The Influence of Partnership on Potato Farmes’ Efficiencies and Income in Subdistrict of Pangalengan, Bandung Regency

(1)

PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

MICHA SNOVERSON RATU RIHI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pengaruh Kemitraan terhadap Efisiensi dan Pendapatan Petani Kentang di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Micha Snoverson Ratu Rihi


(3)

MICHA SNOVERSON RATU RIHI. Pengaruh Kemitraan terhadap Efisiensi dan Pendapatan Petani Kentang di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan ANNA FARIYANTI.

Kentang merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan dengan

jumlah produksi ketiga terbesar di Indonesia setelah cabe dan kubis. Share

produksi kentang pada tahun 2009 adalah 10.20 persen dari total produksi sayuran nasional. Salah satu sentra produksi kentang di Indonesia adalah Provinsi Jawa Barat dengan share produksi sebesar 27.25 persen dari total produksi kentang nasional pada tahun 2009. Salah satu sentra produksi kentang di Provonsi

Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung dengan share produksi lebih dari 57

persen pada tahun 2009. Produktivitas rata-rata kentang di Kabupaten Bandung pada tahun 2009 sebesar 20.35 ton/ha, lebih rendah daripada produktivitas rata-rata kentang Brazil sebagai negara berkembang dan beriklim sama dengan Indonesia. Rendahnya produktivitas kentang di Kabupaten Bandung diduga karena tingkat efisiensi yang relatif masih rendah. Peningkatan efisiensi tidak saja meningkatkan produksi kentang tetapi juga dapat menekan biaya usahatani atau dapat meningkatkan pendapatan petani.

PT. Indofood Fritolay Makmur (PT. IFM) merupakan sebuah perusahaan pengolahan kentang telah melakukan program kemitraan dengan petani kentang di Kecamatan Pangalengan sejak tahun 1997 dengan menyediakan bibit unggul kentang bersertifikasi bagi petani, melatih semua ketua kelompok tani yang bermitra agar trampil dalam pembibitan kentang, dan membeli kentang yang diproduksi oleh petani bermitra dengan harga yang sudah ditetapkan pada saat penyerahan bibit. Tujuan penelitian ini adalah menentukan tingkat efisiensi teknis, alokatif, ekonomi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis, alokatif dan ekonomi; menganalisis pengaruh kemitraan terhadap efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi; dan menganalisis perbedaan pendapatan usahatani kentang antara petani yang bermitra dan petani yang tidak bermitra. Untuk menjawab tujuan itu, kajian ini menggunakan data primer dari 80 petani kentang dengan menggunakan analisis stokastik frontier (stochastic frontier analysis, SFA).

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi petani berturut-turut adalah 0.71, 0.51. dan 0.36. Ini berarti petani kentang sudah efisien secara teknis tetapi belum efisien secara alokatif dan

ekonomi. Variabel dummy kemitraan dengan PT. IFM berpengaruh mengurangi

inefisensi alokatif secara signifikan tetapi meningkatkan inefisiensi teknis dan ekonomi secara signifikan. Variabel lama menjadi anggota kelompok tani dan

dummy pelatihan kentang berpengaruh mengurangi inefisiensi alokatif dan ekonomi secara siginifikan. Rata-rata efisiensi teknis, ekonomi, dan pendapatan petani kentang yang bermitra lebih rendah secara statistik daripada rata-rata efisiensi teknis, ekonomi, dan pendapatan petani yang tidak bermitra tetapi rata-rata efisiensi alokatif petani kentang yang bermitra lebih tinggi secara statistik daripada rata-rata efisiensi alokatif petani yang tidak bermitra.


(4)

Farmes’ Efficiencies and Income in Subdistrict of Pangalengan, Bandung Regency. Supervised by SRI HARTOYO and ANNA FARIYANTI.

Potato is one of the superior vegetable commodities in Indonesia, making it to be the third biggest producer of potato in the country after chili pepper and cabbage. The share of potato production in 2009 was 10.20 percent out of the national vegetable production. One of the potato production centers in Indonesia is West Java with the production share of 27.25 in 2009 out of the national potato production. Bandung Regency was a potato production center in West Java Province in 2009 with the production share of more than 57 percent. The average potato productivity in Bandung Regency in 2009 was 20.35 tons/ha. This productivity was still lower than that in Brazil as a developing country and with tropical climate like Indonesia. The low potato productivity in Bandung Regency was probably due to the relatively low efficiency. Improving efficiency will not only increase potato production but also can lower the production cost and increase farmer income.

PT. Indofood Fritolay Makmur (PT. IFM) is a potato processing company which has conducted a partnership program with potato farmers in Pangalengan Subdistrict since 1997 by providing farmers with certified superior potato seed, giving training to all heads of farmer groups so that they are good at potato seed breeding, and buying the potato produced by the farmers who join the partnership with the price set at the time of seed delivery. The aim of this research was to determine the technical, allocative, and economic efficiency level and the factors influencing the technical, allocative, and economic inefficiency level, to analyze the effects of partnership on technical, allocative, and economic efficiency, and to describe the difference between potato farmers with a partnership system and those without it. For that purpose, this study used primary data of 80 potato farmers using Stochastic Frontier Analysis, SFA).

The research result showed that the average technical, allocative, and economic efficiency of farmers was 0.71, 0.51 and 0.36. This means that potato farmers have technically been efficient, but they have not been allocatively and economically efficient. It is also showed that partnership reduced farmers’ allocative inefficiency. Otherwise, it increased the technical and economic inefficiencies. Another dummy variable of potato cultivation training and duration as a member of farmers club lowered allocative and economic inefficiencies statistically. This showed that the three determining factors should be given a special attention to increase farmers’ income. The results implied that the average technical and economic efficiencies and income of potato farmers who had partnership with PT. IFM were lower statistically than those who had no partnership but the average allocative efficiency of potato farmers who had partnership with PT. IFM was higher statistically than those who had no partnership.


(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

MICHA SNOVERSON RATU RIHI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(7)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Sri Utami Kuncoro, MS Dr Meti Ekayani, S.Hut, MSc


(8)

Nama Mahasiswa NRP

Micha Slloverson Ratu Rihi H353090041

Disetujui oIeh

Komisi Pembimbing

Dr lr Sri Hartoyo, MS Dr lr Anna Fariyanti, MSi

Ketria Anggota

Diketahui oIeh .

Ketua Program Studi llmu Ekonomi Pertanian,

Dr If Sri Hartoyo, MS


(9)

Petani Kentang di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

Nama Mahasiswa : Micha Snoverson Ratu Rihi

NRP : H353090041

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Sri Hartoyo, MS

Ketua Anggota

Dr Ir Anna Fariyanti, MSi

Diketahui oleh

Ketua Program Studi llmu Ekonomi Pertanian,

Dr Ir Sri Hartoyo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(10)

Syukur kepada Allah Semesta Alam, Khalik langit dan bumi, laut dan segala isinya atas kesehatan, hikmat, akal budi dan pengetahuan yang dianugerahkan-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini merupakan hasil penelitian yang mengkaji perbedaan efisiensi dan pendapatan antara petani kentang yang bermitra dan yang tidak bermitra dengan PT. Indofood Pritolay Makmur (PT. IFM) di Kecamatan Pangalengan pada tahun 2011. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi para petani untuk meningkatkan produksi kentang dengan memperhatikan faktor-faktor yang mengurangi inefisiensi untuk meningkatkan penerimaan/pendapatan.

Penyelesaian tesis ini terwujud karena bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dengan tulus kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi sebagai anggota komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Sri Utami Kuncoro, MS dan Dr. Meti Ekayani, S.Hut, MSc masing-masing sebagai penguji pada ujian tertutup dari luar komisi dan yang mewakili program studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Jakarta yang telah memberikan beasiswa BPPS selama 24 bulan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktur Politani Negeri Kupang yang telah memberikan ijin belajar. Disamping itu, penghargaan penulis disampaikan kepada Ibu tercinta di Kupang yang senantiasa mendoakan penulis agar tetap dalam lindungan Allah dan dapat menyelesaikan studi secepatnya dan adik-adikku yang kucintai mulai dari Ina Para, Ina Pau, Ina Mare, Ina Dila dan Ina Lidu yang selalu mendoakanku supaya cepat menyelesaikan studi.

Harapan penulis, kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat yang besar kepada penulis dan pihak lain yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2013


(11)

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

1 1 3 5 5 5 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Kemitraan Usahatani

Penelitian-Penelitian tentang Efisiensi Petani

Efisiensi teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis

Efisiensi alokatif dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi alokatif

Efisiensi ekonomi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi ekonomi

Analisis Pendapatan Usahatani Kentang Kerangka Pemikiran 5 5 9 9 14 16 16 17

3 METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi, Waktu dan Metode Penelitian Metode Pengambilan Sampel

Jenis dan Sumber Data Model dan Analisis Data

Analisis fungsi produksi stochastic frontier

Analisis efisiensi teknis dan inefisiensi teknis Analisis efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi

Analisis inefisiensi alokatif, inefisiensi ekonomi, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

Analisis perbedaan pendapatan usahatani Konsep Pengukuran 23 23 23 24 24 24 25 26 28 29 30

4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Keadaan geografis

Penduduk, pendidikan, dan tenaga kerja Pertanian

Deskripsi tanaman kentang Atlantik dan Granola Kemitraan petani kentang dengan PT. IFM Prosedur kemitraan

Kewajiban petani yang bermitra

32 32 32 33 35 35 36 37 37


(12)

Karakteristik usahatani kentang

Karakteristik rumahtangga petani kentang Pembahasan

Pemdugaan fungsi produksi kentang dengan metode OLS dan MLE

Efisiensi teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis

Efisiensi alokatif dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi alokatif

Efisiensi ekonomi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi ekonomi

Analisis Pendapatan Usahatani Penerimaan

Biaya usahatani

Pendapatan usahatani petani yang bermitra dan yang tidak bermmitra.

38 49 50

50

53

57

59 62 62 64

70

5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Saran

70 70 71 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

72 76 128


(13)

Provinsi Jawa Barat menurut kabupaten tahun 2009 3 2 Manfaat kemitraan usaha agribisnis dari perspektif petani dan

perusahaan mitra 7

3 Permasalahan yang dialami petani dan perusahaan mitra dalam

kemitraan usaha agribisnis 8

4 Luas panen, produksi, dan produktivitas kentang di Kabupaten

Bandung menurut kecamatan tahun 2009. 23

5 Sebaran sampel penelitian 24

6 Jumlah penduduk berdasar kelompok umur menurut desa di

Kecamatan Pangalengan tahun 2010 33

7 Jumlah penduduk berdasar pendidikan yang ditamatkan menurut desa

di Kecamatan Pangalengan tahun 2009/2010 34

8 Jumlah penduduk berdasar mata pencaharian utama di Kecamatan Pangalengan tahun 2010

34

9 Perbedaan kentang varietas Atlantik dan Granola 36

10 Input, produksi, dan produktivitas rata-rata kentang yang dihasilkan oleh petani kentang yang bermitra dan petani yang tidak bermitra

dengan PT. IFM 41

11 Harga rata-rata output dan input yang digunakan oleh petani kentang di Kecamatan Pangalengan menurut strata luas lahan dan jenis

kemitraan 46

12 Karakteristik petani kentang di Kecamatan Pangalengan tahun 2011 50

13 Pendugaan fungsi produksi rata-rata dengan menggunakan metode pendugaan OLS dan fungsi produksi batas (stochastic frontier production function) Kentang di Kecamatan Pangalengan dengan

menggunakan metode pendugaan MLE 53

14 Tingkat efisiensi petani 54

15 Faktor-faktor penduga inefisiensi alokatif petani kentang di

Kecamatan Pangalengan tahun 2011 58

16 Faktor-faktor penduga inefisiensi ekonomi petani kentang di

Kecamatan Pangalengan tahun 2011 61

17 Rata-rata penerimaan, biaya, pendapatan petani kentang dalam ribuan

Rupiah per hektar, dan share biaya input daam persen 63

DAFTAR GAMBAR

1 Perbedaan fungsi produksi batas dengan fungsi produksi rata-rata 18

2 Pengukuran efisiensi 19


(14)

