Konservasi In Vitro Plasma Nutfah Pisang (Musa Spp.) Secara Pertumbuhan Minimal Dan Kriopreservasi
KONSERVASI IN VITRO PLASMA NUTFAH PISANG
(Musa spp.) SECARA PERTUMBUHAN MINIMAL DAN
KRIOPRESERVASI
DEA SYLVA LISNANDAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN
MENGENAI
DAN
BOGOR TESIS
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN
HAK CIPTA*
2015
SUMBER
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konservasi In Vitro
Plasma Nutfah Pisang (Musa spp.) secara Pertumbuhan Minimal dan
Kriopreservasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Dea Sylva Lisnandar
NIM A25320071
RINGKASAN
DEA SYLVA LISNANDAR. Konservasi In Vitro Plasma Nutfah Pisang (Musa
spp.) secara Pertumbuhan Minimal dan Kriopreservasi. Dibimbing oleh DARDA
EFENDI dan IKA ROOSTIKA.
Penyimpanan plasma nutfah pisang di lapang mempunyai risiko hilangnya
genotipe tertentu karena cekaman biotik dan abiotik. Penyimpanan in vitro dengan
kriopreservasi adalah salah satu cara alternatif untuk melestarikan plasma nutfah
pisang. Dengan demikian, metode regenerasi perlu dioptimalkan sebelum
menerapkan metode kriopreservasi. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Kultur Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian Bogor (BB Biogen).
Penelitian ini mencakup empat percobaan utama yaitu, (1) organogenesis
aksis bunga pisang bergenom AA, BB, AAA, AAB dan ABB, (2) kultur embrio
zigotik pisang Breviformis, Tomentosa dan Zebrina, (3) enkapsulasi embrio zigotik
dengan penggunaan manitol, (4) penyimpanan secara kriopreservasi. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk (1) mendapatkan formulasi terbaik untuk
organogenesis aksis bunga pisang (AA, BB, AAB dan ABB), (2) mengetahui
pengaruh durasi simpan terhadap perkecambahan pisang liar (AA) Breviformis,
Tomentosa dan Zebrina, (3) untuk mengetahui efektivitas manitol untuk
pertumbuhan minimal, (4) untuk mengetahui pengaruh durasi prakultur terhadap
daya hidup dan regenerasi scalp dari pisang Kosta yang dikriopreservasi secara
pembekuan sederhana, (5) untuk mengetahui pengaruh durasi loading dan
dehidrasi terhadap daya hidup dan regenerasi scalp dari pisang Kosta yang
dikriopreservasi dengan metode vitrifikasi.
Organogenesis dilakukan dengan menggunakan kepingan aksis bunga
pisang yang ditanam pada media perlakuan. Kultur embrio dilakukan dengan
terlebih dahulu menyimpan buah pisang Breviformis, Tomentosa dan Zebrina
selama 1, 3 dan 4 bulan. Pertumbuhan minimal dilakukan dengan teknik
enkapsulasi dengan penambahan manitol. Kriopreservasi dilakukan dengan teknik
pembekuan sederhana dan teknik vitrifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara BA dan TDZ
terhadap organogenesis aksis bunga pisang (AA, BB, AAA, AAB dan ABB).
Pisang dengan genom AAA menunjukkan respon yang paling baik dalam
pembentukan nodul dan tunas. Perlakuan yang terbaik untuk organogenesis pisang
adalah media yang mengandung BA 3 mg L-1. Pada kultur embrio zigotik, pisang
Tomentosa memiliki daya kecambah yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Breviformis dan Zebrina yaitu sebesar 70%. Perlakuan prakultur pada media yang
mengandung sukrosa 0.4 M selama dua minggu merupakan perlakuan terbaik
pada kriopreservasi secara pembekuan sederhana. Tidak ada interaksi yang nyata
antara durasi loading dengan larutan LS dan dehidrasi dengan larutan PVS2 dalam
pembentukan nodul baru dari scalp pisang Kosta. Perlakuan LS selama 40 menit
dan PVS2 selama 1 jam merupakan perlakuan terbaik untuk kriopreservasi scalp
pisang Kosta dengan teknik vitrifikasi.
Kata
kunci:
Aksis bunga, organogenesis, kultur embrio,
kriopreservasi, pembekuan sederhana, vitrifikasi.
enkapsulasi,
SUMMARY
DEA SYLVA LISNANDAR. In Vitro of Banana (Musa spp.) Germplasm
Through Minimal Growth and Cryopreservation. Supervised by DARDA
EFENDI and IKA ROOSTIKA.
Germplasm storage of bananas in the field faces a high risk of losing the
specific genotypes due to biotic and abiotic stresses. In vitro storage by
cryopreservation is one of the alternative ways to conserve banana germplasm.
Thus, regeneration method should be optimized before the application of
cryopreservation method. The experiment was conducted at Tissue culture
Laboratory, Indonesian Center for Agricultural Biotechnology and Genetic
Resources Research and Development (ICABIOGRAD), Bogor.
This study included four main experiments: (1) organogenesis of floral
axis of bananas AA, BB, AAA, AAB and ABB, (2) zygotic embryo culture of
banana Breviformis, Tomentosa and Zebrina, (3) encapsulation of zygotic
embryos with the addition of mannitol, (4) cryopreservation storage. The purposes
of this study were to obtain the best media for organogenesis floral axis of banana
germplasm (AA, BB, AAB and ABB), to know the effect of the duration of
preculture to the survival and regenerate rate of scalp Kosta by simple freezing
cryopreservation, and to know the effect of duration of loading and dehydration to
the survival and regeneration rate of Kosta scalp cryopreserved by vitrification
method.
Organogenesis was performed by using a piece of banana floral axis
planted in the media treatment. Embryo culture was conducted prior to store
banana fruit of Breviformis, Tomentosa and Zebrina for 1, 3 and 4 months.
Minimal growth was performed with encapsulation technique with the addition of
mannitol. Cryopreservation was performed by simple freezing technique and
vitrification techniques.
The results showed that there was no significant interaction between BA
and TDZ to the organogenesis of floral axis of banana germplasm (AA, BB,
AAA, AAB and ABB). The AAA group showed the best response in the
formation of nodules and shoot. The best treatment for organogenesis of floral
axis was BA 3 mg L-1. In the zygotic embryo culture, Tomentosa had a higher
germination rate than Breviformis and Zebrina which was 70%. Preculture
treatment in media containing 0.4 M sucrose for two weeks was the best treatment
in simple freezing cryopreservation. There was no significant interaction between
the duration of loading (with LS solution) and dehydration (with PVS2 solution)
to the formation of new nodules of the scalp of Kosta. LS treatment for 40
minutes and PVS2 for 1 hour was the best treatment for cryopreservation of scalp
of Kosta by vitrification technique.
Keywords:
Floral axis, organogenesis, embryo culture,
cryopreservation, simple freezing, vitrification.
encapsulation,
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KONSERVASI IN VITRO PLASMA NUTFAH PISANG
(Musa spp.) SECARA PERTUMBUHAN MINIMAL DAN
KRIOPRESERVASI
DEA SYLVA LISNANDAR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Agus Purwito, MscAgr.
PRAKATA
Syukur Alhamdulillahirobbil’alamiin, penulis ucapkan kepada Allah
subhanallahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini
berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Konservasi In Vitro Plasma
Nutfah Pisang (Musa spp.) secara Pertumbuhan Minimal dan Kriopreservasi.
Penulisan tesis ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada:
1. Dr Ir Darda Efendi, MSi dan Dr Ika Roostika, SP, MSi selaku komisi
pembimbing atas segala dukungan, kesabaran, arahan dan bimbingan selama
penelitian hingga penulisan tesis.
2. Dr Ir Agus Purwito, MScAgr selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis
atas saran dan arahannya.
3. Prof (riset). Dr Ika Mariska, peneliti senior BB Biogen yang senantiasa
berbagi ilmu dan memberikan berbagai masukan dan saran atas pelaksanaan
penelitian ini.
4. Bapak (Ir Engkos Kusnandar) dan ibu (Lesly Nukiwati, SPd) serta adik (Deta
Annisa Lisnandar) atas segala jerih payah, doa, pengertian, rasa cinta dan
sayang yang tidak pernah putus kepada penulis.
5. Seluruh civitas akademika Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor,
khususnya para dosen Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
IPB yang telah mencurahkan ilmunya kepada kami.
6. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik Pertanian (BB-Biogen) atas segala fasilitas untuk pelaksanaan
penelitian.
7. Keluarga besar Laboratorium BSJ, Ibu Suci, Pak Joko Tamami, Pak Asep, Pak
Wawan, Mas Anto dan Bu Marnah yang telah banyak membantu pelaksanaan
penelitian ini.
8. Teman seperguruan Rara Puspita, Yosi Zendra Joni, dan Lilis yang telah
senantiasa siap membantu pelaksanaan penelitian.
9. Keluarga besar PBT 2012 yang selalu kompak dan saling menyemangati.
10. Kak Tika, Kak Syifa, Aline, Pak Firman, Kak Nura, Mba Dewi atas bantuan
dan kerjasama selama studi dan penelitian.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan ilmu pertanian masa depan.
Bogor, 2015
Dea Sylva Lisnandar
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar belakang
Tujuan
Hipotesis
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Pisang
Organogenesis
Pertumbuhan Minimal
Kriopreservasi
3 ORGANOGENESIS AKSIS BUNGA
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Simpulan
4 KULTUR EMBRIO ZIGOTIK
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
5 ENKAPSULASI EMBRIO ZIGOTIK DENGAN PENGGUNAAN
MANITOL
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
6 PENYIMPANAN SECARA KRIOPRESERVASI
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
7 PEMBAHASAN UMUM
8 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
vi
1
1
2
2
3
5
5
6
6
7
9
9
10
17
18
18
18
19
21
22
22
23
24
25
26
26
26
28
32
34
35
35
35
36
40
41
DAFTAR TABEL
1 Jumlah embrio zigotik pisang Calcuta-4 yang tumbuh pada berbagai
konsentrasi manitol, 3 BST
2 Pengaruh lama prakultur terhadap daya hidup, daya regenerasi dan
pencoklatan scalp pisang Kosta, 5 MST.
