PENGOLAHAN SARI HASIL PENELITIAN ROTAN

Tabel 4. Kelas awet ketahanan 8 jenis rotan terhadap serangan bubuk Dinoderus minutus Farb. Nama jenis rotan No. Nama daerah Nama botanis Kelas awet ketahanan 1 Bubuay Plectocomia elongata Becc. V 2 Semambu Calamus scipionum Burr. III 3 Tretes Daemonorop heteroides Bl. III 4 Balubuk Calamus burchianus Becc. II 5 Batang Calamus Zolingerii Becc. II 6 Galaka Calamus sp. I 7 Tohiti Calamus inops Becc. I 8 Manau Calamus manan Miq. I Tabel 5. Klasifikasi keawetan ketahanan rotan terhadap bubuk Dinoderus minutus Farb. Kelas awet ketahan Penurunan berat mg I 42 II 43 - 62 III 63 - 82 IV 83 - 102 V 102 Penelitian yang dilakukan Suprapti dan Jasni 1992, kerentanan rotan terhadap bubuk perusak rotan yaitu bubuk Dinoderus minutus Farb. dan bubuk Heterobostrychus aequalis Wat. hasilnya menunjukkan jenis rotan yang rentan terhadap D. minutus adalah seel Daemonorops melanochaetes Bl., mandola Calamus sp., umbulu C. symphysipus Mart. dan seuti C. ornatus Bl.. Kedua jenis bubuk tersebut umumnya tidak mampu hidup dan berkembang biak pada contoh uji dan derajat serangan bubuk dewasa maupun larva pada rotan umumnya ringan. Hasil penelitian yang dilakukan Jasni dan Suprapti 992, mengenai serangga dan jamur perusak di industri rotan Jawa Timur, disimpulkan bahwa serangga penyerang rotan adalah kumbang ambrosia, bubuk Dinoderus minutus Farb., Heterobostrychus aequalis Wat., Lyctus buneus Steph., Mynthea sp. dan rayap tanah yaitu Macrotermes sp. Jamur yang menyerang rotan terdiri dari blue stain Diplodia sp., mould jenis Penicilium sp., Aspergillus sp., A. niger Van Tieghem., dan Trychoderma sp. Jamur pelapuk yaitu Schizophyllum commune F., dan Polyporus sp. Serangga dan jamur tersebut menyerang rotan yang berupa bahan baku, barang setengah jadi dan barang jadi. Rotan mandola merupakan jenis yang paling peka terhadap bubuk. Intensitas serangan bubuk pada bagian bontos lebih besar daripada di permukaan rotan. Sedangkan organisme lain yang ditemukan intensitas serangannya ringan. Intensitas serangan organisme di beberapa perusahaan tidak menunjukkan perbedaan nyata.

IV. PENGOLAHAN

Pengolahan rotan adalah pengerjaan lanjutan dari rotan bulat rotan asalan menjadi barang setengah jadi dan barang jadi Gambar 1 atau siap dipakai atau dijual. Pengolahan dalam industri yaitu proses pemisahan rotan bulat menjadi bagian-bagian rotan seperti kulit dan hati, masing-masing bagian tersebut diolah lagi sesuai tujuan dan pemanfaatannya. Pengolahan rotan terdiri pengolahan rotan berdiameter kecil 18 mm dan rotan berdiamerter besar 18 mm. Rotan yang berdiameter kecil seperti rotan seel Daemonorop melanochaetes Becc., yang telah dipanen dan dibersihkan daun dan duri serta anggota batang dan dilakukan penggosokan dengan mengunakan serbuk gergaji atau sabut kelapa. Kemudian dipotong-potong sesuai standarnya. Rotan tersebut lalu dibawa ke tempat penumpukan rotan, dan kemudian dijemur sampai kering dan juga dilakukan pengasapan. Pengasapan pada dasarnya adalah proses oksidasi belerang gas SO2 agar warna kulit rotan kuning merata dan tahan terhadap serangan jamur. Proses pengolahan sampai tahap ini disebut rotan WS Washed and Sulphurized. Kemudian rotan tersebut terus di jemur. Rotan yang sudah kering, dilakukan pembelahan rotan dibelah dan juga ada yang diambil kulitnya, digunakan untuk pengikat atau dibuat lampit. Rotan juga bisa diambil hatinya saja, kalau ukurannya besar disebut cor rotan dan kalau ukuran lebih kecil disebut fitrit dan rotan ini digunakan untuk barang