Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK

DI INDONESIA

OLEH:

ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A14301041

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(2)

RINGKASAN

ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek di Indonesia (dibimbing oleh

HERMANTO SIREGAR).

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan perkembangan konsumsi cengkeh oleh industri rokok kretek dan menganalisis faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi permintaan cengkeh oleh industri rokok kretek. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data

time series tahunan dari tahun 1980-2006. Jenis data yang digunakan adalah permintaan cengkeh industri rokok kretek, harga riil cengkeh, jumlah produksi rokok kretek, jumlah penduduk, jumlah industri rokok kretek dan ekspor rokok kretek. Sumber data yang digunakan diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) dan literatur-literatur serta laporan-laporan lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

Data dan informasi yang diperoleh akan dianalisis dengan metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan perkembangan konsumsi cengkeh industri rokok kretek di Indonesia di samping permintaan itu sendiri. Sedangkan metode kuatitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan komoditi cengkeh. Model yang digunakan dalam analisis data adalah model regresi linier berganda.

Model ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini adalah: QdC = β0 + β1 PCt + β2 NpRkt + β3 NiRkt + β4 ExRkt+ β5 Popt + β6 D+ εt

Persamaan di atas mengasumsikan bahwa permintaan cengkeh industri rokok kretek dipengaruhi oleh harga riil cengkeh, jumlah produksi rokok kretek, jumlah industri rokok kretek, ekspor rokok kretek, jumlah penduduk dan dummy kebijakan tataniaga cengkeh. Dalam penelitian ini juga dilihat nilai elastisitas rataan setiap variabel bebas.

Dari penelitian ini diperoleh hasil rata-rata pertumbuhan konsumsi cengkeh industri rokok kretek dari tahun 1994-2007 sebesar 1,2 persen per tahun. Besarnya konsumsi cengkeh industri rokok sangat tergantung pada jumlah cengkeh yang terkandung dalam setiap jenis rokok dan jumlah produksi rokok kretek. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia adalah jumlah produksi rokok kretek, jumlah industri rokok kretek dan lag permintaan cengkeh industri rokok kretek. Dari nilai elastisitas, elastisitas rataan dari jumlah produksi rokok kretek yang memiliki nilai terbesar. Namun demikian tidak ada diantaranya yang bersifat elastis. Dengan besarnya kebutuhan cengkeh industri rokok kretek, pemerintah perlu menjamin ketersediaan cengkeh melaui pengelolaan stok cengkeh dengan pengadaan gudang sementara dan juga membuat suatu pola usahatani cengkeh pada daerah yang sesuai dengan keadaan tumbuh tanaman cengkeh.


(3)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK

DI INDONESIA

Oleh:

ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A14301041

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(4)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS PERTANIAN

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:

Nama : Royan Agustinus Siburian

NRP : A 14301041

Program Studi : Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya

Judul : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek di Indonesia

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. NIP. 131 803 656

Mengetahui, Dekan Fakuktas pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019


(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Febuari 2008

Royan Agustinus Siburian A14301041


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah putera dari pasangan Bapak Budiman Siburian dan Ibu Yatan Ngau merupakan anak kelima dari lima besaudara. Penulis dilahirkan di Tanjung Selor pada tanggal 11 Agustus 1983.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 2 Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan Propinsi Kalimantan Timur pada tahun 1995. Pada tahun 1995 sampai tahun 1998, penulis menempuh pendidikan di SLTP Negeri 1 Tanjung Selor. Pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Tanjung Selor dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (undangan seleksi masuk IPB).

Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor (UKM-PMK IPB). Dan pada periode tahun 2003/2004 menjabat bendahara komisi Diaspora.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi, penulis banyak memperoleh bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan rasa penghargaan yang tulus kepada: 1. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. selaku pembimbing skripsi yang telah

memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.

2. A. Faroby Falatehan, SP, ME. selaku dosen penguji utama yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.

3. Adi Hadianto, SP. selaku dosen penguji departemen yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.

4. Orang tua dan keluarga besar, atas dukungan doa dan motivasi kepada penulis. 5. Semua mahasiswa/mahasiswi eps 38 atas kebersamaannya selama ini.

6. Keluarga besar UKM PMK IPB atas dukungan dan doanya bagi penulis. 7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas

bantuan dan dukungannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada hal-hal yang kurang sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Febuari 2008

Royan Agustinus Siburian A14301041


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ………..…. 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Ruang Lingkup ……….. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Cengkeh ... 9

2.2. Produksi dan Luas Areal Tanaman Cengkeh Indonesia ... 11

2.3. Mutu Cengkeh Indonesia ... 15

2.4. Tataniaga Cengkeh Indonesia ...…... 19

2.4.1. Kebijakan Pemerintah dalam Tataniaga Cengkeh ... 20

2.4.2. Saluran Tataniaga Cengkeh Indonesia …... 24

2.5. Tinjauan Studi Terdahulu …... 26

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 32


(9)

3.1.2. Pergerakan Sepanjang Kurva Permintaan Versus

Pergeseran Seluruh Kurva Permintaan ... 34

3.1.3. Permintaan Industri ... 35

3.1.4. Elastisitas Permintaan ... 39

a. Elastisitas Permintaan terhadap Harga ... 39

b. Elastisitas Permintaan Silang ... 40

c. Elastisitas Permintaan terhadap Pendapatan ... 41

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 42

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data ... 44

4.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 44

4.3. Model Persamaan Regresi ... 45

4.4. Evaluasi Model ... 46

4.4.1. Kriteria Ekonomi ... 47

4.4.2. Kriteria Statistik ... 47

4.4.3. Kriteria Ekonometrika ... 49

4.5. Model Persamaan Pendugaan ... 52

4.6. Konsep Elastisitas Permintaan ……... 53

4.7. Hipotesis Penelitian ... 54

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek .. 55

5.2. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek ………... 60


(10)

5.4. Uji Statistik ... 67

5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek di Indonesia ……….. 68

5.6. Implikasi Kebijakan ……….. 71

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ……….. 73

6.2. Saran ………. 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(11)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK

DI INDONESIA

OLEH:

ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A14301041

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(12)

RINGKASAN

ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek di Indonesia (dibimbing oleh

HERMANTO SIREGAR).

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan perkembangan konsumsi cengkeh oleh industri rokok kretek dan menganalisis faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi permintaan cengkeh oleh industri rokok kretek. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data

time series tahunan dari tahun 1980-2006. Jenis data yang digunakan adalah permintaan cengkeh industri rokok kretek, harga riil cengkeh, jumlah produksi rokok kretek, jumlah penduduk, jumlah industri rokok kretek dan ekspor rokok kretek. Sumber data yang digunakan diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) dan literatur-literatur serta laporan-laporan lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

Data dan informasi yang diperoleh akan dianalisis dengan metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan perkembangan konsumsi cengkeh industri rokok kretek di Indonesia di samping permintaan itu sendiri. Sedangkan metode kuatitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan komoditi cengkeh. Model yang digunakan dalam analisis data adalah model regresi linier berganda.

Model ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini adalah: QdC = β0 + β1 PCt + β2 NpRkt + β3 NiRkt + β4 ExRkt+ β5 Popt + β6 D+ εt

Persamaan di atas mengasumsikan bahwa permintaan cengkeh industri rokok kretek dipengaruhi oleh harga riil cengkeh, jumlah produksi rokok kretek, jumlah industri rokok kretek, ekspor rokok kretek, jumlah penduduk dan dummy kebijakan tataniaga cengkeh. Dalam penelitian ini juga dilihat nilai elastisitas rataan setiap variabel bebas.

Dari penelitian ini diperoleh hasil rata-rata pertumbuhan konsumsi cengkeh industri rokok kretek dari tahun 1994-2007 sebesar 1,2 persen per tahun. Besarnya konsumsi cengkeh industri rokok sangat tergantung pada jumlah cengkeh yang terkandung dalam setiap jenis rokok dan jumlah produksi rokok kretek. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia adalah jumlah produksi rokok kretek, jumlah industri rokok kretek dan lag permintaan cengkeh industri rokok kretek. Dari nilai elastisitas, elastisitas rataan dari jumlah produksi rokok kretek yang memiliki nilai terbesar. Namun demikian tidak ada diantaranya yang bersifat elastis. Dengan besarnya kebutuhan cengkeh industri rokok kretek, pemerintah perlu menjamin ketersediaan cengkeh melaui pengelolaan stok cengkeh dengan pengadaan gudang sementara dan juga membuat suatu pola usahatani cengkeh pada daerah yang sesuai dengan keadaan tumbuh tanaman cengkeh.


(13)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK

DI INDONESIA

Oleh:

ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A14301041

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(14)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS PERTANIAN

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:

Nama : Royan Agustinus Siburian

NRP : A 14301041

Program Studi : Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya

Judul : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek di Indonesia

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. NIP. 131 803 656

Mengetahui, Dekan Fakuktas pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019


(15)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Febuari 2008

Royan Agustinus Siburian A14301041


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah putera dari pasangan Bapak Budiman Siburian dan Ibu Yatan Ngau merupakan anak kelima dari lima besaudara. Penulis dilahirkan di Tanjung Selor pada tanggal 11 Agustus 1983.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 2 Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan Propinsi Kalimantan Timur pada tahun 1995. Pada tahun 1995 sampai tahun 1998, penulis menempuh pendidikan di SLTP Negeri 1 Tanjung Selor. Pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Tanjung Selor dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (undangan seleksi masuk IPB).

Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor (UKM-PMK IPB). Dan pada periode tahun 2003/2004 menjabat bendahara komisi Diaspora.


(17)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi, penulis banyak memperoleh bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan rasa penghargaan yang tulus kepada: 1. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. selaku pembimbing skripsi yang telah

memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.

2. A. Faroby Falatehan, SP, ME. selaku dosen penguji utama yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.

3. Adi Hadianto, SP. selaku dosen penguji departemen yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.

4. Orang tua dan keluarga besar, atas dukungan doa dan motivasi kepada penulis. 5. Semua mahasiswa/mahasiswi eps 38 atas kebersamaannya selama ini.

