KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI LAHAN BASAH RAWA BUJUNG RAMAN DESA BUJUNG DEWA KECAMATAN PAGAR DEWA KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT

(1)

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI LAHAN BASAH RAWA BUJUNG RAMAN DESA BUJUNG DEWA KECAMATAN PAGAR DEWA

KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT

Oleh

Bondan Pergola

Skripsi

sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

SARJANA KEHUTANAN

pada

Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI LAHAN BASAH RAWA BUJUNG RAMAN DESA BUJUNG DEWA KECAMATAN PAGAR DEWA

KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT OLEH

BONDAN PERGOLA

Lahan basah telah mengalami banyak perubahan dan menjadi tipe habitat yang paling terancam kelestariannya. Mengingat pentingnya lahan basah bagi kehidupan burung-burung maka perlu dilakukan upaya-upaya konservasi. Kawasan Lahan Basah Tulang Bawang Barat merupakan salah satu daerah penting bagi keberadaan burung terutama burung-burung yang dilindungi. Keanekaragaman spesies burung yang dilindungi di kawasan tersebut yang menjadi dasar penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung yang terdapat di rawa Bujung Raman dan mengetahui jenis-jenis burung yang dilindungi menurut Peraturan Perundangan-undangan Nomor 7 Tahun 1999, berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List serta kategori berdasarkan CITES

(Convention International Trade of Endangered Species). Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kombinasi antara metode titik hitung dan metode Line Transect. Pengamatan dilakukan dengan diam pada titik tertentu kemudian mencatat perjumpaan terhadap burung, dilakukan sebanyak 6 titik hitung masing-masing 3 kali pengulangan. Data populasi yang didapat digunakan untuk menghitung indeks keanekaragaman dan indeks kesamarataan Shannon-Wienner. Dari hasil penelitian, diketahui lahan basah rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat, terdapat 66 spesies burung dengan total individu 1586 individu berasal dari 25 famili dengan 23 jenis tergolong dalam status burung dilindungi (PP No 7/99) dan Tercatat setidaknya 24 jenis satwa burung yang termasuk dalam daftar Apendiks I dan 1 jenis termasuk dalam Apendiks II CITES serta terdapat 5 jenis satwa burung yang terdaftar berdasarkan International Union for Conservation of Nature(IUCN) Red

List. Keanekaragaman jenis burung tergolong tinggi dengan indeks

keanekaragaman sebesar (3,877) serta dalam kondisi yang stabil dengan indeks kesamarataan sebesar (0,930).


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Keanekaragaman Hayati ... 8

B. Keanekaragaman Jenis ... 10

C. Burung ... ... 13

D. Habitat Burung dan Penyebarannya ... 18

E. Pergerakan Burung ... 17

F. Lahan Basah ... 20

G. Wisata Pengamatan Burung (Birdwatching)... 23

H. Konservasi Burung... 24

I. Gangguan dan Ancaman... 31

III. METODE PENELITIAN ... 33

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 33

B. Alat dan Bahan ... 33

C. Jenis Data ... 33

D. Batasan Penelitian ... 34

E. Metode Pengumpulan Data ... 34

F. Analisis Data ... 37

1. Analisis Keanekaragaman Burung ... 38

2. Analisis Indeks Kesamarataan Burung... 38


(6)

B. Kondisi Fisik Lokasi ... 41

C. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 42

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Hasil Penelitian ... 44

1. Keanekaragaman dan Kelimpahan Spesies Burung ... 44

2. Spesies Vegetasi dan Sumber Pakan ... 46

B. Pembahasan ... 47

1. Kelimpahan Spesies Burung ... 47

2. Keanekaragaman Spesies ... 50

a. Indeks Keanekaragaman ... 50

b. Indeks Kesamarataan ... 52

3. Peranan Habitat ... 53

4. Gangguan dan Ancaman... 60

5. Status Lindung ... 63

6. Upaya Konservasi ... 67

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73

LAMPIRAN

A. Deskripsi Keanekaragaman Spesies Burung ... 80-116 B. Tabel Perhitungan... 117-124 C. Gambar-gambar... 125-129


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem lahan basah berupa bentang alam khas (rawa) yang berkembang di suatu kawasan alami dan selalu tergenang secara periodik oleh air hasil limpahan dari 2 (dua) sungai, yaitu Way Kanan, Way Kiri yang bergabung menjadi Sungai Tulang Bawang. Kawasan ini dipengaruhi oleh iklim tropis dengan tipe iklim A yang terbagi menjadi 2 musim, yaitu musim penghujan antara bulan Oktober – April dan musim kemarau antara bulan Mei – September. Jenis vegetasi yang tumbuh di kawasan ini bersifat khas sebagai sebuah ekosistem rawa yang lengkap, baik rawa berhutan, rawa semak dan rawa rerumputan (Balai Konservasi Sumber Daya Alam, 2012).

Ekosistem rawa Bujung Raman merupakan habitat alami bagi berbagai jenis burung penetap dan tempat persinggahan burung-burung migrasi (burung-burung pendatang). Kehadiran berbagai jenis burung tersebut menunjukan habitat tersebut sesuai untuk kehidupannya. Secara teori, keanekaragaman jenis burung mencerminkan tingginya keanekaragaman hayati dan hidupan liar lainnya, Artinya burung merupakan salah satu indikator kualitas suatu habitat.


(8)

Habitat bagi satwa liar secara umum berfungsi sebagai tempat untuk mencari makan, minum, istirahat dan berkembang biak. Dari fungsi tersebut, maka keanekaragaman jenis burung juga berkaitan erat dengan keanekaragaman tipe habitat (Alikodra, 1980).

Burung adalah salah satu jenis satwa yang sangat terpengaruh keberadaannya akibat alih guna lahan hutan, terutama pada lahan basah seperti rawa. Hilangnya vegetasi, akan menyebabkan hilangnya tempat bersarang, berlindung dan mencari makan berbagai jenis burung. Sementara, burung memiliki peran penting dalam ekosistem antara lain sebagai penyerbuk, pemencar biji, pengendali hama serta burung seringkali digemari oleh sebagian orang karena suara dan keindahan bulunya. Burung juga dapat dipergunakan sebagai sumber plasma nuftah, sebagai obyek penelitian, pendidikan dan rekreasi, serta mempunyai manfaat yang besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem karena perannya di dalam rantai makanan (Hernowo dan Prasetyo, 1989).

Saat ini gangguan manusia terhadap ekosistem rawa sukar dibatasi. Ancaman terhadap habitat dan kelestarian burung di Rawa Bujung Raman perlu mendapatkan perhatian. Untuk itu perlu adanya upaya konservasi untuk menjaga kelestarian satwa tersebut dari kepunahan. Akan tetapi, hingga saat ini data dan informasi mengenai keanekaragaman jenis burung di kawasan tersebut sangat terbatas. Untuk mengetahui hal tersebut harus dilakukan suatu penelitian. Penelitian mengenai keanekaragaman jenis burung di lahan basah rawa Bujung Raman dapat menjadi salah satu dasar ilmiah sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam pengelolaan kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi.


(9)

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana jumlah spesies burung, jumlah famili, jumlah total spesies individu dan spesies burung yang dilindungi menurut Peraturan Perundangan No.7 tahun 1999, berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List serta kategori berdasarkan CITES (konvensi internasional untuk perdagangan satwa yang terancam punah) di lahan basah Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat?

2. Bagaimana tingkat keanekaragaman jenis burung berdasarkan Indeks

Keanekaragaman Shannon Wienner dan Indeks Kemerataan di lahan basah Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui jumlah spesies burung, jumlah famili, jumlah total spesies individu dan spesies burung yang dilindungi menurut Peraturan Perundangan No. 7 tahun 1999, berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List serta kategori berdasarkan CITES (konvensi internasional untuk perdagangan satwa yang terancam punah) di lahan basah Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat.

2. Mengetahui tingkat keanekaragaman jenis burung berdasarkan Indeks


(10)

Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian di lahan basah Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat diharapkan dapat menjadi, sebagai berikut:

1. Sumber informasi tentang keanekaragaman burung. 2. Dasar ilmiah bagi pelestarian dan perlindungan burung.

3. Pertimbangan pemerintah dalam pengelolaan lahan tersebut sebagai kawasan Wisata Pengamatan Burung (Birdwatching).

E. Kerangka Pemikiran

Lahan basah merupakan salah satu habitat burung yang semakin terancam keberadaannya akibat konversi lahan dan aktivitas manusia. Kehadiran kompleks perumahan dan tambak adalah sebagian contoh dari penggunaan lahan basah. Namun disisi lain, pola pengelolaan yang semena-mena tanpa menghirau- kan kaidah lingkungan telah menimbulkan dampak negatif bagi satwa di dalamnya khususnya burung.

Menurunnya kualitas dan hilangnya habitat merupakan faktor utama yang mempercepat proses kepunahan burung. Selain itu, maraknya perdagangan ilegal mengakibatkan populasi burung makin menurun. Upaya konservasi perlu dilaku-kan di areal tempat hidup berbagai macam satwa, terutama sebagian jenis burung.


(11)

Rawa Bujung Raman merupakan salah satu habitat burung, khususnya burung air yang masih tersisa di Provinsi Lampung. Rawa Bujung Raman terletak di Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat. Areal ini perlu menjadi perhatian, bukan tidak mungkin untuk beberapa tahun kedepan apabila kawasan ini tidak ada upaya konservasi maka burung dan habitatnya akan hilang. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung dan spesies burung yang dilindungi menurut Peraturan Perundangan No. 7 tahun 1999, berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List serta kategori berdasarkan CITES

(konvensi internasional untuk perdagangan satwa yang terancam punah) yang ada di rawa Bujung Raman.