2009 76

2 Luas panen, produksi, dan produktivitas sayuran di Indonesia

tahun 2009 77

3 Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas kentang di

Indonesia tahun 1961-2009 78

4 Luas lahan, produksi dan produktivitas kentang di Provinsi Jawa

Barat tahun 1970-2009 79

5 Produksi, faktor-faktor produksi dan faktor-faktor penduga

inefisiensi petani kentang di Kecamatan Pangalengan tahun 2011 80

6 Output dan input petani kentang yang bermitra dengan PT. IFM 82

7 Output dan input petani kentang yang tidak bermitra dengan PT.

IFM 83

8 Output dan input seluruh petani kentang 85

9

Perbandingan penggunaan input, efisiensi, dan produktivitas

rata-rata antara petani kentang yang bermitra dan yang tidak bermitra

dengan P.T IFM di Kecamatan Pangalengan tahun 2011 88

10 Harga output dan input petani kentang bermitra 90

11 Harga ouput dan input petani yang tidak bermitra 91

12 Harga output dan input seluruh petani sampel 92

13 Uji statistik perbandingan harga input dan harga rata-rata output kentang antara petani yang bermitra dan petani yang tidak

bermitra dengan PT. IFM di Kecamatan Pangalengan tahun 2011 94

14 Fungsi produksi rata-rata dengan menggunakan metode pendugaan

OLS dan fungsi produksi batas (stochastic frontier production

function) kentang di Kecamatan Pangalengan dengan

menggunakan metode pendugaan MLE 96

15 Harga output dan input-input dalam usahatani kentang di

Kecamatan Pangalengan musim tanam tahun 2010-2011 99

16 Perhitungan efisiensi ekonomi dan alokatif menurut cara Taylor

(1986) 101

17 Perhitungan efisiensi ekonomi dan alokatif melalui penurunan

fungsi produksi stochastic frontier dengan metode MLE menjadi

fungsi biaya dual 104

18 Efisiensi petani bermitra berdasar strata luas lahan 107

19 Efisiensi petani yang tidak bermitra berdasar strata luas lahan 108

20 Efisiensi seluruh petani sampel berdasar strata luas lahan 109

21 Sebaran efisiensi teknis, ekonomi, dan alokatif seluruh petani

sampel 111

22 Sebaran efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi seluruh petani

sampel berdasar luas lahan 112

23 Sebaran efisiensi teknis, ekonomi, dan alokatif seluruh petani

sampel berdasar kemitraan 113

24 Inefisiensi alokatif petani kentang di Kecamatan Pangalengan dan

faktor- faktor yang mempengaruhinya tahun 2010/1011 114

25 Inefisiensi ekonomi petani kentang di Kecamatan Pangalengan

dan faktor-faktor yang mempengaruhinya tahun 2010/1011 115

26 Analisis usahatani kentang petani yang bermitra dengan PT. IFM 116

27 Analisis usahatani kentang petani yang tidak bermitra dengan PT.


(15)

PT. IFM di Kecamatan Pangalengan tahun 2011 119 30 Share produksi dan penerimaan usahatani petani bermitra 122 31 Share produksi dan penerimaan usahatani petani yang tidak

bermitra 123


(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kentang adalah salah satu komoditas hortikultura yang sangat penting dalam pengembangan agribisnis dan agroindustri (Iqbal 2008). Kentang juga merupakan salah satu sumber devisa bagi negara (FAO 2011b), salah satu pangan alternatif dalam program pemerintah untuk diversifikasi pangan (Adiyoga et al. 2004), dan termasuk salah satu komoditas sayuran unggulan di Indonesia (Badan Pusat Statistik 2010a).

Sebagai salah satu komoditas penting hortikultura, kentang paling berpeluang dalam pengembangan agribisnis dan agroindustri dibandingkan dengan komoditas lainnya. Prospek pengembangan tanaman kentang di Indonesia sangat cerah karena tersedia lahan yang relatif luas di 20 provinsi (Direktorat Jenderal Hortikultura Kementrian Pertanian 2011). Pengembangan agribisnis kentang sangat penting mengingat permintaan terhadap kentang semakin tinggi seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan jumlah penduduk. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (2011) konsumsi kentang untuk pasar tradisional adalah 90 persen dari total pasar kentang di Indonesia, belum termasuk peluang pasar seperti di swalayan, restoran, dan industri pengolahan.

Dari segi agroindustri, kentang dapat diolah menjadi keripik kentang (potato chips) dan crispy yang dapat meningkatkan nilai tambah. Selain itu, kentang dapat diolah menjadi bahan pangan goreng (french fries) dan bahan tambahan sayuran yang biasa disajikan di restoran-restoran fast food dan rumah tangga (Iqbal 2008).

Kentang juga berperan penting dalam menyumbang devisa. Berdasarkan data dari FAO (2011b), Indonesia mengekspor kentang pada tahun 1961 sebesar 590 ton dengan nilai ekspor US$20 000. Jumlah ekspor Indonesia bervariasi dari tahun ke tahun sejak tahun 1961-2009 namun masih mempunyai kecenderungan yang meningkat. Ekspor tertinggi kentang tercatat pada tahun 1993 dengan jumlah ekspor sebesar 126 742 ton, demikian juga nilai ekspor tertinggi sebesar US$19 068 000 terjadi pada tahun yang sama. Disamping mengekspor kentang, Indonesia mengimpor kentang segar sejak tahun 1961 sampai sekarang. Impor kentang segar tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebesar 14 007 ton dengan nilai US$8 301 000. Selain mengimpor kentang segar, Indonesia mengimpor kentang french fries dan tepung kentang. Pada tahun 2007 impor kentang dalam bentuk french fries

sebesar 10 581 ton dan tepung kentang sebesar 11 196 ton (Direkorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian 2011). Sejak tahun 2007 Indonesia mengalami defisit dalam perdagangan komoditas kentang segar. Defisit dan surplus dalam perdagangan kentang segar terjadi secara bergantian sejak tahun 1961-2009. Meskipun secara umum Indonesia masih mengalami surplus dalam perdagangan kentang segar selama 49 tahun terakhir dengan rata-rata surplus sebesar US$2 904 551.02 per tahun (Lampiran 1), selama tiga tahun terakhir (2007-2009) Indonesia terus mengalami defisit dengan pertumbuhan defisit tahun 2008 dan 2009 masing-masing sebesar 197.39 persen dan 139.77 persen. Kondisi


(17)

ini harus diatasi segera dengan meningkatkan produksi kentang domestik agar dapat mengurangi jumlah kentang impor.

Dalam mendukung program diversifikasi pangan, kentang merupakan pangan substitusi pengganti padi, jagung, gandum, sagu, sorgum, ubi jalar, dan ubi kayu. Peranan kentang semakin penting dalam diversifikasi pangan, hal ini terbukti dengan naiknya konsumsi perkapita kentang dari 1.73 kg pada tahun 2009 menjadi 1.84 kg perkapita pada tahun 2010. Usaha pemerintah untuk mengurangi konsumsi beras pada tahun 2010 sebesar 1.5 persen dari tahun sebelumnya hampir tercapai, terbukti dengan adanya penurunan konsumsi beras dari 102.22 kg perkapita/tahun pada tahun 2009 menjadi 100.76 kg perkapita/tahun pada tahun 2010 atau turun sebesar 1.4 persen. Penurunan konsumsi beras ternyata tidak menaikkan konsumsi singkong dan jagung tapi menaikkan konsumsi terigu dan kentang. Konsumsi terigu rumah tangga Indonesia naik sebesar 0.2 persen dari 10.32 kg perkapita/tahun pada tahun 2009 menjadi 10.34 kg perkapita/tahun pada tahun 2010 sedangkan konsumsi jagung rumah tangga Indonesia malah turun 7.2 persen dari 2.21 kg perkapita/tahun pada tahun 2009 menjadi 2.05 kg perkapita/tahun 2010 (Machmur 2011).

Kentang juga merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan dengan jumlah produksi ketiga terbesar di Indonesia setelah cabe dan kubis. Share

produksi kentang pada tahun 2009 adalah 10.20 persen dari total produksi sayuran di Indonesia. Dari sisi produktivitas, kentang juga menempati urutan keempat tertinggi setelah jamur, labu siam, dan kol/kubis seperti terlihat dalam Lampiran 2.

Kentang pertama kali dibudidayakan di Indonesia (Cimahi) sejak tahun 1794 (Sunarjono 2007). Saat ini kentang dibudidayakan di hampir semua dataran tinggi di seluruh Indonesia (Direktorat Jenderal Hortikuktura Kementerian Pertanian 2011). Luas panen, produksi, dan produktivitas kentang di Indonesia bervariasi selama 49 tahun terakhir (1961-2009) namun mempunyai tren yang meningkat. Rata-rata luas panen adalah 37 164.08 ha per tahun, rata-rata produksi 491 204.37 ton per tahun dengan rata-rata produktivitas adalah 13.22 ton/ha per tahun. Produktivitas kentang tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 16.94 ton/ha seperti terlihat dalam Lampiran 3. Walaupun dikembangkan pada agroekosistem yang relatif sama, produktivitas yang dicapai oleh setiap provinsi ternyata cukup beragam. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan intensitas pengelolaan antar sentra produksi yang tercermin dari perbedaan kualitas dan/atau kuantitas masukan yang digunakan (Adiyoga 1986).

Provinsi Jawa Barat merupakan sentra produksi utama kentang di Indonesia (Badan Pusat Statstik 2010a). Share produksi kentang Jawa Barat pada tahun 2009 adalah 27.25 persen dari total produksi kentang nasional. Komoditas kentang di Jawa Barat mempunyai produksi tertinggi pada tahun 2009 dan termasuk salah satu komoditas unggulan di provinsi tersebut selain tomat, cabe, kol/kubis, dan bawang merah (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2011). Rata-rata peningkatan luas lahan, produksi, dan produktivitas kentang per tahun di Jawa Barat selama 40 tahun terakhir masing-masing sebesar 9.20 persen; 23.51 persen; dan 6.79 persen seperti terlihat dalam Lampiran 4.

Kabupaten Bandung adalah sentra produksi kentang di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 dengan share produksi lebih dari 57 persen (Tabel 1). Produktivitas rata-rata kentang di Kabupaten Bandung pada tahun 2009 adalah


(18)

20.35 ton/ha. Meskipun produktivitas ini lebih tinggi daripada produktivitas kentangIndonesia pada tahun 2009 (16.51 ton/ha), produktivitasnya lebih rendah dari produktivitas kentang Amerika Serikat dan Belanda, yang merupakan negara dengan produktivitas kentang tertinggi di dunia pada tahun 2009 (46.27 ton/ha) dan bahkan lebih rendah dari produktivitas kentang Brazil (24.46 ton/ha) sebagai sesama negara berkembang dan beriklim sama dengan Indonesia FAO(2011b). Tabel 1 Luas panen, produksi, produktivitas dan share produksi kentang di

Provinsi Jawa Barat menurut kabupaten pada tahun 2009

No Nama

kabupaten

Luas panen (ha)

Produksi kentang (ton)

Produktivitas (ton/ha)

Share luas panen (persen)

Share

produksi (persen)

1 Bogor 2 36.00 18.00 0.01 0.01

2 Sukabumi 16 294.00 18.38 0.10 0.09

3 Cianjur 42 7 340.00 17.48 0.27 0.23

4 Bandung 8 988 182 942.50 20.35 58.58 57.07

5 Garut 5 083 115 989.80 22.82 33.13 36.19

6 Tasikmalaya 2 25.00 12.50 0.01 0.01

7 Kuningan 31 598.00 19.29 0.20 0.19

8 Majalengka 759 12 483.00 16.45 4.95 3.89

9 Sumedang 68 819.20 12.05 0.44 0.26

10 Subang 20 91.40 4.57 0.13 0.03

11 Bandung Barat 333 6 529.10 19.61 2.17 2.04

Jawa Barat 15 344 320 542.00 20.89 100.00 100.00

Sumber: Badan Pusat Statistik (2010b)

Perumusan Masalah

Salah satu sentra produksi kentang di Kabupaten Bandung adalah Kecamatan Pangalengan dengan share produksi sebesar 72.39 persen pada tahun 2009 (BPS 2010c). Produktivitas rata-rata kentang di Kecamatan Pangalengan pada tahun 2009 adalah 20.11 ton/ha atau lebih rendah 1.18 persen daripada produktivitas rata-rata kentang di Kabupaten Bandung (Tabel 4).

