Penentuan Masa Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa pada Bagian Tengah Batang Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) dan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)

PENENTUAN MASA TRANSISI KAYU JUVENIL KE KAYU DEWASA
PADA BAGIAN TENGAH BATANG SENGON (Falcataria moluccana
(Miq.) B. Grimes) DAN JABON (Anthocephalus cadamba Miq.)

NINDYA GITA UTAMI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penentuan Masa Transisi
Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa pada Bagian Tengah Batang Sengon (Falcataria
moluccana Miq.) dan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.), adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013
Nindya Gita Utami
NIM E24090056

ABSTRAK
NINDYA GITA UTAMI. Penentuan Masa Transisi Kayu Juvenil ke Kayu
Dewasa pada Bagian Tengah Batang Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B.
Grimes) dan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. I
Wayan Darmawan, M.Sc.
Kayu sebagai sumberdaya hutan yang penting telah diproses dalam jumlah
besar untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus meningkat. Untuk
memenuhi permintaan kayu yang meningkat, pasokan kayu akan berasal dari jenis
pohon cepat tumbuh yang ditanam di hutan tanaman dan hutan rakyat. Jenis
pohon cepat tumbuh ini cenderung dipanen dalam rotasi pendek dan akan
memiliki proporsi kayu juvenil yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui karakteristik kayu juvenil dan menduga titik peralihan dari kayu

juvenil ke kayu dewasa pada bagian tengah batang Sengon dan Jabon dalam
rangka penggunaan kayu yang lebih tepat. Pendekatan model regresi
tersegmentasi digunakan untuk menggambarkan perkembangan kayu juvenil ke
kayu dewasa, dan prosedur non-linear pada persamaan polynomial orthogonal
tingkat dua digunakan untuk mengidentifikasi titik mulai terbentuknya kayu
dewasa. Dalam upaya menentukan masa transisi kayu juvenil ke kayu dewasa
pada Sengon dan Jabon, dua pohon contoh berumur masing-masing 5, 6, dan 7
tahun diambil dari hutan rakyat di Sukabumi, Jawa Barat. Disk dengan ketebalan
5 cm diambil pada ketinggian 3,5 meter dari setiap pohon contoh sebagai sampel
pengukuran panjang serat, MFA, kerapatan, dan kadar air. Kerapatan kayu diukur
dari empulur hinga kulit dengan menggunakan metode gravimetri. Panjang serat
dan MFA diukur pada setiap lingkaran tumbuh selebar 1 cm dari empulur hingga
kulit menggunakan teknik maserasi dan mikrotom. Hasil analisis model regresi
tersegmentasi pada bidang radial terhadap panjang serat dan MFA
memperlihatkan bahwa kayu Sengon dan Jabon merupakan kayu muda hingga
umur 7 tahun. Panjang serat dan MFA dapat dijadikan indikator utama untuk
menentukan masa transisi kayu juvenil ke kayu dewasa, walaupun titik transisi
bervariasi antar sifat. Proporsi kayu juvenil kayu Sengon dan Jabon berumur 7
tahun masing-masing mencapai 80-100% dan 100%.
Kata kunci: Sudut Mikrofibril, Kayu Juvenil


ABSTRACT
Determination of Juvenile and Mature Transition Point in
The Midle for Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) and Jabon
(Anthocephalus cadamba Miq.). Supervised by Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan,
M.Sc.

NINDYA GITA UTAMI.

Wood is an important forest resources which has been processed in large
quantities to meet growing human needs. To meet the increasing demand for
wood, wood supplies are able to be taken from fast-growing species planted in
plantations and community forests. These fast growing species tend to be
harvested in short rotation and have a high proportion of juvenile wood. The

objective of this research is to determine the characteristics of juvenile wood in
order to use wood Jabon and Sengon properly. The approach of segmented
regression model is used to describe the development of juvenile wood to mature
wood while non-linear procedures at the level of two orthogonal polynomial
equation is used to identify the starting point of the formation of mature wood. To

determine the transition of juvenile to mature wood in Sengon and Jabon, samples
of two trees with ages 5, 6 and 7 years are taken from the community forest in
Sukabumi. Disk with a thickness of 5 cm is taken at a height of 3.5 meters from
each sample tree for measuring fiber length, MFA, density and moisture content.
Wood moisture content from pith to bark is measure by using gravimetric method.
Fiber length and MFA are measured on each circle grows as wide as 1 cm from
pith to bark by using maceration and microtome technique. That was an analysis
of segmented regression model in radial to fibers and MFA, showing that Sengon
and Jabon wood were young wood until the age of 7 years. Fiber length and MFA
were the best indicator to determine the transition from juvenile to mature wood,
although the transition point varied to their properties. The proportion of juvenile
wood on Sengon and Jabon wood at the age of 7 years were respectively 80-100%
and 100%.
Keywords: Microfibril angle, juvenile wood

PENENTUAN MASA TRANSISI KAYU JUVENIL KE KAYU DEWASA
PADA BAGIAN TENGAH BATANG SENGON (Falcataria moluccana
(Miq.) B. Grimes) DAN JABON (Anthocephalus cadamba Miq.)

NINDYA GITA UTAMI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Hasil Hutan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Penentuan Masa Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa pada
Bagian Tengah B t ng Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B.
Grimes) dan Jabon (Alltlzocephalus cadamba Miq.)
: Nindya Gita tami
Nama
: E24090056
NIM

Disetujui oleh


Prof. Dr. Ir. I Wayan Dannawan, M. Sc.
NIP. 19660212 199103 1 002

Prof. Dr. Ir. I Wayan annawan, M. Sc.
NIP. 19660212 199103 1 002

Tanggal Lulus:

1 8 OC1 2013

;1

Judul Skripsi : Penentuan Masa Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa pada
Bagian Tengah Batang Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B.
Grimes) dan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Nama
: Nindya Gita Utami
NIM
: E24090056


Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M. Sc.
NIP. 19660212 199103 1 002

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M. Sc.
NIP. 19660212 199103 1 002

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Penentuan Masa Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa pada
Bagian Tengah Batang Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) dan
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)”, sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan di
masa mendatang. Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat sebagai
penunjang penelitian di lapangan dan semua pihak yang bersangkutan serta
masyarakat luas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M. Sc. sebagai pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama penelitian dan penyusunan
skripsi ini.
2. Keluarga yang telah memberikan do’a, nasehat, serta dukungan dan semangat
kepada penulis.
3. Teman-teman THH 46, Cucu Setiawati, Febrina Dellarose Boer, Novianti Sri
Wahyuni, Dwi Premadha Lestari, dan Hafiyyan Sastranegara atas semangat
dan do’a yang telah diberikan kepada penulis
Bogor, Oktober 2013
Nindya Gita Utami

DAFTAR ISI


PRAKATA

x

DAFTAR ISI

xi

DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

25

Tujuan Penelitian

25

Manfaat Penelitian

25


TINJAUAN PUSTAKA

25

Sifat Anatomi Kayu

25

Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa (Juvenile Wood and Mature Wood)
Dimensi Serat
Sudut Mikrofibril
Sifat Fisis Kayu

25
4
25
6

Kerapatan

6

Kadar Air

6

Penyusutan

7

Kayu Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes)

7

Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)

