Ultrastruktur Kayu Reaksi pada Damar (Agathis loranthifolia Salisb.) dan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerusakan hutan alam di Indonesia periode antara tahun 1985-1997 mencapai 1,6 juta ha setiap tahunnya. Pada periode antara tahun 1997-2000 kerusakan hutan mencapai rata-rata 2,84 juta ha setiap tahunnya, sehingga total kerusakan hutan sampai tahun 2005 diperkirakan telah mencapai jumlah sekitar 59,1 juta ha. (Badan Planologi Kehutanan 2005). Laporan terakhir yang diperoleh dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI 2007) bahwa Jatah Produksi Tebangan (JPT) dari hutan alam tahun 2007 yang ditetapkan Departemen Kehutanan, hanya sebesar 9,1 juta m3 dan JPT tahun sebelumnya bahkan hanya sebesar 8,1 juta m3. Konsumsi bahan baku kayu untuk industri perkayuan tahun 2005 mencapai 44,5 juta m3. (Departemen Kehutanan 2005). Kondisi seperti ini menyebabkan produksi hutan alam tidak lagi mampu untuk memenui kebutuhan bahan baku kayu untuk industri di dalam negeri.

Untuk mengatasi kekurangan bahan baku kayu untuk industri di dalam negeri, pemerintah sebenarnya sejak tahun 1978 telah mencanangkan program pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), tapi sampai saat ini hasilnya belum seperti yang diharapkan. Oleh karena itu pembangunan HTI harus terus dibenahi, disempurnakan dan dikembangkan sehigga mampu memenuhi kebutuhan bahan baku kayu yang terus meningkat.

Pembangunan HTI mempunyai banyak kelebihan, di samping karena produksifitasnya tinggi umumnya juga mempunyai daur yang pendek. Pembanguan HTI terutama yang memberi prioritas pada jenis-jenis pohon cepat tumbuh (fast growing tree species) di samping memberikan banyak keuntungan, juga mempunyai beberapa kelemahan. Salah satu kelemahan hutan tanaman terutama untuk jenis-jenis pohon cepat tumbuh, umumnya kualitas kayunya terutama dalam bentuk kayu solid mempunyai banyak kelemahan dan di samping itu hutan tanaman mengandung persentase kayu reaksi yang tinggi..

Kayu reaksi dapat terjadi, baik pada jenis-jenis kayu yang berasal dari ordo Coniferales Gymnosperme (softwood) yang sering disebut kayu daun jarum (KDJ), maupun pada jenis-jenis kayu yang berasal dari klas Dicotyledonae.


(2)

Angiospermae (hardwood) yang sering disebut kayu daun lebar (KDL). Cacat kayu reaksi yang terjadi pada KDJ disebut kayu tekan ( compression wood ) dan bila terjadi pada KDL disebut kayu tarik (tension wood) (Panshin 1980;

Haygreen 1982: Tsoumis 1991 dan Bowyer 2003).

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan penulis pada tahun 2004, tegakan hutan tanaman sengon di kampus IPB Darmaga diketahui bahwa jumlah batang pohon yang mengalami cacat kayu tarik ringan sebesar 55,36%, dan mengalami cacat kayu tarik berat sebesar 42,86%. Kayu reaksi berkembang sangat pesat, terutama pada jenis-jenis pohon yang cepat tumbuh. Kayu reaksi sulit ditemukan pada suatu tegakan hutan KDJ jika tidak mempunyai sedikit cacat kayu yang disebut kayu tekan (Kartal 2000). Hutan Pinus resinosa yang ditanam di New York yang mempunyai kecenderungan batangnya tumbuh miring 5o dapat mengandung 5%-40% kayu tekan, dan bila kemiringannya mencapai 10o dapat mengandung 40%-70% kayu tekan (Kartal 2000). Dapat ditambahkan lagi menurut Kartal (2000) bahwa: pada tegakan hutan KDJ yang dikelola dengan manajemen baik sekalipun, tidak ada jaminan batang pohon bebas dari adanya kayu tekan.

Kayu adalah suatu bahan yang berasal dari proses metabolisme organisme hidup yaitu pohon, dimana dalam perjalanan hidupnya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks. Faktor genetik merupakan faktor yang paling dominan yang menyebabkan adanya variasi sifat dasar kayu antar jenis. Variasi sifat dasar kayu dalam satu jenis antara lain dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang sangat kompleks seperti kondisi iklim, kesuburan tanah, ketersediaan air dan hara mineral, serta perlakuan silvikultur, di samping juga oleh faktor kedewasaan pohon waktu ditebang (Panshin 1980; Bodig 1982; Tsoumis 1991; Bowyer 2003).

Pertumbuhan pohon, baik di hutan alam maupun di hutan tanaman dapat menghasilkan batang pohon tumbuh normal, tetapi tidak jarang batang pohon mengalami pertumbuhan abnormal (Panshin 1980; Haygreen 1982 dan Tsoumis 1991). Pertumbuhan pohon yang menyimpang dari pertumbuhan normalnya, dikatakan mengalami pertumbuhan abnormal dan salah satu bentuk abnormalitas pada batang adalah adanya kayu reaksi (Panshin 1980; Haygreen 1982; Tsoumis 1991; Bowyer 2003 dan Gilman 2005).


(3)

3 Gaya dari berbagai pengaruh lingkungan dapat menyebabkan batang pohon tumbuhnya menyimpang dari keadaan yang normal, misalnya batang pohon tumbuh miring, melengkung atau bengkok. Faktor eksternal yang terlibat disini dapat bekerja secara mekanis seperti pengaruh angin, adanya gaya berat atau oleh faktor fisiologis seperti cahaya, kerusakan tajuk akibat serangan hama dan kerusakan oleh ulah manusia. Kayu reaksi terjadi sebagai mekanisme reaksi internal dari batang pohon yang tumbuhnya miring atau melengkung untuk kembali ke posisi normalnya yaitu berdiri tegak ke arah vertikal (Panshin 1980; Haygreen 1982; Tsoumis 1991; Torges 2005 dan Gilman 2005).

Sifat-sifat kayu reaksi mempunyai banyak kelemahan dibanding kayu normal dan jumlahnya sangat banyak, sehingga merupakan cacat kayu yang memerlukan perhatian serius. Kayu reaksi pada papan atau dolok kayu tarik umumnya dapat dicirikan oleh adanya permukaan yang berserabut (woolly grain) terutama bila digergaji dalam kondisi basah, dan sering bilah gergaji macet sehingga membuat gergaji cepat panas (Panshin 1980). Panshin(1980) juga melaporkan hasil penelitiannya pada jenis kayu Pseudotsuga taxifolia (Poir.) Britt. adanya kayu reaksi menyebabkan corak kayu menjadi kurang menarik, karena perbedaan antara struktur kayu awal (early-wood; spring-wood) dan kayu akhir (late-wood; summer-wood) menjadi kurang nyata. Kelemahan lain juga nampak jelas pada sifat pengeringannya. Kayu reaksi sering mengalami cacat collapse yang tidak dapat dikembalikan, sehingga papan atau dolok menjadi melengkung ke arah luar sebagai akibat dari penyusutan longitudinal yang sangat besar (Panshin 1980).

Kayu tekan juga dilaporkan mempunyai kadar lignin yang tinggi (30% lebih tinggi) dibanding bagian kayu normalnya (Kartal 2000), keadaan ini akan menyebabkan nilai kayunya sebagai bahan baku industri pulp dan kertas menjadi berkurang. Banyak kelemahan sifat-sifat kayu reaksi dibanding kayu normal, secara kasat mata adanya kayu reaksi jelas dapat dilihat dari adanya batang pohon yang miring atau melengkung, dan bentuk penampang melintang yang tidak bulat. Keadaan seperti ini akan menyebabkan nilai kayunya sebagai bahan baku industri penggergajian dan kayu lapis menjadi lebih rendah.


(4)

Selama ini penelitian sifat-sifat dasar kayu di Indonesia lebih banyak dilakukan pada kayu yang berasal dari batang pohon yang tumbuh normal, sedangkan penelitian kayu yang berasal dari pohon yang tumbuh abnormal masih jarang. Padahal potensi batang pohon yang tumbuh abnormal, ternyata sangat besar. Di samping itu, sifat-sifat kayu abnormal seperti kayu reaksi mempunyai banyak kelemahan, sehingga nilai ekonominya menjadi lebih rendah dibanding kayu normal. Atas dasar hal-hal tersebut di atas upaya penelitian ultrastruktur kayu reaksi ini perlu mendapat perhatian yang serius.

B. Perumusan Masalah

Produksi hutan alam ternyata tidak lagi mampu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk industri di dalam negeri. Kebutuhan bahan baku kayu untuk industri akhir-akhir ini jauh lebih tinggi dari kemampuan produksi hutan yang ada, sehingga usaha peningkatan pengembangan HTI dan efisiensi pemanfaatan kayu, seyogianya dilakukan secara sinergis dan berkelanjutan. Salah satu kekuatiran pada tegakan cepat tumbuh adalah pertumbuhan tidak normal seperti terbentuknya kayu reaksi yang secara potensial dapat merugikan.

Pendekatan awal untuk merumuskan permasalahan ini dimulai dari usaha untuk memperoleh informasi tentang karakteristik sifat-sifat dasar kayu reaksi terutama untuk mengetahui hal-hal berikut :

1. Berapa besar potensi cacat kayu reaksi yang terjadi pada tegakan kayu damar dan sengon, serta bagaimana mekanisme pembentukan kayu reaksi di dalam batang pohon yang tumbuhnya abnormal.

2. Bagaimana karakteristik ultrastruktur dinding sel kayu reaksi pada kayu damar dan kayu sengon dan apakah ada perbedaan dengan ultrastruktur dinding sel kayu normal.

3. Apakah ultrastruktur kayu reaksi ini mempunyai dampak terhadap teknologi pengolahan dan pemanfaatan kayu sebagai bahan baku industri.

4. Usaha preventif apa yang perlu dilakukan untuk mengurangi cacat kayu reaksi, sehingga kayu sebagai sumber daya alam dapat dimanfaatkan secara lebih efisien.


(5)

5

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk melakukan kajian sifat makroskopik, sifat mikroskopik, ultrastruktur dinding sel kayu reaksi dan melihat dampaknya terhadap teknologi pengolahan dan pemanfaatannya. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui potensi cacat kayu tekan yang terjadi pada tegakan damar dan cacat kayu tarik yang terjadi pada tegakan sengon serta mencoba menjelaskan mekanisme internal pembentukan kayu reaksi dalam batang pohon yang tumbuhnya abnormal. Adapun untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan berbagai kajian dengan tujuan khusus sebagai berikut :

Aspek1 : Kemiringan pohon, hubungannya dengan persentase kayu reaksi. Aspek 2 : Karakteristik kayu reaksi dan mekanisme pembentukannya dalam

batang pohon yang tumbuhnya abnormal. Aspek 3 : Struktur anatomi kayu damar dan sengon

Aspek 4 : Karakteristik ultrastruktur dinding sel kayu tekan pada damar dan kayu tarik pada sengon.

Aspek 5 : Ultrastruktur kayu reaksi dan dampaknya terhadap teknologi pengolahan dan pemanfaatannya.

D. Hipotesis Penelitian

Atas dasar permasalahan dan tujuan tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa hipotesis penelitian sebagai berikut :

1. Pertumbuhan pohon dapat menghasilkan batang yang mengandung kayu normal dan kayu abnormal. Struktur anatomi kayu dari batang pohon yang tumbuhnya normal, akan berbeda dengan struktur kayu dari batang pohon yang tumbuhnya abnormal.

2. Karakteristik ultrastruktur dinding sel kayu reaksi berbeda dengan karakteristik ultrastruktur dinding sel kayu normal.

3. Modifikasi bentuk, ukuran dan proporsi sel-sel yang menyusun kayu, akan menyebabkan perubahan-perubahan sifat dasar kayu, sehingga teknologi pengolahan dan pemanfaatannya juga akan berbeda.


(6)

4. Hasil observasi dengan mikroskop payaran (Scanning Electron Microscope) mampu memberi data objektif karakteristik ultrastruktur dinding sel kayu reaksi dan dampaknya terhadap sifat-sifat dasar kayu sebagai bahan.

Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi: sifat makroskopik, sifat mikroskopik dan ultrastruktur elemen-elemen atau sel-sel penyusun kayu terutama mengenai bentuk, ukuran dan modifikasi dinding sel yang terjadi pada kayu normal dan kayu reaksi yang terjadi pada kayu damar maupun kayu sengon yang diteliti.

E. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan akan mempunyai tiga manfaat penting sebagai berikut :

1. Manfaat bagi pengembangan iptek

a. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama dalam struktur anatomi dan teknologi kayu yang berkaitan dengan karakteristik ultrastruktur kayu reaksi.

b. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat dipakai bahan referensi atau bahan rujukan dalam pengembangan ilmu dan penelitian yang berkaitan dengan struktur anatomi kayu.

2. Manfaat bagi praktisi

Penelitian ultrastruktur dinding sel kayu reaksi ini diharapkan juga mempunyai manfaat praktis, antara lain dapat memberikan informasi tentang karakteristik kayu reaksi di lapangan sehingga dapat memberi inspirasi untuk membuat inovasi baru dalam memanfaakan kayu reaksi yang lebih efisien. Di samping itu adanya informasi tentang cacat kayu reaksi diharapkan dapat dipakai dasar untuk tindakan prefentif dan antisipasi sehingga kerugian akibat dampak adanya kayu reaksi dapat dikurangi.

3. Manfaat bagi pengambilan keputusan

a. Informasi tentang persentase cacat kayu reaksi yang terjadi terutama pada jenis-jenis pohon cepat tumbuh, dapat dipakai dasar untuk mulai


(7)

7 b. Adanya indikasi hubungan derajat kemiringan batang dengan besarnya

persentase kayu reaksi, dapat sebagai dasar untuk mengambil langkah-langkah preventif atau tindakan silvikultur yang lebih tepat dalam pengelolaan hutan tanaman industri, terutama yang terjadi pada jenis-jenis pohon cepat tumbuh.

c. Perlunya melakukan kolaborasi penelitian yang sinergis antara masyarakat peneliti kayu (wood technologist) dan masyarakat silviculturist. Hal ini penting dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu tegakan untuk menghasilkan kayu yang lebih berkualitas, sehingga hutan sebagai sumber daya alam dapat dimanfaatkan secara lebih efisien.

d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam penyusunan kebijakan alternatif mengenai sistem silvikultur hutan tanaman di tanah air.


(8)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kayu Reaksi

Lazimnya pohon yang pertumbuhannya normal batangnya tumbuh vertikal dengan bentuk batang silindris dan mempunyai bentuk penampang melintang yang bulat (Panshin 1980 dan Haygreen 1982). Penyimpangan dari struktur normal kayu bukanlah hal yang tidak umum terjadi, karena pohon adalah organisme hidup, sehingga menerima segala pengaruh sepanjang hidupnya. Struktur abnormal kayu dapat terjadi seperti adanya penyimpangan dari pertumbuhan batang yang vertikal, bentuk batang tidak silindris dan bentuk penampang melintang batang tidak bulat.

Kayu reaksi adalah salah satu bentuk abnormalitas pada batang pohon yang dapat dicirikan oleh adanya pertumbuhan batang yang miring, melengkung atau bengkok. Kayu reaksi timbul sebagai reaksi dari batang pohon yang tumbuhnya miring atau melengkung untuk kembali ke posisi normalnya yaitu berdiri tegak vertikal (Panshin 1980; Haygreen 1982; Tsoumis 1991; Torges 2005). Kayu reaksi dapat ditemui baik pada kelompok Kayu Daun Jarum (KDJ) maupun Kayu Daun Lebar (KDL).

Kayu reaksi yang terjadi pada kelompok KDL disebut kayu tarik ( tension-wood), sedangkan bila terjadi pada KDJ disebut kayu tekan (compression-wood) Panshin (1980); Tsoumis (1991); Torges (2005). Biasanya kayu tekan dibentuk pada bagian bawah dari suatu lengkungan batang pohon KDJ, sedangkan kayu tarik biasanya dibentuk pada sisi atas dari bagian batang pohon KDL yang tumbuhnya miring (Panshin 1980; Haygreen 1982; Tsoumis 1991; Gilmen 2005; Torges 2005).

B. Pembentukan Kayu Reaksi

Para ilmuwan sebelumnya percaya bahwa kayu reaksi terbentuk sebagai akibat gaya tekan atau gaya tarik yang terjadi pada batang untuk menyesuaikan dari kondisi batang yang miring ke posisi tegak (Metzker 1964) dalam Haygreen (1982). Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian lebih lanjut, menunjukkan bahwa


(9)

9 gaya gravitasi bukan satu-satunya penyebab terjadinya kayu reaksi. Hal ini telah dibuktikan secara efektif dalam suatu percobaan dengan batang muda yang dibengkokkan sempurna, sesaat sebelum musim pertumbuhan dan kemudian diamati setelah satu periode tumbuh (Ewart dan Mason-Jones 1906; Jaccard 1938) dalam Haygreen (1982).

Pertumbuhan batang KDJ di bawah kondisi ini mengakibatkan pembentukan kayu tekan sepanjang sisi bawah lengkungan , dan hasil sebaliknya didapatkan pada uji dengan KDL. Dalam suatu percobaan yang berhubungan dengan hal di atas, batang kayu pinus dibengkokkan, dan direbahkan ke arah samping hingga horizontal. Keadaan ini mengakibatkan pembentukan kayu tekan bukan pada sisi tekanan ataupun sisi tarikan, kesimpulannya adalah bahwa gaya berat lebih mengakibatkan pembentukan kayu reaksi dari pada gaya lengkungan Haygreen (1982).

Bagaimana kerja gaya berat untuk menimbulkan pembentukan kayu reaksi telah ditunjukkan di mana bahwa auksin yang diberikan secara buatan seperti asam indol-asetat (IAA) dan asam giberelat dapat menyebabkan pembentukan kayu tekan (Fraser 1952; Wardrop dan Davies 1964) dalam Haygreen (1982). Di samping itu juga telah ditunjukkan bahwa injeksi IAA ke dalam satu sisi suatu batang KDJ yang tumbuh vertikal menyebabkan batang tersebut menjadi miring (Wardrop dan Davies 1964 dalam Haygreen 1982).

Hasil penemuan ini digabungkan dengan hasil pengamatan batang KDJ yang tumbuhnya miring ternyata memiliki konsentrasi auksin yang lebih tinggi pada sisi bawah dari pada sisi atas (Onaka 1949 dalam Haygreen 1982), dan gaya berat berpengaruh pada distribusi IAA dalam tanaman. Petunjuk yang kuat bahwa konsentrasi auksin akan menyebabkan terbentuknya kayu tekan, juga telah menunjukkan bahwa auksin berpengaruh pada pembentukan kayu tarik (Necesany 1958; Westing 1968) dalam Haygreen (1982). Peneliti ini melihat bahwa konsentrasi auksin disini berfungsi untuk menghambat pembentukan kayu tarik. Nampak hasilnya semakin jelas bahwa dua faktor gaya berat dan auksin memainkan peranan sangat penting dalam pembentukan kayu reaksi (Haygreen 1982; Bowyer 2003).


(10)

Kayu reaksi juga telah ditemukan pada batang yang tidak miring pada Pinus loblolly (Zobel dan Haught 1962), yellow poplar (Taylor 1968), dan beberapa jenis Populus (Krempl 1975 dalam Haygreen 1982). Tsoumis (1991) menerangkan hal ini dengan menujukkan bahwa pohon-pohon yang sangat muda mungkin miring membentuk kayu tarik dan dapat pulih kembali ke posisi tegak, tetapi gaya berat bukan satu-satunya faktor lingkungan yang menyebabkan pembentukan kayu reaksi.

Penelitian-penelitian terhadap kayu tropika menunjukkan bahwa kayu tarik mungkin berfungsi untuk menggerakkan tajuk-tajuk ke ruang-ruang terbuka dalam suatu lapisan tajuk hutan yang lebat (Panshin 1980). Terdapat bukti yang kuat bahwa pembentukan kayu reaksi berhubungan dengan pertumbuhan yang cepat (Isebrands 1972; Crist 1977 dalam Haygreen 1982). Kemiringan batang lebih besar dari 2o dapat menyebabkan pembentukan kayu tekan, jumlah persentase kayu reaksi yang terbentuk berhubungan langsung dengan sudut kemiringannya (Haygreen 1982). Penelitian telah pula menunjukkan kayu reaksi tumbuh dan berkembang dalam jangka waktu kurang dari 24 jam setelah batang memperoleh tekanan (Kennedy 1965 dalam Haygreen 1982).

C. Sifat Makroskopik Kayu Reaksi

Kayu reaksi baik yang terjadi pada kelompok KDJ maupun KDL secara makroskopik dicirikan oleh adanya bentuk penampang melintang batang yang eksentrik artinya pusat batang atau empulur (pith) tidak lagi berada di tengah, dan bagian kayu reaksi menempati bagian batang yang riap tumbuhnya terlebar, sehingga kelihatan seperti bulan sabit (Panshin, 1980; Torges 2005).

Kayu reaksi yang terjadi pada KDL (tension-wood) dicirikan oleh bentuk penampang melintang batang yang tidak bulat, dan riap tumbuhnya yang besar terdapat pada bagian atas lengkungan. Secara makroskopik kayu tarik umumnya warnanya lebih terang dibanding kayu normalnya, sehingga di Jerman kayu tarik disebut kayu putih (weiszholz) (Panshin 1980). Desch (1982) juga menyatakan bahwa kayu tarik umumnya menampakkan warna yang lebih terang dibanding bagian kayu normalnya.


(11)

11 Adanya kayu tarik juga dapat dikenal secara makroskopik yaitu pada papan yang diserut dalam kondisi basah akan sulit mengahasilkan permukaan halus dan umumnya permukaan papan tampak berbulu halus (woolly grain) Haygreen (1982). Berbeda dengan KDL kayu reaksi yang terjadi pada KDJ (compression-wood) dicirikan oleh bentuk penampang melintang batang yang eksentrik, dan riap tumbuhnya yang besar terdapat pada bagian sisi bawah lengkungan. Secara makroskopik kayu tekan umumnya mempunyai warna yang lebih gelap dibanding kayu normalnya, sehingga di Jerman kayu tekan sering juga disebut kayu merah (rotholz) Panshin (1980).

Penelitian tentang kayu tekan sudah cukup banyak dilakukan terutama dari jenis-jenis Pinaceae, akan tetapi tidak demikian halnya dengan penelitian sifat-sifat kayu tarik. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kayu tekan banyak ditemukan pada Ginkgoales, Coniferales dan Taxales, namun cacat kayu tekan tidak ditemukan pada Cycadales dan Gnetales (Westing 1965; Timel 1983 dalam Yoshizawa 1986).

D. Sifat Mikroskopik Kayu Reaksi

Kayu reaksi baik yang terjadi pada KDJ (kayu tekan) maupun yang terjadi pada KDL (kayu tarik) mempunyai struktur mikroskopik yang berbeda dengan bagian kayu normalnya. Perubahan struktur anatomi selama transisi dari kayu normal ke posisi kayu tekan telah diteliti. Karakteristik struktur mikroskopik kayu tekan dicirikan oleh bentuk penampang melintang sel-sel trakeida yang bulat, ultra-struktur dinding sekunder S2 (DsS2) menjadi lebih tebal dan absennya dinding sekunder S3 (DsS3) (Panshin 1980; Yoshizawa 1986; Tsoumis 1991; Kartal 2000).

Bentuk penampang melintang sel-sel trakeida yang bulat akan menyebabkan pola penyusunan sel-selnya menjadi tidak rapat dan menghasilkan ruang-ruang antar sel ( intercellular spaces). Ruang-ruang antar sel ini bila dilihat pada penampang aksial (radial atau tangensial section) secara mikroskopik kelihatan seperti adanya celah atau retak-retak. Retak-retak ini sebenarnya adalah suatu sistem rongga-rongga radial yang berasal dalam DsS2 selama pembentukan lapisan ini, dan tidak disebabkan karena proses mengeringnya dinding sel.


