Penentuan Titik Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa pada Sengon (Paraserianthes Falcataria (L.) Nielsen) dan Jabon (Anthocephalus Cadamba Miq.)

ABSTRAK
KANTI DEWI RIZQIANI. Penentuan Titik Transisi Kayu Juvenil ke Kayu
Dewasa pada Sengon (Paraserianthes Falcataria (L.) Nielsen) dan Jabon
(Anthocephalus Cadamba Miq.). Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. I Wayan
Darmawan, M.Sc.
Kayu sebagai sumber daya hutan yang penting telah diproses dalam
jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan manusia yang meningkat. Untuk
memenuhi permintaan kayu yang meningkat, pasokan kayu akan berasal dari jenis
yang cepat tumbuh yang ditanam di hutan tanaman dan hutan rakyat. Jenis cepat
tumbuh ini cenderung dipanen dalam rotasi yang pendek dan akan memiliki
proporsi kayu juvenil yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui karakteristik kayu juvenil dan untuk memperkirakan umur transisi
kayu juvenil ke kayu dewasa pada Sengon dan Jabon. Pendekatan pemodelan
regresi tersegmentasi digunakan untuk memperkirakan masa transisi, dan prosedur
non-linear digunakan untuk mengidentifikasi titik mulai terbentuknya kayu
dewasa. Dalam upaya untuk menentukan masa transisi kayu juvenil dan dewasa
pada Sengon dan Jabon, 2 pohon sampel dengan masing-masing umur 5, 6, dan 7
tahun diambil dari hutan rakyat di Sukabumi. Disk dengan ketebalan 5 cm diambil
pada ketinggian 1,3 meter (diameter setinggi dada) dari setiap pohon untuk
menentukan panjang serat, MFA, kerapatan, dan kadar air segar. Kerapatan kayu
diukur dari empulur hinga kulit dengan menggunakan X-ray densitometri.

Panjang serat dan sudut mikrofibril (MFA) pada setiap lingkaran tumbuh selebar
1 cm dari empulur hingga kulit menggunakan teknik maserasi dan mikrotom.
Analisis model regresi tersegmentasi pada bidang tangensial dengan variasi
panjang serat dan MFA memperlihatkan bahwa juvenilitas pada kayu Sengon dan
Jabon berada diatas umur 7 tahun. Panjang serat dan sudut mikrofibril tampaknya
merupakan indikator anatomi terbaik untuk menentukan masa transisi antara kayu
juvenil dan dewasa, walaupun usia pematangan bervariasi antar sifat. Proporsi
kayu juvenil pada kayu Sengon dan Jabon pada umur 7 tahun masing-masing
sebesar 80-100% dan 100%.
Kata kunci: Panjang Serat, Sudut Mikrofibril, Kayu Juvenil, Kayu Dewasa, Jabon,
Sengon

ABSTRACT
KANTI DEWI RIZQIANI.

Determination of Juvenile and Mature Transition Point for
Sengon and Jabon Wood. Supervised by Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc.

Wood as an important forest resource has been processed in large quantity to
fulfill an increasing need of humans. To satisfy the increasing demand for the

wood products, the supply of the wood will be come from fast-growing tree
species grown on plantation forest and community forest. This fast-growing wood
species will tend to be harvested in short age rotations and will contain higher
proportions of juvenile wood. The objective of this research is to know
characteristics of juvenile and to obtain consistent estimates of transition age from
juvenile to mature wood of Sengon and Jabon woods. Segmented modeling
approach was used to estimate the age of transition, and the non-linear procedure

was employed to identify the juvenile to mature wood transition point. In an
attempt to determine the juvenile and mature transition age for Sengon and Jabon,
6 trees were sampled in three age classes (5, 6, and 7 year) from a community
forest in Sukabumi. Disks of 5 cm thick were collected at 1.3 meters (diameter
breast height) from each tree to determine fiber length, MFA, density, and greenmoisture content. Wood density was measured from pith to bark by X-ray
densitometry. Fiber length and microfibril angle (MFA) were measured on
isolated segmented rings of 1 cm width from pith to bark by visual interpretation
on maceration and microtome samples. The segmented regression models and
visual interpretation of tangential patterns of variation in fiber length and MFA
reveal that juvenility in Sengon and Jabon extends up to 7 years, respectively.
Fiber length and microfibril angle appear to be good anatomical indicators of age
demarcation between juvenile and mature wood, although maturation age often

varies among the properties. The projected figures for proportion of juvenile wood
in Sengon and Jabon at age of 7 year are 80–100% and 100%, respectively.
Keywords: fibre length, microfibril angle, juvenile wood, mature wood, Jabon,
Sengon

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang semakin pesat, maka
kebutuhan kayu sebagai bahan baku bangunan dan industri perkayuan semakin
meningkat. Di pihak lain, kemampuan hutan sebagai penyuplai kayu cenderung
menurun sehingga semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan kayu, baik untuk
bahan bangunan maupun sebagai bahan baku industri perkayuan. Kementerian
Kehutanan (2011) mencatat bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia selama
periode 2009 – 2010 mencapai 832.126,9 hektar per tahun. Tingginya tingkat
kerusakan hutan tersebut dikarenakan konversi kawasan hutan untuk perkebunan
dan transmigrasi, pencurian kayu, penebangan liar (illegal logging) dan kebakaran
hutan. Belum optimalnya reboisasi juga mengakibatkan semakin luasnya hutan
yang rusak.
Alternatif yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan kayu tersebut
antara lain melalui pengembangan hutan tanaman industri (HTI) dan hutan rakyat.

Kayu yang berasal dari hutan tanaman dan hutan rakyat memiliki potensi yang
cukup besar dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kayu untuk berbagai
keperluan. Namun demikian, jenis pohon yang dikembangkan di areal hutan
tanaman pada umumnya merupakan jenis kayu cepat tumbuh (fast growing
species) seperti sengon, jabon, mangium, mahoni, rasamala, gmelina, dan lain-lain.
Jenis-jenis pohon tersebut relatif bermutu rendah karena selain berumur muda,
juga mengandung banyak cacat seperti mata kayu, miring serat, cacat bentuk dan
sebagainya (Abdurachman dan Hadjib 2006).
Di samping itu, kayu dari hutan tanaman dan hutan rakyat pada umumnya
dipanen dalam usia rotasi yang pendek sehingga kayu yang dihasilkan umumnya
berdiameter kecil. Pada umur tebang yang relatif muda, proporsi kayu juvenil
lebih besar dibandingkan dengan kayu dewasa. Dalam pemanfaatan kayu,
keberadaan kayu juvenil kurang disukai karena sifat-sifatnya yang kurang baik.
Agar pemanfaatan kayu lebih optimal, perlu diketahui lebih jauh tentang kayu
juvenil, sifat-sifat kayu juvenil, dan batas terbentuknya kayu juvenil. Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, dirasa perlu melakukan penelitian untuk
mengetahui masa transisi kayu juvenil ke kayu dewasa pada tiga umur tebang
pohon sengon dan jabon yang berbeda yaitu lima, enam, dan tujuh tahun.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan titik transisi dari kayu juvenil
ke kayu dewasa pada kayu cepat tumbuh (sengon dan jabon) dengan tiga umur
tebang yang berbeda yaitu lima, enam, dan tujuh tahun.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat tentang kayu juvenil dan kayu dewasa pada kayu cepat tumbuh

2
(sengon dan jabon) sehingga pemanfaatan dan teknologi pengolahan serta
pengembangan teknik dalam pengelolaan tegakan jenis pohon tersebut dapat
dilakukan secara optimal.