kerajinan. Hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap rotan sega Calamus caesius Bl. dengan diameter 14 mm menghasilkan fitrit dengan diameter 3 mm berjumlah 11 buah Komunikasi pribadi. A. Penggorengan Tujuan penggorengan adalah untuk menurunkan kadar air agar cepat kering dan juga untuk mencegah terjadinya serangan jamur. Cara penggorengannya adalah potongan-potongan rotan tersebut diikat menjadi suatu bundelan, kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang sudah disiapkan campuran solar dengan minyak kelapa Gambar 2. Rachman 1984, meneliti rotan manau Calamus manan Miq. masih basah segar. Rotan tersebut digoreng dengan berbagai komposisi minyak penggoreng yang terdiri atas 4 macam perbandingan volume, yaitu solar dan minyak kelapa 4:1; solar dan minyak tanah 4:1; solar, minyak tanah dan minyak kelapa 8:1:1 dan minyak tanah dan minyak kelapa 4:1. Lama waktu penggorengan 15 menit, 30 menit, 60 menit dan 120 menit. Ternyata hasilnya perbedaan campuran minyak penggoreng berpengaruh nyata terhadap warna kulit dan keteguhan tekan sejajar serat tetapi tidak memepengaruhi keteguhan geser rotan. Waktu penggorengan mempengaruhi warna kulit dan keteguhan geser rotan akan tetapi tidak mempengaruhi keteguhan tekan sejajar serat selama penggorengan. Campuran minyak penggoreng yang paling baik adalah terdiri atas solar dan minyak kelapa. Hubungan antara taraf waktu penggorengan dengan warna kulit, dan terhadap keteguhan geser masing-masing menunjukkan hubungan nyata. Baik warna kulit rotan maupun keteguhan geser cenderung menurun dengan hubungan linear yang negatif. Beberapa penelitian dilakukan umumnya menggunakan minyak penggoreng dengan komposisi minyak solar dengan minyak kelapa 9:1, juga akan menghasilkan rotan dengan warna cerah Rachman et al, 1998. Hasil penelitian Rachman dan Santoso 1996 pada rotan kesur Calamus ornatus Bl., rotan tretes Daemonorop heteroides Bl. dan rotan omas Calamus sp., yang rata-rata kadar air awal segar adalah untuk rotan kesur 124,67, rotan tretes 199,31 dan rotan omas 198,28. Setelah dilakukan penggorengan dengan minyak solar dan minyak kelapa 9:1 selama 30 menit dengan suhu berkisar 80 - 120°C, maka terjadi penurunan kadar air dan setelah penggorengan, rata-rata kadar air rotan kesur menjadi 65,37, rotan tretes 104,26 dan rotan omas 97,95. Data tersebut menunjukkan bahwa penyusutan kadar air rotan akibat penggorengan sangat beragam . Penyusutan kadar air akibat penggorengan rotan kesur menyusut sekitar 52,29, rotan tretes kurang lebih 95,05 dan rotan omas sekitar 100,33. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa nampak rotan omas memiliki pori-pori yang lebih besar daripada rotan tretes dan rotan kesur karena nilai penyusutan kadar airnya paling tinggi. Penggorengan dapat mempercepat penurunan kadar air, sehingga sangat membantu percepatan pengeringan. Penggorengan bertujuan agar lapisan lilin dan silika pada B. Penggosokan dan Pencucian Setelah rotan digoreng, ditiriskan beberapa menit, kemudian digosok dengan kain perca sabut kelapa atau karung goni yang dicampur dengan serbuk gergaji, agar sisa kotoran terutama getah yang masih menempel pada kulit rotan dapat dilepaskan, sehingga kulit rotan menjadi bersih dan akan dihasilkan warna rotan yang bewarna cerah dan mengkilap. Setelah digoreng rotan dicuci dengan air bersih sambil digosok dengan sabut kelapa untuk membersihkan kotoran yang melekat pada batang Rachman 1984. C. Pengeringan Setelah rotan dicuci lalu dikeringkan dengan cara dijemur pada panas matahari sampai kering dengan kadar air berkisar 15 - 19 Gambar 3. Hasil