(12)

Sifat mikroskopik kayu tekan lainnya adalah sel-sel trakeida kayu tekan 10-40% lebih pendek daripada sel trakeida kayu normal pada riap tumbuh yang sama, dan ujung trakeida kayu tekan kerap kali terganggu. Kadar lignin kayu tekan umumnya 9% lebih tinggi daripada kayu normal, kadar selulosenya 10% lebih rendah daripada kayu normal (Panshin 1980).

Sel-sel pembuluh (vessel cells) dalam zone kayu tarik tidak berubah sifatnya dari struktur sel pembuluh kayu normalnya, tetapi biasanya diameter sel pembuluh menjadi lebih kecil dan jumlahnya menjadi lebih banyak. Perubahan yang paling nyata dari modifikasi ultrastruktur kayu tarik terutama dicirikan oleh adanya perubahan ultrastruktur dinding sel serabutnya (fiber cells), dinding sel serabut kadang-kadang hampir memenuhi seluruh rongga selnya, sehingga rongga sel hanya kelihatan berupa celah yang sempit. Dinding sel bagian dalam kelihatan seperti kaca dan bersifat gelatinous sehingga sering disebut gelatinous layer (G layer) (Panshin 1980; Clair et al. 2005).

Ada tiga kemungkinan modifikasi dinding sel serabut akibat kayu tarik, tergantung dari besar kecilnya sudut kemiringan batang (Panshin 1980; Haygreen 1982):

1. Pada kayu tarik ringan (mild tension wood), lapisan G dapat dibentuk pada bagian dalam dinding sekunder S3 (Ds S3), sehingga struktur dinding sel menjadi: Dp, Ds S1, Ds S2, Ds S3, G.

2. Lapisan G dapat juga dibentuk menggantikan Ds S3, sehingga susunan dinding sel menjadi : Dp, Ds S1, Ds S2, G, ini terjadi pada kayu tekan sedang. 3. Lapisan G dibentuk dapat menggantikan Ds S1, Ds S2 dan Ds S3, sehingga

susunan dinding sel akan menjadi : Dp dan G., ini terjadi umumnya pada kayu tarik berat (severe tension wood).

Lapisan G adalah suatu selubung mikrofibril selulose yang mempunyai sudut orientasi 5o terhadap sumbu panjang sel. Lapisan khusus ini biasanya sama atau lebih tebal daripada lapisan S2 dinding sel kayu normal. Lapisan G ini selalu ada pada sisi lumen atau mengelilingi lumen, dan kerapkali nampak membengkak dan sedikit terlepas dari lapisan di bawahnya. Lapisan G ini lebih memantulkan cahaya sehingga nampak lebih terang dan hampir memenuhi rongga


(13)

13 atau lumen sel serabut. Adanya lapisan G ini menyebabkan dinding sel selalu lebih tebal dibanding kayu normal, dan dengan pewarnaan kimia tidak menunjukkan adanya lignin. Permulaan pembentukan kayu tarik terjadi segera sesudah batang pohon dimiringkan, dan seel-sel serabut gelatinous nampak dalam anakan Populus yang dirangsang oleh kemiringan batang, setelah selama 24 jam (Panshin 1980).

Tingkat kemiringan batang ternyata merupakan faktor yang paling penting dalam perkembangan sejumlah serabut gelatinous terutama pada jenis Populus (Panshin 1980). Dalam semua kondisi tempat tumbuh, persentase jumlah kayu tarik akan naik dengan kenaikan kemiringan batang, dan bentuk eksentrisitas penampang melintang batang (Panshin 1980).

E. Ultrastruktur Kayu Reaksi

Penggunaan pertama Transmission Electron Microscopy (TEM) untuk mempelajari arah orientasi mikrofibril selulose (MFs) terhadap sel-sel trakeida dimulai sejak tahun 1950 (Wardrop dan Dadswell 1953; Wardrop 1954; 1957; 1958; Harada et al. 1958; Wardrop 1964; Wardrop and Harada 1965) dalam Abe (2005). Arah orientasi MFs lapisan dinding sekunder S2 dipelajari lebih rinci karena lapisan ini paling tebal dan mempengaruhi karakteristik sifat fisik kayu dan kertas yang dihasilkan (Chafe 1974; Scallan 1974; Meylan dan Butterfield 1978; Ruel et al. 1978; Hirakawa dan Fujisawa 1995 dalam Donaldson 2001).

Perkembangan teknologi SEM dengan resolusi yang lebih tinggi yang disebut Field Emission-Scanning Electron Microscopy (FE-SEM), memungkinkan untuk pengujian secara lebih detail struktur dan orientasi sudut mikrofibril (MFA) dinding sel trakeida, dan pemecahan permasalahannya dapat dilakukan dengan apa yang disebut Transmission Electron Microscopy (TEM). Hasil observasi orientasi MFA tanaman berkayu (woody plants) yang sangat terinci telah dilaporkan oleh (Hirakawa & Ishida 1984; Bookers and Sell 1998; Yoshida et al. 2000; Awano et al. 2000; 2001; Hosoo et al. 2002; Sano 2004 dalam Abe 2005).

Ultrastruktur dinding sel tumbuhan berkayu disusun oleh dua lapisan yaitu dinding primer (Dp) dan dinding sekunder (Ds), dimana Ds umumnya disusun atas tiga lapisan yaitu dinding sekunder S1 (Ds S1), dinding sekunder S2 (Ds S2),


(14)

dan dinding sekunder S3 (Ds S3). Di antara Dp sel yang satu dengan Dp sel di sebelahnya terdapat lamella tengah sejati (true middle lamella) ( Panshin 1980; Haygreen 1982; Tsoumis 1991 dan Bowyer 2003). Dua Dp dengan lamella tengah sejati di bagian tengah disebut juga lamella tengah majemuk (compound middle lamella).

Lapisan terluar dari Ds yaitu Ds S1, tebalnya sekitar 0,12 mikron pada bagian kayu awal (earlywood), dan 0,38 mikron pada bagian kayu akhir (latewood) pada kayu Norway spruce (Picea abies (L.) Karst.) demikian Brandstrom (2003). Dinding sekunder S1 (Ds S1) secara keseluruhan tebalnya sekitar 16% dengan orientasi MFA sekitar 50-70o terhadap sumbu panjang sel (Panshin 1980). Dinding sekunder S2 (DsS2) ternyata paling tebal, yaitu sekitar 74% dengan orientasi sudut MFA sekitar 10-30o terhadap sumbu panjang sel. Sedangkan dinding sekunder S3 (Ds S3) lebih tipis dibanding Ds S1, dan tebalnya sekitar 8% dengan orientasi MFA sekitar 60-90o (Panshin 1980).

Penelitian tentang orientasi MFA selulose di dalam dinding sel-sel trakeida beberapa jenis kayu konifer telah diteliti dengan Field Emission-Scanning Electron Microscopy (Fe-SEM) oleh Hisashi (2005). Hasilnya antara lain dinyatakan arah orientasi MFA Ds S1 membentuk arah hurup S (S-helik), dan arah orientasi MFA Ds S2 membentuk arah huruf Z (Z-helik) dengan besaran sudut sekitar 15o terhadap sumbu panjang sel. Sedangkan orientasi MFA Ds S3 besarnya sekitar 40o dengan arah huruf Z dan sudut sekitar 20o menurut arah huruf S (Hisashi 2005).

F. Kelemahan Sifat Kayu Reaksi

Kayu reaksi baik yang terjadi pada KDJ maupun yang terjadi pada KDL, bila dibandingkan dengan kayu normalnya mempunyai beberapa kelemahan. Kelemahan sifat-sifat kayu tekan antara lain: panjang sel-sel trakeida kayu tekan menjadi lebih pendek, persentase komponen lignin meningkat, sedangkan komponen selulose menjadi lebih rendah (Panshin 1980; Kartal 2000). Komponen lignin pada kayu tekan dapat mencapai 30% lebih tinggi dibanding kayu normalnya, keadaan ini akan menurunkan nilai ekonominya sebagai bahan baku industri pulp dan kertas (Kartal 2000).


(15)

15 Sebagai kayu solid adanya kayu tekan juga mempunyai kelemahan, antara lain penyusutan longitudinalnya menjadi sangat besar dan dapat mencapai 6-10% lebih besar dibanding kayu normalnya (Panshin 1980; Tsoumis 1991), sehingga mudah mengalami cacat bentuk. Kayu tekan umumnya banyak terdapat pada bagian kayu juvenil karena bagian kayu ini umumnya mengalami pertumbuhan yang cepat (Pillow dan Luxford 1937; Burdon 1975; Harris 1977 dalam Donaldson 2004). Kayu tekan pada Pinus radiata D.Don. mempunyai penyusutan longitudinal yang lebih besar dibandingkan bagian kayu normalnya terutama pada bagian kayu juvenilnya (Donaldson 2004). Keteguhan kayu tekan umumnya akan menjadi lebih rendah dibanding bagian kayu normalnya.

Kebanyakan kayu normal sifat keteguhannya akan bertambah secara cepat apabila air terikat (bound water) pada dinding sel berkurang, sifat keteguhan kayu juga akan naik dengan naiknya berat jenis (specific gravity). Tetapi hubungan seperti ini ternyata tidak terjadi pada kayu tekan, oleh karena itu kayu tekan dinyatakan merupakan salah satu cacat kayu yang penting (Panshin 1980). Kayu tekan juga mempunyai hubungan dengan sifat kekakuan kayu (stiffness), makin miring kedudukan batang makin rendah sifat kekakuannya, dan terakhir dilaporkan bahwa sifat kekakuan kayu akan meningkat lima kali lipat bila sudut kemiringan batang menurun dari 40o menjadi 10o (Andersson 2000).

Adanya kayu tekan akan meningkatkan kerapatan kayunya, pada kayu tekan yang berat (severe compression wood) menunjukkan bahwa kerapatan meningkat 22% dibanding bagian kayu normalnya (Donaldson 2004). Kelemahan lain dari sifat kayu reaksi ini juga telah dilaporkan ditemukan pada kayu gergajian yang sering mengalami cacat bentuk seperti melengkung (bowing) sehingga sangat mengganggu dalam proses pengolahan dan pemanfaatannya (Panshin, 1980; Haygreen 1982; Gilman, 2005).

Cacat kayu tekan juga dapat dicirikan oleh arah MFA Ds S2 yang semakin besar, sudut MFA yang mencapai sekitar 45o merupakan sifat karakteristik adanya kayu reaksi (Desch 1982) yang menyebabkan penyusutan ke arah longitudinal menjadi sangat besar. Pada kayu normal penyusutan longitudinal dari kondisi basah ke kadar air kering oven besarnya sekitar 0,1-0,2% pada kayu tekan dapat mencapai 5%, dan penyusutan longitudinal sebesar 0,3-1% merupakan keadaan yang umum terjadi pada kayu yang mengalami cacat kayu tekan (Desch, 1982).


(16)

G. Pertumbuhan Batang Pohon

Batang pohon tumbuh dua arah yaitu ke arah vertikal batang dan transversal. Batang pohon yang dibentuk oleh proses pertumbuhan memanjang batang akan menyebabkan pohon tumbuh bertambah tinggi (pertumbuhan vertikal), dan proses pertambahan diameter batang disebabkan oleh proses pertumbuhan ke arah transversal. Pertumbuhan memanjang batang dapat terjadi oleh proses pertumbuhan primer yang berlangsung pada titik-titik tumbuh pada ujung tanaman (apical growing points).

Pembentukan sel-sel secara aktif selama musim tumbuh umumnya terjadi pada musim semi, terjadi pada bagian ujung-ujung tanaman, ini disebut sebagai daerah pertumbuhan primer atau daerah promeristem (Panshin, 1980; Haygreen, 1982; Bowyer et al. 2003). Di bawah daerah dimana terjadi pembentukan se-sel secara aktif (promeristem), sel-sel yang telah terbentuk di dalam titik-titik tumbuh mengalami perubahan bentuk, ukuran dan fungsinya sehingga akhirnya membentuk jaringan permanen.