Rendahnya produktivitas kentang di Kecamatan Pangalengan diduga karena tingkat efisiensi yang relatif masih rendah. Bakhsh et al. (2006) menyatakan bahwa ada tiga kemungkinan cara untuk meningkatkan produksi kentang yaitu menambah luas lahan, mengembangkan dan mengadopsi teknologi baru, dan menggunakan sumberdaya yang tersedia secara lebih efisien. Peningkatan produksi kentang melalui penambahan luas lahan sepertinya lebih sulit dilakukan karena dengan pertambahan jumlah penduduk telah meningkatkan konversi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman, industri, jalan raya, dan sekolah. Selain itu kentang membutuhkan daerah dengan kondisi agroklimat dan agroekosistem yang lebih spesifik seperti ketinggian tempat dari permukaan laut dan suhu udara rata-rata yang relatif lebih rendah sehingga tidak semua daerah cocok ditanami kentang. Akhirnya peningkatan produktivitas kentang hanya dapat dilakukan melalui dua kemungkinan cara yaitu mengembangkan dan mengadopsi teknologi baru dan menggunakan sumberdaya yang tersedia secara lebih efisien.

Peningkatan efisiensi tidak saja meningkatkan produksi kentang seperti yang ditemukan oleh Bakhsh et al. (2006) dan Nahraeni (2012), tapi juga dapat


(19)

menekan biaya usahatani sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Obare

et al. (2010) menyatakan bahwa jika petani kentang di Nyandarua, Wilayah Utara Kenya meningkatkan efisiensi alokatif dari 0.57 menjadi 0.86, rata-rata petani responden akan dapat mengurangi biaya usahatani kentang sebesar 34 persen.

Peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan memperbaiki kemampuan manajerial petani. Kemampuan manajerial itu berasal dari diri petani melalui faktor-faktor sosial ekonomi seperti umur, pangalaman usahatani, tingkat pendidikan formal, pendidikan informal melalui pelatihan budidaya dan pengelolaan usahatani, keanggotaan dalam kelompok tani, akses kepada penyuluh pertanian lapangan (PPL), akses kepada sumber pembiayaan usahatani, dan lain-lain.

PT. Indofood Fritolay Makmur (PT. IFM) telah melakukan program kemitraan dengan petani kentang di Kecamatan Pangalengan sejak tahun 1997. PT IFM tidak saja menyediakan bibit unggul kentang bersertifikasi bagi petani dan memberikan kemudahan bagi petani untuk membayar bibit setelah panen, tetapi juga melatih semua ketua kelompok tani yang dibentuk untuk tujuan kemitraan agar trampil dalam pembibitan kentang. Pembibitan yang dimaksud adalah dengan membelah umbi bibit kentang menjadi dua sehingga petani dapat lebih efisien dalam penggunaan bibit. Para ketua kelompok tani diharapkan mengajarkan ketrampilan yang telah dimilikinya kepada anggota kelompoknya masing-masing. Jika petani dapat memproduksi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan input minimum seperti bibit pada tingkat teknologi tertentu petani dapat diduga lebih efisien secara teknis. Selain itu petani yang bermitra diharapkan lebih efisien secara alokatif karena adanya jaminan kepastian harga dari perusahaan mitra atas kentang yang dihasilkan pada saat bibit diserahkan kepada petani. Dengan adanya kepastian harga jual bagi kentang yang diproduksi oleh petani yang bermitra, diharapkan dapat menghasilkan sejumlah output pada kondisi minimisasi rasio biaya dari input atau dapat mengkombinasikan biaya yang meminimumkan input. Pada akhirnya jika para petani yang bermitra lebih efisien secara teknis dan alokatif karena adanya bantuan bimbingan kepada peserta mitra melalui ketua kelompok dan kepastian jaminan harga jual, tentu saja para petani tersebut dapat lebih efisien secara ekonomis daripada petani yang tidak bermitra. Pertanyaannya adalah apakah dengan adanya kemitraan menyebabkan petani lebih efisien secara teknis, alokatif, dan ekonomi?

Tidak seperti petani yang tidak bermitra, petani yang bermitra mendapat pelatihan teknis dalam hal pembibitan dan harga jual kentang sudah ditentukan pada saat bibit diserahkan kepada petani sehingga dapat mendorong petani memaksimumkan output pada kondisi biaya terendah. Dengan pelatihan teknis ini, petani dapat menghemat penggunaan bibit yang akhirnya dapat menekan biaya pengadaan bibit sehingga dapat meningkatkan pendapatan usahatani. Pertanyaan yang muncul adalah apakah petani yang bermitra dengan PT. IFM mempunyai pendapatan usahatani kentang yang lebih tinggi daripada petani yang tidak bermitra? Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka penelitian tentang pengaruh kemitraan terhadap efisiensi dan pendapatan petani kentang perlu dilakukan.


(20)

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh kemitraan antara petani kentang di Kecamatan Pangelangan dengan PT. IFM terhadap efisiensi dan pendapatan usahatani kentang. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1 Menentukan tingkat efisiensi teknis, alokatif, ekonomi dan faktor-faktor

yang mempengaruhi inefisiensi teknis, alokatif dan ekonomi petani kentang 2 Menganalisis pengaruh kemitraan terhadap efisiensi teknis, alokatif dan

ekonomi petani kentang

3 Menganalisis perbedaan pendapatan usahatani kentang antara petani yang bermitra dan petani yang tidak bermitra.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat berguna bagi petani kentang dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi dalam usahatani kentang. Selain itu sebagai informasi bagi pemerintah daerah Kabupaten Bandung dalam rangka kebijakan peningkatan produktivitas kentang. Hasil penelitian kiranya juga dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan model fungsi produksi stokastik frontier untuk analisis produktivitas, efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi dalam bidang ekonomi produksi pertanian terutama tanaman hortikultura dan khususnya tanaman kentang. Informasi dari hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi kegiatan penelitian lanjutan secara lebih mendalam terutama dalam mengkaji pengaruh adanya suatu kerjasama kemitraan antara petani dengan pihak lain.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data cross section dari para petani kentang yang bermitra dengan PT. IFM (yang menanam varietas Atlantik) dan yang tidak bermitra dengan perusahaan tersebut (yang menanam varietas Granola). Musim tanam yang diambil sebaagi data penelitian adalah musim hujan 2010/2011 atau sejak Desember 2010 - Maret 2011.

2

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Kemitraan Usahatani

Kemitraan sangat penting dalam program pembangunan usahatani, terutama karena adanya interaksi antara industri baik skala kecil maupun skala besar yang mempunyai modal, wadah untuk menampung hasil panen, memiliki inovasi terbaru dengan petani yang kekurangan modal, dan belum tersentuh teknologi yang baru serta kebingungan dalam menjual hasil panennya (Shinta 2011).

Kemitraan usaha agribisnis (contract farming management) adalah hubungan bisnis usaha pertanian yang melibatkan satu atau kelompok orang


(21)

atau badan hukum dengan satu atau kelompok orang atau badan hukum lainnya, dimana masing-masing pihak memperoleh penghasilan dari usaha bisnis yang sama atau saling berkaitan dengan tujuan menjamin terciptanya keseimbangan, keselarasan, dan saling melaksanakan etika bisnis (Suwandi 1995). Oleh karena itu berpijak dari definisi tersebut, tujuan kemitraan agribisnis adalah: (1) untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi dan sosial yang diperoleh petani atau perusahaan mitra; dan (2) untuk mewujudkan terciptanya keseimbangan usaha agribisnis yang memenuhi skala ekonomi dalam suatu wilayah atau kawasan.

Secara garis besar, kemitraan usaha agribisnis terdiri dari lima model, tergantung pada jenis produk, sumberdaya sponsor, dan intensitas hubungan kepentingan antara petani dengan pihak sponsor (Eaton dan Shepherd 2001). Dalam konteks ini, sponsor yang lebih populer disebut “mitra” dapat dikategorikan sebagai perusahaan individu, perusahaan multinasional, perusahaan swasta, perusahaan negara (parastatal agency) atau koperasi. Lima model kemitraan usaha agribisnis yang dimaksud adalah: model sentralistik (centralized model); model perusahaan inti (nucleus estate model); model multi pelaku (multi-partite model); model informal (informal model); dan model perantara (intermediary model). Kemitraan usaha agribisnis terdiri dari tiga pola, yaitu: (1) kemitraan yang berkembang mengikuti jalur evolusi sosio-budaya atau ekonomi tradisi; (2) kemitraan program pemerintah yang dikaitkan dengan intensifikasi pertanian; dan (3) kemitraan yang tumbuh akibat perkembangan ekonomi pasar.

Shinta (2011) juga menyatakan bahwa ada lima model kemitraan, yaitu model intiplasma, kontrak beli, sub kontrak, dagang umum, dan kerja sama operasional agribisnis. Lebih jauh Shinta (2011) menjelaskan bahwa model intiplasma adalah hubungan kemitraan antara usahatani kecil dengan usahatani menengah atau usaha besar, yang di dalamnya usaha menengah atau usaha besar bertindak sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma. Pada model kemitraan ini dapat berupa kemitraan langsung antara kelompok tani dengan plasma yang memproduksi bahan baku dengan perusahaan agroindustri yang melakukan pengolahan. Perusahaan inti berkewajiban untuk melakukan pembinaan mengenai teknis produksi agar dapat memperoleh hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu pembinaan dilakukan untuk meningkatkan kualitas manajemen kelompok tani/agroindustri dan plasma. Model kontrak beli adalah hubungan kerjasama antara kelompok skala kecil dengan perusahaan agroindustri skala menengah atau besar yang dituangkan dalam usaha perjanjian kontrak jual beli secara tertulis untuk jangka waktu yang disaksikan oleh pemerintah. Model subkontrak adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar yang di dalamnya usaha kecil memproduksi komponen dan atau jasa yang merupakan bagian dari produksi usaha menengah atau usaha besar. Pada model ini, kelompok tidak melakukan kontrak secara langsung dengan perusahaan pengolah (processor) tetapi melalui agen atau pedagang. Model dagang umum adalah hubungan kemitraan antara perusahaan kecil dengan usaha menengah atau besar atau usaha menengah memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar atau usaha kecil yang memasarkan hasil usaha besar. Model kerjasama


(22)

operasional agribisnnis merupakan hubungan kemitraan yang di dalamnya kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja sedangkan perusahaan-perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal atau sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas pertanian.

