SOSIAL EKONOMI SARI HASIL PENELITIAN ROTAN

Penelitian pada rotan seuti C. ornatus Bl., rotan pelah Daemonorops ruber Bl., rotan balubuk Calamus burchianus Burr. rotan irit Calamus trachyoleus Becc. dan rotan lambang Calamus sp. dengan menggunakan bahan pengawet Enblu 1,5 dapat mencegah serangan jamur biru. Bahan pengawet Cislin dengan konsentrasi 1,5 dapat mencegah serangan bubuk basah, yaitu kumbang ambrosia Jasni dan Martono, 1999. Penelitian terhadap rotan bubuay Plectocomia elongata Bl., rotan sampang Khorthalsia junghunii Miq., dan rotan seuti Calamus ornatus Bl., diuji ketahanannya dengan tiga jenis jamur pelapuk, yaitu Dacryopinax spathularia, Pycnoporus sanguineus dan Schizophyllum commune. Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga jenis rotan tersebut tidak resisten kelas awet IV dan jamur yang memiliki kemampuan melapukkan rotan tertnggi adalah P. sanguineus dan terendah adalah D. spathularia Djarwanto dan Jasni, 1999. Pengawetan dilakukan pada rotan kering, dan organisme perusak disebut bubuk rotan kering powder post beetle, biasanya menyerang rotan yang sudah kering seperti bahan baku rotan, barang setengah jadi dan barang jadi. Jenis rotan yang banyak mengandung zat tepung pati mudah diserang oleh serangga ini. Serangan bubuk rotan dapat dikenal karena adanya tepung halus bekas gerekan bubuk tersebut. Serangga ini paling banyak ditemukan menyerang rotan antara lain Dinoderus minutus Farb., Heterobostrychus aequalis Wat., Minthea sp. dan yang paling banyak merusak adalah Dinoderus minutus Farb. Jasni, 1998. Penelitian dilakukan Sumarni 1994 adalah pengaruh pengukusan pada rotan batang Daemonorops robusta Warb. yang diawetkan terhadap serangan bubuk Dinoderus minutus Farb., menunjukkan bahwa pengaruh pengukusan akan menurunkan retensi bahan pengawet pada rotan dengan persentase rata- rata 14,20. Rotan yang diawetkan dengan bahan pengawet yang mengandung permetrin 36,8 tanpa dikukus pada konsentrasi 0,15 dengan retensi 0,084 kgm3 dapat mencegah serangan serangga secara total dan rotan yang diawetkan dengan cara dikukus pada konsentrasi 0,30 dengan retensi 0,147 kgm3 dapat mencegah serangan serangga secara total. Djarwanto dan Jasni 1992, meneliti kemungkinan serangan rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. terhadap rotan. Rotan yang digunakan adalah rotan seel Demonorops melanochaetes Bl., rotan manau Calamus manan Miq., rotan escot Calamus sp.1, rotan lambang Calamus. sp.2, rotan mandola Calamus sp.3, rotan tohiti Calamus inops Becc. dan rotan terumpu Calamus sp.4. Rotan ini diawetkan dengan boraks. Hasilnya menunjukkan bahwa rayap kayu kering kemungkinan besar dapat menyerang rotan. Jenis rotan yang paling peka terhadap serangan adalah rotan seel dan yang kurang peka adalah manau. Derajat serangan rayap pada contoh uji yang dihasilkan umumnya ringan. Senyawa boron mungkin dapat digunakan untuk mencegah serangan rayap kayu kering pada rotan. Jasni et al. 1995 melaporkan bahwa permetrin dan methyl bisthiosianat 0,5 cukup efektif mencegah serangan bubuk Dinoderus minutus Farb. pada rotan mandola Calamus sp. yang masih segar. Pengawetan dilakukan secara rendaman selama 2 jam, kemudian rotan tersebut digoreng dan dikeringkan sampai kadar air 17. Pada percobaan lain dengan rotan kering k.a. 17 bubuay P. elongata Bl., seuti Calamus ornatus Bl., dan sampang Khorthalsia junghunii Miq., permetrin 0,09 ppm efektif mencegah serangan bubuk di atas. Pengawetan dilakukan secara rendaman dingin selama 2 jam Jasni et al, 1998. Phoxim dan klorofirifos ternyata lebih efektif lagi untuk mencegah serangan bubuk Dinoderus minutus Farb. Rotan batang Daemonorops robusta Warb. dapat diawetkan dengan phoxim 0,25 dan klorfirifos 0,5 secara rendaman dingin Jasni, 1999.