Jaringan promeristem yang sudah berdiferensiasi berubah menjadi tiga lapisan yaitu: meristem dasar (ground meristem), procambium dan protoderm. Meristem dasar akan membentuk empulur (pith) di bagian tengah, dan procambium akan membentuk jaringan vascular berupa xylem primer dan phloem primer. Pembentukan xylem primer dan phloem primer hanya beberapa saat saja dan kemudian di antara xylem primer dan phloem primer akan ditinggalkan lapisan baru yang disebut kambium kayu (cambium vascular; cambium lateral). Protoderm kelak akan membangun lapisan luar sebagai sistem epidermis, di mana pada bagian batang yang masih muda bagian ini dilapisi zat cutin untuk mengurangi penguapan dari jaringan di bawahnya.

Tumbuhan berkayu akan terus tumbuh ke arah memanjang (pohon tumbuh bertambah tinggi) dan tumbuh ke arah diameternya (diameter batang bertambah besar). Pertambahan diameter batang terjadi oleh kegiatan kambium kayu yang mengadakan pertumbuhan sekunder dan mengasilkan jaringan sekunder seperti xylem sekunder (kayu) dan phloem sekunder (kulit). Gambaran tiga dimensi kambium kayu merupakan suatu selubung sel-sel meristematik yang terletak antara xylem sekunder dan phloem sekunder (Panshin, 1980; Haygreen, 1982; Bowyer et al. 2003).


(17)

17 H. Struktur Sel Kambium

Kambium kayu terdiri atas dua tipe sel yaitu : Sel-sel inisial fusiform (fusiform initials) dan sel-sel inisial jari-jari (ray initials). Sel-sel inisial fusiform kelak mengasilkan sel-sel longitudinal seperti sel trakeida pada KDJ dan sel-sel pembuluh dan sel-sel serabut pada KDL. Sedangkan sel-sel-sel-sel inisial jari-jari kelak membentuk sel-sel jari-jari kayu. Sel-sel inisial fusiform adalah sel yang bentuknya seperti gelendong, panjang dan ujung-ujungnya menyempit dan runcing.

Pada KDJ dan KDL yang tingkat spesialisasinya rendah, sel-sel inisial fusiform ini sangat bervariasi dalam panjang, ujung-ujungnya berangsur menyempit dan tersusun tumpang dindih pada bidang tangensial. Pada KDJ panjangnya tidak kurang dari 2000-9000 mikrometer dan diameternya sekitar 30 mikrometer. Pada KDL yang spesialisasinya rendah, panjangnya sekitar 1000-2000 mikrometer, dan KDL yang spesialisasinya tinggi, sel inisial fusiform ini panjangnya relative lebih pendek dan hampir beragam, yaitu panjangnya hanya 300-600 mikrometer. Sel-sel inisial fusiform ini bertambah panjang menurut umur pohon sampai mencapai pohon dewasa, sesudah itu panjangnya menjadi agak konstan.

Penambahan panjang sel induk fusiform pada KDJ sangat nyata yaitu dapat mencapai 100-400% dalam masa 40-60 tahun. Sedangkan pada KDL penambahan panjang sel-sel inisial fusiform ini jarang mencapai lebih dari 100% dan biasanya hanya mencapai sekitar 50%. Sel-sel induk jari-jari bentuknya agak bulat pada penampang tangensial, sedikit bervariasi dalam bentuk dan ukurannya pada penampang radial, dan sel-sel ini terkumpul dalam bentuk jari-jari kayu. Dinding-dinding dari sel-sel kambium yang berdekatan dipisahnya oleh zat-zat antar sel yang amorf dan isotropic ini disebut lamella tengah yang benar (true middle lamella). Setiap sel-sel inisial kambium diselimuti oleh dinding primernya masing-masing (Panshin, 1980).

I. Pembelahan Sel Fusiform

Sel-sel inisial fusiform membelah secara tangensial yaitu menurut bidang yang sejajar permukaan tangensial sehingga membentuk xylem sekunder dan phloemsekunder yang baru. Proses pembelahan seperti ini disebut pembelahan


(18)

secara periclinal. Disamping itu sel-sel inisial fusiform juga membelah secara anticlinal yaitu menurut bidang yang tegak lurus dengan permukaan batang atau membelah secara pseudotransverse yaitu membelah miring menurut bidang transversal.

Bailey dalam Panshin (1980), menjelaskan secara detail pembelahan sel di dalam kambium Pinus strobus L. Penjelasan ini disetujui berlaku untuk sebagian terbesar KDJ dan dapat juga berlaku untuk beberapa KDL. Pada fase istirahat setiap sel inisial kambium berisi cytoplasma dengan satu inti di tengah dengan sumbu panjangnya kira-kira sejajar dengan sumbu panjang sel. Selama mitosis sumbu polar pembelahan bergerak sedemikian rupa sehingga terletak diagonal melintang sel. Lempeng sel dibentuk antara kedua belahan inti, lempeng kemudian secara perlahan-lahan bertambah luas dan membagi dua sel asal. Protoplasma dibagi dua dan masing-masing mengandung satu belahan inti.

Pembelahan pseudotransverse dari sel-sel inisial fusiform untuk memproduksi sel-sel yang baru secara teoritis akan mengasilkan dua sel inisial baru yang sama panjangnya. Tetapi hasil penelitian Bannan dalam Panshin (1980) menunjukkan bahwa kedua sel anak itu tidak selalu sama panjangnya, dan bahwa sel anak yang lebih panjang akan mempunyai kesempatan lebih baik untuk meneruskan fungsinya sebagai sel inisial kambium. Hal ini disebabkan karena hasil potongan sel-sel yang lebih panjang mempunyai kemungkinan lebih banyak kontak dengan sel-sel jari-jari. Jadi panjang rata-rata sel-sel inisial kambium pada suatu periode merupakan fungsi kecepatan pembelahan pseudotransverse dan persentase hidupnya (Panshin, 1980).

Jari-jari kayu juga mempunyai kontribusi yang besar dalam pembentukan kayu teras, karena berfungsi sebagai jaringan penyimpan hasil-hasil fotosintesis seperti dikatakan Magel et al. 1991 dalam Zhang (2004). Lebih lanjut dikatakan (Sachs et al. 1966; Kuo and Arganbright 1980; Nobuchi et al. 1984; Hillis 1987) dalam Zhang bahwa: bahan-bahan kayu teras di dalam jari-jari akan bergerak dari sel-sel parenkim jari-jari yang kontak dengan sel-sel pembuluh, sel-sel serabut, sel-sel parenkim aksial, dan sel-sel trakeida melalui pasangan noktahnya.

Dapat ditambahkan lagi bahwa jari-jari kayu merupakan lintasan utama sebagai penyalur nutrisi ke sel-sel kambium dan turunnannya (Zhang, 2004). Sel-sel fusiform yang lebih banyak kontak dengan Sel-sel-Sel-sel parenkim jari-jari akan


(19)

19 mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh bahan makanan dan bahan lainnya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan (Zhang, 2004). Itulah sebabnya sel-sel inisial fusiform baru yang kontak dengan sel-sel parenkim jari-jari mempunyai peluang lebih besar untuk meneruskan hidupnya (Bannam, 1951; Bannam and Bayly 1956; Evert 1961; Cumbie 1967) dalam Zhang 2004. Ditambahkan lagi menurut Zhang (2004) bahwa sel-sel yang sangat panjang biasanya akan terus survive dan sebaliknya sel-sel yang sangat pendek akan gagal untuk meneruskan hidupnya.

Dalam tahun-tahun pertama pertumbuhan batang yaitu sesudah terbentuknya cambium vascular, kecepatan pembelahan pseudotransverse adalah sangat cepat dan persentase hidup sangat besar, sehingga panjang rata-rata sel-sel inisial kambium dan sel-sel turunannya menjadi pendek, ini dikenal sebagai pola juvenile. Kecepatan pembelahan pseudotransverse dan persentase sel-sel yang dihasilkan semakin turun dengan semakin tuanya kambium, keadaan ini mengahasilkan sel-sel yang lebih panjang.

Kecepatan pertumbuhan akan menghambat pertumbuhan panjang sel-sel inisial kambium dan menunda saat produksi sel-sel dengan panjang maksimum. Dalam pembentukan kayu awal yang dihasilkan saat pertumbuhan yang cepat, akan dihasilkan sel-sel berukuran lebih pendek. Pengurangan panjang sel juga sebanding dengan kecepatan pertumbuhan, artinya pertumbuhan yang lebih lambat cenderung akan menghasilkan sel-sel yang lebih panjang (Panshin, 1980).

J. Pengaruh Anatomi Kayu Terhadap Sifat Fisik

Sifat fisik kayu merupakan resultante dari struktur anatomi dan sifat kimianya, dan adanya perubahan bentuk dan ukuran sel bagaimanapun kecilnya akan menyebabkan adanya perubahan sifat kayunya sebagai bahan (Haygreen, 1982). Jadi sifat fisik kayu sesungguhnya merupakan pengejawantahan dari struktur anatomi kayu yang bersangkutan.

Lebih jauh dikatakan (Panshin, 1980) bahwa: sifat fisik kayu ditentukan oleh faktor inherent dalam struktur sel-sel penyusunnya seperti:

1. Jumlah bahan penyusun dinding sel. 2. Jumlah air di dalam dinding sel.

3. Penyebaran dan arah orientasi bahan-bahan dinding sel. 4. Macam, ukuran dan proporsi sel-sel yang penyusunnya.


(20)

K. Botani dan Habitus

1. Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)

Sengon (Paraserianthes falcataria Nielsen) yang dahulu dikenal dengan Albizzia falcata (L.) Backer atau Albizia falcataria (L.) Fosberg, di Jawa Timur dan Jawa Tengah dikenal dengan nama sengon sabrang atau sengon laut, di Jawa Barat lebih dikenal dengan nama jeungjing, dan di Madura dikenal dengan nama jing-laut (Hildebrand, 1951). Kayu ini di Malaysia Barat, Sabah, Philippina, Inggeris, Amerika Serikat, Perancis, Spanyol, Italia, Belanda dan Jerman dikenal dengan nama batai, dan di Brunai dikenal dengan nama kayu puah, sedangkan di Serawak dikenal dengan kayu machis (Martawijaya 1977).

Di kalangan para rimbawan sebelum tahun 1986 timbul banyak pertanyaan, nama mana yang benar, Albizzia (zz double) atau Albizia (z single), falcataria (+ ria) atau falcata (-ria). Fosberg (1965) mengungkapkan bahwa namanya yang tepat adalah Albizia falcataria, sehingga nama inilah yang harus dipakai dalam komunikasi international. Selanjutnya Fosberg (1965) menyatakan bahwa sebetulnya nama marga Albizia diangkat oleh Durazz dari nama Cavalier Filippo Albizzi sebagai penghormatan atas jasanya, namun ahli botani Durazz telah dengan sengaja memberikan nama marga itu Albizia (z single) dan bukan Albizzia (zz double). Selanjutnya Fosberg (1965) lebih jauh menyatakan bahwa jenis tumbuhan ini sebelumnya telah secara luas dikenal sebagai Albizzia moluccana Miquel, sampai saat Backer dalam tahun 1908 mempopulerkan dengan nama yang tidak tepat yaitu Albizzia falcata Backer.

Griffioen (1954) menyatakan untuk jenis tanaman ini nama resminya adalah Albizzia falcata (L.) Backer, sinonim dari Albizzia moluccana Miquel, yang diberikan oleh Miquel kepada bahan yang ditemukan dari kepulauan Banda. Griffioen (1954) menambahkan bahwa di Jawa pohon ini dinamakan sengon laut, namun lebih banyak dipakai nama daerah Sunda yaitu jeungjing. Heyne (1950) mengatakan bahwa Albizzia falcata (L.) Backer merupakan jenis pohon yang tumbuhnya paling cepat di daerah tropik. Menurut Heyne (1950) tumbuhan ini ditemukan pertama kali oleh Teysmann tahun 1870 di


(21)

21 daerah Banda, kemudian dibawa ke Kebun Raya Bogor, dan dari Kebun Raya Bogor disebar luaskan ke seluruh Nusantara sejak tahun 1871.

Buku Tree Flora of Indonesia, check list for Sumatera (Whitmore, 1986) mengungkapkan bahwa baik Albizzia falcata (L.)Backer, maupun Albizia falcataria (L.) Fosberg, sebenarnya namanya adalah Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. Nama Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen sebenarnya sudah lebih dahulu diberikan oleh Nielsen, tetapi tidak banyak dikenal orang, sehingga menurut aturan tata nama international nama yang lebih dahulu diberikan itulah yang diakui. Oleh karena itu sejak tahun 1986 mulai diperkenalkan nama kayu sengon sebagai Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen.

Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen termasuk jenis pohon yang cepat tumbuh dan dapat mencapai tinggi sampai 45 m dengan diameter batang mencapai 100cm. Batangnya tidak berbanir, kulit berwarna kelabu muda, licin batang lurus dengan batang bebas cabang dapat mencapai tinggi 20 m, tajuknya berbentuk perisai, agak jarang dan selalu hijau (Griffioen 1954). Sengon termasuk jenis pohon yang pertumbahannya sangat cepat sehingga disebut “miracle tree” (Prosea 1994). Perakarannya terbentang melebar dan di samping susunan akar yang agak dangkal, terdapat pula susunan akar yang berkembang masuk agak dalam. Pohon kayu sengon umumnya berbunga dalam bulan Juni-Nopember dan umumnya berbuah terutama pada akhir musim kemarau (Griffioen 1954). Jumlah biji kering ada sekitar 40.000-55.000 per kg atau sekitar 36.000 per liter, dan daya kecambah rata-rata sekitar 80%. Bijinya berkulit keras dan dapat mempertahankan daya kecambahnya selama beberapa tahun (Griffioen 1954).

Ciri-ciri botani sengon menurut Tantra (1981) adalah sebagai berikut: Pohonnya dapat mencapai tinggi 30-45 m, ranting muda berbentuk persegi dan berambut. Daun sempurna menyirip rangkap dengan satu kelenjar atau lebih pada tangkainya. Sirip 6-20 pasang, anak daun 6-26 pasang setiap sirip, bentuk ellip sampai memanjang dengan ujung yang sangat miring atau runcing. Bunga berbilangan lima, kelopak bergigi, tingginya lebih kurang 2 mm. Tabung mahkota bentuk corong, putih sampai kuning pucat, berambut tingginya lebih kurang 6 mm. Benang sari banyak, muncul ke luar mahkota, tangkai sari putih, pada pangkalnya bersatu menjadi tabung dan panjangnya


(22)

sekitar 1,5 cm. Polongan bentuk pita, lurus di atas tenda bekas mahkota dengan tangkai yang panjangnya 0,5-1 cm. Di atas biji terdapat sedikit melembung lebar lebih-kurang 2 cm, membuka dengan dua katup, dan jumlah biji sekitar 16 buah atau kurang.

2. Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Agathis loranthifolia Salisb. termasuk famili Araucariaceae, seksi Microbracteatae (Team Reboisasi LPH Bogor 1971). Buah berbentuk conus yang khas, sisik berlapis seperti atap genteng (imbricatus) dan membentuk suatu spiral mengelilingi suatu poros berbentuk ganda yang berdaging tebal. Biji berbentuk telur terbalik, panjang 10-11 mm, lebar 8 mm, bersayap. Daun dewasa berhadap-hadapan, pada dahan muda daun berbentuk bulat panjang hingga berbentuk telur; panjang 7,5 -12 cm, lebar 2-3,5 cm, pada dasarnya sedikit membulat; tangkai daun jelas kelihatan.

Agathis loranthifolia termasuk pohon besar, tingginya dapat mencapai 60 m, dan diameter setinggi dada dapat mencapai 200 cm. Batang monopodial, lurus, tidak berbanir, kulit kayu tebalnya 1-2 cm berwarna coklat kelabu (Prosea 1995). Tajuk tidak lebar, berbentuk kerucut dan agak rapat terutama pada pohon yang masih muda, menjadi agak jarang dan sedikit mendatar bila sudah tua. Sistem perakaran pada pohon yang masih muda selalu terdapat akar tunggang dengan akar mendatar yang kecil, dan baru setelah pohon mulai dewasa dikembangkan akar-akar tenggelam (zinkers) dan akar-akar mendatar yang kuat.

Pohon damar umumnya mempunyai dua sistem perakaran yaitu system perakar mendatar yang dalamnya hanya beberapa desimeter, tapi menjalar sampai jauh ke semua jurusan. Sedangkan sistem perakaran vertikal (akar tunggang) berbentuk kerucut di kelilingi akar-akar tenggelam besar yang tumbuh lurus ke bawah. Pohon damar dikenal mempunyai sistem perakaran yang kuat, sehingga jarang ditemukan ada pohon damar yang tumbang, kecuali disebabkan keadaan tanah tertentu, sebaliknya banyak pohon roboh karena pangkal batang busuk (Team Reboisasi LPH Bogor 1971).


(23)

23 L. Penyebaran dan Tempat Tumbuh

1. Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)

Pohon ini secara alami ditemukan di Maluku (Griffioen 1954) dan pada tahun 1871 mulai di masukkan ke Jawa. Lain daripada itu pohon ini juga terdapat di Toampala, Sulawesi Selatan dan di daerah Irianpun terdapat jenis ohon ini (Hildebrand 1951). Selain di Indonesia pohon ini juga ditanam di Serawak, Brunai dan Kepong (Anonymous 1953). Troup (1921) seperti dikutip Alrasjid (1973) di Sri Langka maupun di India (Assam) jenis pohon ini sering dipakai peneduh di perkebunan-perkebunan teh. Di Jawa pohon ini dapat tumbuh sampai ketinggian 1500 m. di atas pemukaan laut (Griffioen 1954), dan bahkan pada 1600 m di atas permukaan laut pohon ini masih dapat tumbuh (Hildebrand 1951).

Batas terendah pohon ini masih dapat tumbuh adalah 10 m dpl. Di Serawak dan Brunai pohon ini tumbuh pada berbagai jenis tanah, bahkan pada tanah yang berdrainase jelek (Anonymous 1953). Di Jawa Barat jenis pohon ini sudah menjadi tanaman rakyat, dan biasa di tanam di pekarangan rumah, tegalan dan di pematang sawah. Di daerah Cibinong Bogor telah dilaporkan bahwa kayu sengon dapat tumbuh dengan baik pada tanah berkapur (Pandit 1988).

2. Damar (Agathis loranthifolia Salisb)

Nama Agathis loranthifolia Salisb. diberikan oleh Salisbury berdasarkan material yang dkumpulkan di Pulau Jawa yang dulu bibitnya berasal dari Ambon (Team Reboisasi LPH Bogor 1971). Material yang dikumpulkan dari Ambon (Maluku) kebanyakan nama daerahnya damar putih (damar) dan hanya satu nomor herbarium yang dikumpulkan dengan nama damar merah. Pada permulaan nomor-nomor herbarium dari Ambon dideterminasi sebagai Agathis alba Foxw., dan Agathis damara Rich., kemudian semua diganti menjadi Agathis alba Foxw., dan satu nomor herbarium yang mempunyai nama daerah damar merah dideterminasi namanya menjadi Agathis loranthifolia.


(24)

Damar merah yang dideterminasi sebagai Agathis loranthifolia Salisb., dikumpulkan oleh Dr. F. Buwalda dari tempat yang tingginya lebih-kurang 300 m dpl. dan tidak pernah ditemukan dekat pantai, tepi sungai, tanah-tanah becek atau di rawa-rawa. Pada tempat-tempat yang miring dalam hutan alam banyak ditemukan. Tanaman damar memerlukan iklim basah sepanjang tahun, dengan curah hujan 3000-4000 mm, mengendaki tanah yang sarang, agak dalam dan subur. Pertumbuhan yang paling baik di temukan pada lereng-lereng yang drainasenya baik pada ketinggian 300m-1200m dpl. Menurut penyelidikan Coster dan Verhoef dalam Team Reboisasi LPH Bogor (1971), dinyatakan bahwa tanaman damar memerlukan oksigen agak tinggi, dalam suatu percobaan tanaman muda yang perakarannya dimasukkan ke dalam air menggenang, tanaman akan mati dalam waktu sekitar16 hari.

Damar merupakan salah satu genus Coniferales yang menghuni hutan dataran rendah hutan hujan tropika (Prosea 1994). Damar dapat ditemukan mulai dari dataran rendah sampai ketinggian lebih dari 2000m dpl. Kayu damar juga dikenal dengan nama perdagangan kauri pine mempunyai daerah penyebaran alami mulai dari Semenanjung Malaysia, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Philippina, Moluccas, New Guinea, Australia, Kepulauan Salamon, New Caledonia, Vanuatu, Fiji dan New Zealand.

Pohon damar banyak ditanam untuk program pengkayaan hutan khususnya di Irian Jaya (Prosea 1994). Pohon damar mempunyai sistem perakaran yang kuat dan mempunyai bentuk tajuk yang indah dan selalu hijau sehingga baik dipakai untuk jenis tanaman hutan kota, terutama untuk ditanam disisi kiri-kanan jalan. Pohon damar juga dikenal sebagai pengahasil getah damar atau kopal yang secara ekonomis dapat membantu untuk kehidupan masyarakat di sekitar hutan. Kopal merupakan bahan excudate yang keluar melalui saluran damar yang tersebar pada kulit bagian dalam (innerbark) (Hillis 1987).


(25)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Pendekatan Penelitian

Kerangka pendekatam penelitian ultrastruktur kayu reaksi ini pertama dimulai dari adanya keinginan dalam rangka untuk mengatasi kekurangan kayu untuk bahan baku industri di dalam negeri. Salah satu usaha yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan pembangunan dan pengembangan hutan tanaman. Akan tetapi hutan tanaman umumnya menghasilkan batang yang mengandung kayu normal dan kayu abnormal. Salah satu bentuk abnormalitas pada batang pohon yang sering menimbulkan cacat serius adalah adanya kayu reaksi sehingga perlu dilakukan penelitian mendalam terhadap masalah ini. Untuk lebih jelasnya kerangka pendekatan penelitian dijelaskan dalam bentuk diagram alir seperti pada Gambar 1. di bawah ini.

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pendekatan Masalah Penelitian Ultrastuktur Kayu Reaksi pada Damar dan Sengon

HUTAN TANAMAN

BATANG POHON TUMBUH NORMAL DAN ABNORMAL

KAYU REAKSI

MAKROSKOPI S MI KROSKOPI S ULTRA STRUKTUR

KARAKTERI STI K ULTRA STRUKTUR KAYU REAKSI

SOLUSI PEMECAHAN MASALAH


(26)

Dipilihnya kedua jenis kayu ini sebagai objek dalam penelitian ini karena berbagai pertimbangan antara lain :

1. Kayu sengon merupakan salah satu jenis KDL, dimana evolusinya dianggap lebih modern karena baru muncul di muka bumi pada zaman Tertier (Farb 1978). Sedangkan kayu damar tergolong KDJ yang lebih primitif, karena muncul di muka bumi sejak jaman Triasik (Farb 1978). Kayu damar pertama kali herbariumnya dikumpulkan oleh Dr. Buwalda dan nama Agathis loranthifolia Salisb. diberikan oleh Salisbury (Team Reboisasi LPH Bogor 1971). Penelitian jenis-jenis ini diharapkan dapat mewakili kedua kelompok kayu tropik yang struktur anatominya sangat berbeda (Brown 1949; Panshin 1980; Haygreen 1982; Tsoumis 1991; Hoadley 2000).

2. Kayu sengon merupakan jenis asli yang tumbuh di bumi Indonesia, pertama kali ditemukan oleh Teysmann tahun 1870 di Kepulauan Banda, Maluku dan tahun 1871 untuk pertama kali ditanam di Kebun Raya Bogor (Heyne 1950). 3. Sengon merupakan jenis kayu yang pertumbuhannya sangat cepat,

bahkan dikatakan merupakan jenis kayu yang tumbuhnya paling cepat untuk daerah tropik sehingga disebut “miracle tree” (Prosea 1994).

4. Sengon mempunyai bentuk tajuk seperti perisai yang tipis ( Prosea 1994) sehingga sebagian sinar matahari yang melalui tajuk dapat menembus tajuk sampai ke permukaan tanah, memberi kesempatan tanaman bawah tumbuh, sehingga sangat baik untuk dikembangkan dalam agroforestry.

5. Sengon merupakan salah satu jenis famili Leguminosae umumnya kaya akan unsur nitrogen sehingga dapat tumbuh pada tanah-tanah yang kurang subur (Alrasjid 1973).

