan yaitu Zanzibar, Sikotok dan

Siputih, yang dikenal dan banyak dibudidayakan di I ndonesia.

Dilihat dari persyaratan tumbuh, tanaman cengkeh dapat tumbuh dengan

baik pada 200 lintang utara dan lintang selatan dan masih bisa tumbuh di daerah-daerah dengan curah hujan sampai dengan 6 000 mm per tahun.


(39)

cukup merata. Untuk petumbuhannya, curah hujan optimal bagi tanaman

cengkeh berkisar antara 1 500 hingga 4 500 mm per tahun. Suhu optimal yang dikehendaki tanaman ini adalah 22-330 C, dengan suhu siang hari tidak lebih dari

340C. Kelembaban nisbi antara 60-80 persen. Tanaman ini juga dapat dibudidayakan di daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, namun lebih

cocok pada ketinggian 0-900 m di atas permukaan laut (dpl), dengan ketinggian optimum pada 300-600 m dpl. Tanaman ini akan lebih produktif bila ditanam di

dataran rendah, sehubungan dengan suhu udara, dimana semakin tinggi tempat suhu udaranya semakin rendah.

Selain iklim, faktor tanah juga memegang peranan penting pada

pertumbuhan dan produksi cengkeh, terutama sifat fisiknya. Jenis tanah yang baik untuk tanaman ini adalah latosol, andosol dan podsolik merah. Tanaman

cengkeh menyukai tanah gembur dengan drainase yang baik. Derajat keasaman (pH) yang cocok untuk tanaman cengkeh adalah 5.5-5.6. Kondisi tanah yang

dikehendaki adalah remah, drainase dan aerase yang baik, kedalaman air tanah sekitar 3 meter serta tidak terdapat lapisan tanah yang keras (Ruhnayat dan

Wahid, 1997; Siregar dan Suhendi 2006).

2.2. Tinjauan Kebijakan Percengkehan Nasional 2.2.1. Kebijakan di Bidang Produksi

Hadiwijaya (1992) menyatakan bahwa awal mula adanya kebijakan di

bidang produksi, dilatarbelakangi oleh tingginya impor cengkeh I ndonesia pada tahun 1941/ 1942 dari Zanzibar, Pemba dan Madagaskar yang merupakan

produsen cengkeh terbesar di dunia saat itu. Hal ini menyebabkan, hingga tahun limapuluhan I ndonesia berusaha meningkatkan produksi dan produktivitas


(40)

tanaman cengkehnya, melalui peningkatan luas areal pertanaman cengkeh

(ekstensifikasi) maupun peningkatan sistem penanaman dan pemeliharaan tanaman cengkeh (intensifikasi).

Sampai tahun 1958/ 1959, I ndonesia tidak memiliki perkebunan besar cengkeh hingga Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek I ndonesia (Gappri)

memelopori dan membiayai Pilot Project Perkebunan Besar Cengkeh di perkebunan Brangah Banaran Jawa Timur seluas 550 hektar, Selokaton Jawa

Tengah seluas 300 hektar, serta Pasir Madang dan Jonggol Jawa Barat masing-masing seluas 1 700 hektar dan 300 hektar. Namun, pada tahun 1963/ 1964 proyek perkebunan di Jonggol Jawa Barat dihentikan karena ada gangguan dari

BTI . Pilot Project Perkebunan Besar Cengkeh tersebut menanam cengkeh tipe Zanzibar suatu tipe cengkeh unggul hasil seleksi Prof. Tojib Hadiwijaya yang

merupakan hasil silangan antara tipe Bunga-lawang-kiri dengan tipe sikotok. Kemudian mulai tahun 1969, perkebunan Brangah Banaran, Pasir Madang dan

Selokaton telah berfungsi sebagai Kebun I nduk Pilihan dan benih unggulnya disebarluaskan ke seluruh I ndonesia.

Sejak tahun 1969 berbagai kegiatan dalam pengembangan cengkeh telah dilakukan. Selama periode Pelita I hingga Pelita I I I telah dilakukan kegiatan

penyebaran benih cengkeh ke seluruh propinsi di I ndonesia kecuali propinsi DKI Jakarta dan Timor Timur. Kegiatan tersebut merupakan pola parsial sehingga

biaya penanaman cengkeh diluar penyediaan benih tersebut ditanggung oleh petani. Hingga Pelita I V kegiatan penyediaan benih masih tetap dilakukan oleh

berbagai propinsi dengan sumber dananya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD). Selanjutnya, pada periode tahun 1976 hingga 1982 telah


(41)

Masal yang paketnya disalurkan baik berupa uang tunai untuk pemeliharaan

kebun dan berupa pupuk dan pestisida untuk sarana produksi. Kegiatan ini dilakukan oleh UPP I ntensifikasi Cengkeh di 9 propinsi, yaitu : D.I . Aceh,

Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku (Soeharjan, 1989).

Selain itu, dilakukan kegiatan pembinaan dan penyuluhan kepada petani secara terus menerus, juga dilakukan berbagai kegiatan dalam Proyek Monitoring Pemantapan Produksi Cengkeh dimana dananya dari bantuan presiden

(BANPRES). Proyek tersebut dilakukan di 25 propinsi, dan kegiatannya adalah melakukan monitoring mengenai berbagai aspek produksi cengkeh di lokasi

tersebut, serta pembuatan kebun percontohan yaitu kebun milik petani yang diberikan sarana produksi sehingga dapat dicontoh oleh para petani disekitarnya.