8

METODE

8

Bahan

8

Alat

9

Tempat dan Waktu Penelitian

10

Prosedur Analisis Data

10

Metode Penelitian

11

Pembuatan Contoh Uji

11

Pengamatan Sifat-Sifat Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa

12

Pengukuran Panjang Serat dan Tebal Dinding Sel

12

Pengukuran Microfibril Angle (MFA)

12

Kerapatan

12

Kadar Air

13

Penyusutan Kayu

13

HASIL DAN PEMBAHASAN

13

Dimensi Serat

13

Microfibril Angle (MFA)

17

Kerapatan

25

Kadar Air

25

Penyusutan Kayu

25

SIMPULAN DAN SARAN

25

Simpulan

25

Saran

25

DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

51

DAFTAR TABEL
1 Tabel Karakterisitik Pohon Sampel
2 Perkiraan Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa Berdasarkan
Panjang Serat dan Tebal Dinding Sel
3 Perkiraan Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa Berdasarkan Sudut
Mikrofibril

9
17
20

DAFTAR GAMBAR
1
2
4
3
5
6
7
8

9
10
11
12
13
14
15
16

Perubahan Kayu Juvenil Ke Kayu Dewasa dalam Konifer, Beberapa
Sifat Mengalami Kenaikan
Perubahan Kayu Juvenil Ke Kayu Dewasa dalam Konifer, Beberapa
Sifat Mengalami Penurunan
Perubahan Sudut Mikrofibril pada Kayu Juvenil Ke Kayu Dewasa
dalam Konifer
Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa Dicirikan dengan Kenaikan Panjang
Serat yang Kemudian Berangsur-Angsur Konstan saat Dewasa
Kerapatan yang Meningkat Secara Progresif Pada Bagian Juvenil,
Kemudian Berangsur-Angsur Stabil pada Saat Dewasa
Pohon Sengon (A) dan Jabon (B) masing-masing berumur 7 tahun
Kurva Model Analisis Transisi Juvenil ke Dewasa dengan
Menggunakan Regresi Tersegmentasi
Metode Pengambilan Contoh Uji (A) Batang Pohon, (B) Lempengan
(disk) setebal 5 cm, (C) Contoh Uji Kadar Air dan Susut
Longitudinal, (D) Contoh Uji Sayatan Maserasi, Mikrotom, dan
Kerapatan
Rata-Rata Pengukuran Panjang Serat dari Empulur hingga Kulit pada
(A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon
Rata-Rata Pengukuran Tebal Dinding Sel dari Empulur hingga Kulit
pada (A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon
Contoh Serat pada Kayu Sengon Umur 6 Tahun Segmen (A) Dekat
Empulur (B) Tengah (C) Dekat Kulit
Rata-Rata Pengukuran Sudut Mikrofibril dari Empulur hingga Kulit
pada (A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon
Contoh Sudut Mikrofibril pada Kayu Jabon Umur 5 Tahun Segmen
(A) Dekat Empulur (B) Tengah (C) Paling Luar
Rata-Rata Pengukuran Kerapatan dari Empulur hingga Kulit pada
(A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon
Pengukuran Kadar Air dari Empulur hingga Kulit pada (A) Kayu
Sengon dan (B) Kayu Jabon
Pengukuran Susut Longitudinal dari Empulur hingga Kulit pada (A)
Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon

3
4
5
5
6
9
11

11
14
15
16
18
19
21
22
24

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Prosedur Pembuatan Sediaan Maserasi
Prosedur Pembuatan Sediaan Mikrotom
Profil Panjang Serat pada Kayu sengon dan Kayu Jabon
Profil Panjang Serat pada Kayu sengon dan Kayu Jabon
Profil Sudut Mikrofibril pada Kayu Sengon dan Kayu Jabon
Pengukuran Panjang Serat Kayu Sengon Umur 5 Tahun
Pengukuran Panjang Serat Kayu Sengon Umur 6 Tahun
Pengukuran Panjang Serat Kayu Sengon Umur 7 Tahun
Pengukuran Panjang Serat Kayu Jabon Umur 5 Tahun
Pengukuran Panjang Serat Kayu Jabon Umur 6 Tahun
Pengukuran Panjang Serat Kayu Jabon Umur 7 Tahun
Pengukuran Tebal Dinding Sel Kayu Sengon Umur 5 Tahun
Pengukuran Tebal Dinding Sel Kayu Sengon Umur 6 Tahun
Pengukuran Tebal Dinding Sel Kayu Sengon Umur 7 Tahun
Pengukuran Tebal Dinding Sel Kayu Jabon Umur 5 Tahun
Pengukuran Tebal Dinding Sel Kayu Jabon Umur 6 Tahun
Pengukuran Tebal Dinding Sel Kayu Jabon Umur 7 Tahun
Rata-Rata Pengukuran MFA Kayu Sengon Umur 5, 6, dan 7 Tahun
Rata-Rata Pengukuran MFA Kayu Jabon Umur 5, 6, dan 7 Tahun
Rata-Rata Kerapatan Kayu Sengon Umur 5, 6, 7 Tahun
Rata-Rata Kerapatan Kayu Jabon Umur 5, 6, dan 7 Tahun
Nilai Kadar Air Tiap Segmen Pada Kayu Sengon Umur 5, 6, dan 7
Tahun
23 Nilai Kadar Air Tiap Segmen pada Kayu Jabon Umur 5, 6, dan 7
Tahun
24 Nilai Susut Longitudinal Tiap Segmen pada Kayu Jabon Umur 5, 6,
dan 7 Tahun
25 Nilai Susut Longitudinal Tiap Segmen pada Kayu Jabon Umur 5, 6,
dan 7 Tahun

27
27
28
28
30
31
31
31
31
31
31
31
31
31
40
41
42
44
44
45
46
47
48
49
50

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan terhadap kayu sebagai bahan bangunan dan bahan baku
industri perkayuan semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk. Akan tetapi, kemampuan hutan sebagai penyuplai kayu cenderung
menurun. Departemen Kehutanan (2009) menyatakan bahwa kebutuhan kayu
bulat pada tahun 2008 adalah 46.316.073,15 m3 sedangkan jatah produksi tahunan
kayu bulat nasional pada hutan alam tahun 2008 hanya 9,1 juta m3. Kondisi ini
menunjukkan bahwa hutan alam tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan bahan
baku kayu untuk keperluan industri perkayuan dalam negeri. Di sisi lain,
Departemen Kehutanan (2011) mencatat bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia
selama periode 2009 – 2010 adalah sebesar 832.126,9 hektar per tahun. Tingginya
tingkat kerusakan hutan tersebut dikarenakan konversi kawasan hutan untuk
perkebunan dan transmigrasi, pencurian kayu, penebangan liar (illegal logging)
dan kebakaran hutan. Belum optimalnya reboisasi juga mengakibatkan semakin
luasnya hutan yang rusak.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi keterbatasan jumlah
pasokan kayu antara lain dengan mamanfaatkan kayu yang berasal dari hutan
tanaman. Kayu yang berasal dari hutan tanaman memiliki potensi yang cukup
besar dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kayu untuk berbagai keperluan
tersebut. Namun, kayu yang dihasilkan dari hutan tanaman pada umumnya
merupakan jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species) seperti mangium,
mahoni, rasamala, gmelina, sengon dan lain-lain. Jenis-jenis kayu tersebut relatif
bermutu rendah karena selain berumur muda, juga mengandung banyak cacat
seperti mata kayu, miring serat, cacat bentuk dan sebagainya (Abdurachman dan
Hadjib 2006).
Kayu dari hutan tanaman pada umumnya ditebang saat berumur masih
muda, sehingga kayu yang dihasilkan umumnya berdiameter kecil dan banyak
menyandang kayu muda. Kayu dari hutan alam biasanya ditebang saat kayu sudah
dewasa, Namun Bendtsen (1978) dalam Bowyer et al. (2003) menyatakan bahwa
kayu juvenil (juvenil wood) memiliki berat jenis, panjang serat, kekuatan, tebal
dinding sel, susut bidang transversal dan persentase kayu akhir (latewood) yang
lebih rendah dibandingkan dengan kayu dewasa (mature wood). Akan tetapi kayu
juvenil memiliki sudut fibril S-2, susut bidang longitudinal dan kadar air yang
lebih tinggi daripada sifat kayu dewasa. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
tentang struktur anatomi dan fisis kayu sengon dan jabon yang berdiameter kecil
(small diameter log), sehingga sifat dasar kayu tersebut dapat diketahui. Oleh
karena itu penulis mencoba untuk melakukan penelitian untuk melihat
karakteristik kayu muda pada kayu sengon dan jabon dengan tiga umur tebang
yang berbeda yaitu 5, 6, dan 7 tahun.