Metode yang digunakan untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi jenis burung adalah kombinasi antara metode titik hitung (Point Count) atau IPA (Indices Ponctuele d’Abundance – Indeks Kelimpahan pada Titik) dan metode (transect) jalur (Bibby, Jones dan Marsden, 2000). Menggunakan metode kombinasi diharapkan mendapatkan data lebih lengkap spesies burung dibandingkan hanya menggunakan salah satu metode saja. Pelaksanaan pengamatan dilakukan dengan diam pada titik tertentu kemudian mencatat perjumpaan terhadap burung. Dalam pengamatan ini digunakan enam titik hitung (Point Count). Seluruh titik tersebut berada dalam jalur transect yang panjangnya 1.800 meter dengan radius pengamatan sejauh mata memandang serta jarak antar titik hitung (Point Count) + 300 meter. Rentang waktu pengamatan dilakukan selama +25 menit, 15 menit untuk pengamatan di setiap titik dan 10 menit adalah waktu untuk berjalan ke titik pengamatan selanjutnya. Setiap jenis


(12)

burung yang dijumpai pada setiap titik dalam jalur pengamatan dicatat dengan segala bentuk aktivitasnya. Penelitian ini dilakukanpada pagi hari pukul (06.00-09.00 WIB) dan sore hari pukul (15.00-18.00 WIB). Data yang didapat dianalisis berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon Wienner dan Indeks Kemerataan serta analisi deskriptif. Secara umum kerangka penelitian disajikan dalam bentuk bagan alir dapat dilihat pada (Gambar 1).


(13)

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran. Lahan Basah

Penelitian

RAWA BUJUNG RAMAN DESA BUJUNG DEWA

Penelitian

Keanekaragaman Spesies Burung

Metode Kombinasi Transect jalur dan Titik Hitung (Point Count) atau (IPA)

6 Point Count/Stasiun

Pengamatan

Indeks Keanekaragaman Shannon-winner Indeks Kemerataan

Indeks similirity .

Total spesies Total family Total individu Rentan ancaman

Gangguan Habitat

Konversi Lahan & Aktivitas Manusia

Upaya konservasi

Habitat dan Satwa Spesies Burung Data Spesies Burung

Terbatas

PP No. 7 /99

CITES IUCN

BAPI

MIGRANT.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman diantara makhluk hidup dari semua sumber termasuk diantaranya daratan, lautan dan sistem akuatik lainnya

serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari

keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antar spesies dan ekosistem (Sujatnika, Jepson, Soeharto, Crosby dan Mardiastuti, 1995; Wibowo, 2005).

Keanekaragaman hayati yang dikandung sumberdaya hutan dan perairan di Indonesia termasuk sangat tinggi dan sebagian bersifat endemik, sehingga Indonesia disebut sebagai negara megabiodiversity. Berdasarkan hasil-hasil penelitian, keanekaragaman hayati Indonesia terdiri dari: mamalia 515 spesies (12 % dari jenis mamalia dunia), reptilia 511 jenis (7,3 % dari jenis reptilia dunia), burung 1.531 jenis (17 % dari jenis burung dunia), ampibi 270 jenis, binatang tak bertulang belakang 2.827 jenis dan tumbuhan sebanyak ± 38.000 jenis, diantaranya 1.260 jenis yang bernilai medis (fitofarmaka) (Departemen Kehutanan, 2005).

Sampai dengan akhir tahun 2005, Kementrian Kehutanan telah menetapkan spesies flora dan fauna yang dilindungi antara lain: mamalia (127 spesies), burung


(15)

(382 spesies), reptilia (31 spesies), ikan (9 spesies), serangga (20 spesies), krustasea (2 spesies), anthozoa (1 spesies) dan bivalvia (12 spesies) (Departemen Kehutanan, 2005).

Keanekaragaman memiliki nilai-nilai lingkungan, budaya dan sosial yang penting. Kenekaragaman hayati adalah semua kehidupan di atas bumi ini baik tumbuhan, hewan, jamur, mikroorganisme dan berbagai materi genetik yang dikandungnya serta kenekaragaman sistem ekologi dimana mereka hidup (Baiquni, 2007).

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki keanekaragaman hayati sangat besar dan menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati dunia. Secara global Indonesia termasuk dalam tiga besar negara dengan keanekaragaman hayati terbesar (megadiversity countries), bersama dengan Brazil dan Zaire. Sekitar 17% dari total jenis burung di dunia dapat di jumpai di Indonesia (1.531 jenis), dengan jumlah 381 jenis diantaranya merupakan jenis burung endemik (Andono, 2004; Desmawati, 2010). Sekitar 583 jenis tercatat mendiami pulau sumatera, dengan 438 jenis (75%) merupakan jenis yang berbiak di Sumatera (Andrew, 1992; Natarino, 2010).

Indonesia dikenal sangat kaya akan keanekaragaman hayatinya, baik di darat maupun di laut. Secara biogeografi, kawasan Indonesia berada dalam kawasan Malesia (kawasan Asia Tenggara sampai dengan Papua sebelah barat) dengan dua pusat keanekaragaman yaitu Borneo dan Papua serta tingkat endemisitas yang sangat tinggi dan habitat yang unik. Sebagai contoh, di kawasan Papua, tingkat endemisitas flora mencapai sekitar 60 - 70%. Antara dua pusat keragaman tersebut, terdapat kawasan transisi yang berada di Selat Makasar (Wallace’s line)


(16)

dimana dapat ditemukan flora ecotype (Utama, 2011). Sumber daya hutan adalah aset yang harus dikelola secara maksimal dan lestari sesuai dengan fungsinya (Darusman, 1992; Utama, 2011).

Indonesia terletak di daerah tropik sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan daerah subtropik (iklim sedang) dan kutub (iklim kutub). Tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia ini terlihat dari berbagai macam ekosistem yang ada di Indonesia, seperti: ekosistem pantai, ekosistem hutan bakau, ekosistem padang rumput, ekosistem hutan hujan tropis,ekosistem air tawar, ekosistem air laut, ekosistem savanna dan lain-lain. Masing-masing ekosistem ini memiliki keaneragaman hayati tersendiri (Narisa, 2010; Handari, 2012).

B. Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman burung dapat didefinisikan sebagai jumlah jenis burung beserta kelimpahannya masing-masing di suatu area. Sukmantoro dan Irham, (2007) dan Zulfan, (2009) membuat daftar burung Indonesia dan telah mencatat 1.598 jenis burung untuk wilayah Indonesia. Dari jumlah tersebut, 372 jenis (23,28 %) diantaranya adalah jenis burung endemik dan 149 jenis (9,32 %) adalah burung migran.

Pengukuran keanekaragaman jenis (diversity) dipergunakan untuk membanding- kan komposisi jenis dari ekosistem yang berbeda, misalnya perbandingan antara masyarakat mamalia kecil dari dua kawasan, perbedaan masyarakat burung di dalam dua macam hutan, atau jenis-jenis intevertebrata sebelum dan sesudah


(17)

adanya proyek yang mengubah keadaan aliran sungai (Alikodra, 2002; Syafrudin, 2011).

Pada tingkat yang paling sederhana, keanekaragaman spesies didefinisikan sebagai jumlah spesies yang ditemukan dalam komunitas (Primack, Supriatna dan Indrawan, 2007; Syafrudin, 2011). Keanekaragaman dibedakan atas tiga ukuran meliputi kekayaan jenis (species richness), keanekaragaman jenis (diversity), dan kemerataan jenis (evenness). Pada umumnya kekayaan jenis dibuat dalam indeks keanekaragaman. Menurut (Bibby, Jones dan Marsden , 2000; Syafrudin, 2011), semakin tinggi indeks keanekaragaman jenis maka semakin tinggi pula jumlah jenis dan kesamarataan populasinya. Akan tetapi, bisa terjadi bahwa komunitas burung yang kekayaan jenisnya lebih tinggi dan kesamarataannya lebih rendah memiliki indeks keanekaragaman yang sama dengan komunitas yang keanekaragamannya yang lebih rendah dan kesamarataannya tinggi.

Tingginya keanekaragaman burung di Indonesia tidak lepas dari keberadaan Indonesia yang merupakan rangkaian 17.000 pulau yang membentang sepanjang katulistiwa dan diapit oleh benua Asia dan Australia sehingga memiliki penyebaran jenis burung dari subregion Sunda yang terdiri dari Pulau Sumatra, Jawa, Bali dan Pulau Kalimantan; subregion Australo Papua yang terdiri dari kepulauan Kai, Aru dan Papua; dan subregion Wallacea yang terdiri dari pulau Sulawesi, kepulauan maluku dan Nusa Tenggara (Mac Kinnon, Philipps dan Van Balen, 1998; Natarino, 2010). Selain itu adanya variasi tipe habitat seperti hutan hujan rendah, hutan mangrove, hutan karangas, hutan rawa, hutan musim, savana


(18)

dan lain-lain turut mendukung keberadaan komunitas burung yang beragam dan memiliki keendemikan yang tinggi (Purwanto, 2002; Natarino, 2010).

Keanekaragaman jenis burung berbeda pada setiap habitat, tergantung kondisi lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. (Syafrudin, 2011) menyebutkan bahwa ada enam faktor yang saling berkaitan yang menentukan naik turunnya keanekaragaman jenis suatu komunitas yaitu: waktu, heterogenitas, ruang, persaingan, pemangsaan, dan kestabilan lingkungan dan produktivitas.

Menurut (Syafrudin, 2011), kelimpahan dapat dinyatakan sebagai jumlah organisme per unit area (kepadatan absolut), atau sebagai kepadatan relatif yaitu kepadatan dari satu populasi terhadap populasi lainnya. Kelimpahan relatif adalah perbandingan kelimpahan individu tiap jenis terhadap kelimpahan (jumlah) seluruh individu dalam suatu komunitas.

Keseluruhan keragaman kekayaan spesies nusantara menempati beragam tipe ekosistem, mulai dari ekosistem dataran rendah sampai pegunungan, mulai dari hutan savana kering sampai pada hutan basah, mulai dari ekosistem laut sampai pada ekosistem pesisir/pantai dan karang. Para ahli biologi memandang bahwa keanekaragaman spesies dengan tingkat endemisme tinggi seperti dimiliki Indonesia ditentukan oleh faktor-faktor, seperti ukuran pulau. Semakin besar pulau maka semakin banyak pula spesies yang dimiliki. Ketinggian tempat dan habitat, kelimpahan spesies akan semakin rendah bila semakin bertambah ketinggian tempat. Lokasi geografi di Indonesia dibagi menjadi dua wilayah yakni Indo-Malaya dan Indo-Australia, masing-masing memiliki kekayaan spesies dengan keasliannya yang berbeda (Muntasib dan Masy’ud, 2003).


