ASPEK SOSIAL DALAM WACANA INTERAKSI KELAS PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS X IPA - 1 SMA SUGAR GROUP, LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2013/2014

(1)

ASPEK SOSIAL DALAM WACANA INTERAKSI KELAS

PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

KELAS X IPA-1 SMA SUGAR GROUP, LAMPUNG TENGAH

TAHUN PELAJARAN 2013/2014

Oleh Rudy Isbowo

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan aspek sosial dalam wacana interaksi kelas pada pelajaran bahasa Indonesia di kelas X IPA-1 SMA Sugar Group Lampung Tengah tahun pelajaran 2013/2014.

Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data penelitian berupa wacana percakapan lisan dalam interaksi kelas pada pelajaran bahasa Indonesia yang di dalamnya menggambarkan aspek sosial sebagai konteks pembangun wacana tuturan, yakni di kelas X IPA-1 SMA Sugar Group. Penentuan data dilakukan dengan memerhatikan tindak tutur antarpenutur dilihat dari aspek sosial penuturnya. Data penelitian diperoleh dengan cara mengamati, mewawancarai, merekam, mengklasifikasikan, dan mengelompokkan menurut jenis-jenisnya. Analisis data dilakukan dengan model analisis interaktif meliputi kegiatan pengumpulan data, penelaahan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan adanya aspek sosial dalam tuturan interaksi kelas. Aspek sosial yang memengaruhi tuturan interaksi kelas meliputi (1) jarak sosial (skala hubungan sangat dekat, cukup dekat, dan cukup jauh), (2) status sosial (skala status sosial tinggi dan rendah), (3) formalitas (skala formal dan informal), (4) fungsi afektif dan referensial yang ditemukan pada konteks tertentu dan terbatas saja karena konteks tuturan lebih mengutamakan keformalan di dalam pembelajaran kelas.

Kata kunci: aspek sosial, wacana interaksi kelas


(2)

BAHASA INDONESIA LESSON AT THE TENTH SCIENCE 1st GRADE OF SENIOR HIGH SCHOOL SUGAR GROUP

CENTRAL LAMPUNG 2013/2014 By

Rudy Isbowo

The aims of research are to describe and explain social aspects that was happened in the class interaction in bahasa Indonesia lesson at the X IPA-1 of senior high school Sugar Group, Central Lampung 2013/2014.

The method of research is qualitative descriptive method. The data is the discourse of conversation of the class interaction in bahasa Indonesia lesson which was described about social aspect as the improvement context at the tenth science a grade of senior high school Sugar Group. The data was done by observing, the speakers speech act from the social aspect of the speakers. The data was received by observing the interview, recorded, clarified, and arranged the data based on the categories. The data was analyzed by interactive analysis, they are collecting, research, reduction, presentation, and conclusion.

The result of research shown that there is social aspect in the class interaction discourse. The social aspects are: (1) social gap (very close, close and far relation scale), (2) social status (high and low scale), (3) formality (formal and informal scale), (4) affective and reference function has found in the certain context and limited because the context is giving priority to formality in the learning process.

Keywords: social aspects, discourse of conversation of the class interaction


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 26 September 1974 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, buah hati dari Ayahanda M. Sagearto dan Ibunda Marsiyah.

Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN Tumenggungan, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo,
Jawa Tengah yang diselesaikan pada tahun 1997. Kemudian, penulis melanjutkan Sekolah

Menengah Tingkat Pertama di SMP Negeri Banyu Urip, Kabupaten Purworejo yang diselesaikan pada tahun 1990. Selanjutnya, penulis melanjutkan jenjang pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Purworejo, Kabupaten Purworejo dan diselesaikan pada tahun 1993.


Pada tahun yang sama, 1993, penulis menempuh pendidikan sarjana di

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta di jurusan Sastra Indonesia. Tahun 2012, penulis melanjutnya studi pascasarjana di Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung.


(8)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah swt., penulis mempersembahkan karya ini kepada:

1. Allah swt. yang telah memberikanku kekuatan, kesabaran, dan semangat dalam menyelesaikan tesis ini.

2. Ayah dan Ibu tercinta, yang tak pernah henti menengadahkan tangan, memohon kebaikan kepada Allah, mencurahkan kasih dan sayang tanpa batas waktu dalam membesarkan, mendidik dan memotivasi penulis, juga saudara-saudaraku tercinta.

3. Istriku tercinta, Tuti Handayani yang selalu memberikan doa, semangat, dan mengingatkanku dalam kebaikan tanpa lelah.

4. Bapak dan ibu dosen serta rekan-rekan MPBSI 2012 yang telah memberikan ilmu bermanfaat kepada penulis.

5. Almamaterku tercinta, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Lampung.


(9)

' (

)( (

'

" ##&

*+

&

,

'

(

)( (

-

.&

/ '

0

/ '

' (


(10)

SANWACANA

Puji syukur atas berkat, rahmat, dan karunia Allah swt., sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Aspek Sosial dalam Wacana Interaksi Kelas pada Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas X IPA-1 SMA Sugar Group, Lampung Tengah, Tahun Pelajaran 2013/2014. Penulis telah banyak menerima bantuan dan bimbingan yang sangat berharga dari berbagai pihak dalam

menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, sebagai wujud rasa hormat penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak berikut ini.

1. Prof. Dr. Sugeng Hariyanto, M.S., Rektor Universitas Lampung.

2. Dr. Bujang Rahman, M.Si. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

3. Prof. Dr. Sudjarwo, M.S., Direktur Pascasarjana Universitas Lampung; 4. Dr. Muhammad Fuad, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung.

5. Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd., Ketua Program Studi Pascasarjana Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Lampung dan pembimbing utama yang dengan sabar memberikan motivasi, bimbingan, saran, dan kritik dalam penyelesaian tesis ini.

6. Dr. Edi Suyanto, M.Pd., dosen penguji dan Sekertaris Program Studi Pascasarjana Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung.


(11)

pascasarjana.

8. Dr. Siti Samhati, M.Pd., pembimbing II yang telah memberikan motivasi, bimbingan, saran, dan kritik dalam penyelesaian tesis ini.

9. Dr. Wini Tarmini, M.Hum., dosen penguji yang telah memberikan nasihat, saran-saran, dan kritik dalam penyelesaian tesis ini.

10. Bapak dan Ibu dosen Program Pascasarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung.

11. Orang tuaku tercinta, Ayahanda M. Sagearto dan Ibunda Marsiyah, serta saudara-saudaraku yang tak kenal lelah mendoakan, mendidik, memotivasi, dan menanti keberhasilan yang semoga dapat segera ananda wujudkan. 12. Istriku tercinta, Tuti Handayani yang dengan penuh kasih sayang selalu

mendoakan, mendukung, memotivasi, dan mengingatkanku untuk menjadi lebih baik.

13. Rekan-rekan seperjuanganku, mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung angkatan 2012 yang telah memberikan bantuan dan dukungan sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

14. Manjemen Sekolah Sugar Group, Kepala SMA Sugar Group, Bandar Mataram, Lampung Tengah dan rekan-rekan dewan guru, karyawan, dan siswa-siswa SMA Sugar Group, terima kasih untuk bantuan dan


(12)

Semoga bantuan dan amal baik yang mereka berikan kepada penulis akan memperoleh balasan yang melimpah dari Allah swt. Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bandarlampung, 24 September 2014

Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

halaman

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

MOTO ... vii

PERSEMBAHAN ... x

SANWACANA ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 10

II. LANDASAN TEORI ... 12

2.1 Sosiolinguistik ... 12

2.2 Wacana ...….……... 14

2.3 Wacana Kelas ... 17

2.4 Interaksi Kelas ... 19

2.5 Aspek Sosial dalam Wacana Interaksi Kelas ... 24

III. METODE PENELITIAN ... 46

3.1 Rancangan Penelitian ... 46

3.2 Data dan Sumber Data ... 47

3.3 Prosedur Pengumpulan Data ... 47

3.3.1 Pengamatan (observasi) ... 48

3.3.2 Teknik Rekam ... 49

3.4 Teknik Analisis Data ... 49

3.4.1 Model Analisis Data ... 49

3.4.2 Langkah Analisis Data ... 50

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

4.1 Skala Jarak Sosial dalam Interaksi Kelas ... 56

4.1.1 Skala Jarak Sosial Hubungan Sangat Dekat ... 56

4.1.2 Skala Jarak Sosial Hubungan Cukup Dekat ... 62


(14)

4.3 Skala Formalitas ... 92

4.4 Skala Fungsi Afektif dan Referensial ... 98

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 103

5.1 Simpulan ... 103

5.2 Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 107

LAMPIRAN ... 109


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Gambar 1. Skala Jarak Sosial ... 37

2. Gambar 2. Skala Status Sosial ... 42

3. Gambar 3. Skala Formalitas ... 44

4. Gambar 4. Skala Fungsi Afektif dan Referensial ... 45

5. Gambar 5. Bagan Model Analsis Data ... 50


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa berperan penting di dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, hampir semua kegiatan manusia bergantung pada dan bertaut dengan bahasa. Tanpa adanya bahasa masyarakat tidak dapat berhubungan satu sama lain, dengan adanya bahasa maka seseorang itu dapat menyampaikan maksud dan isi hatinya kepada orang lain.

Pada hakikatnya bahasa digunakan oleh para penuturnya dalam berinteraksi. Melalui bahasa, seseorang mengutarakan pikiran dan perasaannya kepada orang lain, sehingga orang lain mengetahui informasi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bahasa dapat diwujudkan dalam bentuk tulisan, lisan, dan isyarat. Oleh karena itu, bahasa adalah wahana yang pertama dan utama dalam komunikasi antarmanusia.

Bahasa merupakan bagian dari kehidupan manusia. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat penutur. Pada setiap komunikasi akan terjadi interaksi di antara penutur dan petutur lain yang dapat berupa informasi seperti penuangan gagasan, maksud perasaan, pikiran maupun emosi secara langsung. Oleh karena itu, dalam setiap proses komunikasi itulah apa yang disebut peristiwa tutur yang merupakan suatu kegiatan berbahasa. Interaksi yang berlangsung antara seorang guru dan siswa dalam kelas pada waktu tertentu


(17)

dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi adalah sebuah peristiwa tutur.

Menurut Kridalaksana (1983:153) peristiwa tutur/bahasa merupakan apa yang terjadi sebagai akibat pengungkapan bahasa. Pengungkapan bahasa itu dapat melalui percakapan. Percakapan sebenarnya merupakan suatu aktivitas yang dipelajari sebagai bagian pemerolehan kompetensi percakapan. Percakapan itu adalah interaksi oral dengan bertatap muka antara dua partisipan atau lebih, tetapi percakapan itu lebih dari sekedar pertukaran informasi seperti dalam suatu dalam proses percakapan, bagaimana percakapan berkembang, dan sampai berakhirnya percakapan tersebut. Ketika orang bergabung dalam suatu percakapan, mereka saling berbagi prinsip umum yang membuat mereka dapat saling menginter-pretasikan tuturan-tuturan yang mereka hasilkan. Tuturan-tuturan yang terdapat pada percakapan itu merupakan bagian dari peristiwa tutur/bahasa.

