KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI LAHAN BASAH WAY PEGADUNGAN DESA RAJAWALI KECAMATAN BANDAR SURABAYA KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

(1)

ABSTRACT

BIRDS DIVERSITY OF WETLAND IN WAY PEGADUNGAN RAJAWALI

VILLAGE BANDAR SURABAYA DISTRICT CENTRAL LAMPUNG

REGENCY

BY

BADIA ROY RICARDO NABABAN

Way Pegadungan wetland is a wetland closure difference between the two riparian

communities. One of the wetlands is converted into paddies fields, while the other is a

natural wetland which is still overgrown with trees. To determine diversity differences

in bird species between two wetlands research communities, the point count method

(IPA) and line transects were used. Observations made by the stationary point count

and record the birds found. Each community was taken 6 points count and observed for

3 days. Research encountered 41 species of birds included in the 17 families with a total

of 796 individual in paddies fields and 46 birds species with total of 655 individuals

from 17 families of individuals in natural wetlands. Natural wetlands diversity index

was 3.44 with equality index of 0.90, this value is higher than the wetlands changed into

paddies fields with a diversity index of 2.91, and in a stable condition with equality

index of 0.78. Both wetlands communities have the same identical species approach (IS

= 1) with a similarity index of 0.73.


(2)

ABSTRAK

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI LAHAN BASAH WAY PEGADUNGAN DESA RAJAWALI KECAMATAN BANDAR SURABAYA

KABUPATEN LAMPUNG TENGAH OLEH

BADIA ROY RICARDO NABABAN

Lahan basah Way Pegadungan merupakan lahan basah yang memiliki perbedaan penutupan komunitas antara kedua sempadan sungai. Salah satu sempadan dialihfungsikan menjadi persawahan, sedangkan sisi lainnya masih alami. Untuk mengetahui perbedaan keanekaragaman jenis burung di kedua komunitas tersebut dilakukan penelitian dengan metode titik hitung (IPA) dan line transect. Pengamatan dilakukan dengan diam pada titik hitung dan mencatat burung yang dijumpai. Pada masing-masing komunitas diambil 6 titik hitung dengan masing-masing 3 hari pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 41 spesies burung yang terdiri atas 17 famili dengan total individu 796 pada lahan basah persawahan dan 46 spesies burung dengan total individu 655 individu yang terdiri dari 17 famili pada lahan basah alami. Lahan basah alami memiliki indeks keanekaragaman sebesar 3,44 dengan indeks kesamarataan sebesar 0,90, nilai ini lebih tinggi dibandingkan lahan basah yang telah beralih fungsi menjadi persawahan dengan indeks keanekaragaman sebesar 2,91 serta dalam kondisi yang stabil dengan indeks kesamarataan sebesar 0,78. Kedua komunitas pada lahan basah ini memiliki kesamaan spesies mendekati identik (IS=1) dengan indeks kesamaan sebesar 0,73.


(3)

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI LAHAN BASAH WAY PEGADUNGAN DESA RAJAWALI KECAMATAN BANDAR SURABAYA KABUPATEN LAMPUNG

TENGAH

Oleh

BADIA ROY RICARDO NABABAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA KEHUTANAN

Pada

Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(4)

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI LAHAN BASAH WAY PEGADUNGAN DESA RAJAWALI KECAMATAN BANDAR SURABAYA

KABUPATEN LAMPUNG TENGAH (SKRIPSI)

Oleh

BADIA ROY RICARDO NABABAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(5)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Diagram alir kerangka pemikiran... 7 2. Penempatan titik pengamatan burung menggunakan metode kombinasi

antara metode titik hitung (Point Count) dan metode jalur (transect)... 28 3. Peta Lokasi lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan

Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah... 29 4. Perbandingan jenis burungyang menempati di dua tipe komunitas lahan

basah yang berbeda pada lahan basah Way Pegadungan... 39 5. Grafik perbedaan jumlah individu tiap famili burung di sua komunitas

lahan basah yang berbeda pada lahan basah Way Pegadungan... 41 6. Grafik perbedaan spesies dan jumlah individu burung di dua komunitas

Perbandingan jenis burung yang menempati dua tipe komunitas lahan

basah yang terdata saat pengamatan di lahan basah Way Pegadungan... 45 7. Kondisi lokasi penelitian pada lahan basah yang menjadi persawahan... 49 8. Sarang burung gemak tegalan (Turnix sylvatica) pada lokasi lahan basah

persawahan Way Pegadungan... 50 9. Sarang yang diduga sarang spesies burung madu sriganti (Nectarinia

jugularis) pada lokasi lahan basah persawahan Way Pegadungan... 51 10. Stasiun pengamatan pertama penelitian burung pada lahan basah sawah... 60 11. Stasiun pengamatan kedua penelitian burung pada lahan basah sawah... 60 12. Stasiun pengamatan ketiga penelitian burung pada lahan basah sawah... 61 13. Stasiun pengamatan keempat penelitian burung pada lahan basah alami... 61 14. Stasiun pengamatan kelima penelitian burung pada lahan basah alami... 62 15. Stasiun pengamatan keenam penelitian burung pada lahan basah alami.... 62 16. Pengamatan burung yang dilakukan peneliti pada lahan basah persawahan 63 17. Spesies burung kuntul kecil (Egretta garzetta) pada lahan basah sawah.... 63


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

1. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 3

1.4 Manfaat Penelitian... 4

1.5 Kerangka Pemikiran ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1 Keanekaragaman Hayati ... 8

2.2 Keanekaragaman Jenis... 9

2.3 Burung ... 11

2.4 Habitat Burung dan Penyebarannya ... 13

2.5 Pergerakan Burung ... 15

2.6 Lahan Basah... 16

2.7 Konservasi Burung... 20

2.8 Gangguan dan Ancaman... 25

3. METODE PENELITIAN... 26

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

3.2 Alat dan Bahan ... 26

3.3 Jenis Data ... 27

3.4 Batasan Penelitian ... 27

3.5 Metode Pengumpulan Data... 28

3.5.1 Data Primer... 28

3.5.2 Data Sekunder... 29

3.6 Analisis Data ... 30

3.6.1 Analisis Keanekaragaman Burung ... 30

3.6.2 Analisis Kesamarataan Burung... 30

3.6.3 Analisis Kesamaaan Komunitas ... 31


(7)

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 32

4.1 Letak ... 32

4.2 Iklim... 32

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 32

4.4 Karakteristik Way Pegadungan... 33

5. HASIL DAN PEMBAHASAN... 35

5.1Hasil Penelitian ... 35

5.1.1Keanekaragaman Spesies Burung... 35

5.2 Pembahasan... 36

5.2.1 Keanekaragaman Spesies Burung... 36

5.2.2 Kekayaan Spesies... 40

5.2.3 Kesamarataan Spesies... 46

5.2.4 Nilai Kesamaan... 47

5.2.5 Peranan Habitat... ... 48

5.2.6 Konservasi Burung... 51

6. KESIMPULAN DAN SARAN... 52

6.1 Kesimpulan ... 52

6.2 Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA... 53

LAMPIRAN A. Dokumentasi... ... 60-63 B. Tabel Perhitungan... 64-75 C. Status Spesies Burung... 76


(8)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Spesies-spesies burung yang terdapat di lahan basah Way Pegadungan

Desa Rajawali... 35 2. Spesies penyusun komunitas di lahan basah Way Pegadungan Desa

Rajawali... 37 3. Indeks keanekaragaman jenis dan indeks kesamarataan burung di lahan

basah Sungai Way Pegadungan Kabupaten Lampung Tengah... .... 38 4. Nilai indeks kesamaan antar komunitas di lahan basah Way Pegadungan 47 5. Tabel Pengamatan Jenis burung yang dijumpai (Point Count 1) lahan

basah alami Way Pegadungan Desa Rajawali... 64 6. Tabel Pengamatan Jenis burung yang dijumpai (Point Count 2) lahan

basah alami Way Pegadungan Desa Rajawali... 65 7. Tabel Pengamatan Jenis burung yang dijumpai (Point Count 3) lahan

basah alami Way Pegadungan Desa Rajawali... 66 8. Tabel Pengamatan Jenis burung yang dijumpai (Point Count 4) lahan

basah alami Way Pegadungan Desa Rajawali... 67 9. Tabel Pengamatan Jenis burung yang dijumpai (Point Count 5) lahan

basah alami Way Pegadungan Desa Rajawali... 68 10. Tabel Pengamatan Jenis burung yang dijumpai (Point Count 6) lahan

basah alami Way Pegadungan Desa Rajawali... 69 11. Tabel Pengamatan Jenis burung yang dijumpai (Point Count 1) lahan

basah persawahan Way Pegadungan Desa Rajawali... 70 12. Tabel Pengamatan Jenis burung yang dijumpai (Point Count 2) lahan

basah persawahan Way Pegadungan Desa Rajawali... 71 13. Tabel Pengamatan Jenis burung yang dijumpai (Point Count 3) lahan

basah persawahan Way Pegadungan Desa Rajawali... 72 14. Tabel Pengamatan Jenis burung yang dijumpai (Point Count 4) lahan

basah persawahan Way Pegadungan Desa Rajawali... 73 15. Tabel Pengamatan Jenis burung yang dijumpai (Point Count 5) lahan

basah persawahan Way Pegadungan Desa Rajawali... 74 16. Tabel Pengamatan Jenis burung yang dijumpai (Point Count 6) lahan

basah persawahan Way Pegadungan Desa Rajawali... 75 17. Daftar status spesies burung di lahan basah Way Pegadungan Desa


(9)

(10)

PERSEMBAHAN

Puji TU HAN

,

Dengan rendah hati kupersembahkan karyaku ini kepada orang-orang yang ananda cintai dan sayangi

Ayahanda Prudin Nababan dan Ibunda Ruslan Lumbantoruan tercinta Abang dan Kakak tersayang,

dan Almamater yang kubanggakan Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.


(11)

(12)

MOTTO

Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh

menghina hikmat dan didikan

(Amsal 1 :7)

Sebab di dalam Dia kamu telah menj adi kaya dalam segala hal, dalam segala

macam perkataan dan segala macam pengetahuan.