3 Persentase daya hidup dan daya regenerasi scalp pisang Kosta, 5 MST.
24
28
31
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
Diagram alir penelitian
Tahapan sterilisasi dari eksplan aksis bunga pisang Kepok
Pengaruh BA dan TDZ terhadap pembentukan nodul pisang, 12 MST
Pengaruh BA dan TDZ terhadap pembentukkan tunas pisang, 12 MST
Penampilan biakan pisang hasil organogenesis aksis bunga
Tunas pisang setelah diregenerasi pada media BA 10 µM, IAA 1 µM
dan asam askorbat 100 mg L-1
7 Tahapan organogenesis dari eksplan aksis bunga pisang Kepok
8 Pengaruh lama penyimpanan terhadap daya hidup dan daya
perkecambahan embrio zigotik pisang, 3 BST
9 Pengaruh zat pengatur tumbuh (ZPT) terhadap daya kecambah embrio
zigotik pisang Brevifomis, Tomentosa dan Zebrina, 3 BST
10 Respon in vitro embrio zigotik pisang terhadap lama waktu
penyimpanan, 8 MST
11 Penampilan embrio zigotik pisang selama 3 BST
12 Embrio zigotik pisang sebelum perendaman larutan Tetrazolium 1%
13 Embrio zigotik pisang setelah perendaman larutan Tetrazolium 1%
14 Penampilan scalp pisang Kosta pada umur 2 MST selama tahapan
kriopreservasi secara pembekuan sederhana
15 Pertumbuhan scalp pisang Kosta yang sudah diregenerasi (umur 5
minggu)
16 Scalp pisang Kosta pra pembekuan dengan nitrogen cair, 4 MST
17 Scalp pisang Kosta pasca pembekuan dengan nitrogen cair, 4 MST
4
11
12
13
15
16
16
20
20
21
25
25
25
29
30
32
33
DAFTAR LAMPIRAN
1
Komposisi Media Dasar Murashige & Skoog (MS)
40
1
1 PENDAHULUAN
Latar belakang
Tanaman pisang merupakan tanaman herba yang banyak terdapat di Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Jenis-jenis pisang di Indonesia sangat beragam
meliputi spesies liar dan varietas budidaya yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, eksploitasi hutan yang
tak terkendali, serta meningkatnya jumlah varietas unggul hasil pemuliaan
tanaman, kekayaan keragaman genetik yang tersedia dewasa ini mengalami
penyusutan dengan sangat pesat. Selain itu, adanya erosi plasma nutfah yang
berlangsung sangat cepat menyebabkan banyak jenis tanaman menjadi langka
bahkan punah. Erosi plasma nutfah dapat disebabkan oleh introduksi varietas baru
dan faktor lingkungan (Hardiningsih et al. 2012).
Pisang merupakan kelompok tumbuhan yang erosinya tergolong pesat,
sedangkan manfaat pisang sangat besar bagi kebutuhan manusia sehingga perlu
dilakukan usaha untuk melestarikannya. Oleh karena itu, plasma nutfah pisang
perlu diselamatkan untuk menghindari kepunahannya. Penyimpanan benih berupa
biji merupakan cara yang cocok untuk penyimpanan plasma nuftah tanaman, tapi
tidak dapat diterapkan pada tanaman yang tidak berbiji, berbiji rekalsitran dan
perkembangbiakannya secara vegetatif. Koleksi di lapang berisiko terhadap
hilangnya plasma nutfah disebabkan oleh faktor biotik (organisme pengganggu
tanaman) dan faktor abiotik (cekaman yang berasal dari lingkungan) (Panis 2009).
Konservasi in vitro memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan
metode konservasi lainnya, seperti penghematan area, tenaga kerja, biaya dan
waktu, juga dapat terhindar dari kehilangan genotipe karena cekaman biotik dan
abiotik. Teknik kriopreservasi bahkan dapat mengurangi ketergantungan pada
pemakaian aliran listrik. Dengan teknik kriopreservasi, proses metabolisme akan
terhenti pada temperatur sangat rendah sehingga bahan tanaman dapat disimpan
dalam waktu yang lama. Penyimpanan secara kriopreservasi akan mengurangi
atau meniadakan tindakan subkultur, sehingga akan lebih efisien dari segi biaya,
waktu, ruang penyimpanan dan tenaga. Sebagai satu-satunya metode konservasi
jangka panjang yang tersedia bagi tumbuhan berbiji non-ortodoks, di Indonesia
penyimpanan secara kriopreservasi perlu dilakukan, mengingat potensi plasma
nutfah tanaman yang sebagian besar berbiji rekalsitran, semi-rekalsitran atau
berbiak vegetatif yaitu, tanaman kehutanan, buah-buahan, umbi-umbian, tanaman
hias dan obat-obatan (Roostika dan Mariska 2003; Tjokrokusumo 2004; Leunufna
2007).
Pertumbuhan minimal adalah penyimpanan plasma nutfah dalam jangka
waktu menengah dengan menggunakan senyawa retardan seperti, paclobutrazol,
cicocel, ancimidol dan inhibitor asam absisat serta komponen osmotik seperti
sorbitol dan manitol. Plasma nutfah yang disimpan dengan metode pertumbuhan
minimal disebut sebagai active collection (koleksi aktif) sedangkan yang disimpan
dengan metode kriopreservasi disebut sebagai base collection (koleksi dasar)
dalam bank gen in vitro (Bajaj dan Towill 2002; Roostika dan Mariska 2003;
Lestari dan Purnamaningsih 2005; Keller et al. 2006).
Koleksi materi
kriopreservasi dapat bertahan hingga waktu tak terbatas dan diasumsikan dapat
2
menjaga konsistensi genetik ketika diregenerasikan kembali. Hal ini
dimungkinkan karena pada suhu yang ekstrim rendah (-1960C), seluruh proses
biologi berlangsung sangat lambat. Teknik penyimpanan plasma nutfah secara
pertumbuhan minimal telah diaplikasikan pada beberapa spesies tanaman seperti
ubi jalar (Laisia 2009) dan kantung semar (Nepenthes spp.) (Damayanti 2010),
sedangkan teknik kriopreservasi telah dilakukan pada beberapa spesies tanaman
diantaranya adalah purwoceng (Roostika et al. 2007) dan pisang (Panis 1996;
Panis 2005).
Regenerasi tanaman merupakan kunci keberhasilan dari aplikasi
konservasi tanaman. Oleh sebab itu, metode regenerasi sangat penting untuk
dikuasai. Regenerasi tanaman pisang dipengaruhi oleh genotipe tanaman, pada
pisang tanduk (AAB) BA (6-benzyladenine) yang digunakan hanya 2.5 µM
sedangkan pada pisang dengan genom ABB atau BBB diperlukan konsentrasi BA
yang lebih tinggi (Elhory et al. 2009). Menurut de Oliveira et al. (2000), hasil
evaluasi metode penyimpanan pada pisang diploid AA menunjukkan adanya
respon yang baik dalam penyimpanan baik dalam kondisi pertumbuhan minimal
dan kriopreservasi dalam suhu rendah, tanpa penyesuaian media kultur dan
lingkungan fisik. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa keberhasilan
dalam teknik pertumbuhan minimal dan kriopreservasi tergantung pada genotipe
tanaman (Keller et al. 2006). Namun demikian, sebelum teknik konservasi
diaplikasikan metode regenerasi harus dikuasai terlebih dahulu. Oleh karena itu,
pada penelitian ini dilakukan optimasi metode regenerasi sebagai tahap
perbanyakan bahan tanaman yang akan disimpan dengan metode pertumbuhan
minimal dan kriopreservasi. Teknik konservasi yang dapat dilakukan untuk
menjaga kelestarian plasma nutfah pisang salah satunya adalah kriopreservasi,
tetapi sebelumnya teknik perbanyakan perlu dikuasai terlebih dahulu sehingga
perlu dioptimasi, terutama untuk plasma nutfah pisang Indonesia. Studi
kriopreservasi pisang di Indonesia juga masih terbatas sehingga perlu dilakukan.
Tujuan
Tujuan dari peneltian ini adalah:
1. Memperoleh formulasi media organogenesis aksis bunga jantan pisang
bergenom AA, BB, AAA, AAB dan ABB.
2. Mengetahui pengaruh durasi simpan terhadap perkecambahan embrio
zigotik pisang liar (AA-w) Breviformis, Tomentosa dan Zebrina.
3. Mengetahui efektifitas manitol untuk pertumbuhan minimal embrio
zigotik pisang Calcuta-4.
4. Mengetahui efektivitas teknik pembekuan sederhana untuk kriopreservasi
scalp pisang Kosta.
5. Mengetahui efektivitas teknik vitrifikasi untuk kriopreservasi scalp pisang
Kosta.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
1. Terdapat interaksi yang nyata antara BA dan TDZ (Thidiazuron) terhadap
organogenesis aksis bunga jantan pisang bergenom AA, BB, AAA, AAB
dan ABB.
3
2. Lama penyimpanan buah berpengaruh nyata terhadap daya hidup dan daya
perkecambahan embrio zigotik pisang Breviformis, Tomentosa dan
Zebrina.
3. Semakin tinggi konsentrasi manitol maka pertumbuhan embrio zigotik
pisang Calcuta-4 akan semakin terhambat.
4. Lama prakultur dengan sukrosa 0.4 M berpengaruh nyata terhadap daya
regenerasi scalp pisang Kosta yang dikriopreservasi dengan teknik
pembekuan sederhana.
5. Terdapat interaksi yang nyata antara lama loading dan dehidrasi terhadap
daya regenerasi scalp pisang Kosta, baik sebelum maupun setelah
pembekuan jaringan dalam nitrogen cair yang dikriopreservasi dengan
teknik vitrifikasi.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terdiri dari empat percobaan yaitu, (1) organogenesis aksis
bunga jantan pisang bergenom AA, BB. AAA, AAB dan ABB, (2) kultur embrio
zigotik pisang Breviformis, Tomentosa dan Zebrina, (3) enkapsulasi embrio
zigotik pisang Calcuta-4, (4) kriopreservasi scalp pisang Kosta secara teknik
pembekuan sederhana dan teknik vitrifikasi. Percobaan organogenesis aksis bunga
diawali dengan pembentukan nodul dan tunas dan dilanjutkan dengan
pemanjangan tunas. Percobaan kultur embrio zigotik pisang Breviformis,
Tomentosa dan Zebrina meluputi perkecambahan. Percobaan pertumbuhan
minimal menggunakan teknik enkapsulasi dan menggunakan manitol sebagai zat
pengahambat. Pada percobaan kriopreservasi menggunakan dua teknik yaitu,
secara pembekuan sederhana dan vitrifikasi (Gambar 1).
Pada setiap percobaan diarahkan untuk mempelajari pertumbuhan eksplan
menjadi nodul dan tunas, di antaranya adalah pengaruh kombinasi BA dan TDZ
pada pembentukan nodul eksplan aksis bunga, pengaruh waktu simpan terhadap
perkecambahan embrio zigotik, pertumbuhan embrio zigotik yang telah
dienkapsulasi, pembentukan nodul baru pada scalp pisang Kosta yang
dikriopreservasi secara pembekuan sementara dan vitrifikasi. Diagram alir
penelitian ditampilkan pada Gambar 1.
4
Plasma nutfah tanaman pisang di lapang
Organogenesis aksis bunga
Penyimpanan buah dalam
suhu rendah
Pertumbuhan minimal
pada embrio
Kriopreservasi
Pembekuan sederhana
Isolasi aksis bunga
Induksi organogenesis
pada media Perlakuan
kombinasi BA dan TDZ
Penyimpanan buah pada
suhu 5±20C, selama 1, 3
dan 4 bulan
Isolasi embrio dari biji
dengan mikroskop
Isolasi embrio dari biji
dengan mikroskop
Enkapsulasi embrio
zigotik
Prakultur
Prakultur
Pembekuan jaringan dalam
nitrogen cair
Loading, dengan LS
Pelelehan
Dehidrasi, dengan
PVS2
Koleksi biakan in vitro
Perkecambahan
secara in vitro
embrio
Enkapsulai dengan NAalginat yang ditambahkan
manitol (0, 1, 2, 3, 4, & 5
%)
Vitrifikasi
Regenerasi
Nitrogen cair
Pelelehan
Deloading
Pemulihan
Regenerasi
Gambar 1 Diagram alir penelitian
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Pisang
Pisang termasuk ke dalam famili Musaceae yang terdiri dari dua genera
yaitu, genus Musa dan Ensete. Genus Musa terbagi atas empat kelompok yaitu,
Australimusa, Callimusa, Eumusa, dan Rhodochlamys. Kelompok Australimusa
dan Eumusa banyak dimanfaatkan untuk buah, serat, dan sayuran sedangkan
Callimusa dan Rhodochlamys banyak digunakan sebagai tanaman hias
(Simmonds 1970).