6. Keluarga besar UKM PMK IPB atas dukungan dan doanya bagi penulis. 7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas

bantuan dan dukungannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada hal-hal yang kurang sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Febuari 2008

Royan Agustinus Siburian A14301041


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ………..…. 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Ruang Lingkup ……….. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Cengkeh ... 9

2.2. Produksi dan Luas Areal Tanaman Cengkeh Indonesia ... 11

2.3. Mutu Cengkeh Indonesia ... 15

2.4. Tataniaga Cengkeh Indonesia ...…... 19

2.4.1. Kebijakan Pemerintah dalam Tataniaga Cengkeh ... 20

2.4.2. Saluran Tataniaga Cengkeh Indonesia …... 24

2.5. Tinjauan Studi Terdahulu …... 26

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 32


(19)

3.1.2. Pergerakan Sepanjang Kurva Permintaan Versus

Pergeseran Seluruh Kurva Permintaan ... 34

3.1.3. Permintaan Industri ... 35

3.1.4. Elastisitas Permintaan ... 39

a. Elastisitas Permintaan terhadap Harga ... 39

b. Elastisitas Permintaan Silang ... 40

c. Elastisitas Permintaan terhadap Pendapatan ... 41

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 42

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data ... 44

4.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 44

4.3. Model Persamaan Regresi ... 45

4.4. Evaluasi Model ... 46

4.4.1. Kriteria Ekonomi ... 47

4.4.2. Kriteria Statistik ... 47

4.4.3. Kriteria Ekonometrika ... 49

4.5. Model Persamaan Pendugaan ... 52

4.6. Konsep Elastisitas Permintaan ……... 53

4.7. Hipotesis Penelitian ... 54

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek .. 55

5.2. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek ………... 60


(20)

5.4. Uji Statistik ... 67

5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek di Indonesia ……….. 68

5.6. Implikasi Kebijakan ……….. 71

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ……….. 73

6.2. Saran ………. 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Luas Areal dan Produksi Tanaman Cengkeh Nasional

Tahun 1970-2007... 3

2. Volume dan Nilai Ekspor-Impor Cengkeh Indonesia ……… 4

3. Perbedaan Sifat antara Siputih, Sikotok dan Zanzibar ………... 10

4. Standar Mutu Cengkeh Indonesia ……….. 16

5. Standar Mutu Minyak Daun, Gagang dan Bunga Cengkeh ………... 17

6. Hasil Analisis Beberapa Parameter Mutu Cengkeh dari Beberapa Sentra Produksi di Indonesia ……… 18

7. Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek (1994-2007) ………... 56

8. Perkembangan Kandungan Cengkeh dalam Rokok Kretek Menurut Berbagai Penelitian dan Laporan Tahun 1989-2003 ………... 57

9. Perkembangan Produksi Rokok Kretek Nasional Tahun 1980-2007 ……….. 58

10.Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek Tahun1980-2006 versi Gappri (Ton) ……….... 60

11.Hasil Model Lengkap (data asal) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di IndonesiaTahun 1980-2006 ... 61 12.Hasil Model (dalam bentuk logaritma natural) Analisis


(22)

di IndonesiaTahun 1980-2006 ... 62 13.Hasil Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Permintaan Cengkeh di Indonesia (tanpa variabel ekspor rokok)

Tahun 1980-2006 ... 63 14.Hasil Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Permintaan Cengkeh di Indonesia (tanpa ekspor rokok dan populasi) Tahun 1980-2006 ... 63 15.Hasil Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Permintaan Cengkeh di Indonesia (dengan penambahan variabel lag) Tahun 1980-2006 ... 64


(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Penggunaan Cukai Rokok Kretek ... 1

2. Perkembangan Produksi Rokok Kretek ……….... 2

3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Cengkeh ………. 6

4. Rantai Tataniaga Menurut Keppres No. 8 Tahun 1980 …………... 24

5. Rantai Tataniaga Non-Keppres ……….. 24

6. Saluran Tataniaga Cengkeh Menurut SK. Mendag Tahun 1990 …... 25

7. Kurva Primary Demand dan Derived Demand ……….. 35

8. Menurunkan Produktivitas Rata-rata dan Produktivitas Marjinal untuk Kurva Tenaga Kerja dari Kurva Produk Total ……….... 38


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Korelasi ... 79 2. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Permintaan Cengkeh di IndonesiaTahun 1980-2006 ... 80 3. Hasil Analisis Regresi (Data dalam Bentuk Logaritma)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh

di IndonesiaTahun 1980-2006 ... 81 4. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Permintaan Cengkeh (Tanpa Eekspor) di Indonesia

Tahun 1980-2006 ... 82 5. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Permintaan Cengkeh di Indonesia (Tanpa Ekspor dan Populasi)

Tahun 1980-2006 ... 83 6. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Permintaan Cengkeh (dengan Lag) di Indonesia

Tahun 1980-2006 ... 84

7.

Uji Heteroskedastisistas ……….. 85


(25)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cengkeh atau dalam bahasa latinnya di kenal dengan Eugenia aromatikal / Syzigium, L. adalah salah satu komoditas penting tanaman perkebunan. Tanaman ini merupakan tanaman asli Indonesia tepatnya berasal dari daerah Banda di kepulauan Maluku (Conti dalam Ruhnayat, 2002). Cengkeh sebagai sumber pendapatan petani tanaman perkebunan dan dalam industri rokok kretek merupakan sumber bahan baku utama. Selain itu cengkeh juga berperan dalam industri minyak cengkeh dan industri-industri lainnya. Cengkeh memberikan keterkaitan industri hilir dan hulu. Keterkaitan ini dapat memberikan pendapatan, nilai tambah serta berperan dalam penyerapan tenaga kerja. Industri berbahan baku cengkeh seperti industri rokok kretek dapat memberikan pendapatan untuk negara dalam bentuk cukai rokok. Gambar 1 menunjukkan penggunaan cukai rokok terus meningkat yang sejalan juga peningkatan penerimaan pemerintah dari cukai rokok.

Sumber: Rumangit,2007

Gambar 1. Penggunaan Cukai Rokok Kretek 0 5 10 15 20 25 30

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Tahun P en g g u n a a n P it a C u k a i (T ri ly u n R u p ia h )


(26)

Produksi cengkeh yang dihasilkan 95 persen diusahakan oleh perkebunan rakyat dan sisanya diusahakan oleh perkebunan swasta dan perkebunan negara. Dari produksi cengkeh nasional, industri rokok kretek merupakan konsumen utama cengkeh karena menyerap 95 persen produksi cengkeh nasional yang digunakan sebagai bahan baku utama dalam memproduksi rokok kretek. Perkembangan produksi rokok kretek mengalami peningkatan (Gambar 2) terutama produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM), hal ini akan menyebabkan permintaan cengkeh meningkat. Sejalan dengan peningkatan permintaan cengkeh terutama dari sektor industri rokok kretek, untuk memenuhi permintaan dalam negeri Indonesia harus mengimpor cengkeh dari Zanzibar dan Madagaskar. Dengan keadaan yang demikian, Indonesia merupakan negara produsen dan pengimpor cengkeh terbesar di dunia.

Sumber: Gappri, 2006

Keterangan: SKT = Sigaret Kretek Tangan SKM = Sigaret Kretek Mesin KLB = Klobot

Gambar 2. Perkembangan Produksi Rokok Kretek 0 50 100 150 200 250

1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003

Tahun P ro d u k s i ( M il ya rB at a n g )


(27)

Besarnya kebutuhan devisa untuk mengimpor cengkeh guna memenuhi permintaan dalam negeri, pada tahun 1969 pemerintah menetapkan program swasembada untuk tanaman cengkeh. Dekade 1970-an diwarnai dengan adanya kekurangan produksi dan harga cengkeh terus meningkat. Tertarik dengan harga yang terus meningkat maka pada waktu itu petani berlomba-lomba untuk menanam cengkeh, sehingga pada dekade 1970-an terjadi demam cengkeh.

Dekade 1980-an, swasembada cengkeh nasional tercapai pada tahun 1985. Selama dekade ini, produksi cengkeh terus meningkat sebagai akibat dari perluasan areal tanaman cengkeh diberbagai lokasi. Data luasan areal dan produksi tanaman cengkeh nasional tahun 1970-2007 dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Tanaman Cengkeh Nasional Tahun 1970-2007

Tahun Luas Areal

(Ha)

Produksi

(Ton) Tahun

Luas Areal (Ha)

Produksi (Ton)

1970 82387 15447 1989 701992 56398

1971 103520 11331 1990 692682 66912

1972 114345 15130 1991 668204 80253

1973 146366 27446 1992 608350 73124

1974 180536 14998 1993 571047 73124

1975 217886 19294 1994 534376 78379

1976 241727 20032 1995 501923 90107

1977 294356 39923 1996 491713 59479

1978 313450 21554 1997 457542 59194

1979 535064 18208 1998 428735 67177

1980 408102 34218 1999 415859 52903

1981 517134 29352 2000 417598 59879

1982 530869 32809 2001 429300 72685

1983 572645 41828 2002 430212 79010

1984 608282 48888 2003 442331 76471

1985 663475 41990 2004 438253 73837

1986 679309 50628 2005 448858 78350

1987 742269 71002 2006 455393 83782

1988 692765 81224 2007* 448808 83815

Sumber: Departemen Pertanian, 2006 Keterangan: * = Estimasi


(28)

Tercapainya swasembada cengkeh, impor cengkeh Indonesia turun sangat drastis, dari volume impor 13.725 ton pada tahun 1985 turun menjadi 2.189 ton pada tahun 1986 bahkan hanya 6-12 ton pada tahun-tahun berikutnya. Volume dan nilai ekspor, impor Indonesia dapat di lihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Volume dan Nilai Ekspor-Impor Cengkeh Indonesia

Ekspor Impor

Tahun

Volume (Ton) Nilai (000 US$) Volume (Ton) Nilai (000 US$)

