HUKUM PERIZINAN

Nama

: Rumenta Aprina Situmorang

NIM

: 1111143040

Kelas

: V/F

Dosen Pengampu : Ikomatussuniah, S.H.,M.H
HUKUM PERIZINAN

Kebijakan Bermasalah di Daerah karena Nihil Pengawasan
Semua kebijakan publik, baik itu peraturan, larangan, kebijakan redistribusi, atau
apapun kebijakannya, pastilah mengandung unsur kontrol (pengawasan). Dengan kata lain
bahwa kebijakan-kebijakan tersebut di desain untuk membuat orang mengerjakan / tidak
mengerjakan sesuatu atau melanjutkan sesuatu. Hal ini menjadi benar apabila didasarkan
pada upaya untuk mengambil pajak dari warga masyarakat dalam rangka mendorong rencana

pengembangan industri, atau pemberlakuan kebijakan tata ruang kota guna memanusiakan
manusia di perkotaan, atau retribusi guna kebersihan kota atau kebijakan yang intinya
berusaha untuk melarang pemenuhan ambisi aparatur daerah dalam memenuhi “keinginan
kantor” dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dengan pelbagai macam cara. (Leo
Agustino, Dasar-Dasar Kebijakan Publik,hlm. 166)
Menurut Ikomatussuniah dalam bukunya diktat Hukum Perizinan mengatakan bahwa
“Perilaku birokrasi perizinan tidak lepas dari cara pandang Pemda yang lebih melihat izin
usaha sebagai sumber pendapatan”. Oleh karena itu, bagian terpenting dari kebijakan publik
dalam rangka pengawasan (kontrol) atas kebijakan yang telah ditetapkan ialah melakukan
pengarusutamaan tehnik pengawasan oleh mereka yang berkepentingan.(Ikomatussuniah,
Diktat Hukum Perizinan, Hlm.34)
Kualitas pelayanan birokrasi perizinan dan infrastuktur yang masih buruk merupakan salah
satu konsekuensi logis dari orientasi kebijakan publik yang lebih menekankan pentingnya
peningkatan penerimaan pemerintah daerah dari sisi PAD.
Salah satu indikator baik buruknya pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat
ditentukan oleh jumlah keluhan yang disampaikan oleh masyarakat terhadap aparatur
pemerintah.

Salah satu contoh daerah yang kebijakannya bermasalah karena nihilnya pengawasan
adalah Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat dalam hal ini Pemerintah Daerah kabupaten

Garut.
1. Pemerintah Kabupaten Garut memberlakukan peraturan daerah nomor 14 tahun
2001 tentang Retribusi Pemeriksaan Susu Perah, berdasarkan laporan realisasi
Pendapatan Daerah kabupaten Garutpada Oktober 2001,sumber penerimaan ini
sudah ditargetkan sebesar Rp.33 juta. Terlihat disini bahwa tujuan dari
diberlakukannya pungutan ini bukanlah karena pelayanan—karena esensi retribusi
adalah diberikannya pelayanan pada masyarakat—tetapi pencapaian target bagi
sumber penerimaan, sehingga dapat dipastikan pungutan ini menerbelakangkan
pelayanan yang seharusnya menjadi hakikat pungutan retribusi.
2. Selain itu Perdan no.9 tahun 2001 tentang retribusi Pelayanan Izin pengelolaan
kayu Milik. Pengertian “kayu Milik” disini adaah kayu yang dihasilkan dari tanah
milik rakyat, baik perorangan maupun badan. Retribui yang dipungut pem,erintah
daerah Garut ---- dan harus dibayar masyarakat atas “kayunya sendiri” adalah :
izin penebangan pohon dengan retribusi Rp.1000-Rp.2.500 per pohon, tergantung
pada jenis pohon. Betul bahwa ada argumentasi penertiban lingkungan
didalamnya, tetapi harus kita ingat bahwa masyarakat desa lebih arif dan bijaksana
pada alam lingkungannya. Bila perlu yang dikenakan retribusi untuk peraturan
daerah hanyalan badan usaha saja. Selain itu, adapula retribusi pengangkutan kayu
dan pemeriksaan gergaji kayu yang dikenakan retribusi.
Selain masalah pungutan, masyarakat kabupaten garut melihat banyak dan rumitnya