Kebanyakan kultivar yang ada terjadi melalui persilangan atau hibridisasi,
dan buahnya bersifat parthenocarpic. Sebagian besar kultivar adalah triploid (2n
= 3x = 33 kromosom), biasanya dengan konstitusi genom AAA, AAB atau ABB.
Kata banana cenderung untuk menggambarkan buah-buahan yang dimakan segar
saat matang sedangkan yang digunakan sebagai produk manis, disebut sebagai
plantain dan cooking banana biasanya dimasak. Meskipun tidak ada perbedaan
botani antara keduanya, banyak jenis cooking banana merupakan hasil
persilangan interspesifik (AAB atau ABB) sementara banyak jenis banana
merupakan hasil persilangan intraspesifik (AAA) (Heslop-Harrison JS 2011).
Indonesia sebagai pusat keragaman pisang dapat menyelamatkan plasma
nutfah pisang dengan memanfaatkan plasma nutfah pisang yang kita miliki.
Pisang liar Musa acuminata ssp. mallaccensis telah diketahui tahan terhadap
Fusarium oxysprorum fsp. cubense (Foc) dan mempunyai daya adaptasi yang
luas. Pisang liar tersebut dapat dimanfaatkan untuk pemuliaan tanaman pisang
yang tahan penyakit dan beradaptasi luas. Pisang liar mallaccensis bahkan telah
dikenal sejak awal tahun 1980-an sebagai sumber gen untuk pemuliaan dan
dewasa ini urutan DNAnya tanaman ini telah dipetakan pada komunitas keilmuan
atas usaha bersama dari beberapa ilmuwan dari negara produsen pisang.
Pisang komersial terdiri dari lebih dari satu genom (AA, AAA, AAB, ABB,
BB,
AAAA,
AAAB),
polen
steril,
kegagalan
dalam
sistem
penyerbukan/pembuahan dan partenokarpi (karpel tumbuh walaupun embrio tidak
berkembang sehingga buah terbentuk tetapi tanpa biji). Pisang terbukti berasal
dari persilangan antara M. acuminata (AA) dan M. balbisiana (BB). Genom AA
bertanggung jawab terhadap rasa manis atau asam dengan kadar pati rendah
sedangkan genom BB berkaitan dengan kadar pati yang lebih tinggi. Kombinasi
dari kedua genom tersebut menghasilkan beberapa kelompok pisang seperti:
pisang diploid AA (Pisang Mas, Pisang Jari Buaya, Pisang Berlin, Pisang Oli
yang secara umum dicirikan oleh ukuran buah yang kecil dan kulit tipis menempel
pada daging buah), pisang triploid AAA (Ambon/Gross Michell, Ambon Lumut/
Cavendish, barangan dan Udang), AAB (Rajabulu, Raja Sereh, Tanduk, Nangka
dan Kosta), ABB (Siem, Saba, dan Kepok), BB (Klutuk Awu, Klutuk Wulung,
Klutuk Warangan) serta pisang tetraploid silangan Honduras AAAB (FHIA02)
(Simmonds dan Shepherd 1955).
6
Organogenesis
Perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro telah banyak dilakukan, salah
satunya adalah dengan jalur organogenesis. Organogenesis adalah proses pembentukan tunas secara langsung dari jaringan meristematik. Jaringan meristem
yang biasa digunakan dalam organogenesis pisang adalah sucker atau anakan
(Bhosale et al. 2011). Namun demikian, penggunaan anakan mempunyai risiko
kontaminasi yang tinggi karena adanya kontak langsung dengan tanah.
Organogenesis pisang dapat dilakukan dengan menggunakan bunga jantan,
penggunaan bunga jantan dapat menjadi salah satu altenatif perbanyakan pisang
melalui jalur organogenesis (Davari et al. 2010). Eksplan lain yang dapat
digunakan dalam organogenesis pisang adalah scalp (Elhory et al. 2009),
meristem apikal (Al Amin et al. 2009) dan aksis bunga (Krikorian et al. 1993;
Martin 2005). Penggunaan aksis bunga sebagai ekplan masih sangat terbatas
dilaporkan. Selain adanya kontaminasi, pencoklatan merupakan kendala pada
kultur in vitro pisang. Pencoklatan yang parah dapat menyebabkan kematian
eksplan. Pencoklatan lebih sering terjadi pada pisang diploid BB, triploid AAB
dan ABB. Diduga bahwa pisang yang mengandung genom B mengandung
senyawa fenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang mengandung genom
A (Buah et al. 2010; Resmi dan Nair 2011).
Pada kultur in vitro pisang, sitokinin adalah golongan zat pengatur tumbuh
(ZPT) yang sering digunakan. Sitokinin berupa BA (6-benzyladenine) dan TDZ
(Thidiazuron) merupakan ZPT yang umum digunakan dalam organogenesis
pisang. Pada pisang tanduk dengan eksplan anakan, konsentrasi BA terbaik adalah
2.5 µM (0.56 mg L-1), sedangkan pada pisang Barangan adalah 4.9 mg L-1 (Jafari
et al. 2011). Pada pisang Oniaba dan Apantu konsentrasi BA terbaik adalah 4.5
mg L-1 (Buah et al.2010). Youmbi et al. (2006) melaporkan bahwa TDZ dengan
konsentrasi 0.05 mg L-1 dapat meningkatkan proliferasi tunas yang berasal dari
anakan pada pisang Gros-michell namun apabila konsentrasinya ditingkatkan
maka akan menghambat proliferasi tunas.
Pertumbuhan Minimal
Penyimpanan atau konservasi plasma nutfah di kebun koleksi sangat
berisiko dan juga membutuhkan lahan, waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar
konservasi in vitro merupakan solusi yang tepat untuk permasalahan tersebut.
Untuk memperoleh hasil yang optimal dalam penyimpanan in vitro, ada beberapa
prinsip yang dapat diterapkan yaitu, meminimumkan pertumbuhan biakan
sehingga interval waktu subkultur lebih panjang, memelihara agar viabilitas tunas
yang disimpan tidak menurun dan mencegah terjadinya variasi somaklonal
(Lestari 1999). Teknik penyimpanan in vitro mempunyai beberapa kelebihan,
seperti penghematan lahan, tenaga kerja, biaya dan waktu. Biakan dapat segera
diperbanyak apabila diperlukan, juga memudahkan dalam pertukaran plasma
nutfah dan bebas dari gangguan hama dan penyakit. Namun terdapat beberapa
kendala dalam pemanfaatannya yaitu, memerlukan tenaga terampil dan analisis
kestabilan genetik pada materi yang disimpan setiap periode tertentu (Ashmore
1997).
7
Penyimpanan plasma nutfah secara in vitro dapat ditempuh melalui aplikasi
teknik pertumbuhan lambat atau minimal. Pada penyimpanan ini, eksplan
dikondisikan tumbuh dalam keadaan sub-optimal di mana pertumbuhan
berlangsung sangat lambat. Metode ini memiliki beberapa keuntungan antara lain
bahan yang disimpan siap diperbanyak apabila diperlukan, mudah diamati
kondisinya, dan bahan mudah disimpan kembali. Salah satu metode dalam
pertumbuhan minimal adalah enkapsulasi.
Enkapsulasi diartikan sebagai suatu teknik pembungkusan benih in vitro
baik dalam bentuk embrio somatik ataupun tunas pucuk dengan suatu bahan
penyalut. Penyalutan tersebut dapat mempertahankan vigor benih tanaman selama
waktu yang diinginkan, sehingga benih dapat disimpan tanpa menyebabkan
kerusakan mekanik. Penyelubungan benih biasanya menggunakan Na-alginat
yang merupakan polimer yang bersifat hidrofilik, dengan CaCl2.2H2O akan
membentuk gel (Redenbaugh et al. 1987).
Garam alginat adalah linear biner asam heteropolimer 1,4 - β-D-manuronat
dan asam 1,4-α-L-guluronat. Na-alginat diekstrak dari berbagai jenis ganggang
coklat. Na-alginat banyak digunakan untuk kultur protoplas dan benih sintetik.
Ketika garam natrium terkena ion kalsium, gelatinisasi terjadi (Trivedi et al.
2009).
Pada enkapsulasi pisang banyak digunakan tunas dan embrio somatik
sebagai eksplan. Dalam enkapsulasi pisang tunas diisolasi dari berbagai kultur
pucuk pisang cv Basrai yang dienkapsulasi dalam 3% natrium alginat yang
mengandung matriks gel yang berbeda (Ganapathi et al. 1992). Tunas yang telah
dienkapsulasi kemudian diregenerasi secara in vitro pada media yang berbeda.
Penggunaan media White menghasilkan regenerasi maksimum tunas yang
dienkapsulasi menjadi planlet. Namun, tunas yang dienkapsulasi dapat berubah
menjadi coklat dan infeksi bakteri yang parah juga perlu diperhatikan.
Penambahan 0.1% arang aktif dan campuran antibiotik yang terdiri dari
rifampisin, cefatoxime dan tetrasiklin untuk matriks gel digunakan untuk menjaga
agar tunas tidak mengalami kontaminasi. Pengangkutan dan pertukaran plasma
nutfah pisang dengan ujung tunas yang di enkapsulai lebih mudah, relatif murah
dan aman daripada pengambilan dari anakannya (Ganapathi et al. 1992).
Kultivar (AAB, ABB dan AB) memiliki perbedaan dalam regenerasi
kembali setelah enkapsulasi dan kultivar dengan genom B menunjukkan respon
yang lebih baik. Ganapathi et al. (2001) telah melaporkan pertama kali
enkapsulasi embrio somatik pisang cv Rasthali (AAB kelompok genom) untuk
memproduksi benih sintetik. Frekuensi konversi embrio dienkapsulasi menjadi
planlet bervariasi pada matriks gel yang berbeda dan substrat yang digunakan
untuk pengembangan pabrik. Regenerasi maksimum menjadi planlet dari embrio
yang dienkapsulasi dicapai ketika embrio somatik dienkapsulasi dalam 5%
natrium alginat dan dikultur pada media basal MS.
Kriopreservasi
Penyimpanan biji kering pada suhu rendah merupakan metode yang paling
baik untuk melestarikan plasma nutfah tanaman, tetapi metode itu tidak berlaku
untuk tanaman yang tidak menghasilkan benih (misalnya, pisang) atau tanaman
dengan benih rekalsitran, serta untuk spesies tanaman yang diperbanyak secara
8
vegetatif untuk melestarikan konstitusi genom. Pelestarian hanya dengan koleksi
lapangan sangat berisiko karena plasma nutfah yang bisa hilang (erosi genetik)
karena hama, penyakit dan kondisi cuaca. Oleh karena itu, kriopreservasi atau
membekukan pada suhu rendah (-196 °C, yaitu suhu nitrogen cair) adalah
alternatif yang baik untuk konservasi sumber daya genetik tanaman jangka
panjang, karena dalam kondisi seperti ini, proses biokimia dan fisik benar-benar
berhenti (Panis dan Lambardi 2005)
Kriopreservasi adalah penyimpanan plasma nutfah pada suhu yang sangat
rendah dan dalam waktu yang lama, menggunakan nitrogen cair (suhu -1960C).
Koleksi materi kriopreservasi dapat bertahan hingga waktu tak terbatas dan
diasumsikan dapat menjaga konsistensi genetik ketika diregenerasikan kembali.