6. Kayu sengon juga dikenal sifat dasar kayunya sangat moderat, sehingga mempunyai prospek yang baik untuk terus dikembangkan sebagai bahan baku industri kayu di masa depan. Di samping itu penelitian ultrastruktur kayu sengon juga belum pernah dilakukan.

Kayu damar dipilih sebagai objek dalam penelitian ini antara lain karena : 1. Kayu damar merupakan salah satu jenis kayu daun jarum (KDJ) asli daerah


(27)

27 2. Kayu damar mempunyai sifat yang sangat baik untuk bahan baku industri

pulp dan kertas, di samping karena kayunya berwarna putih, juga mempunyai serat (tracheids) yang panjang dan persentase seratnya juga sangat tinggi.

3. Kayu damar juga baik dipakai untuk bahan baku industri mebel dan alat musik karena struktur anatominya homogen, tidak terlampau keras tetapi mempunyai kekuatan cukup dan teksturnya cukup halus.

4. Pohon damar juga diketahui mempunyai sistem perakaran yang kuat karena mempunyai akar jangkar yang dalam sehingga pohonnya tidak mudah roboh (Team Reboisasi LPH Bogor 1971), bentuk tajuknya simetris, evergreen dan indah, sehingga sangat cocok untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan kota terutama untuk ditanam di sisi jalan.

5. Surjokusumo (1995) menyatakan bahwa kayu damar merupakan jenis kayu yang sangat baik untuk bahan baku industri pesawat terbang ringan, sehingga mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu penelitian ultrastruktur kayu damar sebagian dilaksanakan pada bulan September 2000 di Laboratorium For Structure of Plant Cells Faculty of Agricultural, Kyoto University di bawah bimbingan Prof. Fujita Minoru, D. Agr. Penelitian tahap kedua mulai dilakukan bulan Mei 2005 sampai dengan Agustus 2006, dan dilaksanakan di empat laboratorium yaitu :

1. Laboratorium Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP) di Cimanggu, Bogor.

2. Laboratorium Kayu Solid Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian (IPB), Bogor.

3. Laboratorium Struktur dan Sifat Kayu, Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

4. Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak Fakultas Peternakan IPB. Bogor.


(28)

C. Variabel yang Diamati

Variabel yang dimati dalam penelitian ini meliputi elemen-elemen atau sel-sel penyusun kayu mulai dari macam elemen, bentuk, ukuran dan modifikasi yang terjadi baik bersifat makroskopik, mikroskopik maupun ultramikroskopik yang terjaddi pada kayu normal dan kayu reaksi pada damar dan sengon.

D. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan penelitian

Pembangunan hutan tanaman yang dilakukan oleh Perum Perhutani beberapa tahun terakhir lebih banyak dilakukan dengan pola Pembangunan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), sehingga penanamannya kebanyakan dilakukan dengan pola agroforestry. Keadaan ini menyebabkan agak sulit untuk mendapatkan tegakan sengon monokultur yang betul-betul murni dan di samping itu umur tegakan juga jarang mencapai umur cukup dewasa.

Pohon contoh tegakan hutan tanaman damar untuk bahan penelitian diambil dari hutan pendidikan Fakultas Kehutanan IPB di Gunung Walat Sukabumi. Sedangkan tegakan sengon diambil dari dua tempat yang berbeda yaitu: tegakan berumur 6 tahun diambil dari BKPH Banjarsari, KPH Ciamis Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dan tegakan berumur 10 tahun dari tegakan hutan tanaman di Kampus IPB Darmaga Bogor.

Di samping bahan berupa kayu, dalam penelitian ini juga dibutuhkan beberapa macam bahan kimia untuk membantu dalam proses penyiapan sediaan atau preparat untuk bahan observasi. Bahan-bahan kimia yang dibutuhkan meliputi: gliserin untuk membantu dalam proses pelunakan kayu, alkohol dalam berbagai konsentrasi dan xylene untuk bahan dehidrasi sediaan, safranin 2% untuk bahan pewarna, canada balsem untuk bahan mounting , dan emas 18 K untuk coater. 2. Alat Penelitian

Dalam penelitian ini di samping alat yang diperlukan untuk pengambilan bahan penelitian di lapangan seperti: gergaji, pita ukur, busur derajat dan alat lain, juga dibutuhkan beberapa alat penting untuk penelitian di laboratorium antara lain:

1. Silding microtome American Opt. untuk membantu dalam pembuatan sayatan tipis untuk bahan preparat mikroskopik dan ultramikroskopik untuk bahan observasi.


(29)

29 2. Fluoresence Microscope type Olympus Bx 51 dari Laboratorium Struktur

dan sifat Kayu Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

3. Scanning Electron Microscope type JEOL 5200 dari Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan IPB. Bogor.

E. Teknik Pengambilan Contoh

1. Pengambilan contoh bahan penelitian

Dari tegakan hutan tanaman damar maupun sengon monokultur dan seumur yang telah ditentukan lokasinya, dibuat petak-petak contoh sebanyak empat buah masing-masing berukuran 40x25 m dan 20x25 m. Semua batang pohon dalam petak contoh dihitung jumlahnya, diukur kelilingnya untuk mendapatkan diameter batangnya (dbh), dan sudut kemiringannya. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran disusun dalam bentuk tabulasi. Masing-masing dua batang pohon yang mengalami cacat kayu reaksi dan satu batang pohon yang tumbuhnya normal dipilih secara acak, untuk kemudian ditebang. Pada bagian batang yang mengalami cacat kayu reaksi, batangnya dipotong berupa lempengan tipis (disk) setebal sekitar 10 cm, selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk bahan penelitian selanjutnya.

Penelitian di laboratorium dilakukan pertama dengan membuat contoh kayu berbentuk lempengan yang permukaan melintangnya (cross section) dibuat halus untuk memudahkan identifikasi cacat kayu reaksi yang terjadi. Identifikasi kayu reaksi baik untuk kayu tekan maupun kayu tarik didasarkan atas metode yang telah dipakai olehbeberapa peneliti (Panshin 1980; Haygreen 1982; Tsoumis 1991). Contoh kayu reaksi yang sudah diidentifikasi dan telah dihitung persentasenya, selanjutnya dipakai untuk bahan penelitian sifat mikroskopik, ultrastruktur dan penelitian sifat fisiknya.

Contoh kayu untuk pembuatan preparat untuk penelitian sifat mikroskopik dibuat dengan ukuran 1.5x1.5x5cm dan untuk contoh penelitian ultrastruktur dibuat berukuran 0.5x0.5x3cm, di mana masing-masing contoh dibuat dalam tiga bidang orientasi (cross section, radial dan tangensial sections). Prosedur untuk pembuatan preparat mikroskopik baik, untuk pembuatan slide mikrotom maupun slide maserasi


(30)

mengikuti metoda yang sudah umum dipakai di Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB (Sarajar 1975). Bahan untuk penelitian sifat fisik, contoh kayunya juga diambil dari bahan yang sama, dan dibuat dalam tiga bidang orientasi masing-masing berukuran 5x5x5 cm. Banyaknya batang pohon yang ditebang untuk bahan dalam penelitian ini adalah sebanyak 12 pohon, dan rinciannya disajikan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Batang Pohon yang Ditebang untuk Bahan Penelitian Jenis Kayu No.

Pohon

Diameter Batang (Cm)

Kemiringan

batang (o) Keterangan

4 42.2 0 Normal

15 46.1 5 Tekan Ringan

Kayu Damar Gunung Walat

24 35.3 4 Tekan Ringan

8 28.3 8 Tarik Ringan

12 17.2 8 Tarik Ringan

19 30.9 12 Tarik Berat

33 34.7 21 Tarik Berat

Kayu Sengon Kampus IPB

4 13.4 2 Normal 15 13.4 5 Tarik Ringan

2 12.7 11 Tarik Berat 10 15.3 11 Tarik Berat Kayu Sengon

KPH Ciamis

17 13.7 9 Tarik Ringan

Keterangan: (Kartal, 2000)

• Kayu normal adalah batang pohon yang mempunyai kemiringan < 2o

• Kayu Tekan /Tarik Ringan adalah batang pohon mempunyai kemiringan 3-10o

• Kayu Tekan /Tarik Berat adalah batang pohon yang mempunyai kemiringan>10o

2. Pembuatan bahan penelitian

Bahan penelitian ultra-stuktur kayu reaksi dalam penelitian ini disiapkan berupa tiga macam preparat yaitu :


(31)

31 1. Bahan untuk observasi karakteristik kayu reaksi berupa lempengan kayu (disk)

dan potongan melintangnya dibuat halus untuk memudahkan observasi. Pengamatan sifat makroskopik dibantu dengan lensa tangan atau loupe pembesaran 10 x. Sifat-sifat yang diamati meliputi karakteristik kayu reaksi, terutama melihat adanya bentuk eksentrisitas penampang melintang batang, mengamati posisi empulur (pith) dalam batang, dan menghitung persentase kayu reaksi yang terjadi.

2. Bahan untuk observasi sifat mikroskopik dibuat dari bahan yang sama untuk pengamatan sifat makroskopik yang telah dilakukan. Bahan penelitian sifat mikroskopik dibuat berukuran 1.5x1.5x5cm dalam tiga bidang orientasi. Dari contoh kayu berukuran kecil tersebut, kemudian dibuat dua macam preparat atau slide mikrotom dan slide maserasi. Pelunakan contoh kecil kayu dilakukan dengan gliserin, pembuatan sayatan tipis dilakukan setebal 15-20 mikron dengan bantuan alat sliding microtome, dehidrasi sayatan dilakukan dengan alkohol bertingkat terakhir dengan xylene, pewarnaan dilakukan dengan safranin 2%. Mounting dilakukan dengan canada balsam dan pengeringan sediaan dilakukan di atas alat pengeringan slide Fisher pada temperature 45-50o C. Di samping preparat mikrotom, juga dibuat preparat maserasi berdasarkan metode Schultze (Sarajar 1975). Observasi sifat mikroskopik dilakukan dengan bantuan Flourescens Microscope Olympus type Bx 51. Prosedur pembuatan slide mikrotom dan slide maserasi secara rinci disajikan dalam Lampiran.

3. Untuk penelitian ultra-struktur kayu reaksi, bahan observasi dibuat berupa preparat SEM dengan metode sebagai berikut: contoh kayu normal dan kayu yang mengalami cacat kayu reaksi masing-masing berukuran 0.5x0.5x3.0 cm dibuat dalam tiga bidang observasi, dilunakkan dengan gliserin:alkohol (1:1). Kemudian disayat dengan Sliding Microtome American Opt. dengan ketebalan sekitar 40-50 mikron. Dehidrasi dilakukan dengan alkohol bertingkat dan terakhir dengan xyline (xylol) untuk memperoleh bahan yang betul-betul bebas air. Kemudian hasil sayatan disimpan dalam tempat yang sudah diberi celica gel untuk mempertahankan agar kondisi sayatan betul-betul bebas dari uap air. Kemudian sayatan dibuat berukuran sekitar 2,5x2,5 mm dan diletakkan di atas


(32)

specimen holder untuk dilapisi (coating) dengan emas 18 karrat. Lamanya coating memerlukan waktu sekitar 4 menit untuk mencapai ketebalan sepuhan sekitar 300Ao (Rachman 2001).

4. Bahan untuk penelitian sifat fisik untuk menentukan kadar air, berat jenis dan

persentase penyusutan, contoh kayunya dibuat masing berukuran 5x5x5 cm.

E. Tahapan Kegiatan Penelitian

Dalam rangka membangun dan mengembangkan hutan tanaman industri, banyaknya cacat kayu reaksi terutama pada jenis-jenis pohon yang tumbuhnya cepat akan menimbulkan banyak masalah. Masalah itu terutama disebabkan karena sifat-sifat kayu reaksi mempunyai banyak kelemahan, sehingga nilai ekonominya menjadi lebih rendah. Untuk menjelaskan tahapan kegiatan penelitian yang dilakukan, dapat dilihat dalam diagram alir yang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Alir Tahapan Kegiatan Penelitian Ultrastruktur Kayu Reaksi pada Damar (Agathis loranthifolia) dan Sengon (Paraserianthes falcataria).