V. SOSIAL EKONOMI

Nasendi 1995 dalam laporannya, menyimpulkan bahwa potensi rotan Indonesia masih baik. Disarankannya agar arah pengusahaan rotan dilakukan dengan pola Hutan Tanaman Industri secara Komersial dan Hutan Tanaman Rakyat. Penerobosan pasar ekspor menuju era ekonomi dunia yang lebih terbuka pasca Putaran Uruguay memerlukan strategi khusus sebagai tindak lanjut Indonesia memasuki ekspor barang jadi rotan yang berkualitas dan penting sejak Januari 1989. Upaya penelitian pengembangan rotan masih terus harus dipacu khusus yang menyangkut aspek silvikultur, provenance, bibit dan biji, serta sosial ekonomi, Selain itu produksi dan pemasaran, teknologi pasca panen, sumber daya manusia dan pendidikan serta penyuluhan harus dilakukan pula secara terpadu. Survey potensi rotan alam yang lebih menyeluruh untuk memantau neraca stock dan sumber alamnya dari waktu ke waktu perlu dilakukan. Sebagian besar produksi rotan dari Kabupaten Pasir diangkut ke propinsi Kalimantan Selatan. Di sana digunakan sebagai bahan baku industri tikar dan lampit. Lampit merupakan 80 nilai ekspor rotan. Rotan dari Kabupaten Kutai hanya sebagian kecil saja yang diangkut ke Pulau Jawa. Biaya produksi untuk mebel rotan, lampit dan anyaman berbeda tergantung pada tipe rotan dan jenis barang. Untuk mebel ruangan duduk sekitar Rp 73.130unit, tikar rotan sekitar Rp 16.519m2 dan penutup makanan sekitar Rp 1.61520 buah. Upah yang diterima pengrajin mebel rotan di Kabupaten Samarinda dan Hulu Sungai Utara masing- masing adalah Rp 3.374.000 dan Rp 2.888.000 tiap tahun. Dibandingkan dengan KFM Kebutuhan Fisik Minimum jumlah tersebut cukup baik, karena pendapatan dari penganyaman rotan hanya berjumlah Rp 63.500bulan, dengan dugaan pekerjaan penganyaman rotan satu-satunya sumber pendapatan. Jalur distribusi dari produsen kepada konsumen beragam, pengamatan lapangan menunjukkan sekurang-kurangnya ada 10 pola jalur distribusi. Yang sangat nyata adalah pola pemasaran antar pulau, pola dari produsen rotan ke industri lampit dan pola ke pengrajin rotan Purnama dan Parahasto, 1996. Irawati dan Dwiprabowo 1996, menganalisis sosial ekonomi rotan tanaman di Jawa, dengan kesimpulan bahwa pendapatan pekerja pada kegiatan perkecambahan, persemaian dan penanaman rotan berturut- turut Rp 63.000,-, Rp 285.00,-, Rp 65.000,- dan Rp 81.000,- per bulan. Pendapatan ini memberikan konstribusi kepada pendapatan total keluarga pekerja berturut-turut sebesar 6 - 26, 56 dan 17. Pendapatan bersih dari tanaman pinus saja adalah Rp 9.430.866,- per ha untuk rotasi 25 tahun dan tingkat IRR 15,05. Pendapatan bersih dari tanaman campuran pinus dan rotan adalah Rp 13.256.753,- dengan tingkat IRR sebesar 16,36 sehingga penanaman rotan dapat meningkatkan manfaat ekonomis hutan. Penanaman rotan di Jawa Barat sejak tahun 1993 menurun padahal luas hutan baru mencapai 4 dari hutan produksi. Demikian pula penanaman rotan di Jawa Timur telah terhenti sejak tahun 1993. Hasil kajian kelompok kerja rotan Badan Litbang Kehutanan 1997 tentang permasalahan rotan dalam rangka reorientasi kebijakan rotan Indonesia dilaporkan seperti berikut: 1 Keadaan rotan masih cukup baik, kerana dari 306 jenis rotan yang ada di Indonesia baru dimanfaatkan 51 jenis, sedangkan yang belum dimanfaatkan 255 jenis. Pekiraan luas areal berotan adalah 98,7 juta ha, yang terdiri dari 75 berhutan dan 25 tidak berhutan. Rata-rata potensi rotan diameter 18 mm sekitar 161.320,56 ton, dan secara total adalah 349.177 tontahun produksi netto lestari. Tanpa perhitungan Faktor Effisiensi FE dan faktor pengaman FP yang ± 0,5, maka AAC tebang lestari diperkirakan ± 698,254 tontahun tidak berbeda dengan angka tahun 1986 pada 15 propinsi yaitu 696.000 tontahun. 