Hal ini diduga karena pada suhu yang ekstrim rendah, seluruh proses biologis
tidak berlangsung. Pertumbuhan minimal adalah penyimpanan plasma nutfah
dalam jangka waktu menengah dengan menggunakan senyawa penghambat
pertumbuhan seperti paclobutrazol, cicocel, ancimidol dan inhibitor asam absisat
serta komponen osmotik seperti sorbitol dan manitol. Plasma nutfah yang
disimpan dengan metode pertumbuhan minimal disebut sebagai active collection
(koleksi aktif) sedangkan plasma nutfah yang disimpan dengan metode
kriopreservasi disebut sebagai base collection (koleksi dasar) dalam bank gen in
vitro (Bajaj dan Towill 2002; Roostika dan Mariska 2003; Lestari dan
Purnamaningsih 2005; Keller et al. 2006).
Kriopreservasi pada jaringan dapat berhasil hanya jika pembentukan kristal
es intra-seluler dapat dihindari, karena hal ini menyebabkan kerusakan permanen
pada membran sel sehingga menghancurkan semi-permeabilitasnya. Di alam,
beberapa spesies tanaman mengadopsi sistem di mana kristal es yang dibentuk
pada suhu dibawah 00C dapat dihindari dengan mensintesis zat spesifik (seperti
gula, prolin dan protein) yang dapat menurunkan titik beku dalam sel-sel
tumbuhan. (Panis et al. 1996; Panis dan Lambardi 2005).
9
3 ORGANOGENESIS AKSIS BUNGA
Pendahuluan
Tanaman pisang merupakan tanaman herba yang banyak terdapat di Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Jenis-jenis pisang di Indonesia sangat beragam
yang merupakan pisang liar yaitu, Musa acuminata dan M. balbisiana serta hasil
persilangan antar sesama atau keduanya yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Hasil persilangan tersebut membentuk kombinasi genom AA, BB, AB,
AAB, ABB, AAA, BBB, AABB dan ABBB (Simmonds dan Shepred 1955;
Valmayor et al. 2000; Heslop-Harrison 2011).
Koleksi secara ex-situ di lapangan berisiko terhadap hilangnya plasma
nutfah disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik (Panis 2009). Faktor biotik
merupakan organisme pengganggu tanaman pisang yang menyebabkan penyakit
layu fusarium, layu bakteri, bercak sigatoka, kerdil bunchy top, dan tumor
nematoda. Faktor abiotik adalah kondisi lingkungan pertanaman yang dapat
menyebabkan cekaman, antara lain kekeringan, kemasaman, dan salinitas (Daly et
al. 2006). Layu fusarium merupakan salah satu penyakit yang paling merugikan
pada tanaman pisang (Daly et al. 2006). Penyakit tersebut termasuk tular tanah
(soil borne) dan epideminya telah menghancurkan banyak populasi tanaman
pisang di lapangan maupun kebun koleksi (Visser et al. 2010). Penyimpanan
secara in vitro merupakan teknologi yang dapat diterapkan. Teknologi
penyimpanan secara in vitro memiliki kelebihan daripada penyimpanan secara
konvensional yaitu, lebih menghemat area, tenaga, waktu, dan biaya. Memiliki
risiko yang minimal terhadap hilangnya genotipe oleh karena cekaman
lingkungan biotik dan abiotik sehingga penyimpanan dapat dilakukan secara
efektif dan efisien (Roostika dan Mariska 2003).
Sebelum aplikasi penyimpanan in vitro, sistem regenerasi perlu dikuasai
terlebih dahulu. Kultur in vitro pisang melalui jalur organogenesis telah banyak
dilaporkan dan eksplan yang biasa digunakan adalah anakan (Khalil et al. 2002;
Roy et al. 2010). Organogenesis menggunakan eksplan bunga jantan juga telah
dilakukan (Darvari et al. 2010; Sultan et al. 2011). Penggunaa scalp (Elhory et al.
2009) dan meristem apikal (Al Amin et al. 2009) juga telah dilakukan. Dilaporkan
bahwa regenerasi tanaman pisang dipengaruhi oleh genotipe tanaman. Studi
organogenesis pisang menggunakan floral axis (aksis bunga) juga telah dilakukan
(Krikorian et al. 1993; Martin 2005).
Selain kendala kontaminasi, pencoklatan juga menjadi faktor penghambat
dalam kultur in vitro pisang, khususnya yang mengandung genom B (Resmi dan
Nair 2011). Pencoklatan yang terjadi selama kultur in vitro dapat menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan biakan atau bahkan menyebabkan kematian.
ZPT BA dan TDZ banyak digunakan dalam kultur in vitro pisang untuk
meningkatkan proliferasi tunas (Youmbi et al. 2006; Elhory et al. 2009).
Dilaporkan bahwa regenerasi pisang Tanduk (AAB) dengan menggunakan anakan
memerlukan BA 2.5 µM, sedangkan pisang dengan genom ABB atau BBB
membutuhkan konsentrasi BA yang lebih tinggi (Elhory et al. 2009). Selain
modifikasi media melalui penggunaan ZPT, tipe eksplan juga dapat
mempengaruhi keberhasilan kultur in vitro pisang. Pada umumnya, anakan
10
digunakan sebagai sumber eksplan. Pada penelitian ini digunakan jenis eksplan
lainnya yaitu, male bud floral axis (aksis bunga jantan) yang diharapkan dapat
mengatasi masalah pencoklatan dan rendahnya faktor multiplikasi tunas sehingga
pertumbuhan biakan pisang yang bergenom AAB dan ABB dapat dioptimalkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi media yang efektif untuk
morfogenesis aksis bunga jantan pisang yang diregenerasikan secara
organogenesis.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 sampai September
2014 di Laboratorium Kultur Jaringan, Kelompok Peneliti Biologi Sel dan
Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Bogor.
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisang
Lampung (AA), Kepok (ABB), Rajabulu (AAB) dan Klutuk Awu (BB) yang
diperoleh dari kebun petani di Bogor (Jawa Barat), pisang Barangan (AAA) yang
diperoleh dari BB Biogen, Bogor, serta Udang (AAA), Kosta (AAB), Ambon
Kuning (AAA), Ambon Lumut (AAA) dan Siem (ABB) yang diperoleh dari
kebun koleksi milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong.
Braktea dan stamen dari bunga jantan dibuang hingga bunga jantan
berukuran ±15 cm, kemudian didesinfestasi dengan campuran detergen selama 1
jam, lalu direndam dalam larutan fungisida (Benomyl 50.4%) dan bakterisida
(Steptomicyn sulfat 20%) selama 1 jam. Selanjutnya, jantung direndam dalam
alkohol teknis 70%, clorox 30% (NaOCl 15.75 %) dan 20% (NaOCl 10.5 %)
selama masing-masing 5 menit kemudian dibilas dengan akuades sebanyak 3
(tiga) kali masing-masing selama 5 menit. Aksis bunga diiris secara melintang
dengan ketebalan sekitar 1 mm. Potongan melintang tersebut dibelah menjadi dua
keping yang berbentuk setengah lingkaran. Kepingan tersebut dijadikan sebagai
eksplan (Gambar 2). Media pertumbuhan in vitro yang digunakan adalah media
MS (Murashige dan Skoog 1962).
Percobaan ini dirancang dengan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dua faktor. Faktor pertama adalah BA (0, 1, 3 dan 5 mg L-1) dan faktor kedua
adalah TDZ (0 dan 0.1 mg L-1) sehingga terdapat 8 perlakuan. Setiap perlakuan
diulang 3 kali dan setiap satu ulangan terdiri dari 2 keping eksplan. Media yang
digunakan adalah media MS yang mengandung BA yang dikombinasikan dengan
TDZ dan polyvinylpyrollidone (PVP) dengan taraf 100 mg L-1.
Eksplan ditanam pada media perlakuan kemudian diinkubasi dalam ruang
kultur dengan suhu 250C, fotoperioditas 16 jam, dan intensitas cahaya 800 ̶ 1000
lux. Eksplan kemudian disubkultur setelah satu bulan pada media perlakuan yang
sama. Nodul yang terbentuk pada eksplan diregenerasikan menjadi tunas dan
pemanjangan tunas serta perakaran dilakukan pada media yang mengandung BA
10 µM, IAA (3-indole acetic acid) 1 µM dan asam askorbat 100 mg L-1 (Panis
2009).
Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 8–12 minggu setelah tanam
(MST). Peubah yang diamati meliputi jumlah nodul, jumlah tunas, waktu
terbentuknya nodul, dan tunas serta warna biakan.
11
Gambar 2 Tahapan sterilisasi dari eksplan aksis bunga pisang Kepok: (A) Jantung
pisang utuh, (B) Jantung yang sudah dibuang beberapa lapis brakteanya
hingga berukuran 15 cm, (C) Jantung yang sudah disterilisasi, (D & E)
Irisan aksis bunga, (F) Kepingan aksis bunga yang dijadikan sebagai
eksplan
Hasil dan Pembahasan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa eksplan aksis bunga dari pisang
dengan genom AA (Lampung), BB (Klutuk Awu), AAA (Ambon Kuning, Ambon
Lumut, Barangan, dan Udang), AAB (Nangka, Rajabulu, dan Kosta) dan ABB
(Kepok, dan Siem) memberikan respon in vitro terhadap formulasi media yang
diujikan. Respon tersebut diawali dengan pembentukan nodul pada area yang
awalnya terhubung dengan pangkal braktea. Secara umum, nodul sudah muncul
pada 2 MST pada semua genom (Gambar 3).
Hasil percobaan menunjukkan tidak terdapat interaksi yang nyata antara
BA dan TDZ pada semua genom pisang. Secara tunggal, BA memberikan
pengaruh yang nyata terhadap pembentukkan nodul pada hampir semua varietas
pisang, kecuali Ambon Kuning dan Nangka. Pada kedua varietas tersebut,
pemberian TDZ berpengaruh nyata terhadap pembentukkan nodul (Gambar 3).
Walaupun demikian, secara umum pengaruh pemberian BA lebih baik daripada
pemberian TDZ. Sebagaian besar varietas mampu membentuk nodul pada media
dengan atau tanpa ZPT, sedangkan varietas Ambon Lumut, Ambon Kuning dan
Kepok mutlak memerlukan ZPT. Perbedaan respon dari varietas tersebut sesuai
dengan yang dilaporkan Arinatwe et al. (2000) yaitu, respon terhadap zat pengatur
tumbuh ditentukan oleh genotipe atau bersifat genotype dependent. Perlakuan
yang terbaik untuk pembentukkan nodul Ambon Kuning adalah BA 1 mg L-1 dan
pisang Ambon Lumut adalah BA 1 mg L-1 atau TDZ 0.1 mg L-1. Sementara itu,
perlakuan yang terbaik untuk Barangan adalah BA 5 mg L-1. Perlakuan tersebut
hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Jafari et al. (2011) bahwa konsentrasi
terbaik pada pisang Barangan adalah BA 22 µM atau sekitar 4.9 mg L-1. Pada
pisang bergenom BB yaitu, Klutuk Awu, perlakuan terbaik adalah BA 5 mg L-1.
12
Gambar 3 Pengaruh BA dan TDZ terhadap pembentukan nodul pisang (A & E)
diploid AA dan BB, (B & F) triploid AAA, (C & G) triploid AAB, (D
& H) triploid ABB, 12 MST
Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa pisang triploid AAA memiliki
respon in vitro yang lebih baik dari genom lainnya karena mampu beregenerasi
pada media tanpa ZPT dan memiliki jumlah tunas yang lebih tinggi. Pada pisang
13
Barangan, perlakuan terbaik adalah pada media yang tidak mengandung BA.