HUTAN TANAMAN DAMAR DAN SENGON

ASPEK 1. KEMI RI NGAN POHON % KAYU REAKSI PENELI TI AN

LAPANGAN

SAMPEL PENELI TI AN MAKROSKOPI K

PEN. MI KROSKOPI K PEN. ULTRA MI KROSKOPI K

ASPEK 2. KARAKTERI STI K KAYU REAKSI ASPEK 3. STRUKTUR

ANATOMI DAMAR & SENGON

ASPEK 4. KARAKTERI STI K ULTRA STRUKTUR KAYU

REAKSI

ASPEK 5. PENGARUH KAYU REAKSI TERHADAP TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN PENELI TI AN


(33)

33 F. Analisis Data

Data yang dikumpulkan merupakan data primer yang diperoleh berdasarkan hasil observasi terhadap sifat makroskopik, sifat mikroskopik dan ultrastruktur dinding sel kayu reaksi, baik pada kayu damar maupun kayu sengon yang diteliti. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan menyusun data yang sudah dikumpulkan dalam bentuk tabulasi, kemudian dengan analisis Statistical Procedures for Social Science (SSPS for Window) untuk disajikan berupa histogram atau gambar grafiknya. Analisis diskriptif data kualitatif terutama untuk menentukan karakteristik ultrastruktur kayu reaksi dilakukan dengan melakukan observasi terhadap semua sediaan yang telah dibuat. Hasil observasi sifat-sifat kayu reaksi yang objektif dan secara konstan selalu terdapat pada setiap preparat yang diamati, dinyatakan sebagai sifat yang karakteristik.

Data sifat fisik kayu normal dan kayu reaksi, baik pada kayu damar maupun kayu sengon diperoleh dengan menggunakan rumus-rumus sebagai berikut:

a. Rumus untuk menghitung kadar air basah kayu adalah sebagai berikut :

Kadar Air (KA) = − ×100% Wo

Wo Wb

dimana : Wb = berat contoh kayu dalam kondisi basah. Wo = berat contoh kayu dalam kondisi kering tanur.

b. Rumus untuk menentukan berat jenis kayu adalah sebagai berikut :

Berat Jenis (BJ) = V Wo

dimana : Wo = berat contoh kayu kering tanur.

V = berat air yang volumenya sama dengan volume kayu.

c. Rumus untuk menentukan penyusutan kayu adalah sebagai berikut :

Penyusutan Kayu (PK) = − ×100% DB

DKT DB

dimana : DB = dimensi basah dan DKT = dimensi kayu kering. d. Rumus untuk menentukan persentase kayu reaksi adalah :

Kayu Reaksi (KR) = x100% VKt

VKn VKt


(34)

(35)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan dalam disertasi ini disusun dalam lima (5) aspek sbb:

Aspek 1:

Kemiringan batang hubungannya dengan persentase kayu reaksi.

Aspek 2:

Karakteristik kayu reaksi dan mekanisme pembentukannya.

Aspek 3:

Struktur anatomi kayu damar (

Agathis loranthifolia

Salisb.)

dan kayu sengon (

Paraserianthes falcataria

Nielsen).

Aspek 4:

Karakteristik ultrastruktur dinding sel kayu tekan pada damar

dan kayu tarik sengon.

Aspek 5:

Perubahan ultrastruktur dinding sel dan dampaknya terhadap teknologi

pengolahan kayu tekan damar dan kayu tarik sengon.

Aspek 1. Kemiringan Batang Hubungannya dengan Persentase Kayu Reaksi

A. Persentase batang yang mengalami cacat kayu reaksi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, besarnya persentase cacat

kayu tarik pada tegakan sengon ternyata sangat besar. Hasil penelitian yang

diperoleh di dua lokasi menunjukkan bahwa kayu tarik ringan pada tegakan hutan

tanaman sengon di BKPH Banjarsari, KPH Ciamis adalah sebesar 55,36% sedangkan

yang mengalami cacat kayu tarik berat adalah sebesar 42,86%.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase batang pohon sengon

yang tumbuhnya normal rata-rata kurang dari 10%. Kenyataan ini menunjukkan

bahwa cacat kayu tarik pada tegakan sengon persentasenya ternyata sangat besar.

Informasi tentang besarnya persentase cacat kayu tarik pada tegakan sengon perlu

mendapat perhatian. Melihat dari kenyataan ini, diperlukan perhatian yang serius

dari para peneliti untuk mulai melakukan kolaborasi antara

silviculturist

dengan

wood techonologist

untuk melakukan kerjasama untuk mengatasi masalah ini.

Diagram besarnya cacat kayu tarik dari dua lokasi penelitian disajikan seperti pada

Gambar 3 dan 4 berikut :


(36)

1,79 55,36 42,86 0 10 20 30 40 50 60 % jumlah pohon

Tingkat kemiringan pohon

Plot 1

Normal Tension ringan Tension berat

Gambar 3. Persentase cacat kayu tarik ringan, berat dan kayu normal

tegakan sengon umur 6 tahun di BKPH Banjarsari Ciamis.

1,69 59,32 38,98 0 10 20 30 40 50 60 % jumlah pohon

Tingkat kemiringan pohon

Plot 2

Normal Tension ringan Tension berat

Gambar 4. Persentase cacat kayu tarik pada tegakan sengon di Darmaga.

Besarnya persentase cacat kayu tekan di lokasi penelitian pada tegakan damar

di hutan pendidikan Fakultas Kehutanan di Ganung Walat , Sukabumi ternyata tidak

terlalu besar. Jumlah batang yang mengalami cacat kayu tekan rata-rata 33,3 % dan

semua tergolong cacat kayu tekan ringan, tidak ada cacat kayu tekan berat.

Kayu Normal Tarik Ringan Tarik Berat Kayu Normal Tarik Ringan Tarik Berat


(37)

36

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cacat kayu tekan pada damar di

lokasi penelitian ini tidak sebesar cacat kayu tekan yang terjadi pada tegakan hutan

Pinus resinosa

di daerah temperate, seperti dinyatakan Kartal (2000). Lebih jauh

dinyatakan bahwa di bawah kondisi lingkungan yang kurang baik, tanaman

perkebunan dan kehutanan dapat mengandung 40% kayu reaksi, bahkan di dalam

tegakan hutan yang dipelihara dengan manajemen terbaik sekalipun, tidak akan ada

batang pohon yang bebas dari adanya kayu reaksi (Kartal 2000).

B. Hubungan kemiringan batang dengan persentase kayu reaksi

Dari hasil penelitian di lapangan diperoleh hasil bahwa persentase cacat kayu

tekan yang terjadi pada tegakan damar jauh lebih kecil dibanding cacat kayu tarik

yang terjadi pada tegakan sengon. Di samping itu dari hasil penelitian di lapangan

yang dilakukan di tiga lokasi diperoleh hasil bahwa ada hubungan besarnya derajat

kemiringan batang dengan persentase kayu reaksi. Makin besar derajat kemiringan

batang, menyebabkan persentase kayu reaksi yang terjadi juga semakin besar. Contoh

batang pohon damar yang tumbuh normal dan abnormal diberikan pada Gambar 5 .

Gambar 5. Sebelah kiri contoh batang kayu damar yang tumbuh normal dan

Sebelah kanan contoh batang kayu damar yang tumbuh abnormal.


(38)

Tabel 2. Hubungan kemiringan batang dengan persentase kayu reaksi

pada

kayu damar dan sengon

No.

Pohon

Diameter

Batang (cm)

Kemiringan

Batang (

o

)

Kayu

Reaksi

(%)

Keterangan

Kayu Damar

4

15

24

42,2

46,1

35,3

0

5

8

0

29,69

47,43

Kayu normal

Kayu tekan ringan

Kayu tekan ringan

Kayu Sengon Darmaga

4

8

12

19

33

13,4

28,3

17,2

30,9

34,7

2

8

8

12

21

0

40,71

38,47

58,18

72,25

Kayu normal

Kayu tarik ringan

Kayu tarik ringan

Kayu tarikberat

Kayu tarik berat

Kayu Sengon KPH Ciamis

2

10

15

17

12,7

15,3

13,4

13,7

11

11

5

9

51,84

61,43

28,47

37,35

Kayu tarik berat

Kayu tarik berat

Kayu tarik ringan

Kayu tarik ringan

Berdasarkan data pada Tabel 2, batang pohon yang batangnya miring kurang

dari 10

o

, persentase kayu reaksinya rata-rata kurang dari 50%, dan pohon kayu damar

yang batangnya tumbuh miring antara 5

o

-8

o

, persentase kayu tekannya berkisar antara

29,69%-47,43%.

Batang pohon kayu sengon yang mengalami kemiringan kurang 10

o

,

persentase kayu tariknya rata-rata antara 28,47%-40,71% sedangkan bila batangnya

miring lebih dari 10

o

, persentase kayu tarik yang terjadi sekitar 51,84-72,25%.

Kenyataan ini sesuai seperti dinyatakan oleh Haygreen (1982) bahwa besarnya

persentase kayu reaksi yang terbentuk, berhubungan langsung dengan sudut

kemiringan batang. Tingkat kemiringan batang merupakan faktor yang penting dalam

perkembangan serabut gelatinous dan dalam semua kondisi tempat tumbuh,

persentase kayu tarik akan naik dengan kenaikan kemiringan batang (Panshin 1980).


(39)

38

Aspek 2: Karakteristik Kayu Reaksi dan Mekanisme Pembentukannya

Kayu reaksi yang terjadi pada kayu damar (

Agathis loranthifolia

Salisb.)

merupakan cacat kayu tekan (

compression woods

) yang umum terjadi pada jenis-jenis

kayu dari ordo Coniferales, Gymnospermae yang sering disebut

softwood

. Sedangkan

kayu reaksi yang terjadi pada kayu sengon (

Paraserianthes falcataria (L.)

Nielsen)

merupakan cacat kayu tarik yang umum terjadi pada kayu dari klass Dicotyledone,

Angiospermae yang sering disebut

hardwood.

Hasil observasi yang dilakukan sesuai

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Panshin (1980); Haygreen (1982); Tsoumis

(1991); Gilman 2005 dan Torges 2005).

A.

Karakteristik kayu tekan pada damar

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa karakteristik cacat

kayu tekan yang terjadi pada kayu damar (

Agathis loranthifolia

Salisb.) terutama

dicirikan oleh beberapa sifat sebagai berikut:

1. Karakteristik kayu tekan pada damar terutama dicirikan oleh adanya perbedaan

posisi jaringan empulur (

pith

) kayu normal dibanding kayu tekan. Pada

penampang melintang kayu normal posisi jaringan empulur berada di

tengah-tengah (

concentric

) dan bentuk penampang melintangnya relatif bundar.

Penampilan penampang melintang batang dan posisi jaringan empulur kayu

normal pada damar dapat dilihat seperti pada Gambar 6.

2. Pada kayu damar yang mengalami cacat kayu tekan letak posisi jaringan empulur

berubah tidak lagi berada di tengah (

inconcentric

), melainkan bergeser lebih

dekat ke sisi batang bagian atas. Keadaan ini menyebabkan bentuk penampang

melintang batang kayu tekan juga berubah tidak lagi bentuknya bundar melainkan

menjadi agak oval. Penampilan penampang melintang batang dan posisi jaringan

empulur kayu tekan pada damar dapat dilihat seperti pada Gambar 7.


(40)

Keterangan : Tanda panah menunjukkan empulur kayu normal damar posisinya ada di tengah dan pangkal cabang yang terbenam dalam kayu (M).

Gambar 6. Penampang melintang kayu normal

Agathis loranthifolia

Salisb.

Keterangan: Tanda panah menunjukkan empulur kayu tekan damar posisinya bergeser lebih dekat dengan sisi atas sehingga menjadi in-concentric. Nw adalah bagian kayu normal dan Cw adalah bagian kayu tekan.

Gambar 7. Penampang melintang kayu tekan

Agathis loranthifolia

Salisb.

M

Cw


(41)

40

1.

Karakteristik kayu tekan pada damar juga dicirikan oleh adanya riap pertumbuhan

yang besar terjadi pada sisi batang bagian bawah dari batang pohon yang

tumbuhnya miring atau bengkok. Keadaan ini dapat ditunjukkan oleh adanya

perbedaan lebar riap pertumbuhan antara kayu normal dan kayu tekan. Pada kayu

tekan riap pertumbuhan yang lebar berada di posisi tertekan, lihat Gambar 7.