2 Pola produksi bahan baku masih bersifat tradisional dengan pola pungut tanpa perangkat alat penarik. Tenaga pekerja untuk memungut rotan alam berkisar antara 5 - 10 orangregu selama 10 - 15 hari di hutan. Rotan tanaman 2 - 3 orangregu langsung diangkut. Status harga tidak jelas dan lebih ditentukan pemodal. 3 Jumlah industri pengolahan rotan dari tahun ketahun meningkat. Pada tahun 1988 berjumlah 381 perusahaan dan pada tahun 1995 menjadi 548 perusahaan. Kapasitas produsksi barang setengah jadi dan barang jadi pada tahun 1988 sebanyak 101.086 ton, sedangkan tahun 1995 meningkat menjadi 1.152.900 tontahun. Keadaan ini sudah mencapai target AAC tebang lestari rotan sebagai bahan baku; adanya perbedaan suplai sebesar 454.900 tontahun. Total investasi 1995 adalah 944 milyar dengan 584 perusahaan, 198.990 tenaga kerja pada industri. 4 Harga jual rotan pada berbagai lembaga tata niaga di Kalimantan a Petani rotan Rp 350kg b Pedagang pengumpul Rp 925kg c Pedagang besar Rp 1.350 kg d Pedagang antar pulau Rp 1.600kg 5 Harga jual rotan pada berbagai lembaga tata niaga di Sulawesi a Pemungut rotan Rp 200kg b Ketua kelompok Rp 240 kg 6 Margin keuntungan pada berbagai lembaga tata niaga di Kalimantan a Pedagang pengumpul Rp 120kg b Pedagang besar Rp 260kg c Pedagang antar pulau Rp 170kg 7 Margin keuntungan pada berbagai lembaga tata niaga di Sulawesi a Ketua kelompok Rp 40kg b KUD pengumpul Rp 20kg c KUD pengumpul dan pengolah Rp 85kg d Pedagang antar pulau Rp 520kg Margin keuntungan yang diterima oleh lembaga tata niaga makin kecil makin ke hulu. Dampak sosial ekonomi rotan hasil kajian ini sebagai berikut: 1. Dampak kegiatan tata niaga ekspor rotan yang dikeluarkan pemerintah sejak tahun 1986 dan seterusnya terhadap kesempatan kerja cukup tinggi khususnya dibidang industri pengolahan rotan pengrajin rotan dan industri rumah tangga serta petanipemungut rotan di desa. Selama ini diperkirakan sektor ini mampu menyerap ± 200 - 250 orang pekerja per tahun. 2. Dampak kebijakan tata niaga ekspor rotan terhadap pendapatan petani pada awalnya dirasakan bergairah dan produktif. Namun akhir-akhir ini khususnya sejak tahun 1994 - 1997 margin keuntungan dan harga rotan tidak dirasakan lagi dapat memberikan dorongan yang berarti lagi bagi petani dan pemungut rotan di pedesaan di dalamsekitar hutan. Harga rotan jatuh sampai Rp 250 - Rp 400 per kg 1996, dibandingkan dengan harga pada tahun 1986 Rp 2.750 per kg. Harga tersebut tidak cukup untuk membeli beras yang Rp 800 per kg. Rotan sudah tidak lagi menjadi komoditi dan aktivitas produksi andalan bagi petanipemungut rotan di pedesaan sekitar hutan. 3. Banyak areal rotan yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit dan kebun karet khususnya di Kalimantan dan Sumatra. 