Hasil dari berbagai kegiatan tersebut adalah terjadi peningkatan luas areal pertanaman cengkeh dan produksi cengkeh. Setelah tercapainya swa sembada

cengkeh pada tahun 1983 dan 1984, hingga kini tidak ada lagi paket kebijakan pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang

menunjang peningkatan luas areal pertanaman cengkeh maupun produksi dan produktivitas cengkeh cengkeh.

2.2.2. Kebijakan di Bidang Tata Niaga

Dalam tata niaga cengkeh produksi dalam negeri maupun cengkeh impor, banyak kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah, masing-masing

kebijakan memiliki dasar pertimbangan tersendiri pula. Berbagai paket kebijakan

tersebut dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden Republik I ndonesia (Keppres RI ) dan dilengkapi dengan Surat Keputusan Menteri dari instansi yang


(42)

terkait (Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, 1991 dan 1992; Gonarsyah, 1995).

Berikut ini akan diuraikan tiga kebijakan utama yang dianggap penting dalam sejarah tata niaga cengkeh:

2.2.2.1. Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980

Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 yang ditetapkan tanggal 15 Januari

1980 tentang Tata Niaga Cengkeh Produksi Dalam Negeri bertujuan, guna mengatasi permasalahan yang timbul akibat tidak berjalannya kebijakan

sebelumnya yaitu Keppres RI Nomor 50 Tahun 1976 dan Keppres RI Nomor 58 Tahun 1977. Beberapa butir pokok kebijakan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk melindungi petani produsen cengkeh maka pembelian/ pengumpulan

cengkeh dari petani dilakukan hanya oleh KUD yang telah diseleksi.

2. Untuk menjamin kelangsungan pengadaan dan kemantapan harga cengkeh

maka semua cengkeh hasil produksi dalam negeri diarahkan terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri rokok kretek.

3. Cengkeh yang di antar pulaukan dikenakan Sumbangan Rehabilitasi Cengkeh (SRC) sebesar Rp. 500 per kg yang keseluruhannya diserahkan kepada

Pemerintah Daerah yang bersangkutan dan selanjutnya penggunaannya diutamakan untuk meningkatkan produksi cengkeh di daerah-daerah

tersebut.

Selanjutnya, sehubungan dengan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 maka diterbitkan pula beberapa peraturan/ ketentuan pemerintah dari Departemen yang terkait, sebagai berikut:

1. Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.28/ KP/ I / 1980


(43)

kemudian diubah menjadi Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi

No.46/ Kp/ XI / 1982.

2. Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.29/ Kp/ I / 1980

tentang Pembentukan Tim Teknis Tingkat I untuk Pengadaan Cengkeh Produksi Dalam Negeri, yang kemudian diubah menjadi Keputusan Menteri

Perdagangan dan Koperasi No.267/ Kp/ VI / 1980.

3. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.74a/ Kp/ I V/ 1987 tentang Penetapan Harga Dasar Lelang Cengkeh Produksi Dalam Negeri.

4. Surat Menteri Perdagangan No.558/ M/ XI I / 1981 tentang Penunjukkan PT (Persero) Kerta Niaga Sebagai pemegang Stock Nasional Cengkeh Dalam

Negeri.

5. I nstruksi Bersama Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No.

01/ DAGRI / I NS/ I V/ 1987 dan Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi No. 01/ I NS/ BUK/ I V/ 1987 tanggal 4 April 1987 tentang Penyempurnaan petunjuk

Teknis Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh menurut Keppres No.8 Tahun 1980.

Tata niaga cengkeh dengan pola lelang ini diberlakukan di sembilan daerah sentra produksi cengkeh nasional, yaitu: D.I Aceh, Sumatera Utara,

Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Maluku. Dalam pelaksanaan pola lelang tersebut, lembaga yang

terlibat adalah Koperasi Unit Desa (KUD), Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD), PT (Persero) Sucofindo, Pedagang Antar Pulau (PAP), Pedagang Perantara, PT

(Persero) Kerta Niaga, dan Bank Rakyat I ndonesia (BRI ).

Secara ringkas, mekanisme tata niaga sebagaimana yang ditunjukkan

pada Gambar 4 adalah petani cengkeh dapat menjual hasil produksinya melalui dua jalur, yaitu jalur lelang dan jalur non-lelang. Melalui jalur lelang, penjualan


(44)

cengkeh petani dilakukan melalui KUD dengan harga dasar sebesar Rp. 6 500 per

kg cengkeh dengan kadar air 14 persen dan kadar kotor 5 persen. Untuk kegiatan pembelian ini, KUD memperoleh fasilitas kredit dari BRI dan cengkeh

hasil pembeliannya dikumpulkan ke PUSKUD untuk dilelang yang diikuti oleh pedagang antar pulau dan PT (Persero) Kerta Niaga.