Perlakuan terbaik untuk Ambon Lumut dan Ambon Kuning adalah BA 1 mg L-1
dan Udang 5 mg L-1. Perlakuan terbaik pada pisang Kepok Kuning (ABB) adalah
BA 3 mg L-1 dan Kosta (AAB) adalah BA 3 mg L-1.
Gambar 4 Pengaruh BA dan TDZ terhadap pembentukkan tunas pisang (A & E)
diploid AA dan BB, (B & F) triploid AAA, (C & G) triploid AAB, (D
& H) triploid ABB, 12 MST
14
Pembentukan tunas selain dipengaruhi oleh konsentrasi BA pada media
diduga dipengaruhi oleh TDZ. Youmbi et al. (2006) melaporkan bahwa TDZ pada
konsentrasi rendah dapat memacu proliferasi tunas pisang Topala, Fougamou,
Gros-Michel, Dwarf-Kalapua, Pelipita dan Kalapua. Namun demikian,
penggunaan TDZ pada penelitian ini tidak berbeda nyata pada hampir semua
varietas. Tidak terdapat interaksi yang nyata antara BA dan TDZ terhadap jumlah
tunas yang terbentuk dari aksis bunga (Gambar 4). TDZ memberikan pengaruh
yang nyata terhadap jumlah tunas pisang Ambon Lumut dan Nangka, dengan taraf
terbaik sebesar 0.1 mg L-1. Hasil ini sama dengan peubah jumlah nodul pada
pisang Ambon Lumut sehingga dapat dikatakan bahwa TDZ 0.1 mg L-1
merupakan perlakuan terbaik pada pisang Ambon Lumut. Muhammad et al.
(2007) menggunakan BA atau Kinetin dengan konsentrasi 6 mg L-1 untuk
meningkatkan proliferasi tunas adventif pisang Basrai, sedangkan apabila
konsentrasinya ditingkatkan menjadi 8 mg L-1 maka proliferasi tunas menurun.
Secara umum BA dengan konsentrasi 3 mg L-1 merupakan konsentrasi
yang direkomendasikan untuk organogenesis aksis bunga pada genom AA, BB,
AAA, AAB dan ABB karena hampir semua genom menghasilkan nodul dan
tunas. Untuk memilih konsentrasi terbaik pada semua genom AA, BB, AAA,
AAB dan ABB, sebaiknya diambil konsentrasi yang berada ditengah-tengah tidak
terlalu bagus dan tidak terlalu jelek pada hasil jumlah nodul atau jumlah tunas
sehingga dapat diaplikasikan pada seluruh genom pisang tersebut. Gambar 5
menunjukkan nodul dan tunas yang terbentuk dari masing-masing varietas pisang,
dari gambar tersebut dapat terlihat bahwa pertumbuhan eksplan pada tiap varietas
tidak sama walaupun berada dalam satu kelompok genom yang sama.
Tunas yang terbentuk disubkultur pada media yang mengandung BA 10
µM, IAA 1 µM dan asam askorbat 100 mg L-1. Subkultur ini bertujuan untuk
meregenerasikan nodul yang telah terbentuk pada perlakuan sebelumnya. Hasil
pengamatan visual menunjukkan bahwa setelah disubkultur pada media yang
mengandung asam askorbat, nodul dari setiap varietas mengalami proliferasi dan
beregenerasi membentuk tunas, kecuali Siem (Gambar 5). Pada media yang sama,
tunas mengalami elongasi dan perakaran karena media tersebut mengandung IAA.
Auksin dilaporkan memberikan pengaruh fisiologis berupa elongasi sel dan
induksi perakaran (Muhammad et al. 2007). Pencoklatan yang terjadi pada
Rajabulu mengakibatkan nodul dan tunas yang telah terbentuk menjadi mati.
Diduga bahwa eksplan pisang Siem dan Rajabulu mengandung senyawa fenolik
yang tinggi sehingga terjadi akumulasi quinon setelah mengalami oksidasi oleh
enzim polifenol oksidase. Quinon dapat menghambat pertumbuhan bahkan
menyebabkan kematian pada biakan, sehingga dibutuhkan senyawa antioksidan
untuk menghambat oksidasi senyawa fenolik (Nisyawati dan Kariyana 2013; Ko
et al. 2009). Pada penelitian ini, digunakan senyawa antioksidan berupa PVP 100
mg L-1. Oleh karena pencoklatan yang terjadi pada biakan Rajabulu dan Siem
masih tinggi dan biakan masih sulit beregenerasi maka biakan disubkultur pada
media yang mengandung asam askorbat 100 mg L-1. Media yang mengandung
asam askorbat tersebut mampu mencegah pencoklatan biakan Rajabulu, namun
masih belum mampu mengatasi pencoklatan biakan Siem.
15
Gambar 5 Penampilan biakan pisang hasil organogenesis aksis bunga: (A)
Lampung, (B) Klutuk Awu, (C) Ambon Lumut, (D) Ambon Kuning,
(E) Barangan, (F) Udang, (G) Nangka, (H) Raja Bulu, (I) Kosta, (J)
Kepok, (K) Siem
Gambar 6 menunjukkan bahwa dengan menurunkan konsentrasi BA
menjadi 2.253 mg L-1 dan mengombinasikannya dengan IAA dan asam askorbat
dapat meningkatkan konversi nodul menjadi tunas. Pembentukan tunas dari
Rajabulu lebih lambat dibandingkan dengan varietas lainnya pada media
pertumbuhan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan senyawa fenol
yang tinggi sehingga pembentukan tunas terhambat. Menurut Nisyawati dan
Kariyana (2013), penambahan asam askorbat dalam media dapat menekan
pencoklatan pada tunas pisang Barangan. Selain penggunaan asam askorbat, arang
aktif dilaporkan dapat menekan pencoklatan biakan pisang (Nisyawati dan
Kariyana 2013). Untuk pisang Siem, formulasi media perlu dioptimasi untuk
meningkatkan respon in vitro atau daya regenerasi eksplan. Penggunaan media
cair dan peningkatan taraf antioksidan diduga dapat meningkatkan daya regenerasi
tersebut. Tahapan organogenesis dari aksis bunga dapat dilihat pada Gambar 7.
Tahapan tersebut dimulai dari penanaman eksplan pada media perlakuan,
pembentukan nodul dan tunas, multiplikasi tunas pada media regenerasi hingga
membentuk planlet dan aklimatisasi di rumah kaca.
16
Gambar 6 Tunas pisang setelah diregenerasi pada media BA 10 µM, IAA 1 µM
dan asam askorbat 100 mg L-1 : (A) Lampung, (B) Klutuk Awu, (C)
Ambon Lumut, (D) Ambon Kuning, (E) Barangan, (F) Udang, (G)
Nangka, (H) Raja Bulu, (I) Kosta, (J) Kepok, (K) Siem
Gambar 7 Tahapan organogenesis dari eksplan aksis bunga pisang Kepok: (A)
Pertumbuhan kultur pada 1MST, (B) Pertumbuhan kultur pada 6 MST,
(C) Pertumbuhan kultur pada 12 MST, Tahap pemanjangan (D) dan
Perakaran, (E) pada media BA 2,253 mg L-1 + IAA 0,175 mg L-1 +
asam askorbat 100 mg L-1
17
Simpulan
Tidak ada interaksi yang nyata antara BA dan TDZ dalam induksi
organogenesis aksis bunga pisang. Respon in vitro yang terbaik adalah pada
varietas bergenom AAA. Perlakuan yang terbaik untuk induksi organogenesis
aksis bunga adalah BA 3 mg L-1.
18
4 KULTUR EMBRIO ZIGOTIK
Pendahuluan
Plasma nutfah pisang dewasa ini semakin menurun yang diakibatkan oleh
adanya cekaman biotik dan abiotik. Penurunan populasi tersebut dapat
menyebabkan kelangkaan tanaman pisang. Pisang jenis plantain banyak
digunakan sebagai makan pokok. Plantain dan cooking banana merupakan hasil
persilangan dari pisang wild type M. acuminata X M. balbisiana sehingga
menghasilkan M. praradisiaca. Kata Banana cenderung untuk menggambarkan
buah-buahan yang dimakan segar saat matang atau digunakan sebagai produk
manis, Plantain dan Cooking Banana biasanya dimasak. Meskipun tidak ada
perbedaan botani antara keduanya, banyak jenis cooking banana interspesifik
(AAB atau ABB) sementara banyak jenis Banana adalah AAA (Valamyor et al.
2000; Heslop-Harrison JS 2011).
Tanaman pisang biasanya diperbanyak secara vegetatif menggunakan
sucker atau anakan, namun pertumbuhannya memerlukan waktu yang lama. Pada
jenis wild type, biji sulit berkecambah dikarenakan tidak adanya endosperma
sehingga menyebabkan embrio mati. Oleh karena itu, diperlukan strategi lainnya
dalam perbanyakan tanaman pisang yaitu, melalui teknik kultur jaringan (Uma et
al. 2012). Teknik kultur jaringan juga dapat dilakukan melalui teknik kultur
embrio sehingga embrio dapat berkecambah secara in vitro.
Sedikit yang diketahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
perkecambahan benih pada pisang, kecuali perkecambahan yang sangat bervariasi
dan relatif sulit. Biji pisang subspesies acuminata malaccensis telah digunakan
untuk mengoptimalkan kultur in vitro embrio zigotik dan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan dan regenerasi (Asif et al.
2001). Pada percobaan ini digunakan embrio zigotik pisang lainnya yaitu,
Breviformis, Tomentosa dan Zebrina yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh
durasi simpan buah terhadap embrio zigotik ketiga pisang tersebut.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2014 sampai September
2014 di Laboratorium kultur jaringan, Kelompok Peneliti Biologi Sel dan
Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen), Cimanggu, Bogor.
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji pisang
Breviformis, Tomentosa dan Zebrina, media MS (Murashige dan Skoog 1962),
BA, IAA, casein hydrolisate, sukrosa, tetrazolium 1%, alkohol serta akuades
steril. Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi Laminar Air
Flow Cabinet (LAF), mikroskop, alat tanam seperti, pinset, scalpel, gunting, dan
bunsen, botol tanam, otoklaf, oven dan pH meter.
Buah pisang yang belum masak dilepas dari tandannya, kemudian dicuci
dengan detergen dan direndam alkohol 96% selama 20 menit. Selanjutnya, buah
diinkubasi selama 1, 3 dan 4 bulan pada kotak kedap udara dan disimpan pada
lemari pendingin dengan suhu 5±20C. Buah pisang yang sudah disimpan
kemudian disterilisasi kembali dengan direndam larutan alkohol 70% selama 3
19
menit dan dilanjutkan dengan direndam Clorox 20 % (NaOCl 10.5%) dan 10 %
(NaOCl 5.25%) masing-masing selama 5 menit, dan dibilas dengan akuades steril
3 kali masing-masing selama 5 menit. Buah yang sudah steril kemudian dibongkar
dan dipisahkan antara biji dan daging buahnya. Selanjutnya, dilakukan isolasi
embrio zigotik dibawah mikroskop. Penelitian ini dirancang dengan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan lama penyimpanan buah (1, 3 dan 4
bulan). Setiap
(Musa spp.) SECARA PERTUMBUHAN MINIMAL DAN
KRIOPRESERVASI
DEA SYLVA LISNANDAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN
MENGENAI
DAN
BOGOR TESIS
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN
HAK CIPTA*
2015
SUMBER
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konservasi In Vitro
Plasma Nutfah Pisang (Musa spp.) secara Pertumbuhan Minimal dan
Kriopreservasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Dea Sylva Lisnandar
NIM A25320071
RINGKASAN
DEA SYLVA LISNANDAR. Konservasi In Vitro Plasma Nutfah Pisang (Musa
spp.) secara Pertumbuhan Minimal dan Kriopreservasi. Dibimbing oleh DARDA
EFENDI dan IKA ROOSTIKA.