4. Dampak terhadap penebangan liar dan perdagangan ekspor ilegal juga cukup tinggi rata-rata 60 - 70 ton rotan per kapal motor per hari. Analisis biaya dan sosek pengolahan rotan alternatif, yaitu konvensional panen - goreng - jemur - naturalpolis, alternatif I panen - goreng + bahan pengawet - jemur - polis - jemur dan alternatif II panen - pengawetan - polis - jemur. Hasilnya menunjukkan persentase rotan bebas serangan jamur pewarna untuk cara konvensional 74, alternatif I 89 dan alternatif II 100. Biaya pengolahan riil per batang rotan untuk cara pengolahan konvensional Rp 4.440,-, alternatif I Rp 4.767,-, dan alternatif II Rp 4.143,-. Perkiraan pendapatan kotor termasuk upah kerja per batang rotan untuk cara pengolahan konvensional Rp 4.920,- alternatif I Rp 4.593,- dan alternatif II Rp 5.217,- Puspitodjati dan Supriadi, 1998. Hasil studi kasus alih teknologi pengolahan rotan lepas panen di KPH Kuningan Martono dan Puspitodjati ,1999, menunjukkan prestasi kerja 4 orang petani peserta alih teknologi pengolahan rotan asalan menjadi rotan WS kering adalah 300 batang per hari 9 jam kerja. Alokasi waktu pengolahan 300 batang rotan tersebut : 0,5 jam untuk pemanasan tunggu, 3,5 jam untuk penggorengan, penggososkan dan penjemuran, 1 jam istirahat, 2 jam untuk pembalikan rotan yang dijemur dan 1 jam untuk sortasi. Rotan WS hasil pengolahan masyarakat kualitas lebih baik tetapi hanya dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi minimal Rp 944,- per batang dibanding harga yang berlaku di pasar Rp.900,- per batang. Hasil kerjasama Perhutani dengan Litbang Hasil Hutan 1999, tentang pedoman teknis pengembangan pengolahan Rotan Lepas Panen di Pulau Jawa dapat diuraikan dibawah ini. A. Biaya Investasi Investasi yang diperlukan untuk membangun unit pengolahan lepas panen Gambar 5 adalah sebesar Rp 16.194.750,- 1 unit dan perinciannya seperti Tabel 7. Tabel 7. Investasi pembangunan unit instalasi PRLP Uraian Biaya Rp Bangsal kerja 5.743.250 Gudang penyimpanan 7.751.500 Jumlah 16.194.750 Sumber : Anonim 1999 B. Biaya produksi dan Harga Pokok Besarnya biaya produksi dipengaruhi oleh tingkat pemakaian bahan baku pembantu serta produktivitas tenaga kerja. Biaya produksi terdiri dari biaya produksi langsung dan biaya produksi tidak langsung. Biaya produksi langsung merupakan biaya yang terkait langsung dengan proses pengolahan rotan. Biaya produksi tidak langsung antara lain adalah : biaya pemeliharaan, biaya penyusutan alat dan bangunan, biaya administrasi, bunga bank dan pajak. Dengan menghitung seluruh biaya yang terjadi, diperoleh harga pokok rotan WS sebesar Rp 1427,- per batang. Rincian perhitungan harga pokok rotan WS dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Harga pokok rotan WS No Uraian Biaya untuk produksi 100.000 batang Rp 1.000 I Biaya langsung : 1 Bahan baku rotan segar 80.000 2 Angkutan rotan segar 15.000 3 Bahan pembantu 6.355 4 Gaji dan upah 21.000 5 Angkutan rotan kering 15.000 II Biaya tidak langsung : 1 Pemeliharaan 1.620 2 Penyusutan alat dan bangunan 3.200 3 Bunga bank 480 Jumlah: I ± II 142.655 Harga pokok Rp.batang 1.427 Harga jual Rpbatang 2.000 Laba Rpbatang 0.573 Sumber : Anonim 1999 C. Analisis Finasial Analisis finasial dapat diketahui : Proyeksi pendapatan ,BEP, Payback period dan NVP sebagai berikut: 1. Proyeksi Pendapatan Proyeksi pendapatan dibuat