TINJAUAN PUSTAKA

Kayu Juvenil
Dalam beberapa dekade ini, manajemen kehutanan telah diarahkan untuk
memproduksi jenis kayu cepat tumbuh dimana kayu tersebut dapat dipanen pada
umur yang masih relatif singkat dengan diameter yang besar. Oleh sebab itu,
diduga sumber kayu untuk masa depan akan memiliki persentasi kayu juvenil

yang tinggi. Tingginya persentasi kayu juvenil ini akan memberikan dampak yang
negatif bagi industri hasil hutan seperti pada produksi, sifat, dan nilai produk
hasil hutan sendiri (Bendtsen 1978, Kennedy 1995, Zobel dan Sprague 1998
dalam Lindstrom 2002). Kayu juvenil merupakan massa kayu atau bagian kayu
yang dibentuk oleh kambium vaskular pada tahun-tahun pertama pertumbuhan,
saat kambium vaskular masih dipengaruhi oleh kegiatan meristem pucuk
(meristem apikal). Kayu juvenil dibentuk oleh kambium sebagai hasil
perpanjangan pengaruh meristem apikal pada daerah tajuk yang aktif (Panshin dan
de Zeeuw 1980). Kayu juvenil dapat ditemukan pada kayu daun jarum maupun
kayu daun lebar, dan biasanya kayu juvenil memiliki kualitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan kayu dewasa. Proporsi kayu juvenil dalam pohon
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya spesies, ukuran lingkaran tumbuh
hingga usia hilangnya daerah kambium, dan tajuk aktif (Di Lucca C.M. dalam
Mutz 2004).
Berdasarkan Clark dan Saucier 1989 dalam Mora et al. 2007, satu
panampang-lintang radial dari batang pinus, mengandung tiga zona, yakni zona
inti atau zona dari tajuk pembentuk kayu, zona kayu peralihan, dan zona dengan
kayu dewasa (Gambar 1). Baik tajuk pembentuk kayu maupun kayu transisi
tersebut dikenal sebagai kayu juvenil. Menurut Bowyer et al. 2007 kayu juvenil
terdapat diseluruh pohon dan karakteristik kayu tergantung pada kecepatan

tumbuh dan berhubungan dengan umur pohon. Pada saat tanaman masih muda
atau pada tahun-tahun pertama pertumbuhan, kambium primer membentuk kayu
juvenil. Seiring dengan bertambahnya usia pohon, maka tajuk semakin bergerak
ke atas. Pengaruh tajuk pada daerah kambium semakin berkurang dan
terbentuklah kayu dewasa. Lamanya periode juvenil ini bervariasi menurut jenis
pohon tetapi kayu juvenil selalu terdapat pada riap tumbuh pertama. Kayu juvenil
umumnya terbentuk dalam 5-15 lingkaran tumbuh pertama dengan lama
pembentukan tergantung dari spesies (Bowyer et al. 2007).

2
(sengon dan jabon) sehingga pemanfaatan dan teknologi pengolahan serta
pengembangan teknik dalam pengelolaan tegakan jenis pohon tersebut dapat
dilakukan secara optimal.

TINJAUAN PUSTAKA

Kayu Juvenil
Dalam beberapa dekade ini, manajemen kehutanan telah diarahkan untuk
memproduksi jenis kayu cepat tumbuh dimana kayu tersebut dapat dipanen pada
umur yang masih relatif singkat dengan diameter yang besar. Oleh sebab itu,

diduga sumber kayu untuk masa depan akan memiliki persentasi kayu juvenil
yang tinggi. Tingginya persentasi kayu juvenil ini akan memberikan dampak yang
negatif bagi industri hasil hutan seperti pada produksi, sifat, dan nilai produk
hasil hutan sendiri (Bendtsen 1978, Kennedy 1995, Zobel dan Sprague 1998
dalam Lindstrom 2002). Kayu juvenil merupakan massa kayu atau bagian kayu
yang dibentuk oleh kambium vaskular pada tahun-tahun pertama pertumbuhan,
saat kambium vaskular masih dipengaruhi oleh kegiatan meristem pucuk
(meristem apikal). Kayu juvenil dibentuk oleh kambium sebagai hasil
perpanjangan pengaruh meristem apikal pada daerah tajuk yang aktif (Panshin dan
de Zeeuw 1980). Kayu juvenil dapat ditemukan pada kayu daun jarum maupun
kayu daun lebar, dan biasanya kayu juvenil memiliki kualitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan kayu dewasa. Proporsi kayu juvenil dalam pohon
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya spesies, ukuran lingkaran tumbuh
hingga usia hilangnya daerah kambium, dan tajuk aktif (Di Lucca C.M. dalam
Mutz 2004).
Berdasarkan Clark dan Saucier 1989 dalam Mora et al. 2007, satu
panampang-lintang radial dari batang pinus, mengandung tiga zona, yakni zona
inti atau zona dari tajuk pembentuk kayu, zona kayu peralihan, dan zona dengan
kayu dewasa (Gambar 1). Baik tajuk pembentuk kayu maupun kayu transisi
tersebut dikenal sebagai kayu juvenil. Menurut Bowyer et al. 2007 kayu juvenil

terdapat diseluruh pohon dan karakteristik kayu tergantung pada kecepatan
tumbuh dan berhubungan dengan umur pohon. Pada saat tanaman masih muda
atau pada tahun-tahun pertama pertumbuhan, kambium primer membentuk kayu
juvenil. Seiring dengan bertambahnya usia pohon, maka tajuk semakin bergerak
ke atas. Pengaruh tajuk pada daerah kambium semakin berkurang dan
terbentuklah kayu dewasa. Lamanya periode juvenil ini bervariasi menurut jenis
pohon tetapi kayu juvenil selalu terdapat pada riap tumbuh pertama. Kayu juvenil
umumnya terbentuk dalam 5-15 lingkaran tumbuh pertama dengan lama
pembentukan tergantung dari spesies (Bowyer et al. 2007).

3
TAJUK

KAYU
DEWASA

KAYU
JUVENIL

KAYU TERAS


KAYU
DEWASA

(Sumber: J. Ilic, R. Northway dan S. Pongracic 2003)

Gambar 1. Zona Kayu Juvenil pada Batang Kayu.
Bendtsen (1978) dalam Bowyer et al. (2007) juga menyatakan bahwa
dalam lingkaran berikutnya dari pusat pohon, laju perubahan sebagian besar sifatsifat seperti berat jenis, kerapatan, dimensi serat, sudut mikrofibril, susut
longitudinal sangat cepat dalam beberapa lingkaran pertama kemudian berangsurangsur mengalami sedikit ciri kayu dewasa. Karena perubahan yang berangsurangsur tersebut, maka tidak jelas dimana pertumbuhan kayu juvenil berakhir dan
pembentukan kayu dewasa dimulai.