Penyimpanan plasma nutfah pisang di lapang mempunyai risiko hilangnya
genotipe tertentu karena cekaman biotik dan abiotik. Penyimpanan in vitro dengan
kriopreservasi adalah salah satu cara alternatif untuk melestarikan plasma nutfah
pisang. Dengan demikian, metode regenerasi perlu dioptimalkan sebelum
menerapkan metode kriopreservasi. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Kultur Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian Bogor (BB Biogen).
Penelitian ini mencakup empat percobaan utama yaitu, (1) organogenesis
aksis bunga pisang bergenom AA, BB, AAA, AAB dan ABB, (2) kultur embrio
zigotik pisang Breviformis, Tomentosa dan Zebrina, (3) enkapsulasi embrio zigotik
dengan penggunaan manitol, (4) penyimpanan secara kriopreservasi. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk (1) mendapatkan formulasi terbaik untuk
organogenesis aksis bunga pisang (AA, BB, AAB dan ABB), (2) mengetahui
pengaruh durasi simpan terhadap perkecambahan pisang liar (AA) Breviformis,
Tomentosa dan Zebrina, (3) untuk mengetahui efektivitas manitol untuk
pertumbuhan minimal, (4) untuk mengetahui pengaruh durasi prakultur terhadap
daya hidup dan regenerasi scalp dari pisang Kosta yang dikriopreservasi secara
pembekuan sederhana, (5) untuk mengetahui pengaruh durasi loading dan
dehidrasi terhadap daya hidup dan regenerasi scalp dari pisang Kosta yang
dikriopreservasi dengan metode vitrifikasi.
Organogenesis dilakukan dengan menggunakan kepingan aksis bunga
pisang yang ditanam pada media perlakuan. Kultur embrio dilakukan dengan
terlebih dahulu menyimpan buah pisang Breviformis, Tomentosa dan Zebrina
selama 1, 3 dan 4 bulan. Pertumbuhan minimal dilakukan dengan teknik
enkapsulasi dengan penambahan manitol. Kriopreservasi dilakukan dengan teknik
pembekuan sederhana dan teknik vitrifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara BA dan TDZ
terhadap organogenesis aksis bunga pisang (AA, BB, AAA, AAB dan ABB).
Pisang dengan genom AAA menunjukkan respon yang paling baik dalam
pembentukan nodul dan tunas. Perlakuan yang terbaik untuk organogenesis pisang
adalah media yang mengandung BA 3 mg L-1. Pada kultur embrio zigotik, pisang
Tomentosa memiliki daya kecambah yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Breviformis dan Zebrina yaitu sebesar 70%. Perlakuan prakultur pada media yang
mengandung sukrosa 0.4 M selama dua minggu merupakan perlakuan terbaik
pada kriopreservasi secara pembekuan sederhana. Tidak ada interaksi yang nyata
antara durasi loading dengan larutan LS dan dehidrasi dengan larutan PVS2 dalam
pembentukan nodul baru dari scalp pisang Kosta. Perlakuan LS selama 40 menit
dan PVS2 selama 1 jam merupakan perlakuan terbaik untuk kriopreservasi scalp
pisang Kosta dengan teknik vitrifikasi.
Kata
kunci:
Aksis bunga, organogenesis, kultur embrio,
kriopreservasi, pembekuan sederhana, vitrifikasi.
enkapsulasi,
SUMMARY
DEA SYLVA LISNANDAR. In Vitro of Banana (Musa spp.) Germplasm
Through Minimal Growth and Cryopreservation. Supervised by DARDA
EFENDI and IKA ROOSTIKA.
Germplasm storage of bananas in the field faces a high risk of losing the
specific genotypes due to biotic and abiotic stresses. In vitro storage by
cryopreservation is one of the alternative ways to conserve banana germplasm.
Thus, regeneration method should be optimized before the application of
cryopreservation method. The experiment was conducted at Tissue culture
Laboratory, Indonesian Center for Agricultural Biotechnology and Genetic
Resources Research and Development (ICABIOGRAD), Bogor.
This study included four main experiments: (1) organogenesis of floral
axis of bananas AA, BB, AAA, AAB and ABB, (2) zygotic embryo culture of
banana Breviformis, Tomentosa and Zebrina, (3) encapsulation of zygotic
embryos with the addition of mannitol, (4) cryopreservation storage. The purposes
of this study were to obtain the best media for organogenesis floral axis of banana
germplasm (AA, BB, AAB and ABB), to know the effect of the duration of
preculture to the survival and regenerate rate of scalp Kosta by simple freezing
cryopreservation, and to know the effect of duration of loading and dehydration to
the survival and regeneration rate of Kosta scalp cryopreserved by vitrification
method.
Organogenesis was performed by using a piece of banana floral axis
planted in the media treatment. Embryo culture was conducted prior to store
banana fruit of Breviformis, Tomentosa and Zebrina for 1, 3 and 4 months.
Minimal growth was performed with encapsulation technique with the addition of
mannitol. Cryopreservation was performed by simple freezing technique and
vitrification techniques.
The results showed that there was no significant interaction between BA
and TDZ to the organogenesis of floral axis of banana germplasm (AA, BB,
AAA, AAB and ABB). The AAA group showed the best response in the
formation of nodules and shoot. The best treatment for organogenesis of floral
axis was BA 3 mg L-1. In the zygotic embryo culture, Tomentosa had a higher
germination rate than Breviformis and Zebrina which was 70%. Preculture
treatment in media containing 0.4 M sucrose for two weeks was the best treatment
in simple freezing cryopreservation. There was no significant interaction between
the duration of loading (with LS solution) and dehydration (with PVS2 solution)
to the formation of new nodules of the scalp of Kosta. LS treatment for 40
minutes and PVS2 for 1 hour was the best treatment for cryopreservation of scalp
of Kosta by vitrification technique.
Keywords:
Floral axis, organogenesis, embryo culture,
cryopreservation, simple freezing, vitrification.
encapsulation,
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KONSERVASI IN VITRO PLASMA NUTFAH PISANG
(Musa spp.) SECARA PERTUMBUHAN MINIMAL DAN
KRIOPRESERVASI
DEA SYLVA LISNANDAR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Agus Purwito, MscAgr.
PRAKATA
Syukur Alhamdulillahirobbil’alamiin, penulis ucapkan kepada Allah
subhanallahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini
berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Konservasi In Vitro Plasma
Nutfah Pisang (Musa spp.) secara Pertumbuhan Minimal dan Kriopreservasi.
Penulisan tesis ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada:
1. Dr Ir Darda Efendi, MSi dan Dr Ika Roostika, SP, MSi selaku komisi
pembimbing atas segala dukungan, kesabaran, arahan dan bimbingan selama
penelitian hingga penulisan tesis.
2. Dr Ir Agus Purwito, MScAgr selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis
atas saran dan arahannya.
3. Prof (riset). Dr Ika Mariska, peneliti senior BB Biogen yang senantiasa
berbagi ilmu dan memberikan berbagai masukan dan saran atas pelaksanaan
penelitian ini.
4. Bapak (Ir Engkos Kusnandar) dan ibu (Lesly Nukiwati, SPd) serta adik (Deta
Annisa Lisnandar) atas segala jerih payah, doa, pengertian, rasa cinta dan
sayang yang tidak pernah putus kepada penulis.
5. Seluruh civitas akademika Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor,
khususnya para dosen Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
IPB yang telah mencurahkan ilmunya kepada kami.
6. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik Pertanian (BB-Biogen) atas segala fasilitas untuk pelaksanaan
penelitian.
7. Keluarga besar Laboratorium BSJ, Ibu Suci, Pak Joko Tamami, Pak Asep, Pak
Wawan, Mas Anto dan Bu Marnah yang telah banyak membantu pelaksanaan
penelitian ini.
8. Teman seperguruan Rara Puspita, Yosi Zendra Joni, dan Lilis yang telah
senantiasa siap membantu pelaksanaan penelitian.
9. Keluarga besar PBT 2012 yang selalu kompak dan saling menyemangati.
10. Kak Tika, Kak Syifa, Aline, Pak Firman, Kak Nura, Mba Dewi atas bantuan
dan kerjasama selama studi dan penelitian.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan ilmu pertanian masa depan.
Bogor, 2015
Dea Sylva Lisnandar
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar belakang
Tujuan
Hipotesis
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Pisang
Organogenesis
Pertumbuhan Minimal
Kriopreservasi
3 ORGANOGENESIS AKSIS BUNGA
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Simpulan
4 KULTUR EMBRIO ZIGOTIK
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
5 ENKAPSULASI EMBRIO ZIGOTIK DENGAN PENGGUNAAN
MANITOL
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
6 PENYIMPANAN SECARA KRIOPRESERVASI
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
7 PEMBAHASAN UMUM
8 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
vi
1
1
2
2
3
5
5
6
6
7
9
9
10
17
18
18
18
19
21
22
22
23
24
25
26
26
26
28
32
34
35
35
35
36
40
41
DAFTAR TABEL
1 Jumlah embrio zigotik pisang Calcuta-4 yang tumbuh pada berbagai
konsentrasi manitol, 3 BST
2 Pengaruh lama prakultur terhadap daya hidup, daya regenerasi dan
pencoklatan scalp pisang Kosta, 5 MST.
3 Persentase daya hidup dan daya regenerasi scalp pisang Kosta, 5 MST.
24
28
31
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
Diagram alir penelitian
Tahapan sterilisasi dari eksplan aksis bunga pisang Kepok
Pengaruh BA dan TDZ terhadap pembentukan nodul pisang, 12 MST
Pengaruh BA dan TDZ terhadap pembentukkan tunas pisang, 12 MST
Penampilan biakan pisang hasil organogenesis aksis bunga
Tunas pisang setelah diregenerasi pada media BA 10 µM, IAA 1 µM
dan asam askorbat 100 mg L-1
7 Tahapan organogenesis dari eksplan aksis bunga pisang Kepok
8 Pengaruh lama penyimpanan terhadap daya hidup dan daya
perkecambahan embrio zigotik pisang, 3 BST
9 Pengaruh zat pengatur tumbuh (ZPT) terhadap daya kecambah embrio
zigotik pisang Brevifomis, Tomentosa dan Zebrina, 3 BST
10 Respon in vitro embrio zigotik pisang terhadap lama waktu
penyimpanan, 8 MST
11 Penampilan embrio zigotik pisang selama 3 BST
12 Embrio zigotik pisang sebelum perendaman larutan Tetrazolium 1%
13 Embrio zigotik pisang setelah perendaman larutan Tetrazolium 1%
14 Penampilan scalp pisang Kosta pada umur 2 MST selama tahapan
kriopreservasi secara pembekuan sederhana
15 Pertumbuhan scalp pisang Kosta yang sudah diregenerasi (umur 5
minggu)
16 Scalp pisang Kosta pra pembekuan dengan nitrogen cair, 4 MST
17 Scalp pisang Kosta pasca pembekuan dengan nitrogen cair, 4 MST
4
11
12
13
15
16
16
20
20
21
25
25
25
29
30
32
33
DAFTAR LAMPIRAN
1
Komposisi Media Dasar Murashige & Skoog (MS)
40
1
1 PENDAHULUAN
Latar belakang
Tanaman pisang merupakan tanaman herba yang banyak terdapat di Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Jenis-jenis pisang di Indonesia sangat beragam
meliputi spesies liar dan varietas budidaya yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, eksploitasi hutan yang
tak terkendali, serta meningkatnya jumlah varietas unggul hasil pemuliaan
tanaman, kekayaan keragaman genetik yang tersedia dewasa ini mengalami
penyusutan dengan sangat pesat. Selain itu, adanya erosi plasma nutfah yang
berlangsung sangat cepat menyebabkan banyak jenis tanaman menjadi langka
bahkan punah. Erosi plasma nutfah dapat disebabkan oleh introduksi varietas baru
dan faktor lingkungan (Hardiningsih et al. 2012).