mempertimbangkan kapasitas produksi pengolahan rotan lepas panen dan peluang pemasaran, ditambah dengan asumsi bahwa bahan baku rotan tersedia baik dalam jumlah maupun kesinambungan. Proyeksi pendapatan dibuat selama 5 tahun sesuai dengan umur proyek Tabel 9. Tabel 9. Proyeksi pendapatan PRLP Rp 1.000 Tahun Laba kotor Laba bersih Tahun 1 26.912 24.222 Tahun 2 47.128 42.415 Tahun 3 47.128 42.415 Tahun 4 47.128 42.415 Tahun 5 47.128 42.415 Rata- rata 43.084 38.776 Keterangan : Anonim, 1999 Hasil analisis menunjukkan bahwa BEP produksi dan harga jual rotan WS adalah 78.700 batang per tahun dan Rp 1.573,- per batang. Tingkat BEP produksi rotan WS ini jauh di bawah nilai yang diproyeksikan. Hal ini berarti PRLP Panen Rotan Lepas Panen bila dioperasikan secara optimal Produksi 100.000 batang per tahun akan mendatangkan keuntungan yang tinggi. 3. Payback period Payback period adalah perkiraan lamanya jangka waktu yang diperlukan untuk kembalinya suatu investasi yang ditanamkan dalam sutu proyek. Dari Tabel proyeksi pendapatan diketahui bahwa selama 5 tahun operasi, PRLP selalu memperoleh pendapatan yang positif sehingga investasi dapat dikembalikan pada tahun pertama operasi. Payback period 1 tahun tersebut lebih pendek dibandingkan dengan umur bangunan dan peralatan unit PRLP, sehingga usaha pengolahan rotan lepas panen layak untuk dilaksanakan. 4. Net Present Value NPV Hasil analisis diperoleh nilai NPV sebesar Rp 161.503.000,-. Nilai NPV yang positif menunjukkan bahwa usaha pengolahan rotan lepas panen layak untuk dilaksanakan. Tabel 10. Tabel 10. Analisis BEP, NPV, BC Ratio dan Payback Period Analisis Hasil Analisis B E P - Harga jual Rp 1.573 1. - Produksi batang 78.700 2. NPV Rp 1.000 161.503 3. BC Ratio 1,27 4. Payback period tahun 1 Sumber : Anonim 1999 D. Analisis Kepekaan Faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi keuangan industri adalah harga jual, biaya produksi dan tingkat produksi. 1. Volume produksi turun 20 Kerusakan peralatan dan kekurangan bahan baku dapat menyebabkan realisasi produksi di bawah tingkat produksi yang direncanakan. Apabila tingkat produksi hanya mencapai 80.000 batang turun 20 maka NPV menjadi Rp 126.439.000,- BC ratio menjadi 1,26 dan BEP produksi harga jual menjadi 53.324 batang per tahun dan Rp. 1.583,- per batang. Meskipun, volume produksi turun, usaha pengolahan rotan lepas panen masih layak untuk dilaksanakan. 2. Harga jual turun 15 Dalam analisis kepekaan, penurunan harga rotan diperkirakan dapat mencapai 15. Penurunan harga jual tersebut menyebabkan nilai NPV menjadi Rp. 47.769.000,- BEP produksi dan harga jual menjadi 92.588 batang per tahun dan Rp 1.573,- per batnag, dan niali BC ratio 1,08. Penurunan harga jual ini tidak mempengaruhi kelayakan usaha pengolahan rotan lepas panen. 3. Biaya produksi naik 15 Kenaikan biaya produksi dapat disebabkan oleh kenaikan harga rotan asalan, harga bahan pembantu dan upah tenaga kerja. Apabila biaya produksi naik 15 maka niali NPV menjadi Rp. 71.995.000,-, BC Tabel 11. Analisis Kepekaan Analisis Produksi turun 20 Harga turun 15 Biaya produksi naik 15 B E P - Harga jual Rp 1.583 1.573 1.810 1. - Produksi batang 63.324 92.588 90.905 2. NPV Rp 1.000 126.439 47.769 71.995 3. BC Ratio 1,26 1,08 1,10 Sumber : Anonim 1999

VI. PENUTUP