Gambar 4. Sistem Tata Niaga Cengkeh Menurut Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980

Ada pemenang

lelang

Penalti: 5% Harga dasar/ kg SRC: Rp.510/ kg

Fee: 1% X harga dasar/ kg SRC: Rp.500/ kg Petani

Pedagang Perantara

KUD

LELANG

Kredit Perbankan

Penelitian Mutu oleh PT(Persero) Sucofindo

Tidak ada pemenang lelang

Pedagang Antar Pulau

PT (Persero) Kerta Niaga

PRK Konsumen Lain

PUSKUD Badan Pelaksana


(45)

Apabila harga lelang di atas harga dasar maka PAP dapat melakukan pembelian,

tapi bila di bawah harga dasar maka PT (Persero) Kerta Niaga wajib membeli sesuai dengan harga dasar. Baik PAP maupun PT (Persero) Kerta Niaga

dikenakan fee lelang sebesar 1 persen dari harga dasar dan dana SRC sebesar Rp. 500 per kg, selanjutnya mereka dapat menjual cengkeh yang dibelinya

kepada PRK ataupun konsumen lainnya. Sedangkan, melalui jalur non lelang, petani menjual cengkehnya ke padagang perantara yang kemudian menjualnya ke PAP. Karena tidak melalui lelang, PAP dikenakan penalty sebesar 5 persen dari

harga dasar cengkeh dan SRC sebesar Rp. 510 per kg. Selanjutnya PAP dapat menjual cengkeh yang dibelinya tersebut ke PRK atau konsumen lainnya.

Kebijakan ini pada kenyataannya tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan kecuali terjaminnya penyediaan cengkeh bagi PRK karena harga yang

diterima petani turun drastis, hal ini antara lain disebabkan:

1. PT (Persero) Kerta Niaga tidak dapat melakukan fungsi penyanggaan dengan baik karena keterbatasan dana.

2. Dana SRC tidak digunakan untuk rehabilitasi/ peningkatan produksi cengkeh tapi digunakan untuk membangun infrastruktur seperti: jalan, jembatan atau

gedung-gedung pemerintahan.

3. Pengenaan pinalti tidak mencapai sasaran.

Untuk lebih menyempurnakan lagi pelaksanaan tata niaga cengkeh dalam

negeri maka pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan untuk melengkapi Keppres RI No.8 Tahun 1980, sebagai berikut:

1. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.306/ KP/ XI I / 1990 tentang Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri.


(46)

2. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.307/ KP/ XI I / 1990 tentang

Pembentukan Badan Cengkeh Nasional (BCN).

3. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.308/ KP/ XI I / 1990 tentang

Penunjukkan PT Sucofindo sebagai Surveyor Standar Mutu dan Berat Cengkeh yang Diperdagangkan.

4. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.23/ KP/ I / 1991 tentang Penetapan Harga Dasar Cengkeh, Harga Pembelian Cengkeh Dari Petani, Harga Pembelian Cengkeh dari Petani, Harga Pembelian Cengkeh dari KUD,

dan Harga Penyerahan BPPC.

5. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.125/ KP/ V/ 1991 tentang

Penetapan Cengkeh Sebagai Barang dalam Pengawasan.

6. Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan RI No.307/ KPB/ XI / 91 dan

Menteri Keuangan RI No.1180/ KMK.00/ 1991 tentang Pengkaitan Penyerahan Cengkeh dengan Pemesanan Pita Cukai.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor

306/ KP/ XI I / 1990, tata niaga cengkeh dilaksanakan di empat belas daerah sentra produksi cengkeh, yaitu: D.I Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu,

Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Maluku.

Perubahan penting dari Keppres ini dibandingkan sebelumnya adalah dibentuknya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), suatu lembaga/ badan yang dibentuk atas dasar usaha bersama yang anggotanya terdiri dari unsur Koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Swasta,


(47)

kegiatan pembelian, penyanggaan, penjualan cengkeh dan stabilisasi harga cengkeh di tingkat petani.

Kebijakan ini pada kenyataannya tidak dapat berjalan sebagaimana yang

diharapkan, antara lain disebabkan:

1. Pembelian cengkeh oleh PRK tidak berjalan lancar karena ternyata PRK memiliki stok cengkeh yang cukup besar.

2. Harga pembelian BPPC yang dianggap terlalu mahal.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah menetapkan Keputusan

Bersama Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan Nomor 307/ Kbp/ XI / 91 dan Nomor 1180/ KMK.00/ 1991 tentang Pengkaitan Pembelian Cengkeh dengan

Pemesanan Pita Cukai. Namun, upaya melalui kebijakan ini pada awalnya cukup efektif, namun dalam perkembangannya kebijakan inipun tidak berhasil

mengatasi permasalahan karena peningkatan permintaan cengkeh oleh PRK tidak sebesar peningkatan produksi sehingga terjadi kelebihan pasokan yang harus

disangga BPPC.

2.2.2.2. Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992

Diterbitkannya Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992 bertujuan untuk menyempurnakan dan mengganti Keppres RI Nomor 8 tahun 1980. Butir pokok

dari kebijakan ini adalah: terhadap penjualan cengkeh oleh badan penyangga kepada pabrik rokok kretek atau konsumen lainnya dikenakan Sumbangan Diversifikasi Tanaman Cengkeh (SDTC) yang besarnya Rp. 150 untuk setiap

kilogram. Selanjutnya, SDTC diserahkan kepada Pemerintah Daerah penghasil cengkeh yang bersangkutan untuk digunakan dalam melaksanakan diversifikasi


(48)

tanaman cengkeh disusun oleh Pemerintah Daerah berdasarkan petunjuk

Departemen Pertanian. Yang dimaksud dengan diversifikasi tanaman cengkeh adalah usaha penganekaragaman pada suatu bidang areal pertanaman cengkeh,

sedangkan konversi tanaman cengkeh adalah usaha untuk menggantikan tanaman cengkeh dengan tanaman lain. Gambar 5 di bawah ini menjelaskan

mekanisme tataniaga berdasarkan kebijakan tataniaga tersebut di atas.