( 1 K orintus 1 : 4)

“Melimpah ilmu pengetahuan tetapi minim ajaran agama adalah hampa, kaya

ajaran agama tanpa ilmu pengetahuan adalah kosong ”

( Badia Roy Ricardo Nababan )

“IMTAQ dan IPTE KS adalah dua hal yang tidak dapat di pisahkan dalam

kehidupan mahasiswa. Bagaimana mungkin suatu IPTE KS yang telah didapatkan

akan terarah dengan baik dan digunakan dengan baik tanpa dilandasi dengan

IMTAQ?”


(13)

“ Bi a r k a n a n a k cu cu k i t a b el a ja r d i b a w a h po h o n , b i a r k a n a n a k cu cu k i t a m en g h i r u p u d a r a seg a r , b i a r k a n m er ek a t u m b u h b er sa m a h i ja u n ya d a u n , ja n g a n b i a r k a n m er ek a m a t i d i m a k a n

h a m a k eh i d u pa n ” ( I w a n Fa l s)

“L ook deep into nature and you will understand everything better”

(A lbert E instein)

“ I f yo u t r u l y l o ve n a t u r e, yo u w i l l fi n d b ea u t y ever yw h er e” ( Vi n cen t Va n Go g h )


(14)

(15)

Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 17 September 2014

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi, pada tanggal 8 November 1992. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara pasangan Bapak Prudin Nababan dan Ibu Ruslan Lumbantoruan.

Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) di TK Xaverius Kotabumi pada tahun 1998. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) di SD Xaverius Kotabumi dan selesai pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Xaverius Kotabumi yang diselesaikan pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri I Kotabumi yang diselesaikan pada tahun 2010.

Tahun 2010 penulis tercatat sebagai mahasiswa pada Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan mengambil Jurusan Kehutanan. Penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan baik internal maupun eksternal kampus. Organisasi internal kampus yang pernah diikuti yaitu Himpunan Mahasiswa Kehutanan (HIMASYLVA), Unit Kegiatan Mahasiswa Kristen (UKM-K) Universitas Lampung, Unit Kegiatan Mahasiswa Fotografi (UKMF) ZOOM, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM-U). Organisasi eksternal kampus yang pernah diikuti penulis yaitu Forum Penyelam Mahasiswa Lampung (FOPMALA) dan Ikatan Mahasiswa Batak Toba (IMABATOBA)


(16)

Pada Januari 2013 penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Desa Rajabasalama Induk, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur dan melaksanakan Praktik Umum Kehutanan pada Juli 2013 di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Cikeusik, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banten, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.


(17)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan skripsi ini yang berjudul ” Keanekaragaman Jenis Burung di Lahan Basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Universitas Lampung.

Terselesaikannya penulisan dan penyusunan skripsi ini mulai dari awal hingga akhir, yang turut memberikan bantuan, motivasi, bimbingan, ide dan dorongan bahkan fasilitas moril dan materiil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih kepada:

(1) Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si., selaku Ketua Jurusan Kehutanan dan Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya serta memberikan arahan, bimbingan, saran dan kritikan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. (2) Ibu Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc., selaku Pembimbing II, yang telah

meluangkan waktunya serta memberikan arahan, bimbingan dan masukan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.


(18)

(3) Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Pembahas yang telah memberikan saran dan kritikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi. (4) Ibu Dr. Ir. Christine Wulandari, M.P., selaku Dosen Pembimbing Akademik

yang telah membantu penulis dan menjadi orang tua selama menuntut ilmu di Jurusan Kehutanan Universitas Lampung.

(5) Seluruh Dosen Pengajar dan Staf Pegawai di Jurusan Kehutanan Universitas Lampung yang telah memberikan ilmunya selama penulis menempuh pendidikan di Jurusan Kehutanan Universitas Lampung.

(6) Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bapak/Ibu PD I, PD II, PD III serta seluruh staf pegawai Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang telah membantu penulis.

(7) Keluargaku : Ayahanda P. Nababan dan Ibunda R. Lumbantoruan tercinta yang selalu mendoakan keberhasilanku dan memberiku semangat, serta Abang Bottor, Abang Bornok, Kak Ruth, Kak Ika dan Kak Uli tersayang terimakasih untuk bantuan dan dukungannya selama ini.

(8) Saudara-saudaraku kehutanan 2010 “Silvaten” (Ardi “komti”, madi “caul”, taufik “tukul”, mail, arif “pimen”, afrian “nai”, wawan, desma, bajra, tomi, aska, bagus, ade, via, dila, zuli, ema, nisa, ara, frans “curut”, rosnia, kurnia, sani “enyeh”, rafin, novia, angga “pite”, aap, aranta “anca”, dina, dea, lia, anggara, evi, dewi, rangga, eva, padli, abdian, leoni, willy, ferdi, victor bella, anggun “mimi”, sapar, iin, ekindo, agung, adi dan said “toing” terimakasih atas kebersamaan baik dalam suka maupun duka.


(19)

(9) Teman-teman KKN Desa Rajabasalama Induk yang mengamanahkan jabatan kordes dan tim PU Kehutanan di Cikeusik yang akan selalu teringat. (10) Bapak Gunawan, Kepala Desa Rajawali, dan Ibu atas kekeluargaan dan

informasi yang sangat membantu selama penelitian

(11) Rekan-rekan seiman dalam pelayanan kerohanian (IMKK, POMPERTA, UKM-K, dan GMKI) terimakasih atas segala pendalaman agamanya.

(12) Sahabat dan saudara sesama aktivis internal dan eksternal kampus (HIMASYLVA, BEM-U, DUTA PERTANIAN, FOPMALA, dan IMABATOBA) terimasih atas ilmu yang bermamfaat.

(13) Rimbawan dari angkatan lainnya di Kehutanan Unila yang banyak memberi dukungan “Salah Atau Benar Dia Tetap Saudaraku Sesama Kehutanan Unila” dan seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulisan skripsi ini dan mohon maaf atas segala kesalahan penulis.

Penulis sangat berterimakasih atas semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.

Bandar Lampung, 11 Oktober 2014 Penulis,


(20)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki kekayaan jenis burung yang tinggi, menduduki peringkat keempat negara-negara kaya akan jenis burung setelah Kolombia, Zaire dan Brazil. Terdapat 1.539 spesies burung yang dijumpai di Indonesia (17% dari jumlah seluruh spesies burung di dunia), 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik Indonesia (Sujatnika, Jepson, Soeharto, Crosby, dan Mardiastuti, 1995).

Burung memiliki beberapa tipe habitat yang berfungsi sebagai tempat untuk mencari makan, minum, istirahat, dan berkembang biak. Salah satu tipe habitat adalah areal lahan basah. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki areal lahan basah yang cukup luas. Indonesia memiliki lebih dari 38 juta hektar lahan basah atau 21% dari luas daratannya adalah lahaan basah dan merupakan negara dengan lahan basah terluas di Asia (Howe, Claridge, Hughes, dan Zuwendra, 1991).

Kelompok burung, khususnya burung air pasti ditemukan di areal lahan basah (Howes, Bakewell dan Noor, 2003). Burung pada lahan basah mempunyai peranan penting dalam ekosistem lahan basah. Salah satu fungsi ekologis penting dari burung air adalah sebagai bioindikator untuk kualitas lahan basah, hal tersebut berkaitan erat dengan posisi mereka dalam jaring-jaring makanan. Terdapat hubungan yang jelas


(21)

2

dalam keberadaan lahan basah, hewan-hewan invertebrata dan kelimpahan populasi burung lahan basah (Noor, Sibuea, Silvius, dan Susmianto, 1995).

Populasi burung pada lahan basah menurun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia tiap tahunnya. Menurunnya populasi burung pada lahan basah tersebut disebabkan oleh aktivitas manusia seperti perusakan habitat, perburuan liar, konversi lahan, kompetitor, dan adanya pencemaran logam berat pada perairan pantai (Bismark dan Zuraida, 1997).

Kondisi ekosistem alami yang terus mengalami tekanan menyebabkan perlu segera dilakukannya upaya-upaya konservasi (Holmes dan Rombang, 2001). Namun kurang tersedianya data dan informasi mengenai jumlah jenis, populasi serta kebiasaan hidup mempersulit dirumuskannya suatu kegiatan konservasi untuk menyelamatkan burung terutama burung air (Sibuea. 1997)

Salah satu lahan basah yang ada di Provinsi Lampung yang menjadi habitat burung terdapat di Desa Rajawali, Kecamatan Bandarsurabaya, Kabupaten Lampung Tengah. Lahan basah tersebut berada dekat kawasan Hutan Lindung Register 8 Rumbia. Lahan basah berupa rawa sepanjang Sungai Way Pegadungan sudah banyak yang berubah menjadi lahan pertanian. Di sejumlah tempat banyak terdapat tanaman padi, dan sebagian lain terdapat sisa-sisa tanaman padi yang sudah habis dipanen. Menurut Yayasan Konservasi Way Seputih (2013), habitat burung-burung di daerah tersebut rusak dan burung-burung itu berpindah ke tempat lain atau bahkan punah apabila berlangsung terus-menerus.


(22)

3

Keberadaan burung di Desa Rajawali Kecamatan Bandarsurabaya Kabupaten Lampung Tengah belum diketahui secara pasti tingkat keanekaragamannya. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman jenis burung di desa rajawali, sehingga diperoleh data keanekaragaman jenis burung yang diperlukan dalam upaya perlindungan dan pelestarian burung beserta habitatnya.