Dimensi Serat
Dimensi serat (dalam hal ini adalah panjang serat) dapat menjadi salah satu
parameter dalam menentukan kayu juvenil dan kayu dewasa dengan melihat
variasi panjang serat mulai dari empulur hingga bagian kulit. Sel-sel pada kayu
juvenil lebih pendek dibandingkan dengan kayu dewasa sehingga dapat dijadikan
batas antara kayu juvenil dan kayu dewasa. Panjang serat mengalami kenaikan
yang progresif sampai batas umur tertentu kemudian panjang serat tersebut
mengalami sedikit fluktuasi, panjang serat yang mempunyai nilai konstan inilah

batas kayu juvenilnya (Gambar 2). Seperti yang dinyatakan oleh Bowyer et al
(2007) bahwa panjang sel kayu dewasa mungkin mencapai tiga sampai empat kali
panjang sel-sel kayu juvenil pada kayu daun jarum. Pada kayu daun lebar
umumnya sel serabut kayu dewasa hanya mencapai dua kali panjang sel serabut
kayu juvenil.

4

Panjang
Serat

(Sumber: Senft et al 1985 dalam Lowell 2012)

Gambar 2.Transisi Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa Dicirikan dengan Kenaikan
Panjang Serat yang Kemudian Berangsur-Angsur Konstan saat Dewasa.
Microfibril Angle (MFA)
Sudut mikrofibril pada lapisan S2 di dalam dinding sel merupakan salah
satu penentu utama dari sifat mekanis dalam kayu solid (Cave dan Walker 1994;
Evans Ilic 2001 dalam Tabet 2010). Bowyer et al. 2007 menyatakan bahwa kayu
juvenil memiliki kecenderungan untuk menghasilkan serat terpuntir yang lebih
besar. Selain itu orientasi sudut mikrofibril pada lapisan dinding sekunder S-2
kayu juvenil lebih besar dibandingkan dengan kayu dewasa (Gambar 3). Sudut
mikrofibril lebih besar di bagian pangkal pohon pada sejumlah lingkaran tahun
dari empulur, menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian, dan sedikit
meningkat pada puncak pohon. Selain dikarenakan faktor jenis pohonnya, sudut
mikrofibril juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti nutrisi dan air
(Donaldson 2008). Sudut mikrofibril yang rendah menyebabkan kekakuan yang
rendah dan susut longitudinal yang tinggi.

Sudut
Mikrofibril
S-2

(Sumber: Bowyer et al, 2007)

Gambar 3. Perubahan Sudut Mikrofibril pada Kayu Juvenil Ke Kayu Dewasa
dalam Konifer.

5
Kerapatan
Bowyer et al. 2007 menyatakan bahwa kerapatan kayu merupakan
perbandingan antara massa atau berat kayu dengan volumenya yang dinyatakan
dalam kg/m3 atau g/cm3. Kerapatan kayu didefinisikan sebagai jumlah bahan
penyusun dinding sel kayu maupun zat-zat lain dimana bahan tersebut
memberikan sifat kekuatan pada kayu. Keberadaan kayu juvenil dicirikan dengan
kenaikan kerapatan dengan cepat kemudian mulai stabil ketika sudah dewasa
(Gambar 4).

Kerapatan

(Sumber : Bowyer et al, 2007)

Gambar 4. Kerapatan yang Meningkat Secara Progresif Saat Bagian Juvenil,
Kemudian Berangsur-Angsur Stabil pada Saat Dewasa.
Kadar Air
Panshin dan de Zeeuw (1980) mendefinisikan kadar air sebagai banyaknya
air yang terkandung dalam kayu. Kadar air kayu sangat dipengaruhi oleh sifat
higroskopis kayu. Air dalam kayu terdiri dari air bebas dan air terikat dimana
keduanya secara bersama-sama menentukan kadar air kayu. Air yang terdapat
dalam rongga sel kayu disebut sebagai air bebas (free water) sedangkan air yang
terdapat di dalam dinding sel dinamakan air terikat (bound water). Kadar air segar
dalam satu pohon bervariasi tergantung tempat tumbuh dan umur pohon. Kadar
air kayu akan berubah sesuai dengan kondisi iklim tempat dimana kayu berada
akibat dari perubahan suhu dan kelembaban udara (Bowyer et al. 2007).
Kayu Sengon ( Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)
Pohon sengon dengan nama botani Paraserianthes falcataria dari famili
Fabaceae memiliki nama daerah jeungjing, sengon laut (Jawa), tedehu pute
(Sulawesi), rare, selawoku, selawaku merah, seka, sika, sika bot, sikas, tawa sela
(Maluku), bae, bai wahogon, wai, wikkie (Irian Jaya) (Martawijaya et al 1989).
Kayu ini tersebar di seluruh Jawa, Maluku, Sulawesi Selatan dan Irian Jaya.
Tinggi pohon sengon dapat mencapai 40 meter dengan panjang batang bebas
cabang 10-30 meter dan diameter 80 cm.

6
Ciri diagnostik kayu sengon dapat dilihat dari aspek warna yaitu memiliki
warna kayu teras dan gubal yang sulit dibedakan yaitu putih kecoklatan atau
kuning muda sampai coklat kemerahan. Memiliki tekstur agak kasar hingga kasar
dengan arah serat berpadu dan kadang-kadang lurus, sedikit bercorak, kekerasan
kayu agak lunak, dan beratnya ringan. Ciri anatomi kayu sengon yaitu memiliki
pori berbentuk bulat sampai bundar telur, tata baur, soliter, dan gabungan pori
yang terdiri dari 2-3 pori dan berjumlah 4-7 per mm2 dengan diameter tangensial
sekitar 160-340 mikron dan bidang perforasi sederhana. Parenkima kayu sengon
kebanyakan bertipe apotrakea baur yang terdiri atas 1-3 sel yang membentuk garis
tangensial di antara jari-jari. Jari-jari umumnya sempit, terdiri atas 1-2 seri,
jumlahnya 6-12 per mm arah tangensial, komposisi selnya homoselular, hanya
terdiri atas sel-sel baring (Pandit dan Kurniawan 2008).
Kayu sengon merupakan kayu ringan dengan berat jenis rata-rata 0,33
(0,24-0,49), termasuk ke dalam kelas awet IV-V dan kelas kuat IV-V. Kayu
sengon banyak digunakan sebagai bahan bangunan perumahan terutama di
pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wol semen, pulp dan kertas, dan
barang kerajinan (Mandang dan Pandit 1997).
Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Tanaman ini memiliki nama botanis Anthocephalus cadamba Miq. dari
famili Rubiaceae dan tersebar merata di seluruh Sumatera, Jawa Barat, Jawa
Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, seluruh Sulawesi, Nusa Tenggara
Barat, dan Papua. Tinggi pohon dapat mencapai 45 meter dengan tinggi bebaas
cabang mencapai 30 meter, dan diameter mencapai 160 cm. Batang lurus dan
silindris, bertajuk lebar dengan cabang mendatar, berbanir sampai ketinggian 1,5
meter, kulit luar berwarna kelabu coklat sampai coklat, sedikit beralur dangkal
(Martawijaya et al 1989).
Ciri umum jabon yaitu kayu teras berwarna putih sampai putih kekuningan.
Batas antara kayu teras dengan kayu gubal tidak tegas. Kayu jabon memiliki corak
polos dengan tekstur agak halus dan rata. Arah seratnya lurus kadang agak
berpadu. Kayu ini memiliki permukaan agak mengkilap sampai mengkilap,
memiliki kesan raba yang licin sampai licin dan tingkat kekerasannya agak lunak
sampai agak keras (Martawijaya et al 1989).
Ciri anatomi yang dimiliki oleh kayu ini yaitu memiliki pori atau sel
pembuluh yang tersebar baur, hampir seluruhnya berganda radial terdiri atas 2-3
pori kadang lebih atau bergerombol. Diameter pori agak kecil. Frekuensi porinya
jarang sampai agak banyak, bidang perforasi sederhana. Parenkimanya bertipe
apotrakea kelompok baur, berupa garis-garis tangensial pendek diantara jari-jari.
Jari-jari sempit dan agak lebar, jumlahnya banyak dan ukurannya agak tinggi.
Anthocephalus cadamba memiliki berat jenis rata-rata 0,42 (0,29-0,56). Kayu ini
termasuk kelas awet V kelas kuat III-IV. Biasanya digunakan sebagai bahan
bangunan sementara, daun jendela, langit-langit, kotak, peti teh, pembungkus,
kelom, barang kerajinan (termasuk mainan anak), korek api, sumpit makan
(Mandang dan Pandit 1997).