Gambar 5. Sistem Tata Niaga Cengkeh Menurut Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992

Untuk melengkapi pelaksanaan Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992, maka pemerintah mengeluarkan beberapa paket kebijakan, sebagai berikut:

BPPC STOK

PRK Konsumen Lain

Pemasaran

Pengadaan Petani

PUSKUD/ Perwakilan

BPPC KUD

I NKUD BANK


(49)

1. I nstruksi Presiden RI No.1 Tahun 1992 tentang Harga Dasar Pembelian

Cengkeh oleh Koperasi Unit Desa dari Petani Cengkeh.

2. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.91/ KP/ I V/ 92 tentang

Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri.

3. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.92/ KP/ I V/ 92 tentang Harga

Pembelian Cengkeh dari Petani, Harga Pembelian Cengkeh dari KUD dan Harga Penyerahan Cengkeh BPPC.

4. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.93/ KP/ I V/ 92 tentang Badan

Cengkeh Nasinal (BCN).

5. Surat Keputusan Menteri Koperasi RI No.808/ KPTS/ M/ I V/ 1992 tentang

Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri oleh Koperasi Unit Desa.

6. Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No.248/ Kpts/ M/ I V/ 92 tentang Petunjuk Diversifikasi dan Konversi Tanaman Cengkeh.

7. Surat Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No.03/ DAGRI / KPB/ I V/ 92 dan Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi dan

No.05/ BUK/ SKB/ I V/ 92 tentang Pelaksanaan Teknis Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri.

8. Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan RI No.221/ kpb/ I X/ 94 dan Menteri Keuangan RI No.475/ KMK.05/ 94 tentang Pengkaitan Penyerahan

Cengkeh dengan Pemesanan Pita Cukai.

9. Surat Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil RI No.282/ M/ X/ 94

tentang Pengembalian SWKP Cengkeh Tahun 1994.

10.Surat Direktur Jenderal Pembinaan Koperasi Pedesaan No.120/ PKD/ X/ 94 tentang Petunjuk Pengembalian SWKP Cengkeh Tahun 1994.


(50)

2.2.2.3. Keppres RI Nomor 21 Tahun 1998

Pada tahun 1998, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru berkaitan

dengan tata niaga cengkeh yang dituangkan dalam Keppres RI Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perdagangan Cengkeh. Terjadi perubahan yang sangat besar

dalam mekanisme tata niaga cengkeh dalam negeri karena Pemerintah melepaskan intervensinya dengan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Dasar pertimbangannya adalah untuk menciptakan perdagangan cengkeh

yang berorientasi pasar dan memberikan peluang yang lebih menguntungkan bagi petani serta terjaminnya pasokan cengkeh bagi industri rokok kretek.

Terdapat dua butir pokok dari kebijakan tataniaga ini, yakni:

1. Petani dapat menjual cengkeh kepada dan pedagang dapat membeli cengkeh

dari pihak manapun secara bebas berdasarkan harga pasar.

2. Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh wajib menyelesaikan semua hal

yang menyangkut kegiatannya selambat-lambatnya sampai dengan 30 Juni 1998. Terhitung mulai 30 Juni 1998, Badan Penyangga dan Pemasaran

Cengkeh dibubarkan.

Sebagai peraturan pelaksanaannya, ditetapkanlah Surat Keputusan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 22/ MPP/ Kep/ 1/ 1998 tentang Pedoman Pelaksanaan Perdagangan Cengkeh.

2.2.3. Kebijakan di Bidang I mpor

Kebijakan di bidang impor cengkeh, diatur melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI , sebagai berikut:

1. S.K Menperindag RI No.25/ MPP/ Kep/ 11/ 1997 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.230/ MPP/ Kep/ 7/ 97 tentang


(51)

Barang Yang Diatur Tata Niaga I mpornya Sebagaimana telah diubah dengan

Kepmenperindag No.406/ MPP/ Kep/ 11/ 1997. Komoditas cengkeh termasuk dalam daftar barang yang diatur tata niaga impornya.

2. SK Menperindag RI No.528/ MPP/ Kep/ 7/ 2002 tentang Ketentuan I mpor Cengkeh. Sebagai dasar pertimbangannya adalah dalam rangka

mengantisipasi lonjakan impor cengkeh yang mengakibatkan terjadinya penurunan harga cengkeh dan pendapatan petani cengkeh di dalam negeri, dan untuk meningkatkan kesejahteraan petani cengkeh dengan tetap

memperhatikan kepentingan industri pengguna cengkeh.

Tarif impor yang dikenakan untuk komoditas cengkeh saat ini adalah sebesar 5 persen.

2.2.4. Kebijakan di Bidang Cukai Rokok Kretek

Sebagaimana diketahui, penerimaan dari cukai rokok kretek merupakan

salah satu sumber penerimaan pemerintah yang sangat besar dan penetapan tarif cukai rokok ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan.