penelitian Basri dan Karnasudirja 1987 pada rotan manau Calamus manan Miq. dan rotan semambu Calamus scipionum Burr., menunjukkan bahwa lama pengeringan secara alami dari kedua jenis rotan tersebut berkisar 22 hari sampai 65,3 hari. Dengan menggunakan alat dehumidifier cara masinal diperoleh lama pengeringan dari kedua jenis rotan tersebut berkisar antara 5 sampai 8,5 hari. Lebih jauh, kadar air yang diperoleh dengan menggunakan alat tersebut lebih rendah dibandingkan dengan cara alam. Kadar air yang dicapai berkisar antara 10,54 - 11,78 dengan alat dehumidifier dan antara 18,35 sampai 19,19 dengan cara alam. Warna rotan yang dihasilkan dengan cara alam lebih baik lebih mengkilap dibandingkan dengan alat dehumidifier. Penggorengan dan cara pengeringan rotan sangat berpengaruh terhadap laju pengeringan rotan balubuk dan rotan seuti. Laju pengeringan terbesar terdapat pada rotan balubuk goreng yang dikeringkan di udara terbuka terkena sinar matahari langsung, yaitu rata-rata 6,3. Laju pengeringan terkecil terdapat pada rotan balubuk dan seuti mentah yang dikeringkan di bawah atap, berturut-turut 1,2hari dan 1,5 hari. Basri dan Karnasudirdja, 1987. Hasil penelitian Rachman dan Santoso 1996, pada rotan kesur C. ornatus Bl., rotan tretes D. heteroides Bl. dan rotan omas Calamus sp. dengan beberapa cara antara lain cara pertama setelah rotan digoreng langsung dikeringkan di bawah sinar matahari, cara kedua rotan segar basah , diawetkan dengan bahan pengawet, kemudian dipolis dibuang kulitnya dan langsung dikeringkan, cara ketiga rotan segar langsung dipolis buang kulitnya kemudian diawetkan dengan bahan pengawet dan langsung dikeringkan. Ternyata cara ketiga memerlukan waktu pengeringan tersingkat bila dibandingkan dengan cara perlakuan lain yang dilakukan dalam penelitian ini. Hal ini diduga karena pada perlakuan cara ketiga rotan tidak digoreng melainkan langsung dipolis, sehingga rotan tidak mengandung minyak dan kulit rotan, dengan demikian air yang menguap dari rotan itu cepat mengering. Selanjutnya hasil penelitian ini menunjukkan juga bahwa setiap jenis rotan memiliki kemampuan mengering yang berbeda. Untuk ketiga cara di atas semua perlakuan menunjukkan bahwa rotan kesur adalah yang terlama kering dibandingkan dengan rotan tretes dan omas. Rotan omas memerlukan waktu pengeringan yang tersingkat. Berdasarkan ketiga cara tersebut diatas, maka cara ketiga menunjukkan hasil pengeringan rotan tersingkat bila dibandingkan kedua cara lainnya. Rachman, Basri dan Santoso 1998 meneliti laju tiga cara pengeringan pada empat jenis rotan Tabel 6. Ketiga cara pengeringan tersebut adalah cara konvensinal rotan habis panen kemudian digoreng dengan minyak solar dan minyak kelapa dengan perbandingan 9:1, terus dijemur, cara alternatif I rotan Tabel 6. Laju pengeringan 4 jenis rotan dengan beberapa perlakuan berbeda Kadar air No. Jenis rotan Perlakuan pengolahan Awal Akhir Lama pengeringan hari Laju pengeringan hari Konvensional dan polis ½ kering 126,24 16,67 18 6,07 Konvensional dan polis kering 126,00 15,93 20 5,50 Alternatif I dan polis ½ kering 127,05 16,36 18 6,15 Alternatif I dan polis kering 126,83 15,89 21 5,28 Alternatif II dan polis ½ kering 128,29 16,89 45 2,48 1 Bubuay Alternatif II dan polis kering 128,18 16,92 50 2,23 Konvensional dan polis ½ kering 126,24 16,67 18 1,12 Konvensional dan polis kering 126,00 15,93 20 5,48 Alternatif I dan polis ½ kering 127,10 15,53 19 5,87 Alternatif I dan polis kering 126,87 15,53 22 5,06 Alternatif II dan polis ½ kering 127,18 17,76 35 3,13 2 Manau Alternatif II