Paling sedikit ada tiga aspek kemitraan usaha agribisnis yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu koordinasi produksi, pengelolaan budidaya, dan pola hubungan dengan petani (Eaton dan Shepherd 2001). Jika ketiga aspek ini tidak dijalankan secara sinergis, maka implementasi kemitraan usaha agribisnis sulit berjalan dengan baik. Koordinasi produksi terkait dengan identifikasi lokasi, seleksi petani, formasi kelompok kerja, pengaturan pasokan sarana dan kredit serta pendistribusiannya, dan pengaturan pembelian produksi. Pengelolaan budidaya meliputi jasa penyuluhan, transfer teknologi, jadwal pola tanam, dan pelatihan. Sementara itu, pola hubungan dengan petani mencakup partisipasi dan eksistensi forum (organisasi) kelompok tani.

Syarat yang harus dipenuhi, yaitu bahwa kedua belah pihak yang bermitra harus: (1) mempunyai bisnis inti (core business) yang sama; (2) memiliki tingkat saling ketergantungan yang tinggi (high interdependency); (3) dapat diandalkan (reliable) untuk menjalankan tugas masing-masing sesuai dengan perjanjian; dan (4) jujur dan dapat dipercaya (honest and trustable) dalam menjalankan kegiatan masing-masing. Syarat lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa komoditas yang tercakup dalam kemitraan usaha agribisnis harus mempunyai prospek ekonomi yang sangat baik (Hadi 1997) yang dikutip dalam Iqbal (2008).

Tabel 2 Manfaat kemitraan usaha agribisnis dari perspektif petani dan perusahaan mitra

Ditinjau dari aspek

Petani Perusahaan mitra

Sarana dan prasarana

Sarana produksi dan jasa pelayanan disediakan oleh perusahaan mitra

Prasarana seperti lahan dapat disediakan oleh petani sehingga memudahkan perusahaan memperoleh lahan tanpa mengeluarkan biaya pembebasan lahan

Kredit Petani dimudahkan dalam

memperoleh bantuan kredit karena kemitraan usaha agribisnis dilaksanakan melalui pola kredit yang difasilitasi perusahaan mitra

Perusahaan dapat memperoleh keuntungan dari bunga kredit yang relatif lebih tinggi daripada menginvestasikan uangnya di bank Introduksi

teknologi

Kemitraan usaha agribisnis biasanya dilengkapi dengan introduksi teknologi baru sehingga petani dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru

Introduksi teknologi dan pelatihan yang diajarkan perusahaan kepada petani dapat lebih mengikat petani agar tetap bermitra

Harga Petani memperoleh kepastian harga lebih awal sehingga tidak perlu mengkwatirkan terjadinya penurunan harga pada saat panen

Harga jual kentang yang ditentukan

perusahaan memungkinkan perusahaan terhindar dari kerugian..

Peluang pasar

Kemitraan usaha agribisnis membuka peluang pasar yang sebelumnya mungkin kurang atau tidak dapat diakses petani.

Membuka peluang pasar bagi perusahaan dalam menjual paket teknologi dan input usahatani kepada petani.


(23)

Dua pelaku utama dalam kemitraan usaha agribisnis adalah petani dan perusahaan mitra. Menurut Eaton dan Sepherd (2001), manfaat utama dari kesepakatan kontrak yang diterima petani adalah adanya jaminan dari perusahaan mitra untuk membeli produksi petani berdasarkan spesifikasi parameter kuantitas dan kualitas tertentu. Berikutnya, kemitraan usaha agribisnis juga dapat membantu petani dalam mempermudah akses terhadap teknik dan jasa penyuluhan yang sebelumnya relatif kurang atau tidak dapat diperoleh petani. Di samping itu, melalui kemitraan usaha agribisnis, petani diharapkan dapat mengatur dan mengurus kredit ke lembaga perbankan komersial untuk pembelian sarana produksi. Singkatnya, manfaat potensial yang dirasakan petani dan perusahaan mitra dalam kemitraan usaha agribisnis disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 3 Permasalahan yang dialami petani dan perusahaan mitra dalam kemitraan usaha agribisnis

Dari aspek Petani Perusahaan mitra

Risiko Petani harus menghadapi permasalahan produksi dan kegagalan pasar jika mengadopsi jenis tanaman atau varietas baru untuk dibudidayakan

Perusahaan menghadapi risiko penolakan dari petani jika introduksi teknologi baru seperti varietas bibit unggul kurang dapat meyakinkan petani dalam hal produksi dan harga

Ketatalaksanaan Manajeman kemitraan usaha agribisnis yang tidak efisien

dapat menimbulkan terjadinya manipulasi, sehingga sebagian produksi petani tidak dibeli oleh perusahaan mitra

Manajeman perusahaan mitra yang tidak efisien dan kurangnya konsultasi dengan petani dapat menyebabkan ketidakpuasan di kalangan petani sehingga petani dapat melakukan manipulasi dengan menjual sebagian hasilnya ke pihak lain tanpa sepengetahuan perusahan mitra

Monopoli Monopoli yang dilakukan perusahaan mitra akan mengurangi pilihan petani

untuk memilih memproduksi tanaman lain

yang lebih menguntungkan

Monopoli akan menimbulkan resistensi dari para petani sehingga perusahaan akan kehilangan pasokan bahan baku jika petani memutuskan berhenti bermitra karena adanya tawaran kemitraan dari pihak lain yang lebih menguntungkan

Kuota produksi Pengalokasian kuota produksi dapat merugikan petani yang mempunyai lahan yang relatif luas karena perusahaan mitra mengurangi pasokan bibit

Kurangnya pasokan bibit dari supplier

dapat mendorong perusahaan melakukan kuota produksi sehingga menurunkan pasokan bahan baku dari petani kepada perusahaan. Penurunan pasokan bahan baku akan mengurangi output, penerimaan, dan keuntungan perusahaan Kegagalan

panen

Petani dapat menjadi pihak yang berhutang jika timbul kegagalan produksi karena telah terikat kontrak untuk membayar fasilitas sarana dan jasa yang sebelumnya telah disediakan perusahaan mitra

Jika petani terlilit hutang karena kegagalan panen, hal itu akan mengurangi kemampuan dan minat petani untuk bermitra sehingga perusahaan terancam kekurangan dan kehilangan pasokan bahan baku


(24)

Perlu digarisbawahi bahwa kendati dalam kemitraan usaha agribisnis diperoleh beberapa manfaat sebagaimana dikemukanan di atas, dalam praktiknya ditemui beberapa permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat dikategorikan sebagai dampak negatif dari implementasi kemitraan usaha agribisnisitu sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut selengkapnya disajikan dalam Tabel 3.

Penelitian-Penelitian tentang Efisiensi Petani

Penelitian-penelitian tentang efisiensi petani kentang telah banyak dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri. Hasil-hasil penelitian itu akan dibahas menurut aspek yaitu aspek tingkat efisiensi dan aspek faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi.

Bakhsh et al. (2006) menyatakan bahwa efisiensi petani sebesar 0.7 dapat dikatakan sudah efisien. Idealnya, efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi sebesar satu. Jika efisiensi sebesar satu petani dapat dikatakan sudah efisien penuh secara teknis, alokatif, atau ekonomi. Tetapi karena banyak faktor yang mempengaruhi efisiensi petani maka efisiensi petani hampir tidak pernah mencapai angka satu.

Efisiensi teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis

Dari aspek tingkat efisiensi, rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Okara dan Kasur, Pakistan tahun 2002-2003 adalah 0.84 (Abedullah et al. 2006); rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Wilayah Awi, Ethiopia untuk skema irigasi tradisional adalah 0.77 dan untuk skema irigasi modern adalah 0.97 (Bogale dan Bogale 2005); rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Punjab, Pakistan adalah 0.76 (Bakhsh et al. 2006); rata-rata efisiensi teknis petani kentang di beberapa daerah terpilih di Bangladesh adalah 0.75 (Hossain et al. 2008); rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Nyandarua, Wilayah Utara, Kenya adalah 0.67 (Nyagaka et al. 2010); rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Wilayah Dedza, Malawi Tengah adalah 0.83 (Maganga 2012); dan rata-rata efisiensi teknis kentang di Wilayah Utara, Gilgit-Baltistan, Pakistan adalah 0.81 (Alam et al. 2012). Di Indonesia, rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Kabupaten Solok Sumatera Barat adalah 0.76 (Tanjung 2003); rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara adalah 0.41 (Sinaga 2011); rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Provinsi Jawa Barat adalah 0.84 (Nahraeni 2012). Secara umum, efisiensi petani kentang sudah di atas 0.7 dan meskipun demikian, masih ada kemungkinan peningkatan produkstivitas kentang jika petani mampu beroperasi pada tingkat efisiensi teknis tertinggi yang dicapai oleh petani yang ditelliti.

Ada sejumlah faktor penentu inefisiensi petani kentang yang berasal dari diri petani. Umur memiliki efek terhadap tingkat inefisiensi teknis. Hal ini umumnya dipercaya bahwa usia dianggap sebagai proxy untuk pengalaman usahatani. Dengan demikian petani dengan usia lebih panjang memiliki pengalaman usahatani yang lebih besar. Diduga bahwa usia memiliki pengaruh mengurangi inefisiensi teknis dalam produksi kentang menunjukkan bahwa jika usia petani kentang meningkat, inefisiensi teknis menurun (Bakhsh et al. 2006). Lebih jauh Bakshh et al. (2006) menemukan bahwa semakin tinggi umur petani


(25)

kentang di Punjab, Pakistan, semakin mengurangi inefisiensi teknis secara

signifikan pada α = 0.1; Abedullah et al. (2006) menemukan bahwa semakin tinggi umur petani kentang di Okara dan Kasur, Pakistan, semakin mengurangi inefisiensi teknis secara signifikan pada α = 0.01. Di Indonesia, hasil penelitian Adhiana (2005) juga menemukan bahwa semakin tinggi umur petani lidah buaya di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, semakin mengurangi inefisiensi teknis

dan signifikan pada α = 0.15. Tetapi variabel umur juga dapat berpengaruh positif atau meningkatkan inefisiensi teknis petani kentang. Hasil penelitian Maganga (2012) menyatakan bahwa semakin tua usia petani kentang di Dedza, Malawi Tengah semakin meningkatkan inefisiensi teknis secara signifikan pada α = 0.05. Di Indonesia, Tanjung (2003) menemukan bahwa semakin tua usia petani kentang di Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat semakin meningkatkan inefisiensi

teknis secara signifikan pada α = 0.05 karena seiring dengan peningkatan usia petani, kemampuan bekerja yang dimiliki, daya juang dalam berusaha, keinginan untuk menanggung risiko dan keinginan untuk menerapkan inovasi-inovasi baru juga semakin berkurang; Nahraeni (2012) menemukan bahwa semakin tua usia petani kentang di Provinsi Jawa Barat semakin meningkatkan inefisiensi teknis

secara signifikan pada α = 0.05 karena semakin tua umur petani, kemampuan kerja dan kemampuan teknisnya semakin menurun.