2.2.4.1. Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.597/ KMK.05/ 2001

Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 597/ KMK.05/ 2001 tentang

Penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau tersebut, kemudian direvisi melalui Surat Keputusan a.n. Menteri Keuangan RI Dirjen Bea Cukai Nomor 609a/ KMK.04/ 2001, tampak pada Tabel 4. Pada intinya, perubahan

terjadi pada penurunan batasan harga jual eceran terutama pada sigaret kretek mesin (SKM), juga terjadi penurunan tarif cukai untuk kelompok pengusaha

menengah, sementara pengelompokkan pengusaha pabrik rokok juga mengalami perubahan.


(52)

Tabel 4. Tarif Cukai Rokok Kretek Berdasarkan Surat Keputusan a.n. Menteri Keuangan Dirjen Bea Cukai No.609a/ KMK.04/ 2001

Batasan HJE Jenis Rokok Kretek Pengusaha Pabrik Produksi Dalam

Satu Tahun Minimum Per Batang/ Gram Maksimum Per Batang/ Gram Tarif Cukai

Besar Lebih dari 2

milyar batang Rp. 270.00 Bebas 40%

Menengah

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 270.00 Bebas 31% Sigaret

Kretek Mesin (SKM)

Kecil Tidak melebihi

500 juta batang Rp. 270.00 Bebas 26%

Besar Lebih dari 2

milyar batang Rp. 225.00 Bebas 20%

Menengah

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 225.00 Bebas 12%

Kecil Tidak melebihi

500 juta batang Rp. 225.00 Bebas 8% Sigaret Kretek Tangan (SKT) Kecil Sekali

Tidak Melebihi 6

juta batang Rp. 175.00 Rp. 220.00 4%

Besar Lebih dari 2

milyar batang Rp. 125.00 Bebas 8%

Menengah

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 125.00 Bebas 8%

Kecil Tidak melebihi

500 juta batang Rp. 125.00 Bebas 8% Klobot

(KLB)

Kecil Sekali

Tidak Melebihi 6

juta batang Rp. 100.00 Rp. 125.00 4%

Sumber: Departemen Keuangan, 2001

2.2.4.2. Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.449/ KMK.04/ 2002

Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 449/ KMK.04/ 2002 ini juga mengatur tentang Penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau.

Tabel 5 menunjukkan bahwa terjadi beberapa perubahan mendasar dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya, antara lain: (1) pengelompokkan


(53)

peningkatan harga jual eceran minimum dan tidak ada lagi harga maksimum,

dan (3) terjadi peningkatan tarif cukai.

Tabel 5. Tarif Cukai Rokok Kretek Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 449/ KMK.04/ 2002

Jenis Rokok Kretek

Golongan Pengusahaan

Pabrik

Produksi Dalam Satu Tahun HJE Minimum Per Batang/ Gram Tarif Cukai

I Lebih dari 2 milyar

batang Rp. 400.00 40%

I I

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 330.00 36% Sigaret

Kretek Mesin (SKM)

I I I Tidak melebihi 500 juta

batang Rp. 320.00 26%

I Lebih dari 2 milyar

batang Rp. 340.00 22%

I I

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 280.00 16%

I I I A Tidak melebihi 500 juta

batang Rp. 270.00 8%

Sigaret Kretek Tangan

(SKT)

I I I B Tidak Melebihi 6 juta

batang Rp. 200.00 4%

I Lebih dari 6 juta

batang Rp. 150.00 8%

Klobot (KLB)

I I Tidak lebih dari 6 juta

batang Rp. 125.00 4%

Sumber: Departemen Keuangan, 2002

2.2.4.3. Peraturan Menteri Keuangan RI No. 17/ PMK.04/ 2006

Peraturan yang dikeluarkan Kementerian Keuangan Republik I ndonesia

No.17/ PMK.04/ 2006 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No.43/ PMK.04/ 2005, juga mengatur tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif

Cukai Hasil Tembakau. Penjabaran lebih lanjut dari peraturan tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini, dan kebijakan ini yang berlaku hingga saat


(54)

Tabel 6. Tarif Cukai Rokok Kretek Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 17/ PMK.04/ 2006

Jenis Rokok Kretek

Golongan Pengusahaan

Pabrik

Produksi Dalam Satu Tahun HJE Minimum Per Batang/ Gram Tarif Cukai

I Lebih dari 2 milyar

batang Rp. 510.00 40%

I I

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 420.00 36% Sigaret

Kretek Mesin (SKM)

I I I Tidak melebihi 500 juta

batang Rp. 410.00 26%

I Lebih dari 2 milyar

batang Rp. 440.00 22%

I I

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 365.00 16%

I I I A Tidak melebihi 500 juta

batang Rp. 255.00 8%

Sigaret Kretek Tangan

(SKT)

I I I B Tidak Melebihi 6 juta

batang Rp. 200.00 4%

I Lebih dari 6 juta

batang Rp. 200.00 8%

Klobot (KLB)

I I Tidak lebih dari 6 juta

batang Rp. 165.00 4%

Sumber: Departemen Keuangan, 2006

2.2.5. Kebijakan di Bidang Kesehatan

Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,

maka pemerintah perlu mengatur tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan seperti yang telah dituangkan dalam beberapa peraturan, berikut:

2.2.5.1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 81 Tahun 1999

Peraturan Pemerintah (PP) yang ditetapkan tanggal 5 Oktober 1999 ini

mengatur tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Dasar pertimbangannya adalah: rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan


(55)

itu diperlukan berbagai kegiatan pengamanan rokok bagi kesehatan. Beberapa

hal penting yang diatur adalah:

1. Kadar kandungan nikotin dan tar

Kadar kandungan nikotin dan tar pada setiap batang rokok yang beredar di wilayah I ndonesia tidak boleh melebihi kadar kandungan nikotin 1,5 mg dan

kadar kandungan tar 20 mg.