(19)

Menurut Pangesti (2009) dan Handari (2012) Indonesia memliki keanekaraga-man 1.530 spesies jenis burung tersebar di 7 (tujuh) wilayah zoogeografi. Wilayah tersebut ialah Sumatera (6.000 spesies), Jawa (498 spesies), Sulawesi (380 spesies), Kalimantan (479 spesies), Maluku (344 spesies), Nusa Tenggara (398 spesies), dan Irian Jaya (647 spesies). Pengelompokkan jenis burung didasarkan pada tipe habitat terbagi menjadi tiga kelompok (Mackinnon dkk., 1998) yaitu burung merandai, burung pantai dan burung terestial.

C. Burung

Burung adalah salah satu makhluk yang mengagumkan. Berabad-abad burung menjadi sumber inspirasi dan memberikan kesenangan kepada masyarakat Indonesia karena keindahan suara dan bulunya. Burung juga meru-pakan indikator yang sangat baik untuk kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati lainnya.

Burung merupakan plasma nutfah yang memiliki keunikan dan nilai yang tinggi baik nilai ekologi, ilmu pengetahuan, wisata dan budaya (Bibby, Neil, Burgess dan David, 2004; Desmawati, 2010). Menurut McNaughton dan Larry (1990) dan Desmawati (2010) spesies-spesies burung akan dapat berinteraksi satu dengan yang lain dan terdistribusi pada komunitasnya.

Interaksi dalam komunitas burung dapat mempengaruhi ekosistem pada satu daerah. Lebih lanjut, Bibby, Neil, Burges dan David (2004) dan Desmawati (2010) menerangkan bahwa penelitian tentang burung merupakan hal yang sangat penting karena burung bersifat dinamis dan mampu menjadi indikator perubahan


(20)

lingkungan yang terjadi pada tempat burung tersebut berada. Hal ini dikarenakan burung merupakan vertebrata yang mudah terlihat secara umum, mudah diidentifikasi, dengan persebaran yang luas, namun dalam pengelolan dan konservasinya cenderung tidak banyak dilakukan di wilayah yang kelimpahan burungnya tinggi termasuk Indonesia.

Burung juga salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari keberadaan dan penyebarannya dapat secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat diamati dari tipe habitat yang dihuni oleh burung, sedangkan secara vertikal dari stratifikasi profil hutan yang dimanfaatkan. Keberadaan jenis burung dapat dibedakan menurut perbedaan strata, yaitu semak, strata antara semak, pohon dan strata tajuk. Setiap jenis strata mempunyai kemampuan untuk mendukung kehidupan jenis-jenis burung. Penyebaran vertikal terbagi dalam kelompok burung penghuni atas tajuk dan kelompok burung pemakan buah (Fachrul, 2007).

Burung merupakan salah satu diantara lima kelas hewan bertulang belakang, burung berdarah panas dan berkembang biak dengan bertelur, sisik berubah menjadi bulu. Tubuhnya tertutup bulu dan memiliki bermacam-macam adaptasi untuk terbang (Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna, 1989; Rohadi, 2011).

Klasifikasi ilmiah burung menurut (Brotowidjoyo, 1989; Rohadi, 2011) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata


(21)

Burung merupakan kelompok terbesar vertebrata yang banyak dikenal, diperkirakan ada sekitar 8.600 jenis yang tersebar di dunia. Burung berdarah panas seperti binatang menyusui, tetapi sebenarnya lebih berkerabat dengan reptil yang mulai berevolusi sekitar 135 juta tahun yang lalu. Semua jenis burung dianggap berasal dari sesuatu yang mirip dengan fosil burung yang pertama yaitu

Archaeopteryx.

Burung berkembang dari sejenis reptil di masa lalu yang memendek cakar depannya dan tumbuh bulu-bulu yang khusus di badannya. Pada awalnya sayap primitif yang merupakan perkembangan dari cakar depan itu belum dapat digunakan untuk sungguh-sungguh terbang d an hanya membantunya untuk bisa melayang dari suatu ketinggian ke tempat yang lebih rendah.

D. Habitat Burung dan Penyebaran Burung

Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembang biakan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Habitat memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme (Irwanto, 2006; Handari, 2012). Habitat adalah tempat suatu makhluk hidup atau tempat dimana organisme ditemukan atau melakukan siklus hidup (Odum, 1971; Zulfan, 2009).

Habitat memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme. Kapasitas optimum habitat untuk mendukung populasi suatu organisme disebut daya dukung habitat.


(22)

Satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Habitat yang sesuai bagi satu jenis satwa liar tertentu belum tentu sesuai untuk jenis lainnya karena setiap jenis satwa liar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda. Burung sebagai salah satu komponen ekosistem hutan, dimana kehadirannya dalam ekosistem hutan memiliki arti penting bagi kelangsungan siklus kehidupan dalam hutan tersebut. Burung memerlukan tempat atau ruang yang digunakan untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain dan tempat berkembang biak.

Secara umum untuk mendukung kehidupan satwa liar diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik makanan, air, udara bersih, tempat berlindung, berkembang biak, maupun tempat mengasuh anak-anaknya. Kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar disebut habitat.

Habitat burung terbentang mulai dari tepi pantai hingga ke puncak gunung. Burung yang memiliki habitat khusus di tepi pantai tidak dapat hidup di pegunungan dan sebaliknya. Namun ada pula spesies burung-burung generalis yang dapat dijumpai di beberapa habitat. Misalnya burung Kutilang yang dapat dijumpai pada habitat bakau hingga pinggiran hutan dataran rendah (Suryadi, 2008; Utama, 2011).

Tipe habitat utama pada jenis burung sangat berhubungan dengan kebutuhan hidup dan aktivitas hariannya. Tipe burung terdiri dari tipe burung hutan (forest birds), burung hutan kayu terbuka (open woodland birds), burung lahan budidaya


(23)

(cultivated birds), burung pekarangan rumah (rural area birds), burung pemangsa (raptor birds) dan burung air atau perairan (water birds) (Kurnia, 2003).

Burung ditemukan di seluruh dunia dan di berbagai habitat. Mereka dapat terbang melebihi tingginya gunung tertinggi di dunia, menyelam ke dalam air hingga kedalaman 250 m (850 kaki) dan menempati tempat-tempat dengan iklim berbeda termasuk di Tundra Arktik dan Gurun Sahara (Encarta, 2008). Kehadiran suatu burung pada suatu habitat merupakan hasil pemilihan karena habitat tersebut sesuai untuk kehidupannya. Pemilihan habitat ini akan menentukan burung pada lingkungan tertentu (Partasasmita 2003; Rohadi, 2011).

Penyebaran vertikal pada jenis-jenis burung dapat dilihat dari stratifikasi ruang pada profil hutan. Berdasarkan stratifikasi profil hutan maka dapat diperoleh gambaran mengenai burung dalam memanfaatkan ruang secara vertical yang terbagi dalam kelompok burung penghuni bagian paling atas tajuk hutan, burung penghuni tajuk utama, burung penghuni tajuk pertengahan, penghuni tajuk bawah,burung penghuni semak dan lantai hutan. Selain itu juga terdapat kelompok burung yang sering menghuni batang pohon. Penyebaran jenis-jenis burung sangat dipengaruhi oleh kesesuaian tempat hidup burung, meliputi adaptasi burung terhadap lingkungan, kompetisi, strata vegetasi, ketersediaan pakan dan seleksi alam.

Beberapa spesies burung tinggal di daerah-daerah tertentu tetapi banyak spesies yang bermigrasi secara teratur dari suatu daerah ke daerah yang lain sesuai dengan perubahan musim. Jalur migrasi yang umum dilewati oleh burung yaitu bagian Utara dan Selatan bumi yang disebut Latitudinal. Pada musim panas,


(24)

burung-burung bergerak atau tinggal di daerah sedang dan daerah-daerah sub Arktik dimana terdapat tempat-tempat untuk makan dan bersarang serta kembali ke daerah tropik untuk beristirahat selama musim salju. Beberapa spesies burung melakukan migrasi altitudinal yaitu ke daerah-daerah pegunungan selama musim panas dan ini terdapat di Amerika Utara bagian Barat (Pratiwi, 2005).

E. Pergerakan Burung

Hewan dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan berpikir secara naluri dan instingtif, tetapi hewan tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh alam yang sifatnya datang secara langsung. Adaptasi hewan bersumber dari aliran-aliran informasi dari alam yang diperoleh hewan secara naluri dan instingtif (Hilmanto, 2009).

Pergerakan adalah suatu strategi dari individu ataupun populasi untuk menyesuaikan dan memanfaatkan keadaan lingkungannya agar dapat hidup dan berkembang biak secara normal. Pergerakan individu yang menyebar dari tempat tinggalnya, biasanya secara perlahan-lahan dan mencangkup wilayah yang tidak begitu luas disebut dispersal.

Ratusan jenis burung dapat ditemukan di hutan-hutan tropis, mereka menghuni hutan-hutan ini dari tepi pantai hingga ke puncak-puncak pegunungan. Burung juga ditemukan di rawa-rawa, padang rumput, pesisir pantai, tengah lautan, gua-gua batu, perkotaan dan wilayah kutub. Masing-masing jenis beradaptasi dengan lingkungan hidup dan makanan utamanya.


(25)

Salah satu bentuk pergerakan satwa liar terutama burung adalah migrasi (Alikodra, 1990). Menurut (Mackinnon dkk., 1998), migrasi adalah gerakan pindah secara musiman di antar dua wilayah geografis.

Migrasi dapat dibedakan menjadi tiga (Alikodra, 1990) yaitu :

a. Migrasi musiman adalah migrasi yang terjadi karena perubahan iklim dengan cara menurut garis lintang dan ketinggian tempat maupun secara lokal.

b. Migrasi harian biasanya disebut juga dengan pergerakan harian yang disebabkan oleh berbagai jenis satwa liar termasuk burung dalam jangka waktu 24 jam melakukan pergerakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka mempunyai tempat-tempat yang jelas untuk tempat tidur, berlindung, mencari makan dan air, dan tempat berkembang biak.

c. Migrasi perubahan bentuk adalah migrasi yang biasa terdapat pada serangga yang mempunyai beberapa tingkat kehidupan (telur-larva-stadium dewasa).