2
Perumusan Masalah
Akhir-akhir ini banyak penggunaan struktural dari kayu-kayu berumur
muda seperti 5, 6, atau 7 tahun. Bahkan kayu yang digunakan tersebut merupakan
kayu cepat tumbuh (fast growing species) dan berdiameter kecil seperti kayu
sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) dan jabon (Anthocephalus
cadamba Miq.). Penulis mencoba untuk melakukan penelitian terhadap kayu cepat
tumbuh pada umur 5, 6, dan 7 tahun untuk melihat karakteristik yang dimiliki
oleh kayu tersebut dalam rangka memanfaatkan kayu sengon dan jabon dengan
baik.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masa transisi juvenil ke dewasa
pada bagian tengah kayu cepat tumbuh dari jenis kayu sengon (Falcataria
moluccana (Miq.) B. Grimes) dan jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat tentang karakteristik juvenil kayu cepat tumbuh pada kayu sengon
(Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) dan jabon (Anthocephalus cadamba
Miq.), sehingga pemanfaatan dan teknologi pengolahan dapat dilakukan sesuai
dengan karakteristik yang dimiliki kayu tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA
Sifat Anatomi Kayu
Sifat anatomi suatu jenis kayu merupakan sifat yang objektif yang secara
konstan terdapat di dalam kayu. Sifat-sifat objektif tersebut ada yang sudah jelas
dilihat dan diamati hanya dengan mata telanjang atau hanya dibantu dengan
menggunakan lup (dengan perbesaran 10 kali). Sifat ini disebut sifat makroskopis.
Selanjutnya sifat-sifat objektif dari kayu baru jelas dilihat apabila dibantu dengan
menggunakan mikroskop disebut sifat mikroskopis (Pandit dan Kurniawan 2008).
Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa (Juvenile Wood and Mature Wood)
Kayu juvenil merupakan kayu yang dibentuk pada tahap-tahap permulaan
keberadaan suatu pohon. Selanjutnya kayu juvenil telah diberi batasan sebagai
xilem sekunder yang dihasilkan oleh daerah-daerah kambium yang dipengaruhi
oleh kegiatan dalam meristem apikal. Pada umumnya kayu juvenil lebih rendah
kualitasnya daripada kayu dewasa. Kayu juvenil tidak hanya terdapat pada jenis-

3

jenis kayu cepat tumbuh saja, namun hampir semua jenis kayu mengandung
bagian juvenil.
Pembentukan kayu juvenil ini dipengaruhi oleh umur dan tidak
dipengaruhi oleh kecepatan tumbuhnya. Lamanya periode juvenil ini bevariasi
menurut jenis pohon, tetapi kayu juvenil selalu terdapat pada riap tumbuh
pertama. Kayu juvenil umumnya terbentuk dalam 5-20 lingkaran tumbuh pertama
dengan lama pembentukan tergantung dari spesies (Bowyer et al. 2003).
Bendtsen (1978) dalam Bowyer et al. (2003) juga menyatakan bahwa kayu
dalam lingkaran-lingkaran yang terbentuk pertama mempunyai berat jenis
terendah, serat-serat terpendek, sudut fibril terbesar. Dalam lingkaran berikutnya
dari pusat pohon, laju perubahan sebagian besar sifat-sifat tersebut sangat cepat
dalam beberapa lingkaran pertama kemudian berangsur-angsur mengikuti ciri
kayu dewasa. Karena perubahan yang berangsur-angsur tersebut, maka tidak jelas
dimana pertumbuhan kayu juvenil berakhir dan pembentukan kayu dewasa
dimulai. Kayu juvenil (juvenil wood) dicirikan memiliki berat jenis, panjang serat,
kekuatan, tebal dinding sel, susut bidang transversal dan persentase kayu akhir
(latewood) yang lebih rendah dibandingkan dengan kayu dewasa (mature wood).
Perkembangan sifat-sifat tersebut dari empulur ke kulit disajikan pada Gambar 1.

Sudut mikrofibril S-2
Penyusutan bidang longitudinal
Kadar air

(Sumber : Bentsen (1978) dalam Bowyer et al. (2003))
Gambar 1 Perubahan Kayu Juvenil Ke Kayu Dewasa dalam Konifer, Beberapa
Sifat Mengalami Kenaikan
Akan tetapi kayu juvenil memiliki sudut fibril S-2, susut bidang
longitudinal dan kadar air yang lebih tinggi daripada kayu dewasa. Hal ini
disajikan pada Gambar 2 di bawah ini.