2. Persyaratan produksi dan penjualan rokok

Setiap orang yang memproduksi rokok wajib melakukan pemeriksaan

kadar kandungan nikotin dan tar pada setiap hasil produksinya, wajib mencantumkan keterangan tentang kadar kandungan nikotin dan tar pada Label

dengan penempatan yang jelas dan mudah dibaca, wajib mencantuman kode produksi pada setiap kemasan rokok, dilarang menggunakan bahan tambahan

dalam proses produksi yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan.

3. Persyaratan iklan dan promosi rokok

I klan dan promosi rokok hanya dapat dilakukan oleh setiap orang yang memproduksi rokok dan atau yang memasukkan rokok ke dalam wilayah

I ndonesia. Materi iklan yang dilarang adalah: (a) merangsang atau menyarankan orang untuk merokok, (b) menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok

memberikan manfaat bagi kesehatan, (c) memperagakan atau menggambarkan dalam bentuk gambar, tulisan atau gabungan keduanya, rokok atau orang sedang merokok atau mengarah pada orang yang sedang merokok, (d) ditujukan

terhadap atau menampilkan dalam bentuk gambar atau tulisan anak dan atau wanita hamil, dan (e) mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah


(56)

dalam wilayah I ndonesia dilarang melakukan promosi dengan memberikan

secara cuma-cuma atau hadiah berupa rokok atau produk lainnya dimana dicantumkan bahwa merek dagang tersebut merupakan rokok.

4. Penetapan kaw asan rokok

Tempat umum dan atau tempat kerja yang secara spesifik sebagai

tempat menyelenggarakan upaya kesehatan, proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, kegiatan ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok. Pimpinan atau penanggung jawab tempat umum dan

tempat kerja harus menyediakan tempat khusus untuk merokok harus menyediakan alat penghisap udara sehingga tidak mengganggu kesehatan bagi

yang tidak merokok.

Penyesuaian terhadap persyaratan kadar maksimum kandungan nikotin

dan tar diberikan kelonggaran paling lambat 5 (lima) tahun setiap orang yang memproduksi rokok yang tergolong dalam industri besar, dan 10 (sepuluh) tahun

untuk setiap orang yang memproduksi rokok yang tergolong dalam industri kecil.

2.2.5.2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2000

Peraturan Pemerintah ini yang ditetapkan tanggal 7 Juni tahun 2000 mengatur tentang Perubahaan Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 81 Tahun

1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Dasar pertimbangannya adalah: bahwa untuk memenuhi ketentuan kadar maksimum kandungan nikotin dan tar rokok diperlukan jangka waktu pengkajian baik teknologi maupun

dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan


(57)

Terdapat dua perubahan yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah ini:

1. I klan yang dulunya hanya boleh di tempatkan pada media cetak dan media luar ruangan, sekarang selain dua media tersebut ditambah lagi dengan

media elektronik.

2. Setiap orang memproduksi rokok kretek buatan mesin dan buatan tangan

yang telah ada pada saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini harus menyesuaikan produksinya dengan persyaratan kadar maksimum kandungan nikotin dan tar sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling

lambat: (a) 7 (tujuh) tahun untuk setiap orang yang memproduksi rokok kretek buatan mesin dan (b) 10 (sepuluh) tahun untuk setiap orang yang

memproduksi rokok kretek buatan tangan.

2.2.5.3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2003

Peraturan Pemerintah yang ditetapkan pada tanggal 10 Maret tahun 2003 ini bertujuan untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan pengamanan rokok bagi

kesehatan. Pada dasarnya isi dari PP ini masih sama dengan peraturan-peraturan sebelumnya. Peraturan ini kembali menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 4,

kandungan kadar nikotin dan tar ditetapkan, sebagai berikut: (1) Setiap orang yang memproduksi rokok wajib melakukan pemeriksaan kandungan kadar nikotin

dan tar pada setiap hasil produksinya dan (2) Pemeriksaan kandungan kadar nikotin dan tar sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dilakukan di laboratorium yang sudah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, pada Pasal 5 dinyatakan bahwa setiap

orang yang memproduksi rokok wajib memberikan informasi kandungan kadar nikotin dan tar pada setiap batang rokok yang diproduksinya.