1.2 Perumusan masalah

1.2.1 Bagaimana tingkat keanekaragaman jenis burung berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner dan indeks kesamarataan di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

1.2.2 Adakah perbedaan keanekaragaman jenis burung antara lahan basah yang masih alami dan lahan basah yang terkonversi berdasarkan Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner dan indeks kemerataan di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut

1.3.1 Mengetahui keanekaragaman jenis burung berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner dan indeks kesamarataan di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 1.3.2 Membandingkan keanekaragaman jenis burung antara lahan basah yang alami


(23)

4

Shannon-Wienner dan indeks kesamarataan di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut

1.3.1 Sumber informasi ilmiah untuk peneliti-peneliti lainnya tentang keanekaragaman burung di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

1.3.2 Hasil penelitian menjadi dasar ilmiah bagi Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah dalam rangka pelestarian dan perlindungan burung di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

1.4 Kerangka Pemikiran

Kehidupan burung di dunia ini semakin terancam oleh manusia yang jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Burung banyak yang diburu untuk dimanfaatkan daging dan telurnya, selain itu burung banyak dipelihara karena keindahan bulu dan kicauannya. Habitatnya juga semakin menyempit karena banyak diubah untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pencemaran lingkungan akibat limbah industri dan rumah tangga, penggunaan pupuk dan pestisida turut berperan dalam kemerosotan populasi burung di lahan basah. Selain itu konversi habitat burung lahan basah menjadi persawahan ataupun tambak menjadi tekanan yang lambat laun


(24)

5

mengancam keberadaan burung pada habitatnya sehingga semakin terdesak bahkan punah.

Upaya-upaya konservasi harus dilakukan sedini mungkin sebelum burung air dan habitatnya benar-benar punah. Permasalahan yang dihadapi saat ini informasi mengenai tingkat keanekaragaman jenis burung maupun populasinya belum banyak diketahui, khususnya di Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. Lahan basah berada sepanjang aliran Way Pegadungan sudah banyak yang berubah menjadi lahan pertanian yang berada dekat kawasan Hutan Lindung Register 8 Rumbia. Di sejumlah tempat banyak terdapat tanaman padi, dan sebagian lain terdapat sisa-sisa tanaman padi yang sudah habis dipanen. Habitat burung di daerah tersebut rusak dan burung itu berpindah ke tempat lain atau bahkan punah apabila berlangsung terus-menerus. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian mengenai tingkat keanekaragaman jenis burung di daerah tersebut.

Penelitian ini dilakukan dengan metode kombinasi antara metode titik hitung (point count) atau IPA (Index Point Abundance – Indeks Kelimpahan pada Titik) dan metode transek jalur (Bibby, Jones dan Marsden, 2000). Pengamatan langsung melalui titik-titik yang telah ditentukan kemudian mencatat perjumpaan terhadap burung. Seluruh titik terkonsentrasi berada dalam transek jalur. Pengamatan dilakukan pagi hari pada pukul 06.00-09.00 WIB dan sore hari pada pukul 15.00-18.00 WIB selama 7 hari pengamatan. Data yang dianalisis berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner dan Indeks kesamarataan serta secara analisis deskriptif.


(25)

6

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis burung dan perbedaan tingkat keanekaragaman jenis burung di dua komunitas yang berbeda. Hasil penelitian ini selanjutnya dapat digunakan sebagai informasi dan dasar ilmiah bagi peneliti lain dan pengambil kebijakan pada daerah setempat dalam pelestarian burung air maupun habitatnya. Secara umum kerangka penelitian disajikan dalam bentuk bagan alir yang dapat dilihat pada Gambar 1.


(26)

7

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran

Lahan basah Way Pegadungan

-Cover/naungan

- Tempat berkembang biak

Keanekaragaman jenis burung

- Perbedaan Indeks keanekaragaman - Perbedaan Jumlah Spesies

- Perbedaan Indeks kemerataan - Perbedaan Indeks Similarity - Jumlah spesies

- Jumlah individu tiap spesies

- Jumlah spesies - Jumlah individu

tiap spesies Alami

Kondisi Habitat

Keanekaragaman jenis burung

Buatan

Kondisi Habitat

Perbandingan antara kedua komunitas


(27)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keanekaragaman Hayati

Biodiversitas atau kenanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman antara makhluk hidup baik yang ada di daratan ataupun perairan serta kompleks ekologi dari bagian keanekragaman yang mencakup spesies, antar spesies, dan ekosistem. (Sujatnika, Jepson, Soeharto, Crosby dan Mardiastuti, 1995; Wibowo, 2005).

Keanekaragaman hayati pada sumberdaya hutan dan daerah perairan di indonesia sangat tinggi dan bersifat endemik, oleh karena tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi tersebut, indonesia disebut sebagai negara megabiodiversitas. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia terdiri atas mamalia 515 spesies, reptilia 511 jenis, burung 1.531 jenis, ampibi 270 jenis, binatang tak bertulang belakang 2.827 jenis dan tumbuhan sebanyak ± 38.000 jenis. (Departemen Kehutanan, 2007).

Negara Indonesia berada dalam kawasan Malesia (kawasan Asia Tenggara sampai dengan Papua sebelah Barat), selain itu secara biogeografi terdapat dua pusat keanekaragaman yaitu Borneo dan Papua dengan tingkat endemisitas yang sangat tinggi dan habitat yang unik. Sumber daya hutan merupakan aset yang harus dikelola secara maksimal dan lestari sesuai dengan fungsinya (Darusman, 1992; Utama, Dewi dan Darmawan, 2011).


(28)

9

Negara yang berada daerah tropis seperti Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dibandingkan daerah subtropik (iklim sedang) maupun kutub (iklim kutub). Pada daerah tropis seperti Indonesia terdapat berbagai macam ekosistem yang ada di Indonesia, seperti ekosistem hutan hujan tropis, ekosistem pantai, ekosistem hutan bakau, ekosistem padang rumput, ekosistem air tawar, ekosistem air laut, ekosistem savanna dan lain-lain. Semakin banyak tipe ekosistem yang ada mengakibatkan tingginya tingkat keanekaragaman hayati yang ada didalamnya sebab masing-masing ekosistem ini memiliki keanekaragaman hayati tersendiri (Narisa, 2010; Handari, Dewi dan Darmawan, 2012).

2.2 Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman burung didefinisikan sebagai jumlah jenis burung beserta kelimpahannya masing-masing di suatu area. Menurut Sukmantoro dan Irham (2007) dan Zulfan (2009), 1.598 jenis burung untuk wilayah Indonesia. Dari jumlah tersebut, diketahui 372 jenis (23,28 %) diantaranya adalah jenis burung endemik dan 149 jenis (9,32 %) adalah burung migran.

Pengukuran keanekaragaman jenis (diversity) digunakan untuk membandingkan komposisi jenis di ekosistem yang berbeda seperti perbedaan kenaekaragaman jenis burung di dalam dua macam hutan sebelum dan sesudah adanya proyek yang mengubah keadaan aliran sungai (Alikodra, 2002; Syafrudin, 2011).

Pada tingkat yang paling sederhana, keanekaragaman spesies didefinisikan sebagai jumlah spesies yang ditemukan dalam komunitas (Primack, Supriatna dan Indrawan, 2007; Syafrudin, 2011). Keanekaragaman dibedakan atas tiga ukuran meliputi keanekaragaman jenis (diversity), kekayaan jenis (species richness), dan


(29)

10

kesamarataan jenis (evenness). Pada umumnya keanekaragaman jenis dibuat dalam indeks keanekaragaman. Semakin tinggi indeks keanekaragaman jenis maka semakin tinggi pula jumlah jenis dan kesamarataan populasinya (Bibby, Jones dan Marsden, 2000; Syafrudin, 2011), tetapi dapat terjadi di suatu komunitas burung yang kekayaan jenisnya lebih tinggi dan kesamarataannya lebih rendah memiliki indeks keanekaragaman yang sama dengan komunitas yang keanekaragamannya yang lebih rendah dan kesamarataannya tinggi.

Tingkat keanekaragaman burung yang tinggi di Indonesia disebakan dari keberadaan Indonesia yang terdiri atas 17.000 pulau yang membentang sepanjang katulistiwa dan di antara Benua Asia dan Australia sehingga memiliki penyebaran jenis burung dari subregion Sunda (Pulau Sumatra, Jawa, Bali dan Pulau Kalimantan), subregion Australo Papua (Kepulauan Kai, Aru dan Papua), dan subregion Wallacea (Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara) (Mac Kinnon, Philipps dan Van Balen, 1998; Natarino, Dewi dan Nurcahyani, 2010). Selain itu variasi tipe habitat seperti hutan hujan, hutan mangrove, hutan rawa, savana dan lain-lain turut mendukung keberadaan komunitas burung yang beragam dan memiliki keendemikan yang tinggi (Purwanto, 2002; Natarino, dkk, 2010).

Keanekaragaman jenis burung berbeda pada setiap habitat, tergantung kondisi lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Syafrudin (2011) menyebutkan bahwa ada enam faktor yang saling berkaitan yang menentukan naik turunnya keanekaragaman jenis suatu komunitas yaitu: waktu, heterogenitas, ruang, persaingan, pemangsaan, kestabilan lingkungan, dan produktivitas.

Kelimpahan dinyatakan sebagai jumlah organisme per unit wilayah (kepadatan absolut), atau sebagai kepadatan relatif yaitu kepadatan dari satu populasi dengan


(30)

11

populasi lainnya. Kelimpahan relatif adalah perbandingan kelimpahan individu tiap jenis dengan kelimpahan (jumlah) seluruh individu di suatu komunitas (Syafrudin, 2011).

Indonesia memiliki keanekaragaman sepesies yang menyeluruh yang menempati berbagai tipe ekosistem mulai dari ekosistem pantai sampai dengan pegunungan. Keanekaragaman spesies dan tingkat endemisitas di indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ukuran pulau. Semakin besar pulau maka semakin banyak pula spesies yang dimiliki. Ketinggian tempat dan habitat, kelimpahan spesies akan semakin rendah bila semakin bertambah ketinggian tempat. Lokasi geografi di Indonesia dibagi menjadi dua wilayah yakni Malaya dan Indo-Australia, masing-masing memiliki kekayaan spesies dengan keasliannya yang berbeda (Muntasib dan Masy’ud, 2003).

2.3 Burung

Burung adalah salah satu jenis satwaliar yang masih ada sampai saat ini. Burung menjadi satwaliar yang menarik dikarenakan kicauan dan bulunya yang beragam. Burung juga merupakan indikator yang sangat baik untuk kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati lainnya.