1975 47 3 28.948 89.276

1976 125 57 10.291 41.592

1977 86 117 3.787 14.322

1978 16 25 9.791 49.330

1979 17 35 10.993 68.049

1980 39 121 9.510 60.921

1981 51 102 14.492 120.014

1982 81 257 7.998 70.156

1983 341 984 3 69

1984 1.584 6.452 2 56

1985 1.071 2.977 13.725 47.401

1986 1.818 3.822 2.189 7.829

1987 1.836 3.044 1.996 14.003

1988 2.568 4.267 6 113

1989 1.255 1.963 12 217

1990 1.105 2.035 8 144

1991 1.118 2.312 3 34

1992 794 1.157 6 72

1993 700 1.109 5 89

1994 670 1.917 3 46

1995 690 1.728 4 54

1996 230 48 0 0

1997 356 221 0.1 0.7

1998 20.157 14.115 1 0.5

1999 1.776 1.636 22.610 40.067

2000 4.655 8.281 20.873 52.390

2001 6.324 10.670 16.899 17.365

2002 9.399 25.973 796 653

2003 15.688 24.929 172 151

2004 9.060 16.037 9 8

2005 7.680 14.916 1 1

Sumber : Departemen Pertanian, 2006

Gonarsyah (1996) mengemukakan bahwa saat awal terjadinya kelebihan pasokan (oversupply) cengkeh di pasar domestik sejak awal tahun 1988, impor


(29)

cengkeh di atur secara ketat. Impor cengkeh hanya dapat dilakukan dengan izin khusus oleh importir terdaftar atau yang di tunjuk. Kemudian pada tahun 1995, impor cengkeh disatukan dengan kegiatan pengadaan cengkeh dalam negeri yaitu dengan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Langkah stategis ini di tempuh pemerintah dengan alasan untuk meredam masuknya cengkeh impor. Hal ini berdampak dengan tidak adanya impor cengkeh tahun 1996.

Kondisi ini berbalik saat dibubarkannya BPPC pada tahun 1998, mulai saat itu terjadi lonjakan impor cengkeh terutama pada periode tahun 1999-2001. Dengan demikian, untuk mengantisipasiterjadinya lonjakan impor cengkeh yang akan mengakibatkan turunnya harga cengkeh di pasar domestik terutama pada saat panen raya, maka tahun 2002 melalui SK Memperindag RI No 528/MPP/Kep/7/2002 tentang ketentuan Impor Cengkeh, antara lain mengatur bahwa importir cengkeh adalah industri pengguna cengkeh yang memiliki Angka Pengenal Impor Produsen (API-P) atau Angka Pengenal Impor Terbatas (API-T) yang disetujui untuk mengimpor cengkeh yang diperlukan semata-mata untuk proses produksi dan pada saat ini impor cengkeh dikenakan tarif impor sebesar 5 persen. Dampak langsung dari pembatasan impor tersebut menunjukkan penurunan volume impor cengkeh yang signifikan pada tahun 2002-2005.

Pada dekade 1990-an, perkembangan produksi cengkeh cenderung fluktuatif jika dibandingkan dengan perkembangan konsumsi cengkeh (Gambar 3). Terjadinya fluktusi produksi cengkeh, terutama disebabkan oleh perilaku produksi tanaman cengkeh itu sendiri yang mengikuti siklus empat tahunan. Produksi cengkeh mencapai puncaknya pada saat panen raya berlangsung, setelah itu produksi akan kembali turun drastis pada tahun berikutnya karena tanaman


(30)

cengkeh dalam tahap pemulihan, setelah itu terjadi panen kecil pada dua tahun berikutnya, dan begitu seterusnya. Selain itu, penurunan produksi juga disebabkan oleh kurang intensifnya pemeliharaan tanaman disebagian besar sentra produksi cengkeh sebagai dampak dari rendahnya tingkat harga cengkeh pada beberapa tahun yang lalu, terlebih pada saat panen raya. Sedangkan konsumsi cengkeh industri rokok kretek cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya produksi rokok kretek.

Sumber: Gappri,2006

Gambar 3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Cengkeh

Dengan keadaan ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harga cengkeh. Rata-rata harga cengkeh meningkat hampir tiga kali lipat dari Rp. 7.420 per Kg tahun 1998 menjadi Rp. 20.000 per Kg pada tahun 1999. Kemudian terus meningkat berkisar Rp. 75.000 hingga Rp. 100.000 pada Juni 2002, namun berangsur turun hingga mencapai Rp. 13.500 per Kg di akhir tahun 2003. Hal ini menyebabkan petani yang memiliki “bargaining position” lemah hanya menerima harga yang berlaku di pasar, apalagi saat panen raya petani bahkan menerima

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Tahun

V

o

lu

m

e

(

T

o

n

)


(31)

harga yang lebih rendah karena mereka tidak mampu mempertahankan stok sambil menunggu harga yang lebih baik.

1.2. Perumusan Masalah

Kebutuhan akan cengkeh terus meningkat, terutama permintaan cengkeh untuk faktor produksi industri rokok kretek. Walaupun kebutuhan cengkeh terus meningkat, tetapi tidak diikuti dengan perbaikan harga cengkeh. Harga cengkeh terus berfluktuasi menyebabkan produksi cengkeh dalam negeri terganggu. Dengan keadaan percengkehan nasional yang tak menentu, masalah-masalah yang menarik untuk diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perkembangan konsumsi cengkeh oleh industri rokok kretek?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi permintaan cengkeh untuk industri rokok kretek?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini dapat disusun sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan perkembangan konsumsi cengkeh oleh industri rokok kretek.

2. Menganalisis faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi permintaan cengkeh oleh industri rokok kretek.


(32)

1.4. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini hanya mencakup sisi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia. Hasil penelitian ini akan memberi gambaran umum mengenai kondisi perkembangan konsumsi cengkeh industri rokok kretek, dan dapat juga menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap cengkeh oleh industri rokok kretek.


(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Cengkeh

Cengkeh adalah bunga yang belum mekar yang dikeringkan hingga kadar airnya tersisa antara 11 sampai 12 persen. Menurut Conti dalam Ruhnayat (2002), tanaman cengkeh merupakan tanaman asli Indonesia tepatnya berasal dari daerah Banda di kepulauan Maluku. Sampai abad ke-18 hanya Maluku satu-satunya produsen cengkeh. Namun di permulaan abad ke-19, Kepulauan Zanzibar dan Madagaskar telah merupakan produsen baru cengkeh (Hadiwijaya, 1989).

Gmelig dalam Sumargandi (1983) membedakan jenis cengkeh di Indonesia dalam jenis cengkeh liar dan cengkeh dibudidayakan. Masing-masing jenis di bagi dalam dua tipe utama dan dalam tiap tipe utama terdapat sub-sub tipe. Jenis yang paling dominan dibudidayakan adalah sub jenis Sikotok, Siputih dan Zanzibar. Perbedaan sifat antara ketiga jenis cengkeh dapat dilihat dari daun, bunga, percabangan dan akarnya (Tabel 3). Dari ke tiga jenis cengkeh, jenis Zanzibar memiliki daya tahan yang lebih baik. Dengan terjadinya persarian persilangan maka terjadilah bentuk-bentuk peralihan dari ke tiga jenis cengkeh tersebut. Oleh karena itu sulit untuk membedakan jenis cengkeh yang ada sekarang.

Tanaman cengkeh mempunyai dua masa kritis dalam siklus hidupnya, yaitu masa sebelum tanaman mencapai umur 3 tahun dan setelah umur 8 tahun, terutama pada awal dan sesudah panen pertama. Keadaan pertumbuhan tanaman tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh dan cara budidaya. Tanaman


(34)

cengkeh dimasukkan pada kategori tanaman manja dalam arti memerlukan lingkungan yang khusus dan pemeliharaan yang intensif (Ruhnayat, 2002).

Tabel 3. Perbedaan Sifat antara Siputih, Sikotok dan Zanzibar

Sifat Siputih Sikotok Zanzibar

Warna daun Kuning atau hijau

muda

Hijau sampai hijau

tua Hijau gelap

Ukuran helai

daun Besar

Lebih kecil dari siputih

Panjang dan ramping Cabang, dahan

dan daun Kurang rimbun Sangat rindang Sangat rindang

Letak percabangan

Agak jauh dari permukaan tanah, cabang bawah mati

Dekat dengan permukaan tanah, cabang bawah terus

tumbuh

Dekat dengan permukaan tanah,

cabang bawah terus tumbuh

Warna bunga Kuning

Kuning dengan sedikit kemerah-merahan pada pangkal bunganya

Lebih merah

Besar bunga Besar Lebih kecil dari

siputih Kecil atau sedang

Jumlah bunga Kurang lebat Lebat Lebat

Jumlah perakaran Sedikit Agak banyak Banyak

Resisten terhadap

mati bujang Diduga tidak tahan

Diduga lebih tahan dari siputih

Diduga lebih tahan dari siputih Daya adaptasi

terhadap sifat tanah yang kurang baik

Diduga kurang baik Diduga lebih baik Diduga lebih baik

Sumber: Taruli, 2002

Cengkeh menghendaki iklim yang panas dengan curah hujan cukup merata, karena tanaman ini tidak tahan kemarau panjang. Tanaman cengkeh tumbuh dengan baik pada suhu optimum 18ºC-30ºC, kelembaban optimum antara 60-80 persen, ketinggian 600-900 meter dari permukaan laut dan curah hujan 2000-6000 mm tiap tahun (Hadiwijaya dalam Taruli, 2002). Selain itu, tanah yang sesuai adalah yang gembur, solum yang tebal (minimal 1,5 meter) dan kedalaman air tanah lebih dari 3 meter dari permukaan tanah serta memiliki tingkat


(35)

kemasaman 5,5-6,5 pH. Jenis tanah yang cocok antara lain latosol, podsolik merah, mediterian dan andosol (Ruhnayat, 2002).