(1)

Lampiran 4. Hasil Perhitungan Harga Sosial Output dan Tradable I nput

I mport Parity Prices for I nputs

No

UREA

SP36

KCl

1 Fob Prices $/ ton) 211.7 261.6 163.5 2 Freight and I nsurance ($/ ton) 20.0 20.0 20.0 3 Harga CI F at Bitung (US$/ ton) 231.7 281.6 183.5 4 Ex. Rate (Rp/ US$) 9,800.0 9,800.0 9,800.0 5 CI F in domestic currency (Rp/ ton) 2,270,660.0 2,759,680.0 1,798,300.0 6 Weight conversion faktor (kg/ ton) 1,000.0 1,000.0 1,000.0 7 CI F Prices (Rp/ kg) 2,270.7 2,759.7 1,798.3 8 Transportation cost (Rp/ kg) 150.0 150.0 150.0 9 Marketing cost (Rp/ kg) 50.0 50.0 50.0 10 Value before processing (Rp/ kg) 2,470.7 2,959.7 1,998.3

11 Processing convertion factor (% ) 100% 100% 100%

12 I mport parity value at wholesale (Rp/ kg) 2,470.7 2,959.7 1,998.3 13 Distribution cost to farm (Rp/ kg) 50.0 50.0 50.0 14 I mport parity value at farm (Rp/ kg) 2,520.7 3,009.7 2,048.3

F.o.b : UREA ; Black Sea SP36 ; US Gulf KCl ; Vancouver

I mport Parity Prices for Output

No

Clove

1 CI F price at Surabaya ($/ kg) 2.9

2 Transportation cost ($/ kg) 0.015

3 CI F price at Bitung ($/ kg) 2.885

4 Ex.Rate (Rp/ US$) 9800

5 CI F Price (Rp/ kg) 28273

6 Transportation cost (Rp/ kg) 150

7 Marketing cost (Rp/ kg) 50

8 Value before processing (Rp/ kg) 28073 9 Processing convertion factor (% ) 100% 10 I mport parity value at wholesale (Rp/ kg) 28073 11 Distribution cost to farm (Rp/ kg) 50 12 I mport parity value at farm (Rp/ kg) 28023


(2)

Lampiran 5. Hasil Perhitungan Harga Sosial Modal

Annual Capital Recovery Cost (Private)

No Capital Recovery Cost Cangkul Parang Terpal Plastik Ayakan

1 I nitial Cost (Rp) 40000 50000 40000 13500

2 Useful life (years) 5 5 2 2

3 Salvage value (Rp) 4000 5000 4000 1350

4 I nterest Rate (% ) 17% 17% 17% 17%

5 Present value of salvage value (Rp) 1824.445 2280.556 2922.054204 986.1933

6 Net cost (Rp) 38175.56 47719.44 37077.9458 12513.81

7 Recovery ratio (% ) 31% 31% 63% 63%

8 Annual Recovery cost (Rp) 11932.3 14915.37 23389.86175 7894.078 Private interest rate : 17% / thn

Annual Capital Recovery Cost (Social)

No Capital Recovery Cost Cangkul Parang Terpal Plastik Ayakan

1 I nitial Cost (Rp) 40000 50000 40000 13500

2 Useful life (years) 5 5 2 2

3 Salvage value (Rp) 4000 5000 4000 1350

4 I nterest Rate (% ) 12% 12% 12% 12%

5 Present value of salvage value (Rp) 2269.707 2837.134 3188.77551 1076.212

6 Net cost (Rp) 37730.29 47162.87 36811.22449 12423.79

7 Recovery ratio (% ) 28% 28% 59% 59%

8 Annual Recovery cost (Rp) 10466.75 13083.44 21781.13208 7351.132 Social interest rate : 12% / tahun


(3)

Lampiran 6. Hasil Perhitungan

Multi-period

PAM pada Kondisi Awal

PRESENT VALUE PAM

Domestic Factors

Revenue

Tradable

I nputs Labor Capital Land Others Profit

Private 42,515,261 1,574,114 28,446,276 8,714,316 12,920,641 770,180 -9,910,266 Social 84,264,222 3,875,601 46,893,838 10,789,629 19,146,100 958,106 2,600,947 Divergences -41,748,961 -2,301,487 -18,447,562 -2,075,313 -6,225,460 -187,926 -12,511,214

1 Private Cost Ratio (PCR) 1.242 2 Domestic Cost Ratio (DCR) 0.968

Nominal Protection Coefficient (NPC)

3 on tradable Output (NPCO) 0.505 4 on tradable I nput (NPCI ) 0.406 5 Effective Protection Coefficient (EPC) 0.509 6 Profitability Coefficient (PC) -3.810 7 Subsidy Ratio to Producer (SRP) -0.148

NOMI NAL VALUE PAM

Domestic Factors

Revenue

Tradable

I nput Labor Capital land Others Profit

Private 561,825,429 13,333,188 321,183,379 85,368,033 84,060,000 2,238,500 55,642,328 Social 605,539,769 20,190,306 311,013,379 64,737,591 84,060,000 2,238,500 123,299,993 Divergences (43,714,340) (6,857,118) 10,170,000 20,630,442 - - (67,657,664)

1 Private Cost Ratio (PCR) 0.899 2 Domestic Cost Ratio (DCR) 0.789

Nominal Protection Coefficient (NPC)

3 on tradable Output (NPCO) 0.928 4 on tradable I nput (NPCI ) 0.660 5 Effective Protection Coefficient (EPC) 0.937 6 Profitability Coefficient (PC) 0.451 7 Subsidy Ratio to Producer (SRP) -0.112


(4)

Lampiran 7. Hasil Perhitungan

Multi-Period

PAM untuk Simulasi Alternatif Kebijakan I :

Harga Cengkeh Rp. 30 000 per kg

PRESENT VALUE PAM

Domestic Factors

Revenue

Tradable

I nputs Labor Capital Land Others Profit

Private 49,056,071 1,574,114 28,446,276 8,714,316 12,920,641 770,180 -3,369,457 Social 84,264,222 3,875,601 46,893,838 10,789,629 19,146,100 958,106 2,600,947