dan polis kering 127,49 17,90 42 2,61 Konvensional dan polis ½ kering 129,56 16,17 17 6,67 Konvensional dan polis kering 128,18 16,57 17 6,63 Alternatif I dan polis ½ kering 129,16 16,38 20 5,58 Alternatif I dan polis kering 128,83 16,68 20 5,58 Alternatif II dan polis ½ kering 127,65 17,04 30 3,69 3 Seuti Alternatif II dan polis kering 127,18 17,12 33 3,34 Konvensional dan tanpa polis 127,28 14,27 15 7,53 Alternatif I dan tanpa polis 128,13 14,58 15 7,57 4 Seel Alternatif II dan tanpa polis 128,17 16,17 27 4,15 Sumber: Rachman, et al. 1998 D. Pengupasan dan Pemolisan Pengupasan dan pemolisan umumnya dilakukan pada rotan besar pada keadaan kering, gunanya adalah untuk menghilangan kulit rotan tersebut, sehingga diameter dan warna menjadi lebih seragam dan merata. Basri et al. 1998 mencoba pengupasan dan pemolesan rotan manau Calamus manan Miq., seuti Calamus ornatus Bl. dan nunggal Calamus ornatus Bl. yang masih basah dan yang sudah kering. Dari hasil percobaan tersebut dapat diambil 4 kesimpulan berikut: 1. Proses pengupasan dan pemolisan rotan berdiameter besar dapat dilakukan dalam keadaan basah maupun kering. 2. Pengupasan dan pemolisan rotan dalam keadaan basah, menghasilkan pengurangan diameter dan produktifitas yang sama dengan yang dikupas dan dipolis pada keadaan kering. 3. Pengupasan dan pemolisan rotan pada keadaan basah menghasilkan rendemen kupas dan polis yang lebih rendah serta serat berbulu dan serat patah yang lebih banyak dibandingkan pada keadaan kering. 4. Dari klasifikasi mutu, maka jenis rotan manau dan nunggal masuk ke dalam kelas mutu baik dan seuti kelas mutu sedang, apabila dikupas dan dipolis pada keadaan basah. Namun bila rotan tersebut dikupas dan dipolis dalam keadaan kering kelas mutunya naik, yaitu untuk manau dan nunggal masuk sangat baik sementara seuti tergolong baik. E. Pembengkokan Pembengkokan atau pelengkungan rotan dilakukan pada rotan berdiameter besar sesuai dengan pengunaannya. Cara pembengkokan ini dilakukan dengan cara rotan tersebut dilunakkan dengan uap air panas yang disebut steaming dengan tabung berbentuk silinder steamer agar jaringan rotan menjadi lunak sehingga mudah dibengkokan Gambar 4. Ada beberapa kerusakan pada proses tersebut, seperti pecah, patah dan putusnya serat pada bagian permukaan yang dilengkungkan Rachman, 1990. Penelitian Rachman, Harjo dan Suwirman 1997, pelengkungan rotan melalui perendaman dengan larutan dimetil sulfoksida pada tiga jenis rotan yaitu, rotan manau Calamus manan Miq., rotan batang Daemonorops robusta Warb. dan rotan minong Calamus optimus Becc.. Rotan yang digunakan 1. Perendaman dalam larutan Dimetil Sulfosida DMSO pada suhu 80°C selama 8 jam memudahkan pelengkungan rotan. Pada taraf konsentrasi yang sama, rotan batang paling sukar dilengkungkan dan rotan manau paling mudah dilengkungkan. Pelengkungan rotan batang menjadi mudah pada perendaman dengan larutan dimetil sulfoksida konsentrasi 15 dan rotan minong pada konsentrasi 5. Kerusakan berupa pecah permukaan dan putusnya ikatan serat terjadi pada rotan batang dan rotan minong pada perendaman konsentrasi 0°. 2. Penggunaan larutan dimetil sulfoksida memudahkan pelengkungan, menurunkan tingkat kerusakan fisis dan tidak mempengaruhi kilap, namun cenderung meningkatkan nilai mulur dan sudut volume, serta menurunkan MOE dan rasio EP. 3. Larutan dimetil sulfoksida berpengaruh sangat nyata terhadap nilai MOE rotan konsentrasi 0,5, dan 10 persen tidak berbeda, mulur dan rasio EP rotan semua tingkat konsentrasi berbeda; dan berpengaruh nyata terhadap sudut volume rotan konsentrasi 10,15 dan 20 persen tidak berbeda. 