Pola pergerakan lainnya adalah nomad, yaitu pergerakan individu ataupun populasi yang tidak tetap dan sulit dikenali secara pasti. Hal ini berbeda dengan kegiatan migrasi, dimana migrasi merupakan pergerakan yang dilakukan dengan arah dan rute yang tetap mengikuti kondisi lingkungan dan akan kembali ke wilayah asalnya (Alikodra, 1990).

F. Lahan Basah

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara meliputi lahan basah alami seperti: rawa, hutan rawa, danau, sungai dan berbagai ekosistem pesisir seperti


(26)

hutan bakau dan padang lamun serta lahan basah buatan seperti sawah, tambak dan bendungan. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia (Nirarita, Wibowo, dan Padmawinata, 1996; Jamaksari, Pradma, Zulfikri, Faid, Abdul dan Tamnge, 2009).

Keberadaan lahan basah sebagai suatu ekosistem kompleks telah disadari memiliki berbagai fungsi yang sangat penting, seperti pengatur fungsi hidrologis, penghasil sumberdaya alam dan hayati hingga fungsi lahan basah sebagai habitat bagi berbagai jenis satwa liar dan tumbuhan (Sibuea, 1997; Jamaksari, 2009).

Rawa adalah salah satu contoh areal lahan basah dan merupakan salah satu kawasan yang sesuai untuk habitat burung, karena di daerah ini banyak ditumbuhi tanaman serta terdapat banyak sumber pakan untuk burung. Indonesia memiliki sekitar 1.539 spesies burung (17% dari jumlah seluruh spesies burung didunia), 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik Indonesia (Kristianto, 2010; Rohadi, 2011).

Lahan basah merupakan daerah yang mencakup berbagai jenis habitat dengan komunitas dan ekosistem, yang umumnya sangat dipengaruhi oleh keberadaan perairan di daerah atau sekitarnya. Menurut U.S. National Wetlands Inventory

(Cowardin, Carter, Golet dan Laroe, 1979;Rohadi, 2011)

Lahan basah adalah daerah peralihan antara sistem perairan dan sistem daratan. Tumbuhan yang hidup umumya adalah hidrofita, substratnya berupa tanah hidric yang tidak dikeringkan serta berupa bahan bukan tanah dan jenuh atau tertutup


(27)

dengan air dangkal pada suatu waktu selama musim pertumbuhan setiap tahun (Rahmad, 2010; Rohadi, 2011).

(Nirarita, 1996; Judih, 2006) mengelompokkan lahan basah berdasarkan letaknya menjadi lahan basah pesisir dan lahan basah daratan. Lahan basah pesisir meliputi daerah pesisir yang jenuh atau tergenang air, yang umumnya payau atau asin, baik secara tetap atau musiman, umumnya terpengaruh oleh pasang surut air laut dan kondisi laut lainnya atau limpasan air tawar. Ekosistem yang termasuk dalam kelompok ini adalah hutan bakau, daerah limpur dan pasir, muara, padang lamun, dan rawa-rawa di daerah pesisir. Lahan basah daratan meliputi daerah yang jenuh atau tergenang oleh air yang pada umumnya bersifat tawar (dapat pula asin tergantung pada faktor-faktor edafik dan sejarah geomorfoliginya) baik secara permanen maupun musiman, terletak di darat atau dikelilingi oleh daratan, dan tidak terkena pengaruh air laut. Tipe lahan basah yang termasuk kelompok ini antara lain: danau, telaga, sungai, air terjun, rawa air tawar, danau-danau musiman, kolam dan rawa yang asin di daratan.

Rawa merupakan istilah yang bermakna luas yaitu sebutan untuk semua daerah yang tergenang air baik secara musiman maupun permanen dan ditumbuhi vegetasi. Hutan rawa memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Jenis-jenis floranya antara lain: durian burung (Durio carinatus), ramin (Gonystylus sp), terentang (Camnosperma sp), kayu putih (Melaleuca sp), sagu (Metroxylon sp), rotan, pandan, palem-paleman dan berbagai jenis liana. Faunanya antara lain :harimau (Panthera tigris), Orang utan (Pongo pygmaeus), rusa (Cervus unicolor), buaya (Crocodylus porosus), babi hutan (Sus scrofa), badak, gajah,


(28)

musang air dan berbagai jenis ikan. Rawa bisa ditumbuhi oleh pohon, semak atau perdu berdaun lebar, rumput-rumputan, lumut dan lumut kerak yang menutup lebih dari 10% dari luas permukaanya. Badan air mempunyai kedalaman kurang dari dua meter. Rawa dapat dibedakan menjadi berbagai tipe tergantung dari komunitas tumbuhan yang mendominasinya (Departemen Kehutanan, 1989).

Indonesia memiliki lahan rawa berdasarkan keberadaan dan kondisi airnya, dibedakan menjadi rawa pasang surut dan diperkirakan luas keduanya mencapai 39,4 juta hektar. Rawa pasang surut meliputi rawa-rawa pesisir yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Rawa non-pasang surut, meliputi rawa-rawa pedalaman (terletak di daratan atau dikelilingi daratan), yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut sehingga umumnya berair tawar.

Dari tipe tanahnya, rawa dapat dibedakan menjadi rawa gambut dan rawa non-gambut. Selanjutnya, dapat dibedakan lagi berdasarkan fisiognomi vegetasinya menjadi rawa berhutan dan rawa tak berhutan atau lebih detil berdasarkan vegetasi yang dominan, misalnya rawa bakau, rawa nipah, dan rawa rumput.

G. Wisata Pengamatan Burung (Birdwatching)

Ekowisata adalah perjalanan ke daerah yang masih lestari dan belum mengalami kontaminasi oleh pembangunan, dengan tujuan khusus untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan alam dengan flora dan fauna serta seluruh kultural yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu kekayaan keanekaragaman jenis flora dan fauna apabila ditangani secara serius, merupakan


(29)

suatu aset dalam industri pariwisata. Salah satu bentuk ekowisata tersebut adalah Wisata Pengamatan Burung (Birdwatching) (Sudaryanto, 2006; Natarino, 2010).

Wisata pengamatan burung adalah satu manfaat nilai yang diambil dari burung (Johnson, Louis, Eliot dan Thomas, 1977; Welty, 1982;Natarino, 2010). Menurut Kurnia (2003) menyebutkan bahwa salah satu kegiatan ekoturisme di suatu kawasan adalah kegiatan wisata birdwatching atau mengamati burung pada kawasan yang memiliki potensi tinggi sebagai habitat berbagai jenis burung. Karakteristik kegiatan wisata pengamatan burung sebagai bentuk ekoturisme adalah :

1. Relatif murah (hanya memerlukan teropong atau buku panduan atau field guide).

2. Dapat dilakukan di mana saja (pada berbagai tipe habitat).

3. Dapat dilakukan oleh siapa saja (tua-muda, laki-laki dan perempuan, segala tingkat pendidikan) sehingga memiliki konsumen yang luas.

4. Meningkatkan wawasan akan lingkungan yang selanjutnya diharapkan dapat membangun dan meningkatkan semangat konservasi.

Kegiatan wisata birdwatching dilakukan dengan menggunakan jalur intrerpretasi atau rute yang disusun dan dirancang sesuai dengan kondisi kawasan tersebut. Jalur interpretasi yang biasa digunakan menurut macam sarananya adalah jalur pejalan kaki, mobil, dan sepeda. Jalur interpretasi wisata birdwatching sangat tergantung pada waktu, kondisi cuaca, dan perilaku harian burung. Kegiatan ini dapat memberikan inspirasi bagi orang yang berjiwa seni sehingga meningkatkan


(30)

kreativitas atau daya cipta mereka mengamati burung dapat menjadi suatu hobi yang memikat dan mengesankan.

H. Konservasi Burung

Konservasi sumber daya alam hayati menurut UU No. 5 tahun 1990 adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Departemen Kehutanan, 2005).

Usaha-usaha yang dimaksud dalam pengelolaannya, pada dasarnya meliputi tiga sasaran pokok, yaitu :

1. Perlindungan terhadap proses ekologi yang menunjang sistem penyangga kehidupan.

2. Pengawetan keanekaragaman sumber daya alam serta keanekaragaman plasma

nutfah.

3. Pelestarian pemanfaatan dengan maksud untuk menjamin jenis sumber daya alam dan ekosistem guna memenuhi keperluan manusia secara langsung dan tidak langsung harus dilaksanakan atas dasar kelestarian.

Konservasi adalah manajemen penggunaan biospher oleh manusia sehingga memungkinkan diperolehnya keuntungan terbesar secara lestari untuk generasi sekarang dengan tetap terpeliharanya potensi untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi yang akan datang. Konservasi sumber daya hayati mempunyai tiga tujuan, yaitu memelihara proses-proses ekologi penting dan sistem


(31)

pendukung kehidupan, melindungi keanekaragaman hayati dan yang terakhir menjamin pemanfaatan spesies dan ekosistem secara lestari (Harianto dan Setiawan, 1999).

Upaya konservasi satwa liar meliputi dua hal penting yang harus mendapat perhatian yaitu: pemanfaatan yang hati-hati dan pemanfaatan yang harmonis. Pemanfaatan yang hati-hati bearti mencegah terjadinya penurunan produktivitas, bahkan menghindarkan sama sekali terjadinya kepunahan spesies. Sedang pemanfaatan yang harmonis, bearti mempertimbangkan dan memperhitungkan kepentingan-kepengan lain, sehingga terjadi keselarasan dan keserasian dengan seluruh kegiatan baik lokal, regional maupun nasional bahkan dalam kaitannya dengan kepentingan konservasi satwaliar secara internasional (Alikodra, 1990).

Upaya – upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mencapai tujuan konservasi

meliputi, melakukan pembatasan terhadap perburuan liar, melakukan

pengendalian persaingan dan pemangsaan, pembinaan wilayah (suaka) tempat berlindung, tidur dan berkembang biak berupa taman – taman, hutan, maupun suaka margasatwa, cagar alam, taman nasional dan taman hutan raya. Melakukan pengawasan terhadap kualitas dan kuantitas lingkungan hidup satwa liar seperti ketersediaan makanan, air, perlindungan, penyakit, dan faktor – faktor lainnya. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam usaha konservasi satwa liar. Pengembangan pendayagunaan satwa liar baik untuk rekreasi berburu, obyek wisata alam ataupun penangkaran, dan yang terakhir adalah pengembangan penelitian.