Dalam tiap-tiap peristiwa percakapan (tutur) itu selalu terdapat faktor-faktor yang mengambil peranan dalam peristiwa itu seperti penutur, lawan bicara, pokok pembicaraan, dan tempat bicara. Si pembicara akan memperhitungkan dengan siapa dia berbicara, tentang apa yang dibicarakan, di mana dibicarakan, bila mana dibicarakan, dan sebagainya yang akan membagi warna terhadap pembicaraan itu. Keseluruhan peristiwa itu disebut peristiwa tutur.

Menurut Chaer dan Agustina (1995:61) bahwa peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Sama halnya menurut Pateda (1987:22) berpendapat peristiwa tutur/bahasa (speech event) adalah


(18)

linguistik tertentu, suatu kejadian komunikasi yang terdiri dari satu atau lebih ujaran.

Jadi, interaksi yang terjadi di pasar, sekolah, rapat, di ruang seminar, di pengadilan pada waktu tertentu yang menggunakan bahasa disebut peristiwa tutur. Pemakaian bahasa dalam komunikasi yang sesungguhnya, selain ditentukan oleh faktor-faktor linguistik juga ditentukan oleh faktor-faktor yang sifatnya

nonlinguistik. Faktor yang demikian itu sering pula dikatakan berkaitan erat dengan faktor sosial dan kultural. Faktor sosial dan kultural tersebut tidak terlepas dari masyarakat sebagai pengguna bahasa yang di dalamnya terdapat tindakan bertutur antara satu dengan yang lainnya di dalam suatu waktu tertentu.

Tindak tutur merupakan salah satu bidang kajian penting pragmatik bahasa, pandangan yang berterima di kalangan pakar pragmatik dan juga di kalangan pakar sosiolinguistik bahwa jika kita berbicara atau mengeluarkan ujaran (apakah ujaran itu berupa kalimat, frasa, atau kata) apa yang keluar dari mulut kita itu dapat dianggap sebagai tindakan. Tindakan itu dapat disebut sebagai tindakan berbicara, tindakan berujar, atau tindakan bertutur. Istilah yang sekarang lazim dipakai untuk mengacu ke tindakan itu ialah tindak tutur yang merupakan terjemahan dari istilah Inggris speech act.

Tindak tutur ialah melakukan tindak tertentu melalui kata, misalnya memohon sesuatu, menolak (tawaran, permohonan), berterima kasih, memberi salam, memuji, meminta maaf, dan mengeluh. Teori tindak tutur/bahasa ini dikemukakan oleh Austin. Ia mengatakan bahwa secara analistis dapat dipisahkan menjadi tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak: 1) Tindak ‘Lokusi’ (Locutionary act) yang mengaitkan suatu topik dengan satu keterangan dalam


(19)

suatu ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’ dengan ‘predikat’ atau ‘topik’ dan penjelasan dalam sintaksis, 2) Tindak 'ilokusi’ (illocutionary act), yaitu pengucapan suatu pernyataan, tawaran, janji pernyataan dan sebagainya. Ini erat hubungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang mewujudkan suatu ungkapan, dan 3) Tindak ‘Perlokusi’ (Perlocutionary act), yaitu hasil atau efek yang

ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu.

Menelaah tindak tutur harus benar-benar disadari betapa pentingnya konteks ungkapan/ucapan. Teori tindak tutur adalah bagian dari pragmatik, dan pragmatik itu sendiri merupakan bagian dari performansi linguistik. Selain tindak tutur, dalam suatu percakapan umumnya dilakukan oleh dua partisipan yang memiliki dua fungsi yaitu sebagai pembicara dan pendengar. Oleh karena itu, dapat

dikatakan dalam sebuah percakapan kedua partisipan itu disebut dengan pasangan berdampingan/bersesuaian. Suatu percakapan dapat diketahui kejelasannya atau dapat dimengerti apabila pembaca mengetahui konteks dari situasi pembicaraan tersebut, karena makna kata atau makna suatu kalimat berhubungan dengan konteks.

Dalam kebijakan kurikulum pembelajaran bahasa 2013, salah satu tujuannya tidak hanya mempertahankan bahasa Indonesia dalam daftar pelajaran di sekolah, tetapi juga menegaskan pentingnya keberadaan bahasa Indonesia sebagai

penghela dan pembawa ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, pembelajaran siswa lebih menekankan pada wacana atau berbasis teks. Paradigma tersebut diharapkan dapat mengembangkan siswa didik yang mampu memproduksi dan menggunakan teks sesuai dengan tujuan dan fungsi sosialnya.


(20)

Dalam pembelajaran bahasa berbasis teks, bahasa Indonesia diajarkan bukan sekadar sebagai pengetahuan bahasa, melainkan sebagai teks yang mengemban fungsi untuk menjadi sumber aktualisasi diri penggunanya pada konteks sosial-budaya akademis. Teks dimaknai sebagai satuan bahasa yang mengungkapkan makna secara kontekstual.

Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks dilaksanakan dengan menerapkan prinsip bahwa; bahasa hendaknya dipandang sebagi teks, bukan semata-mata kumpulan kata atau kaidah bahasa, penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan yang mengungkapkan makna, bahasa bersifat fungsional, yaitu penggunaan bahasa yang tidak pernah dilepaskan dari konteks karena bentuk bahasa yang digunakan itu mencerminkan ide, sikap, nilai, dan ideologi penggunanya, dan bahasa merupakan sarana pembentukan

kemampuan berpikir manusia. Berdasarkan prinsip-prinsip itu, perlu disadari bahwa setiap teks memiliki struktur sendiri yang satu sama lain berbeda. Struktur teks merupakan gambaran struktur cara berpikir.

Secara umum penggunaan bahasa lisan lebih sering dilakukan daripada bahasa tulis dalam komunikasi. Demikian pula yang terjadi pada interaksi kelas antara guru dengan siswanya maupun antara siswa dengan siswa lain. Umumnya guru melaksanakan proses pembelajaran secara lisan. Salah satu tipe analisis wacana lisan adalah analisis wacana interaksi kelas. Dalam analisis wacana interaksi kelas terdapat interaksi misalnya antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Oleh karena itu, wacana lisan termasuk wacana interaksi kelas harus dipahami dan ditafsirkan berdasarkan kondisi dan lingkungan sosial kelas yang melatarinya.


(21)

Secara tradisional guru berfungsi sebagai orang yang memberikan pelajaran, orang yang bercerita dan orang yang menyuapkan materi. Sementara itu, siswa duduk manis di kursi dan menyimak penjelasan guru. Tidak jarang partisipasi siswa sangat rendah, dan siswa sangat sedikit mengajukan pertanyaan. Hal ini dapat saja merupakan imbas dari praktik perilaku guru dalam proses pembelajaran selama kurun waktu tertentu. Bahkan, guru jarang memberikan

pertanyaan-pertanyaan terbuka (open questions), pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya

meminta siswa memberikan jawaban dengan mengedepankan kemampuan mereka dalam bernalar dan mengasah logika berpikir. Justru, pertanyaan yang sering diajukan adalah pertanyaan yang hanya memancing jawaban singkat.

Perkembangan zaman membawa perubahan dalam proses pembelajaran, fungsi guru seharusnya berubah. Guru harus kreatif memberikan stimulus siswa untuk berani berpartisipasi dan mengemukakan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki sebanyak mungkin. Selayaknya pula pertanyaan guru lebih mengarah kepada penstimulasian berpikir siswa daripada pemberian informasi faktual kepada siswa. Guru hendaknya melaksanakan dua aspek interaksi di dalam kelas yaitu (1) guru memikirkan cara siswa berpartisipasi dan cara guru itu sendiri dalam memandu sistem pergiliran berbicara serta guru memandu mengembangkan topik; (2) guru mengajukan pertanyaan yang meminta siswa memberikan

informasi, bernalar, dan bersosial.

Kajian terhadap bahasa lisan dalam interaksi kelas merupakan kajian wacana. Kelas merupakan tempat berinteraksi antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa lainnya. Saat terjadi interaksi antara siswa dengan siswa atau siswa dengan guru menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi disebut tindak tutur.


(22)

Tindak tutur inilah yang menjadi pokok bahasan pada penelitian ini, penulis ingin mengetahui aspek sosial dalam tindak tutur yang dipakai dalam interaksi di kelas. SMA (Sekolah Menengah Atas) Sugar Group adalah sekolah swasta yang merupakan sekolah perusahaan. Sugar Group Companies mendirikan SMA Sugar Group dengan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak karyawan Sugar Group Companies memperolah pendidikan di jenjang pendidikan

menengah atas. Hal ini dilakukan karena sebelum SMA Sugar Group berdiri, anak-anak karyawan Sugar Group Companies melanjutkan sekolah ke jenjang Sekolah Menengah Atas ke kota-kota sekitar yang jaraknya cukup jauh dari lokasi perumahan perusahaan Sugar Group Companies. Untuk itu, SMA Sugar Group diharapkan dapat memberikan pendidikan di jenjang pendidikan menegah atas kepada anak-anak karyawan Sugar Group Companies.

Sugar Group Companies terdiri dari dari tiga perusahaan gula yakni; PT Gula Putih Mataram (PT GPM), PT Sweet Indolampung (PT SIL), dan PT Indo Lampung Perkasa (PT ILP) serta PT Indo Lampung Distelary (ILD) yang memproduksi etanol. Di masing masing perusahaan gula tersebut, terdapat pemukiman karyawan yang disediakan oleh perusahaan. Jumlah lokasi

pemukiman bervariasi untuk masing-masing perusahaan gula. Pemukiman dibagi dalam berbagai blok berdasarkan tingkatan jabatan pekerjaan karyawan di

perusahaan.

Di masing-masing perusahaan gula telah disediakan fasilitas pendidikan dari jenjang SD sampai dengan SMP. Sugar Group Companies memiliki tiga SMP yakni, SMP GPM berada di kompleks perumahan PT GPM, SMP Yapindo berada di komplek perumahan PT SIL, dan SMP Abadi Perkasa di kompleks perumahan


(23)

PT ILP.

SMA Sugar Group menerima siswa-siswa dari ketiga SMP di lingkungan Sugar Group Companies maupun anak karyawan dari SMP lainnya. Siswa-siswa SMA Sugar Group memiliki latar belakang yang beragam, berkorelasi dengan karyawan Sugar Group Companies yang juga berasal dari beragam suku, latar belakang sosial, dan beragam tingkatan jabatan dari karyawan biasa sampai dengan karyawan tingkat atas seperti manager dan departement manager.

Siswa-siswa SMA Sugar Group adalah anak-anak karyawan Sugar Group Companies. Perbedaan tingkatan jabatan dan keberagaman latar sosial para karyawan Sugar Group Companies berhubung kait dengan anak para karyawan menjadi representasi keberagaman latar sosial siswa-siswa SMA Sugar Group. Kelas pembelajaran yang terdiri dari siswa-siswa anak para karyawan

merepresentasikan keberagaman latar dan interaksi antarsiswanya.

Interaksi di dalam kelas akan menjadi wahana tuturan interaksi antarsiswa dengan latar sosial dan keluarga atau orang tua mereka yang beragam. Dalam kelas pembelajaran terjadi interaksi antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa, baik siswa yang anak seorang manajer, siswa yang anak karyawan menengah maupun siswa yang anak karyawan jabatan terendah.