Divergences -35,208,151 -2,301,487 -18,447,562 -2,075,313 -6,225,460 -187,926 -5,970,404

1 Private Cost Ratio (PCR) 1.071 2 Domestic Cost Ratio (DCR) 0.968

Nominal Protection Coefficient (NPC)

3 on tradable Output (NPCO) 0.582 4 on tradable I nput (NPCI ) 0.406 5 Effective Protection Coefficient (EPC) 0.591 6 Profitability Coefficient (PC) -1.295 7 Subsidy Ratio to Producer (SRP) -0.071

NOMI NAL VALUE PAM

Domestic Factors Revenue Tradable I nput

Labor Capital land Others Profit Private 648,260,110 13,333,188 321,183,379 85,368,033 84,060,000 2,238,500 142,077,009 Social 605,539,769 20,190,306 311,013,379 64,737,591 84,060,000 2,238,500 123,299,993 Divergences 42,720,341 (6,857,118) 10,170,000 20,630,442 - - 18,777,017

1 Private Cost Ratio (PCR) 0.776 2 Domestic Cost Ratio (DCR) 0.789

Nominal Protection Coefficient (NPC)

3 on tradable Output (NPCO) 1.071 4 on tradable I nput (NPCI ) 0.660 5 Effective Protection Coefficient (EPC) 1.085 6 Profitability Coefficient (PC) 1.152 7 Subsidy Ratio to Producer (SRP) 0.031


(5)

Lampiran 8. Hasil Perhitungan

Multi-Period

PAM untuk Simulasi Alternatif Kebijakan I I :

Harga Cengkeh Rp. 32 500 per kg

PRESENT VALUE PAM

Domestic Factors

Revenue

Tradable

I nputs Labor Capital Land Others Profit

Private 53,144,077 1,574,114 28,446,276 8,714,316 12,920,641 770,180 718,549 Social 84,264,222 3,875,601 46,893,838 10,789,629 19,146,100 958,106 2,600,947

Divergences -31,120,145 -2,301,487 -18,447,562 -2,075,313 -6,225,460 -187,926 -1,882,398

1 Private Cost Ratio (PCR) 0.986 2 Domestic Cost Ratio (DCR) 0.968 Nominal Protection Coefficient (NPC)

3 on tradable Output (NPCO) 0.631 4 on tradable I nput (NPCI ) 0.406 5 Effective Protection Coefficient (EPC) 0.642 6 Profitability Coefficient (PC) 0.276 7 Subsidy Ratio to Producer (SRP) -0.022

NOMI NAL VALUE PAM

Domestic Factors

Revenue

Tradable

I nput Labor Capital land Others Profit

Private 702,281,786 13,333,188 321,183,379 85,368,033 84,060,000 2,238,500 196,098,685 Social 605,539,769 20,190,306 311,013,379 64,737,591 84,060,000 2,238,500 123,299,993 Divergences 96,742,017 (6,857,118) 10,170,000 20,630,442 - - 72,798,693

1 Private Cost Ratio (PCR) 0.715 2 Domestic Cost Ratio (DCR) 0.789 Nominal Protection Coefficient (NPC)

3 on tradable Output (NPCO) 1.160 4 on tradable I nput (NPCI ) 0.660 5 Effective Protection Coefficient (EPC) 1.177 6 Profitability Coefficient (PC) 1.590 7 Subsidy Ratio to Producer (SRP) 0.120


(6)

Lampiran 9. Hasil Perhitungan

Multi-Period

PAM untuk Simulasi Alternatif Kebijakan I I I :

Harga Cengkeh Rp. 40 000 per kg

PRESENT VALUE PAM

Domestic Factors

Revenue

Tradable

I nputs Labor Capital Land Others Profit

Private 65,408,094 1,574,114 28,446,276 8,714,316 12,920,641 770,180 12,982,567 Social 84,264,222 3,875,601 46,893,838 10,789,629 19,146,100 958,106 2,600,947 Divergences -18,856,128 -2,301,487 -18,447,562 -2,075,313 -6,225,460 -187,926 10,381,619

1 Private Cost Ratio (PCR) 0.797 2 Domestic Cost Ratio (DCR) 0.968 Nominal Protection Coefficient (NPC)

3 on tradable Output (NPCO) 0.776 4 on tradable I nput (NPCI ) 0.406 5 Effective Protection Coefficient (EPC) 0.794 6 Profitability Coefficient (PC) 4.991 7 Subsidy Ratio to Producer (SRP) 0.123

NOMI NAL VALUE PAM Cost

Revenue

Tradable

I nput Labor Capital land Others Profit

Private 864,346,813 13,333,188 321,183,379 85,368,033 84,060,000 2,238,500 358,163,713 Social 605,539,769 20,190,306 311,013,379 64,737,591 84,060,000 2,238,500 123,299,993 Divergences 258,807,045 (6,857,118) 10,170,000 20,630,442 - - 234,863,720

1 Private Cost Ratio (PCR) 0.579 2 Domestic Cost Ratio (DCR) 0.789 Nominal Protection Coefficient (NPC)

3 on tradable Output (NPCO) 1.427 4 on tradable I nput (NPCI ) 0.660 5 Effective Protection Coefficient (EPC) 1.454 6 Profitability Coefficient (PC) 2.905 7 Subsidy Ratio to Producer (SRP) 0.388