Pisang merupakan kelompok tumbuhan yang erosinya tergolong pesat,
sedangkan manfaat pisang sangat besar bagi kebutuhan manusia sehingga perlu
dilakukan usaha untuk melestarikannya. Oleh karena itu, plasma nutfah pisang
perlu diselamatkan untuk menghindari kepunahannya. Penyimpanan benih berupa
biji merupakan cara yang cocok untuk penyimpanan plasma nuftah tanaman, tapi
tidak dapat diterapkan pada tanaman yang tidak berbiji, berbiji rekalsitran dan
perkembangbiakannya secara vegetatif. Koleksi di lapang berisiko terhadap
hilangnya plasma nutfah disebabkan oleh faktor biotik (organisme pengganggu
tanaman) dan faktor abiotik (cekaman yang berasal dari lingkungan) (Panis 2009).
Konservasi in vitro memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan
metode konservasi lainnya, seperti penghematan area, tenaga kerja, biaya dan
waktu, juga dapat terhindar dari kehilangan genotipe karena cekaman biotik dan
abiotik. Teknik kriopreservasi bahkan dapat mengurangi ketergantungan pada
pemakaian aliran listrik. Dengan teknik kriopreservasi, proses metabolisme akan
terhenti pada temperatur sangat rendah sehingga bahan tanaman dapat disimpan
dalam waktu yang lama. Penyimpanan secara kriopreservasi akan mengurangi
atau meniadakan tindakan subkultur, sehingga akan lebih efisien dari segi biaya,
waktu, ruang penyimpanan dan tenaga. Sebagai satu-satunya metode konservasi
jangka panjang yang tersedia bagi tumbuhan berbiji non-ortodoks, di Indonesia
penyimpanan secara kriopreservasi perlu dilakukan, mengingat potensi plasma
nutfah tanaman yang sebagian besar berbiji rekalsitran, semi-rekalsitran atau
berbiak vegetatif yaitu, tanaman kehutanan, buah-buahan, umbi-umbian, tanaman
hias dan obat-obatan (Roostika dan Mariska 2003; Tjokrokusumo 2004; Leunufna
2007).
Pertumbuhan minimal adalah penyimpanan plasma nutfah dalam jangka
waktu menengah dengan menggunakan senyawa retardan seperti, paclobutrazol,
cicocel, ancimidol dan inhibitor asam absisat serta komponen osmotik seperti
sorbitol dan manitol. Plasma nutfah yang disimpan dengan metode pertumbuhan
minimal disebut sebagai active collection (koleksi aktif) sedangkan yang disimpan
dengan metode kriopreservasi disebut sebagai base collection (koleksi dasar)
dalam bank gen in vitro (Bajaj dan Towill 2002; Roostika dan Mariska 2003;
Lestari dan Purnamaningsih 2005; Keller et al. 2006).
Koleksi materi
kriopreservasi dapat bertahan hingga waktu tak terbatas dan diasumsikan dapat
2
menjaga konsistensi genetik ketika diregenerasikan kembali. Hal ini
dimungkinkan karena pada suhu yang ekstrim rendah (-1960C), seluruh proses
biologi berlangsung sangat lambat. Teknik penyimpanan plasma nutfah secara
pertumbuhan minimal telah diaplikasikan pada beberapa spesies tanaman seperti
ubi jalar (Laisia 2009) dan kantung semar (Nepenthes spp.) (Damayanti 2010),
sedangkan teknik kriopreservasi telah dilakukan pada beberapa spesies tanaman
diantaranya adalah purwoceng (Roostika et al. 2007) dan pisang (Panis 1996;
Panis 2005).
Regenerasi tanaman merupakan kunci keberhasilan dari aplikasi
konservasi tanaman. Oleh sebab itu, metode regenerasi sangat penting untuk
dikuasai. Regenerasi tanaman pisang dipengaruhi oleh genotipe tanaman, pada
pisang tanduk (AAB) BA (6-benzyladenine) yang digunakan hanya 2.5 µM
sedangkan pada pisang dengan genom ABB atau BBB diperlukan konsentrasi BA
yang lebih tinggi (Elhory et al. 2009). Menurut de Oliveira et al. (2000), hasil
evaluasi metode penyimpanan pada pisang diploid AA menunjukkan adanya
respon yang baik dalam penyimpanan baik dalam kondisi pertumbuhan minimal
dan kriopreservasi dalam suhu rendah, tanpa penyesuaian media kultur dan
lingkungan fisik. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa keberhasilan
dalam teknik pertumbuhan minimal dan kriopreservasi tergantung pada genotipe
tanaman (Keller et al. 2006). Namun demikian, sebelum teknik konservasi
diaplikasikan metode regenerasi harus dikuasai terlebih dahulu. Oleh karena itu,
pada penelitian ini dilakukan optimasi metode regenerasi sebagai tahap
perbanyakan bahan tanaman yang akan disimpan dengan metode pertumbuhan
minimal dan kriopreservasi. Teknik konservasi yang dapat dilakukan untuk
menjaga kelestarian plasma nutfah pisang salah satunya adalah kriopreservasi,
tetapi sebelumnya teknik perbanyakan perlu dikuasai terlebih dahulu sehingga
perlu dioptimasi, terutama untuk plasma nutfah pisang Indonesia. Studi
kriopreservasi pisang di Indonesia juga masih terbatas sehingga perlu dilakukan.
Tujuan
Tujuan dari peneltian ini adalah:
1. Memperoleh formulasi media organogenesis aksis bunga jantan pisang
bergenom AA, BB, AAA, AAB dan ABB.
2. Mengetahui pengaruh durasi simpan terhadap perkecambahan embrio
zigotik pisang liar (AA-w) Breviformis, Tomentosa dan Zebrina.
3. Mengetahui efektifitas manitol untuk pertumbuhan minimal embrio
zigotik pisang Calcuta-4.
4. Mengetahui efektivitas teknik pembekuan sederhana untuk kriopreservasi
scalp pisang Kosta.
5. Mengetahui efektivitas teknik vitrifikasi untuk kriopreservasi scalp pisang
Kosta.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
1. Terdapat interaksi yang nyata antara BA dan TDZ (Thidiazuron) terhadap
organogenesis aksis bunga jantan pisang bergenom AA, BB, AAA, AAB
dan ABB.
3
2. Lama penyimpanan buah berpengaruh nyata terhadap daya hidup dan daya
perkecambahan embrio zigotik pisang Breviformis, Tomentosa dan
Zebrina.
3. Semakin tinggi konsentrasi manitol maka pertumbuhan embrio zigotik
pisang Calcuta-4 akan semakin terhambat.
4. Lama prakultur dengan sukrosa 0.4 M berpengaruh nyata terhadap daya
regenerasi scalp pisang Kosta yang dikriopreservasi dengan teknik
pembekuan sederhana.
5. Terdapat interaksi yang nyata antara lama loading dan dehidrasi terhadap
daya regenerasi scalp pisang Kosta, baik sebelum maupun setelah
pembekuan jaringan dalam nitrogen cair yang dikriopreservasi dengan
teknik vitrifikasi.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terdiri dari empat percobaan yaitu, (1) organogenesis aksis
bunga jantan pisang bergenom AA, BB. AAA, AAB dan ABB, (2) kultur embrio
zigotik pisang Breviformis, Tomentosa dan Zebrina, (3) enkapsulasi embrio
zigotik pisang Calcuta-4, (4) kriopreservasi scalp pisang Kosta secara teknik
pembekuan sederhana dan teknik vitrifikasi. Percobaan organogenesis aksis bunga
diawali dengan pembentukan nodul dan tunas dan dilanjutkan dengan
pemanjangan tunas. Percobaan kultur embrio zigotik pisang Breviformis,
Tomentosa dan Zebrina meluputi perkecambahan. Percobaan pertumbuhan
minimal menggunakan teknik enkapsulasi dan menggunakan manitol sebagai zat
pengahambat. Pada percobaan kriopreservasi menggunakan dua teknik yaitu,
secara pembekuan sederhana dan vitrifikasi (Gambar 1).
Pada setiap percobaan diarahkan untuk mempelajari pertumbuhan eksplan
menjadi nodul dan tunas, di antaranya adalah pengaruh kombinasi BA dan TDZ
pada pembentukan nodul eksplan aksis bunga, pengaruh waktu simpan terhadap
perkecambahan embrio zigotik, pertumbuhan embrio zigotik yang telah
dienkapsulasi, pembentukan nodul baru pada scalp pisang Kosta yang
dikriopreservasi secara pembekuan sementara dan vitrifikasi. Diagram alir
penelitian ditampilkan pada Gambar 1.
4
Plasma nutfah tanaman pisang di lapang
Organogenesis aksis bunga
Penyimpanan buah dalam
suhu rendah
Pertumbuhan minimal
pada embrio
Kriopreservasi
Pembekuan sederhana
Isolasi aksis bunga
Induksi organogenesis
pada media Perlakuan
kombinasi BA dan TDZ
Penyimpanan buah pada
suhu 5±20C, selama 1, 3
dan 4 bulan
Isolasi embrio dari biji
dengan mikroskop
Isolasi embrio dari biji
dengan mikroskop
Enkapsulasi embrio
zigotik
Prakultur
Prakultur
Pembekuan jaringan dalam
nitrogen cair
Loading, dengan LS
Pelelehan
Dehidrasi, dengan
PVS2
Koleksi biakan in vitro
Perkecambahan
secara in vitro
embrio
Enkapsulai dengan NAalginat yang ditambahkan
manitol (0, 1, 2, 3, 4, & 5
%)
Vitrifikasi
Regenerasi
Nitrogen cair
Pelelehan
Deloading
Pemulihan
Regenerasi
Gambar 1 Diagram alir penelitian
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Pisang
Pisang termasuk ke dalam famili Musaceae yang terdiri dari dua genera
yaitu, genus Musa dan Ensete. Genus Musa terbagi atas empat kelompok yaitu,
Australimusa, Callimusa, Eumusa, dan Rhodochlamys. Kelompok Australimusa
dan Eumusa banyak dimanfaatkan untuk buah, serat, dan sayuran sedangkan
Callimusa dan Rhodochlamys banyak digunakan sebagai tanaman hias
(Simmonds 1970).
Kebanyakan kultivar yang ada terjadi melalui persilangan atau hibridisasi,
dan buahnya bersifat parthenocarpic. Sebagian besar kultivar adalah triploid (2n
= 3x = 33 kromosom), biasanya dengan konstitusi genom AAA, AAB atau ABB.