4
Berat Jenis
Panjang Serat
Kekuatan
Tebal dinding sel
Penyusutan bidang transversal
Presentase kayu akhir

(Sumber : Bentsen (1978) dalam Bowyer et al. (2003))
Gambar 2 Perubahan Kayu Juvenil Ke Kayu Dewasa dalam Konifer, Beberapa
Sifat Mengalami Penurunan
Bowyer et al. (2003) menyatakan bahwa kayu juvenil memiliki
kecenderungan untuk menghasilkan serat terpuntir yang lebih besar. Selain itu
orientasi sudut mikrofibril pada lapisan dinding sekunder S-2 lebih besar dari
kayu dewasa, sehingga penyusutan longitudinal kayu juvenil sangat besar dan
berkurangnya penyusutan transversal yang sesuai. Dengan semua sifat ini, kayu
juvenil umumnya tidak diinginkan apabila digunakan dalam produk kayu solid.
Apabila kayu juvenil ini digunakan sebagai kayu solid untuk keperluan konstruksi
besar, maka akan terjadi cacat yang disebut getas atau brashness. Cacat getas ini
merupakan suatu kondisi abnormal pada kayu yang patah secara tiba-tiba tanpa
memberikan peringatan pada beban yang lebih rendah.
Dimensi Serat
Dimensi serat (panjang serat dan tebal dinding sel) dapat menjadi salah
satu parameter dalam menentukan batas terbentuknya kayu juvenil dan kayu
dewasa dengan melihat variasi panjang serat dan tebal dinding sel mulai dari
empulur hingga bagian kulit. Sel-sel pada kayu juvenil lebih pendek dibandingkan
dengan kayu dewasa sehingga dapat dijadikan batas antara kayu juvenil dan kayu
dewasa. Identifikasi kayu juvenil juga dapat dilihat dari tebal dinding sel yang
berangsur-angsur mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh adanya
persaingan antara pertumbuhan panjang internoidia, produksi jarum-jarum baru
dan pertumbuhan xylem dan floem sangat keras pada awal pertumbuhan (dekat
empulur). Akibatnya hasil fotosintesis yang diterima daerah kambium sangat
minimum. Oleh karena itu, ketebalan dinding sel menjadi minimum. Setelah
perkembangan tajuk berhenti, maka hasil fotosintesis yang diberikan kepada
daerah kambium bertambah banyak dan dinding sel menjadi lebih tebal dan
menjadi maksimum pada akhir musim tumbuh (Pandit 2006). Panjang serat dan
tebal dinding sel mengalami kenaikan yang progresif sampai batas umur tertentu
kemudian panjang serat tersebut mengalami sedikit fluktuasi dan konstan seperti
tertera pada Gambar 3. Panjang serat yang mempunyai nilai konstan inilah batas
kayu juvenilnya. Seperti yang dinyatakan oleh Bowyer et al (2007) bahwa
panjang sel kayu dewasa mungkin mencapai tiga sampai empat kali panjang selsel kayu juvenil pada kayu daun jarum. Pada kayu daun lebar umumnya sel
serabut kayu dewasa hanya mencapai dua kali panjang sel serabut kayu juvenil.

5

Panjang serat
Tebal dinding sel

(Sumber: Senft et al 1985 dalam Lowell 2012)
Gambar 3 Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa Dicirikan dengan Kenaikan Panjang
Serat yang Kemudian Berangsur-Angsur Konstan saat Dewasa
Sudut Mikrofibril
Sudut mikrofibril pada lapisan S2 di dalam dinding sel merupakan salah
satu penentu utama dari sifat mekanis dalam kayu solid (Cave dan Walker 1994;
Evans Ilic 2001 dalam Tabet 2010). Bowyer et al. 2007 menyatakan bahwa kayu
juvenil memiliki kecenderungan untuk menghasilkan serat terpuntir yang lebih
besar. Selain itu orientasi sudut mikrofibril pada lapisan dinding sekunder S-2
kayu juvenil lebih besar dibandingkan dengan kayu dewasa (Gambar 4). Sudut
mikrofibril lebih besar di bagian pangkal pohon pada sejumlah lingkaran tahun
dari empulur, menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian, dan sedikit
meningkat pada puncak pohon. Selain dikarenakan faktor jenis pohonnya, sudut
mikrofibril juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti nutrisi dan air
(Donaldson 2008). Sudut mikrofibril yang rendah menyebabkan kekakuan yang
rendah dan susut longitudinal yang tinggi.

Gambar 4 Perubahan Sudut Mikrofibril pada Kayu Juvenil Ke Kayu Dewasa
dalam Konifer

6

Sifat Fisis Kayu
Sifat fisis kayu ialah karakteristik kuantitatif dan ketahanan terhadap
pengaruh dari luar. Menurut Bowyer et al. (2003) sifat fisis kayu yang penting
dan mempengaruhi sifat mekanis kayu adalah kadar air, kerapatan dan berat jenis.
Kerapatan
Bowyer et al. 2007 menyatakan bahwa kerapatan kayu merupakan
perbandingan antara massa atau berat kayu dengan volumenya yang dinyatakan
dalam kg/m3 atau g/cm3. Kerapatan kayu didefinisikan sebagai jumlah bahan
penyusun dinding sel kayu maupun zat-zat lain dimana bahan tersebut
memberikan sifat kekuatan pada kayu. Keberadaan kayu juvenil dicirikan dengan
kenaikan kerapatan dengan cepat kemudian mulai stabil ketika kayu sudah
mencapai dewasa (Gambar 5).

Kerapatan

(Sumber : Bowyer et al, 2007)
Gambar 5 Kerapatan yang Meningkat Secara Progresif Pada Bagian Juvenil,
Kemudian Berangsur-Angsur Stabil pada Saat Dewasa
Kadar Air
Panshin dan de Zeeuw (1980) mendefinisikan kadar air sebagai banyaknya
air yang terkandung dalam kayu. Kadar air kayu sangat dipengaruhi oleh sifat
higroskopis kayu. Air dalam kayu terdiri dari air bebas dan air terikat dimana
keduanya secara bersama-sama menentukan kadar air kayu. Air yang terdapat
dalam rongga sel kayu disebut sebagai air bebas (free water) sedangkan air yang
terdapat di dalam dinding sel dinamakan air terikat (bound water). Kadar air segar
dalam satu pohon bervariasi tergantung tempat tumbuh dan umur pohon. Kadar
air kayu akan berubah sesuai dengan kondisi iklim tempat dimana kayu berada
akibat dari perubahan suhu dan kelembaban udara. Sel penyusun padakayu juvenil
merupakan sel-sel hidup yang masih mengalami proses pertumbuhan, hal ini
menyebabkan kadar air pada kayu juvenil lebih tinggi dibandingkan kayu dewasa.
Kayu dewasa terseusun oleh sel-sel mati atau memasuki proses akhir
pertumbuhan, oleh karena itu kadar air akan mengalami penurunan yang
berangsur-angsur dari juvenil ke dewasa (Bowyer et al. 2007).

7

Penyusutan Kayu
Dimensi kayu akan stabil pada saat kadar air di atas titik jenuh serat. Kayu
akan mengubah dimensinya pada saat kayu kehilangan air dibawah titik tersebut.
Dalam proses penyusutan kayu, bagian sel yang berperan adalah dinding sel
terutama dinding sel sekunder. Dinding sel primer sangat tipis jika dibandingkan
dengan dinding sel sekunder sehingga pengaruhnya kecil dan sering diabaikan.
Menurut Haygreen dan Bowyer 1996, variasi dalam penyusutan contoh-contoh uji
yang berbeda dari spesies yang sama dibawah kondisi yang sama terutama akibat
dari tiga faktor yaitu (1) ukuran dan bentuk potongan, ini mempengaruhi orientasi
serat dalam potongan dan keseragaman kandungan air di seluruh tebal, (2)
kerapatan contoh uji, semakin tinggi kerapatan contoh uji semakin banyak
kecenderungannya untuk menyusut dan (3) laju pengeringan contoh uji, di bawah
kondisi pengeringan yang cepat, tegangan internal terjadi karena perbedaan
penyusutan.
Kayu Sengon ( Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes)
Pohon sengon dengan nama botani Falcataria moluccana dari famili
Fabaceae memiliki nama daerah jeungjing, sengon laut (Jawa), tedehu pute
(Sulawesi), rare, selawoku, selawaku merah, seka, sika, sika bot, sikas, tawa sela
(Maluku), bae, bai wahogon, wai, wikkie (Irian Jaya) (Martawijaya et al 1989).
Kayu ini tersebar di seluruh Jawa, Maluku, Sulawesi Selatan dan Irian Jaya.
Tinggi pohon sengon dapat mencapai 40 meter dengan panjang batang bebas
cabang 10-30 meter dan diameter 80 cm.
Ciri diagnostik kayu sengon dapat dilihat dari aspek warna yaitu memiliki
warna kayu teras dan gubal yang sulit dibedakan yaitu putih kecoklatan atau
kuning muda sampai coklat kemerahan. Memiliki tekstur agak kasar hingga kasar
dengan arah serat berpadu dan kadang-kadang lurus, sedikit bercorak, kekerasan
kayu agak lunak, dan beratnya ringan. Ciri anatomi kayu sengon yaitu memiliki
pori berbentuk bulat sampai bundar telur, tata baur, soliter, dan gabungan pori
yang terdiri dari 2-3 pori dan berjumlah 4-7 per mm2 dengan diameter tangensial
sekitar 160-340 mikron dan bidang perforasi sederhana. Parenkima kayu sengon
kebanyakan bertipe apotrakea baur yang terdiri atas 1-3 sel yang membentuk garis
tangensial di antara jari-jari. Jari-jari umumnya sempit, terdiri atas 1-2 seri,
jumlahnya 6-12 per mm arah tangensial, komposisi selnya homoselular, hanya
terdiri atas sel-sel baring (Pandit dan Kurniawan 2008).
Kayu sengon merupakan kayu ringan dengan berat jenis rata-rata 0,33
(0,24-0,49), termasuk ke dalam kelas awet IV-V dan kelas kuat IV-V. Kayu
sengon banyak digunakan sebagai bahan bangunan perumahan terutama di
pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wol semen, pulp dan kertas,
kelom, dan berang kerajinan (Mandang dan Pandit 1997).