2.2. Produksi dan Luas Areal Tanaman Cengkeh Indonesia

Menurut Kemala (1999), perkembangan luas areal tanaman cengkeh sangat dipengaruhi harga. Jika harga dan luas areal tanaman cengkeh tidak dipertahankan dikuatirkan produktivitas cengkeh akan terus menurun. Penurunan produktivitas ini disebabkan oleh keterbatasan modal yang dimiliki petani sehingga mereka tidak mampu mengelola usahatani cengkeh dengan baik. Hal tersebut berakibat terhadap menurunnya pasokan cengkeh pada tahun-tahun yang akan datang.

Menurut Wahid dalam Yuhono (1997), tanaman cengkeh termasuk tanaman yang berbunga terminal dalam arti mengenal siklus produksi dimana setiap tiga sampai empat tahun terjadi satu kali berbunga lebat, satu kali berbunga sedang dan satu kali berbunga sedikit. Di sisi lain tanaman cengkeh mengenal kesesuaian lahan dan agroklimat dimana tiap daerah dapat berbeda satu sama lain sehingga jatuh tempo dari siklus produksi dapat bervariasi bagi seluruh wilayah produsen cengkeh di Indonesia. Pengaruh simultan dari faktor tersebut menyebabkan fluktuasi produksi cengkeh nasional.

Ruhnayat (1997) menyimpulkan bahwa penyebab utama fluktuasi produksi tanaman cengkeh adalah faktor iklim, genetis, fisiologis dan budidaya.

a. Faktor iklim

Faktor iklim cukup menentukan pembungaan tanaman cengkeh. Pengaruh iklim ini berkisar antara 37-68 persen (Wahid dalam Ruhnayat, 1997). Hubungan


(36)

antara iklim dengan pembungaan ini terjadi karena untuk inisiasi pembungaan diperlukan hormon florigen yang pembentukannya dirangsang oleh faktor iklim. Dengan demikian faktor iklim akan mengarahkan tanaman apakah akan terus tumbuh vegetatif atau generatif. Menurut Hadiwijaya dalam Ruhnayat (1997), untuk pembungaan tanaman cengkeh membutuhkan adanya suatu periode yang agak kering tanpa hujan sama sekali dan penyinaran matahari yang terik.

Pengaruh faktor iklim masih terus berlanjut walaupun inisiasi pembungaan telah terjadi atau bakal bunga telah muncul. Hadiwijaya dalam Ruhnayat (1997), mengemukakan bahwa bakal bunga ini biasanya mulai tampak pada periode kurang lebih dua bulan setelah adanya masa kering selama dua minggu berturut-turut. Namun apabila terjadi curah hujan yang sangat tinggi dan diikuti dengan kelembaban serta temperatur udara yang dingin di malam hari maka bakal bunga dapat berubah menjadi kuncup daun. Sedangkan apabila terjadi musim kemarau yang berkepanjangan menyebabkan pertumbuhan bakal bunga menjadi terganggu.

Perubahan iklim menyebabkan fluktuasi hasil cengkeh sulit untuk diatasi. Perubahan iklim tidak bisa dicegah dan terjadinya meliputi daerah yang cukup luas. Oleh karena itu upaya yang bisa dilakukan untuk memperkecil terjadinya fluktuasi hasil cengkeh yang diakibatkan oleh iklim adalah dengan cara membudidayakannya pada daerah yang sesuai terutama keadaan curah hujan rata-rata satu sampai empat bulan sebelum primordial bunga.

b. Faktor genetis

Paling sedikit ada tiga faktor genetis tanaman cengkeh yang ada hubungannya dengan fluktuasi hasil yaitu sifat berbunga terminal, daya regenerasi yang rendah dan jarak antara waktu panen ke masa pembungaan selanjutnya yang


(37)

relatif pendek. Pada tanaman yang berbunga terminal, bunga hanya keluar pada ujung-ujung pucuk. Apabila terjadi pembungaan yang lebat, hampir semua ujung pucuk tersebut terisi bunga sehingga pertumbuhan vegetatif yang diperlukan untuk pembentukan energi baru mendatang menjadi kurang. Akibatnya sehabis panen besar, tanaman cengkeh menjadi merana.

Hal ini ditunjang pula oleh sifat genetis tanaman cengkeh yang lainnya yaitu daya regenerasi tanaman yang rendah sedangkan jarak antara waktu panen ke masa pembentukan bunga primordial bunga selanjutnya relatif pendek yaitu antara tiga sampai empat bulan. Setelah panen besar hal tersebut seringkali menyebabkan primordial bunga yang muncul hanya sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu pemilihan varietas tanaman yang memiliki daya regenerasi yang cepat perlu diupayakan karena tipe tanaman yang demikian hasil panennya kurang berfluktuasi.

c. Faktor fisiologis

Seperti telah dikatakan di atas bahwa tanaman cengkeh bersifat berbunga terminal. Keluarnya primordial bunga pada ranting terminal ini selain dipengaruhi oleh faktor dari luar juga dipengaruhi oleh faktor dari dalam tanaman. Salah satu faktor dari dalam tanaman adalah kondisi fisiologis yang mencakup status senyawa-senyawa yang dapat mempengaruhi terbentuknya primordial bunga seperti kandungan karbohidrat, asimilatat, hara mineral dan fitohormon.

Pada masa pembungaan yang lebat sebagian besar asimilatat dan unsur hara akar ditranslokasikan untuk pengembangan struktur reproduktif sehingga pembentukan tunas vegetatif yang akan datang mendukung struktur reproduktif


(38)

pada tahun berikutnya akan berkurang. Keadaan ini semakin menjadi buruk bila kesuburan fisik dan kimia tanah menurun.

Upaya menyeimbangkan pertumbuhan vegetatif dan pertumbuhan produktif dapat dilakukan dengan beberapa cara. Perompesan sebagian kuncup bunga merupakan salah satu cara untuk mengurangi terkurasnya karbohidrat cadangan. Cara ini mampu menstimulir timbulnya ranting-ranting vegetatif baru satu bulan sebelum bunga dipanen. Cara lain untuk mendorong pertumbuhan vegetatif dan reproduktif adalah dengan pemupukan. Tanaman yang dipupuk mempunyai fluktuasi yang lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang tidak dipupuk. Selain itu senyawa kimia seperti kalium nitrat memiliki potensi untuk merangsang pembungaan pada tanaman cengkeh. Pemberian zat perangsang diberikan setelah panen besar.

d. Faktor budidaya

Dari aspek budidaya yang paling berpengaruh terhadap terjadinya fluktuasi hasil pada tanaman cengkeh antara lain penggunaan bahan tanaman yang kurang unggul, pemeliharaan dan cara panen. Untuk tanaman yang cukup tinggi sebaiknya panen dilakukan dengan menggunakan tangga dan hindari memanjat pohon karena percabangan cengkeh yang mudah patah. Sedangkan cara pemetikan bunga yang baik adalah daun tidak ikut dipetik, yaitu dengan cara menjepit pangkal gagang dengan tangan kiri, kemudian tangan kanan memetik bunga. Dengan cara ini pada ruas yang daunnya tidak ikut dipetik akan tumbuh tunas baru sebagai cabang tempat keluarnya bakal-bakal bunga pada masa pembungaan selanjutnya. Sedangkan apabila daun ikut terpetik, tunas baru


(39)

tersebut lebih lama keluarnya sehingga calon bunga biasanya akan muncul dua sampai tiga tahun kemudian.

2.3. Mutu Cengkeh Indonesia

Pengembangan areal pertanaman cengkeh dilakukan pada jenis lahan yang berbeda-beda. Hal ini ternyata mengakibatkan variasi cengkeh yang dihasilkan cukup besar (Rusli dalam Hidayat,1997). Penyebab lain dari variasi mutu cengkeh menurut Laksmanahardja et al. dalam Hidayat (1997) karena perbedaaan varietas tanaman serta cara pengolahan yang berlainan.

Untuk meningkatkan dan menekan variasi mutu maka diperlukan standar mutu cengkeh. Dengan adanya standar mutu yang telah disepakati bersama antara produsen dan konsumen maka kepastian perdagangan dapat ditingkatkan. Konsumen dapat mengetahui dengan pasti mutu barang yang akan di beli dan produsen dapat mengarahkan mutu produksinya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Standar mutu cengkeh yang berlaku di Indonesia adalah SNI No. 01-3392-1994 yang di buat oleh Dewan Standardisasi Nasional (DSN) dari Standar Perdagangan SP-48-1976. Standar mutu cengkeh di susun setelah mempelajari hasil survei diperkebunan rakyat dan swasta, pabrik rokok kretek, wawancara dengan pihak-pihak yang berkecimpung dalam perdagangan cengkeh, dan membandingkan dengan standar mutu cengkeh dari American Spice Trade Association (ASTA), serta dengan beberapa negara importir dan negara eksportir cengkeh. Standar mutu cengkeh Indonesia dapat di lihat pada Tabel 4.


(40)

Tabel 4. Standar Mutu Cengkeh Indonesia

Syarat Mutu Mutu I Mutu II Mutu III

Ukuran Rata Rata Tidak rata

Warna Cokelat kehitaman Cokelat Cokelat

Bahan asing (%, b/b) maks. 0,5 1 1

Gagang cengkeh (%, b/b) maks. 1 3 5

Cengkeh inferior (%, b/b) maks. 2 2 5

Cengkeh rusak Negatif Negatif Negatif

Kadar air (%, v/b) maks. 14 14 14

Kadar minyak atsiri (%< v/b) min. 20 18 16

Sumber: Ruhnayat, 2002

Syarat mutu dari cengkeh terdiri dari ukuran, warna, bahan asing, gagang cengkeh, cengkeh inferior, cengkeh rusak, kadar air dan kadar minyak atsiri. Bahan asing dalam syarat mutu diartikan sebagai semua bahan yang bukan berasal dari bunga cengkeh. Cengkeh inferior adalah cengkeh keriput, patah dan cengkeh yang telah dibuahi. Sedangkan cengkeh rusak adalah cengkeh berjamur dan telah diekstraksi.