Burung merupakan plasma nutfah yang memiliki keunikan dan nilai yang tinggi baik nilai ekologi, ilmu pengetahuan, wisata dan budaya (Bibby, Neil, Burgess dan Hills, 2004; Desmawati, 2010). Menurut McNaughton dan Larry (1990) dan Desmawati (2010) spesies-spesies burung akan dapat berinteraksi satu dengan yang lain dan terdistribusi pada komunitasnya.


(31)

12

Interaksi dalam komunitas burung dapat mempengaruhi ekosistem pada satu daerah. Lebih lanjut, Bibby dkk. (2004) dan Desmawati (2010) menerangkan bahwa penelitian tentang burung merupakan hal yang sangat penting karena burung bersifat dinamis dan mampu menjadi indikator perubahan lingkungan yang terjadi pada tempat burung tersebut berada. Hal ini dikarenakan burung merupakan vertebrata yang mudah terlihat secara umum, mudah diidentifikasi, dengan persebaran yang luas, namun dalam pengelolaan dan konservasinya cenderung tidak banyak dilakukan di wilayah yang kelimpahan burungnya tinggi termasuk Indonesia.

Burung juga salah satu penghuni ruang yang cukup baik, dilihat dari keberadaan dan penyebarannya dapat secara horizontal dengan mengamati tipe habitat yang dihuni oelh burung. Selain itu dan keberadaan dan penyebarannya dapat dilihat secara vertikal dari stratifikasi profil hutan yang dimanfaatkan. Keberadaan jenis burung dapat dibedakan menurut perbedaan strata, yaitu semak, strata antara semak, pohon dan strata tajuk. Setiap jenis strata memiliki kemampuan untuk mendukung kehidupan jenis-jenis burung. Penyebaran vertikal terbagi dalam kelompok burung penghuni atas tajuk dan kelompok burung pemakan buah (Fachrul, 2007).

Burung merupakan salah satu hewan bertulang belakang. Burung adalah hewan berdarah panas dan berkembang biak dengan bertelur. Tubuhnya tertutup bulu dan memiliki bermacam-macam adaptasi untuk terbang (Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna, 1989; Rohadi dan Harianto, 2011).

Burung merupakan kelompok terbesar vertebrata yang banyak dikenal, diperkirakan ada sekitar 8.600 jenis yang tersebar di dunia. Pada awalnya burung memiliki sayap primitif yang merupakan perkembangan dari cakar depan itu belum dapat digunakan untuk sungguh-sungguh terbang dan hanya membantunya untuk bisa melayang dari


(32)

13

suatu ketinggian ke tempat yang lebih rendah. Klasifikasi ilmiah burung menurut (Brotowidjoyo, 1989; Rohadi dan Harianto, 2011) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Aves

2.4 Habitat Burung dan Penyebaran Burung

Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Habitat memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme (Irwanto, 2006; Handari, Dewi dan Darmawan 2012). Habitat adalah tempat suatu makhluk hidup atau tempat dimana organisme ditemukan atau melakukan siklus hidup (Odum, 1993: Zulfan, 2009).

Habitat memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme. Kapasitas optimum habitat untuk mendukung populasi suatu organisme disebut daya dukung habitat (Irwanto, 2006)

Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Setiap jenis satwaliar memiliki kondisi habitat yang sesuai untuk ditempati. Habitat yang sesuai bagi satu jenis satwa liar tertentu belum tentu sesuai untuk jenis lainnya. Menurut Alikodra (2002) burung adalah salah satu komponen ekosistem hutan, dimana kehadirannya dalam ekosistem hutan memiliki arti penting bagi kelangsungan siklus kehidupan dalam hutan tersebut. Burung dapat


(33)

14

berperan sebagai organisme penyebar benih (seed dispersal) dan membantu penyerbukan (polinator) dalam siklus keberlangsungan suatu hutan.

Secara umum untuk mendukung kehidupan satwaliar diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik makanan, air, udara bersih, tempat berlindung, maupun berkembang biak. Kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar disebut habitat (Rianto, 2006).

Tipe habitat utama pada jenis burung sangat berhubungan dengan kebutuhan hidup dan aktivitas hariannya. Tipe burung terdiri dari tipe burung hutan (forest birds), burung hutan kayu terbuka (open woodland birds), burung lahan budidaya (cultivated birds), burung pekarangan rumah (rural area birds), burung pemangsa (raptor birds) dan burung air atau perairan (water birds) (Kurnia, 2003).

Burung ditemukan di seluruh dunia dan di berbagai habitat. Kehadiran suatu burung di suatu habitat merupakan hasil pemilihan karena habitat tersebut sesuai untuk mendukung kehidupannya. Pemilihan habitat ini akan menentukan burung pada lingkungan tertentu (Partasasmita 2003; Rohadi dan Harianto, 2011).

Penyebaran vertikal pada jenis-jenis burung dapat dilihat dari stratifikasi ruang pada profil hutan. Berdasarkan stratifikasi profil hutan maka dapat diperoleh gambaran mengenai burung dalam memanfaatkan ruang secara vertikal yang terbagi dalam kelompok burung penghuni bagian paling atas tajuk hutan, burung penghuni tajuk utama, burung penghuni tajuk pertengahan, penghuni tajuk bawah, burung penghuni semak dan lantai hutan. Selain itu juga terdapat kelompok burung yang sering


(34)

15

menghuni batang pohon. Penyebaran jenis-jenis burung sangat dipengaruhi oleh kesesuaian tempat hidup burung, meliputi adaptasi burung terhadap lingkungan, kompetisi, strata vegetasi, ketersediaan pakan dan seleksi alam (Peterson, 1980).

2.5 Pergerakan Burung

Suatu adaptasi oleh hewan ataupun satwaliar terhadap lingkungan berlangsung secara naluri dan instingtif, tetapi tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh alam yang sifatnya datang secara langsung (Hilmanto, 2009).

Pergerakan merupakan salah satu respon individu ataupun populasi untuk menyesuaikan diri dan memanfaatkan keadaan lingkungan agar dapat hidup dan berkembang secara normal. Pergerakan individu yang menyebar dari tempat tinggalnya, biasanya secara perlahan-lahan dan mencakup wilayah yang tidak begitu luas disebut dispersi. Dispersi individu ataupun anggota populasi dapat terjadi melalui tiga bentuk yaitu emigrasi, imigrasi dan migrasi (Irwan, 1992). Masing-masing individu beradaptasi dengan lingkungan hidup dan makanan utamanya.

Salah satu bentuk pergerakan satwa liar terutama burung adalah migrasi (Alikodra, 2002). Menurut (Mackinnon dkk., 1998), migrasi adalah gerakan pindah secara musiman di antara dua wilayah geografis.

Migrasi dapat dibedakan menjadi tiga (Alikodra, 2002) yaitu:

a. Migrasi musiman adalah migrasi yang terjadi karena perubahan iklim dengan cara menurut garis lintang dan ketinggian tempat maupun secara lokal.

b. Migrasi harian biasanya disebut juga dengan pergerakan harian yang disebabkan oleh berbagai jenis satwa liar termasuk burung dalam jangka waktu 24 jam


(35)

16

melakukan pergerakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka mempunyai tempat-tempat yang jelas untuk tempat tidur, berlindung, mencari makan dan air, dan tempat berkembang biak.

c. Migrasi perubahan bentuk adalah migrasi yang biasa terdapat pada serangga yang mempunyai beberapa tingkat kehidupan (telur-larva-stadium dewasa).

Pola pergerakan lainnya adalah nomad, yaitu pergerakan individu ataupun populasi yang tidak tetap dan sulit dikenali secara pasti. Hal ini berbeda dengan kegiatan migrasi, dimana migrasi merupakan pergerakan yang dilakukan dengan arah dan rute yang tetap mengikuti kondisi lingkungan dan akan kembali ke wilayah asalnya (Alikodra, 2002).

2.6 Lahan Basah

Keberadaan lahan basah sebagai suatu ekosistem kompleks memiliki berbagai fungsi yang sangat penting, seperti pengatur fungsi hidrologis, penghasil sumberdaya alam dan hayati hingga fungsi lahan basah sebagai habitat bagi berbagai jenis satwa liar dan tumbuhan (Sibuea, 1997; Jamaksari dkk., 2009).

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara meliputi lahan basah alami seperti: rawa, danau, sungai (riparian) dan berbagai ekosistem pesisir seperti hutan mangrove serta lahan basah buatan seperti sawah, tambak dan bendungan. Semua lahan basah yang ada diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia (Nirarita, Wibowo, dan Padmawinata, 1996; Jamaksari, Pradma, Zulfikri, Faid, Abdul dan Tamnge, 2009).


(36)

17

Rawa adalah salah satu contoh areal lahan basah dan merupakan salah satu kawasan yang sesuai untuk habitat burung, karena di daerah ini banyak ditumbuhi tanaman serta terdapat banyak sumber pakan untuk burung. Indonesia memiliki sekitar 1.539 spesies burung (17% dari jumlah seluruh spesies burung di dunia), 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik Indonesia (Kristianto, 2010; Rohadi dan Harianto, 2011).

Menurut U.S. National Wetlands Inventory, lahan basah merupakan daerah yang mencakup berbagai jenis habitat dengan komunitas dan ekosistem, yang umumnya sangat dipengaruhi oleh keberadaan perairan di daerah atau sekitarnya. (Cowardin, Carter, Golet dan Laroe, 1979)

Lahan basah adalah daerah peralihan antara sistem perairan dan sistem daratan. Tumbuhan yang hidup umumya adalah hidrofita, substratnya berupa tanah hidrik yang tidak dikeringkan serta berupa bahan bukan tanah dan jenuh atau tertutup dengan air dangkal pada suatu waktu selama musim pertumbuhan setiap tahun (Rahmad, 2010; Rohadi dan Harianto, 2011).