8
Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Tanaman ini memiliki nama botanis Anthocephalus cadamba Miq. dari
famili Rubiaceae dan tersebar merata di seluruh Sumatera, Jawa Barat, Jawa
Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, seluruh Sulawesi, Nusa Tenggara
Barat, dan Papua. Tinggi pohon dapat mencapai 45 meter dengan tinggi bebaas
cabang mencapai 30 meter, dan diameter mencapai 160 cm. Batang lurus dan
silindris, bertajuk lebar dengan cabang mendatar, berbanir sampai ketinggian 1,5
meter, kulit luar berwarna kelabu coklat sampai coklat, sedikit beralur dangkal
(Martawijaya et al 1989).
Ciri umum jabon yaitu kayu teras berwarna putih sampai putih
kekuningan. Batas antara kayu teras dengan kayu gubal tidak tegas. Kayu jabon
memiliki corak polos dengan tekstur agak halus dan rata. Arah seratnya lurus
kadang agak berpadu. Kayu ini memiliki permukaan agak mengkilap sampai
mengkilap, memiliki kesan raba yang licin sampai licin dan tingkat kekerasannya
agak lunak sampai agak keras (Martawijaya et al 1989).
Ciri anatomi yang dimiliki oleh kayu ini yaitu memiliki pori atau sel
pembuluh yang tersebar baur, hampir seluruhnya berganda radial terdiri atas 2-3
pori kadang lebih atau bergerombol. Diameter pori agak kecil. Frekuensi porinya
jarang sampai agak banyak, bidang perforasi sederhana. Parenkimanya bertipe
apotrakea kelompok baur, berupa garis-garis tangensial pendek diantara jari-jari.
Jari-jari sempit dan agak lebar, jumlahnya banyak dan ukurannya agak tinggi.
Anthocephalus cadamba memiliki berat jenis rata-rata 0,42 (0,29-0,56). Kayu ini
termasuk kelas awet V kelas kuat III-IV. Biasanya digunakan sebagai bahan
bangunan sementara, daun jendela, langit-langit, kotak, peti teh, pembungkus,
kelom, barang kerajinan (termasuk mainan anak), korek api, sumpit makan
(Mandang dan Pandit 1997).

METODE
Bahan
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu sengon dan
kayu jabon (Gambar 6) yang berumur 5, 6, dan 7 tahun yang diperoleh dari hutan
rakyat di daerah Cicantayan dan Jampang, Sukabumi. Karakteristik pohon Sengon
dan Jabon disajikan pada Tabel 1.

9

A

B

Gambar 6 Pohon Sengon (A) dan Jabon (B) masing-masing berumur 7 tahun
Tabel 1 Tabel Karakterisitik Pohon Sampel
Karakteristik
Jenis Pohon
Umur Pohon
Tahun
Diameter Pohon
Tanam
(DBH)
Sengon
5
2007
32 cm
6
2006
34 cm
7
2005
36 cm
Jabon
5
2007
34 cm
6
2006
36 cm
7
2005
38 cm
Selain itu, bahan-bahan lain yang digunakan dalam pengamatan sifat-sifat
anatomi kayu yaitu gliserin, gliserol, alkohol 10%, alkohol 30%, alkohol 50%,
alkohol 60%, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 100%, aquades,
potasium klorat (KClO3), asam nitrat (HNO3) 50%, asam nitrat (HNO3) 35%,
safranin 2%, iodine, potassium iodide, kertas saring, alumunium foil, dan kertas
lakmus.

Alat
Peralatan yang digunakan pada pengamatan sifat-sifat anatomi yaitu
tabung reaksi, water bath, corong gelas, sarung tangan, masker, erlenmeyer, gelas
ukur, gelas piala, kaca preparat, cover glass, mikroskop cahaya, cutter, Sliding
Microtome American Opt., kuas, kamera, kaliper, fan, oven, timbangan elektrik,
desikator, komputer, kalkulator, dan alat tulis.

10
Tempat dan Waktu Penelitian
Proses pengamatan sifat-sifat anatomi dan fisik kayu dilakukan di
Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli hingga bulan
September 2012 dan bulan April hingga bulan Mei 2013.

Prosedur Analisis Data
Data pengukuran sudut mikrofibril dilakukan dengan menggunakan
software Motic Image Plus. Keseluruhan data yang diperoleh disajikan dalam
bentuk grafik dengan menggunakan Microsoft Excel 2010.
Menurut Darmawan et al. 2013 bahwa pendekatan regresi tersegmentasi
digunakan untuk menentukan karakteristik sifat anatomi kayu. Diasumsikan
bahwa perkembangan radial dari panjang serat dan MFA dari empulur ke kulit
dapat dijelaskan oleh dua fungsi, pertama, untuk fungsi kuadratik menggambarkan
perkembangan kayu dimulai pada empulur dan yang kedua untuk menggambarkan
tebentuknya kayu dewasa. Dengan regresi tersegmentasi, model polynomial
orthogonal tingkat 2 (Persamaan (1)) dapat memperkirakan parameter titik potong
antara kayu juvenil dan dewasa. Ketika umur transisi tidak diketahui, prosedur
kuadrat terkecil digunakan untuk memperoleh perkiraan parameter regresi dan
umur transisi. Model regresi polynomial orthogonal tingkat dua dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Yi = A + BXi + CXi2 + Ei (1)
Dimana:
Yi merupakan variabel bebas untuk panjang serat dan MFA,
Xi merupakan jumlah segmen,
A merupakan intersep garis kayu juvenil,
B dan C merupakan koefisien regresi, dan
E merupakan faktor kesalahan.
Dari pertimbangan teoritis tersebut, dapat dihipotesiskan bahwa:
y=a+bx+cx2
jika x < x0, persamaan y dan x adalah kuadrat
y=p
jika x0 ≥ x, persamaan adalah konstan,
dimana xo adalah jumlah segmen saat kayu berubah dari juvenil ke kayu dewasa,
p adalah panjang serat/MFA saat kayu berubah dari kayu juvenil ke kayu dewasa.
Persamaan polynomial orthogonal tingkat dua diperoleh dengan
menggunakan Microsoft Excel 2010. Kurva kuadratik dan kurva konstan pada
Gambar 7, memiliki titik potong di X0. Turunan pertama dari persamaan
polynomial orthogonal tingkat dua terhadap X akan sama dengan X0. Turunan
pertama ini akan memberikan hasil bahwa: X0=-b /(2c), dan p=a-b2/(4c).