(32)

Dasar hukum kegiatan penangkaran sebagai upaya konservasi ex-situ, antara lain Undang Undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

Peraturan Pemerintah PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Kegiatan penangkaran dapat dilakukan oleh lembaga konservasi baik pemerintah maupun swasta. Penangkaran burung harus mempertimbangkan jenis burung dan status kelangkaannya serta kesiapan lingkungan penangkaran, baik lingkungan biologi (Habitat Hidup Burung) maupun lingkungan fisik (seperti Kandang/Sangkar). Lingkungan dan sistem pemeliharaan mengacu kepada perilaku dan habitat alaminya. Kegiatan teknis yang dapat dilakukan penyiapan tumbuhan pelindung dan sumber pakan, pemilihan bentuk dan ukuran kandang, pengelolaan penangkaran (Pakan, Kesehatan, Sex Rasio dan Reproduksi) dan sistem pencatatan. Pengelolaan penangkaran yang baik diharapkan mampu meningkatkan populasi dan memberikan nilai tambah untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Setio, 2007).

Pengawetan adalah upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah (Peraturan Pemerintah PP No. 7, 1999). Tumbuhan dan satwa liar merupakan bagian dari sumber daya alam hayati yang dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan pemanfaatannya dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar (PP No. 8, 1999). Pemanfaatan sumber daya alam dan


(33)

sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras (UU No. 32, 2004). Berdasarkan hal tersebut di atas dan sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dipandang perlu menetapkan peraturan tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dengan Peraturan Pemerintah.

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) adalah kesepakatan internasional antar negara dalam perdagangan flora dan fauna dan bagian-bagiannya secara internasional. Tujuan kesepakatan internasional ini adalah untuk menjamin bahwa perdagangan burung secara internasional tidak akan mengancam kelestarian jenis-jenis burung yang diperdagangkan (CITES, 2012).

CITES bekerja dengan menetapkan tiga kategori jenis-jenis burung yang dapat diperdagangkan secara internasional. Ketiga kategori inilah yang kemudian dikenal dengan istilah apendiks CITES,yaitu:

1. Apendiks 1 adalah daftar seluruh jenis burung yang dilarang untuk diperdagangkan secara internasional, kecuali hasil penangkaran dan dalam keadaan tertentu yang dianggap luar biasa. Otoritas pengelola nasional (di Indonesia adalah Kementrian kehutanan cq. Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (selanjutnya cukup ditulis Dirjen PHKA.

Red.)) harus mampu menyediakan bukti bahwa ekspor jenis burung yang telah masuk dalam apendiks 1 tidak akan merugikan populasi di alam. Selain itu, DirJen PHKA juga diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki pedagang,


(34)

dan memastikan negara pengimpor dapat memelihara jenis burung tersebut dengan layak.

2. Apendiks 2 adalah daftar seluruh jenis burung yang dapat diperdagangkan secara internasional dengan pengaturan khusus, diantaranya adalah penentuan kuota tangkap atau pembatasan jumlah jenis dan individu burung yang dapat dipanen/ditangkap dari alam/habitatnya/tempat hidupnya. Dirjen PHKA harus menyediakan bukti bahwa ekspor jenis burung yang telah masuk dalam

apendiks 2 tidak merugikan populasi di alam. Apendiks 2 juga berisi daftar jenis-jenis burung yang dianggap memiliki kenampakan yang mirip dengan jenis-jenis yang ada dalam apendiks 1 karena dikhawatirkan dapat terjadi kekeliruan.

3. Apendiks 3 adalah daftar seluruh jenis burung yang dilindungi di negara tertentu (dalam batas-batas kawasan habitat atau tempat hidupnya), dan dapat dinaikkan peringkatnya ke dalam Apendiks 2 atau Apendiks 1. Jenis burung yang dimasukkan ke dalam Apendiks 3 adalah jenis burung yang diusulkan oleh salah satu negara anggota guna meminta bantuan negara-negara lain yang telah menjadi anggota CITES untuk membantu mengatur perdagangannya. Semua negara anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan terhadap jenis-jenis burung yang ada dalam apendiks 3 dengan izin ekspor yang sesuai dan menggunakan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin


(35)

Kategori Status konservasi IUCN Red List merupakan kategori yang digunakan oleh IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) dalam melakukan klasifikasi terhadap spesies-spesies berbagai makhluk hidup yang terancam kepunahan. Dari status konservasi ini kemudian

IUCN mengeluarkan IUCN Red List of Threatened Species atau disingkat IUCN Red List, yaitu daftar status kelangkaan suatu spesies.

Kategori konservasi berdasarkan IUCN Redlist versi 3.1 meliputi Extinct (EX; Punah); Extinct in the Wild (EW; Punah di alam liar); Critically Endangered (CR; Kritis), Endangered (EN; Genting atau Terancam), Vulnerable (VU; Rentan),

Near Threatened (NT; Hampir Terancam), Least Concern (LC; Berisiko Rendah),

Data Deficient (DD; Informasi Kurang), dan Not Evaluated (NE; Belum dievaluasi).

1. Extinct (EX; Punah) adalah status konservasi yag diberikan kepada spesies yang terbukti (tidak ada keraguan lagi) bahwa individu terakhir spesies tersebut sudah mati. Dalam IUCN Redlist tercatat 723 hewan dan 86 tumbuhan yang berstatus Punah. Contoh satwa Indonesia yang telah punah diantaranya adalah; Harimau Jawa dan Harimau Bali.

2. Extinct in the Wild (EW; Punah di alam liar) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang hanya diketahui berada di tempat penangkaran atau di luar habitat alami mereka. Dalam IUCNRedlist tercatat 38 hewan dan 28 tumbuhan yang berstatus Extinct in the Wild.


(36)

3. Critically Endangered (CR; Kritis) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang menghadapi risiko kepunahan di waktu dekat. Dalam

IUCN Redlist tercatat 1.742 hewan dan 1.577 tumbuhan yang berstatus Kritis. Contoh satwa Indonesia yang berstatus kritis antara lain; Harimau Sumatra, Badak Jawa, Badak Sumatera, Jalak Bali, Orangutan Sumatera, Elang Jawa, Trulek Jawa, Rusa Bawean.

4. Endangered (EN; Genting atau Terancam) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu yang akan datang. Dalam IUCN Redlist tercatat 2.573 hewan dan 2.316 tumbuhan yang berstatus Terancam. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Banteng, Anoa, Mentok Rimba, Maleo, Tapir, Trenggiling, Bekantan, dan Tarsius.

5. Vulnerable (VU; Rentan) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar pada waktu yang akan datang. Dalam IUCN Redlist tercatat 4.467 hewan dan 4.607 tumbuhan yang berstatus Rentan. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Kasuari, Merak Hijau, dan Kakak Tua Maluku.

6. Near Threatened (NT; Hampir Terancam) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang mungkin berada dalam keadaan terancam atau mendekati terancam kepunahan, meski tidak masuk ke dalam status terancam. Dalam IUCN Redlist tercatat 2.574 hewan dan 1.076 tumbuhan yang berstatus Hampir Terancam. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Alap-alap Doria, Punai Sumba.


(37)

7. Least Concern (LC; Berisiko Rendah) adalah kategori IUCN yang diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi namun tidak masuk ke dalam kategori manapun. Dalam IUCN Redlist tercatat 17.535 hewan dan 1.488 tumbuhan yang berstatus Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Ayam Hutan Merah, Ayam Hutan Hijau, dan Landak.

8. Data Deficient (DD; Informasi Kurang), Sebuah takson dinyatakan

“informasi kurang” ketika informasi yang ada kurang memadai untuk

membuat perkiraan akan risiko kepunahannya berdasarkan distribusi dan status populasi. Dalam IUCN Redlist tercatat 5.813 hewan dan 735 tumbuhan yang berstatus Informasi kurang. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Punggok Papua, Todirhamphus nigrocyaneus.

9. Not Evaluated (NE; Belum dievaluasi); Sebuah takson dinyatakan “belum dievaluasi” ketika tidak dievaluasi untuk kriteria-kriteria di atas. Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Punggok Togian.

I. Gangguan dan Ancaman Terhadap Burung

Kerusakan hutan yang terjadi pada kawasan hutan di indonesia disebabkan oleh berbagai faktor yang sebagian besar dikarenakan oleh aktivitas manusia dan sebagian lainnya dikarenakan bencana alam. Pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan persediaan lahan akan mendorong terjadinya penjarahan pada kawasan hutan (Indriyanto, 2008).

Gangguan terhadap burung terbagi atas dua bentuk. Pertama gangguan langsung pada burung, yaitu gangguan pada populasi burung. Kedua gangguan tidak


(38)

langsung, yaitu gangguan atau tekanan pada habitat burung. Gangguan langsung terhadap burung yaitu dengan membunuh burung untuk bahan makanan, bulu, minyak, olahraga berburu. Sedangkan gangguan tidak langsung adalah perubahan atau modifikasi lingkungan alami oleh manusia menjadi lahan pertanian, kebun, perkotaan, jalan raya, dan industri (Welty, 1982; Utama, 2011).


(39)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah binokuler, kamera, GPS, jam

tangan, alat tulis dan buku identifikasi spesies burung “Seri Buku Panduan

Lapangan Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan” (Mac Kinnon, Philipps, dan Van Balen, 2010). Bahan yang digunakan adalah spesies burung yang ada di dalam kawasan.

C. Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder: 1. Data Primer

Data primer meliputi data-data spesies burung yang ditemui di area pengamatan burung dan kondisi vegetasinya.

2. Data Sekunder


(40)

a. Karakteristik lokasi penelitian berupa keadaan umum lokasi penelitian b. Data pendukung lainnya yang sesuai dengan topik penelitian.

D. Batasan Penelitian

Batasan dalam penelitian ini meliputi:

1. Waktu penelitian selama 6 hari merupakan waktu efektif selama pengamatan. 2. Penelitian dilakukan sesuai dengan kondisi cuaca yaitu cuaca cerah dan

mendung, apabila hujan tidak dilakukan penelitian.