Diduga semakin tinggi pengalaman seorang petani dalam usahatani semakin trampil petani tersebut dalam mengelola usahatani kentang yang akan berdampak positif terhadap efisiensi atau berdampak negatif terhadap inefisiensi. Saptana (2011) menambahkan bahwa petani yang lebih berpengalaman akan lebih efisien karena memiliki pengetahuan dan kemampuan adopsi teknologi lebih baik sehingga lebih mampu menghindari kecenderungan turunnya produktivitas akibat degradasi sumberdaya. Petani berpengalaman pada umumnya memiliki jaringan kerja (networking) yang lebih luas sehingga lebih berpeluang memperoleh informasi lebih cepat dan cenderung mengaplikasikan informasi teknologi yang diterimanya. Pada akhirnya petani yang lebih berpengalaman memiliki kapabilitas manajerial yang lebih baik karena belajar dari pengelolaan usahatani pada tahun-tahun sebelumnya. Tanjung (2003) menemukan bahwa semakin tinggi pengalaman petani dalam usahatani kentang di Kabupaten Solok, Provinsi Sumetera Barat semakin mengurangi inefisiensi teknis dan signifikan

pada α = 0.1; Sinaga (2011) menemukan bahwa semakin tinggi pengalaman

petani dalam usahatani kentang di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumetera Utara, semakin mengurangi inefisiensi teknis dan signifikan pada α = 0.05; Maganga (2012) menemukan bahwa semakin tinggi pengalaman petani dalam usahatani kentang di Dedza, Malawi Tengah semakin mengurangi inefisiensi

teknis dan signifikan pada α = 0.01; dan Nahraeni (2012) menemukan bahwa semakin tinggi pengalaman petani dalam usahatani kentang di Provinsi Jawa

Barat semakin mengurangi inefisiensi teknis dan signifikan pada α = 0.05. Tetapi Ogundari dan Ojo (2007b) menemukan bahwa semakin tinggi pengalaman petani dalam usahatani di Ondo State, Nigeria semakin meningkatkan inefisiensi teknis

dan signifikan pada α = 0.05.

Para petani dengan pendidikan formal yang lebih tinggi cenderung lebih efisien secara teknis. Hal ini menunjukkan bahwa petani dengan pendidikan yang lebih tinggi merespon lebih mudah untuk menyerap teknologi baru dan menghasilkan lebih dekat ke output batas (frontier) (Alam et al. 2012). Nyagaka


(26)

et al. (2010) menambahkan bahwa secara umum petani yang lebih terdidik dapat melihat, menginterpretasikan dan tanggap lebih cepat kepada informasi baru dan mengadopsi teknologi yang lebih maju seperti pupuk, pestisida, dan bahan-bahan penanaman daripada rekan-rekannya. Ogundari dan Ojo (2007b) menemukan bahwa tingkat pendidikan mengurangi inefisiensi teknis petani beberapa

komoditas di Ondo State, Nigeria dan signifikan pada α = 0.05. Tetapi Sinaga (2011) menemukan bahwa tingkat pendidikan meningkatkan inefisiensi teknis petani kentang di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara dan signifikan

pada α = 0.1 karena teknologi yang digunakan oleh petani di daerah penelitian tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau dengan kata lain petani masih menggunakan cara tradisonal dalam membudidayakan kentang; dan Asogawa et al. (2011) juga menemukan bahwa tingkat .pendidikan meningkatkan inefisiensi teknis petani semua komoditas di Makurdi, Benue State, Nigeria dan signifikan

pada α = 0.1.

Ukuran keluarga diduga dapat mengurangi inefisiensi teknis karena ukuran keluarga adalah proxy bagi tenaga kerja dalam keluarga (Asogwa et al. 2011). Diduga, semakin banyak anggota keluarga dalam rumahtangga seorang petani semakin banyak tenaga kerja yang dapat dilibatkan dalam usahatani sehingga dapat mengurangi penggunaan tenaga kerja luar keluarga atau tenaga kerja yang dibayar (substitusi tenaga kerja). Biaya yang seharusnya dialokasikan untuk membayar tenaga kerja luar keluarga dapat digunakan untuk membeli input-input lain dan bahkan input yang lebih berkualitas. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga juga dapat mengatasi kelangkaan tenaga kerja (Saptana 2011). Asogwa

et al. (2011) menyatakan semakin besar ukuran keluarga semakin mengurangi inefisiensi teknis para petani di Makurdi, Banue State, Nigeria secara signifikan pada α = 0.05. Tetapi Maganga (2012) menemukan bahwa ukuran keluarga meningkatkan inefisiensi teknis petani kentang di Dedza, Malawi Tengah secara signifikan pada α = 0.1. Hal ini terjadi karena rumahtangga dengan jumlah anggota keluarga besar mungkin tidak mampu untuk menggunakan kombinasi input dengan tepat karena keterbatasan uang (Maganga 2012).

Rasio penerimaan usahatani terhadap penerimaan total rumahtangga diduga dapat mengurangi inefisiensi teknis petani. Saptana (2011) menyatakan bahwa dalam kondisi dimana petani memiliki beberapa cabang usahatani yang sedang dijalankan maka tingkat inefisiensi teknis yang paling rendah umumnya terjadi pada usahatani yang memiliki pangsa pendapatan tertinggi karena petani akan memberikan perhatian secara lebih baik dari aspek teknis, menajemen dan pengelolaan risiko produksi pada usahatani tersebut sehingga berdampak menurunkan inefisiensi teknis. Saptana (2011) menemukan rasio penerimaan usahatani cabai merah besar terhadap penerimaan total rumahtangga mengurangi inefisiensi teknis petani cabai merah besar secara signifikan pada α = 0.05 di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009. Nilai koefisien variabel rasio pendapatan usahatani cabai merah besar terhadap pendapatan total rumahtangga bertanda negatif merupakan indikasi bahwa tingkat inefisiensi teknis yang lebih rendah pada umumnya terjadi di kalangan petani yang memiliki pangsa penerimaan dari cabai merah besar lebih tinggi. Fenomena ini merupakan bukti empiris bahwa semakin penting posisi cabai merah besar dalam struktur pendapatan rumahtangga semakin rendah inefisiensi teknis.


(27)

Rasio luas lahan kentang terhadap total luas lahan garapan diduga dapat mengurangi inefisiensi teknis. Saptana (2011) menyatakan bahwa petani dengan rasio luas lahan cabai merah besar terhadap total lahan yang dikuasai relatif besar akan semakin rendah inefisiensi teknisnya. Hal in disebabkan semakin penting suatu komoditas dalam struktur usahatani akan mendorong petani memberikan input secara lebih intensif, curahan tenaga kerja lebih intensif, dan pengelolaan usahatani secara lebih baik sehingga berdampak menurunkan inefisiensi teknis. Saptana (2011) menemukan bahwa semakin tinggi rasio lahan usahatani cabe merah besar terhadap total lahan semakin mengurangi inefisiensi teknis petani

cabe merah besar di Provinsi Jawa Tengah secara signifikan pada α = 0.2.

Rasio tenaga kerja luar keluarga (sewa) terhadap tenaga kerja total diduga mengurangi inefisiensi petani. Penggunaan tenaga kerja sewa mengurangi inefisiensi teknis petani padi secara signifikan di Kabupaten Cirebon dan Cianjur, Provinsi Jawa Barat tahun 1998/1999 (Lisna 2003).

Keanggotaan dalam kelompok tani merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis petani. Diduga petani yang tergabung dalam kelompok tani saling membagi informasi yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas tanaman dan atau informasi pasar dibandingkan dengan petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani. Diharapkan pula bahwa petani yang menjadi anggota kelompok tani memiliki akses yang lebih mudah terhadap berbagai sumberdaya yang dibutuhkan di dalam pengelolaan usahatani. Saptana (2011) menyatakan semakin intensif keterlibatan petani dalam keanggotaan kelompok tani akan semakin menurunkan inefisiensi teknis. Lebih jauh dikatakan Saptana (2011) bahwa petani yang tergabung dalam kelompok tani akan memiliki akses yang lebih baik kepada informasi seperti informasi teknologi, informasi pasar, dan program-program pemerintah sehingga keanggotaan dalam kelompok tani dapat menurunkan inefisiensi teknis. Binam et al. (2004) menambahkan bahwa keanggotaan dalam kelompok tani dapat memberikan beberapa pengaruh pada anggota keluarga dan petani lainnya yang tidak menjadi anggota kelompok tani melalui pemberian informasi dan demonstrasi praktik usahatani. Nyagaka et al. (2010) menemukan bahwa dengan menjadi anggota kelompok tani dapat mengurangi inefisiensi teknis petani kentang di Nyandarua wilayah Utara Kenya secara signifikan pada α = 0.01; Nahraeni (2012) menemukan bahwa keikutsertaan dalam kelompok tani mengurangi inefisiensi teknis petani kentang di Provinsi Jawa Barat secara signifikan pada α = 0.05. Tetapi Tanjung (2003) menemukan bahwa keikutsertaan dalam kelompok tani meningkatkan inefisiensi teknis petani kentang di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat dan signifikan pada α = 0.1 karena dengan menjadi anggota kelompok tani memaksa petani untuk lebih proaktif dalam aktivitas kelompok sehingga menghambat kebebasan dan aktivitas para petani dalam usahatani kentang yang sedang dijalankan.

Seorang petani yang pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan ketrampilan usahatani tertentu seperti perencanaan usahatani, pengadaan bibit yang berkualitas, teknik budidaya, panen dan pasca panen diharapkan dapat mengurangi inefisiensi teknis usahatani yang sedang dijalankannya. Hossain et al. (2008) menemukan bahwa pelatihan budidaya kentang yang pernah diikuti petani dapat mengurangi inefisiensi teknis petani kentang di Munshiganj, Bogra, Jessor, Bangladesh secara signifikan pada σ = 0.05; Maganga (2012) menemukan


(28)

bahwa variabel tingkat spesialisasi dalam budidaya kentang dapat mengurangi inefisiensi teknis petani kentang di Dedza, Malawi Tengah dan signifikan pada σ = 0.05.

Petani dengan status lahan sebagai hak milik diharapkan dapat mengurangi inefisiensi teknis. Sinaga (2011) menemukan bahwa petani kentang di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai hak milik atas lahan yang digarapnya lebih efisien secara teknis dan signifikan pada α = 0.05 daripada petani kentang lainnya yang mempunyai hak sewa. Hal yang sama juga ditemukan Sinaga (2011) di tempat yang sama pada petani tomat. Tetapi hasil penelitian Nahraeni (2012) menyatakan bahwa status hak milik atas tanah yang ditanami kentang oleh petani di Provinsi Jawa Barat ternyata meningkatkan inefisiensi

teknis dan signifikan pada α = 0.1. Hal yang sama juga ditemukan oleh Bakhsh

dan Hassan (2005) yang menyatakan bahwa status hak milik atas tanah yang ditanami wortel oleh petani di Pakistan ternyata meningkatkan inefisiensi teknis

dan signifikan pada α = 0 karena para penyewa cenderung menggunakan

sumberdaya yang tersedia secara terbatas dan lebih efisien dengan teknologi yang ada sebab kenyataan menunjukkan kehidupan para petani tergantung pada produksi tanaman.

Penyuluhan memainkan peran layanan dukungan dalam produksi pertanian. Penyuluhan diasumsikan menolong difusi dan adopsi teknologi baru. Di samping itu, penyuluhan menawarkan bimbingan kepada petani yang terkait dengan penggunaan sumberdaya seperti pupuk dan menyediakan konsultasi (Bakhsh dan Hassan 2005). Bakhsh et al. (2006) menemukan bahwa kontak dengan PPL mengurangi inefisiensi teknis petani kentang di Punjab, Pakistan secara signifikan pada α = 0.05; petani kentang di Okara dan Kasur Pakistan secara signifikan pada α = 0.0 1 (Abedullah et al. 2006); petani kentang di Munshiganj, Bogra, Jessor, Bangladesh secara signifikan pada α = 0.05 (Hossain

et al. 2008); petani kentang di Nyandarua, Wilayah Utara Kenya secara signifikan pada α = 0.05 (Nyagaka et al. 2010); Nahraeni (2012) juga menemukan semakin tinggi frekuensi penyuluhan dalam usahatani kentang semakin mengurangi inefisiensi teknis petani kentang di Provinsi Jawa Barat secara signifikan pada α = 0.05. Abedullah et al. (2006) menyatakan bahwa konsultasi dengan penyuluh pertanian menambah secara nyata pada perbaikan efisiensi teknis dan secara tidak langsung menyatakan bahwa Departemen Penyuluhan Pertanian harus menjadi variabel utama yang ditargetkan dari sudut pandang kebijakan untuk memperbaiki efisiensi teknis dalam produksi kentang di Okara dan Kasur, Pakistan.