11

Gambar 7 Kurva Model Analisis Transisi Juvenil ke Dewasa dengan
Menggunakan Regresi Tersegmentasi

Metode Penelitian
Pembuatan Contoh Uji
Contoh uji diambil dari pohon lurus dengan umur yang berbeda yakni 5, 6,
dan 7 tahun dan dipotong pada bagian tengah tepatnya pada ketinggian 3,5 meter
dari permukaan tanah. Contoh uji diambil kira-kira setebal 5 cm berbentuk
lempengan (disk) (Gambar 8).

Gambar 8 Metode Pengambilan Contoh Uji (A) Batang Pohon, (B) Lempengan
(disk) setebal 5 cm, (C) Contoh Uji Kadar Air dan Susut Longitudinal, (D)
Contoh Uji Sayatan Maserasi, Mikrotom, dan Kerapatan

12

Pengamatan Sifat-Sifat Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa
Pengukuran Panjang Serat dan Tebal Dinding Sel
Pengukuran dimensi serat dilakukan dengan membuat sediaan maserasi.
Dimensi sel serabut yang diukur adalah panjang sel serabut. Contoh uji berbentuk
persegi panjang diambil dari masing-masing lempengan kayu (disk) mulai dari
bagian dekat empulur hingga ke bagian kulit. Selanjutnya contoh uji dibagi
menjadi segmen dengan ukuran yang sama yakni 5 cm x 1,5 cm x 1 cm dan diberi
nomor mulai dari empulur hingga kulit (Gambar 8). Segmen pertama merupakan
sampel kayu yang diambil dari bagian dekat empulur, selanjutnya segmen kedua,
ketiga, dan seterusnya sampai kulit. Setelah itu dilanjutkan dengan pemisahan
serat dengan membuat slide maserasi pada masing-masing segmen. Slide maserasi
dibuat dengan menggunakan metode Schulze (Husein 2004), seperti yang tertera
di Lampiran 1. Penentuan panjang serat dan tebal dinding sel dilakukan dengan
mengukur sebanyak 30 serat dari masing-masing bagian (segmen). Kemudian
hasil pengukuran panjang 30 serat dirata-ratakan untuk memperoleh panjang serat
rata-rata tiap segmen.
Pengukuran Microfibril Angle (MFA)
Contoh uji persegi panjang diambil dari disk dan dipotong menjadi
segmen dengan ukuran 5 cm x 1,5 cm x 1 cm dari empulur hingga kulit dan diberi
nomor mulai dari empulur hingga kulit (Gambar 8). Setelah itu dilanjutkan
dengan pembuatan slide mikrotom pada bidang tangensial. Slide mikrotom dibuat
dengan menggunakan Sliding Microtome American Opt. Setelah dilakukan
pemotongan slide mikrotom, slide dicuci dengan menggunakan metode Schulze
dengan metode seperti yang tertera di Lampiran 2. Penentuan microfibril angle
dilakukan dengan mengukur sebanyak 5 serat dimana setiap seratnya dilakukan
pengulangan sebanyak 3 kali. Sayatan mikrotom diamati dengan menggunakan
mikroskop cahaya dengan perbesaran 45 x 10 serta 5 kali digital zoom camera
merk CANON A2300. Setelah dilakukan pemotretan, dilakukan pengukuran sudut
microfibril dengan menggunakan software Motic Image Plus, kemudian hasil
pengukuran sudut dirata-ratakan untuk memperoleh sudut microfibril rata-rata
setiap segmen.
Kerapatan
Profil kerapatan dari bagian empulur ke bagian kulit diukur pada bidang
radial dari contoh uji kayu berbentuk persegi panjang berukuran 5 cm x 1,5 cm x
1 cm menggunakan metode Archimedes yang dianalisis menggunakan software
Microsoft Excel 2010 untuk mendapatkan nilai kerapatan. Contoh uji dicelupkan
kedalam gelas piala yang berisi air diatas timbangan elektrik dari empulur ke
bagian kulit. Dalam studi ini kerapatan kayu dinyatakan dalam g/cm3.

13

Kadar Air
Disk setebal 5 cm dipotong menjadi contoh uji berbentuk persegi panjang
melalui empulur (Gambar 8). Contoh uji tersebut dipotong dengan ukuran 5 cm x
2 cm x 2 cm dari empulur hingga kulit. Kemudian contoh uji diberi nomor urut.
Kayu basah kemudian ditimbang berat awal (berat basah), kemudian contoh uji
dioven pada suhu 103 ± 2º C hingga beratnya konstan. Setelah selesai dioven,
contoh uji dimasukkan ke dalam desikator sampai suhunya stabil kemudian
ditimbang sebagai berat kering tanur. Kadar air diukur secara gravimetri.
Penyusutan Kayu
Contoh uji kerapatan dan kadar air digunakan juga dalam menentukan
susut kayu. Disk setebal 5 cm dipotong menjadi contoh uji berbentuk persegi
panjang melalui empulur (Gambar 8). Contoh uji tersebut dipotong dengan ukuran
5 cm x 2 cm x 2 cm dari empulur hingga kulit. Kemudian contoh uji diberi nomor
urut. Contoh uji diukur panjang bagian longitudinal dengan menggunakan kaliper
sehingga diperoleh dimensi awal. Contoh uji dioven pada suhu 103 ± 2o C selama
24 jam. Contoh uji dikeluarkan dari oven kemudian diadakan pengukuran
panjangnya kembali sehingga diperoleh dimensi akhir.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Dimensi Serat
Profil pengukuran panjang serat kayu sengon dan jabon disajikan pada
Lampiran 3. Selanjutnya rata-rata panjang serat tiap segmen dari bagian empulur
hingga bagian kulit disajikan pada Gambar 9. Hasil penelitian pada Gambar 9
memperlihatkan bahwa panjang serat terpendek terdapat pada bagian yang dekat
empulur baik untuk kayu sengon maupun kayu jabon. Panjang serat mengalami
kenaikan secara tajam di awal-awal segmen kemudian meningkat secara perlahan
dibagian dekat kulit. Frekuensi pembelahan sel inisial fusiform secara antiklinal
yang semakin cepat pada daerah dekat empulur menghasilkan sel-sel yang lebih
pendek. Pembelahan antiklinal berlangsung lebih cepat pada masa awal
pertumbuhan sehingga sel-sel kayu yang terbentuk lebih pendek, sedangkan selsel yang terbentuk pada akhir pertumbuhan lebih panjang karena pembelahan
antiklinal berlangsung lebih lambat (Gambar 11). Hal inilah yang menyebabkan
panjang serat yang dihasilkan pada bagian dekat empulur lebih pendek (Pandit
dan Kurniawan 2008).