7

METODOLOGI PENELITIAN
Bahan
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu sengon dan
kayu jabon (Gambar 5) yang berumur lima, enam, dan tujuh tahun yang diperoleh
dari hutan rakyat di daerah Cicantayan dan Jampang, Sukabumi. Karakteristik
pohon Sengon dan Jabon disajikan pada Tabel 1.

B

A

Gambar 5. Tegakan Pohon Sengon dan Jabon. Keterangan: (A) Sengon dan (B)
Jabon
Tabel 1. Karakterisitik Pohon Sengon dan Jabon
Karakteristik
Jenis Pohon

Sengon

Jabon

Umur Pohon

Tahun
Tanam

Diameter Pohon
(DBH)

5

2007

32 cm

6

2006

34 cm

7

2005

36 cm

5

2007

34 cm

6

2006

36 cm

7

2005

38 cm

Selain itu, bahan-bahan lain yang digunakan dalam pengamatan sifat-sifat
kayu juvenil dan kayu dewasa yaitu gliserin, alkohol 10%, alkohol 30%, alkohol

8
50%, alkohol 70%, alkohol 90%, alkohol 100%, aquades, potasium klorat
(KClO3), asam nitrat (HNO3) 50%, safranin 2%, kertas saring, alumunium foil,
dan kertas lakmus.
Alat
Peralatan yang digunakan pada pengamatan sifat-sifat kayu juvenil dan kayu
dewasa yaitu tabung reaksi, water bath, corong gelas, sarung tangan, erlenmeyer,
kaca preparat, cover glass, mikroskop cahaya, cutter, Sliding Microtome
American Opt., kuas, kamera, kaliper, fan, oven, timbangan elektrik, desikator,
komputer, kalkulator, dan alat tulis.

Tempat dan Waktu Penelitian
Proses pengamatan sifat-sifat kayu juvenil dan kayu dewasa dilakukan di
Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Mei hingga bulan
September 2012.

Prosedur Analisis Data
Keseluruhan data yang diperoleh disajikan dalam bentuk statistik dengan
menggunakan Microsoft Excel 2010. Pendekatan regresi tersegmentasi digunakan
untuk menentukan titik transisi dari kayu juvenil ke kayu dewasa. Diasumsikan
bahwa perkembangan tangensial dari panjang serat tertentu dan MFA dari
empulur ke kulit dapat dijelaskan oleh dua fungsi, pertama, fungsi kuadratik
menggambarkan perkembangan kayu juvenil dimulai pada empulur dan yang
kedua fungsi garis konstan untuk menggambarkan tebentuknya kayu dewasa.
Regresi tersegmentasi yang dipilih adalah model polynomial orthogonal tingkat
dua. Model polynomial orthogonal tingkat dua (Persamaan (1)) dapat
memperkirakan titik potong antara kayu juvenil dan dewasa. Ketika titik transisi
tidak diketahui, prosedur kuadrat terkecil digunakan untuk memperoleh perkiraan
parameter regresi dan umur transisi. Model regresi polynomial orthogonal tingkat
dua dapat dijelaskan sebagai berikut:
Yi = A + BXi + CXi2 + Ei

(1)
Dimana:
Yi merupakan variabel bebas untuk panjang serat dan MFA,
Xi merupakan jumlah segmen,
A merupakan intersep garis kayu juvenil,
B dan C merupakan koefisien regresi, dan
E merupakan faktor kesalahan.

9
Dari pertimbangan teoritis tersebut, dapat dihipotesiskan bahwa:
y=a+bx+cx2
jika x < x0, persamaan y dan x adalah kuadrat
y=p
jika x0 ≥ x, persamaan adalah konstan,
dimana xo adalah jumlah segmen saat kayu berubah dari juvenil ke kayu dewasa,
p adalah panjang serat/MFA saat kayu berubah dari kayu juvenil ke kayu dewasa.
Persamaan polynomial orthogonal tingkat dua diperoleh dengan
menggunakan Microsoft Excel 2010. Kurva kuadratik dan kurva konstan pada
Gambar 6, memiliki titik potong di x0. Turunan pertama dari persamaan
polynomial orthogonal tingkat dua terhadap x akan sama dengan x0. Turunan
pertama ini akan memberikan hasil bahwa: x0= -b /(2c), dan p=a-b2/(4c)

Plateau
y=p

Quadratic
y=a+b x+c x2

xo

Continuity restriction : p=a+b xo+c xo2
Smoothness restriction : 0=b+2c xo, so xo= -b/(2c)

Gambar 6. Kurva Model Analisis Tersegmentasi dengan Menggunakan NLIN.

Metode Penelitian
Pembuatan Contoh Uji
Contoh uji diambil dari pohon lurus dengan umur yang berbeda yakni lima,
enam, dan tujuh tahun dan dipotong pada bagian pangkal tepatnya pada diameter
setinggi dada (DBH). Contoh uji diambil kira-kira setebal 5 cm berbentuk
lempengan (disk) (Gambar 7).

10

Gambar 7. Metode Pengambilan Contoh Uji (A) Batang Pohon, (B) Lempengan
(disk) setebal 5 cm,(C) Contoh Uji Kadar Air dan Kerapatan, (D) Contoh
Uji Slide Maserasi (Panjang Serat) dan Mikrotom (Sudut Mikrofibril).
Pengamatan Sifat-Sifat Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa

Pengukuran Panjang Serat
Pengukuran dimensi serat dilakukan dengan membuat sediaan maserasi.
Dimensi sel serabut yang diukur adalah panjang sel serabut. Contoh uji berbentuk
persegi panjang diambil dari masing-masing lempengan kayu (disk) mulai dari
bagian dekat empulur hingga ke bagian kulit. Selanjutnya contoh uji dibagi
menjadi segmen dengan ukuran yang sama yakni 5 cm x 1,5 cm x 1 cm dan diberi
nomor mulai dari empulur hingga kulit (Gambar 7). Segmen pertama merupakan
sampel kayu yang diambil dari bagian dekat empulur, selanjutnya segmen kedua,
ketiga, dan seterusnya sampai kulit. Setelah itu dilanjutkan dengan pemisahan
serat dengan membuat slide maserasi pada masing-masing segmen. Slide maserasi
dibuat dengan menggunakan metode Schultze (Husein 2004), seperti yang tertera
di Lampiran 2. Penentuan panjang serat dilakukan dengan mengukur sebanyak 30
serat dari masing-masing bagian (segmen). Kemudian hasil pengukuran panjang
30 serat dirata-ratakan untuk memperoleh panjang serat rata-rata tiap segmen.