Keberagaman latar sosial dan jabatan inilah yang menjadi latar kajian dalam penelitian ini, yakni mengetahui aspek sosial dalam wacana interaksi kelas di X IPA-1, SMA Sugar Group, Lampung Tengah. Bagaimana tuturan interaksi di dalam kelas oleh seorang siswa yang anak seorang manajer dengan siswa lain yang hanya anak karyawan dengan jabatan terendah maupun ketika interaksi dengan gurunya? Apakah aspek sosial perbedaan jabatan orang tua tersebut


(24)

berhubung kait dengan kekuasaan maupun kepemilikan atas suatu barang? Bagaimana perbedaan status sosial, jarak sosial, skala fungsi afektif dan

referensial, maupun tingkat formalitas dalam kelas pembelajaran bahasa Indonesia oleh guru dengan siswa dan antarsiswa yang beragam latar sosialnya tersebut mempengaruhi interaksi dalam kelas?

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut

1. Bagaimanakah bentuk tuturan dalam wacana interaksi kelas pada pembelajaran bahasa Indonesia, di kelas X IPA-1 SMA Sugar Group, Lampung Tengah, tahun pelajaran 2013/2014?

2. Bagaimanakah aspek sosial melatarbelakangi tuturan wacana interaksi kelas pada pembelajaran bahasa Indonesia, di kelas X IPA-1 SMA Sugar Group, Lampung Tengah, tahun pelajaran 2013/2014?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsi-kan dan menjelasmendeskripsi-kan aspek sosial yang melatarbelamendeskripsi-kangi tuturan dalam wacana interaksi, bentuk tuturan, serta interpretasinya pada pembelajaran bahasa Indonesia, di kelas X IPA-1 SMA Sugar Group, Lampung Tengah, tahun pelajaran 2013/2014.


(25)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi secara teoritis maupun praktis oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan dunia pendidikan.

1. Pengembangan teori linguistik dalam memberikan sumbangan pada kajian sosiolinguistik-pragmatik umumnya dan kajian tindak tutur khususnya baik secara teoritis maupun secara praktis.

2. Pembaca dapat memahami struktur percakapan yang dipakai di dalam kelas pembelajaran.

3. Khasanah kepustakaan dalam menambah bahan bacaan dalam bidang linguistik.

4. Memberikan kontribusi pengetahuan bagi para praktisi dan tenaga pendidik dalam mengembangkan pengajaran bahasa Indonesia dan mengembangkan komponen tertentu sistem pembelajaran. Deskripsi tentang interpersonal wacana kelas dapat digunakan untuk

mengembangkan strategi komunikasi dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia dan pengembangan materi pengajaran di Sekolah Menengah Atas (SMA).

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah, ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Subjek penelitian adalah guru bahasa Indonesia dan siswa kelas X IPA-1 SMA Sugar Group, Lampung Tengah tahun pelajaran 2013/2014.


(26)

2. Objek penelitian adalah tuturan guru dengan siswa dan siswa dengan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelasX IPA-1 dan konteks sosialnya.


(27)

II. LANDASAN TEORI

2.1 Sosiolinguistik

Sosiolinguistik berasal dari kata sosio dan linguistik. Bila dilihat dari masing-masing katanya, sosio merupakan kata yang senada dengan kata sosial, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi kemasyarakatan, sedangkan linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa khususnya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem, kata, kalimat), dan hubungan antara unsur-unsur tersebut. Jadi sosiolinguistik adalah suatu studi bahasa yang berhubungan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. Dapat pula dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah suatu ilmu yang mempelajari aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial) (Nababan, 1993: 2)

Hal ini sejalan dengan pandangan Hickerson dalam Pateda (1987: 3) yang menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah perkembangan sub-bidang linguistik yang memfokuskan penelitian pada variasi ajaran serta mengkajinya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor-faktor sosial

tersebut dengan variasi bahasa. Faktor-faktor sosial yang dimaksud di sini adalah faktor umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain.


(28)

Chaer mengungkapkan bahwa "Sosiolinguistik adalah studi ilmu yang mengkaji bahasa dengan mempertimbangkan hubungan antara bahasa dengan masyarakat, khususnya masyaraat penutur bahasa itu sendiri."

Menurut Spolsky (1988:3) dalam Chaer, "Sosiolinguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat, yaitu antara bahasa yang digunakan dengan struktur sosial di mana si pengguna bahasa berada." Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cara orang berbicara dipengaruhi oleh konteks sosial di mana mereka berada. Sangat penting mengetahui dengan siapa kita berbicara, dalam setting seperti apa dan dalam kondisi seperti apa, karena saat kita bertutur secara tidak langsung tuturan kita akan mengkonfirmasi dari mana kita berasal, bagaimana tingkah laku dan cara berpikir kita.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Holmes (1972:1) dalam Chaer yang menyatakan bahwa "Sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari

hubungan antara bahasa dan masyarakat." Ilmu ini mempelajari mengapa kita berbicara dengan cara yang berbeda dalam suatu konteks sosial yang berbeda. Holmes juga menambahkan bahwa sosiolinguistik adalah suatu studi bahasa yang mengidentifikasikan fungsi sosial suatu bahasa dan cara bagaimana bahasa tersebut digunakan untuk membawakan suatu makna sosial tertentu.

Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Fishman (1972:4) dalam Chaer mengemukakan bahwa "sosiolinguistik adalah ... the study of characteristics of language varieties, the characteristics of their function, and characteristics of their speaker as these three constantly interact and change one onather within a speech community."


(29)

Jadi sosiolinguistik bukan hanya mempelajari tentang variasi bahasa dan fungsinya, melainkan juga mempelajari tentang karakteristik penuturnya. Ketiga aspek tersebut saling terkait dan saling memengaruhi satu sama lain. Misalnya, perasaan penutur akan berpengaruh pada variasi bahasa yang digunakan. Pada saat seseorang sedang merasa senang akan menjawab pertanyaan yang kita ajukan dengan bahasa yang baik, sehingga fungsi bahasanya adalah memberi informasi. Namun apabila dia sedang marah/kesal terhadap sesuatu, dia cenderung akan menjawab pertanyaan yang kita ajukan dengan bahasa cenderung agak kasar sebagai sebagai tanda luapan emosi. Akibatnya, fungsi bahasa dari tuturan tersebut berubah dari fungsi informatif menjadi fungsi emotif yang menyatakan perasaan penutur pada saat itu.

2.2 Wacana

Wacana dan teks selalu dicampuradukkan pengertiannya. Seperti yang dikemukakan Sinar (2008:6), pemakai bahasa selalu mengasosiasikan istilah wacana sebagai teks; makna mereka selalu dicampur baur, digunakan secara bertukar oleh penutur, penulis, dan pengguna bahasa lainnya. Usulan yang

membakukan batasan istilah di antara istilah wacana dan teks, seperti yang ditulis Sinar (2008:7) yang menyatakan istilah wacana cenderung digunakan di dalam mendiskusikan hal-hal yang berorientasi pada faktor sosial, sementara istilah teks cenderung digunakan dalam membicarakan hal-hal yang berorientasi kepada bahasa.

Menurut Douglas dalam Mulyana (2005:3), istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata tersebut


(30)

kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana.

Kridalaksana (dalam Mulyana, 2009:69) membahas bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel, cerpen atau prosa dan puisi, seri ensiklopedi, dan lain-lain serta paragraf, kalimat, frase, dan kata yang membawa amanat lengkap. Jadi, wacana adalah unit linguistik yang lebih besar dari kalimat atau klausa.

Dalam Kamus Linguistik wacana diterjemahkan sebagai discourse yaitu unit bahasa yang lengkap dan tertinggi yang terdiri daripada deretan kata atau kalimat, sama ada dalam bentuk lisan atau tulisan, yang dijadikan bahan analisis linguistik. Kata wacana berasal dari kata vacana= bacaan dalam bahasa

Sansekerta. Kata vacana itu kemudian masuk ke dalam bahasa Jawa Kuno dan bahasa Jawa Baru, wacana atau vacana atau bicara, kata, ucapan. Kata wacana dalam bahasa baru itu kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi wacana ucapan, percakapan kuliah (Poerwadarminta, 1976).

Kata wacana dalam bahasa Indonesia dipakai sebagai padanan (terjemahan) kata discourse dalam bahasa Inggris. Secara etimologis kata

discourse itu berasal dari bahasa Latin discursus= lari kian kemari. Kata discourse itu diturunkan dari kata discurrere. Bentuk discurrere itu merupakan gabungan dari dis dan currere = lari, berjalan kencang (Webster dalam Sinar, 2008:1). Wacana atau discourse kemudian diangkat sebagai istilah linguistik. Dalam linguistik, wacana dimengerti sebagai satuan lingual (linguistic unit) yang berada di atas tataran kalimat.


(31)

Menurut Fairclough dalam Eriyanto (1995:7) wacana adalah penggunaan bahasa dilihat sebagai bentuk praktik sosial dan analisis wacana adalah analisis bagaimana teks bekerja dalam praktik sosiokultural. Analisis seperti ini

memerlukan perhatian pada bentuk, struktur, dan organisasi teks pada semua level organisasi teks: fonologi, gramatikal, leksikal dan pada level yang lebih tinggi yang terkait dengan sistem pertukaran (distribusi giliran bicara), struktur

argumentasi, dan struktur generik. Teks juga menyangkut ruang sosial yang dua proses fundamental sosial secara simultan terjadi, yakni kognisi dan representasi tentang dunia dan interaksi sosial.

Menurut aliran fungsional, antara teks dan wacana merupakan bentuk kembar yang cenderung tidak dapat dipisah; teks dan wacana adalah sama-sama unit atau satuan bahasa yang lengkap baik lisan maupun tulisan. Wacana

memerlukan teks sebagai realisasinya dengan kata lain teks adalah bentuk konkrit wacana.

Wacana sebagai penggunaan bahasa, yaitu bahasa digunakan sesuai keperluannya. Wacana yang dilahirkan bukan sekedar dalam format kalimat, tetapi bisa di bawah kalimat seperti klausa, frase, atau di atasnya; paragraf, teks yang panjang. Wacana ini mengandung makna yang berbeda-beda, bergantung pada konteks di mana wacana atau bahasa itu digunakan (register). Oleh sebab itu, kajian wacana adalah kajian bahasa berdasarkan konteks penggunaannya.

Terkait dengan hal itu Halliday (1985:26) menyatakan bahwa teks

merupakan sebuah peristiwa sosiologis. Teks adalah unit arti atau unit semantik yang bisa direalisasikan oleh kata, frase, klausa, paragraf, ataupun naskah. Akan tetapi teks bukan unit tata bahasa yang terdiri atas morfem, kata, frase dan klausa.


(32)

Seperti yang dikemukakan Webster (2002:3) bahwa ukuran bukan merupakan masalah ketika menentukan sebuah teks. Dalam mendefinisikan teks, ukuran besar kecilnya teks bukanlah masalah, melainkan teks adalah pilihan semantik (makna) dalam konteks sosial, teks dideskripsikan sebagai konsep semantik, peristiwa sosiologis.