3. Sampel yang digunakan adalah burung yang ditemui di kawasan pengamatan.

E. Metode Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data mengenai keanekaragaman spesies burung dapat diperoleh dengan menggunakan metode kombinasi antara metode titik hitung (Point Count) atau IPA (Indices Ponctuele d’Abundance – Indeks Kelimpahan pada Titik) dan metode (Transect) jalur (Bibby, 2000).

Pelaksanaan pengamatan dilakukan dengan diam pada titik tertentu kemudian mencatat perjumpaan terhadap burung. Parameter yang diukur yaitu jenis, jumlah, waktu, aktivitas burung dan pola penggunaan vegetasi. Dalam pengamatan menggunakan enam titik hitung (Point Count)/Stasiun pengamatan. Seluruh stasiun pengamatan tersebut berada dalam jalur transect yang panjangnya + 1.800 meter dengan radius pengamatan sejauh mata memandang serta jarak antar titik hitung (Point Count) + 300 meter. Rentang waktu pengamatan dilakukan selama + 25 menit, 15 menit untuk pengamatan disetiap


(41)

titik dan + 10 menit adalah waktu untuk berjalan ke titik pengamatan selanjutnya. Setiap jenis burung yang dijumpai pada setiap titik dalam jalur pengamatan dicatat dengan segala bentuk aktivitasnya.

+ 300 m

Jalur transect : Sepanjang jalur transect di enam vegetasi.

Gambar 2. Penempatan titik pengamatan burung menggunakan metode kombinasi antara metode titik hitung (Point Count) atau IPA (IndicesPonctuele d’Abundance – Indeks Kelimpahan pada Titik) dan metode jalur (Transect).

Pengamatan dilakukan pada pagi hari pukul 06.00 — 09.00 WIB dan pada sore hari pukul 15.00 — 18.00 WIB. Pengamatan dilakukan secara berulang sebanyak 3 kali pengulangan untuk setiap lokasi pengamatan. Perhitungan populasi dengan menghitung langsung jumlah burung yang diamati dengan data populasi tertinggi yang digunakan untuk perhitungan indeks keanekaragaman.

PC 1

PC 2

PC 3

PC 4

PC 5

PC 6


(42)

Gambar 3. Peta Lokasi Lahan Basah Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat (Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung, 2012).


(43)

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat (Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung, 2012).

2. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka. Metode ini digunakan untuk mencari, mengumpulkan dan menganalisis data penunjang yang terdapat dalam dokumen resmi yang dipakai sebagai bahan referensi.

F. Analisis Data

1. Indeks Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis dapat diketahui dengan Indeks

Keanekaragaman Jenis Shannon - Wienner yaitu dengan rumus (Krebs, 1978;Syafrudin, 2011):


(44)

Keterangan :

H' = Indeks keanekaragaman jenis

pi = Jumlah proporsi kelimpahan satwa spesies i Ln = Logaritma natural

Kriteria nilai indeks keanekaragaman Shannon – Wienner, apabila: H' ≤ 1 : keanekaragaman rendah

1< H' <3 : keanekaragaman sedang

H' ≥ 3 : keanekaragaman tinggi (Odum, 1994; Handari, 2012)

2. Indeks Kemerataan

Indeks kemerataan digunakan untuk mengetahui kemerataan setiap spesies dalam setiap komunitas yang dijumpai, dengan mengunakan rumus :

J = H’/ H max atau J = -∑Pi ln (Pi)/ ln(S)

Keterangan :

J = Indeks kemerataan

S = Jumlah spesies

Rumus ini digunakan karena nilai H’ sudah diperoleh sebelumnya sehingga lebih

mudah dalam perhitungannya. Kriteria indeks kemerataan (Daget, 1976; Solahudin, 2003) adalah sebagai berikut :

0 < J≤ 0,5 : Komunitas tertekan

0,5 < J ≤ 0,75 : Komunitas labil


(45)

3. Indeks kesamaan komunitas (Similarity index)

Dihitung dengan menggunakan rumus (Indriyanto, 2006). Hal ini untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan komposisi spesies burung berdasarkan kedua tipe hutan produksi yang diteliti.

IS = 2C/(A+B) Keterangan :

C = jumlah spesies yang sama dan terdapat pada kedua komunitas A = jumlah spesies yang dijumpai pada lokasi 1

B = jumlah spesies yang dijumpai pada lokasi 2.

4. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan dalam penggunaan habitat dan vegetasi oleh burung, ditabulasikan dan diuraikan secara deskriptif berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan.


(46)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :

1. Lahan basah rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar

Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat pada bulan Maret 2012, ditemukan 66 spesies burung dengan total-individu 1.586 individu yang berasal dari 26 famili dengan 23 jenis tergolong dalam status burung dilindungi (PP No 7/99) dan tercatat setidaknya 21 jenis satwa burung yang termasuk dalam daftar Apendiks I dan 1 jenis termasuk dalam Apendiks II CITES serta terdapat 5 jenis satwa burung yang terdaftar berdasarkan International Union for Conservation of Nature(IUCN) Red List tahun 2012.

2. Keanekaragaman jenis burung di rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat tergolong tinggi dengan indeks keanekaragaman sebesar (3,877) serta dalam kondisi yang stabil dengan indeks kesamarataan sebesar (0,930).

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saran-saran yang dapat diberikan adalah:


(47)

1. Masyarakat: memperhatikan dan menjaga lingkungan serta mengurangi aktivitas di rawa Bujung Raman.

2. Instansi pemerintah: ikut serta dan turun langsung dalam pengelolaan lahan basah rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat agar tidak terjadi perdagangan berbagai jenis burung serta konversi lahan yang berlebihan tanpa kaidah yang menyebabkan turunnya kualitas habitat .

3. Peneliti lanjutan: penelitan tentang ketersediaan pakan burung, populasi, kegiatan migrasi burung dan habitat bagi burung yang tertentu terutama burung yang terancam punah serta burung endemik yang ada di lahan basah rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

.

Alikodra, H. S. 1980. Dasar-Dasar Pembinaan Margasatwa. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Alikodra, H. S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Alikodra, H. S. 1997. Pengelolaan Satwa Liar. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Andrew, P. 1992. The Bird of Indonesia – A Checklist (Peter’s Sequence). Indonesian Ornithological Society. Jakarta.

Ayat, A. 2011. Panduan Lapangan Burung-burung Agroforest di Sumatera.

World Agroforestry Centre. Bogor.

Baiquni, H. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati.Social Economic

Environmental. Australia.

Badan Pusat Statistik Lampung. 2011. ”Data Jumlah Penduduk Provinsi

Lampung Tahun 2011”. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung. 2012. Identifikasi, Inventarisasi dan Validasi Ekosistem Esensial Lahan Basah Tulang Bawang Barat. Laporan. Tidak dipublikasikan.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung. 2012. Peta Kawasan Esensial Lahan Basah Tulang Bawang Barat. Lampung.

Bibby, C., Jones, M., dan Marsden, S. 2000. Survei Burung. SMKG Mardi Yuana. Bogor. Diakses tanggal 15 Maret 2012 pukul 18.30 Wib.

Bibby, C., Neil D., Burgess, dan David H. 2004. Bird Census Techniques. The Cambridge University Press. UK. Diakses tanggal 13 April 2012 pukul 04.30 Wib.


(49)

Brotowidjoyo, M. D. 1989. Zoologi Dasar. Erlangga. Jakarta. Animal Diversity Website. 2008. Bird Classification. http://animaldiversity.ummz.umich.edu. Diakses tanggal 11 Maret 2012 pukul 18.15 Wib.

CITES. 2012. Daftar Apendiks CITES. Kutilang Indonesia. Diakses tanggal 19 November 2012 pukul 14.30 Wib.

Daget. 1976. Kreteria Kesamarataan. http;//www.elib.pdii.lipi.go.id/ katalog/ index.php/searchkatalog/./8212/8212.p. Diakses tanggal 26 Maret 2012 pukul 19.30 Wib.

Darusman, D. 1992. Aspek Ekonomi Pengusahaan Hutan. APHI. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2005. Statistik Kehutanan Indonesia Forestry Statistics of Indonesia 2007. Departemen Kehutanan. Jakarta. http://www. dephut.go.id/informasi/statistik/2005/PKA.htm. Diakses tanggal 03 April 2012 pukul 16.30 Wib.

Desmawati, I. 2010. Studi Distribusi Jenis-Jenis Burung Dilindungi Perundang-Undangan Indonesia Di Kawasan Wonorejo, Surabaya. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya. Diakses tanggal 13 April 2012 pukul 05.30 Wib.

Departemen Kehutanan. 1989. Pedoman Pengelolaan Burung Air Langka.

Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.

Encarta. 2008. Birds Characteristic. http://encarta,msn.com. Diakses tanggal 11 Maret 2012 pukul 19.00 Wib.

Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna. 1989. Burung. PT. Intermasa. Jakarta. Diakses tanggal 17 Maret 2012 pukul 21.05 Wib.

Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.

Handari, A., Dewi, B., S., dan Darmawan, A. 2012. Keanekaragaman Jenis Burung Di Hutan Produksi Desa Gunung Sangkaran Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan. (Skripsi). Jurusan Kehutanan. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak dipublikasikan.

Harianto, S., P., dan Setiawan, A. 1999. Konservasi Sumber Daya Hutan. Suatu Pengantar. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Bandar Lampung. 128 Halaman.

Hernowo, J., B,. dan Prasetyo, L., B. 1989. Konsepsi Ruang Terbuka Hijau di Kota sebagai Pendukung Pelestarian Burung. Media Konservasi II (4), Desember 1989: 61-71.


(50)

Hilmanto, R. 2009. Sistem Local Ecological Knowledge dan Teknologi Masyarakat Lokal Pada Agroforestri. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Holmes, D., dan S. Nash. 1999. Burung-Burung di Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor.

Indryanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.

Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.

Irwanto. 2006. Perencanaan Perbaikan Habitat Satwa Liar Burung Pasca

Bencana Alam Gunung Meletus. http://irwantoshut.com/saasharefile/ perencanaan perbaikan habitat satwa liar burung pasca bencana alam gunung meletus.pdf. Diakses tanggal 14 Maret 2012 pukul 19.14 Wib.