11
Pengukuran Microfibril Angle (MFA)
Contoh uji persegi panjang diambil dari disk dan dipotong menjadi
segmen dengan ukuran 5 cm x 1,5 cm x 1 cm dari empulur hingga kulit dan diberi
nomor mulai dari empulur hingga kulit (Gambar 7). Setelah itu dilanjutkan
dengan pembuatan slide mikrotom pada bidang tangensial. Slide mikrotom dibuat
dengan menggunakan Sliding Microtome American Opt. dengan metode seperti
yang tertera di Lampiran 1. Penentuan sudut mikrofibril dilakukan dengan
mengukur sebanyak 5 serat dimana setiap seratnya dilakukan pengulangan
sebanyak 3 kali. Slide mikrotom diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya
dengan perbesaran 45 x 10 serta 5 kali digital zoom camera merk CANON IXUS.
Setelah dilakukan pemotretan, dilakukan pengukuran sudut mikrofibril dengan
menggunakan software Motic Image Plus, kemudian hasil pengukuran sudut
dirata-ratakan untuk memperoleh sudut mikrofibril rata-rata setiap segmen.

Kerapatan
Profil kerapatan dari bagian empulur ke bagian kulit diukur pada bidang
radial dari contoh uji kayu berbentuk persegi panjang dengan ketebalan 2 cm
menggunakan scanner X-ray densitometri di Equipe de Recherches sur la Qualité
des Bois LERFOB, INRA, Champenoux, Perancis. X-ray image dianalisis
menggunakan software WinDENDRO untuk mendapatkan profil kerapatan.
Contoh uji di-scan dari empulur ke bagian kulit. Dalam studi ini, kerapatan kayu
dinyatakan dalam kg/m3.

Kadar Air
Disk setebal 5 cm dipotong menjadi contoh uji berbentuk persegi panjang
melalui empulur (Gambar 7). Contoh uji tersebut dipotong dengan ukuran 5 cm x
2 cm x 2 cm dari empulur hingga kulit. Kemudian contoh uji diberi nomor urut.
Kayu basah kemudian ditimbang berat awal (berat basah), kemudian dikeringkan
dengan menggunakan fan hingga kering udara. Setelah mencapai kering udara,
contoh uji dioven pada suhu 103 ± 2º C hingga beratnya konstan. Setelah selesai
dioven, sampel dimasukkan ke dalam desikator sampai suhunya stabil kemudian
ditimbang sebagai berat kering tanur. Kadar air diukur secara gravimetri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dimensi Serat

Hasil pengukuran profil panjang serat kayu sengon dan jabon disajikan
pada Lampiran 3. Selanjutnya rata-rata panjang serat tiap segmen dari bagian
empulur hingga bagian kulit disajikan pada Gambar 8. Hasil penelitian pada

11
Pengukuran Microfibril Angle (MFA)
Contoh uji persegi panjang diambil dari disk dan dipotong menjadi
segmen dengan ukuran 5 cm x 1,5 cm x 1 cm dari empulur hingga kulit dan diberi
nomor mulai dari empulur hingga kulit (Gambar 7). Setelah itu dilanjutkan
dengan pembuatan slide mikrotom pada bidang tangensial. Slide mikrotom dibuat
dengan menggunakan Sliding Microtome American Opt. dengan metode seperti
yang tertera di Lampiran 1. Penentuan sudut mikrofibril dilakukan dengan
mengukur sebanyak 5 serat dimana setiap seratnya dilakukan pengulangan
sebanyak 3 kali. Slide mikrotom diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya
dengan perbesaran 45 x 10 serta 5 kali digital zoom camera merk CANON IXUS.
Setelah dilakukan pemotretan, dilakukan pengukuran sudut mikrofibril dengan
menggunakan software Motic Image Plus, kemudian hasil pengukuran sudut
dirata-ratakan untuk memperoleh sudut mikrofibril rata-rata setiap segmen.

Kerapatan
Profil kerapatan dari bagian empulur ke bagian kulit diukur pada bidang
radial dari contoh uji kayu berbentuk persegi panjang dengan ketebalan 2 cm
menggunakan scanner X-ray densitometri di Equipe de Recherches sur la Qualité
des Bois LERFOB, INRA, Champenoux, Perancis. X-ray image dianalisis
menggunakan software WinDENDRO untuk mendapatkan profil kerapatan.
Contoh uji di-scan dari empulur ke bagian kulit. Dalam studi ini, kerapatan kayu
dinyatakan dalam kg/m3.

Kadar Air
Disk setebal 5 cm dipotong menjadi contoh uji berbentuk persegi panjang
melalui empulur (Gambar 7). Contoh uji tersebut dipotong dengan ukuran 5 cm x
2 cm x 2 cm dari empulur hingga kulit. Kemudian contoh uji diberi nomor urut.
Kayu basah kemudian ditimbang berat awal (berat basah), kemudian dikeringkan
dengan menggunakan fan hingga kering udara. Setelah mencapai kering udara,
contoh uji dioven pada suhu 103 ± 2º C hingga beratnya konstan. Setelah selesai
dioven, sampel dimasukkan ke dalam desikator sampai suhunya stabil kemudian
ditimbang sebagai berat kering tanur. Kadar air diukur secara gravimetri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dimensi Serat

Hasil pengukuran profil panjang serat kayu sengon dan jabon disajikan
pada Lampiran 3. Selanjutnya rata-rata panjang serat tiap segmen dari bagian
empulur hingga bagian kulit disajikan pada Gambar 8. Hasil penelitian pada

12

Panjang Serat (µm)

Gambar 8 memperlihatkan bahwa panjang serat terpendek terdapat pada bagian
yang dekat empulur baik untuk kayu sengon maupun kayu jabon. Panjang serat
mengalami kenaikan secara tajam di awal-awal segmen kemudian meningkat
secara perlahan dibagian dekat kulit. Frekuensi pembelahan sel inisial fusiform
secara antiklinal yang semakin cepat pada daerah dekat empulur menghasilkan
sel-sel yang lebih pendek. Pembelahan antiklinal berlangsung lebih cepat pada
masa awal pertumbuhan sehingga sel-sel kayu yang terbentuk lebih pendek.
Sedangkan sel-sel yang terbentuk pada akhir pertumbuhan lebih panjang karena
pembelahan antiklinal berlangsung lebih lambat (Gambar 9). Hal inilah yang
menyebabkan panjang serat yang dihasilkan pada bagian dekat empulur lebih
pendek (Pandit dan Kurniawan 2008).