Nirarita, dkk (1996) dan Judih (2006) mengelompokkan lahan basah berdasarkan letaknya menjadi lahan basah pesisir dan lahan basah daratan. Lahan basah pesisir meliputi daerah pesisir yang jenuh atau tergenang air, yang umumnya payau atau asin, baik secara tetap atau musiman, umumnya terpengaruh oleh pasang surut air laut dan kondisi laut lainnya atau limpasan air tawar. Ekosistem yang termasuk dalam kelompok ini adalah hutan bakau, daerah lumpur dan pasir, muara, padang lamun, dan rawa-rawa di daerah pesisir. Lahan basah daratan meliputi daerah yang jenuh atau tergenang oleh air yang pada umumnya bersifat tawar (dapat pula asin tergantung pada faktor-faktor edafik dan sejarah geomorfologinya) baik secara


(37)

18

permanen maupun musiman, terletak di darat atau dikelilingi oleh daratan, dan tidak terkena pengaruh air laut. Tipe lahan basah yang termasuk kelompok ini antara lain: danau, telaga, sungai, air terjun, rawa air tawar, danau-danau musiman, kolam dan rawa yang asin di daratan.

Rawa merupakan semua daerah yang tergenang air baik secara musiman maupun permanen dan ditumbuhi vegetasi. Hutan rawa memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Jenis-jenis floranya antara lain: durian burung (Durio carinatus), ramin (Gonystylus sp), terentang (Camnosperma sp), kayu putih (Melaleuca sp), sagu (Metroxylon sp), rotan, pandan, palem-paleman dan berbagai jenis liana. Faunanya antara lain :harimau (Panthera tigris), Orang utan (Pongo pygmaeus), rusa (Cervus unicolor), buaya (Crocodylus porosus), babi hutan (Sus scrofa), badak, gajah, musang air dan berbagai jenis ikan. Rawa bisa ditumbuhi oleh pohon, semak atau perdu berdaun lebar, rumput-rumputan, lumut dan lumut kerak yang menutup lebih dari 10% dari luas permukaanya. Badan air mempunyai kedalaman kurang dari dua meter. Rawa dapat dibedakan menjadi berbagai tipe tergantung dari komunitas tumbuhan yang mendominasinya (Departemen Kehutanan, 1989).

Menurut Yayasan Ekosistem Lestari (2008), Indonesia memiliki lahan rawa berdasarkan keberadaan dan kondisi airnya, dibedakan menjadi rawa pasang surut dan diperkirakan luas keduanya mencapai 39,4 juta hektar. Rawa pasang surut meliputi rawa-rawa pesisir yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Rawa non-pasang surut, meliputi rawa-rawa pedalaman (terletak di daratan atau dikelilingi daratan), yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut sehingga umumnya berair tawar. Berdasarkan tipe tanahnya, rawa dapat dibedakan menjadi rawa gambut dan rawa non-gambut. Selanjutnya, dapat dibedakan lagi berdasarkan fisiognomi


(38)

19

vegetasinya menjadi rawa berhutan dan rawa tak berhutan atau lebih detil berdasarkan vegetasi yang dominan, misalnya rawa bakau, rawa nipah, dan rawa rumput.

Selain itu, terdapatvegetasi riparian yang menjadi habitat burung dalam lahan basah (Petts, 1990).Riparian merupakan ekosistem peralihan antara ekosistem akuatik dan teresterial yang biasa disebut ekoton (Odum, 1993). Vegetasi riparian yang menunjukkan kondisi hutan riparian terletak antara daratan dan sungai sehingga dapat berfungsi sebagai buffer/penyangga. Kondisi sungai berhubungan dengan kondisi riparian sebagai penyangga (Leavitt, 1998).

Dalam vegetasi riparian terdapat beranekaragam flora dan invertebrata. Jenis flora yang ada antara lain bendo (Artocarpus elasticus), gambiran (Ficus sp), aren (Arenga pinnata), rengas (Gluta renghas) dan nyampo (Litsea sp.). selain itu terdapat jambu air (Eugenia aquea), kencrutan (Spathodea campanulata) dan berasan (Gomphia serrata) (Agustina dan Arisoesilaningsih, 2013). Menurut penelitian Firdaus, Irawan, dan Moehammadi (2012), pada vegetasi riparian terdapat lima kelas makroinvertebrata air yang terdiri atas Bivalvia, Clitellata, Crustacea, Insecta, dan Gastropoda. Penelitian di atas menunjukkan bahwa kondisi vegetasi yang bertajuk menjadi tempat berlindung (cover) bagi burung air yang ada dan keanekaragaman makrofauna yang ada menjadi sumber pakan yang variatif untuk burung air.

Vegetasi riparian sungai biasanya tumbuh secara alami dan berfungsi dalam menahan erosi pada saat volume air sungai meningkat atau pada saat hujan lebat. Tetapi saat ini banyak sungai di Indonesia sudah tidak mempunyai banyak vegetasi riparian lagi karena adanya aktivitas penebangan liar dan pembangunan pemukiman. Hal ini menyebabkan terbawanya padatan ke dalam sungai yang pada akhirnya


(39)

20

menyebabkan air sungai menjadi keruh. Rawa buatan yang dibuat dipinggiran sungai sangat membantu dalam mereduksi sedimen yang masuk ke dalam sungai (Meutia, 2001; Puspita, Ratnawati, Suryadiputra, dan Meutia. 2005)

2.7 Konservasi Burung

Menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Departemen Kehutanan, 2007).

Usaha-usaha yang dimaksud dalam pengelolaannya, pada dasarnya meliputi tiga sasaran pokok, yaitu:

1. Perlindungan terhadap proses ekologi yang menunjang sistem penyangga kehidupan.

2. Pengawetan keanekaragaman sumber daya alam serta keanekaragaman plasma nutfah.

3. Pelestarian pemanfaatan dengan maksud untuk menjamin jenis sumber daya alam dan ekosistem guna memenuhi keperluan manusia secara langsung dan tidak langsung dilaksanakan atas dasar kelestarian (Departemen Kehutanan, 2007).

Konservasi adalah manajemen penggunaan biospher oleh manusia sehingga memungkinkan diperolehnya keuntungan terbesar secara lestari untuk generasi sekarang dengan tetap terpeliharanya potensi untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi yang akan datang. Konservasi sumber daya hayati mempunyai tiga tujuan, yaitu memelihara proses-proses ekologi penting dan sistem pendukung


(40)

21

kehidupan, melindungi keanekaragaman hayati dan yang terakhir menjamin pemanfaatan spesies dan ekosistem secara lestari (Harianto dan Setiawan, 1999).

Upaya konservasi satwa liar meliputi dua hal penting yang harus mendapat perhatian yaitu pemanfaatan yang hati-hati dan pemanfaatan yang harmonis. Pemanfaatan yang hati-hati berarti mencegah terjadinya penurunan produktivitas, bahkan menghindarkan sama sekali terjadinya kepunahan spesies. pemanfaatan yang harmonis, berarti mempertimbangkan dan memperhitungkan kepentingan-kepentingan lain, sehingga terjadi keselarasan dan keserasian dengan seluruh kegiatan baik lokal, regional maupun nasional bahkan dalam kaitannya dengan kepentingan konservasi satwaliar secara internasional (Alikodra, 2002).

Upaya – upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mencapai tujuan konservasi meliputi, melakukan pembatasan terhadap perburuan liar, melakukan pengendalian persaingan dan pemangsaan, pembinaan wilayah (suaka) tempat berlindung, tidur dan berkembang biak berupa taman – taman, hutan, maupun suaka margasatwa, cagar alam, taman nasional dan taman hutan raya. Melakukan pengawasan terhadap kualitas dan kuantitas lingkungan hidup satwa liar seperti ketersediaan makanan, air, perlindungan, penyakit, dan faktor – faktor lainnya. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam usaha konservasi satwa liar. Pengembangan pendayagunaan satwa liar baik untuk rekreasi berburu, obyek wisata alam ataupun penangkaran, dan yang terakhir adalah pengembangan penelitian.

Dasar hukum kegiatan penangkaran sebagai upaya konservasi ex-situ, antara lain Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1990tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa


(41)

22

dan PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Kegiatan penangkaran dapat dilakukan oleh lembaga konservasi baik pemerintah maupun swasta. Penangkaran burung harus mempertimbangkan jenis burung dan status kelangkaannya serta kesiapan lingkungan penangkaran, baik lingkungan biologi (Habitat Hidup Burung) maupun lingkungan fisik (seperti kandang/sangkar). Lingkungan dan sistem pemeliharaan mengacu kepada perilaku dan habitat alaminya. Kegiatan teknis yang dapat dilakukan penyiapan tumbuhan pelindung dan sumber pakan, pemilihan bentuk dan ukuran kandang, pengelolaan penangkaran (pakan, kesehatan, sex rasio dan reproduksi) dan sistem pencatatan. Pengelolaan penangkaran yang baik diharapkan mampu meningkatkan populasi dan memberikan nilai tambah untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Setio, 2007).

Menurut Peraturan Pemerintah PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, pengawetan merupakan upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemamfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa, pemanfaatannya dilakukan dengan memerhatikan kelangsungan potensi, daya dukung dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Berdasarkan hal tersebut di atas dan sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dipandang perlu menetapkan peraturan tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dengan Peraturan Pemerintah.


(42)

23

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) adalah kesepakatan internasional antar negara dalam perdagangan flora dan fauna dan bagian-bagiannya secara internasional. Kesepakatan internasional ini bertujuan untuk menjamin bahwa perdagangan burung secara internasional tidak akan mengancam kelestarian jenis-jenis burung yang diperdagangkan (CITES, 2014).

CITES menetapkan tiga kategori jenis-jenis burung yang dapat diperdagangkan secara internasional. Ketiga kategori inilah yang kemudian dikenal dengan istilah apendiks CITES, yaitu:

1. Apendiks 1 adalah daftar seluruh jenis burung yang dilarang untuk diperdagangkan secara internasional, kecuali hasil penangkaran dan dalam keadaan tertentu yang dianggap luar biasa. Otoritas pengelola nasional di Indonesia adalah Kementrian Kehutanan di bawah Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) harus mampu menyediakan bukti bahwa ekspor jenis burung yang telah masuk dalam apendiks 1 tidak akan merugikan populasi di alam. Selain itu, Dirjen PHKA harus memeriksa izin impor yang dimiliki pedagang, dan memastikan negara pengimpor dapat memelihara jenis burung tersebut dengan baik.