14
1600

Panjang serat (µm)

1400

A. Kayu Sengon

1200
1000
800

5 tahun
6 tahun
7 tahun

600
400
200
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12 13 14 15 16 17

Nomor segmen dari empulur hingga kulit
1600

B. Kayu Jabon

Panjang serat (µm)

1400
1200
1000
800

5 tahun
6 tahun
7 tahun

600
400
200
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

Gambar 9 Rata-Rata Pengukuran Panjang Serat dari Empulur hingga Kulit pada
(A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon
Profil pengukuran tebal dinding sel kayu sengon dan jabon disajikan pada
Lampiran 4. Selanjutnya rata-rata tebal dinding sel tiap segmen dari bagian
empulur hingga bagian kulit disajikan pada Gambar 10. Hasil penelitian pada
Gambar 10 memperlihatkan bahwa tebal dinding sel tertipis terdapat pada bagian
yang dekat empulur baik untuk kayu sengon maupun kayu jabon. Tebal dinding
sel mengalami kenaikan secara tajam di awal-awal segmen kemudian meningkat
secara perlahan dibagian dekat kulit. Frekuensi pembelahan sel inisial fusiform
secara antiklinal yang semakin cepat pada daerah dekat empulur menghasilkan
sel-sel yang lebih pendek dan dinding sel yang tipis. Pembelahan antiklinal
berlangsung lebih cepat pada masa awal pertumbuhan sehingga sel-sel kayu yang
terbentuk lebih pendek, sedangkan sel-sel yang terbentuk pada akhir pertumbuhan
lebih panjang dan tebal karena pembelahan antiklinal berlangsung lebih lambat.
Hal inilah yang menyebabkan tebal dinding sel yang dihasilkan pada bagian dekat
empulur lebih tipis (Pandit dan Kurniawan 2008).

15

Tebal dinding sel (µm)

6,00
5,00
4,00
3,00
5 tahun
2,00

6 tahun

A. Kayu Sengon

1,00

7 tahun

0,00
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12 13 14 15 16 17

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

Tebal dinding sel (µm)

6,00
5,00
4,00
3,00
5 tahun
2,00

6 tahun

1,00

7 tahun

B. Kayu Jabon

0,00
1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Nomor segmen dari empulur hingga kulit
Gambar 10 Rata-Rata Pengukuran Tebal Dinding Sel dari Empulur hingga Kulit
pada (A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon

16

753,4 µm

764,4 µm

(A)

(B)

823 µm

(C)
Gambar 11 Contoh Serat pada Kayu Sengon Umur 6 Tahun Segmen (A) Dekat
Empulur (B) Tengah (C) Dekat Kulit
Hasil analisis terhadap kurva pada gambar 9 dengan polynomial
orthogonal tingkat dua diperoleh hasil bahwa kayu juvenil pada kayu sengon
umur 5, 6, dan 7 tahun sepenuhnya merupakan kayu juvenil. Selanjutnya kayu
juvenil pada jabon umur 5, 6, dan 7 tahun masing-masing terjadi hingga segmen
26, 30, dan 31. Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh kayu jabon pada umur 5,
6, dan 7 tahun merupakan kayu juvenil. Pada gambar 10, hasil analisis terhadap
kurva dengan polynomial orthogonal tingkat dua diperoleh hasil bahwa kayu
juvenil pada kayu sengon umur 5, 6, dan 7 tahun sepenuhnya merupakan kayu
juvenil. Selanjutnya kayu juvenil pada jabon umur 5, 6, dan 7 tahun masingmasing terjadi hingga segmen 26, 19, dan 22. Hasil pada Tabel 2 mengindikasikan
bahwa periode kayu juvenil dan terbentuknya kayu dewasa ini berbeda-beda
tergantung pada jenis kayu. Proporsi kayu juvenil yang terbentuk dalam suatu
batang berhubungan dengan laju pertumbuhan jenis kayunya. Batang yang
tumbuh cepat akan memiliki proporsi kayu juvenil yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan batang yang tumbuh lambat pada awal daur
pertumbuhannya.

17

Tabel 2 Perkiraan Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa Berdasarkan Panjang
Serat dan Tebal Dinding Sel
Jumlah Segmen Dari
Jumlah Segmen Dari
Jenis
Umur
Empulur Hingga Kulit Empulur Hingga Kulit
Kayu
(Tahun)
(berdasarkan panjang
(berdasarkan tebal
serat)
dinding sel)
5
26
25
Sengon
6
24
25
7
31
21
5
26
26
Jabon
6
30
19
7
31
22

Microfibril Angle (MFA)
Hasil pengukuran profil sudut mikrofibril kayu sengon dan jabon disajikan
pada Lampiran 5. Selanjutnya rata-rata nilai MFA tiap segmen disajikan pada
Gambar 12. Hasil penelitian pada Gambar 12 memperlihatkan bahwa sudut
mikrofibril terbesar terdapat pada bagian yang dekat empulur baik untuk kayu
sengon maupun kayu jabon. Besar sudut mikrofibril mengalami penurunan secara
tajam di awal-awal segmen kemudian menurun secara perlahan dibagian dekat
kulit (Gambar 13).

18
70
5 tahun

60

6 tahun

MFA (º)

50

7 tahun

40
30

A. Kayu Sengon
20
10
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12 13 14 15 16 17 18

Nomor segmen dari empulur hingga kulit
70
60

5 tahun
6 tahun

MFA (º)

50

B. Kayu Jabon

7 tahun

40
30
20
10
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Nomor segmen dari empulur hingga kulit
Gambar 12 Rata-Rata Pengukuran Sudut Mikrofibril dari Empulur hingga Kulit
pada (A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon

19

(A)

(B)

(C)
Gambar 13 Contoh Sudut Mikrofibril pada Kayu Jabon Umur 5 Tahun Segmen
(A) Dekat Empulur (B) Tengah (C) Paling Luar
Hasil penelitian pada Gambar 13 menunjukkan bahwa sudut mikrofibril
(MFA) baik pada kayu sengon maupun kayu jabon mengalami penurunan mulai
dari empulur hingga kulit. Hasil analisis terhadap kurva pada Gambar 12 dengan
polynomial othogonal tingkat dua diperoleh hasil bahwa kayu juvenil pada kayu
sengon umur 5, 6, dan 7 tahun masing-masing terjadi hingga segmen ke 22, 19,
dan 20 (Tabel 3). Hal ini mengindikasikan bahwa kayu sengon umur 5, 6, dan 7
tahun sepenuhnya merupakan kayu juvenil. Kayu juvenil jabon dengan umur 5, 6,
dan 7 tahun masing-masing terjadi hingga segmen 24, 19, dan 21. Hal ini
mengindikasikan bahwa seluruh bagian kayu jabon pada umur 5, 6, dan 7 tahun
merupakan kayu juvenil.