Selanjutnya Halliday menyatakan teks adalah konsep semantik. Teks bukan terdiri atas kalimat-kalimat tetapi direalisasikan dalam kalimat dan terdiri dari makna-makna. Selanjutnya teks adalah proses yang terus menerus dalam pilihan semantik karena teks adalah makna dan makna adalah pilihan, seperangkat opsi-opsi dalam lingkungan paradigmatik-subsistem inemerasi yang membuat sistem semantik. Teks adalah proses semantik yang terkode dalam sistem

leksikogramatika. Di sisi lain, teks dan kejadian sosiologis adalah suatu proses sosial semantik. Sebagai proses yang terus menerus mempunyai hubungan sintagmatik dan paradigmatik.

Dalam kajian ini, penulis memahami fenomena wacana sebagai fenomena yang sama dengan teks. Dengan kata lain, istilah teks dan wacana adalah istilah yang berbeda tetapi mengandung atau menunjuk pada fenomena yang sama.

2.3 Wacana Kelas

Wacana kelas adalah istilah wacana kelas yang dikaitkan dengan teks linguistik. Istilah wacana kelas sering dikaitkan dengan bahasa dalam kelas

(classroom language). Hal ini dikarenakan istilah juga menunjukkan jenis

register, tidak pada jenis wacana, sehingga bahasa di kelas (classroom language) identik dengan‚ classsroom register’ (Halliday, 1987).


(33)

Bahasa yang digunakan dalam konteks kelas merupakan bahasa yang memiliki karakteristik tersendiri dari bahasa-bahasa yang digunakan pada konteks lain. Tujuan utama yang paling mendasar dari penggunaan bahasa di kelas adalah pentransferan ilmu pengetahuan. Pada pengkajian hubungan antara pengetahuan dan bahasa, Halliday (1985:8) menyatakan bahwa bahasa tidak hanya sebagai alat untuk mengekspresikan ide-ide dari proses fisik dan biologis saja, tetapi lebih dari itu, melalui bahasa seseorang dapat menginterpretasikan atau ‘menafsirkan’ pengalaman dengan pemindahan pengalaman kita ke dalam makna.

Pengekspresian bahasa ilmu pengetahuan, banyak konsep dan pengetahuan yang dibentuk, karakteristik bahasa ilmu pengetahuan dihasilkan oleh cara berpikir yang spesifik.

Dengan demikian, belajar di sekolah dapat dilihat sebagai proses belajar yang tidak hanya berlatih linguistik ilmiah, tetapi lebih dari itu, berlatih dalam berpikir dan disiplin ilmu pengetahuan. Dalam situasi proses kegiatan

pembelajaran di kelas terjadi interaksi antara guru dan siswa, yang berarti juga bahwa dalam kelas terjadi pertukaran tindak atau interaksi selama proses belajar mengajar.

Bahasa yang digunakan oleh guru akan memengaruhi keberhasilan siswa, bahwa corak bahasa guru berpengaruh terhadap keberhasilan belajar siswa. Jenis pertanyaan tertentu yang digunakan oleh guru seperti, pertanyaan pancingan, penting artinya bagi guru dalam rangka memusatkan perhatian siswa.

Kegiatan pembelajaran di kelas adalah membelajarkan siswa.

Membelajarkan berarti meningkatkan kemampuan siswa untuk memproses, menemukan, dan menggunakan informasi bagi pengembangan diri siswa dalam


(34)

konteks lingkungannya. Berdasarkan pemahaman tersebut pelibat (guru dan siswa) dalam kegiatan belajar di kelas memerlukan kemampuan saling bertukar pengalaman linguistik yang terpresentasikan dalam fungsi pengalaman.

Dibandingkan dengan bentuk komunikasi lainnya, bahasa di kelas mempunyai ciri tersendiri. Pertama, bahasa guru dan siswa sebagai ragam konsultatif sangat fungsional dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, pemahaman terhadap fungsi ujar ini sangat diperlukan bagi kalangan pendidikan (guru dan siswa) demi tercapainya proses belajar mengajar yang ideal.

Kedua, bahasa guru dan siswa dalam wacana kelas adalah khas. Bahasa guru dan siswa dalam wacana kelas diasumsikan merupakan performansi penutur bahasa Indonesia ‘dewasa’ yang ideal karena para guru dan siswa menguasai bahasa Indonesia tidak hanya melalui pemerolehan, tetapi juga pembelajaran. Konteks mitra tutur atau mitra tutur yang juga merupakan penutur bahasa

Indonesia ‘dewasa’ yang menguasai bahasa Indonesia juga melalui pemerolehan dan belajar diasumsikan akan terjadi komunikasi yang ideal dengan munculnya kalimat yang ideal dari peserta didik sebagai kalimat konteks. Kekhasan

berikutnya dapat dilihat pada kesejajaran siswa-guru pada satu sisi karena berada dalam konteks ilmiah, tetapi pada satu sisi lain tetap dipengaruhi oleh status berbeda.

2.4 Interaksi Kelas

Sebagai suatu istilah, interaksi dapat diartikan sebagai kontak antar dua individu atau lebih dengan menggunakan media yang bersifat verbal dan nonverbal (Samson dalam Sinar, 2008:28). Dalam kegiatan interaksi, pelaku


(35)

interaksi saling memberikan alternatif untuk berperan serta. Peserta interaksi mendengarkan apa yang disampaikan oleh peserta interaksi yang lain dan menunggu sampai selesai, barulah ia mulai berbicara. Kegiatan interaksi secara sistematis berhubungan dengan situasi fisik tempat terjadinya interaksi dan perhatian peserta interaksi difokuskan pada situasi fisik tersebut. Dengan kata lain, interaksi merupakan pertukaran unit-unit dasar wacana dengan melibatkan kegiatan pengiriman pesan, penerimaan pesan, dan konteks. Dalam kegiatan interaksi ini proses terjadinya negosiasi makna tidak dapat dihindarkan.

Allen dalam Sinar (2008:25) mengartikan interaksi sebagai konsep umum yang mengacu pada pertukaran yang kompleks dari tingkah laku yang terarah yang didistribusikan ke dalam suatu rentangan waktu oleh dua orang atau lebih. Interaksi juga merupakan proses verbal dan nonverbal yang bersifat timbal balik yang diorganisir dalam suatu pola tindakan yang bermakna antara satu individu dengan individu yang lain.

Dalam interaksi yang terdiri atas dua partisipan, dapat dijumpai adanya empat macam balikan, yakni (1) balikan yang berisi monitoring diri; pembicara bermaksud mengemukakan dan menilai apa dan bagaimana ia mengemukakan maksud; (2) balikan yang berisi macam-macam respon yang digunakan untuk menopang arus interaksi; (3) balikan yang berisi balikan-balikan dari pembicara terhadap respon yang mendahuluinya; (4) balikan yang berisi hasil yang bersifat umum sebagai kesimpulan interaksi yang dapat berupa: rangkuman, persetujuan, sikap, kontrak, dan modifikasi tingkah laku antarpeserta interaksi.


(36)

tidak hanya melibatkan aspek pengekspresian ide semata, tetapi juga melibatkan aspek pemahaman ide. Dalam menafsirkan makna, pelaku interaksi mendasarkan diri pada konteks, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik, serta semua unsur nonverbal yang terkait dengan kegiatan interaksi.

Dari uraian yang dipaparkan di atas dapat ditarik pengertian sebagai berikut. Interaksi berarti kontak dua individu atau lebih menggunakan media verbal, nonverbal, atau gabungan keduanya. Dalam berinteraksi, pelaku

melakukan kegiatan pengiriman dan pemahaman pesan secara timbal balik yang terwujud dalam bentuk giliran bicara. Dalam mengirimkan dan menafsirkan pesan, pelaku interaksi mendasarkan diri pada konteks atau situasi interaksi.

Kegiatan interaksi dapat dipandang sebagai salah satu bentuk kegiatan komunikasi. Seperti halnya komunikasi, Hymes (1974) membagi interaksi terdiri atas komponen-komponen, yaitu (1) genre (macam interaksi), misalnya: lawak, percakapan informal, dan diskusi; (2) topik atau fokus interaksi; (3) tujuan atau fungsi interaksi; (4) latar interaksi, meliputi lokasi, musim, dan aspek fisik lainnya; (5) partisipan, yang melibatkan unsur usia, jenis kelamin, etnis, status sosial, serta hubungan antar partisipan; (6) bentuk pesan; (7) isi pesan; (8) urutan tindak dalam berinteraksi; (9) pola atau struktur interaksi; dan (10) norma

interpretasi yang meliputi pengetahuan umum, preposisi budaya yang relevan, dan acuan khusus.

Saville-Troike dalam Sinar (2008:22) mengemukakan bahwa kemampuan berkomunikasi melibatkan aspek pengetahuan kebahasaan, kepada siapa


(37)

seseorang berbicara atau tidak berbicara dalam latar tertentu, bagaimana sifat pembicaraan dua individu yang memiliki status sosial berbeda, kapan mulai berbicara dan kapan harus berhenti berbicara, bagaimana cara menyatakan sesuatu, meminta sesuatu, dan menanyakan sesuatu.

River dalam Sinar (2008:57) mengemukakan adanya tiga aspek dalam kegiatan berinteraksi. Pertama, kemampuan kosa kata yang mencakup pengertian seseorang menguasai kosa kata yang dibutuhkan dalam suatu kegiatan interaksi dan menggunakannya secara tepat. Kedua, kemampuan tata bahasa yang

merupakan rumusan struktur dari suatu bahasa yang benar. Ketiga, kemampuan komunikatif, baik yang bersifat reseptis (menyimak) maupun yang bersifat produktif (berbicara).

Allen dalam Sinar (2008:42) mengemukakan tujuh macam interaksi verbal yang lebih mengarah pada aspek media verbal yang digunakan, yaitu pernyataan, pertanyaan, persetujuan, seruan, tertawa, fragmentasi, dan tuturan secara simultan. Komponen-komponen tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda. Pernyataan dan pertanyaan bersifat saling melengkapi dalam proses pemindahan informasi. Persetujuan merupakan komponen yang harus dimasukkan dalam proses interaksi verbal untuk menopang jalannya interaksi. Rangkaian tawa, seruan, interupsi, dan fragmentasi seringkali dipandang negatif dalam proses pemindahan atau

pengiriman informasi, dan seringkali dipakai sebagai dasar untuk menilai tingkat gangguan dalam interaksi.

Edmonson dalam Sinar (2008: 32) mengemukakan adanya tiga komponen dalam interaksi verbal, yaitu media yang digunakan, giliran bicara, dan urutan


(38)

secara simultan. Unsur nonverbal seperti gerak mata, ekspresi wajah, serta gerak fisik lain sering menyertai kegiatan berbicara. Peran sebagai pembicara dan pendengar terjadi secara bergantian.

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Kegiatan interaksi merupakan bagian dari komunikasi, oleh karenanya komponen interaksi sama dengan komponen komunikasi. Komponen komunikasi yang dimaksud adalah genre, topik, tujuan, latar, partisipan, media yang digunakan, isi pesan, urutan tindak, pola, dan norma interpretasi. Dalam interaksi verbal pelaku menggunakan bahasa, aturan interaksi, dan pengetahuan budaya yang relevan. Komponen bahasa yang dimaksud meliputi pertanyaan, pernyataan, seruan, persetujuan, dan fragmentasi.

