hukum adat dan hukum positif

MAKALAH HUKUM ADAT
PETASAN DALAM HUKUM ADAT
BETAWI DAN HUKUM POSITIF di
INDONESIA

DOSEN :

WAHYU TRI WINARKO, SH, MM

Nama

:

Arif hidayatullah

nIM

:

742130067


1

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya
sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan. Adapun judul dari
makalah ini adalah ”Makalah: Analisa Terhadap Pertentangan Antara
Hukum Adat Suku Betawi Terhadap Hukum Positif Negara”. Penulisan
makalah ini ditujukan intuk memenuhi salah satu kriteria penilaian dalam
mata kuliah Hukum Adat di Universitas Timbul Nusantara Jakarta (UTIRA).

Makalah ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa
adanya dukungan moril dan materiil dari berbagai pihak. Karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua, yang telah memberi dukungan dan membantu
dalam pembuatan makalah ini.
2. Bapak Wahyu Tri Winarko, SH, MM , selaku dosen Hukum Adat.
3. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam
penulisan makalah ini, yang namanya tidak bisa penulis
sebutkan satu-persatu.


Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
para pembaca. Namun, makalah ini mungkin memiliki kekurangan. Karena
itu, sangat diperlukannya kritik dan saran yang dapat membangun makalah
ini sehingga menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, penulis mengucapkan maaf

2

yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan yang mungkin ada didalam
makalah ini.

Jakarta, 17 Oktober 2015

DAFTAR ISI

COVER

1

KATA PENGANTAR


2

DAFTAR ISI

3

BAB I PENDAHULUAN

4

BAB II ASAL MULA PENGGUNAAN PETASAN DALAM UPACARA ADAT
SUKU BETAWI

5

BAB III HUKUM POSITIF INDONESIA MENGENAI PENGGUNAAN
PETASAN

7


BAB IV KESIMPULAN

8

PENUTUP

9

DAFTAR PUSTAKA

10

3

4

BAB I
PENDAHULUAN

Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dari adat

istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya merupaka konsep-konsep
mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat
yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup. Sehingga
dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi
pada kehidupan para warga masyarakat itu sendiri.
Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia
dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat
sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya
sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya
yang umum, luas, dan tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya dalam satu
kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu
yang menjadi warga dan kebudayaan yang bersangkutan.
Selain itu, para individu tersebut sejak kecil telah diresapi dengan
nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu
sejak lama berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai
budaya dalam satu kebudayaan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai
budaya yang lain dalam waktu yang singkat.

5


BAB II
ASAL MULA PENGGUNAAN PETASAN DALAM UPACARA ADAT SUKU
BETAWI

Berdasarkan catatan sejarah pada tahun 1740 yang menceritakan
tentang kerusuhan etnis Tionghoa di Batavia. Pada tahun ini terjadi
pembantaian 10.000 orang dari etnis Tiong Hoa yang tidak berdosa di
Ommelanden, derah pinggiran atau pedalam Batavia. Pembantaian ini
dilatarbelakangi persaingan dagang. Pedagang Belanda, Inggris, Spanyol,
Portugis kalah bersaing dengan pedagang Tiong Hoa.
Sehingga

mereka

menghasut

penduduk

kota


Batavia

untuk

membantai etnis Tiong Hoa. Meski demikian, ada versi lain yang
menyebutkan

adanya

keterkaitan

dengan

kerawanan

sosial.

Karena

banyaknya penduduk Tiong Hoa yang menjadi pengangguran. Dengan

alasan inilah pemerintah Belanda mebantai mereka.
Tidak jelas memang motif yang melatarbelakangi pembantaian etnis
Tiong Hoa tahun 1740. Tapi, satu hal yang jelas, etnis Tiong Hoa sangat
ketakutan setelah peristiwa pembantaian itu. Mereka melarikan diri ke
daerah-daerah pinggiran di Batavia seperti, Tanggerang, Parung, Serpong,
Parung Panjang, Tenjo, Cisauk, Teluk Naga, dan Balaraja, masyarakat Tiong
Hoa berbaur dengan masyarakat suku Betawi. Mereka lantas disebut Cina
Benteng. Mereka ini ternyata membawa terus adat kebiasaan mereka
seperti menyalakan petasan menjelang perayaan Peh Cun atau perayaan
tradisi Cina lainnya.

6

Dalam perjalanan waktu, tradisi menyalakan petasan ini ditiru oleh
orang-orang betawi hingga kini, teristimewa menjelang pesta perkawinan
atau

khitanan.