1600
1500
1400
1300
1200
1100
1000
900
800
700
600

A. Kayu Sengon

5 tahun
6 tahun
7 tahun

Panjang Serat (µm)

1

2

3

1600
1500
1400
1300
1200
1100
1000
900
800
700
600

4

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jumlah segmen dari empulur hingga
kulit

B. Kayu Jabon

5 tahun
6 tahun
7 tahun

1

2

3

4

5

6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Jumlah segmen dari empulur hingga
kulit

Gambar 8.Rata-Rata Pengukuran Panjang Serat dari Empulur hingga Kulit pada
(A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon.

13

1102 µm

1135 µm

(A)

(B)

1302 µm

(C)
Gambar 9. Contoh Serat pada Kayu Jabon Umur 6 Tahun (100x). Keterangan: (A)
Dekat Empulur, (B) Tengah, (C) Dekat Kulit.
Hasil analisis terhadap kurva pada Gambar 8 dengan polynomial
orthogonal tingkat dua diperoleh hasil bahwa kayu juvenil pada kayu sengon
umur lima, enam, dan tujuh tahun terbentuk masing-masing sampai pada segmen
ke 16, 18, dan 17. Berdasarkan hasil analisis tersebut, kayu sengon umur lima dan
enam tahun sepenuhnya merupakan kayu juvenil sedangkan pada kayu sengon
umur tujuh tahun mulai terbentuk kayu dewasa pada segmen ke 18. Selanjutnya
kayu juvenil pada jabon umur lima, enam, dan tujuh tahun masing-masing terjadi
hingga segmen 24, 23, dan 21. Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh kayu jabon
pada umur lima, enam, dan tujuh tahun merupakan kayu juvenil. Hasil pada Tabel
2 mengindikasikan bahwa periode kayu juvenil dan terbentuknya kayu dewasa ini
berbeda-beda tergantung pada jenis kayu.

14
Proporsi kayu juvenil yang terbentuk dalam suatu batang berhubungan dengan
laju pertumbuhan jenis kayunya. Batang yang tumbuh akan memiliki proporsi
kayu juvenil yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan batang yang tumbuh
lambat pada awal daur pertumbuhannya.
Tabel 2. Perkiraan Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa Berdasarkan Panjang
Serat

Jenis Kayu

Sengon

Jabon

Umur
(Tahun)

Jumlah Segmen Dari
Empulur Hingga Kulit

5

16

6

18

7

17

5

24

6

23

7

21

Microfibril Angle (MFA)

Hasil pengukuran profil sudut mikrofibril kayu sengon dan jabon disajikan
pada Lampiran 4. Selanjutnya rata-rata nilai MFA tiap segmen disajikan pada
Gambar 10. Hasil penelitian pada Gambar 10 memperlihatkan bahwa sudut
mikrofibril terbesar terdapat pada bagian yang dekat empulur baik untuk kayu
sengon maupun kayu jabon. Besar sudut mikrofibril mengalami penurunan secara
tajam di awal-awal segmen kemudian menurun secara perlahan dibagian dekat
kulit (Gambar 11).

MFA (º)

15
80
70
60
50
40
30
20
10
0

5 tahun
6 tahun
7 tahun

A. Kayu Sengon

MFA (º)

1
80
70
60
50
40
30
20
10
0

2

3

4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jumlah segmen dari empulur hingga kulit
5 tahun
6 tahun
7 tahun

B. Kayu Jabon

1

2

3

4

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Jumlah segmen dari empulur hingga kulit

Gambar 10.Rata-Rata Pengukuran Sudut Mikrofibril dari Empulur hingga Kulit
pada (A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon.

(A)

(B)

(C)
Gambar 11. Contoh Sudut Mikrofibril pada Kayu Sengon Umur 6 Tahun (2250x).
Keterangan: (A) Dekat Empulur, (B) Tengah, (C) Paling Luar.

16
Hasil penelitian pada Gambar 10 menunjukkan bahwa sudut mikrofibril
(MFA) baik pada kayu sengon maupun kayu jabon mengalami penurunan mulai
dari empulur hingga kulit. Hasil analisis terhadap kurva pada Gambar 10 dengan
polynomial othogonal tingkat dua diperoleh hasil bahwa kayu juvenil pada kayu
sengon umur lima, enam, dan tujuh tahun masing-masing terjadi hingga segmen
ke 24, 21, dan 23 (Tabel 3). Hal ini mengindikasikan bahwa kayu sengon umur
lima, enam, dan tujuh tahun sepenuhnya merupakan kayu juvenil. Kayu juvenil
jabon dengan umur lima, enam, dan tujuh tahun masing-masing terjadi hingga
segmen 25, 23, dan 20. Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh bagian kayu jabon
pada umur lima, enam, dan tujuh tahun merupakan kayu juvenil.
Tabel 3. Perkiraan Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa Berdasarkan Sudut
Mikrofibril

Jenis Kayu

Sengon

Jabon

Umur
(Tahun)

Jumlah Segmen Dari
Empulur Hingga Kulit

5

24

6

21

7

23

5

25

6

23

7

20

MFA sangat berpengaruh terhadap sifat anisotropic kayu. Sudut
mikrofibril yang besar dapat menyebabkan penyusutan pada arah longitudinal
menjadi bertambah besar (Panshin 1980, Tsoumis 1991, Bowyer 2007). Informasi
ini penting karena erat hubungannya dengan stabilitas dimensi kayu sebagai bahan
baku.
Untuk mengurangi proporsi kayu juvenil dalam kayu dapat dilakukan
dengan tidak memberikan pupuk, irigasi atau perlakuan silvikultur lainnya pada
awal pertumbuhan yang merupakan periode pembentukan kayu juvenil. Hal ini
dikarenakan pohon yang tumbuh secara cepat pada awal daur pertumbuhan pohon
akan memiliki proporsi kayu juvenil yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
pohon yang tumbuh secara lambat pada awal daur pertumbuhan.

Kerapatan
Kerapatan kayu merupakan perbandingan antara massa atau berat kayu
dengan volumenya yang dinyatakan dalam kg/m3 atau g/cm3. Selanjutnya

17
kerapatan kayu didefinisikan sebagai jumlah bahan penyusun dinding sel kayu
maupun zat-zat lain, dimana bahan tersebut memberikan sifat kekuatan pada kayu
(Bowyer et al 2007). Pengukuran kerapatan kayu dilakukan dalam kondisi basah.
Sama halnya dengan pengukuran panjang serat dan sudut mikrofibril, pengukuran
kerapatan juga dilakukan mulai dari empulur hingga kulit. Profil kerapatan dari
bagian empulur hingga ke bagian kulit disajikan pada Lampiran 9. Selanjutnya
rata-rata nilai kerapatan tiap segmen disajikan pada Gambar 12.
700
Kerapatan (kg/m3)

A. Kayu Sengon

600
500
400
300

5 tahun
6 tahun
7 tahun

200
100
1

2

3

4

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jumlah segmen dari empulur hingga kulit

Kerapatan (kg/m3)

700
600

B. Kayu Jabon

500
400
5 tahun
6 tahun
7 tahun

300
200
100
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Jumlah segmen dari empulur hingga kulit