Dengan demikian, interaksi dapat ditinjau dari segi tujuan, fungsi,

partisipan, situasi, media, mau pun topik interaksi. Selain itu, juga bisa dilihat dari segi hubungan antarunsur pembentuk kegiatan interaksi, misalnya dari segi

fungsi-partisipan-bentuk. Dari segi situasinya, interaksi dapat dibedakan menjadi interaksi intim, interaksi formal, interaksi keluarga, interaksi masyarakat, interaksi kelas, interaksi sekolah, dan interaksi sekolah dengan masyarakat.

Wacana interaksi kelas dapat diartikan sebagai wacana teks komunikasi yang terjadi di dalam kelas, di mana terjadi komunikasi antarpenutur di dalam kelas sebagai bentuk aktivitas interaksi kegiatan belajar dan mengajar antara murid dengan murid dan murid dengan guru.


(39)

2.5 Aspek Sosial dalam Wacana Interaksi Kelas

Dalam kajian ilmu sosiolinguistik dipahami bahwa sosiolinguistik mempelajari bahasa khususnya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem, kata kalimat), dan hubungan antara unsur-unsur tersebut. Kajian tersebut termasuk dalam menelaah bahasa yang berhubungan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. Dapat pula dikatakan bahwa kajian sosiolinguistik juga mempelajari aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial).

Sebagai cabang ilmu linguistik, kajian ilmu sosiolinguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam masyarakat tutur. Sosiolinguistik mengkaji bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan. Objek kajian sosiolinguistik meliputi; identitas sosial dari penutur, identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, tingkat variasi dan ragam linguistik, dan penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.

Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah bagian linguistik yang berhubung kait dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan berkaitan dengan bidang sains sosial seperti Antropologi. Sistem kerabat


(40)

(Antropologi) bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta psikologi sosial”. Fishman menyatakan bahwa sosiolinguistik memiliki komponen utama yaitu ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa dimaksud adalah fungsi sosial (regulatory) yaitu untuk membentuk arahan dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi imajinatif yaitu untuk meneroka alam fantasi serta fungsi emosi seperti untuk mengungkapkan suasana hati seperti marah, sedih, gembira dan apresiasi.

Pengetahuan sosiolinguistik juga dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi dalam pengajaran bahasa di sekolah. Secara umum sosiolinguistik membahas hubungan bahasa dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. Hal ini mengaitkan fungsi bahasa secara umum yaitu sebagai alat komunikasi.

Untuk mempelajari dan menjelaskan seluk beluk bahasa juga melibatkan aspek-aspek nonbahasa yaitu aspek sosial. Aspek sosial terdiri dari struktur sosial, status sosial, tatanan sosial, usia, dan gender. Aspek sosial yang dimiliki penutur secara tidak langsung memengaruhi bahasa yang digunakan dalam berbagai fungsi. Pengaruh tersebut dapat berupa dialek atau logat yang diucapkan, kosa kata yang menunjukkan status sosial yang digunakan. Status sosial yang dimiliki masyarakat beragam bergantung tempat dan fungsi di dalam masyarakat. Status sosial dapat dilihat dari pekerjaan yang dilakukan oleh seorang penutur.

Dalam kajian analisis wacana, kajian bahasa berusaha menginterpretasi makna sebuah ujaran atau tulisan tidak dapat dilepaskan dari konteks yang

melatarinya, baik konteks linguistik maupun konteks etnografi. Konteks linguistik dimaksudkan sebagai rangkaian kata yang mendahului atau yang mengikuti satuan bahasa tertentu, sedangkan konteks etnografi dimaksudkan sebagai


(41)

serangkaian ciri faktor yang melingkupinya, misalnya faktor budaya, tradisi, dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan.

Wacana dapat merujuk pada teks ataupun percakapan. Pada kajian wacana (percakapan) dapat digunakan berbagai pendekatan, salah satunya adalah

pendekatan etnografi komunikasi. Etnografi komunikasi menurut Schiffrin (dalam Rusminto, 2010), yaitu adanya pengakuan tentang keberagaman kemungkinan dan kebiasaan-kebiasaan komunikasi yang terintegrasi dengan hal yang diketahui dan dilakukan penutur sebagai anggota suatu budaya tertentu. Singkatnya, dalam berkomunikasi; penutur selalu “terikat”oleh budaya dan norma sosial tempat penutur tersebut hidup. Philipen (dalam Rusminto, 2010) mengasumsikan

etnografi komunikasi ke dalam empat kategori. Pertama, masyarakat menciptakan makna bersama berdasarkan norma budaya (lokal) yang “dianutnya”. Kedua, komunikasi dalam kebudayaan apa pun harus mengkoordinasikan tindakan-tindakannya. Ketiga, makna dan tindakan sangatlah unik/khusus bagi kelompok-kelompok atau individu-individu dalam budaya tertentu. Keempat, setiap

masyarakat budaya (tertentu) memiliki seperangkat sumber daya (atau persepsi) yang berbeda dalam memahami/menetapkan tindakan-tindakannya atau realitas.

Sementara, Hymes dalam Rusminto (2010) yang kali pertama

memperkenalkan dan tokoh etnografi komunikasi melihat bahwa konsep makna didasarkan pada keyakinan dan nilai-nilai bersama masyarakat dan bergantung pada konteks sosial dan konteks budaya. Bagi Hymes (1974), kajian bahasa pada hakikatnya adalah cara mengungkap kode-kode bahasa dalam kehidupan sosial budaya.


(42)

Hymes mengusulkan sembilan kategori unit analisis etnografi komunikasi, yaitu (a) cara bertutur, (b) ideal penutur yang fasih, (c) komunikasi tutur, (d) situasi tutur, (e) peristiwa tutur, (f) tindak tutur, (g) komponen-komponen tutur, (h) aturan-aturan bertutur dalam komunitas, dan (i) fungsi tuturan dalam

komunitas/masyarakat. Selain itu, Hymes juga menyebutkan eratnya kaitan antara peristiwa tutur dan komponen tutur yang kemudian menjadi acuan/rujukan dalam mengkaji etnografi komunikasi. Komponen tutur tersebut disingkat yang

kemudian dikenal dengan SPEAKING (setting and scene, participants, ends, act sequence,key, norms of interaction and interpretation, and genre).

Dell Hymes dalam Rusminto (2010:57) mengatakan bahwa peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang dikenal dengan SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut adalah:

1) S (Setting and Scene): Waktu, tempat, dan situasi yang berbeda dapat

menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Ada dua macam situasi dalam pembicaraan yaitu,

a. Situasi Formal

Dalam situasi ini membawa partisipan untuk menggunakan bahasa baku atau standar. Kita sering menjumpai situasi seperti ini pada pidato kenegaraan, wawancara pekerjaan, pertemuan dinas, rapat perusahaan, dll.

b. Situasi Nonformal

Dalam jenis situasi ini seorang partisipan cenderung untuk

menggunakan variasi bahasa yang diinginkannya dalam percakapan. Biasanya mereka lebih memilih menggunakan variasi bahasa tidak


(43)

baku atau non standar dalam tuturannya untuk membuat suasana lebih akrab, dsb.

Waktu, tempat, dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan bahasa yang berbeda. Pembicaraan di sebuag ruangan kelas dalam suatu diskusi antara siswa dengan seorang guru akan berbeda dengan

pembicaraan dalam suatu acara ramah tamah dan keakraban yang dihadiri para siswa dan beberapa guru di ruang aula sekolah. Dalam situasi diskusi, bahasa yang digunakan adalah bahasa baku, sedangkan pada acara

keakraban situasi yang terjadi adalah situasi informal, sehingga variasi bahasa yang digunakan lebih bebas.

2) P (Participants): pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa

pembicara dan pendengar, penyapa, dan pesapa atau pengirim pesan dan penerima pesan. Dalam hal ini, pemilihan variasi bahasa di antara mereka dipengaruhi oleh:

a. Jarak sosial, mengacu pada seberapa baik kita mengenal mitra tutur. Hal ini merupakan faktor penting yang menentukan bagaimana cara kita berbicara dengan mitra tutur kita. Ada dua jenis hubungan dalam hal ini, yaitu hubungan akrab/dekat atau intimate dan hubungan jauh atau distant. Hubungan dekat atau intimate biasa digunakan oleh orang-orang yang telah mengenal dengan baik, sementara hubungan jauh atau distant adalah hubungan antara orang-orang yang baru saling mengenal atau orang-orang yang tidak begitu mengenal mitra tuturnya dengan baik.


(44)

masyarakat. Tinggi rendahnya status seseorang dapat ditentukan oleh jabatan atau pekerjaan, latar belakang ekonomi, politik, pendidikan, maupun keturunan. Dalam hal ini dikenal status sosial lebih tinggi atau superior dan status sosial lebih rendah atau subordinate. Seorang penutur akan berusaha menggunakan bentuk bahasa yang lebih sopan dan baku apabila berinteraksi dengan orang yang statusnya lebih tinggi, dan sebaliknya seseorang yang berstatus tinggi akan cenderung menggunakan bahasa yang lebih sederhana dengan orang yang status sosialnya lebih rendah, semisal hubungan antara karyawan dengan atasannya.

3) E (Ends: purpose/outcomes and goal): merujuk pada maksud dan tujuan

pertuturan peristiwa yang diharapkan. Outcomes adalah tujuan dari peristiwa bahasa yang dilihat dari sudut pandang kebudayaan, sedangkan

goals adalah tujuan dari para partisipan itu sendiri. Sebagai contoh, dalam

peristiwa perdagangan, outcomes-nya adalah pertukaran suatu barang dari satu pihak ke pihak lain, sedangkan goals-nya bagi pedagang adalah mendapatkan laba sebesar-besarnya, dan bagi para pembei adalah memperoleh barang dengan semurah mungkin.

4) A (Act Sequences): Merujuk message form dan message content. Message

form atau bentuk pesan adalah cara bagaimana kita mengungkapkan suatu topik atau informasi. Bentuk tersebut tergantung pada situasi, sedangkan

message content atau isi pesan adalah apa yang kita katakan. Misalnya,

bentuk ujaran dalam perkuliahan, dalam percakapan biasa dan dalam pesta pasti berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan. Bentuk pesan di


(45)

bagi menjadi 2 macam, yaitu bentuk pesan langsung dan tidak langsung. a. Bentuk Pesan Langsung

Pesan yang disampaikan secara langsung tanpa adanya makna tersembunyi dari tuturan si penutur tersebut.

b. Bentuk Pesan Tidak Langsung

Pesan yang ingin disampaikan dituturkan secara tersirat oleh si penutur. Bentuk pesan ini bisa diketahui jika mitra tutur dapat mengerti maksud tersirat dari tuturan tersebut. Misalnya, " Ada

kotoran di meja tuh!" Kalimat ini tidak hanya memberikan informasi

bahwa ada kotoran di meja, tetapi juga memiliki maksud tersirat agar lawan tutur membersihkan kotoran.

5) K (Key: tone or spirit of Act): mengacu pada cara, nada atau jiwa

(semangat) di mana suatu pesan disampaikan. Kunci itu kira-kira serupa dengan modalitas dalam kategori gramatika. Suatu tindak tutur bisa berbeda dengan kunci. Misalnya antara serius dan santai, hormat dan tidak hormat, sederhana dan angkuh atau sombong, dan sebagainya. Hal ini juga dapat ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat, seperti kedipanmata, gerak tubuh, gaya berpakaian, dan sebagainya.