Kredit merupakan salah satu sumber modal kerja dalam usahatani. Seorang petani yang mempunyai akses terhadap sumber-sumber kredit akan lebih mudah membiayai usahataninya dan lebih mampu membeli input-input usahatani yang dibutuhkan. Selain itu dengan modal yang diperoleh melalui kredit akan mempengaruhi petani untuk menyewa atau membeli input-input produksi yang lebih bermutu. Nyagaka et al. (2010) menyatakan bahwa akses kepada kredit memungkinkan petani untuk meningkatkan efisiensi dengan menanggulangi keterbatasan likuiditas yang dapat mempengaruhi kemampuan petani untuk membeli dan menggunakan input dan mengimplementasikan keputusan-keputusan manajemen usahatani tepat waktu sehingga meningkatkan efisiensi. Nyagaka et al. (2010) menyatakan bahwa akses kredit dapat mengurangi inefisiensi teknis


(29)

0.01. Tetapi Nahraeni (2012) menemukan bahwa akses kredit ke lembaga formal meningkatkan inefisiensi teknis petani kentang di Provinsi Jawa Barat secara

signifikan pada α = 0.1 karena selain mengakses kredit ke lembaga formal, petani juga terikat kredit ke lembaga non formal dengan bunga yang lebih tinggi sehingga membebani petani yang pada akhirnya mengurangi kemampuan petani untuk membeli input; dan Bogale dan Bogale (2005) menemukan bahwa akses kredit meningkatkan inefisiensi teknis petani kentang dengan skema irigasi tradisional di Awi Zone, Ethiopia secara signifikan pada α = 0.01 karena petani yang mendapat kredit menggunakannya untuk tujuan lain.

Selama ini, penelitian tentang pengaruh kemitraan terhadap inefisiensi usahatani kentang belum pernah dilakukan, akan tetapi hasil penelitian Husyairi (2012) menunjukkan kemitraan antara petani tebu unit usaha Bungamayang dengan PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Lampung berpengaruh mengurangi inefisiensi teknis walaupun tidak nyata. Saptana (2011) juga menemukan bahwa keanggotaan kemitraan usaha mengurangi inefisiensi petani cabai merah besar dan cabai merah keriting di Provinsi Jawa Tengah walaupun tidak signifikan.

Efisiensi alokatif dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi alokatif

Dari aspek efisiensi alokatif, rata-rata efisiensi alokatif petani kentang biasa di Nyandarua, Kenya adalah 0.57 (Obare et al. 2010) menunjukkan bahwa rata-rata petani kentang di negara tersebut harus menghemat biaya tunai usahatani sebesar (1-0.57) atau 43 persen jika para petani mampu beroperasi pada tingkat efisiensi alokatif penuh atau 100 persen. Di Indonesia, rata-rata efisiensi alokatif petani kentang di Kabupaten Solok Sumatera Barat adalah 0.60 (Tanjung 2003) dan di Provinsi Jawa Barat adalah 0.47 (Nahraeni 2012), Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata petani kentang di di Kabupaten Solok, Sumatera Barat dan di Provinsi Jawa Barat belum efisien secara alokatif sehingga faktor-faktor penentu inefisiensi alokatif perlu mendapat perhatian.

Umur mempunyai pengaruh negatif terhadap inefisiensi alokatif karena petani yang lebih tua telah mengembangkan praktik dan kebiasaan manajerial untuk meningkatkan kemampuan para petani dalam mengambil pilihan-pilihan input dalam suatu cara yang meminimisasi biaya (Asogwa et al. 2011). Nahraeni (2012) menemukan bahwa pertambahan umur petani mengurangi inefisiensi

alokatif petani kentang di Provinsi Jawa Barat dan signifikan pada α = 0.05.

Pengalaman usahatani petani juga diduga berpengaruh mengurangi inefisiensi alokatif karena kombinasi biaya yang meminimumkan input dan penerimaan yang memaksimumkan output membutuhkan informasi tentang teknologi dan harga pasar. Semakin berpengalaman seorang petani dalam suatu usahatani semakin baik kemampuan petani tersebut sebagai seorang pengambil keputusan untuk mendapatkan dan memproses informasi tentang harga dan teknologi (Asogwa et al. 2011).

Tingkat pendidikan petani memiliki pengaruh mengurangi inefisiensi alokatif karena pendidikan meningkatkan kemampuan petani sebagai pengambil keputusan untuk mendapatkan dan memproses informasi tentang harga dan teknologi yang pada gilirannya meningkatkan efisiensi alokatif petani (Asogwa et al. 2011). Nahraeni (2012) menemukan bahwa semakin lama pendidikan formal


(30)

yang pernah diikuti oleh petani kentang semakin mengurangi inefisiesni alokatif

petani kentang di Provinsi Jawa Barat dan signifikan pada α = 0.2.

Ukuran keluarga juga diduga berpengaruh mengurangi inefisiensi alokatif karena semakin besar ukuran keluarga semakin berkurang tenaga kerja yang disewa yang akan digunakan dalam produksi output dan semakin mengurangi biaya produksi (Asogwa et al. 2011). Paudel dan Matsuoka (2009) menemukan bahwa semakin besar ukuran keluarga petani jagung di Chitwan, Nepal, semakin mengurangi inefisiensi biaya walaupun tidak signifikan. Koefisien negatif untuk ukuran keluarga menyatakan secara tidak langsung bahwa efisiensi alokatif meningkat dengan adanya peningkatan ukuran keluarga. Hal ini terjadi diduga karena para petani dengan jumlah anggota keluarga yang relatif besar mengandalkan tenaga kerja keluarga dan sebagai akibatnya mengurangi inefisiensi harga bagi produksi kentang. Tetapi Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997) menemukan bahwa semakin besar ukuran keluarga petani skala kecil di Dajabon, Republik Dominika, semakin meningkatkan inefisensi alokatif secara signifikan

pada α = 0.1.

Obare et al. (2010) menyatakan bahwa keanggotaan petani dalam kelompok tani dapat mengurangi inefisiensi alokatif petani kentang di Nyandarua,

wilayah Utara Kenya secara signifikan pada α = 0.01. Tetapi Nahraeni (2012)

menemukan bahwa keanggotaan petani dalam kelompok tani ternyata meningkatkan inefisiensi alokatif petani kentang di Provinsi Jawa Barat walaupun tidak signifikan. Petani yang tergabung dalam kelompok tani akan memiliki akses yang lebih baik kepada informasi seperti informasi teknologi, informasi pasar, dan program-program pemerintah sehingga melalui informasi teknologi dan informasi pasar yang diketahuinya dapat membantunya mengoptimalkan pengalokasian sumberdaya lebih efisien.

Nahraeni (2012) menemukan bahwa hak milik atas lahan kentang yang diusahakan petani kentang di Provinsi Jawa Barat ternyata mengurangi inefisiensi

alokatif secara signifikan pada α = 0.01. Koefisien negatif menunjukkan bahwa

petani yang mempunyai hak milik atas lahan yang dibudidayakan dengan kentang lebih mampu meminimumkan biaya untuk mencapai output pada teknologi sekarang. Dengan kata lain petani yang mempunyai hak milik lebih mampu mengkombinasikan inputnya pada tingkat minimum daripada petani yang mempunyai hak sewa jika terjadi perubahan harga input sehingga para petani lebih mendekati pada produksi frontiernya (Nahraeni 2012).

Nchare (2007) dikutip dalam Obare et al. (2010) menyatakan bahwa kontak teratur dengan PPL memfasilitasi penggunaan praktis teknik-teknik modern dan adopsi praktik produksi agronomi yang telah diperbaiki. Pelayanan penyuluhan tentang pola-pola harga produk tanaman, varietas benih, pengelolaan tanaman dan pemasaran dapat meningkatkan kemampuan petani untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdaya. Obare et al. (2010) menyatakan kontak dengan agen penyuluhan yang dilakukan oleh petani kentang di Nyandarua, wilayah Utara Kenya mengurangi inefisiensi alokatif secara signifikan pada α = 0.05. Tetapi Nahraeni (2012) menemukan bahwa semakin tinggi frekuensi penyuluhan yang diikuti oleh petani kentang di Provinsi Jawa Barat, semakin meningkatkan inefisiensi alokatif walaupun tidak signifikan.

Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997) menemukan bahwa kontrak dengan perusahaan pertanian (kemitraan) yang dilakukan petani dengan skala usahatani


(31)

kecil di Dajabon, Republik Dominika menurunkan inefisiensi alokatif secara signifikan pada α = 0.01. Glover (1984) menyatakan bahwa kontrak pertanian dapat sangat bernilai bagi usahatani skala kecil, karena dapat memfasilitasi akses ke pasar dan meningkatkan pendapatan dan tenaga kerja para petani. Tambahan pula, kontrak produksi dengan perusahaan agribisnis memberi para petani suatu jaminan pasar bagi hasil tanaman yang diproduksinya dan juga beberapa bantuan teknis. Selain itu, kontrak pertanian dapat meningkatkan efisiensi alokatif atau efisiensi harga dan juga efisiensi ekonomi dengan mengurangi risiko (Oberg 1985) dikutip dalam Bravo-Ureta-Pinheiro (1997).

Efisiensi ekonomi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi ekonomi

Dari aspek efisiensi ekonomi, rata-rata efisiensi ekonomi petani kentang di Kabupaten Solok, Sumatera Barat adalah 0.44 (Tanjung 2003) dan di Provinsi Jawa Barat adalah 0.38 (Nahraeni 2012). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata petani kentang di di Kabupaten Solok, Sumatera Barat dan di Provinsi Jawa Barat belum efisien secara ekonomi sehingga faktor-faktor penentu inefisiensi ekonomi juga perlu mendapat perhatian.

Bifarin et al. (2010) menyatakan bahwa semakin tinggi umur petani pisang di Ondo State, Nigeria, semakin meningkatkan inefisiensi ekonomi secara signifikan pada α = 0.1; dan Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997) juga menyatakan bahwa petani dengan skala usahatani kecil yang berumur di atas 25 tahun ditemukan mengalami peningkatan inefisiensi ekonomi dan signifikan pada α = 0.05 daripada petani yang berumur 25 tahun ke bawah di Dajabon Republik Dominika.

Nahraeni (2012) menyatakan semakin tinggi pendidikan formal petani kentang Provinsi Jawa Barat semakin mengurangi inefisiensi ekonomi dan signifikan pada α = 0.1. Nahraeni (2012) menyatakan keanggotaan petani kentang di Provinsi Jawa Barat dalam kelompok tani dapat mengurangi inefisiensi ekonomi walaupun tidak signifikan. Nahraeni (2012) menyatakan status milik oleh petani atas lahan kentang yang ditanaminya dengan kentang di Provinsi Jawa

Barat mengurangi inefisiensi ekonomi dan signifikan pada α = 0.01.

Bifarin et al. (2010) menemukan bahwa semakin tinggi kunjungan yang dilakukan oleh agen penyuluhan kepada petani pisang di Ondo State, Nigeria,

semakin meningkatkan inefisiensi ekonomi dan signifikan pada α = 0.1. Nahraeni

(2012) menyatakan semakin tinggi frekuensi penyuluhan yang diikuti oleh petani di kentang Provinsi Jawa Barat semakin meningkatkan inefisiensi ekonomi walaupun tidak signifikan.

Dari berbagai kajian tentang efisiensi petani di atas juga ditemukan bahwa umumnya fungsi yang digunakan dalam menduga produksi usahatani adalah fungsi produksi stochastic frontier dalam bentuk fungsi produksi Cobb-Douglass dan metode pendugaan efisiensi teknis dan inefisiensi teknis adalah maximum likelihood estimation (MLE).