Selain standar mutu untuk cengkeh, telah ditetapkan juga standar mutu untuk minyak cengkeh baik yang dari daun, gagang maupun bunga (Tabel 5). Standar mutu minyak cengkeh dari daun telah ditetapkan oleh DSN yang dituangkan dalam SNI No. 06-2387-1991. Sementara Indonesia belum menetapkan standar mutu minyak cengkeh dari bagian gagang dan bunga. Untuk acuan standar mutu minyak gagang cengkeh digunakan standar dari Standar of Essential Oil Association (EOA) No. 178, sedangkan untuk minyak bunga cengkah digunakan standar dari Internasional Standard Organization (ISO) atau kesepakatan antara produsen dan konsumen.


(41)

Tabel 5. Standar Mutu Minyak Daun, Gagang dan Bunga Cengkeh

Syarat Mutu Daun (SNI) Gagang (EOA) Bunga (ISO)

Bobot jenis (25º/25ºC) 1,03 – 1,06 1,048 – 1,056 1,044 – 1,057

Indeks bias (20ºC) 1,52 – 1,54 1,534 – 1,538 1,528 – 1,538

Putaran optik (º) 1º35’ 0º – (-1º30’) 0º – (-1º35’)

Kadar eugenol total (%) 78 – 93 89 – 95 85 – 93

Kelarutan dalam alkohol 70% 1 : 2 1 : 2 1 : 2

Minyak pelikan negatif - -

Minyak lemak negatif - -

Sumber: Ruhnayat, 2002

Masalah mutu yang banyak dijumpai pada pengolahan cengkeh di tingkat petani antara lain variasi mutu yang cukup besar serta mutu cengkeh yang dihasilkan masih relatif rendah. Hal tersebut dapat ditunjukkan dari hasil analisis beberapa parameter mutu baik fisik maupun kimiawi (Tabel 6).

Menurut Hidayat dan Nurdjannah (1997), kadar minyak cengkeh yang dihasilkan dari beberapa sentra produksi cengkeh di Indonesia sebagian besar baru masuk dalam kelompok mutu II dan mutu III serta bahkan ada yang tidak masuk dalam standar mutu. Ditinjau dari kadar air, cengkeh yang dihasilkan petani umumnya mempunyai kadar air yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan standar mutu (maksimal 14 persen). Hal ini bertentangan dengan pendapat beberapa pihak yang mengatakan bahwa cengkeh dari petani mempunyai kadar air yang terlalu tinggi.


(42)

Tabel 6. Hasil Analisis Beberapa Parameter Mutu Cengkeh dari Beberapa Sentra Produksi di Indonesia

No Propinsi Daerah Kadar air

(%)

Kadar minyak (%)

Kadar abu (%)

1 Sulawesi Utara Minahasa Sangir 7,4 7,8 14,2 16,6 6,3 4,8

2 Sulawesi Selatan

Bantaeng Bulukumba Wajo Tana Toraja Enrekang 10,2 9,5 8,5 6,5 10,0 20,1 18,8 18,6 19,3 21,1 10,8 11,1 12,8 11,7 11,4 3 Sulawesi Tengah Toli-toli 10,3 15,6 6,2 4 Aceh

Lampuuk Samalaga Sabang 8,8 7,5 9,2 17,7 18,4 17,1 7,0 6,2 4,2 5 Sumatera Barat

Solok Teluk Kabuas Sungai Batang 7,8 7,8 11,5 17,1 18,3 16,2 5,8 6,9 6,8 6 Lampung

Lampung Utara Lampung Tengah Lampung Selatan 15,4 11,7 10,6 18,3 17,2 15,0 4,6 4,9 4,8 7 Bengkulu Kodya Bengkulu

Bengkulu Utara 11,3 11,3 16,3 15,4 3,9 4,5 8 Jawa Barat Sukabumi

Bogor 8,3 11,0 18,9 19,1 6,6 6,8 9 Jawa Tengah

Salatiga Banyumas Moga Waleri 7,5 7,8 9,8 10,0 16,6 17,5 19,4 18,5 6,2 6,0 5,8 5,9 10 Jawa Timur

Jombang Malang Trenggalek 8,0 8,5 9,5 17,0 15,7 19,7 6,4 6,5 6,0 11 Bali

Buleleng Tabanan Jembrana 8,6 9,7 11,7 20,1 18,8 17,3 5,8 6,0 5,8 12 Maluku Maluku Utara

Maluku Tengah 8,5 7,7 18,9 17,0 5,5 5,3 Sumber: Taruli, 2002

Beberapa upaya perbaikan untuk menanggulangi permasalahan mutu cengkeh antara lain dapat dilakukan dengan perwilayahan cengkeh sehingga penanaman dilakukan pada daerah yang sangat sesuai, penggunaan varietas unggul serta perbaikan dan standarisasi cara pengolahan. Perbaikan cara pengolahan antara lain dengan waktu panen yang tepat sehingga rendemen cengkeh kering dan kadar minyak meningkat serta cengkeh inferior dan menir


(43)

berkurang. Untuk mengurangi kadar bahan asing, pengeringan sebaiknya dilakukan pada lantai jemur yang bersih atau di atas para-para menggunakan tampah atau dengan pengering buatan. Selain itu kadar bahan asing dan persentase gagang cengkeh dapat dikurangi dengan melakukan sortasi sebelum cengkeh disimpan atau dipasarkan.

2.4. Tataniaga Cengkeh Indonesia

Menurut Sinaga (1999), tataniaga merupakan bagian perilaku ekonomi yang termasuk dalam kelompok distribusi. Tataniaga atau sistem pemasaran adalah suatu cara untuk menyalurkan barang yang diproduksi oleh produsen agar dapat tiba kepada konsumen. Fungsi tataniaga merupakan peningkatan kegunaan suatu barang yang di konsumsi oleh konsumen, di mana peningkatan kegunaan tersebut berhubungan dengan kegunaan waktu, bentuk, tempat dan harga. Pada prinsipnya fungsi tataniaga tersebut lebih menekankan pada peningkatan nilai guna tempat dari waktu suatu barang, di dalam pendistribusiannya diperlukan adanya perantara atau yang di sebut pedagang perantara.

Kotler (1999) menyatakan bahwa tataniaga atau pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial di mana individu dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan mereka dengan menciptakan, menawarkan dan bertukar sesuatu yang bernilai satu sama lain. Sedangkan Kohls dan Downey dalam Sinaga (1999) mendefinisikan tataniaga sebagai semua langkah-langkah dari produksi awal sampai ke konsumen terakhir.

Cengkeh sebagai salah satu komoditi perkebunan memiliki karakteristik yang khas yaitu dapat di simpan lama tanpa mengalami penurunan mutu


(44)

(Mubyarto dalam Sinaga, 1999). Dengan kondisi tersebut maka harga cengkeh yang terjadi tidak merupakan akibat langsung dari situasi panenan atau dengan kata lain tidak ada hubungan erat antara harga dengan permintaan, sehingga petani seharusnya dapat menyimpan cengkeh pada saat harga jatuh dan menjual pada saat harga meningkat.

Tataniaga cengkeh adalah suatu sistem yang mengatur mekanisme transaksi perdagangan cengkeh hasil produksi dalam negeri dari tingkat produksi (perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta) hingga ke tingkat konsumen yaitu industri (rokok dan obat-obatan) dan rumah tangga. Tataniaga cengkeh memiliki suatu keunikan karena produsennya banyak tapi jumlah industri rokok serta pabrik lainnya yang menggunakan cengkeh sebagai bahan baku hanya sedikit. Strategi terhadap tataniaga cengkeh di Indonesia yang bersifat oligopsoni, di samping cengkeh merupakan komoditi pertanian yang memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional maka tataniaga cengkeh di atur melalui kebijakan pemerintah dengan tujuan:

a. Agar petani sebagai produsen cengkeh menerima harga yang wajar sehingga tingkat pendapatan petani dapat meningkat.

b. Agar dapat menjamin ketersediaan stok cengkeh sebagai persyaratan terjaminnya secara berkesinambungan produksi pabrik rokok kretek.

2.4.1. Kebijakan Pemerintah dalam Tataniaga Cengkeh

Kebijakan pemerintah terhadap tataniaga cengkeh pertama kali di atur dalam Keppres RI tanggal 28 Desember 1969 mengenai impor cengkeh, dengan pelaksanaan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 167 tanggal


(45)

25 Juli 1970 dengan menetapkan Badan Pengadaan Cengkeh (BPC) sebagai badan tunggal yang dapat melakukan pengadaan dan penyaluran cengkeh di dalam negeri. Sedangkan importir cengkeh ditunjuk CV. Wijaya dan PT. Mega, yang kemudian pada tahun 1970 diganti oleh CV. Mercu Buana sedangkan BPC dibubarkan tahun 1972, tugasnya dialihkan kepada Direktorat Perdagangan Dalam Negeri.

Tahun 1973, pemerintah menetapkan kebijakan dalam bentuk penurunan pajak penjualan cengkeh dari 10 persen menjadi 5 persen dan pengangkutan cengkeh antar pulau di wilayah Indonesia harus disertai Surat Ijin Pengangkutan Antar Pulau Cengkeh (SIPAP-C). Kemudian Keppres No. 8 tahun 1980 tentang Tataniaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri, yang mengatur harga dasar dan tataniaga cengkeh dalam negeri. Isi dari Keppres No. 8 tahun 1980 antara lain: 1. Pembelian dan pengumpulan cengkeh dari petani dilakukan oleh KUD. 2. Bank Rakyat Indonesia menyediakan dana atau kredit yang cukup untuk

KUD.