2. Apendiks 2adalah daftar seluruh jenis burung yang dapat diperdagangkan secara internasional dengan pengaturan khusus, diantaranya adalah penentuan kuota tangkap atau pembatasan jumlah jenis dan individu burung yang dapat dipanen/ditangkap dari alam/habitatnya/tempat hidupnya. Dirjen PHKA harus menyediakan bukti bahwa ekspor jenis burung yang telah masuk dalam apendiks 2 tidak merugikan populasi di alam. Apendiks 2 juga berisi daftar jenis-jenis


(43)

24

burung yang dianggap memiliki kenampakan yang mirip dengan jenis-jenis yang ada dalam apendiks 1karena dikhawatirkan dapat terjadi kekeliruan.

3. Apendiks 3adalah daftar seluruh jenis burung yang dilindungi di negara tertentu (dalam batas-batas kawasan habitat atau tempat hidupnya), dan dapat dinaikkan peringkatnya ke dalam Apendiks 2 atau Apendiks 1. Jenis burung yang dimasukkan ke dalam Apendiks 3 adalah jenis burung yang diusulkan oleh salah satu negara anggota guna meminta bantuan negara-negara lain yang telah menjadi anggota CITES untuk membantu mengatur perdagangannya. Semua negara anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan terhadap jenis-jenis burung yang ada dalam apendiks 3 dengan izin ekspor yang sesuai dan menggunakan Surat Keterangan Asal (SKA) atauCertificate of Origin (COO).

Kategori Status konservasi IUCN RedList merupakan kategori yang digunakan oleh IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) dalam melakukan klasifikasi terhadap spesies-spesies berbagai makhluk hidup yang terancam kepunahan. Dari status konservasi ini kemudian IUCN mengeluarkan IUCN Red List of Threatened Species atau disingkat IUCN Red List, yaitu daftar status kelangkaan suatu spesies.

Kategori konservasi berdasarkan IUCN Redlist versi 3.1 meliputi Extinct (EX; Punah); Extinct in the Wild (EW; Punah di alam liar); Critically Endangered (CR; Kritis), Endangered (EN; Genting atau Terancam), Vulnerable (VU; Rentan), Near Threatened (NT; Hampir Terancam), Least Concern (LC; Berisiko Rendah), Data Deficient(DD; Informasi Kurang), dan Not Evaluated(NE; Belum dievaluasi).


(44)

25

2.8 Gangguan dan Ancaman Terhadap Burung

Kerusakan hutan yang terjadi pada kawasan hutan di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia dan bencana alam. Pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan persediaan lahan akan mendorong terjadinya penjarahan pada kawasan hutan (Indriyanto, 2008).

Gangguan terhadap burung dapat berbentuk gangguan langsung terhadap populasi burung, selain itu gangguan tersebut dapat terjadi secara tidak langsung. Gangguan tidak langsung terjadi pada habitat burung. Ancaman secara langsung terhadap burung bertujuan untuk membunuh burung sebagai bahan makanan, organ tubuh (bulu atau paruh) maupun olahraga berburu. Ancaman secara tidak langsung terhadap habitat burung yaitu dengan cara mengubah lingkungan alami menjadi lahan pertanian, kebun, perkotaan, dan (Welty, 1982).


(45)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April 2014 di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah teropong binokuler yang digunakan untuk membantu melihat objek lebih jelas, kamera digital digunakan untuk mengambil gambar objek dan habitatnya, Global Positioning System (GPS), dan kompas yang digunakan untuk menentukan letak titik koordinat dan arah jalur pengamatan, jam tangan yang membantu mengetahui waktu perjumpaan dengan satwa, rol meter membantu dalam mengukur panjang jalur dan diameter pohon, alat tulis yang digunakan dalam mencatat jenis dan jumlah burung yang ada pada area pengamatan dan buku identifikasi spesies burung “Seri Buku Panduan Lapangan Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan” (Mac Kinnon, Philipps, dan Van Balen, 2010) membantu pengamat dalam identifikasi jenis burung yang teramati. Bahan yang digunakan adalah spesies burung yang ada di lokasi pengamatan.


(46)

27

3.3 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder 3.3.1 Data Primer

Data primer merupakan data yang secara langsung diambil dari area pengamatan berupa spesies burung yang ditemui di area pengamatan burung dan kondisi vegetasinya.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder merupakan data-data penunjang penelitian meliputi studi literatur seperti:

a. Karakteristik lokasi penelitian berupa kondisi umum lokasi penelitian b. Data pendukung lainnya yang sesuai dengan topik penelitian

3.4 Batasan Penelitian

Batasan dalam penelitian ini meliputi:

1. Waktu penelitian selama 7 (tujuh) hari merupakan waktu efektif selama pengamatan.

2. Penelitian dilakukan sesuai dengan kondisi cuaca yaitu cuaca cerah dan mendung, apabila hujan tidak dilakukan penelitian.

3. Sampel burung yang digunakan adalah burung yang dijumpai secara visual dan audio di area pengamatan.


(47)

28

3.5 Metode Pengumpulan Data dan Cara Kerja

1. Data Primer

Data mengenai keanekaragaman jenis burung diperoleh dengan menggunakan metode kombinasi antara metode titik hitung (Point Count) atau IPA (Index Point Abundance – Indeks Kelimpahan pada Titik) dan metode transek jalur (Bibby, Jones dan Marsden, 2000).

Pelaksanaan dilakukan dengan diam pada titik yang telah ditentukan kemudian mencatat perjumpaan terhadap burung. Parameter yang diukur yaitu jenis dan jumlah. Pengamatan menggunakan enam titik hitung/stasiun pengamatan. Seluruh titik hitung tersebut berada dalam jalur transek yang panjangnya + 1.800 meterdengan sejauh mata memandang pada radius 50 meter serta jarak antar titik hitung + 30 menit, 20 menit untuk pengamatan di setiap titik dan + 10 menit adalah waktu untuk berjalan ke titik pengamatan selanjutnya. Letak transek berada pada sempadan sungai secara memanjang dengan arah sungai. Pada setiap titik dalam jalur pengamatan dicatat setiap jenis burung yang dijumpai dan segala bentuk aktivitasnya.

+ 300 m

Jalur transek: sepanjang jalur transek di enam titik

Gambar 2: Penempatan pengamatan burung menggunakan metode kombinasi antara metode titik hitung (Point Count) atau IPA (Index Point Abundance– Indeks Kelimpahan pada Titik) dan metode jalur (Transect).

Pengamatan dilakukan pada pagi hari pukul 06.00 — 09.00 WIB dan pada sore hari pukul 15.00 — 18.00 WIB. Pengamatan dilakukan secara berulang dalam 3 hari pada

1800 m

P6


(48)

29

lahan basah di sempadan sungai yang telah menjadi areal persawahan kemudian pengamatan selanjutnya pada lahan basah di sempadan sungai dengan vegetasi hutan yang alami selama 3 hari. Selain itu pengamatan selanjutnya yaitu pengamatan terhadap komponen penyusun komunitas dilakukan selama 2 hari Perhitungan populasi dengan menghitung langsung jumlah burung yang diamati dengan data populasi tertinggi yang digunakan untuk perhitungan indeks keanekaragaman.

Gambar 3. Peta Lokasi lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah

2. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka. Metode ini digunakan untuk mencari, mengumpulkan dan menganalisis data penunjang yang terdapat dalam dokumen resmi yang dipakai sebagai bahan referensi.


(49)

30

3.6 Analisis data

1. Indeks Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis dapat diketahui dengan Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wienner yaitu dengan rumus (Odum, 1993; Sulistyadi, 2010):

H' = -Σpi ln pi

Keterangan :

H' = Indeks keanekaragaman jenis,

pi = Jumlah proporsi kelimpahan satwa spesies ke-i, Ln = Logaritma natural.

Kriteria nilai indeks keanekaragaman Shannon – Wienner, apabila: H' ≤ 1 : keanekaragaman rendah,

1< H' <3 : keanekaragaman sedang,

H' ≥ 3 : keanekaragaman tinggi.

2. Indeks Kesamarataan

Indeks kesamarataan digunakan untuk mengetahui kesamarataan setiap spesies dalam setiap komunitas yang dijumpai, dengan menggunakan rumus :

J = H’/ H maxatau J = -Pi ln (Pi)/ ln(S) Keterangan :

J= Indeks kesamarataan, S= Jumlah spesies.


(50)

31

Rumus ini digunakan karena nilai H’ sudah diperoleh sebelumnya sehingga lebih mudah dalam perhitungannya. Kriteria indeks kesamarataan (Daget, 1976; Pergola, dan Dewi, 2013) adalah sebagai berikut :

0 <J≤ 0,5 : Komunitas tertekan 0,5 < J ≤ 0,75 : Komunitas labil 0,75 < J≤ 1 : Komunitas stabil.

3. Indeks kesamaan komunitas (Similarity index)

Kesamaan jenis burung dalam komunitas dilihat dengan indeks kesamaan komunitas. Hal ini untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan komposisi spesies burung berdasarkan kedua tipe hutan produksi yang diteliti. Indeks kesamaan komunitas dihitung dengan menggunakan rumus (Odum, 1993).

IS = 2C/(A+B)

Keterangan :

C = jumlah spesies yang sama dan terdapat pada kedua komunitas, A = jumlah spesies yang dijumpai pada lokasi 1,

B = jumlah spesies yang dijumpai pada lokasi 2.

4. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan dalam penggunaan habitat oleh burung, diuraikan secara deskriptif berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan.


(51)

4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak

Desa Rajawali secara administratif terletak di Kecamatan Bandar Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah, dengan batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Gaya Baru V 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Surabaya Baru 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Way Pegadungan 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Rawa Betik

Lokasi lahan basah Desa Rajawali terletak di ujung Selatan Desa Rajawali yang berbatasan dengan Kabupaten Lampung Timur (Profil dan Monografi Desa Rajawali, 2013).

4.2 Iklim

Pola curah hujan tahunan di sekitar lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali berkisar 1618,58 mm/tahun. Curah hujan yang rendah terjadi pada bulan Maret, April, dan Mei, sedangkan curah hujan yang tinggi terjadi pada bulan Juli, Agustus sampai dengan Oktober (BPDAS Way Seputih-Sekampung, 2009).