4. Rotan yang sukar dilengkungkan rotan minong dan batang disarankan diberi uap panas dari DMSO pada konsentrasi 5 - 15 bergantung pada kerapatan dan distribusi ikatan pembuluh. Hasil penelitian Jasni, 1992, menunjukkan bahwa pengrajin di industri rumah tangga di Semarang, Jepara dan Solo pada 7 industri rumah tangga, proses pembengkokan dilakukan dengan cara memanaskan langsung bagian yang akan dibengkokkan pada api kompor minyak tanah dan gas LPG. Kemudian bagian tersebut dibengkokkan dengan bantuan alat pembengkok pada waktu rotan masih panas. Cara ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu prosesnya lambat dan kadang-kadang bagian yang dipanaskan dapat terbakar, sehingga bewarna hitam. F. Pemutihan Pemutihan rotan bertujuan menghilangkan silika, mengurangi kromofort gugus penyebab warna oksidasi terhadap struktur aromatik dari lignin dan karbohidrat dalam kalium hipoklorit. Pemutihan perlu dilakukan, dan harus diperhatikan bahan yang dipakai, karena pemakaian bahan dan cara yang salah mengakibatkan rotan rusak mudah patah. Lukman 1992, meneliti pemutihan kulit rotan sega Calamus caesius Bl. dengan metoda perendaman dalam larutan hidrogenperoksida H2O2. Penelitian tersebut menunjukkan hasil sbb: 1. Kulit rotan sega sebelum diputihkan mempunyai derajat putih dan keteguhan tarik sejajar serat masing-masing sebesar 38,8 dan 412,1 kgcm2. Setelah diputihkan dengan cara perendaman dalam larutan hidrogen peroksida masing-masing berubah menjadi rata-rata 44,7 dan 374,9 kgcm2. 2. Proses pemutihan rotan dengan menggunakan H2O2 pada selang konsentrasi 1 sampai 7 dapat meningkatkan nilai derajat putih sampai 48,01. Keteguhan tarik sejajar kulit rotan yang dihasilkan cenderung menurun dengan bertambahnya konsentrasi bahan pemutih yang digunakan. 3. Untuk menghasilkan kulit rotan yang memiliki nilai derajat putih dan keteguhan tarik sejajar serat yang optimum maka dianjurkan menggunakan konsentrasi bahan pemutih sebesar 5. Pada tingkat konsentrasi bahan pemutih H2O2 tersebut dihasilkan kulit rotan dengan nilai derajat putih rata-rata 46,00 dan keteguhan tarik sejajar serat sebesar 364,8 kgcm2. 4. Perlakuan lama perendaman pada proses pemutihan rotan tidak memberikan pengaruh yang nyata, baik terhadap derajat putih maupun kekuatan tarik sejajar serat. Hal yang sama berlaku Hasil penelitian di lapangan, untuk pemutihan dipakai zat-zat kimia, tetapi tidak semua perusahaan melakukan pemutihan, tergantung dari permintaan konsumen. Cara melakukan pemutihan di tiap perusahaan berbeda, ada yang mencelupkan rotan barang jadi dalam bak yang sudah berisi zat pemutih sambil digosok-gosok dengan sikat yang terbuat dari ijuk, ada juga yang mencelupkan barang setengah jadi kedalam bak yang sudah berisi bahan pemutih hanya satu detik saja dan ada pula dengan cara menyiram zat pemutih pada rotan. Bahan pemutih yang digunakan adalah perhydrol, air kaca, NaOh dan asap belerang Jasni, 1992. G. Pengasapan Pengasapan dilakukan agar warna rotan menjadi kuning merata dan mengkilap. Pengasapan dilakukan pada rotan kering yang masih berkulit alami Pengasapan pada dasarnya adalah proses oksidasi rotan dengan belerang gas SO2 agar warna kulit rotan menjadi lebih putih. Pengasapan dilakukan dalam rumah asap yang berbentuk kubah terbuat dari tembok dan balok kayu. Di dalam kubah dapat disusun 4000 batang rotan secara horizontal berlapis-lapis. Setiap lapisan diberi bantalan kayu agar asap bergerak bebas di antara lapisan rotan. Selanjutnya belerang dibakar di atas suatu wadah dan