3. Harga dasar pembeli dan lelang ditentukan oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi.

4. Peserta lelang terdiri dari pedagang antar pulau dan PT. Kerta Niaga yang memiliki SIUPP.

5. PT. Kerta Niaga di tunjuk sebagai badan penyangga dan pemegang stok cengkeh nasional bila harga dasar tidak tercapai.

6. Dana pengelolaan stok cengkeh nasional disediakan melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).


(46)

7. Cengkeh yang diantar pulaukan dikenakan Sumbangan Rehabilitasi Cengkeh (SRC) sebesar Rp 500/kg.

Tujuan dari Keppres No. 8 tahun 1980, adalah: 1. Stabilitas harga cengkeh.

2. Melindungi petani cengkeh. 3. Meningkatkan peran KUD.

4. Meningkatkan peran lembaga tataniaga seperti Perdagangan Antar Pulau (PAP), PT Kerta Niaga sebagai perusahaan pemegang stok dan penyangga cengkeh nasional di tingkat KUD.

Banyaknya masalah yang ditemui dalam kebijakan tataniaga cengkeh tahun 1980, menyebabkan pemerintah menetapkan kebijakan yang baru dalam tataniaga cengkeh Indonesia, yaitu dengan membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 306 tahun 1990, BPPC berhak melakukan pembelian, penyanggaan dan stabilisasi harga di tingkat petani dan menjual kepada konsumen. BPPC dibentuk dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani cengkeh akibat banyaknya keluhan dari petani dengan harga jual cengkeh yang sangat murah.

Kebijakan tataniaga cengkeh berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992 tentang tataniaga cengkeh hasil produksi dalam negeri ditetapkan pada tanggal 11 April 1992. Inti dari kebijakan tersebut adalah:

a. Pembelian cengkeh dari petani cengkeh dilakukan KUD dengan harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah.

b. KUD menjual cengkeh tersebut kepada badan penyangga yang di tunjuk oleh pemerintah.


(47)

c. Penjualan cengkeh oleh badan penyangga kepada pabrik rokok atau konsumen lainnya dikenakan Sumbangan Diversifikasi Tanaman Cengkeh (SDTC) sebesar Rp. 150/Kg.

Berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992, ditetapkan juga harga cengkeh, dana pembelian, penyerahan pita cukai serta pembinaan dan pengawasan dalam tataniaga cengkeh. Sedangkan pelaksanaan tataniaga cengkeh berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992 dan Inpres No. 4 tahun 1996, kembali di atur melalui Keputusan Menperindag tahun 1996 dan keputusan Menkop/PKK No. 335 tahun 1996.

Sejak dikeluarkannya Keppres No. 21 tahun 1998 yang mengatur tentang perdagangan cengkeh, BPPC resmi dibubarkan dan Keppres No. 20 tahun 1992 tidak berlaku lagi. Isi Keppres No. 21 tahun 1998 adalah sebagai berikut:

Pasal 1 Petani dan pedagang dapat menjual dan atau membeli secara bebas cengkeh kepada dan atau dari pihak manapun berdasarkan harga pasar. Pasal 2 Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) wajib menyelesaikan

semua hal yang menyangkut kegiatannya selambat-lambatnya sampai dengan 30 Juni 1998.

Pasal 3 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Presiden ini ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Pasal 4 Dengan ditetapkan Keputusan Presiden ini, Keputusan No. 20 tahun 1992 tentang Tataniaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri dan seluruh peraturan pelaksanaannya dinyatakan tidak berlaku lagi.


(48)

2.4.2. Saluran Tataniaga Cengkeh Indonesia

Rantai tataniaga menurut Keppres No. 8 tahun 1980 dapat di lihat pada gambar di bawah ini.

Sumber: Rosmeilisa, 1997

Gambar 4. Rantai Tataniaga Menurut Keppres No. 8 Tahun 1980

Tataniaga cengkeh ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Kemala dalam Rosmeilisa (1997), terjadinya hal tersebut disebabkan adanya distorsi pasar akibat pemerintah selaku regulator tidak konsisten terhadap sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi diantaranya adalah harga yang diterima petani kurang dari Rp 6.500 sebagai harga yang telah ditetapkan. Petani hanya menerima harga sebesar Rp 3.000 per kilogram, hal ini jelas sangat merugikan petani. Walaupun pemerintah telah membuat suatu rantai tataniaga cengkeh, namun ada juga petani yang menjual produksi cengkehnya tanpa mengikuti rantai tataniaga yang telah ditetapkan. Rantai tataniaga bukan berdasarkan Keppres No. 8 tahun 1980 dapat di lihat pada gambar berikut.

Sumber: Rosmeilisa, 1997

Gambar 5. Rantai Tataniaga Non-Keppres

Petani KUD/

PUSKUD

Lembaga Lelang

PAP/

Penyangga Pabrik

Petani

Pedagang Pengumpul

Pedagang Kabupaten

Pedagang Propinsi/Besar


(49)

Pada tahun 1988 terjadi kelebihan penawaran yang mengakibatkan harga turun tajam sampai Rp 1.500 per kilogram. Dengan tujuan menolong petani, pemerintah menetapkan rantai tataniaga baru berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992 dengan membentuk BPPC yang merupakan badan usaha swasta yang bertugas melakukan pembelian, menyangga dan menstabilkan harga cengkeh di tingkat petani dan menjual ke pabrik-pabrik rokok melalui SK. Menteri Perdagangan No. 306/KP/XII/1990. Untuk mengawasi jual beli cengkeh di bentuk Badan Cengkeh Nasional (BCN). Tataniaga cengkeh yang ditetapkan dengan adanya BPPC dapat di lihat seperti pada gambar di bawah.

Sumber: Rosmeilisa, 1997

Gambar 6. Saluran Tataniaga Cengkeh Menurut SK. Mendag Tahun 1990 Di lihat dari rantai tataniaga berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992, banyak pemotongan rantai tataniaga sehingga diharapkan tataniaga cengkeh menjadi lebih efisien tetapi pada pelaksanaannya banyak syarat biaya yang dibebankan sehingga pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan. Dengan terbitnya Keppres No. 21 tahun 1998, maka tataniaga cengkeh yang selama ini ditangani oleh BPPC dibebaskan. Para petani bebas menjual hasil cengkehnya dan pedagang dapat membeli cengkeh dengan pihak manapun.

Surveyor/ PT. Sucofindo Konsumen

Pabrik Rokok atau Lainnya BPPC

KUD Petani


(50)

2.5. Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian tentang analisis permintaan cengkeh untuk industri rokok kretek pernah dilakukan oleh Chaniago (1980). Dalam penelitian tersebut salah satu tujuannya adalah menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan cengkeh dan membuat suatu estimasi atau proyeksi permintaan cengkeh. Penelitian dilakukan dengan mengunakan data time series selama 21 tahun, yaitu data berskala dari tahun 1958-1979.

Data di olah dengan persamaan regresi berganda dengan metode analisis pangkat dua terkecil dua tahap (two stage least square). Estimasi atau proyeksi permintaan cengkeh untuk industri rokok kretek dibuat dengan menggunakan beberapa asumsi, di mana pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk berubah sedangkan harga-harga setelah memperhitungkan laju inflasi yang berpedoman dari perkembangan laju inflasi sebelumnya, dianggap tetap.

Dari hasil analisis permintaan rokok kretek ternyata yang sangat mempengaruhi permintaan cengkeh adalah pendapatan. Berdasarkan perhitungan proyeksi permintaan cengkeh dengan asumsi angka kenaikan pendapatan nasional 7 persen setahun, angka kenaikan penduduk 2,3 persen setahun dan harga-harga tetap dengan menggunakan 0,9 gram cengkeh per batang rokok kretek, diperkirakan permintaan cengkeh tahun 1990 mencapai 75.574 ribu ton sedangkan jika 0,7 gram cengkah per batang rokok kretek, permintaan cengkeh pada tahun 1990 diperkirakan 58.780 ribu ton.

Dengan asumsi angka kenaikan pendapatan nasional 6 persen setahun, angka kenaikan penduduk 2,4 persen setahun dan harga-harga tetap dengan menggunakan 0,9 gram cengkeh per batang rokok kretek, diperkirakan


(51)

permintaan cengkeh tahun 1990 mencapai 68.714 ribu ton. Sedangkan jika satu batang rokok kretek 0,7 gram cengkeh, kebutuhan cengkeh untuk rokok kretek pada tahun 1990 hanya mencapai 53.444 ribu ton.

Selain penelitian Chaniago, penelitian tentang cengkeh juga dilakukan oleh Wachjutomo (1996), Sinaga (1999) dan Rumangit (2007). Penelitian yang dilakukan oleh Wachjutomo (1996) dengan judul analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap penawaran dan permintaan cengkeh di Indonesia, membahas masalah adanya penurunan harga cengkeh di tingkat petani, dan peningkatan harga cengkeh di tingkat industri sigaret kretek yang disebabkan oleh kebijakan tataniaga cengkeh. Dalam penelitian tersebut menggunakan data time series, yaitu data tahun 1969 sampai dengan tahun 1993.

Data di olah menggunakan model ekonometrika yang mempresentasikan pasar dan proses produksi komoditi cengkeh dalam bentuk persamaan simultan. Model di duga dengan metode three-stage least squares dan disimulasi untuk berbagai alternatif kebijakan. Dari analisis diperoleh bahwa volume impor cengkeh responsif terhadap perubahan jumlah produksi cengkeh, stok cengkeh nasional tahun lalu, dan konsumsi cengkeh industri sigaret kretek. Jumlah stok cengkeh nasional dalam jangka panjang responsif terhadap perubahan jumlah konsumsi cengkeh industri sigaret kretek. Kenaikan konsumsi sigaret kretek akan meningkatkan stok cengkeh nasional sehingga sebagian besar jumlah stok cengkeh nasional berada di tingkat industri sigaret kretek.

Dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, volume ekspor cengkeh responsif terhadap perubahan nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Sehingga penurunan nilai tukar (depresiasi) akan meningkatkan volume ekspor


(52)

cengkeh. Dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, harga cengkeh impor responsif terhadap perubahan harga cengkeh di pasar dunia. Sehingga kenaikan harga cengkeh di pasar dunia akan meningkatkan harga impor cengkeh.