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Desa Rajawali memiliki luas wilayah 1.524 Ha yang terdiri atas wilayah pemukiman 300 Ha, perladangan 933 Ha, persawahan 247 Ha, dan lain lain 17 Ha. Masyarakat Desa


(52)

33

Rajawalisampai dengan tahun 2013 terdiri atas 846 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah total 3055 jiwa yang terdiri atas laki-laki 1636 jiwa dan perempuan (Profil dan Monografi Desa Rajawali, 2013).

Tingkat pendidikan masyarakat Desa Rajawali yang menamatkan pendidikan sampai dengan sarjana (S1) berjumlah 2 orang, diploma (D1) berjumlah 9 orang, SLTA berjumlah 85 orang, dan menamatkan pendidikan sampai SLTP berjumlah 188 orang. Sumber mata pencaharian masyarakat Desa Rajawali sebanyak 80% merupakan nelayan sungai/rawa, petani sawah/ladang, buruh dan sebanyak 20% bermata pencaharian sebagai pedagang. (Profil dan Monografi Desa Rajawali, 2013).

4.4 Karakteristik Way Pegadungan

Way Pegadungan merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Seputih atau yang lebih dikenal dengan Sub DAS Way Pegadungan. Sub DAS Way Pegadungan memiliki luas 32.039 Ha, atau 6,45% dari luas total keseluruhan DAS Seputih. Sub DAS Way Pegadungan memiliki panjang sungai utama 35,31 km dan lebar sungai 50 m (BPDAS Way Seputih-Sekampung, 2009).

Bentuk Sub DAS Way Pegadungan memiliki bentuk sungai memanjang, pola aliran dendritik, dan kecepatan aliran sungai sedang dengan kecepatan aliran 0,96 km/km2. Berdasarkan pembentukan batuannya, Sub DAS Way Pegadungan didominasi oleh jenis batuan terrestrial fluvial, neritic, dan terrestrial alluvial serta jenis tanah yang didominasi fluvaquents dan tropaquents (BPDAS Way Seputih-Sekampung, 2009). Sub DAS Way Pegadungan sebagian besar merupakan hutan rawa sekunder dengan didominasi oleh tumbuhan gelam (Eugenia sp.), rengas (Gluta renghas)dan padi liar (Oryza rifipogon). Selain itu


(53)

34

terdapat pula bungur (Lagerstroemia speciosa), palem (Livistona sp.), nipah (Nypa fructicans), dan jambu air (Eugenia aquea).


(54)

6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di lahan basah Way Pegadungan, Desa Rajawali dapat disimpulkan bahwa:

1. Terdapat 56 spesies burung dengan total-individu 1.451 individu yang berasal dari 20 famili.

2. Pada lahan basah alami memiliki indeks keanekaragaman jenis 3,44 dan indeks kesamarataan 0,90, lebih tinggi dibandingkan dengan lahan basah yang telah menjadi sawah yang memiliki indeks keanekaragaman jenis 2,91 dan indeks kesamarataan sebesar 0,78. Kedua tipe komunitas memiliki indeks kesamaan 0,73.

6.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat diberikan adalah: 1. Pengelolaan lahan basah Way Pegadungan seharusnya mengikutsertakan

instansi pemerintah serta stakeholder agar tidak terjadi konversi lahan yang berlebihan tanpa kaidah yang menyebabkan turunnya kualitas habitat.

2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang populasi, ketersediaan pakan burung, kegiatan migrasi burung dan habitat bagi burung di lahan basah Way Pegadungan.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

.

Agustina. L. dan E. Arisoesilaningsih. 2013. Variasi Profil Vegetasi Pohon Riparian di Sekitar Mata air dan Saluran Irigasi Tersier di Kabupaten Malang. Jurnal Biotropika Edisi 1 No. 3 Tahun 2013.

Alikodra, H. S. 1980.Dasar-Dasar Pembinaan Margasatwa. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Alikodra, H. S. 2002.Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Andrew, P. 1992. The Bird of Indonesia – A Checklist (Peter’s Sequence). Indonesian Ornithological Society. Jakarta.

Ayat, A. 2011. Panduan Lapangan Burung-burung Agroforest di Sumatera. World Agroforestry Centre. Bogor.

Baiquni, H. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati.Social Economic Environmental. Australia.

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Sekampung. 2009. Karakteristik DAS Way Seputih. Bandar Lampung.

Bibby. C., D. Neil., Burgess., dan D. Hills. 2004. Bird Census Techniques. The Cambridge University Press. UK.

Bibby. C., M. Jones., dan S. Marsden. 2000. Survei Burung. SMKG Mardi Yuana. Bogor.

Bismark, M. dan Zuraida. 1997. Pola Pemanfaatan Lahan oleh Masyarakat Desa Sekitar Kawasan Taman Hutan Raya Dr. Muhammad Hatta Sumatera Barat. Buletin Penelitian Hutan 608 : 61-72

Brotowidjoyo, M. D. 1989. Zoologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

CITES. 2014. Daftar Apendiks CITES. Kutilang Indonesia. Diakses tanggal 19 November 2013 pukul 14.30 WIB.


(56)

54

Cowardin, I. M., V. Carter., F. C. Golet., and E. T. Larce. 1979. Classification of Wetland and Deepwater Habitat of The United States.Office of Biological Service, Fish, and Wildlife Service. U. S. Dept. of Interior. Washington D.C.

Daget. 1976. Kriteria Kesamarataan. http;//www.elib.pdii.lipi.go.id/ katalog/ index.php/searchkatalog/./8212/8212.p. Diakses tanggal 26 November 2013 pukul 19.30 Wib.

Darusman, D. 1992. Aspek Ekonomi Pengusahaan Hutan. APHI. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 1989. Pedoman Pengelolaan Burung Air Langka. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. Departemen Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia (Forestry Statistics

of Indonesia). Departemen Kehutanan. Jakarta.

Desmawati, I. 2010.Studi Distribusi Jenis-Jenis Burung Dilindungi Perundang-Undangan Indonesia Di Kawasan Wonorejo, Surabaya. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya. Diakses tanggal 13 November 2013 pukul 05.30 Wib.

Encarta. 2008. Birds Characteristic. http://encarta,msn.com. Diakses tanggal 12 November 2013 pukul 19.00 Wib.

Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna. 1989. Burung. PT. Intermasa. Jakarta. Diakses tanggal 17 November 2013 pukul 21.00 Wib.

Fachrul, M. F. 2007.Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.

Firdaus. M., B. Irawan., dan N. Moehammadi. 2012. Keanekaragaman Makroinvertebrata Air Pada Vegetasi Riparian Sungai Orde 1 Dan Orde 2 Di Sistem Sungai Maron Desa Seloliman, Mojokerto. Universitas Airlangga Semarang.

Handari, A., B. S. Dewi., dan A. Darmawan. 2012. Keanekaragaman Jenis Burung Di Hutan Produksi Desa Gunung Sangkaran Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan.(Skripsi). Jurusan Kehutanan. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak dipublikasikan.

Harianto, S. P., dan A. Setiawan. 1999. Konservasi Sumber Daya Hutan. Suatu Pengantar. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Bandar Lampung. 128 Halaman.

Hilmanto, R. 2009. Sistem Local Ecological Knowledge dan Teknologi Masyarakat Lokal Pada Agroforestri. Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(57)

55

Holmes, D., dan S. Nash. 1999. Burung-Burung di Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor.

Holmes, D., dan W. M. Rombang. 2001.Daerah Penting bagi Burung: Sumatera. PKA/BirdLife. Wetland International-Indonesia Programme. Bogor.

Howe, C.P., Claridge., F. Hughes., and Zuwendra. 1991. Manual of Guidelines For Scooping EIA In Tropical. Tropical Wetlands PHPA/WHB. Sumatra Wetland Project Report No. 5 PHPA/AWB. Bogor.

Howes, J. D. Bakewell dan Y. R. Noor. 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Wetland Internatioal-Indonesia Programme. Bogor.

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.

Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.

Irwan, Z. D. 1992. Prinsip –Prinsip Ekologi dan Organisasi: Ekosistem, Komunitas, dan Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta.

Irwanto. 2006. Perencanaan Perbaikan Habitat Satwa Liar Burung Pasca Bencana Alam Gunung Meletus. http://irwantoshut.com/saasharefile/ perencanaan perbaikan habitat satwa liar burung pasca bencana alam gunung meletus.pdf. Diakses tanggal 14 November 2013 pukul 19.41 WIB. IUCN. 2014.The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.

www.iucnredlist.org. Diakses tanggal 10 Mei 2014.

Jamaksari, H., N. Pradma., Zulfikri, R. Faid., M. Abdul., dan F. Tamnge. 2009. Strategi Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Rawa Danau Sebagai Habitat Burung Air. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Bogor.

Johnson, W.H., E.D. Louis., C.W. Eliot., dan A.C. Thomas. 1977. Principles of Zoology. Holt, Rinehart and Winston. New York.

Judih. 2006. Keanekaragaman Jenis Burung Di Hutan Mangrove KPH Muara Gembong BKPH Ujung Krawang KPH Bogor Perum Perhutani. (Skripsi). Diakses tanggal 12 Maret 2012 pukul 13.40 Wib.

Kesuma, M. I., B. S. Dewi., dan N. Nurcahyani.Keanekaragaman Jenis Burung Di Lampung Mangrove Center Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Satek V dan Indonesia Hijau. Lembaga Penelitian–Universitas Lampung Hal 637-644.

Kreb, C. J. 1978. Ecology: The experimental Analysis of Distribution and Abundance. Second Edition. Institute of Animal Resource Ecology. The Univercity of Britrish Columbia.