2.

Di samping itu adanya pertumbuhan yang lebih cepat pada bagian sisi yang

tertekan, dapat dicirikan oleh adanya perbedaan struktur anatomi kayunya.

Bagian sisi batang yang mengalami pertumbuhan lebih cepat, panjang sel-sel

trakeida kayu tekan rata-rata lebih pendek dibanding bagian sisi batang kayu

normal. Bagian kayu normal memiliki panjang sel-sel trakeidanya rata-rata 6750

mikron (5500-7500 mikron), dan pada kayu tekan panjangnya rata-rata 6200

mikron (5200-6850 mikron).

Karakteristik kayu tekan yang terjadi pada kayu damar identik dengan

karakteristik kayu tekan (

compression wood

) yang umum terjadi pada kelompok

Kayu Daun Jarum (KDJ) di daerah

temperate

, seperti dinyatakan (Panshin 1980;

Haygreen 1982; Tsoumis 1991; Torges 2005). Di samping itu karakteristik kayu tekan

pada damar juga hampir sama dengan karakteristik kayu tekan pada jenis

Pinus

resinosa

seperti dinyatakan Kartal (2000).

Tegakan hutan tanaman damar di hutan pendidikan Fakultas Kehutanan

Gunung Walat, Sukabumi yang tumbuhnya miring sekitar 5

o

-6

o

sudah menunjukkan

adanya persentase kayu tekan yang nyata. Penelitian yang sama telah dilakukan oleh

Kennedy (1965)

dalam

Haygreen (1982) menunjukkan bahwa kayu reaksi tumbuh

dan berkembang dalam jangka waktu 24 jam setelah batang memperoleh tekanan, dan

kemiringan batang yang lebih besar dari 2

o

sudah dapat menyebabkan pembentukan

kayu tekan.

Kayu reaksi juga telah ditemukan pada batang pohon yang tidak miring yaitu

pada

Pinus loblolly

(Zobel dan Haught 1962),

Yellow poplar

(Taylor 1968) dan

beberapa jenis

Polpulus

(Krempl 1975

dalam

Haygreen 1982).


(42)

B. Karakteristik kayu tarik pada sengon

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan karakteristik kayu tarik yang

terjadi pada kayu sengon (

Paraserianthes falcataria (L.)

Nielsen) secara umum

dicirikan oleh beberapa sifat sbb:

1.

Penampang melintang batang pohon yang mengalami cacat kayu tarik pada

sengon bentuknya tidak lagi bulat, dan posisi jaringan empulur tidak lagi berada

di tengah-tengah (

inconcentric

). Penampilan penampang melintang kayu sengon

yang normal, mengalami cacat kayu tarik ringan dan kayu tarik berat dapat

dilihat seperti pada Gambar 8.

2.

Pada kayu tarik, riap pertumbuhan yang besar terjadi pada sisi batang bagian

atas, sehingga posisi empulur lebih dekat ke sisi batang bagian bawah seperti

pada Gambar 8.

3.

Di samping itu karakteristik kayu tarik yang terjadi pada kayu sengon juga

dicirikan oleh adanya perubahan bentuk dan ukuran dari sel-sel penyusunnya.

Diameter tangensial sel-sel pembuluh kayu tarik menjadi lebih kecil dibanding

kayu normal. Pada kayu normal besarnya diameter tangensial pori rata-rata 238

mikron (156-325 mikron), pada kayu tarik ringan rata-rata adalah 215 mikron

(143-260 mikron) dan pada kayu tarik berat besarnya rata-rata 210 mikron

(117-260 mikron). Kenyataan ini sama seperti yang dinyatakan oleh Panshin (1980)

bahwa sel-sel pembuluh dalam zone kayu tarik tidak berubah sifatnya dari

struktur kayu normal, tetapi diameter sel pembuluh menjadi lebih kecil dan

jumlahnya menjadi lebih banyak.

Panjang sel-sel serabut kayu tarik juga menjadi lebih pendek dibanding

kayu normal. Panjang sel serabut kayu normal rata-rata 823 mikron (637-1274

mikron), pada kayu tarik ringan rata-rata 749 mikron (481-1170 mikron) dan

kayu tarik berat panjangnya rata-rata 720 mikron (388-1079 mikron).

Hasil pengukuran diameter tangensial sel pembuluh kayu normal dan kayu

tarik pada sengon secara rinci disajikan pada Tabel 3. Hasil pengukuran dimensi

sel-sel serabut kayu normal dan kayu tarik sengon disajikan pada Tabel 4.


(1)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Hipotesis Penelitian ... 5

E. Manfaat Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Pengertian Kayu Reaksi ... 8

B. Pembentukan Kayu Reaksi ... 8

C. Sifat Makroskopik Kayu Reaksi ... 10

D. Sifat Mikroskopik Kayu Reaksi ... 11

E. Ultra Struktur Kayu Reaksi ... 13

F. Kelemahan Sifat Kayu Reaksi ... 14

G. Pertumbuhan Batang Pohon ... 16

H. Struktur Sel Kambium ... 17

I. Pembelahan Sel Fusiform ... 17

J. Pengaruh Anatomi Kayu Terhadap Sifat Fisik ... 19

K. Botani dan Habitus ... 20

1. Sengon (Paraserianthes falcataria Nielsen) ... 20

2. Damar (Agathis loranthifolia Salisb.) ... 22

L. Penyebaran dan Tempat Tumbuh ... 23

1. Sengon (Paraserianthes falcataria Nielsen) ... 23

2. Damar (Agathis loranthifolia Salisb) ... 23

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 25

A. Kerangka Pendekatan Penelitian ... 25

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

C. Variabel yang Diamati ... 28

D. Bahan dan Alat Penelitian ... 28

E. Teknik Pengambilan Contoh ... 29

F. Tahapan Kegiatan Penelitian ... 32

G. Analisis Data ... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

Aspek 1. Kemiringan Batang Hubungannya dengan Persentase ... 34

Kayu Reaksi ... 34

A. Persentase batang yang mengalami cacat kayu reaksi ... 34 B. Hubungan kemiringan batang dengan persentase kayu reaksi 36


(2)

Aspek 2. Karakterisrik Kayu Reaksi dan Mekanisme

Pembentukannya ... 38

A. Karakteristik kayu tekan pada damar ... 38

B. Karakteristik kayu tarik pada sengon ... 41

C. Mekanisme pembentukan kayu rekasi ... 43

Aspek 3. Struktur Anatomi Kayu Damar dan Sengon ... 46

A. Struktur anatomi kayu damar ... 46

B. Struktur anatomi kayu sengon ... 48

Aspek 4. Karakteristik Ultrastruktur Dinding Sel Kayu Reaksi ... 55

A. Karakteristik ultrastruktur dinding sel kayu tekan pada damar ... 55

B. Karakteristik ultrastruktur kayu tarik pada sengon ... 62

Aspek 5. Ultra Struktur Kayu Reaksi dan Dampaknya Terhadap Teknologi Pengolahan kayu tekan damar dan kayu tarik sengon ... 69

A. Perubahan bantuk penampang melintang batang ... 69

B. Perubahan panjang sel trakeida dan sel serabut ... 70

C. Perubahan bentuk penampang melintang sel-sel trakeida 70

D. Perubahan sudut mikrosfibril (MFA) kayu reaksi ... 72

E. Lapisan gelatinous (G. layers) pada kayu tarik ... 74

F. Dampak perubahan ultrastruktur terhadap teknologi pengolahan ... 75

G. Pembahasan umum ... 77

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Rekomendasi ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

LAMPIRAN


(3)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Jumlah batang pohon yang ditebang untuk bahan penelitian ... 30 Tabel 2 Hubungan antara kemiringan batang dengan persentase kayu rekasi

pada kayu damar dan sengon ... 37 Tabel 3 Hasil pengukuran diameter tangensial sel pembuluh kayu normal,

kayu tarik ringan dan kayu tarik berat sengon ... 42 Tabel 4 Hasil pengukuran dimensi sel serabut (fibers) pada kayu sengon .. 42


(4)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Diagram alir kerangka pendekatan masalah penelitian

ultra-struktur kayu reaksi pada kayu damar dan sengon ... 25 Gambar 2 Diagram Alir Tahapan Kegiatan Penelitian Ultrastruktur

Kayu Reaksi pada (Agathis loranthifolia) dan sengon

(Paraserianthes falcataria). ... 32 Gambar 3 Persentase cacat kayu tarik ringan, berat dan kayu normal tegakan

sengon umut 6 tahun di BKPH Banjarsari Ciamis ... 35 Gambar 4 Persentase cacat kayu tarik pada tegakan sengon di Daramaga 35 Gambar 5 Contoh batang kayu damar yang tumbuh normal dan abnormal 36 Gambar 6 Penampang melintang kayu normal Agathis loranthifolia Salisb. 39 Gambar 7 Penampang melintang kayu tekan Agathis loranthifolia Salisb. 39 Gambar 8 Penampang melintang batang kayu normal (A), penampang

melintang kayu tarik ringan (B), dan penampang melintang

kayu tarik berat (C) ... 43 Gambar 9 Sketsa riap tumbuh batang pohon kayu normal (A), sketsa riap

tumbuh batang kayu tarik (B), dan sketsa riap tumbuh batang

kayu tekan (C)... 45 Gambar 10 Penampang radial kayu damar (Agathis loranthifolia Salisb.) (A)

Penampang tangensial kayu damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

(B) ... 47 Gambar 11 Sel pembuluh kayu sengon hasil proses maserasi ... 49

Gambar 12 Sel-sel pembuluh kayu sengon yang masih tersambung, pada

Penampang tangensial ... 49 Gambar 13 Liqulate extension pada sel pembuluh hasil proses maserasi (A),

Liqulate extension yang mengkait dua sel pembuluh kayu kuku. 50 Gambar 14 Diagram variasi panjang sel serabut sengon umur 20 tahun ... 51

Gambar 15 Penampang radial kayu sengon dari preparat mikrotom ... 53 Gambar 16 Penampang melintang kayu Paraserianthes falcataria Nielsen. 54


(5)

Gambar 17 Penampang radial kayu Paraserianthes falcataria Nielsen ... 54 Gambar 18 Penampang tangensial kayu Paraserianthes falcataria Nielsen 55 Gambar 19 Ultrastruktur penampang melintang kayu tekan damar ... 56 Gambar 20 Ultrastruktur penampang melintang kayu tekan damar ... 57 Gambar 21 Penampang melintang dan radial ultrastruktur kayu normal ... 58 Gambar 22 Ultrastruktur penampang melintang dan radial kayu tekan Agathis Loranthifolia Salisb. ... 59 Gambar 23 Pola penyebaran noktah berbatas pada bidang radial damar ... 59 Gambar 24 Ultrastruktur penampang radial sel trakeida kayu tekan pada

Agathis loranthifolia Salisb. ... 60 Gambar 25 Penampang melintang ultrastruktur kayu normal pada

Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. ... 63 Gambar 26 Penampang melintang ultra-struktur dinding sel kayu tarik pada

Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. ... 64 Gambar 27 Pola penyebaran noktah pada dinding samping sel pembuluh

kayu tarik sengon ... 65 Gambar 28 Ultrastruktur lapisan gelatin pada sel parenkim kayu tarik pada

sengon ... 65 Gambar 29 MFA dan arah orientasi mikrofibril dinding sel serabut kayu

normal pada sengon ... 67 Gambar 30 MFA dan arah orientasi mikrofibril dinding sel serabut kayu

normal pada sengon ... 67 Gambar 31 MFA dan arah orientasi mikrofibril dinding sel serabut kayu

sengon yang mengalami cacat kayu tarik ringan ... 68 Gambar 32 MFA dinding sel serabut kayu tarik berat sengon ... 68 Gambar 34 Berat jenis kayu tarik dan kayu normal pada sengon ... 72 Gambar 35 Penyusutan longitudinal kayu tarik dibanding kayu normal pada


(6)

Gambar 36 Dampak kayu tarik terhadap kualitas kayu gergajian ... 76 Gambar 39 Dampak adanya cacat kayu tarik terhadap hasil proses penyerutan

kayu sengon ... 77 Gambar 40 Diagram karakteristik sifat dasar kayu juvenil (Bowyer 2003) . 79