persyaratan untuk memperoleh perizinan

yang harus dipenuhi sebelum melakukan

penebangan, menyebabkan perda ini cenderung sulit dilaksanakan.
Dari kasus tersebut jelaslah bahwa sangat dibutuhkan suatu tehnik pengawasan atas kebijakan
serta penyelenggaraan pelayanan izin, antara lain:
a. Menampung dan menindaklanjuti keluhan masyarakat atas pelayanan publik yang
disediakan
b. Melakukan investigasi pada instansi/ badan di lingkungan eksekutif.
c. Memberikan rekomendasi tindak lanjut pada pihak-pihak yang berkompeten bila
diperlukan.
Beberapa tehnik pengawasan / kontrol terhadap kebijakan adalah :
a. Non-Coercive Forms of Action

Dengan

tehnik

non-coercive


berarti

para

aparatur

kebijakan

dalam

mengejahwantahkan regulasi terkait kebijakan tersebut tidak menggunakan sanksi
yang resmi, hukuman ataupun ganjaran.
b. Inspeksi
Inspeksi (pemeriksaan) adalah bentuk pengawasan lain yang dapat digunakan
secara sederhana dapat diartikan sebagai bentuk pengujian untuk menentukan
apakah implementasi kebijakan telah sesuai dengan standar resmi yang ditentukan
(sasaran dan tujuan kebijakan).
c. Lisensi
Lisensi(pengesahan) merupakan bentuk yang secara luas digunakan pada kegiatan

yang umum dilakukan dengan bermacam-macam sebutan. Lisensi dibutuhkan
untuk melibatkan banyak anggota masyarakat dalam mengerjakan sesuatu yang
dapat dikerjakan oleh warga, seperti: pengoperasian stasiun televisi dan radio,
mengimpor beberapa jenis kendaraan yang diperkenankan, membersihkan taman
kota, mengambil sampah ditempat-tempat pembangunan sementara, dan banyak
lagi lainnya.
d. Kontrak
Banyak program pemerintah khususnya di negara maju, dilaksanakan melalui
kontrak

dengan perusahaan swasta. Kontrak kadang digunakan pemerintah

sebagai dasar untuk pengendalian ekonomi yang khusus, misalnya, perusahaan
yang menyuplai barang-barang atau jasa pada pemerintah harus tunduk pada
peraturan-perauran dasar, seperti standar gaji, jam kerja, dan kondisi kerja.
e. Perpajakan
Pajak pada saat ini telah menjadi alat untuk promosi yang digunakan secara luas
dalam mengontrol kinerja perusahaan swasta maupun individu.
Menurut teori ekonomi, pendistribusian pajak dapat mengubah perilaku kelompok
masyarakat mendapatkan subsidi (silang) dari pemerintah.

f. Sanksi
Sanksi disinin merupakan “hukuman dan penghargaan” yang dapat diterima oleh
instansi/ individu untuk memberi semangat atau mendorong dalam melaksanakan
keputusan.
g. Prosedur informal
Prosedur informal merupakan fase penting dalam pengawasan atas pelaksanaan
kebijakan/ program. Banyak keputusan dapat dihasilkan melalui cara-cara
informal seperti : negoisasi, penawaran, kompromi, konsulasi, pertemuan dan
pengujian material.Prosedur informal sering digunakan oleh perusahaanperusahaan

dalam

menilai

kinerja

karyawannya

yang


berbasis

pada

kebijakan/program

perusahaan.

(Leo

Agustino,

Dasar-Dasar

Kebijakan

Publik,hlm. 180)
Bagian akhir dari suatu proses kebijakan yang dipandang sebagai pola
aktivitas yang berurutan adalah evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan mencakup
perencanaan, isi, implementasi, dan tentu saja efek atau pengaruh dari kebijakan

itu sendiri. Ketika kita berbicara mengenai evaluasi kebijakan maka
mengharuskan kita untuk mengetahui apa yang ingin kita selesaikan dengan
kebijakan yang dikeluarkan, bagaimana usaha kita melaksanakannya dan bila ada,
apa yang kita kerjakan terhadap hasil yang dicapai objeknya(dampak atau hasil
dan hubungannya dengan kebijakan itu). Kebijakan akan tepat sasaran apabila
diawali dengan niat yang berjalan lurus dengan cita-cita luhur Bangsa Indonesia
dan diperlukan bukan hanya peran Pemerintah namun seluruh masyarakat dalam
mengawasi regulasi terutama dalam hal kebijakan untuk kepentingan Publik.