Analisis Pendapatan Usahatani Kentang

Dalimunte (1989) dan Tarigan (1997) menemukan bahwa skala produksi usahatani kentang berada pada skala usaha menurun (decreasing return to scale)


(32)

sedangkan Apriyanto (2005) menyatakan skala produksi usahatani kentang berada pada skala usaha tetap (constant return to scale).

Alexander (1999) menemukan bahwa R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total usahatani kentang di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara masing-masing sebesar 2.00; R/C rasio atas biaya tunai petani Kentang di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara adalah 1.59 (Tarigan, 1997); R/C rasio atas biaya tunai petani Kentang di Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan adalah 1.70 (Kasmawati dkk 2011); dan R/C rasio atas biaya tunai usahatani kentang lahan sewa di Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat adalah 1.30 (Apriyanto 2005);.

R/C rasio atas biaya total usahatani kentang di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat untuk lahan sempit adalah 2.32 dan untuk lahan luas adalah 2.22 (Adriani 2004); R/C atas biaya total usahatani kentang di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara sebesar 1.59; R/C rasio atas biaya total usahatani kentang lahan sewa di Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat adalah 1.07 (Apriyanto 2005); R/C atas biaya total usahatani kentang yang lebih tinggi adalah pada petani yang mengakses kredit dari bank dibandingkan dengan dari CU dan toko-toko pertanian (Sinaga 2011).

Umumnya, R/C rasio dari usahatani kentang adalah relatif rendah karena produktivitas yang rendah, harga kentang yang relatif rendah. Produktivitas yang rendah diduga karena bibit kentang yang digunakan adalah bibit lokal dan merupakan sisa dari panen sebelumnya. Perbedaan pendapatan usahatani karena petani bermitra dalam memperoleh modal kerja misalnya bantuan bibit belum pernah diteliti padahal komposisi biaya untuk bibit mencapai 72.80 persen (Tarigan 1997). Suatu penelitian yang dilakukan di Magelang, Jawa Tengah menyatakan bahwa keuntungan usahatani kentang varietas Atlantik (bibit unggul) adalah 63.5 juta rupiah/ha jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bibit lokal Granola yang merupakan bibit lokal sebesar 35 juta rupiah/ha (Parwadi 2010).

Kerangka Pemikiran

Kemitraan dalam usahatani antara perusahaan mitra dan petani dapat mengurangi inefisiensi baik inefisiensi teknis (Bravo-Ureta dan Pinheiro 1997; Saptana 2011; dan Husyairi 2012), inefisiensi alokatif (Bravo-Ureta dan Pinheiro 1997), dan inefisiensi ekonomi. Hubungan antara inefisiensi dan efisiensi adalah terbalik. Dengan kata lain, jika inefisiensi berkurang, efisiensi akan meningkat sehingga jika kemitraan dapat mengurangi inefisieni teknis, alokatif, dan ekonomi maka efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi petani akan meningkat.

Efisensi teknis akan meningkat jika petani yang bermitra mendapat bantuan teknis dalam usahatani dari perusahaan mitra sehingga petani dapat mengalokasikan input paling minimum untuk menghasilkan output tertentu. Abedullah et al. (2006) menyatakan bahwa jika efisiensi teknis meningkat, produksi kentang dapat ditingkatkan sehingga penerimaan petani dapat meningkat. Dengan asumsi harga output yang tetap dan jumlah biaya usahatani yang tetap, penerimaan yang meningkat dapat meningkatkan keuntungan atau pendapatan petani kentang.


(33)

Kemitraan dalam usahatani kentang juga dapat meningkatkan efisiensi alokatif. Petani yang bermitra mendapat jaminan harga jual output pada tingkat tertentu dari perusahaan mitra pada awal penanaman. Jika harga output telah diketahui oleh petani pada awal penanaman, petani dapat mengalokasikan biaya yang paling minimum untuk menghasilan output tertentu sehingga keuntungan maksimum dapat tercapai. Efek gabungan jika efisiensi teknis dan alokatif meningkat adalah meningkatnya efisiensi ekonomi. Peningkatan efisiensi ekonomi dapat meningkatkan pendapatan petani kentang. Meningkatnya pendapatan melalui kenaikan efisiensi ekonomi terjadi karena meningkatnya kemampuan petani dalam pengalokasian input dan biaya yang minimum untuk menghasilkan output tertentu.

Seorang produsen mempunyai tujuan dalam usahatani yang dijalankannya untuk meningkatkan produksi dan memperoleh keuntungan. Dalam efisiensi, asumsi yang digunakan adalah mencapai keuntungan maksimum dengan biaya yang serendah-rendahnya (minimum). Kedua tujuan ini adalah penentu bagi seorang petani atau produsen untuk mengambil keputusan dalam usahataninya. Di dalam keputusan yang diambilnya, seorang petani yang rasional akan bersedia meningkatkan input selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama dengan atau lebih besar dari tambahan biaya yang diakibatkan oleh tambahan input itu. Perbandingan output dengan input yang digunakan dalam suatu usahatani dikenal dengan istilah efisiensi.

Dalam membahas efisiensi, ada dua konsep fungsi produksi yang perlu diperjelas perbedaannya. Kedua konsep fungsi produksi ini adalah fungsi produksi batas (frontier production function) dan fungsi produksi rata-rata (average production functon). King (1980) yang dikutip dalam Harianto (1989) menyatakan bahwa fungsi produksi batas merupakan pencerminan produk maksimum yang dapat diperoleh dari kombinasi faktor produksi yang tertentu pada tingkat teknologi tertentu.

Berdasarkan pengertian fungsi produksi batas dari Gambar 1A, dikatakan bahwa usahatani yang berproduksi di sepanjang kurva berarti telah berproduksi secara efisien, karena untuk sejumlah kombinasi input tertentu dapat diperoleh output yang maksimum, namun dalam pengertian produksi rata-rata pada Gambar 1b, usahatani atau perusahaan yang berproduksi di sepanjang kurva belum tentu yang paling efisien.

Sumber: King (1980) dalam Harianto (1989)


(1)

72 Nandang 0.7 17500 15000 2500 86 14 4800 2500 4471 78250000 72000000 6250000 92 8 43 Wawan 0.72 11960 11000 960 92 8 5000 12000 5562 66520000 55000000 11520000 83 17 74 Andang 0.96 21500 17000 4500 79 21 6400 12000 7572 162800000 108800000 54000000 67 33 70 Haji Ajang 0.98 32000 28000 4000 88 13 4100 6000 4338 138800000 114800000 24000000 83 17 35 Ade Yayan 1 21000 20000 1000 95 5 4000 2000 3905 82000000 80000000 2000000 98 2 37 Dindin 1 19000 13000 6000 68 32 5500 4000 5026 95500000 71500000 24000000 75 25 53 Pak Abang 1 15000 10000 5000 67 33 7000 8000 7333 110000000 70000000 40000000 64 36 59 Asep Wakin 1 18000 9000 9000 50 50 5750 9000 7375 132750000 51750000 81000000 39 61 62 Agus Sukalila 1 18000 12000 6000 67 33 4000 9000 5667 102000000 48000000 54000000 47 53 65 Nanang 1 17400 13920 3480 80 20 5500 9000 6200 107880000 76560000 31320000 71 29 77 Opik 1 24000 10000 14000 42 58 6000 13000 10083 242000000 60000000 182000000 25 75 78 Abdul 1 21000 16000 5000 76 24 6200 12000 7581 159200000 99200000 60000000 62 38 42 Jujun Juansah 1.12 27000 24000 3000 89 11 5500 15000 6556 177000000 132000000 45000000 75 25 57 Udung Suarja 1.4 30000 20000 10000 67 33 5000 3000 4333 130000000 100000000 30000000 77 23 75 Lili 2 30000 20000 10000 67 33 6300 13000 8533 256000000 126000000 130000000 49 51 80 Haji Adang 14 266000 231000 35000 87 13 4000 2000 3737 994000000 924000000 70000000 93 7 Subtotal 32.98 651860 521920 129940 3413500000 2477910000 935590000 Rata-rata 1.57 80 20 4748 7200 5237 103502122 75133717 28368405 73 27 Total 39.56 791700 628320 163380 4272470000 3066860000 1205610000 Rata-rata 0.82 79 21 4881 7379 5397 108005208 77528186 30477021 72 28


(2)

Strata No Nama Responden

Luas Lahan

Produksi yang dijual ke Share Produksi ke

Harga Kentang yang dijual ke

Penerimaan Share Penerimaan Total pasar lainnya Pasar lainnya Pasar lainnya

Rata-rata

Total Dari Pasar Dari lainnya Dari Pasar

lainnya 72 Nandang 0.7 17500 15000 2500 86 14 4800 2500 4471 78250000 72000000 6250000 92 8 III 43 Wawan 0.72 11960 11000 960 92 8 5000 12000 5562 66520000 55000000 11520000 83 17 74 Andang 0.96 21500 17000 4500 79 21 6400 12000 7572 162800000 108800000 54000000 67 33 70 Haji Ajang 0.98 32000 28000 4000 88 13 4100 6000 4338 138800000 114800000 24000000 83 17 35 Ade Yayan 1 21000 20000 1000 95 5 4000 2000 3905 82000000 80000000 2000000 98 2 37 Dindin 1 19000 13000 6000 68 32 5500 4000 5026 95500000 71500000 24000000 75 25 53 Pak Abang 1 15000 10000 5000 67 33 7000 8000 7333 110000000 70000000 40000000 64 36 59 Asep Wakin 1 18000 9000 9000 50 50 5750 9000 7375 132750000 51750000 81000000 39 61 62 Agus Sukalila 1 18000 12000 6000 67 33 4000 9000 5667 102000000 48000000 54000000 47 53 65 Nanang 1 17400 13920 3480 80 20 5500 9000 6200 107880000 76560000 31320000 71 29 77 Opik 1 24000 10000 14000 42 58 6000 13000 10083 242000000 60000000 182000000 25 75 78 Abdul 1 21000 16000 5000 76 24 6200 12000 7581 159200000 99200000 60000000 62 38 42 Jujun Juansah 1.12 27000 24000 3000 89 11 5500 15000 6556 177000000 132000000 45000000 75 25 57 Udung Suarja 1.4 30000 20000 10000 67 33 5000 3000 4333 130000000 100000000 30000000 77 23 75 Lili 2 30000 20000 10000 67 33 6300 13000 8533 256000000 126000000 130000000 49 51 80 Haji Adang 14 266000 231000 35000 87 13 4000 2000 3737 994000000 924000000 70000000 93 7 Subtotal 32.98 651860 521920 129940 3413500000 2477910000 935590000 Rata-rata 1.57 80 20 4748 7200 5237 103502122 75133717 28368405 73 27 Total 39.56 791700 628320 163380 4272470000 3066860000 1205610000 Rata-rata 0.82 79 21 4881 7379 5397 108005208 77528186 30477021 72 28


(3)