Gambar 12. Rata-Rata Pengukuran Kerapatan dari Empulur hingga Kulit pada (A)
Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon.
Hasil pada Gambar 12 mengindikasikan bahwa nilai kerapatan baik pada
kayu sengon maupun kayu jabon mengalami kenaikan dari empulur hingga kulit.
Hasil ini mendukung temuan Bowyer et al (2007) bahwa kerapatan akan
meningkat dari empulur ke arah luar kemudian akan mencapai nilai yang hampir
konstan. Nilai kerapatan yang meningkat secara linear dari empulur hingga ke
kulit menunjukkan adanya sedikit variasi (Gambar 12). Secara visual, nilai
kerapatan pada Gambar 12 masih mengalami peningkatan hingga ke bagian kulit,
dan belum tercermin nilai kerapatan yang hampir konstan di bagian dekat kulit.
Analisis polynomial orthogonal tingkat dua mengindikasikan bahwa kerapatan

18
tidak cocok untuk menentukan transisi antara kayu juvenil dan kayu dewasa. Hal
ini karena nilai simpangan baku yang rendah. Nilai kerapatan kayu jabon lebih
besar dibandingkan dengan kayu sengon tiap segmennya. Variasi nilai kerapatan
suatu kayu tergantung dari umur, posisi dalam suatu pohon, kondisi tempat
tumbuh, dan susunan genetik dalam pohon tersebut (Bowyer et al 2007).

Kadar Air
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam kayu (Panshin
dan de Zeeuw 1980). Selanjutnya Haygreen dan Bowyer (1996) mendefinisikan
kadar air sebagai berat air yang dinyatakan sebagai persen terhadap berat kayu
bebas air atau berat kering tanurnya. Air merupakan unsur alami yang terdapat di
semua bagian pohon yang hidup. Di dalam kayu, kadar air kayu berkisar antara 40
sampai 200%. Keragaman kadar air ini dapat terjadi antar spesies, bahkan antar
bagian dari pohon yang sama. Pengukuran kadar air dilakukan dalam kondisi
basah (green moisture content). Hasil pengukuran kadar air disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-Rata Kadar Air Basah Pada Kayu Sengon dan Kayu Jabon

Jenis Kayu

Sengon

Jabon

Umur
(Tahun)

Rata-Rata Kadar Air Basah
(%)

5

66,45

6

56,24

7

82,43

5

115,34

6

95,06

7

80,04

Hasil pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa rata-rata kadar air basah kayu
sengon umur lima, enam, dan tujuh tahun berturut-turut sebesar 66,45%; 56,24%;
dan 82,43%, sedangkan kadar air basah kayu jabon umur lima, enam, dan tujuh
tahun masing-masing 115,34%; 95,06%; dan 80,04%. Nilai kadar air kayu jabon
lebih tinggi dibandingkan dengan kayu sengon. Perbedaan nilai kadar air basah ini
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor terkait kondisi tempat tumbuh dimana
pohon berada seperti tingkat kesuburan tanah, persaingan, dan iklim. Pohon yang
tumbuh di tanah-tanah yang subur, dengan tingkat persaingan yang rendah dan
iklim yang cocok akan menghasilkan kayu dengan nilai kadar air yang lebih tinggi
karena porsi lumen atau rongga sel yang lebih banyak (Haygreen dan Bowyer
1996).

19

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pada data-data hasil pengukuran terhadap panjang serat, MFA,
dan kerapatan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil pengukuran panjang serat, kayu sengon dengan umur lima
dan enam tahun sepenuhnya merupakan kayu juvenil, sedangkan pada kayu
sengon umur tujuh tahun mulai mengandung kayu dewasa pada segmen ke 18.
Namun demikian, kayu jabon pada umur lima, enam, dan tujuh tahun
sepenuhnya merupakan kayu juvenil.
2. Berdasarkan hasil pengukuran sudut mikrofibril, kayu sengon dan kayu jabon
dengan umur lima, enam, dan tujuh tahun sepenuhnya merupakan kayu juvenil.
3. Nilai kerapatan tidak dapat dipergunakan untuk menentukan titik transisi
karena nilai koefisien korelasi dari model regresi tersegmentasi yang sangat
rendah.
4. Panjang serat dan MFA merupakan indikator yang baik untuk menentukan
terbentuknya kayu dewasa, meskipun nilai panjang serat dan MFA
memberikan justifikasi yang sedikit berbeda.
5. Regresi tersegmentasi model polynomial orthogonal tingkat dua dapat
digunakan untuk menentukan titik transisi kayu juvenil ke kayu dewasa.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui masa transisi kayu
juvenil ketinggian yang berbeda.
2. Pemanfaatan kayu sengon dan jabon dengan umur tebang lima, enam, dan
tujuh tahun memiliki kandungan kayu juvenil yang tinggi sehingga tidak
dianjurkan untuk penggunaan struktural.
3. Perlu dilakukan teknik silvikultur baru yang sesuai untuk mengurangi kayu
juvenil dan mempercepat pembentukan kayu dewasa.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, Hadjib N. 2006. Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat Untuk
Komponen Bangunan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor.
hlm 130-148
Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2007. Forest Product and Wood Science:
An Introduction. Iowa State Press. Ames, Iowa.

PENENTUAN TITIK TRANSISI KAYU JUVENIL KE KAYU DEWASA
PADA SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)
DAN JABON (Anthocephalus cadamba Miq.)

KANTI DEWI RIZQIANI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

19

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pada data-data hasil pengukuran terhadap panjang serat, MFA,
dan kerapatan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil pengukuran panjang serat, kayu sengon dengan umur lima
dan enam tahun sepenuhnya merupakan kayu juvenil, sedangkan pada kayu
sengon umur tujuh tahun mulai mengandung kayu dewasa pada segmen ke 18.
Namun demikian, kayu jabon pada umur lima, enam, dan tujuh tahun
sepenuhnya merupakan kayu juvenil.
2. Berdasarkan hasil pengukuran sudut mikrofibril, kayu sengon dan kayu jabon
dengan umur lima, enam, dan tujuh tahun sepenuhnya merupakan kayu juvenil.
3. Nilai kerapatan tidak dapat dipergunakan untuk menentukan titik transisi
karena nilai koefisien korelasi dari model regresi tersegmentasi yang sangat
rendah.
4. Panjang serat dan MFA merupakan indikator yang baik untuk menentukan
terbentuknya kayu dewasa, meskipun nilai panjang serat dan MFA
memberikan justifikasi yang sedikit berbeda.
5. Regresi tersegmentasi model polynomial orthogonal tingkat dua dapat
digunakan untuk menentukan titik transisi kayu juvenil ke kayu dewasa.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui masa transisi kayu
juvenil ketinggian yang berbeda.
2. Pemanfaatan kayu sengon dan jabon dengan umur tebang lima, enam, dan
tujuh tahun memiliki kandungan kayu juvenil yang tinggi sehingga tidak
dianjurkan untuk penggunaan struktural.
3. Perlu dilakukan teknik silvikultur baru yang sesuai untuk mengurangi kayu
juvenil dan mempercepat pembentukan kayu dewasa.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, Hadjib N. 2006. Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat Untuk
Komponen Bangunan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor.
hlm 130-148
Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2007. Forest Product and Wood Science:
An Introduction. Iowa State Press. Ames, Iowa.