IUCN. 2012.”IUCN Red List of Threatened Species”. (www.iucnredlist)

Jamaksari H., Pradma N., Zulfikri, Faid R., Abdul M., dan Tamnge F. 2009.

Strategi Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Rawa Danau Sebagai Habitat Burung Air. Bogor. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Diakses tanggal 12 Maret 2012 pukul 19.35 Wib.

Johnson, W.H.,Louis E.D.,Eliot C.W., dan Thomas A.C. 1977. Principles of Zoology. Holt, Rinehart and Winston. New York.

Judih. 2006. Keanekaragaman Jenis Burung Di Hutan Mangrove KPH Muara Gembong BKPH Ujung Krawang KPH Bogor Perum Perhutani. (Skripsi). Diakses tanggal 12 Maret 2012 pukul 14.30 Wib.

Kreb, CJ. 1978. Ecology: The experimental Analysis of Distribution and Abundance. Second Edition. Institute of Animal Resource Ecology. The Univercity of Britrish Columbia.

Kristianto, I. 2010. Burung Indonesia. http://www.burung org/detail

_text.php?op=articledanid=93. Diakses tanggal 13 Maret 2012 pukul 16.00 Wib.

Kurnia, I. 2003. Studi Keanekaragaman Jenis Burung Untuk Pengembangan Wisata Birdwatching di Kampus IPB Darmaga. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 137 halaman.

Laporan Tahunan Kecamatan Pagar Dewa. 2011. Sebaran Penduduk. Tidak

dipublikasikan. Lampung.

Mac Kinnon, J., Philipps, K., dan Van Balen, B. 1998. Seri Panduan Lapangan Burung-Burung Di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. LIPI. Bogor.


(51)

Mac Kinnon, J., Philipps, K., dan Van Balen, B. 2010. Seri Panduan Lapangan Burung-Burung Di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. LIPI. Bogor. McNaughton S. J., Larry L., W. 1990. Ekologi Umum. Universitas Gajah Mada

Press. Yogyakarata.

Muntasib, H. dan Masy’ud, B. 2003. Dasar-Dasar Konservasi. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Jakarta.

Narisa, C. 2010. Konsep Keanekaragaman Hayati. http://www.scribd.com/

doc/9680540/Konsep-Keanekaragaman-Hayati. Diakses 14 Maret 2012 pukul 19.20 Wib.

Natarino, A., Dewi, B. S. dan Nurcahyaningsih, N. 2010. Studi Keanekaragaman Jenis Burung Sebagai Pengembangan Potensi Wisata Birdwatching Di Wilayah Kelola Shk Lestari Tahura Wan Abdul Rahman. (Skripsi). Jurusan Kehutanan. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak dipublikasikan. Nirarita, C., E., Wibowo., dan Padmawinata. 1996. Ekosistem Lahan Basah

Indonesia: Buku Panduan Untuk Guru dan Praktisi Pendidikan. Asian Wetlands Bureau. Bogor.

Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology. Third Edition. W.B Sounders Co. Philadelpia. Diakses tanggal 12 April 2012 pukul 06.00 Wib.

Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan. Gadjah mada University Press. Yogyakarta. Diakses tanggal 12 Maret 2012 pukul 19.05 Wib.

Partasasmita, R. 2003. Ekologi Burung Pemakan Buah dan Peranannya sebagai Penyebar Biji. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Peraturan Perundang-Undangan. 1990. Menurut Undang-undang nomor 5 tahun

1990. Biro Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta. Diakses tanggal 21 Maret 2012 pukul 13.30 Wib.

Peraturan Perundang-Undangan. 1999. Lampiran Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia nomor 7 tahun 1999. Biro Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta. Diakses tanggal 21 Maret 2012 pukul 13.35 Wib.

Peraturan Perundang-Undangan. 1999. Lampiran Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia nomor 8 tahun 1999. Biro Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta. Diakses tanggal 21 Maret 2012 pukul 13.40 Wib.

Peraturan Perundang-Undangan. 2004. Menurut Undang-undang nomor 32 tahun

1990. Biro Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta. Diakses tanggal 21 Maret 2012 pukul 13.50 Wib.


(52)

Pratiwi, A. 2005. Pengamatan Burung di Resort Bama Seksi Konservasi Wilayah II Bekol dalam Upaya Reinventarisasi Potensi Jenis. Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan, Taman Nasional Baluran.

Primack R., B., Supriatna J., & Indrawan M. 2007. Biologi Konservasi Edisi Revisi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Purwanto. 2002. Studi Keanekaragaman Jenis Burung Di Areal Kelapa Sawit PTPN VII Bekri Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten Lampung Tengah.

Skripsi. Universitas Lampung. Lampung.

Rahmad. 2010. Lahan Basah Indonesia. www.peat-portal.net/view_file.

cfm?fileid=406. Diakses tanggal 11 Maret 2012 pukul 19.25 Wib.

Rohadi, D., Harianto, Sugeng P. 2011. Keanekaragaman Jenis Burung Di Rawa Universitas Lampung. Skripsi. Jurusan Kehutanan. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak dipublikasikan.

Semarang Bird. 2012. daftar.jenis@Semarang.Bird.Web. http://www.

daftar.jenis.or.id/?s. Diakses 07 Oktober 2012 pukul 19.30 wib.

Setio, P. 2007. Konservasi Ex Situ Burung Endemik Langka. PHPA/Birdlife International Indonesia Pragramme, Bogor. Diakses tanggal 12 Maret 2012 pukul 20.00 Wib.

Sibuea T. H. 1997. Konservasi Burung Air dan Lahan Basah di Indonesia. Seminar Nasional Pelestarian Burung dan Ekosistemnya dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Bogor. Pusat Antar Universitas, IPB. Diakses tanggal 12 April 2012 pukul 17.00 Wib.

Sudaryanto. 2006. Birdwatching. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Bali http://www.birdwatching.com/

diakses tanggal 17 Maret 2012 pukul 19.27 Wib.

Syafrudin, D. 2011. Keanekaragaman Jenis Burung Padabeberapa Tipe Habitat Di Tambling Wildlife Nature Conservation (TNWC). (Skripsi). Diakses tanggal 12 April 2012 pukul 01.20 Wib.

Solahudin, A. M. 2003. Keanekaragaman Jenis Burung Air di Lebak Pampangn Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan. (Skripsi). Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak dipublikasikan.

Sujatnika, Jepson, P. Soeharto, T. R. Crosby, M. dan Mardiastuti, A. 1995.

Melestarikan Keanekaragaman Hayati Indonesia : Pendekatan Burung Endemik (Conserving Indonesia Biodiversity : The Bird Area Approach). PHPA & BirdLife International Program – Indonesia Programme.Jakarta


(53)

Sukmantoro. W., Irham, M. 2007. Daftar Burung Indonesia no. 2. Indonesian

Ornothologists‟ Union. Bogor.

Suryadi, S. 2008. Mengintip Kehidupan Burung. Dalam: Blog Suer & Associate. Utama, M. T., Dewi, B. S., 2011. Keanekaragaman Jenis Burung di Hutan

Mangrove Desa Sungai Burung, Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulang Bawang. (Skripsi). Jurusan Manajemen Hutan. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak dipublikasikan.

Welty, J. C. 1982. 3nd Edition. The Life of Birds. Sounders College Publishing. Philladelphia. Diakses tanggal 12 Maret 2012 pukul 14.10 Wib.

Wibowo, R. B. 2005. Keanekaragaman Jenis Burung di Hutan Mangrove Desa Pulau Pahawang Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Lampung Selatan. (Skripsi). Jurusan Manajemen Hutan. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak dipublikasikan.

Yayasan Kutilang Indonesia, 2012. Kutilang Indonesia. http://www.kutilang.or.id ?s. Diakses 07 Oktober 2012 pukul 19.00 wib.

Zulfan. 2009. Keanekaragaman Jenis Burung di Hutan Mangrove Krueng

Bayeun, Kabupaten Aceh Timur Nangroe Aceh Darussalam. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan.


(54)

A. Deskripsi Keanekaragaman Spesies Burung

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan selama 6 hari efektif di lahan basah rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kec. Pagar Dewa Kab. Tulang Bawang Barat ditemukan 66 spesies burung yang berasal dari 26 famili, antara lain sebagai berikut:

1. Elang Bondol (Haliastur indus)

Jenis burung ini terlihat sedang terbang berputar-putar di sekitar lokasi penelitian. Spesies dari keluarga Accipitridae

merupakan burung yang sangat sedikit dijumpai di lahan basah rawa Bujung Raman dengan jumlah sekitar 6 ekor selama penelitian (Gambar 9: Ayat A, 2011). Burung jenis ini sudah terancam punah, Berukuran ± 45 cm, berwarna putih dan coklat pirang. Kepala, leher, dan dada putih; sayap, punggung, ekor dan perut coklat terang, terlihat kontras dengan bulu primer yang hitam (pada burung dewasa). Pada burung remaja, seluruh tubuh kecoklatan dengan coretan pada dada. Iris coklat, paruh dan sera abu-abu kehijauan, tungkai dan kaki kuning suram. Suara: “syii

-ii-ii” atau “kwiiaa”. Habitat: Pesisir, sungai, rawa-rawa, dan danau sampai ketinggian 3.000 m. Kebiasaan: Berputar-putar sendirian atau berkelompok di atas perairan. Distribusi: Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali (Ayat A. 2011).

2. Elang Hitam (Ictinaetus malayensis)

adalah sejenis burung pemangsa dari suku Accipitridae. Burung jenis ini adalah jenis yang paling sedikit dijumpai di lokasi hanya satu ekor selama penelitian. Burung yang berukuran besar, dengan panjang (dari paruh hingga ujung ekor) sekitar 70 cm (Gambar 10: Wikipedia Indonesia, 2012). Sayap dan ekornya panjang, sehingga burung ini tampak sangat besar bilamana terbang. Seluruh tubuh berwarna hitam, kecuali kaki dan sera (pangkal paruh) yang berwarna kuning. Sebetulnya terdapat pola pucat di pangkal bulu-bulu primer pada sayap dan garis-garis samar di ekor yang bisa terlihat ketika


(55)

burung ini terbang melayang, namun umumnya tak begitu mudah teramati (Wikipedia Indonesia, 2012).