Lampiran 32 Share produksi dan penerimaan usahatani seluruh petani

Str

ata

No Nama responden

Luas lahan

Produksi yang dijual ke Share produksi ke

Harga kentang yang dijual ke

Penerimaan Share penerimaan Total IFM/Pa

sar

lainnya IFM/ Pasar

lainn ya

IFM/Pa sar

lainnya Rata-rata

Total Dari IFM/pasar Dari lain nya Dari IFM/pasar lain nya I

56 Asep S 0.042 1300 1000 300 77 23 6500 12500 7885 10250000 6500000 63 3750000 37 27 Undang K.S 0.064 1340 1200 140 90 10 4900 6000 5015 6720000 5880000 88 840000 13 12 Wahyu 0.077 1400 1300 100 93 7 4900 3000 4764 6670000 6370000 96 300000 4 32 Ade Yadi 0.08 1200 1100 100 92 8 4900 10000 5325 6390000 5390000 84 1000000 16 20 Aris 0.112 2450 2300 150 94 6 4900 6000 4967 12170000 11270000 93 900000 7 61 Alit Saman 0.112 2600 1800 800 69 31 5000 4000 4692 12200000 9000000 74 3200000 26 11 Alit 0.14 4400 4300 100 98 2 4900 3000 4857 21370000 21070000 99 300000 1 18 Ade Rubini 0.14 2625 2500 125 95 5 4900 6000 4952 13000000 12250000 94 750000 6 24 Yayat 0.14 1420 1300 120 92 8 4900 2000 4655 6610000 6370000 96 240000 4 36 Ajang K. 0.14 3500 3000 500 86 14 5000 15000 6429 22500000 15000000 67 7500000 33 46 E. Mudrosid 0.14 3300 2500 800 76 24 6700 10000 7500 24750000 16750000 68 8000000 32 49 Agus R 0.14 2500 1500 1000 60 40 5000 10000 7000 17500000 7500000 43 10000000 57 51 Dede A 0.14 2500 2000 500 80 20 6200 16000 8160 20400000 12400000 61 8000000 39 68 Pendi 0.14 4000 3500 500 88 13 6000 18000 7500 30000000 21000000 70 9000000 30 9 Engkos 0.16 2200 2000 200 91 9 4900 2000 4636 10200000 9800000 96 400000 4 28 Tasman 0.16 2300 2000 300 87 13 4900 9000 5435 12500000 9800000 78 2700000 22 30 Aban 0.16 3000 2700 300 90 10 4900 8000 5210 15630000 13230000 85 2400000 15 38 Devi 0.16 4000 3000 1000 75 25 5000 15000 7500 30000000 15000000 50 15000000 50 60 Nurdin 0.16 4000 2500 1500 63 38 5000 6000 5375 21500000 12500000 58 9000000 42 67 Ibad 0.16 3200 2500 700 78 22 4000 8000 4875 15600000 10000000 64 5600000 36 69 Haji Adis 0.16 2500 2000 500 80 20 5000 8000 5600 14000000 10000000 71 4000000 29 6 Ano 0.168 2900 2500 400 86 14 4900 2000 4500 13050000 12250000 94 800000 6 31 Yayan 0.168 3400 3150 250 93 7 4900 8000 5128 17435000 15435000 89 2000000 11 7 Undang Iha 0.21 3040 3000 40 99 1 4900 2200 4864 14788000 14700000 99 88000 1 10 Andi 0.21 6300 6000 300 95 5 4900 2000 4762 30000000 29400000 98 600000 2 39 Endang 0.21 6900 6000 900 87 13 5400 4000 5217 36000000 32400000 90 3600000 10 40 Ujang M 0.21 4000 3500 500 88 13 5000 5000 5000 20000000 17500000 88 2500000 13 44 Anas S 0.21 3700 3000 700 81 19 5300 10000 6189 22900000 15900000 69 7000000 31 48 Asum 0.224 6700 5000 1700 75 25 7400 4000 6537 43800000 37000000 84 6800000 16 16 Koko 0.24 3100 2800 300 90 10 4900 2000 4619 14320000 13720000 96 600000 4 29 Ayi S 0.24 2700 2500 200 93 7 4900 5000 4907 13250000 12250000 92 1000000 8 Subtotal 4.82 98475 83450 15025 555503000 437635000 117868000 Rata-rata 0.16 85 15 5244 7845 5641 115321362 90852190 79 24469172 21


(4)

Str ata

No Nama Responden

Luas Lahan

Produksi yang dijual ke Share Produksi ke

Harga Kentang yang dijual ke

Penerimaan Share Penerimaan Total IFM/Pa

sar

lainnya IFM/ Pasar

lainn ya

IFM/Pa sar

lainnya Rata-rata

Total Dari IFM/Pasar

Dari lain nya

Dari IFM/Pasar

lain nya II

2 Cucuk K 0.28 4300 4000 300 93 7 4900 2000 4698 20200000 19600000 97 600000 3 4 Aran K 0.28 6700 6200 500 93 7 4900 2000 4684 31380000 30380000 97 1000000 3 13 Dikdik M 0.28 5100 4800 300 94 6 4900 2000 4729 24120000 23520000 98 600000 2 22 Juju 0.28 2000 1500 500 75 25 4900 3000 4425 8850000 7350000 83 1500000 17 33 Yatiman 0.28 7400 6000 1400 81 19 3100 2000 2892 21400000 18600000 87 2800000 13 45 Karim 0.28 9000 7000 2000 78 22 5800 7500 6178 55600000 40600000 73 15000000 27 52 Pak Ayar 0.28 5000 4500 500 90 10 6000 5000 5900 29500000 27000000 92 2500000 8 54 Asep S. H 0.28 8000 6000 2000 75 25 7000 7000 7000 56000000 42000000 75 14000000 25 73 Ana R 0.28 4000 3500 500 88 13 5800 12000 6575 26300000 20300000 77 6000000 23 15 Mamad 0.32 4600 4000 600 87 13 4900 7000 5174 23800000 19600000 82 4200000 18 63 Herman 0.32 8000 6500 1500 81 19 6800 10000 7400 59200000 44200000 75 15000000 25 47 Deni Z 0.35 7000 5000 2000 71 29 5200 3500 4714 33000000 26000000 79 7000000 21 8 Cahriman 0.4 5000 4100 900 82 18 4900 6000 5098 25490000 20090000 79 5400000 21 19 Cecep H 0.42 4547 3847 700 85 15 4900 6000 5069 23050300 18850300 82 4200000 18 41 Atam 0.42 7500 6000 1500 80 20 5700 5700 5700 42750000 34200000 80 8550000 20 50 Dase 0.42 6000 5500 500 92 8 4000 11000 4583 27500000 22000000 80 5500000 20 58 Ayep 0.42 5000 3000 2000 60 40 4000 9000 6000 30000000 12000000 40 18000000 60 64 Iman 0.42 9000 6000 3000 67 33 6000 8000 6667 60000000 36000000 60 24000000 40 17 Ujang S. 0.48 4200 4000 200 95 5 4900 2000 4762 20000000 19600000 98 400000 2 26 Budi P 0.48 8400 8000 400 95 5 4900 2000 4762 40000000 39200000 98 800000 2 55 Ade J 0.48 9240 4600 4640 50 50 6000 10500 8260 76320000 27600000 36 48720000 64 3 Asep W 0.5 5000 4000 1000 80 20 4900 3000 4520 22600000 19600000 87 3000000 13 Subtotal 7.95 134987 108047 26940 757060300 568290300 188770000 Rata-rata 0.36 80 20 5260 7007 5608 95227711 71483057 75 23744654 25


(5)

Lampiran 32 Lanjutan

Str ata

No Nama Responden

Luas Lahan

Produksi yang dijual ke Share Produksi ke

Harga Kentang yang dijual ke

Penerimaan Share Penerimaan Total IFM/Pa

sar

lainnya IFM/ Pasar

lainn ya

IFM/Pa sar

lainnya Rata-rata

Total Dari IFM/Pasar Dari lain nya Dari IFM/Pasar lain nya III

66 Dadi 0.56 10000 7000 3000 70 30 5700 7000 6090 60900000 39900000 66 21000000 34 79 Agus 0.56 12000 10000 2000 83 17 6000 10000 6667 80000000 60000000 75 20000000 25 21 Ayin K 0.64 4800 4000 800 83 17 4900 2500 4500 21600000 19600000 91 2000000 9 34 Asep W 0.64 14000 12000 2000 86 14 6200 3000 5743 80400000 74400000 93 6000000 7 76 Adis 0.64 16000 15000 1000 94 6 5200 13500 5719 91500000 78000000 85 13500000 15 71 Acet Iing 0.7 10500 8000 2500 76 24 4500 12000 6286 66000000 36000000 55 30000000 45 72 Nandang 0.7 17500 15000 2500 86 14 4800 2500 4471 78250000 72000000 92 6250000 8 43 Wawan 0.72 11960 11000 960 92 8 5000 12000 5562 66520000 55000000 83 11520000 17 25 Asep T 0.8 13000 12000 1000 92 8 4900 6000 4985 64800000 58800000 91 6000000 9 74 Andang 0.96 21500 17000 4500 79 21 6400 12000 7572 162800000 108800000 67 54000000 33 70 Haji Ajang 0.98 32000 28000 4000 88 13 4100 6000 4338 138800000 114800000 83 24000000 17 23 Tisno 1 15000 13000 2000 87 13 4900 6000 5047 75700000 63700000 84 12000000 16 35 Ade Yayan 1 21000 20000 1000 95 5 4000 2000 3905 82000000 80000000 98 2000000 2 37 Dindin 1 19000 13000 6000 68 32 5500 4000 5026 95500000 71500000 75 24000000 25 53 Pak Abang 1 15000 10000 5000 67 33 7000 8000 7333 110000000 70000000 64 40000000 36 59 Asep W 1 18000 9000 9000 50 50 5750 9000 7375 132750000 51750000 39 81000000 61 62 Agus S 1 18000 12000 6000 67 33 4000 9000 5667 102000000 48000000 47 54000000 53 65 Nanang 1 17400 13920 3480 80 20 5500 9000 6200 107880000 76560000 71 31320000 29 77 Opik 1 24000 10000 14000 42 58 6000 13000 10083 242000000 60000000 25 182000000 75 78 Abdul 1 21000 16000 5000 76 24 6200 12000 7581 159200000 99200000 62 60000000 38 42 Jujun J 1.12 27000 24000 3000 89 11 5500 15000 6556 177000000 132000000 75 45000000 25 5 Haji K 1.28 23000 21000 2000 91 9 4900 3000 4735 108900000 102900000 94 6000000 6 57 Udung S 1.4 30000 20000 10000 67 33 5000 3000 4333 130000000 100000000 77 30000000 23 1 Fitri H. A 2 43000 40000 3000 93 7 4900 5000 4907 211000000 196000000 93 15000000 7 75 Lili 2 30000 20000 10000 67 33 6300 13000 8533 256000000 126000000 49 130000000 51 14 Dede S 4 66000 60000 6000 91 9 4900 4000 4818 318000000 294000000 92 24000000 8 80 Haji Adang 14 266000 231000 35000 87 13 4000 2000 3737 994000000 924000000 93 70000000 7 Subtotal 42.7 816660 671920 144740 142050 203500 4213500000 3212910000 1000590000 Rata-rata 1.58 82 18 4782 6913 5159 98676815 75243794 76 24 Total 55.47 1050122 863417 186705 5526063300 4218835300 1307228000 Rata-rata 0.69 82 18 4886 7002 5262 99627946 76060275 76 23567671 24


(6)

Penulis dilahirkan sebagai anak pertama dari enam bersaudara pada tanggal

20 Maret 1974 di Desa Mahera, Kecamatan Sabu Timur, Kabupaten Sabu-Raijua,

Provinsi Nusa Tenggara Timur dari pasangan Bapak Nikodemus Ratu Rihi (+) dan

Ibu Ruth Amelia Ido.

Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan penulis pada tahun 1987 di SD GMIT

Bolou II, Desa Limaggu Kecamatan Sabu Timur. Pada tahun 1990 penulis

menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di SMPN Timu, Kecamatan Sabu Timur

Kabupaten Kupang. Pada tahun 1993 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas

di SMAN I Kupang. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian UNDANA melalui jalur Penelusuran Minat dan

Kemampuan (PMDK) dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2009 penulis

memperoleh Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Kementerian Pendidikan

Nasional Republik Indonesia untuk melanjutkan studi program Magister pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Tanaman Pangan dan

Hortikultura Politeknik Pertanian Negeri (Politani) Kupang sejak tahun 2002 hingga

sekarang.