20
Tabel 3 Perkiraan Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa Berdasarkan Sudut
Mikrofibril
Jenis Kayu

Sengon

Jabon

Umur
(Tahun)

Jumlah Segmen Dari
Empulur Hingga Kulit

5
6
7
5
6
7

22
19
20
24
19
21

MFA sangat berpengaruh terhadap sifat anisotropic kayu. Sudut
mikrofibril yang besar dapat menyebabkan penyusutan pada arah longitudinal
menjadi bertambah besar (Panshin 1980, Tsoumis 1991, Bowyer 2007). MFA
yang besar pada kayu juvenil dipengaruhi oleh adanya aktifitas xilem sekunder
yang dihasilkan oleh daerah-daerah kambium yang masih aktif pada awal
pertumbuhan karena kayu juvenil tersusun oleh sel yang pendek dan berangsurangur mengalami pertumbuhan panjang sehingga MFA akan tertarik dan semakin
mengecil selama fase pertumbuhan. Informasi ini penting karena erat
hubungannya dengan stabilitas dimensi kayu sebagai bahan baku.
Untuk mengurangi proporsi kayu juvenil dalam kayu dapat dilakukan
dengan tidak memberikan pupuk, irigasi atau perlakuan silvikultur lainnya pada
awal pertumbuhan yang merupakan periode pembentukan kayu juvenil. Hal ini
dikarenakan pohon yang tumbuh secara cepat pada awal daur pertumbuhan pohon
akan memiliki proporsi kayu juvenil yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
pohon yang tumbuh secara lambat pada awal daur pertumbuhan.

Kerapatan
Kerapatan kayu merupakan perbandingan antara massa atau berat kayu
dengan volumenya yang dinyatakan dalam kg/m3 atau g/cm3. Selanjutnya
kerapatan kayu didefinisikan sebagai jumlah bahan penyusun dinding sel kayu
maupun zat-zat lain, dimana bahan tersebut memberikan sifat kekuatan pada kayu
(Bowyer et al 2007). Pengukuran kerapatan kayu dilakukan dalam kondisi basah.
Sama halnya dengan pengukuran panjang serat dan sudut mikrofibril, pengukuran
kerapatan juga dilakukan mulai dari empulur hingga kulit. Rata-rata nilai
kerapatan tiap segmen disajikan pada Gambar 14.

21

Kerapatan (g/cm3)

1,0
0,9

5 tahun

0,8

6 tahun

0,7

7 tahun

0,6
0,5
0,4
0,3

A. Kayu Sengon

0,2
0,1
0,0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12 13 14 15 16

Nomor segmen dari empulur hingga kulit
1,0

Kerapatan (g/cm3)

0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4

5 tahun

0,3

6 tahun
7 tahun

B. Kayu Jabon

0,2
0,1
0,0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Nomor segmen dari empulur hingga kulit
Gambar 14 Rata-Rata Pengukuran Kerapatan dari Empulur hingga Kulit pada (A)
Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon
Hasil pada Gambar 14 mengindikasikan bahwa nilai kerapatan baik pada
kayu sengon maupun kayu jabon mengalami kenaikan dari empulur hingga kulit.
Hasil ini mendukung temuan Bowyer et al (2007) bahwa kerapatan akan
meningkat dari empulur ke arah kulit kemudian akan mencapai nilai yang hampir
konstan. Nilai kerapatan yang meningkat secara linear dari empulur hingga ke
kulit menunjukkan adanya sedikit variasi (Gambar 14). Secara visual, nilai
kerapatan pada Gambar 14 masih mengalami peningkatan hingga ke bagian kulit,
dan belum tercermin nilai kerapatan yang hampir konstan di bagian dekat kulit.
Analisis polynomial orthogonal tingkat dua mengindikasikan bahwa kerapatan
tidak cocok untuk menentukan transisi antara kayu juvenil dan kayu dewasa. Hal
ini karena nilai simpangan baku yang rendah dan titik transisi yang besar. Nilai
kerapatan kayu jabon lebih besar dibandingkan dengan kayu sengon tiap
segmennya. Variasi nilai kerapatan suatu kayu tergantung dari umur, posisi dalam

22
suatu pohon, kondisi tempat tumbuh, dan susunan genetik dalam pohon tersebut
(Bowyer et al 2007).

Kadar Air
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam kayu (Panshin
dan de Zeeuw 1980). Selanjutnya Haygreen dan Bowyer (1996) mendefinisikan
kadar air sebagai berat air yang dinyatakan sebagai persen terhadap berat kayu
bebas air atau berat kering tanurnya. Air merupakan unsur alami yang terdapat di
semua bagian pohon yang hidup. Di dalam kayu, kadar air kayu berkisar antara 40
sampai 200%. Keragaman kadar air ini dapat terjadi antar spesies, bahkan antar
bagian dari pohon yang sama. Pengukuran kadar air dilakukan dalam kondisi
basah (green moisture content). Hasil pengukuran kadar air pada setiap segmen
disajikan pada Gambar 15.

Kadar air (%)

180,0
160,0

5 tahun

140,0

6 tahun

120,0

7 tahun

100,0
80,0
60,0
40,0

A. Kayu Sengon

20,0
0,0
1

2

3

4

5

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

6

Kadar air (%)

180,0
160,0

5 tahun

140,0

6 tahun

120,0

7 tahun

100,0
80,0
60,0
40,0

B. Kayu Jabon

20,0
0,0
1

2

3

4

5

6

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

7

Gambar 15 Pengukuran Kadar Air dari Empulur hingga Kulit pada (A) Kayu
Sengon dan (B) Kayu Jabon

23

Hasil pada Gambar 15 memperlihatkan bahwa kadar air basah kayu
sengon umur 5 tahun yang memiliki nilai tertinggi sebesar 126,66% pada bagian
dekat empulur, sedangkan yang nilai yang terendah terdapat pada bagian dekat
kulit sebesar 50,80%. Kadar air basah kayu sengon umur 6 tahun yang memiliki
nilai tertinggi sebesar 88,47% pada bagian dekat empulur, sedangkan yang nilai
yang terendah terdapat pada bagian dekat kulit sebesar 43,70%. Kadar air basah
kayu sengon umur 7 tahun yang memiliki nilai tertinggi sebesar 80,27% pada
bagian dekat empulur, sedangkan yang nilai yang terendah terdapat pada bagian
dekat kulit sebesar 43,94%. Kadar air basah kayu jabon umur 5, 6, dan 7 tahun
yang memiliki nilai tertinggi berturut-turut terdapat pada bagian dekat empulur
sebesar 167,80%; 130,80%; dan 115,45%, sedangkan kadar air basah kayu jabon
umur 5, 6, dan 7 tahun yang memiliki nilai terendah berturut-turut terdapat pada
bagian dekat kulit sebesar 84,48%; 81,56%; dan 77,28%. Nilai kadar air kayu
jabon lebih tinggi dibandingkan dengan kayu sengon. Perbedaan nilai kadar air
basah ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor terkait kondisi tempat tumbuh
dimana pohon berada seperti tingkat kesuburan tanah, persaingan, dan iklim.
Pohon yang tumbuh di tanah-tanah yang subur, dengan tingkat persaingan yang
rendah dan iklim yang cocok akan menghasilkan kayu dengan nilai kadar air yang
lebih tinggi karena porsi lumen atau rongga sel yang lebih banyak (Haygreen dan
Bowyer 1996).

Penyusutan Kayu
Kayu mengalami penyusutan pada saat kayu kehilangan air dibawah titik
jenuh serat, yaitu kehilangan air terikat. Penyusutan bagian tangensial lebih tinggi
dibandingkan penyusutan pada bagian radial dari suatu faktor antara satu setengah
dan tiga berbanding satu (Pandit dan Kurniawan 2008). Hasil pengukuran kadar
air pada setiap segmen disajikan pada Gambar 16.

24
1,8
Susut longitudinal (%)

1,6

A. Kayu Sengon