3. Elang ikan kecil (Ichthyophaga humilis)

Spesies dari keluarga Accipitridae merupakan burung yang juga sedikit dijumpai di lahan basah rawa Bujung Raman dengan jumlah sekitar 13 ekor selama penelitian. Burung ini berukuran ± 60 cm dan berbulu kecoklatan (Gambar 11: Ayat A, 2011). Kepala dan leher abu-abu, perut putih. Remaja: warna coklatnya lebih pucat dan tubuh bagian bawah kuning tua polos. Iris kuning atau coklat, paruh abu-abu gelap, kaki abu-abu. Suara: Suara

serak“haak-haak ....”, Habitat jenis burung ini yaitu hutan, rawa-rawa, dataran rendah dan perbukitan. Kebiasaan: Bertengger dan menangkap ikan dekat permukaan air. Distribusi: Sumatera dan Kalimantan (Ayat A. 2011).

4. Raja-udang Erasia (Alcedo atthis)

Jenis burung ini dijumpai di lokasi penelitian sebanyak 16 ekor selama penelitian berlangsung. Burung dalam family

Alcedinidae ini diketahui sebagai Raja-udang biasa atau Raja-udang sungai, adalah raja-udang kecil dengan tujuh subspesies yang diakui dalam distribusi yang luas diseluruh

Eurasia dan Afrika Utara (Gambar 12: Wikipedia Indonesia, 2012). Mempunyai banyak tempat tinggal di persebarannya, tapi bermigrasi dari daerah dimana sungai membeku di musim dingin. Burung yang seukuran dengan burung gereja ini memiliki ciri khas ekor yang pendek, berkepala besar seperti raja-udang biasanya; bagian atasnya berwarna biru, oranye pada bagian atas badan dan paruh panjang. Ia makan terutama pada ikan, menangkapnya dengan menyelam, dan memiliki adaptasi visual istimewa untuk memungkinkannya melihat mangsa dibawah air. Telur putih mengkilap diletakkan di sarang di ujung liang di tepi sungai (Wikipedia Indonesia, 2012).


(56)

5. Raja udang maninting (Alcedo meninting)

Adalah bagian dari keluarga Alcedinidae. Merupakan salah satu burung penetap di lahan basah rawa Bujung Raman dengan jumlah sekitar 15 ekor yang dijumpai pada lokasi selama penelitian. Berukuran kecil (15 cm) dengan punggung biru terang/metalik. Tubuh bagian bawah merah-jingga terang dan penutup telinga biru mencolok. Iris coklat, paruh kehitaman dan kaki merah. Suara: Nada “criit-tit”. Habitat: Perairan tawar (sungai, danau), kadang-kadang teramati pada air payau sampai ketinggian 1.000 m (Gambar 13: Ayat A, 2011). Kebiasaan: Terbang sangat cepat dari satu tempat bertengger ke tempat bertengger lain, membuat gerakan kepala turun-naik yang aneh ketika mencari makan. Menyelam secepat kilat untuk menangkap mangsa. Mangsa kemudian dibawa ke tempat bertengger, dibunuh kemudian dimakan. Distribusi: Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali (Ayat A, 2011).

6. Cekakak belukar (Halcyon smyrnensis)

Adalah bagian dari keluarga Alcedinidae. Merupakan salah satu burung penetap di lahan basah rawa Bujung Raman dengan jumlah sekitar 21 ekor yang dijumpai pada lokasi selama penelitian. Berukuran ± 27 cm, berwarna biru dan coklat. Dagu, tenggorokan, dan dada putih; kepala, leher dan sisa tubuh bagian bawah coklat. Mantel, sayap dan ekor biru terang berkilau; penutup sayap atas dan ujung sayap coklat tua (Gambar 14: Ayat A, 2011). Iris coklat tua, paruh dan kaki merah. Suara: Bunyi “kii-kii-kii-kii” (saat

terbang/bertengger) serta suara parau “cewer- cewer-cewer”. Habitat: Hutan, agroforest, perkebunan, permukiman dan sawah. Kebiasaan: Berburu mangsa dengan lincah dan ribut di lahan terbuka. Distribusi: Sumatera dan Jawa (Ayat A, 2011).

7. Cekakak Sungai (Todirhompus chloris )

Burung berukuran sedang ini adalah bagian dari keluarga Alcedinidae. Merupakan burung penetap di lahan basah rawa Bujung Raman dengan jumlah sekitar 30 ekor yang dijumpai pada lokasi selama penelitian. Jenis ini tersebar


(57)

mulai dari Laut Merah, ke selatan Asia dan Australasia, hingga ke Polinesia. Merupakan penetap yang umum di rawa Bujung Raman, familiar terhadap manusia. Sering terlihat bertengger di pohon-pohon sekitaran rawa. Berbiak dengan meletakan telurnya di lubang pohon yang sudah mati. Populasinya stabil, terhindar dari gangguan (Gambar 15: BKSDA Lampung, 2012).

8. Belibis Batu (Dendrocygna javanica)

(Gambar 16: Wikipedia Indonesia, 2012) Burung ini dijumpai di lokasi penelitian sebanyak 21 ekor selama penelitian berlang-sung. Burung yang berukuran sedang dan berwarna coklat kemerahan ini biasanya ditemukan dalam kelompok kecil di danau, rawa, hutan mangrove, dan sawah, burung belibis merupakan burung perenang yang memiliki kaki berselaput dan paruh yang khas, lebar dan pipih, burung ini mempunyai siulan yang jelas (Mac Kinnon, 1998). Belibis batu merupakan itik yang paling banyak ditemui di Jawa, nama Indonesianya sesuai dengan suaranya ketika terbang, burung ini hidup di danau, kolam dan sawah yang tergenang (Holmes dkk, 1999).

9. Belibis Kembang (Dendrocygna acuata)

(Gambar 17: Wikipedia Indonesia, 2012) Burung keluarga

Anatidae ini dijumpai di lokasi penelitian sebanyak 19 ekor selama penelitian berlangsung. Burung yang berukuran sedang dan berwarna coklat kemerahan serta corak hitam dan putih ini biasanya ditemukan dalam kelompok kecil di danau, rawa, hutan mangrove, dan sawah, burung belibis merupakan burung perenang yang memiliki kaki berselaput dan paruh yang khas, lebar dan pipih, burung ini mempunyai siulan yang jelas (Mac Kinnon, 1998). Belibis kembang adalah spesies burung yang mempunyai paruh, berdarah panas, dan membiak dengan cara bertelur (Wikipedia Indonesia, 2012).


(1)

13 Cangak abu    18

14 Cangak Merah    25

15 Kuntul Besar    6

16 kuntul kecil    17

17 kuntul kerbau    28

18 Kuntul Karang    9

19 Kuntul Perak    14

20 Kapasan Kemiri 14

21 Bangau Bluwok    Prioritas tinggi  17

22 Bangau Nganga Prioritas tinggi  5

23 B. Sandang Lawe   Prioritas tinggi  12

24 bangau tong tong    Prioritas tinggi  25

25 Perkutut Jawa 48

26 Punai gading 60

27 Tekukur biasa 79

28 Bubut alang-alang 16

29 Bubut besar 15

30 Bubut teragop  11

31 Tuwur asia 22

32 Srigunting Sumatera 27

33 Alap alap Capung 21

34 Layang Layang Batu  98

35 Bentet Kelabu 12

36 Kirik-kirik biru 5

37 Kirik-kirik laut 6

38 Cikrak kutub 13

39 Kipasan Belang   18

40 Burung madu belukar   13

41 Pijantung Kecil   17

42 Gagak Hutan 7

43 Gagak kampung 6

44 Pecuk Padi Hitam  27

45 Pecuk ular asia     40

46 Caladi Balacan Prioritas tinggi 9

47 Caladi batu Prioritas tinggi 13

48 Caladi tilik Prioritas tinggi 10

49 Bondol Haji 23

50 Bondol Rawa 29

51 Brinji gunung 7

52 Cucak Kelabu  21

53 Cucak Kutilang 73

54 Cucak kuning 21

55 Merbah Cerucuk 42

56 Merbah mata merah 11

57 Kareo padi 68

58 Mandar Batu 45

59 Tikusan Kaki Kelabu  44

60 Kecici Belalang 8

61 Perenjak Rawa 12

62 Remetuk laut 9

63 Jalak kerbau 57

64 kucica hutan 9

65 kucica kampung 10

66 Gemak Loreng 39

Total 1586

Indeks Keanekaragaman (H') 3.897 (Tinggi)


(2)

LAMPIRAN 3

 Stasiun pengamatan (Point count) di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat.

Gambar 75 : Stasiun Pengamatan 1 (Poin count 1) penelitian Burung di Lahan Basah Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat pada bulan Maret 2012 (Foto: BKSDA Lampung, 2012).

Gambar 76 : Stasiun Pengamatan 2 (Poin count 2) penelitian Burung di Lahan Basah Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat pada bulan Maret 2012 (Foto: BKSDA Lampung, 2012).


(3)

Gambar 77 : Stasiun Pengamatan 3 (Poin count 3) penelitian Burung di Lahan Basah Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat pada bulan Maret 2012 (Foto: BKSDA Lampung, 2012).

Gambar 78 : Stasiun Pengamatan 4 (Poin count 4) penelitian Burung di Lahan Basah Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat pada bulan Maret 2012 (Foto: BKSDA Lampung, 2012).


(4)

Gambar 79 : Stasiun Pengamatan 5 (Poin count 5) penelitian Burung di Lahan Basah Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat pada bulan Maret 2012 (Foto: BKSDA Lampung, 2012).

Gambar 80 : Stasiun Pengamatan 6 (Poin count 6) penelitian Burung di Lahan Basah Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat pada bulan Maret 2012 (Foto: BKSDA Lampung, 2012).


(5)

 Foto selama pengamatan Keanekaragaman Burung di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat.

Gambar 81. Foto bersama seluruh tim di Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat bulan Maret 2012 (Foto: BKSDA Lampung, 2012).

Gambar 82. Foto bersama tim Pengamatan Burung di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat.bulan Maret 2012 (Foto: BKSDA Lampung, 2012).


(6)

Gambar 83. Pengamatan Burung di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat bulan Maret 2012 (Foto: BKSDA Lampung, 2012).

Gambar 84. Pengamatan Burung di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat bulan Maret 2012 (Foto: BKSDA Lampung, 2012).