dimasukkan ke dalam rumah asap. Waktu pengasapan sekitar 12 jam dan menghabiskan sekitar 7,5 kg belerang atau 1,8 grbatang rotan Rachman 1990. H. Pengawetan Pengawetan rotan adalah proses perlakuan kimia atau fisis terhadap rotan yang bertujuan meningkatkan masa pakai rotan. Bahan kimia untuk mengawetkan rotan dirsebut bahan pengawet. Selain berfugsi untuk mencegah atau memperkecil kerusakan rotan akibat oganisme perusak, juga memperpanjang umur pakai rotan. Bahan pengawet yang digunakan harus bersifat racun terhadap organisme perusak baik pada rotan basah maupun rotan kering, permanen dalam rotan, aman dalam pengangkutan dan penggunaan, tidak bersifat korosif, tersedia dalam jumlah banyak dan murah. Pengawetan mulai dilakukan pada rotan masih berdiri atau rotan sebelum dipungut Bucheri, pengawetan rotan setelah panenan propilaktik dan pengawetan rotan setelah kering permanen. Cara pengawetan seperti ini disesuaikan dengan organisme perusak rotan tersebut. Barly 1991 mencoba pengawetan rotan bahan baku mebel pada rotan manau Calamus manan Miq., rotan batang Calamus zollingerii Becc. atau Daemonorops robusta Warb., rotan tohiti Calamus inops Becc. dan rotan tabu-tabu dengan bahan pengawet campuran garam yang mengandung bahan aktif boron boraks, asam borat, timbor dan genapol X-80 Isotridekanol polyglylether sebagai bahan anti jamur biru blue stain. Hasil percobaan menunjukkan bahwa keberhasilan pengawetan ditentukan oleh retensi dan penetrasi bahan pengawet. Dengan retensi minimum 6,28 kgm3 dan penetrasi 75 dapat dicapai rotan tabu-tabu dengan cara tekanan selama 5 menit dan vakum 15 menit, rotan batang setelah ditekan 15 menit dan vakum 15 menit, rotan tohiti setelah ditekan 25 menit dan vakum 15 menit dan rotan manau setelah ditekan 25 menit dan vakum 15 menit. Jenis rotan yang dicoba termasuk mudah diawetkan dengan cara tekanan. Untuk mempersingkat waktu pengawetan khususnya pada rotan batang, tohiti dan manau dapat dilakukan dengan cara menaikkan konsentrasi larutan menjadi lebih besar dari 3. Agar diperoleh hasil pengawetan yang efisien sebaiknya dalam pelaksanaan pengawetannya harus dipisahkan berdasarkan jenis atau setidaknya berdasarkan kelas diameter. Penggunaan pestisida untuk mencegah serangan jamur pewarna pada rotan semambu Calamus scipionum Burr. yang mempunyai kadar air 112 segar dan rotan seel Daemonorops sp. dengan kadar air berkisar 80., ternyata rotan semambu dan seel rentan terhadap jamur pewarna Martono, 1990. Oleh karena itu, pemungutan, pengangkutan dan pengolahan kedua jenis rotan ini perlu mendapat perhatian agar terhindar dari serangan jamur pewarna. Pencegahan serangan jamur pewarna dapat dilakukan dengan menggunakan pestisida yang mengandung bahan aktif TCMTBMTC; MBT; Thiobenzondazol + IF 1000 dengan konsentrasi 1 sesaat setelah pemungutan. Penggunaan pestisida pencegah jamur pewarna tidak tepat pada rotan yang telah mendapat serangan di bagian dalam, apalagi pada rotan yang kulit luarnya telah berubah warna. Pemotongan di bagian dekat buku lebih menguntungkan, karena dapat mengurangi laju serangan jamur pewarna di bagian dalam. Hasil penelitian terhadap rotan karokok C. viminalis Wendl., rotan seuti C.ornatus Bl., rotan lilin Calamus. spp. dan rotan irit C.trachyoleus Becc. dengan menggunakan bahan pengawet berbahan aktif metilenbisthiosianat 10gl dengan konsentrasi 2 dan retensi 13,7 kgton pada saat pemanenan Penelitian pada rotan seuti C. ornatus Bl., rotan pelah Daemonorops ruber Bl., rotan balubuk Calamus burchianus Burr. rotan irit Calamus trachyoleus Becc. dan rotan lambang Calamus sp. dengan menggunakan bahan pengawet Enblu 1,5 dapat mencegah serangan jamur biru. Bahan pengawet Cislin dengan konsentrasi 1,5 dapat mencegah serangan bubuk basah, yaitu kumbang ambrosia Jasni dan Martono, 1999. Penelitian terhadap rotan bubuay Plectocomia elongata Bl., rotan sampang Khorthalsia junghunii Miq., dan rotan seuti Calamus ornatus Bl., diuji ketahanannya dengan tiga jenis jamur pelapuk, yaitu Dacryopinax spathularia, Pycnoporus sanguineus dan Schizophyllum commune. Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga jenis rotan tersebut tidak resisten kelas awet IV dan jamur yang memiliki kemampuan melapukkan rotan tertnggi adalah P. sanguineus dan terendah adalah D. spathularia Djarwanto dan Jasni, 1999. Pengawetan dilakukan pada rotan kering, dan organisme perusak disebut bubuk rotan kering powder post beetle, biasanya menyerang rotan yang sudah kering seperti bahan baku rotan, barang setengah jadi dan barang jadi. Jenis rotan yang banyak mengandung zat tepung pati mudah diserang oleh serangga ini. Serangan bubuk rotan dapat dikenal karena adanya tepung halus bekas gerekan bubuk tersebut. Serangga ini paling banyak ditemukan menyerang rotan antara lain Dinoderus minutus Farb., Heterobostrychus aequalis Wat., Minthea sp. dan yang paling banyak merusak adalah Dinoderus minutus Farb. Jasni, 1998. Penelitian dilakukan Sumarni 1994 adalah pengaruh pengukusan pada rotan batang Daemonorops robusta Warb. yang diawetkan terhadap serangan bubuk Dinoderus minutus Farb., menunjukkan bahwa pengaruh pengukusan akan menurunkan retensi bahan pengawet pada rotan dengan persentase rata- rata 14,20. Rotan yang diawetkan dengan bahan pengawet yang mengandung permetrin 36,8 tanpa dikukus pada konsentrasi 0,15 dengan retensi 0,084 kgm3 dapat mencegah serangan serangga secara total dan rotan yang diawetkan dengan cara dikukus pada konsentrasi 0,30 dengan retensi 0,147 kgm3 dapat mencegah serangan serangga secara total. Djarwanto dan Jasni 1992, meneliti kemungkinan serangan rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. terhadap rotan. Rotan yang digunakan adalah rotan seel Demonorops melanochaetes Bl., rotan manau Calamus manan Miq., rotan escot Calamus sp.1, rotan lambang Calamus. sp.2, rotan mandola Calamus sp.3, rotan tohiti Calamus inops Becc. dan rotan terumpu Calamus sp.4. Rotan ini diawetkan dengan boraks. Hasilnya menunjukkan bahwa rayap kayu kering kemungkinan besar dapat menyerang rotan. Jenis rotan yang paling peka terhadap serangan adalah rotan seel dan yang kurang peka adalah manau. Derajat serangan rayap pada contoh uji yang dihasilkan umumnya ringan. Senyawa boron mungkin dapat digunakan untuk mencegah serangan rayap kayu kering pada rotan. Jasni et al. 1995 melaporkan bahwa permetrin dan methyl bisthiosianat 0,5 cukup efektif mencegah serangan bubuk Dinoderus minutus Farb. pada rotan mandola Calamus sp. yang masih segar. Pengawetan dilakukan secara rendaman selama 2 jam, kemudian rotan tersebut digoreng dan dikeringkan sampai kadar air 17. Pada percobaan lain dengan rotan kering k.a. 17 bubuay P. elongata Bl., seuti Calamus ornatus Bl., dan sampang Khorthalsia junghunii Miq., permetrin 0,09 ppm efektif mencegah serangan bubuk di atas. Pengawetan dilakukan secara rendaman dingin selama 2 jam Jasni et al, 1998. Phoxim dan klorofirifos ternyata lebih efektif lagi untuk mencegah serangan bubuk Dinoderus minutus Farb. Rotan batang Daemonorops robusta Warb. dapat diawetkan dengan phoxim 0,25 dan klorfirifos 0,5 secara rendaman dingin Jasni, 1999.

V. SOSIAL EKONOMI