Arti


simbolis

petasan

adalah

sebagai

alat

untuk

berkomunikasi, pada jaman dahulu jarak antara rumah satu dengan rumah
yang

lain

saling


berjauhan.

Untuk

memberitahu

bahwa

ada

pesta

pernikahan atau khitanan, orang-orang menyalakan petasan.
Selain itu, petasan juga dipakai sebagai sarana untuk memberitahu
para undangan dan khalayak ramai bahwa pesta segera dimulai, dan juga
banyaknya petasan yang dibunyikan pada saat mengadakan sebuah pesta
menandakan status sosial orang tersebut. Kebudayan Betawi tidak statis,
tetapi dinamis dan berkembang sepanjang waktu.
Ia menyerap berbagai unsur budaya baik lokal maupun global dan
mengolahnya menjadi bagian dari tradisi. Makna petasan dari waktu ke

waktu terus mengalami sekularisasi. Pada kebudayaan Cina ada unsur
mistisnya yaitu mengusir roh-roh jahat, dan pada kebudayaan Betawi
berkembang menjadi sarana komunikasi.

7

BAB III
HUKUM POSITIF INDONESIA TERHADAP PENGGUNAAN PETASAN

Petasan adalah salah satu bahan peledak kimia berdaya ledak rendah
(low explosive). Bahan peledak ini berdaya ledak rendah dan punya
kecepatan detonasi antara 400-800 meter per detik. Bandingkan dengan
bahan peledak berdaya kuat (high explosive) yang punya kecepatan
detonasi antara 1.000-8.500 meter per detik. Masalah petasan telah
dilarang pemerintah. UU Darurat No 12 Tahun 1951, dan Pasal 187 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), mengancam orang-orang yang
melanggar seperti membuat, menjual, menyimpan, mengangkut petasan
yang tidak sesuai standar. Dapat dikenakan sanksi kurungan maksimal 12
tahun.

8

BAB IV
KESIMPULAN
Petasan dalam upacara adat betawi digunakan pada saat-saat
tertentu, misalnya pada upacara perkawinan dan khitanan. Petasan tersebut
memiliki

arti

simbolis

sebagai

alat

berkomunikasi.

Dimana

petasan

dibunyikan sebagai tanda bahwa, upacara adat akan segera dimulai dan
juga memberi tahu masyarakat banyak bahwa ada sebuah pesta perkawinan
atau khitanan yang diadakan oleh sebuah keluarga betawi. Pada masa lalu
jarak antar rumah satu dengan rumah yang lain berjauhan. Sehingga
masyarakat betawi menggunakan petasan sebagai alat komunikasi yang
cepat. Banyaknya petasan yang dibunyikan dalam sebuah pesta juga
menunjukkan status sosial seseorang didalam masyarakat betawi.
Menurut analisa saya, penggunaan petasan dalam upacara adat
masyarakat betawi dapat diperbolehkan. Selama penggunaannya sesuai
dengan aturan yang berlaku dalam hukum adat betawi dan tidak
disalahgunakan

sehingga

membahayakan

orang

lain.

Apabila

penggunaannya disalahgunakan, maka pelaku dapat dijerat hukum yang
berlaku di negara Republik Indonesia.
Peran masyarakat pada umumnya juga diharapkan dapat turut
mengontrol peredaran petasan. Sehingga petasan itu tidak disalahgunakan.
Pada dasarnya nilai-nilai budaya dalam sebuah masyarakat adat, tidak dapat
dengan mudah dihapuskan. Sebab nilai budaya itu telah ditanamkan sejak
kecil, dari satu generasi ke generasi yang lain, Karena walaubagaimanapun
kebudayaan merupakan suatu kekayaan dan sudah dibuat oleh nenek
moyang kita terdahulu dengan sebaik mungkin meskipun waktu berkata
9

budaya itu harus dirubah. Kebudayaan merupakan kekayaan dan Bangsa
Indonesia yang kaya akan kebudayaan.

PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Diharapkan makalah
ini dapat memberikan manfaat, khususnya untuk kami sebagai penulis dan
kita semua pada umumnya. Namun makalah ini masih banyak memiliki
kekurangan,

untuk

itu

dibutuhkan

kritik

serta

saran

yang

dapat

membangun makalah ini sehingga dapat lebih baik lagi di kemudian hari.
Akhir kata, kami memohon maaf atas kesalahan yang mungkin terdapat
dalam makalah ini.

10

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Betawi
https://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Undang-undang_Hukum_Pidana
UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1951

11