6) I (Instrumentalities): mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti

jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Dalam hal saluran, orang harus membedakan cara menggunakannya. Saliran lisan (oral), misalnya dipakai untuk bernyanyi, bersenandung, bersiul, mengujarkan tuturan, dan lain-lain. Ragam lisan untuk tatap muka berbeda dengan untuk telepon. ragam tulis telegram berbeda dengan ragam tulis surat, dan sebagainya.


(46)

Selain saluran, bentuk tuturan adalah tatanan bahasa yang digunakan oleh pembicara untuk menyampaikan pesan. Bahasa itu dapat berupa bahasa baku, dialek, register, ataupun ragam bahasa tertentu lainnya.

7) N (Norm of interaction and interpretation): mengacu pada norma atau

aturan yang digunakan dalam interaksi. a. Norma Interaksi (Norm of Interaction)

Norma interaksi adalah norma yang mengatur saat yang tepat kapan kita harus berbicara, kapan harus diam, kapan kita harus menggunakan bahasa formal, dan kapan kita menggunakan bahasa informal, dan lain-lain. Misalnya, dalam suatu diskusi pada saat kita ingin menginterupsi, kita dianjurkan untuk mengacungkan jari telunjuk tangan kanan ke atas sebagai tanda meminta ijin berbicara.

b. Norma Penafsiran (Norm of interpretation)

Norma yang berhubungan dengan maksud tuturan si penutur. Norma intepretasi memungkinkan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi untuk memberikan interpretasi terhadap mitra tutur khususnya manakal yang terlibat dalam komunikasi adalah warga dari komunitas yang berbeda. Misalnya, penutur berlatar belakang suku Jawa berbeda interpretasi dengan penutur yang berasal dari suku Madura.

8) G (Genres): mengacu pada jenis bentuk atau register khusus yang

digunakan dalam peristiwa tutur.

Dalam menelaah aspek sosial tuturan wacana interaksi kelas ini tentunya kedelapan komponen tersebut akan menjadi kerangka acuan. Selain telaah yang dilakukan akan lebih menekankan pada aspek sosial peristiwa tuturan yang


(47)

melatarbelakanginya. Aspek-aspek tersebut difokuskan pada penutur dan petutur, situasi yang melingkupi terjadinya tuturan, jarak sosial, status sosial, dan bentuk ujaran yang digunakan.

Telaah bentuk-bentuk tuturan yang digunakan dalam wacana interaksi kelas diharapkan dapat memberikan gambaran pengaruh aspek sosial yang melatarbelakanginya. Peranan aspek sosial dilihat dari jarak sosial diharapkan dapat menjelaskan aspek kedekatan hubungan dalam interaksi kelas. Selain juga aspek status sosial yang disandang oleh penutur dan petutur yang khas dalam lingkungan keluarga pekerja perusahaan di mana terdapat heterogenitas

kedudukan sosial berdasarkan hierarki jabatan dalam tingkatan pekerjaan (orang tua).

Di dalam linguistik, konteks wacana atau teks dapat dibedakan sedikitnya menjadi tiga. Pertama, konteks tuturan, yakni segala situasi dan kondisi

lingkungan yang muncul bersama-sama dengan hadirnya tuturan, dapat berupa media atau saluran yang digunakan, waktu dan lokasi terjadinya tuturan, pameran atau pelibat pertuturan, maksud dan tujuan pertuturan, dan lain-lain. Jadi

sesungguhnya konteks tuturan itu menunjukkan pada segala macam aspek yang memungkinkan sebuah pertuturan terjadi dan dapat dilaksanakan. Kedua, konteks referensi, yakni konteks yang menunjukan pada lingkungan atau bidang, tempat sebuah pertuturan terjadi atau dilaksanakan. Ketiga, konteks sosial dan konteks kultural, yakni segala aspek yang menunjuk pada keseluruhan jaringan konvesi dan institusi sosial-budaya yang ada dalam sebuah masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Pemaknaan sebuah teks atau wacana, tidak serta merta dapat dilepaskan dari konteks sosio-kulturalnya (Parera, 2004: 34).


(48)

Kegiatan pembelajaran di kelas yang melibatkan interaksi guru dengan siswa merupakan salah satu bentuk pemanfaatan bahasa untuk peran sosial. Dalam konteks pembelajaran di kelas, bahasa menjalankan fungsi interaksional. Brown dan Yule (1996:14) mendeskripsikan fungsi bahasa menjadi fungsi transaksional dan fungsi interaksional. Fungsi transaksional merupakan fungsi untuk mengungkapkan isi, sedangkan fungsi interaksional merupakan fungsi bahasa dalam hubungan-hubungan sosial dan sikap-sikap pribadi.

Interaksi pembelajaran merupakan salah satu wujud wacana lisan yang bersifat interaksional. Wacana pembelajaran ditandai oleh adanya interaksi timbal balik antara guru dengan siswa. Wacana interaksional bercirikan adanya

tanggapan timbal balik dari penutur dan mitra tutur. Dalam sebuah wacana kelas, interaksi memegang peranan yang sangat penting. Interaksi tersebut terwujud dengan adanya timbal balik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Sebagai bentuk interaksi ketika guru menyampaikan sebuah tuturan, siswa memberikan tanggapan kepada guru baik berupa verbal maupun nonverbal.

Tuturan siswa dan guru merupakan tindak tutur ilokusi yang mengungkap-kan suatu maksud melalui tuturannya. Dalam setiap bentuk tersebut melekat suatu fungsi dari setiap tuturan. Penyampaian fungsi-fungsi bentuk tuturan siswa

menggunakan strategi penyampaian langsung dan tidak langsung.

Tuturan siswa inilah yang merupakan salah satu kunci dari adanya suatu interaksi verbal di kelas. Guru menyampaikan tuturan dan siswa menyampaikan tuturan balik terhadap tuturan guru. Ataupun proses interaksi yang terjadi dalam tuturan siswa dengan siswa lainnnya. Hal tersebut juga tidak terlepas dari komponen-komponen komunikasi yang terdapat dalam wacana kelas.


(49)

Dari tuturan siswa dapat diketahui sikap siswa terhadap maksud yang disampaikan guru melalui tuturannya. Dengan mengetahui sikap siswa, guru dapat memberikan tuturan balik kepada siswa sehingga komunikasi di kelas dapat berjalan dengan baik. Jika komunikasi di kelas sudah berjalan dengan baik, guru dapat mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran serta menciptakan situasi yang nyaman di kelas.

Wacana kelas merupakan bentuk wacana komunikasi interaksional yang melibatkan penutur dan mitra tutur, serta kelas sebagai latar peristiwa tuturnya. Siswa dengan guru dan siswa dengan siswa lain, di dalam kelas saling bertukar peran dalam menciptakan komunikasi, sehingga tercipta interaksi antara siswa dan guru. Interaksi memiliki peranan yang sangat penting dalam proses belajar

mengajar. Seorang guru tidak bisa menyampaikan materi pembelajaran apabila dalam proses belajar-mengajar tidak ada timbal balik antara siswa dan guru. Demikian pula proses interaksi siswa dengan siswa lain dalam proses

pembelajaran akan menunjang hasil belajar. Komunikasi yang berupa interaksi harus dijaga oleh siswa dan guru agar kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan baik. Dalam konteks komunikasi interaksional, wacana dipandang sebagai bentuk penyampaian yang melibatkan penutur dan mitra tutur. Antara penutur dan mitra tutur berinteraksi dalam suatu peristiwa tutur yang dilatari oleh konteks tertentu (Jumadi, 2005:32).

Ditinjau dari perspektif pragmatik, perilaku berkomunikasi interaksional, merupakan tindakan sosial. Artinya, berbagai tindakan yang diwujudkan dalam tindak tutur itu terkait dengan fungsi-fungsi sosial. Karya para filsuf, misalnya Austin, Searle, dan Grice memanfaatkan tuturan dalam komunuikasi yang


(50)

melibatkan berbagai jenis pengetahuan yang menembus batas-batas kaidah sintaksis dan semantik. Tuturan yang digunakan untuk menjelaskan berbagai tindakan sosial. Dalam konteks tuturan dengan tindakan sosial inilah teori tindak tutur dalam ancangan pragmatik dikembangkan.

Uraian di atas mengisyaratkan bahwa dalam perspektif ancangan pragmatik, tindak tutur mempunyai peran yang sangat vital di dalam proses

komunikasi verbal. Hal ini juga tidak terkecuali di dalam wacana percakapan yang terjadi dalam latar kelas. Dengan berbagai tindak tutur, guru dan siswa melakukan komunikasi tatap muka di dalam proses pembelajaran.

Terkait dengan peran tindak tutur dalam wacana kelas, Mey (1996:207) dalam Sinar menyatakan bahwa tindak tutur memberikan semacam skenario mini tentang apa yang sedang terjadi dalam proses komunikasi bahasa. Tindak tutur menunjukkan jalan sederhana untuk menjelaskan urutan-urutan yang kurang lebih dapat diprediksikan dan telah kita ketahui dari percakapan yang normal. Dengan demikian, tampak tindak tutur memainkan peran dalam penyusunan kerja sama pembicaraan manusia.

Dalam proses penafsiran wacana, tindak tutur memberikan kemudahan dalam proses mengidentifikasi pasangan berdekatan di dalam wacana kelas. Biasanya, pasangan berdekatan dibangun oleh tindak tutur yang selaras. Sebuah tawaran misalnya, biasanya berdampingan dengan penerimaan atau penolakan; penilaian berdampingan dengan persetujuan dan ketidaksetujuan; pertanyaan berdampingan dengan jawaban yang diharapkan atau tidak diharapkan; menyalahkan berdampingan dengan sanggahan atau penerimaan.


(51)

Menurut Hymes (1974), peserta tutur atau partisipan merupakan komponen tutur yang paling berpengaruh terhadap makna dan wujud tuturan. Dengan demikian, komponen tutur ini juga sangat memengaruhi representasi aspek sosial dalam wacana kelas. Partisipan merujuk kepada penutur dan penutur yang terlibat dalam proses komunikasi. Partisipan yang membangun wacana kelas adalah guru dan siswa. Partisipan mempunyai karakteristik individu, status, dan peran sosial tertentu.

Sehubungan dengan hal tersebut, variasi penggunaan bahasa dalam sebuah interaksi, di antaranya ditentukan dimensi atau aspek-aspek sosial, yaitu:

1. Skala Jarak sosial

Jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, antara lain tampak dari tingkat keakraban hubungan antara penutur dan mitra tutur. Tingkat keakraban ini pada umumnya sangat ditentukan oleh intensitas hubungan antara penutur dan mitra tutur. Intensitas hubungan yang tinggi antara penutur dan mitra tutur akan membuat tingkat keakraban hubungan menjadi sangat dekat. Sebaliknya, intensitas hubungan yang rendah cenderung menghasilkan tingkat keakraban hubungan menjadi sangat jauh. Tingkat kedekatan hubungan keakraban atau kedekatan hubungan dalam klasifikasi sangat dekat akan mengakibatkan timbulnya rasa solidiritas antara penutur dan mitra tutur. Sebaliknya, tingkat keakraban dalam klasifikasi hubungan sangat jauh akan menimbulkan rasa solidiritas yang rendah.

Holmes (2001:9) dalam Rusminto memberikan gambaran yang memperjelas gambaran yang memperjelas hubungan antara jarak sosial dan tingkat solidaritas sebagai berikut.