Bagi petani produsen cengkeh, kebijakan tataniaga cengkeh berdasarkan Keppres No. 8 tahun 1980, lebih baik dibandingkan dengan kebijakan tataniaga cengkeh berdasarkan BPPC. Karena apabila kebijakan tataniaga berdasarkan Keppres No. 8 tahun 1980 dihapuskan akan berdampak terhadap penurunan harga cengkeh di tingkat petani, sedangkan jika kebijakan BPPC dihapuskan berdampak terhadap peningkatan harga cengkeh di tingkat petani.

Semua alternatif kebijakan dalam pasar komoditi cengkeh berdampak terhadap peningkatan surplus nasional dan surplus industri sigaret kretek. Tetapi hanya kebijakan peningkatan harga cengkeh di tingkat petani, peningkatan harga cengkeh di tingkat industri sigaret kretek dan penghapusan tataniaga cengkeh BPPC yang akan meningkatkan surplus dan penerimaan petani produsen. Kebijakan kenaikan harga cengkeh di tingkat petani, merupakan satu-satunya kebijakan yang berdampak terhadap peningkatan surplus dan penerimaan petani produsen cengkeh dan produsen sigaret kretek.

Sinaga (1999) dalam penelitiannya yang berjudul dampak perubahan faktor ekonomi terhadap permintaan dan penawaran cengkeh di Indonesia bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, permintaan dan penawaran cengkeh di Indonesia; menganalisis keterkaitan produksi, permintaan dan penawaran cengkeh di Indonesia; menganalisis dampak perubahan faktor ekonomi terhadap produksi, permintaan dan penawaran cengkeh di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan mengunakan data sekunder berupa data


(53)

time series dari tahun 1970-1998 atau dengan rentang waktu 29 tahun. Faktor-faktor yang di duga berpengaruh adalah harga cengkeh di tingkat pabrik rokok, harga di tingkat petani, konsumsi industri rokok kretek, kebijakan tataniaga cengkeh, konsumsi cengkeh industri lain, konsumsi cengkeh oleh rumah tangga, jumlah penduduk Indonesia, pendapatan perkapita dan ekspor rokok kretek. Metode pendugaan yang digunakan adalah metode Two- Stage Least Squares (2 SLS).

Dari hasil analisis yang diperoleh, faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap permintaan cengkeh adalah harga cengkeh di tingkat petani, konsumsi industri rokok kretek, jumlah penduduk Indonesia dan ekspor rokok kretek. Meningkatnya konsumsi industri rokok kretek berpengaruh terhadap meningkatnya permintaan cengkeh di Indonesia. Sedangkan dummy kebijakan tataniaga cengkeh tidak berpengaruh terhadap permintaan cengkeh di Indonesia. Permintaan cengkeh respon hanya terhadap jumlah penduduk Indonesia. Permintaan cengkeh akan meningkat bila penduduk Indonesia meningkat.

Rumagit (2007) dalam penelitiannya dengan judul kajian ekonomi keterkaitan antara perkembangan industri cengkeh dan industri rokok nasional. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis (1) keterkaitan antara industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional, (2) perkembangan sistem produksi dan tataniaga dalam usahatani cengkeh dan (3) kemungkinan kerjasama antara industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional.

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data di analisis dengan menggunakan pendekatan ekonometrika, matriks analisis kebijakan periode ganda (multi-period PAM) dan teori permainan (game theory). Hasil


(54)

penelitian menyimpulkan bahwa (1) keterkaitan antara industri cengkeh dan industri rokok kretek perlu diperbaiki, (2) rendahnya harga cengkeh terutama pada saat panen raya menyebabkan keuntungan privat usahatani cengkeh relatif rendah, walaupun masih tetap memiliki keunggulan komparatif dan (3) kerjasama yang sinergis antara petani cengkeh dan pabrik rokok kretek diperlukan untuk keberlanjutan industri cengkeh dan industri rokok kretek

Beberapa penelitian sebelumnya yang juga diperlukan selain dari penelitian tentang cengkeh di atas dilakukan oleh Ketura (1996) dan Afifa (2006). Penelitian yang dilakukan oleh Ketura (1996) dengan judul analisis permintaan cabai di Indonesia, memiliki tujuan menduga fungsi permintaan akan komoditi cabai dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cabai dengan ruang lingkup mencakup estimasi fungsi permintaan cabai sebagai konsumsi langsung dan sebagai faktor produksi.

Dari hasil analisis model yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa permintaan cabai sebagai konsumsi langsung rumah tangga terutama dipengaruhi oleh selera. Hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat akan komoditas cabai meningkat. Selain itu, harga cabai, tingkat pendapatan, harga beras, harga cabai botol dan jumlah penduduk turut mempengaruhi. Selera masyarakat akan komoditas cabai terus meningkat, hal ini ditunjukkan oleh variabel trend yang berpengaruh nyata dan bernilai positif.

Permintaan cabai sebagai bahan baku industri dipengaruhi oleh harga cabai, pengeluaran untuk tenaga kerja, jumlah industri yang menggunakan sebagai bahan baku dan jumlah produksinya. Sebagai bahan baku industri permintaan


(55)

akan cabai terus meningkat. Sama halnya dengan permintaan cabai sebagai konsumsi langsung, hal ini secara keseluruhan terlihat dari nilai trend yang positif.

Secara keseluruhan, konsumsi cabai dipergaruhi oleh harga cabai, pendapatan, harga beras, harga cabai botol, jumlah penduduk, pengeluaran untuk tenaga kerja dari industri yang menggunakan cabai sebagai bahan baku, jumlah industri yang menggunakan cabai sebagai bahan baku dan produksi serta trend.

Afifa (2006) dalam penelitiannya yang berjudul analisis permintaan kedelai pada industri kecap di Indonesia bertujuan menguraikan keragaan perekonomian kedelai dan industri kecap di Indonesia dan menganalisis faktor-faktor yang memepengaruhi permintaan kedelai pada industri kecap di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan mengunakan data sekunder berupa data time series

dari tahun 1990-2002. Data di olah dengan menggunakan software Minitab 13.1

dengan model persamaan tunggal yang di estimasi dengan teknik kuadrat terkecil biasa (OLS/Ordinary Least Square).

Dari penelitian tersebut diperoleh nilai R² sebesar 0,713 yang berarti 71,3 persen keragaman permintaan kedelai pada industri kecap dijelaskan oleh keragaman variabel-variabel dalam model. Sementara sisanya 28,7 persen dijelaskan oleh variabel di luar model yang di duga disebabkan oleh kondisi-kondisi di luar model yang sesuai dengan kondisi-kondisi kedelai di Indonesia seperti menurunnya produksi dalam negeri sehingga impor kedelai meningkat setiap tahunnya, ketidakstabilan ekonomi di Indonesia dan kurangnya penggunaan teknologi untuk menghasilkan benih kedelai yang bermutu. Pada model permintaan kedelai pada industri kecap, peubah yang berpenggaruh nyata adalah harga kecap, nilai tukar rupiah dan perusahaan kecap.


(56)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Konsep Permintaan

Permintaan adalah banyaknya jumlah barang yang di minta pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan tertentu dan dalam periode tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap suatu barang, diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang lain yang berkaitan dengan barang tersebut, pendapatan rumah tangga dan pendapatan rata-rata masyarakat, corak distribusi pendapatan dalam masyarakat, cita rasa masyarakat, jumlah penduduk dan ramalan mengenai keadaan di masa mendatang (Sugiarto et al, 2005).

Menurut Lipsey (1995), jumlah yang ingin di minta (quantity demanded) untuk suatu komoditi merupakan jumlah komoditi total yang ingin di beli oleh semua rumah tangga. Istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan pembelian yang diinginkan, sedangkan istilah kuantitas nyata yang di beli (quantity actually bought) digunakan untuk menunjukkan jumlah pembelian yang sebenarnya.

Banyaknya komoditi yang akan di beli oleh semua rumah tangga pada periode waktu tertentu dipengaruhi oleh harga komoditi itu sendiri, rata-rata penghasilan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan baik berkaitan secara substitusi maupun komplementer, selera, distribusi pendapatan di antara rumah tangga dan besarnya populasi. Jadi adanya perubahan dari variabel-variabel tersebut akan mempengaruhi permintaan suatu rumah tangga.


(57)

Kurva permintaan memperlihatkan hubungan antara jumlah keseluruhan komoditi yang di minta pada tingkat harga tertentu, cateris paribus. Kurva permintaan mempunyai slope yang negatif dari kiri atas ke kanan bawah, dimana jika terjadi penurunan harga akan menambah jumlah komoditi yang di minta (Nicholson, 2001).

Konsep dasar dari fungsi permintaan dari suatu barang dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan antara kuantitas yang di minta dan sekumpulan variabel spesifik yang mempengaruhi permintaan dari barang itu. Dalam bentuk model matematika, konsep permintaan untuk suatu barang dinotasikan sebagai berikut:

Dx = f (Px, Py, I, T, Idist, Pop)

Dimana:

Dx = Kuantitas permintaan barang x

f = Notasi fungsi yang berarti “fungsi dari” atau tergantung pada Px = Harga barang x

Py = Harga barang y (substitusi atau komplementer)

I = Pendapatan konsumen T = Selera

Idist = Distribusi pendapatan Pop = Jumlah penduduk

Dx adalah variabel tidak bebas (dependent variable), karena besar nilainya ditentukan oleh variabel-variabel lain, yaitu variabel yang berada di sisi kanan persamaan. Variabel-variabel ini disebut variabel bebas (independent variable) karena besar nilainya tidak tergantung besarnya nilai variabel lain.


(58)

Perubahan dari faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan akan menyebabkan terjadinya pergeseran kurva permintaan. Pergeseran kurva permintaan ke kanan disebabkan oleh peningkatan pendapatan, kenaikan harga komoditi substitusi, penurunan harga komoditi komplementer, perubahan selera konsumen yang lebih menyukai produk tersebut, distribusi pendapatan yang menguntungkan kelompok yang membeli komoditi tersebut dan kenaikan jumlah tersebut. Sedangkan pergeseran kurva permintaan ke kiri dapat disebabkan keadaan sebaliknya dari hal tersebut.