20
Donaldson L. 2008. Microfibril Angle: Measurement, Variation,
Relationship-A Review. IAWA journal vol 29 (4), 2008: 345-386

and

Haygreen JG, Bowyer JL. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Gajah Mada
University Press.
Husein N. 2004. Anatomi Kayu Palele (Castanopsis javanica). Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kayu Tropis vol 2 no 2.
Ilic J, Northway R, Pongracic S. 2003. Juvenile Wood Characteristics, Effects and
Identification.The Forest and Wood Products Research and Development
Corporation PN02.1907.
[Kemenhut] Kementrian Kehutanan. 2012. Statistik 2011. Jakarta: Direktorat
Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
Lindstrom H. 2002. Intra-Tree Models of Juvenile Wood In Norway Spruce As
An Input To Simulation Software. Silva Fennica 36(2): 521-534.
Lowel EC. 2012. Wood Quality: The Effects of Planting Density and Thinning.
Portland: Pacific Northwest Research Station USDA Forest Service.
Mandang YI, Pandit IKN. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan.
Bogor: Yayasan PROSEA Bogor dan Pusat Diklat Pegawai dan SDM
Kehutanan.
Martawijaya A, Kadir K, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA. 1989. Atlas
Kayu Indonesia Jilid 2.Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Departemen Kehutanan.
Mutz R, Guilley E, Sauter UH, Nepveu G. 2004. Modelling Juvenile-Mature
Wood Transition In Scots Pine (Pinus Sylvestris L.) Using Nonlinear MixedEffects Models. Ann. For. Sci. 61: 831-841
Mora CR, Allen HL, Daniels RF, Clark A. 2007. Modelling CorewoodOuterwood Transition In Loblolly Pine Using Wood Specific Gravity .J For.
Res. 37: 999-1011
Pandit, IKN, Kurniawan D. 2008.Anatomi Kayu : Struktur Kayu, Kayu Sebagai
Bahan Baku dan Ciri Diagnostik Kayu Perdagangan Indonesia. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Panshin AJ, Zeeuw C de. 1980. Textbook of Wood Technology, Fourth Edition.
NewYork : Mc Graw Hill Book Company.
Tabet, TA. 2010. Estimation Of The Cellulose Microfibril Angle In Acacia
Mangium Wood Using Small Angle X-Ray Scattering. Journal of Agricultural
Science vol 2 no 4.
Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood (Structure, Properties,
Utilization). New York : Van Nostrand Reinhold.

PENENTUAN TITIK TRANSISI KAYU JUVENIL KE KAYU DEWASA
PADA SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)
DAN JABON (Anthocephalus cadamba Miq.)

KANTI DEWI RIZQIANI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penentuan Titik
Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa pada Sengon (Paraserianthes Falcataria
(L.) Nielsen) dan Jabon (Anthocephalus Cadamba Miq.), adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2012

Kanti Dewi Rizqiani
NIM E24080107

ABSTRAK
KANTI DEWI RIZQIANI. Penentuan Titik Transisi Kayu Juvenil ke Kayu
Dewasa pada Sengon (Paraserianthes Falcataria (L.) Nielsen) dan Jabon
(Anthocephalus Cadamba Miq.). Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. I Wayan
Darmawan, M.Sc.
Kayu sebagai sumber daya hutan yang penting telah diproses dalam
jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan manusia yang meningkat. Untuk
memenuhi permintaan kayu yang meningkat, pasokan kayu akan berasal dari jenis
yang cepat tumbuh yang ditanam di hutan tanaman dan hutan rakyat. Jenis cepat
tumbuh ini cenderung dipanen dalam rotasi yang pendek dan akan memiliki
proporsi kayu juvenil yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui karakteristik kayu juvenil dan untuk memperkirakan umur transisi
kayu juvenil ke kayu dewasa pada Sengon dan Jabon. Pendekatan pemodelan
regresi tersegmentasi digunakan untuk memperkirakan masa transisi, dan prosedur
non-linear digunakan untuk mengidentifikasi titik mulai terbentuknya kayu
dewasa. Dalam upaya untuk menentukan masa transisi kayu juvenil dan dewasa
pada Sengon dan Jabon, 2 pohon sampel dengan masing-masing umur 5, 6, dan 7
tahun diambil dari hutan rakyat di Sukabumi. Disk dengan ketebalan 5 cm diambil
pada ketinggian 1,3 meter (diameter setinggi dada) dari setiap pohon untuk
menentukan panjang serat, MFA, kerapatan, dan kadar air segar. Kerapatan kayu
diukur dari empulur hinga kulit dengan menggunakan X-ray densitometri.
Panjang serat dan sudut mikrofibril (MFA) pada setiap lingkaran tumbuh selebar
1 cm dari empulur hingga kulit menggunakan teknik maserasi dan mikrotom.
Analisis model regresi tersegmentasi pada bidang tangensial dengan variasi
panjang serat dan MFA memperlihatkan bahwa juvenilitas pada kayu Sengon dan
Jabon berada diatas umur 7 tahun. Panjang serat dan sudut mikrofibril tampaknya
merupakan indikator anatomi terbaik untuk menentukan masa transisi antara kayu
juvenil dan dewasa, walaupun usia pematangan bervariasi antar sifat. Proporsi
kayu juvenil pada kayu Sengon dan Jabon pada umur 7 tahun masing-masing
sebesar 80-100% dan 100%.
Kata kunci: Panjang Serat, Sudut Mikrofibril, Kayu Juvenil, Kayu Dewasa, Jabon,
Sengon

ABSTRACT
KANTI DEWI RIZQIANI.

Determination of Juvenile and Mature Transition Point for
Sengon and Jabon Wood. Supervised by Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc.

Wood as an important forest resource has been processed in large quantity to
fulfill an increasing need of humans. To satisfy the increasing demand for the
wood products, the supply of the wood will be come from fast-growing tree
species grown on plantation forest and community forest. This fast-growing wood
species will tend to be harvested in short age rotations and will contain higher
proportions of juvenile wood. The objective of this research is to know
characteristics of juvenile and to obtain consistent estimates of transition age from
juvenile to mature wood of Sengon and Jabon woods. Segmented modeling
approach was used to estimate the age of transition, and the non-linear procedure

was employed to identify the juvenile to mature wood transition point. In an
attempt to determine the juvenile and mature transition age for Sengon and Jabon,
6 trees were sampled in three age classes (5, 6, and 7 year) from a community
forest in Sukabumi. Disks of 5 cm thick were collected at 1.3 meters (diameter
breast height) from each tree to determine fiber length, MFA, density, and greenmoisture content. Wood density was measured from pith to bark by X-ray
densitometry. Fiber length and microfibril angle (MFA) were measured on
isolated segmented rings of 1 cm width from pith to bark by visual interpretation
on maceration and microtome samples. The segmented regression models and
visual interpretation of tangential patterns of variation in fiber length and MFA
reveal that juvenility in Sengon and Jabon extends up to 7 years, respectively.
Fiber length and microfibril angle appear to be good anatomical indicators of age
demarcation bet