(52)

Dekat Jauh

Solidaritas Tinggi Solidaritas Rendah

Gambar 1. Skala Jarak Sosial

Dalam kaitan hal ini, jarak sosial antara penutur dan mitra tutur terutama dapat dilihat dari tindakan keakraban dan kedekatan hubungan antara penutur dan mitra tutur. Kedekatan hubungan tersebut diklasifikasikan dalam empat

klasifikasi, yaitu

a. Klasifikasi Hubungan Sangat Dekat. Mitra tutur dengan klasifikasi hubungan sangat dekat meliputi hubungan sangat dekat meliputi anggota keluarga dalam satu rumah (ibu, bapak, kakak, adik), kakek, nenek yang sering bertemu dengan keluarga inti.Termasuk di dalamnya adalah teman-teman yang mempunyai hubungan perteman-temanan yang dekat baik karena sudah mengenal sejak belajar di tingkat sekolah sebelumnya, maupun dekat karena menjadi sahabat sejak masuk di kelas tersebut, semisal teman dekat sesama wanita maupun sesama lelaki.

Kaitannya dengan klasifikasi ini Rusminto (2010) menjelaskan bahwa kedekatan psikilogis (jarak hubungan sosial dekat-jauh) menjadi pertimbangan penutur dalam menyampaikan tuturan secara langsung maupun tidak langsung.

Pada contoh berikut, terdapat perbedaan dalam hal bagaimana tuturan disampaikan, meskipun sebenarnya maksud permintaan yang diajukan sama.


(53)

(a) Anak : Pak, mana Pak ballpointku, Pak? Bapak : Sebentar ya, dikit lagi.

Anak : Aku mau kerja PR lho Pak.

Bapak : Ambilkan ballpoint bapak dulu, di dekat komputer. (b) Anak : Om, disuruh bapak minta ballpointnya.

Seseorang : Oh iya, maaf ya. Terima kasih. Anak : Ya, Om.

Konteks pada tuturan (a) disampaikan anak kepada bapaknya saat sedang belajar untuk mengerjakan PR. Sedangkan pada tuturan (b) disampaikan pada saat anak meminta kembali ballpoint yang dipinjam oleh seseorang kepada bapaknya dan sudah selesai menggunakan. Anak meminta kembali

ballpoint tersebut agar tidak lupa dikembalikan oleh si peminjam. Dalam

kedua peristiwa tutur tersebut menjelaskan bahwa pada contoh (a) tuturan disampaikan oleh anak kepada mitra tutur secara langsung menandakan bahwa secara psikologis hubungan kedua pihak sangat dekat, tidak berjarak.

Berbeda halnya pada tuturan (b), penutur menyampaikan maksud tuturan kepada mitra tutur secara tidak langsung, yakni dengan melibatkan pihak ketiga. Hal ini menandakan bahwa mitra tutur yang dihadapinya orang yang secara psikologis tidak dikenal secara dekat atau hubungannya jauh sehingga maksud tuturan disampaikan dengan metode tidak langsung tersebut.

b. Klasifikasi Hubungan Cukup Dekat. Mitra tutur dengan klasifikasi hubungan cukup dekat meliputi anggota keluarga yang tidak satu garis keturunan dengan (om, tante) dan orang lain yang kebetulan tinggal satu rumah dengan penutur. Kaitannya dengan kajian wacana interaksi kelas


(54)

sudah mengenal dengan baik sejak di sekolah tingkat sebelumnya namun tidak memiliki kedekatan secara emosional, semisal karena perbedaan lawan jenis maupun perbedaan daerah tempat tinggal.

(c) Anak : Om, mana Om mobil remotku?

Paman : Entar to Dik, nyobak. Susah mana nyetir mobil beneran sama nyetir remot kontrol.

Anak : Nanti rusak lho, ditabrak-tabrakno gitu. Paman : Ha ha ha, susah juga ternyata.

Pada contoh tuturan (c) peristiwa tutur yang terjadi anak meminta kembali mainan anak tersebut yaitu mobil-mobilan kepada pamannya yang sedang mencoba memainkan mobil-mobilan remote control. Dalam hal ini, hubungan anak dengan paman adalah jenis hubungan yang cukup dekat, namun anak tanpa ragu-ragu menggunakan tuturan langsung kepada mitra tuturnya meminta sesuatu yang menjadi milik si anak. Jarak psikologis anak dan mitra tutur yang termasuk dalam klasifikasi hubungan cukup dekat tidak menghalangi anak menyampaikan tuturan secara langsung kepada mitra tuturnya.

c. Klasifikasi Hubungan Cukup Jauh. Mitra tutur dengan klasifikasi hubungan cukup jauh meliputi anggota keluarga jauh yang tidak terlalu dikenal oleh penutur tetapi mengetahui keberadaannya.Klasifikasi yang termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang dikenal oleh penutur namun tidak mengenal secara dekat, hanya sebatas mengetahui. Hal ini lebih dipengaruhi karena perbedaan tempat tinggal dan intensitas pertemuan yang lebih singkat. Perhatikan contoh tuturan yang menunjukkan klasifikasi hubungan cukup jauh pada konteks tuturan


(55)

(d) Anak : Mbah Pah, disuruh ibuk ngambil mobil-mobilan yang dipinjam Dik Akbar.

Mitra Tutur : Oh iya, ini, matur nuwun ya Mas. Anak : Iya, terima kasih.

Pada contoh tuturan (d) di atas konteks peristiwa tuturan yang terjadi adalah seoarang anak yang meminta kembali mainan mobil-mobilan yang dipinjam oleh Akbar, tetangga sebelah rumah. Penutur menyampaikan maksud dan tujuan kepada mitra tutur dengan tuturan tidak langsung karena mempertimbangkan bahwa hubungan mitra tutur dangan mitra tutur tidak dekat atau cukup jauh. Mempertimbangkan bahwa secara psikologis hubungan anak dengan mitar tuturnya cukup jauh, dengan hanya mengenal sebatas tetangga dan intensitas bertemunya jarang, maka penutur menyertakan pihak ketiga, ibu si anak, dalam tuturannya untuk memperkuat maksud yang hendak disampaikan.

d. Klasifikasi Hubungan Sangat Jauh. Mitra tutur klasifikasi sangat jauh meliputi mitra tutur yang tidak dikenal oleh penutur sebelumnya dan orang-orang yang tidak dikenal sama sekali (misalnya: mitra tutur di terminal, di dalam bus, dan sebagainya). Sehubungan dengan klasifikasi hubungan kedekatan ini, perhatikan contoh berikut.

(b) Anak : Om, disuruh bapak minta ballpointnya. Seseorang : Oh iya, maaf ya. Terima kasih.

Anak : Ya, Om.

Pada contoh tuturan (b) peristiwa tutur yang terjadi, tuturan disampaikan anak ketika konteks tuturan terjadi di terminal. Anak menyampaikan tuturan kepada sesorang yang tidak dikenal, meminjam ballpoint kepada


(56)

sama sekali mitra tutur, termasuk dalam klasifikasi hubungan sangat jauh, sehingga dalam konteks ini penutur menggunakan pihak ketiga, yakni ayahnya, untuk memperkuat maksud dan tujuan si penutur memastikan bahwa ballpoint yang dipinjam oleh orang tersebut dikembalikan.

2. Skala Status Sosial

Dalam kegiatan komunikasi, kompleksitas tuturan juga ditentukan oleh peran status sosial, yang meliputi kedudukan, tataran, tingkat, derajat atau martabat sosial seseorang terhadap orang lain. Scherer dan Giles (dalam

Rusminto, 2010:52) menempatkan status sosial dalam kaitan dengan aspek-aspek umur, jenis kelamin atau seks, kepribadian individu, kelas sosial, stuktur sosial, dan keetnikan.

Dalam kajian ini, aspek jenis kelamin, kepribadian, dan keetnikan penutur dan mitra tutur tidak dipertimbangkan, hanya aspek sosial yang dipertimbangkan. Kajian difokuskan pada peran individu dalam lingkup kelas dan lingkungan keluarga atau masyarakat.

Peran individu dalam lingkungan atau masyarakat bersangkut paut dengan “kekuasaan” dan “kedudukan” sosial yang dimaksudkan di sini dimaknai berbeda dengan kekuasaan dan kedudukan secara formal. Contoh, bagi seorang tukang parkir terkait dengan tugasnya mengatur kendaraan, di lokasi parkir tukang parkir memiliki” kekuasaan” dan ‘kedudukan” lebih tinggi dengan pemilik kendaraan. Hal ini berati bahwa tukang parkir walaupun secara status sosial lebih rendah dibandingkan pemilik kendaraan, namun dia memiliki peran yang besar dalam


(57)

mengemban terkait dengan pekerjaannya, jadi status tukang parkir memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada pemilik mobil sendiri.

Holmes (dalam Rusminto, 2010:52) menjelaskan bahwa status yang dimiliki seseorang sangat menentukan supremasi orang tersebut terhadap peran yang diembannya dalam peristiwa komunikasi. Semakin besar peran yang

diemban sesorang maka akan semakin tinggi status seseorang tersebut. Sebaliknya semakin kecil peran yang diemban seseorang maka akan semakin rendah status orang tersebut.

Atasan Status Tinggi

Bawahan Status Rendah

Gambar 2. Skala Status Sosial

Pada contoh tuturan (c) yang juga sudah dibahas pada ihwal

menggambarkan peristiwa tutur dengan klasifikasi kedekatan hubungan cukup dekat, tuturan tersebut juga menggambarkan konteks peristiwa tutur dalam hal aspek status sosial.

(c) Anak : Om, mana Om mobil remotku?

Paman : Entar to Dik, nyobak. Susah mana nyetir mobil beneran sama nyetir remot kontrol.

Anak : Nanti rusak lho, ditabrak-tabrakno gitu. Paman : Ha ha ha, susah juga ternyata.

Pada contoh tuturan (c) tersebut peristiwa tutur yang terjadi anak menyampaikan tuturan kepada pamannya. Dilihat dari status sosial dan usia jelas bahwa paman memiliki usia yang jauh lebih dewasa dan secara status sosial dan


(58)

dalam hal ini. Namun dalam peristiwa tutur tersebut, konteks menjelaskan bahwa anak dalam hal ini memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Hal ini berkait dengan kekuasaan anak atas hak milik dari barang yakni mobil-mobilan remote control. Sang paman yang secara usia lebih dewasa berada pada posisi lebih rendah karena hanya meminjam barang tersebut.

3. Skala Formalitas

Dalam berkomunikasi, selain berkaitan dengan waktu dan tempat

terjadinya suatu peristiwa tutur, mengacu juga pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Ada dua macam situasi dalam pembicaraan, yaitu situasi formal dan tidak formal atau informal.

a. Situasi Formal

Jenis situasi ini membawa seorang partisipan untuk menggunakan bahasa baku atau standar. Situasi seperti ini sering kita jumpai pada saat rapat

perusahaan, pidato kenegaraan, wawancara pekerjaan, sekolah, kelas, dan sebagainya, di mana penutur berbahasa menggunakan bahasa standar atau baku. b. Situasi Informal

Jenis situasi ini memungkinkan kebebasan partisipan atau penutur untuk menggunakan berbagai variasi bahasa yang diinginkan dalam percakapan. Biasanya penutur menggunakan variasi bahasa non-standar untuk membuat suasana lebih akrab.