3.1.2. Pergerakan Sepanjang Kurva Permintaan Versus Pergeseran Seluruh Kurva Permintaan

Penting untuk membedakan antara pergerakan sepanjang kurva permintaan dan pergeseran kurva permintaan. Pergerakan sepanjang kurva permintaan disebabkan adanya perubahan jumlah yang di minta sebagai akibat perubahan harga dari produk tersebut. Penurunan harga produk akan menyebabkan jumlah produk yang di minta naik dan kenaikan harga produk akan mengurangi jumlah produk yang di minta. Sedangkan pergeseran kurva permintaan disebabkan adanya perubahan permintaan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor selain harga produk tersebut. Dengan demikian, suatu peningkatan permintaan berarti pergeseran seluruh kurva permintaan ke kanan. Sedang suatu kenaikan jumlah yang di minta berarti suatu pergerakan ke bawah ke arah kanan sepanjang kurva pemintaan.


(59)

3.1.3. Permintaan Industri

Sistem permintaan cengkeh untuk keperluan industri di Indonesia berkaitan erat dengan permintaan primer (primary demand) dan permintaan turunan (derived demand). Derived demand digunakan untuk menunjukkan daftar permintaan bagi input yang diperlukan dalam menghasilkan produk akhir.

Derived demand juga menyangkut sistem pemasaran secara keseluruhan ataupun fungsi permintaan di tingkat petani.

Kurva derived demand dapat berubah salah satunya karena pergeseran kurva primary demand atau perubahan marjin pemasaran. Secara empiris hubungan derived demand dapat diperkirakan secara tidak langsung antara lain dengan mengurangi marjin yang terdapat dalam daftar primary demand atau secara langsung dengan menggunakan data harga dan jumlah yang diperoleh dari setiap tingkat pemasaran ( Tomek dan Robinson, 1972).

Harga

Pr

Primary demand

Pf

Derived demand

Q Jumlah per unit waktu Gambar 7. Kurva Primary Demand dan Derived Demand


(60)

Perubahan dalam permintaan konsumen akan berpengaruh terhadap harga yang ditawarkan kepada produsen, demikian juga secara tidak langsung berpengaruh terhadap harga input yang digunakan dalam memproduksi output. Hal ini disebabkan permintaan terhadap input merupakan permintaan turunan (derived demand) yang diperoleh dari proses produksi. Perubahan harga produk akan menyebabkan jumlah pemakaian input berubah pula. Bila harga produk naik, pemakaian input akan naik dan sebaliknya, cateris paribus.

Fungsi permintaan input dapat diturunkan dari fungsi produksi. Fungsi produksi menunjukkan produk maksimum yang dapat diperoleh dengan sejumlah masukan tertentu, pada teknologi tertentu yang menyatakan hubungan antara input dan produk. Jadi barang produksi merupakan variabel tidak bebas dan faktor produksi (input) adalah variabel bebas. Secara matematika, fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai berikut:

Y = f (X1, ..., Xn)

di mana Y adalah output dan X adalah input-input yang digunakan untuk memproduksi Y. Misalnya Y adalah rokok kretek, X adalah input-input yang digunakan untuk menghasilkan rokok kretek, termasuk diantaranya ialah cengkeh. Efek perubahan dalam satu faktor produksi terhadap output digambarkan oleh produk marjinal. Secara matematika sebagai berikut:

∂Y PMxi = = fxi

∂Xi

Definisi produk marjinal secara matematika menggunakan turunan sebagian (partial derivatives) yang mencerminkan bahwa penggunaan semua


(61)

input lain di anggap konstan sementara input yang ingin diamati di ubah-ubah. Marjinal produk dari satu input unit terakhir tidak selalu sama besarnya. Ketika input yang digunakan, misalnya cengkeh (X) masih sedikit, produk marginal sangat tinggi. Semakin banyak cengkeh tersebut digunakan sementara input lain konstan, maka produk marjinal semakin berkurang.

Produktivitas rata-rata persatu satuan cengkeh (APX) didefinisikan sebagai

berikut:

Keluaran APX =

Masukan

Kurva dalam Gambar 8 memperlihatan bagaimana produktivitas rata-rata dan produktivitas marjinal diturunkan dari kurva produk total. Kurva TPX dalam (a)

mewakili hubungan antara masukan input dan keluaran, dengan asumsi bahwa semua masukan lain dapat dipertahankan konstan. Seperti yang terlihat pada (b) kemiringan kurva pada TPX merupakan produk marjinal cengkah (MPX), dan

kemiringan kurva yang menggabungkan titik asal dengan satu titik di kurva TPX


(62)

Output (Rokok Kretek)

TPX

Input (Cengkeh,X) 0 (a)

MPX, APX

APX

Input (Cengkeh, X) 0 X* X** X***

(b) MPX

Gambar 8. Kaitan Produktivitas Rata-rata dan Produktivitas Marjinal dengan Kurva Produk Total (Nicholson, 1995)

(a) Produk total.

(b) Kurva produk rata-rata dan kurva produk marjinal untuk input X (cengkeh).

Penggunaan cengkeh (X) dalam proses produksi untuk menghasilkan output (Y) menunjukkan permintaan terhadap X dalam rangka menghasilkan Y. Semakin banyak Y yang akan dihasilkan membutuhkan X yang semakin banyak. Inilah yang disebut dengan “permintaan turunan”.


(1)

Hasil Analisis Regresi (Data dalam Bentuk Logaritma) Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia

Tahun 1980-2006

Regression Analysis: LnQdC versus LnPc; LnNpRk; ...

LnQdC = 7,15 - 0,0205 LnPc + 0,816 LnNpRk - 0,286 LnNiRk - 0,0147 LnExRk - 0,303 LnPop - 0,0158 Dummy

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 7,151 7,130 1,00 0,328 LnPc -0,02054 0,02194 -0,94 0,360 3,5 LnNpRk 0,8155 0,1813 4,50 0,000 50,7 LnNiRk -0,2862 0,1362 -2,10 0,048 3,4 LnExRk -0,01465 0,02751 -0,53 0,600 12,2 LnPop -0,3030 0,8101 -0,37 0,712 88,1 Dummy -0,01577 0,04268 -0,37 0,716 3,1

S = 0,177987 R-Sq = 97,3% R-Sq(adj) = 96,5%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 6 23,0102 3,8350 121,06 0,000 Residual Error 20 0,6336 0,0317

Total 26 23,6438

Source DF Seq SS LnPc 1 3,3154 LnNpRk 1 19,1253 LnNiRk 1 0,5131 LnExRk 1 0,0487 LnPop 1 0,0033 Dummy 1 0,0043


(2)

Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan

Cengkeh (Tanpa Ekspor) di Indonesia

Tahun 1980-2006

Regression Analysis: QdC versus Pc; NpRk; NiRk; Pop; Dummy

The regression equation is

QdC = 37121 - 0,309 Pc + 0,308 NpRk - 169 NiRk + 0,199 Pop + 678 Dummy

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 37121 35250 1,05 0,304 Pc -0,3094 0,2167 -1,43 0,168 1,8 NpRk 0,3082 0,1335 2,31 0,031 29,9 NiRk -169,16 56,40 -3,00 0,007 1,7 Pop 0,1994 0,3031 0,66 0,518 32,2 Dummy 678 3237 0,21 0,836 1,7

S = 1598837 R-Sq = 91,4% R-Sq(adj) = 89,4%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 5 5,73841 1,14768 44,90 0,000 Residual Error 21 5,36818 2,55628

Total 26 6,27523

Source DF Seq SS Pc 1 5,41026 NpRk 1 5,43939 NiRk 1 2,33703 Pop 1 1,00884 Dummy 1 1,11993


(3)

Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan

Cengkeh (Tanpa Ekspor dan Populasi) di Indonesia

Tahun 1980-2006

Regression Analysis: QdC versus Pc; NpRk; NiRk; Dummy

QdC = 59900 - 0,362 Pc + 0,407 NpRk - 163 NiRk - 301 Dummy

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 59900 8023 7,47 0,000 Pc -0,3619 0,2046 -1,77 0,091 1,8 NpRk 0,40665 0,02257 18,02 0,000 1,2 NiRk -163,09 48,41 -3,37 0,003 1,4 Dummy -301 3046 -0,10 0,922 1,6

S = 5132,94 R-Sq = 94,5% R-Sq(adj) = 93,5%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 4 9925066960 2481266740 94,18 0,000 Residual Error 22 579636643 26347120

Total 26 10504703603

Source DF Seq SS Pc 1 794794583 NpRk 1 8826809017 NiRk 1 303206626 Dummy 1 256733


(4)

Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan

Cengkeh (dengan Lag) di Indonesia

Tahun 1980-2006

Regression Analysis: QdC versus Pc; NpRk; NiRk; Dummy; QdC-1

The regression equation is

QdC = 39755 - 0,164 Pc + 0,232 NpRk - 102 NiRk - 154 Dummy + 0,393 QdC-1

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 39755 10473 3,80 0,001 Pc -0,1644 0,1977 -0,83 0,415 2,0 NpRk 0,23239 0,06581 3,53 0,002 9,5 NiRk -101,90 48,16 -2,12 0,046 1,7 Dummy -154 2775 -0,06 0,956 1,6 QdC-1 0,3929 0,1487 2,64 0,015 8,3

S = 1399212 R-Sq = 93,4% R-Sq(adj) = 91,9%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 5 5,86409 1,17282 59,91 0,000 Residual Error 21 4,11137 1,95779

Total 26 6,27523

Source DF Seq SS Pc 1 5,41026 NpRk 1 5,43939 NiRk 1 2,33703 Dummy 1 14116021880 QdC-1 1 1,36749


(5)

(6)

UJI NORMALITAS

! " # $ %& ! ' %