(1)

P

S P S P

S

1

Blekok Sawah

7

6

3

16

0,13114754

-2,031432322

-0,26641735

2

Kuntul Kecil

8

7 5

6

7

33

0,2704918

-1,307513483

-0,3536717

3

Kuntul Karang

3

6 4

3

4

20

0,16393443

-1,808288771

-0,29644078

4

Walet Sarang Hitam

4

4

1

3

12

0,09836066

-2,319114395

-0,22810961

5

Cucak Kutilang

2

2

2

6

0,04918033

-3,012261576

-0,14814401

6

Butbut Alang Alang

1

1

0,00819672

-4,804021045

-0,03937722

7

Kuntul Cina

2

2

4

0,03278689

-3,417726684

-0,11205661

8

Tikusan Merah

7

7

0,05737705

-2,858110896

-0,16398997

9

Raja Udang Erasia

2

2

0,01639344

-4,110873864

-0,06739137

10

Cekakak Sungai

1

1

2

0,01639344

-4,110873864

-0,06739137

11

Elang Laut Perut Putih

1

1

0,00819672

-4,804021045

-0,03937722

12

Cucak Rawa

1

1

0,00819672

-4,804021045

-0,03937722

13

Gagak Hutan

2

2

0,01639344

-4,110873864

-0,06739137

14

Raja Udang Meninting

2

2

4

0,03278689

-3,417726684

-0,11205661

15

Layang Layang Batu

4

4

0,03278689

-3,417726684

-0,11205661

16

Kuntul Besar

2

2

0,01639344

-4,110873864

-0,06739137

17

Kuntul Kerbau

2

2

0,01639344

-4,110873864

-0,06739137

18

Cangak Merah

2

2

0,01639344

-4,110873864

-0,06739137

19

Cangak Abu

1

1

0,00819672

-4,804021045

-0,03937722


(2)

Jenis burung yang dijumpai (Point Count 4) lahan basah persawahanDesa Rajawali Kecamatan

Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

No

Nama Jenis

Pengamatan Hari

Ke-Ni

Pi

ln pi

pi ln (pi)

1

2

3

P

S P

S

P

S

1

Butbut Alang Alang

1

2

3

0,01507538

-4,194692536

-0,06323

2

Terkukur Biasa

1

2

2

1

6

0,03015075

-3,501545355

-0,10557

3

Walet Sarang Hitam

1

4

3

8

0,04020101

-3,213863283

-0,12920

4

Bambangan Merah

1

2

2

2

7

0,03517588

-3,347394676

-0,11774

5

Kuntul Cina

2

2

0,01005025

-4,600157644

-0,0462

6

Kuntul Kecil

2

7

5

7

4

25

0,12562814

-2,074429

-0,26060

7

Blekok Sawah

1

5

3

9

0,04522613

-3,096080247

-0,1400

8

Merbah Ceruksuk

4

4

0,0201005

-3,907010464

-0,078532

9

Layang Layang Batu

2

10

12

0,06030151

-2,808398175

-0,169350

10

Gemak Tegalan

4

1

5

0,02512563

-3,683866912

-0,092559

11

Bondol Haji

2

2

0,01005025

-4,600157644

-0,046232

12

Belibis Kembang

11

10

10

9

40

0,20100503

-1,604425371

-0,322497

13

Belibis Batu

9

6

4

19

0,09547739

-2,348865846

-0,224263

14

Kowak Malam Merah

3

3

0,01507538

-4,194692536

-0,063236

15

Kuntul Besar

1

1

0,00502513

-5,293304825

-0,026599

16

Kokokan Laut

1

1

0,00502513

-5,293304825

-0,026599

17

Tikusan Merah

1

1

1

3

0,01507538

-4,194692536

-0,063236

18

Perkutut

3

3

0,01507538

-4,194692536

-0,063236

19

Cucak Kutilang

2

2

4

0,0201005

-3,907010464

-0,0785328

20

Elang Laut Perut Putih

1

1

2

0,01005025

-4,600157644

-0,046232

21

Cekakak Sungai

2

4

6

0,03015075

-3,501545355

-0,1055742

22

Cucak Kuricang

1

1

0,00502513

-5,293304825

-0,026599

23

Srigunting Sumatera

3

1

4

0,0201005

-3,907010464

-0,078532

24

Cucak Rawa

1

1

0,00502513

-5,293304825

-0,0265995

25

Pecuk Padi Kecil

7

6

13

0,06532663

-2,728355467

-0,1782342

26

Mandar Batu

4

4

0,0201005

-3,907010464

-0,078532

27

Mandar Padi Sintar

1

1

0,00502513

-5,293304825

-0,026599

28

Cangak Abu

2

2

0,01005025

-4,600157644

-0,04623

29

Kuntul Karang

4

4

8

0,04020101

-3,213863283

-0,129200

30

Kareo Padi

1

1

1

3

0,01507538

-4,194692536

-0,063236


(3)

P S

P S

P S

1

kuntul besar

2

2

0,02197802

-3,817712326

-0,083905765

2

layang layang batu

1

1

0,01098901

-4,510859507

-0,049569885

3

merbah cerukcuk

3

3

0,03296703

-3,412247218

-0,112491667

4

Cucak kutilang

1

2

3

0,03296703

-3,412247218

-0,112491667

5

Terkukur biasa

1

3

4

0,04395604

-3,124565145

-0,137343523

6

raja udang meninting

1

1

0,01098901

-4,510859507

-0,049569885

7

walet sarang hitam

1

7

8

0,08791209

-2,431417965

-0,21375103

8

blekok sawah

2

2 1

4 1

10

0,10989011

-2,208274414

-0,242667518

9

kuntul karang

1

2

5 1

9

0,0989011

-2,313634929

-0,228821037

10

Elang ikan kecil

1

1

2

0,02197802

-3,817712326

-0,083905765

11

Gagak hutan

4

2 2

8

0,08791209

-2,431417965

-0,21375103

12

Bambangan merah

1

1

0,01098901

-4,510859507

-0,049569885

13

Butbut alang alang

1

2

3

0,03296703

-3,412247218

-0,112491667

14

Kuntul kecil

1 4

6 4

15

0,16483516

-1,802809305

-0,297166369

15

Pecuk padi kecil

6

6

0,06593407

-2,719100037

-0,179281321

16

Perenjak rawa

2

2

0,02197802

-3,817712326

-0,083905765

17

Kucica rawa

3

3

0,03296703

-3,412247218

-0,112491667

18

Mandar padi sintar

2

1

3

0,03296703

-3,412247218

-0,112491667

19

Tikusan merah

3

3

0,03296703

-3,412247218

-0,112491667

20

Srigunting sumatera

1

1

0,01098901

-4,510859507

-0,049569885

21

Kuntul kerbau

2

2

0,02197802

-3,817712326

-0,083905765


(4)

Jenis burung yang dijumpai (Point Count 6) lahan basah persawahanDesa Rajawali Kecamatan

Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

No

Nama Jenis

Pengamatan Hari Ke

Ni

Pi

ln pi

pi ln (pi)

1

2

3

P

S

P

S

P

S

1

Blekok Sawah

6

2

3

4

3

18

0,22222222

-1,504077397

-0,334239422

2

Kuntul Kerbau

1

1

0,01234568

-4,394449155

-0,054252459

3

Gagak Hutan

2

2

4

0,04938272

-3,008154794

-0,148550854

4

Tikusan Merah

2

2

4

0,04938272

-3,008154794

-0,148550854

5

Cangak Merah

1

1

0,01234568

-4,394449155

-0,054252459

6

Kuntul Kecil

2

6

2

7

2

19

0,2345679

-1,450010176

-0,340125844

7

Raja Udang Biru

1

1

0,01234568

-4,394449155

-0,054252459

8

Kuntul Karang

4

2

5

3

14

0,17283951

-1,755391825

-0,303401056

9

Walet sarang hitam

6

3

9

0,11111111

-2,197224577

-0,244136064

10

Kuntul Besar

2

1

3

0,03703704

-3,295836866

-0,122068032

11

Elang Ikan Kecil

1

1

0,01234568

-4,394449155

-0,054252459

12

Bambangan Merah

3

1

4

0,04938272

-3,008154794

-0,148550854

13

Butbut alang alang

1

1

0,01234568

-4,394449155

-0,054252459

14

Kokokan Laut

1

1

0,01234568

-4,394449155

-0,054252459


(5)

5

Layang Layang Batu

Least Concern

6

Cekakak Belukar

Dilindungi

Least Concern

7

Raja Udang Biru

Dilindungi

Least Concern

8

Raja Udang Erasia

Dilindungi

9

Raja Udang Meninting

Dilindungi

Least Concern

10

Cekakak Sungai

Dilindungi

Least Concern

11

Pekaka Emas

Dilindungi

12

Cekakak Batu

Dilindungi

Least Concern

13

Kuntul Karang

Dilindungi

Least Concern

14

Kuntul Besar

Dilindungi

Least Concern

15

Kuntul Kerbau

Dilindungi

Least Concern

16

Kokokan Laut

Least Concern

17

Kowak Malam Merah

Dilindungi

Least Concern

18

Kareo Padi

Least Concern

19

Bambangan Merah

20

Cangak Merah

Least Concern

21

Tikusan Kaki Kelabu

22

Tikusan Merah

Least Concern

23

Kuntul Cina

Dilindungi

Vulnerable

24

Blekok Sawah

Least Concern

25

Kuntul Kecil

Dilindungi

Least Concern

26

Cangak Abu

Least Concern

27

Burung Madu Sriganti

Dilindungi

Least Concern

28

Pijantung Kecil

Dilindungi

29

Burung Madu Kelapa

Dilindungi

30

Burung Madu Belukar

Dilindungi

31

Perenjak Rawa

Least Concern

32

Perenjak Jawa

Least Concern

33

Kucica Kampung

Least Concern

34

Kucica Hutan

Least Concern

35

Mandar Batu

Least Concern

36

Mandar Padi Sintar

Least Concern

37

Belibis Kembang

Least Concern

38

Belibis Batu

Least Concern

39

Bubut Tegarop

Vulnerable

40

Bubut Alang Alang

Least Concern

41

Terkukur Biasa

Least Concern

42

Perkutut Jawa

Least Concern

43

Pecuk Padi Hitam

Least Concern

44

Pecuk Padi Kecil

Least Concern

45

Cucak Kutilang

Least Concern

46

Cucak Kuricang

Least Concern

47

Cucak Kelabu

Near Threatened

48

Cucak Rawa

Appendix

II

Vulnerable

49

Merbah Cerukcuk

Least Concern


(6)

53

Bondol Haji

Least Concern

54

Srigunting Hutan

55

Gemak Tegalan

Least Concern