Tingkat keformalan interaksi antara penutur dan mitra tutur merupakan faktor yang juga menentukan pilihan bahasa yang digunakan dalam


(59)

kepala sekolah dengan staf administrasinya, bahasa yang digunakan adalah bahasa formal. Sebaliknya, dalam sebuah interaksi obrolan pertemanan, bahasa yang digunakan menggunakan bahasa percakapan sehari-hari yang tidak formal. Dengan demikian formal dan tidak formalnya interaksi antara penutur dan mitra tutur akan berpengaruh terhadap strategi penutur dalam kegiatan komunikasinya.

Holmes (dalam Rusminto, 2010:54) memberikan gambaran tingkat keformalan hubungan antara penutur dan mitra tutur berkaitan dengan pilihan penggunaan bahasa sebagai berikut.

Formal Formalitas Tinggi

Informal Formalitas Rendah

Gambar 3. Skala Formalitas

Gambar 3. menjelaskan bahwa semakin formal interaksi yang dilakukan penutur dan mitra tutur, semakin tinggi tingkat formalitas bahasa yang digunakan. Hal sebaliknya, semakin tidak formal interaksi yang terjadi antara penutur dan mitra tutur akan semakin rendah tingkat keformalan bahasa yang digunakan.

4. Skala Fungsi Afektif dan Referensial

Sebagai produk budaya, bahasa merupakan sistem mediasi yang memiliki banyak fungsi. Holmes (dalam Rusminto, 2010:54) menyatakan bahwa bahasa tidak hanya dapat menyampaikan informasi objektif yang mengandung makna referensial tetapi juga dapat mengekspresikan perasaan seseorang.


(60)

Muatan informasi yang disampaikan sebuah tuturan cenderung berbanding terbalik dengan muatan ekspresi perasaan penuturnya. Pada umumnya, sebuah interaksi yang lebih berorientasi kepada informasi referensial biasanya lebih sedikit mengekspresikan perasaan penuturnya. Sebaliknya, sebuah interaksi yang lebih banyak berorientasi kepada ekspresi perasaan penuturnya cenderung mengandung sedikit informasi baru untuk dikomunikasikan kepada mitra tutur.Holmes menggambarkan dimensi skala afektif dan referensial tersebut sebagai berikut.

Referensial

Tinggi Rendah

Informasi Informasi

Isi Isi

Afektive

Rendah Tinggi

Afektif Afektif

Isi Isi

Gambar 4. Skala Fungsi Afektif dan Referensial Gambar 4. menunjukkan bahwa semakin tinggi muatan informasi referensial sebuah tuturan, semakin rendah muatan afektifnya. Sebaliknya semakin tinggi muatan afektif suatu tuturan, akan semakin rendah muatan informasi referensialnya.


(61)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penulis menggunakan metode kualitatif-deskriptif di dalam penelitian ini, di mana akan dibuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data yang

diteliti. Sukmadinata dalam Djajasudarma (2012: 16) menyatakan bahwa penelitian deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada. Selanjutnya, metode penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang sedang diteliti sesuai dengan sifat-sifat alamiah data itu sendiri.

Metode deskriptif yang dipilih karena penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas tentang objek yang diteliti secara alamiah. Selain itu, metode kualitatif digunakan untuk mengembangkan teori yang dibangun melalui data yang diperoleh dari lapangan, dengan metode kualitatif penulis melakukan penjelajahan, melakukan pengumpulan data dan selanjutnya diverifikasi.

Di dalam mengamati interaksi kelas penulis mengamati dan merekam tuturan-tuturan yang diujarkan oleh guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa dalam kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia.


(1)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang aspek sosial dalam wacana interaksi kelas pada pembelajaran bahasa Indonesia di kelas X IPA-1, SMA Sugar Group, Lampung Tengah tahun pelajaran 2013/2014 yang menelaah aspek sosial dalam tuturan wacana interaksi kelas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Wujud tuturan interaksi antara guru dengan murid dan murid dengan murid yang terjadi dalam wacana interaksi kelas cenderung menggunakan tuturan langsung. Hal ini dilatarbelakangi konteks tuturan adalah kelas yang lebih menuntut situasi tutur yang formal dan partisipan interaksi tutur sudah saling mengenal.

2. Aspek sosial yang melatarbelakangi dan memengaruhi tuturan dalam wacana interaksi kelas meliputi aspek jarak sosial, aspek status sosial, aspek skala formalitas, dan aspek skala fungsi afektif dan referensial.

a. Pada aspek skala jarak sosial ditemukan tiga skala jarak sosial yang melatarbelakangi peristiwa tutur dalam interaksi kelas, yaitu (1) aspek sosial mitra tutur dengan skala hubungan sangat dekat yang terjadi pada peristiwa tutur oleh penutur dan mitra tutur karena antarsiswa yang tinggal satu blok perumahan, atau berlatar kedudukan/ jabatan orang tua tidak


(2)

104 


sekolah asal maupun karena latar pertemanan dan persamaan jenis kelamin, (2) pada aspek jarak sosial skala hubungan cukup dekat ditemukan pada interaksi siswa dengan siswa dengan latar belakang kedudukan /jabatan orang tua di perusahaan berbeda, bertempat tinggal satu lokasi perumahan, sudah saling mengenal namun berasal dari sekolah asal yang berbeda. (3) sedangkan aspek jarak sosial skala hubungan cukup jauh ditemukan pada interkasi kelas antara siswa dengan siswa dengan latar kedudukan /jabatan orang tua yang cukup jauh berbeda tingktannya, tidak berasal dari lokasi perumahan perusahaan yang sama, tidak berasal dari sekolah asal yang sama dan karena perbedaan jenis kelamin, dan pada interaksi antara guru dan siswa dalam situasi tutur yang lebih formal. Dalam konteks wacana interaksi kelas ini tidak ditemukan aspek sosial mitra tutur dengan skala hubungan sangat jauh, dikarenakan dalam konteks ini adalah konteks interaksi guru dengan siswa dan siswa dengan siswa adalah partisipan penutur yang sudah saling kenal.

b. Pada aspek status sosial ditemukan skala status sosial tinggi dan skala status sosial rendah. Ditemukan dua aspek yang menentukan jenis skala status sosial pada interaksi kelas ini, yakni kedudukan sosial yang dilatarbelakangi status; antara guru dan siswa dan siswa dengan siswa berbeda karena kedudukan / jabatan orang tua siswa di perusahaan, dan status sosial yang ditentukan oleh kekuasaan kepemilikan atas sesuatu. Ditemukan skala status sosial tinggi pada penutur siswa dengan latar karena kedudukan / jabatan orang tua di perusahaan lebih tinggi dari kedudukan orangtua siswa lawan tuturnya, semisal tuturan siswa anak


(3)

seorang manajer menunjukkan status yang lebih tinggi kepada mitra tutur anak karyawan biasa.

c. Pada aspek skala formalitas ditemukan skala formalitas dan skala formalitas rendah. Skala formalitas tinggi ditemukan pada wacana interaksi kelas oleh guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa pada situasi tutur yang melibatkan partisipan lebih banyak atau tuturan yang bertujuan agar diketahui anggota kelas. Contoh guru menjelaskan kepada beberapa atau semua siswa di kelas. Selain itu, skala formalitas tinggi juga ditemukan pada situasi tutur siswa dengan siswa dengan skala hubungan sosialnya cukup jauh, tidak terlalu mengenal sehingga lebih mengedepankan aspek formalitas interaksi komunikasinya.

Wacana interaksi kelas dengan skala formalitas rendah ditemukan pada peristiwa tutur yang terjadi antara siswa dengan siswa denga skala

hubungan sangat dekat dan cukup dekat serta pada peristiwa tutur dengan topik pembicaraan selain topik pelajaran.

d. Pada aspek sosial fungsi afektif dan referensial ditemukan skala afektif tinggi pada konteks tuturan interaksi kelas dengan topik tuturan bebas, tidak berkaitan dengan topik pembelajaran kelas dan pada konteks tuturan ini skala referensialnya rendah.

Sebaliknya, skala fungsi afektif rendah dan skala fungsi referensial tinggi terjadi pada konteks tuturan interaksi kelas dengan topik tuturan yang berkaitan dengan pelajaran.


(4)

106 


5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disajikan di atas, penulis sarankan hal-hal sebagai berikut.

1. Bagi peneliti berikutnya, jangkauan penelitian ini dapat diperluas. Dalam hal ini, peneliti berikutnya perlu melakukan penelitian sejenis dengan latar, subjek, dan masalah yang lebih luas sehingga jangkauan wawasan penelitian ini semakin luas dan mantap.

2. Bagi pendidik, hasil penelitian ini yaitu aspek sosial dalam wacana interaksi kelas pada pembelajaran bahasa Indonesia dapat dijadikan masukan yang positif. Dalam hal ini, pendidik dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan pembelajaran di kelas sebagai salah satu upaya pencapaian tujuan pembelajaran. Dengan demikian, pendidik dapat mencermatai aspek-aspek sosial dalam interaksi kelas secara baik untuk menciptakan budaya komunikasi yang lebih efektif sehingga tercipta hubungan saling kerja sama, saling mengerti dan memahami, dan terwujudnya situasi pembelajaran yang efektif dan kondusif.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Gillian dan George Yule. 1983. Analisis Wacana. Diterjemahkan oleh I. Soetikno. 1996. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Chaer, A., dan Agustina L. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Depdiknas. 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Djajasudarma, Fatimah. 2012. Wacana. Bandung: PT Refika Aditama

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.

Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1985. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Diterjemahkan oleh Asruddin Barori Tou. 1992. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007.Pengantar (Metode) Penelitian

Bahasa.Yogyakarta: Carasvatibooks.

Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia.

Leech, Geoffrey N (M.D.D. Oka Penerjemah). 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Indrawati, Sri. 2003. Pola Pertukaran dalam Wacana Interaksi Kelas. Lingua: Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol.5, No. 1 Desember 2003.

Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Phillips. 2007. Analisis Wacana. Teori & Metode. (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jumadi. 2005.Representasi Kekuasaan dalam Wacana Kelas. Jakarta:Depdiknas. Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung;

PT. Remaja Rosdakarya

Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi, Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana


(6)

108 


Nababan, P.W..J. 1993. Sosiolinguistik Pengantar Awal. Jakarta : Gramedia. Parera, J.D., 2004, Teori Semantik, Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta

Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Purnomo, Mulyadi Eko. 2003. Analisis Wacana Kritis dan Penerapannya. Lingua: Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol.5, No. 1 Desember 2003. Rusminto, Nurlaksana Eko. 2010. Memahami Bahasa Anak-anak.

Bandarlampung: Penerbit Universitas Lampung.

Santoso, Anang. 2002. “Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Wacana Politik”. Disertasi. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Sinar, Tengku Silvana. 2008. Teori dan Analisis Wacana. Pendekatan Sistemik

Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media, Suatu Prngantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfa Beta.

Suharsimi, Arikunto. 1999. Prosedur Penelitian “Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi IV, Jakarta: Rineka Cipta.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

Yule, George. 1996. Pragmatik. Diterjemahkan oleh Indah Fajar Wahyuni. 2006. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.