Kata banana cenderung untuk menggambarkan buah-buahan yang dimakan segar
saat matang sedangkan yang digunakan sebagai produk manis, disebut sebagai
plantain dan cooking banana biasanya dimasak. Meskipun tidak ada perbedaan
botani antara keduanya, banyak jenis cooking banana merupakan hasil
persilangan interspesifik (AAB atau ABB) sementara banyak jenis banana
merupakan hasil persilangan intraspesifik (AAA) (Heslop-Harrison JS 2011).
Indonesia sebagai pusat keragaman pisang dapat menyelamatkan plasma
nutfah pisang dengan memanfaatkan plasma nutfah pisang yang kita miliki.
Pisang liar Musa acuminata ssp. mallaccensis telah diketahui tahan terhadap
Fusarium oxysprorum fsp. cubense (Foc) dan mempunyai daya adaptasi yang
luas. Pisang liar tersebut dapat dimanfaatkan untuk pemuliaan tanaman pisang
yang tahan penyakit dan beradaptasi luas. Pisang liar mallaccensis bahkan telah
dikenal sejak awal tahun 1980-an sebagai sumber gen untuk pemuliaan dan
dewasa ini urutan DNAnya tanaman ini telah dipetakan pada komunitas keilmuan
atas usaha bersama dari beberapa ilmuwan dari negara produsen pisang.
Pisang komersial terdiri dari lebih dari satu genom (AA, AAA, AAB, ABB,
BB,
AAAA,
AAAB),
polen
steril,
kegagalan
dalam
sistem
penyerbukan/pembuahan dan partenokarpi (karpel tumbuh walaupun embrio tidak
berkembang sehingga buah terbentuk tetapi tanpa biji). Pisang terbukti berasal
dari persilangan antara M. acuminata (AA) dan M. balbisiana (BB). Genom AA
bertanggung jawab terhadap rasa manis atau asam dengan kadar pati rendah
sedangkan genom BB berkaitan dengan kadar pati yang lebih tinggi. Kombinasi
dari kedua genom tersebut menghasilkan beberapa kelompok pisang seperti:
pisang diploid AA (Pisang Mas, Pisang Jari Buaya, Pisang Berlin, Pisang Oli
yang secara umum dicirikan oleh ukuran buah yang kecil dan kulit tipis menempel
pada daging buah), pisang triploid AAA (Ambon/Gross Michell, Ambon Lumut/
Cavendish, barangan dan Udang), AAB (Rajabulu, Raja Sereh, Tanduk, Nangka
dan Kosta), ABB (Siem, Saba, dan Kepok), BB (Klutuk Awu, Klutuk Wulung,
Klutuk Warangan) serta pisang tetraploid silangan Honduras AAAB (FHIA02)
(Simmonds dan Shepherd 1955).
6
Organogenesis
Perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro telah banyak dilakukan, salah
satunya adalah dengan jalur organogenesis. Organogenesis adalah proses pembentukan tunas secara langsung dari jaringan meristematik. Jaringan meristem
yang biasa digunakan dalam organogenesis pisang adalah sucker atau anakan
(Bhosale et al. 2011). Namun demikian, penggunaan anakan mempunyai risiko
kontaminasi yang tinggi karena adanya kontak langsung dengan tanah.
Organogenesis pisang dapat dilakukan dengan menggunakan bunga jantan,
penggunaan bunga jantan dapat menjadi salah satu altenatif perbanyakan pisang
melalui jalur organogenesis (Davari et al. 2010). Eksplan lain yang dapat
digunakan dalam organogenesis pisang adalah scalp (Elhory et al. 2009),
meristem apikal (Al Amin et al. 2009) dan aksis bunga (Krikorian et al. 1993;
Martin 2005). Penggunaan aksis bunga sebagai ekplan masih sangat terbatas
dilaporkan. Selain adanya kontaminasi, pencoklatan merupakan kendala pada
kultur in vitro pisang. Pencoklatan yang parah dapat menyebabkan kematian
eksplan. Pencoklatan lebih sering terjadi pada pisang diploid BB, triploid AAB
dan ABB. Diduga bahwa pisang yang mengandung genom B mengandung
senyawa fenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang mengandung genom
A (Buah et al. 2010; Resmi dan Nair 2011).
Pada kultur in vitro pisang, sitokinin adalah golongan zat pengatur tumbuh
(ZPT) yang sering digunakan. Sitokinin berupa BA (6-benzyladenine) dan TDZ
(Thidiazuron) merupakan ZPT yang umum digunakan dalam organogenesis
pisang. Pada pisang tanduk dengan eksplan anakan, konsentrasi BA terbaik adalah
2.5 µM (0.56 mg L-1), sedangkan pada pisang Barangan adalah 4.9 mg L-1 (Jafari
et al. 2011). Pada pisang Oniaba dan Apantu konsentrasi BA terbaik adalah 4.5
mg L-1 (Buah et al.2010). Youmbi et al. (2006) melaporkan bahwa TDZ dengan
konsentrasi 0.05 mg L-1 dapat meningkatkan proliferasi tunas yang berasal dari
anakan pada pisang Gros-michell namun apabila konsentrasinya ditingkatkan
maka akan menghambat proliferasi tunas.
Pertumbuhan Minimal
Penyimpanan atau konservasi plasma nutfah di kebun koleksi sangat
berisiko dan juga membutuhkan lahan, waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar
konservasi in vitro merupakan solusi yang tepat untuk permasalahan tersebut.
Untuk memperoleh hasil yang optimal dalam penyimpanan in vitro, ada beberapa
prinsip yang dapat diterapkan yaitu, meminimumkan pertumbuhan biakan
sehingga interval waktu subkultur lebih panjang, memelihara agar viabilitas tunas
yang disimpan tidak menurun dan mencegah terjadinya variasi somaklonal
(Lestari 1999). Teknik penyimpanan in vitro mempunyai beberapa kelebihan,
seperti penghematan lahan, tenaga kerja, biaya dan waktu. Biakan dapat segera
diperbanyak apabila diperlukan, juga memudahkan dalam pertukaran plasma
nutfah dan bebas dari gangguan hama dan penyakit. Namun terdapat beberapa
kendala dalam pemanfaatannya yaitu, memerlukan tenaga terampil dan analisis
kestabilan genetik pada materi yang disimpan setiap periode tertentu (Ashmore
1997).
7
Penyimpanan plasma nutfah secara in vitro dapat ditempuh melalui aplikasi
teknik pertumbuhan lambat atau minimal. Pada penyimpanan ini, eksplan
dikondisikan tumbuh dalam keadaan sub-optimal di mana pertumbuhan
berlangsung sangat lambat. Metode ini memiliki beberapa keuntungan antara lain
bahan yang disimpan siap diperbanyak apabila diperlukan, mudah diamati
kondisinya, dan bahan mudah disimpan kembali. Salah satu metode dalam
pertumbuhan minimal adalah enkapsulasi.
Enkapsulasi diartikan sebagai suatu teknik pembungkusan benih in vitro
baik dalam bentuk embrio somatik ataupun tunas pucuk dengan suatu bahan
penyalut. Penyalutan tersebut dapat mempertahankan vigor benih tanaman selama
waktu yang diinginkan, sehingga benih dapat disimpan tanpa menyebabkan
kerusakan mekanik. Penyelubungan benih biasanya menggunakan Na-alginat
yang merupakan polimer yang bersifat hidrofilik, dengan CaCl2.2H2O akan
membentuk gel (Redenbaugh et al. 1987).
Garam alginat adalah linear biner asam heteropolimer 1,4 - β-D-manuronat
dan asam 1,4-α-L-guluronat. Na-alginat diekstrak dari berbagai jenis ganggang
coklat. Na-alginat banyak digunakan untuk kultur protoplas dan benih sintetik.
Ketika garam natrium terkena ion kalsium, gelatinisasi terjadi (Trivedi et al.
2009).
Pada enkapsulasi pisang banyak digunakan tunas dan embrio somatik
sebagai eksplan. Dalam enkapsulasi pisang tunas diisolasi dari berbagai kultur
pucuk pisang cv Basrai yang dienkapsulasi dalam 3% natrium alginat yang
mengandung matriks gel yang berbeda (Ganapathi et al. 1992). Tunas yang telah
dienkapsulasi kemudian diregenerasi secara in vitro pada media yang berbeda.
Penggunaan media White menghasilkan regenerasi maksimum tunas yang
dienkapsulasi menjadi planlet. Namun, tunas yang dienkapsulasi dapat berubah
menjadi coklat dan infeksi bakteri yang parah juga perlu diperhatikan.
Penambahan 0.1% arang aktif dan campuran antibiotik yang terdiri dari
rifampisin, cefatoxime dan tetrasiklin untuk matriks gel digunakan untuk menjaga
agar tunas tidak mengalami kontaminasi. Pengangkutan dan pertukaran plasma
nutfah pisang dengan ujung tunas yang di enkapsulai lebih mudah, relatif murah
dan aman daripada pengambilan dari anakannya (Ganapathi et al. 1992).
Kultivar (AAB, ABB dan AB) memiliki perbedaan dalam regenerasi
kembali setelah enkapsulasi dan kultivar dengan genom B menunjukkan respon
yang lebih baik. Ganapathi et al. (2001) telah melaporkan pertama kali
enkapsulasi embrio somatik pisang cv Rasthali (AAB kelompok genom) untuk
memproduksi benih sintetik. Frekuensi konversi embrio dienkapsulasi menjadi
planlet bervariasi pada matriks gel yang berbeda dan substrat yang digunakan
untuk pengembangan pabrik. Regenerasi maksimum menjadi planlet dari embrio
yang dienkapsulasi dicapai ketika embrio somatik dienkapsulasi dalam 5%
natrium alginat dan dikultur pada media basal MS.
Kriopreservasi
Penyimpanan biji kering pada suhu rendah merupakan metode yang paling
baik untuk melestarikan plasma nutfah tanaman, tetapi metode itu tidak berlaku
untuk tanaman yang tidak menghasilkan benih (misalnya, pisang) atau tanaman
dengan benih rekalsitran, serta untuk spesies tanaman yang diperbanyak secara
8
vegetatif untuk melestarikan konstitusi genom. Pelestarian hanya dengan koleksi
lapangan sangat berisiko karena plasma nutfah yang bisa hilang (erosi genetik)
karena hama, penyakit dan kondisi cuaca. Oleh karena itu, kriopreservasi atau
membekukan pada suhu rendah (-196 °C, yaitu suhu nitrogen cair) adalah
alternatif yang baik untuk konservasi sumber daya genetik tanaman jangka
panjang, karena dalam kondisi seperti ini, proses biokimia dan fisik benar-benar
berhenti (Panis dan Lambardi 2005)
Kriopreservasi adalah penyimpanan plasma nutfah pada suhu yang sangat
rendah dan dalam waktu yang lama, menggunakan nitrogen cair (suhu -1960C).
Koleksi materi kriopreservasi dapat bertahan hingga waktu tak terbatas dan
diasumsikan dapat menjaga konsistensi genetik ketika diregenerasikan kembali.
Hal ini diduga karena pada suhu yang ekstrim rendah, seluruh proses biologis
tidak berlangsung. Pertumbuhan minimal adalah penyimpanan plasma nutfah
dalam jangka waktu menengah dengan menggunakan senyawa penghambat
pertumbuhan seperti paclobutrazol, cicocel, ancimidol dan inhibitor asam absisat
serta komponen osmotik seperti sorbitol dan manitol. Plasma nutfah yang
disimpan dengan metode pertumbuhan minimal disebut sebagai active collection
(koleksi aktif) sedangkan plasma nutfah yang disimpan dengan metode
kriopreservasi disebut sebagai base collection (koleksi dasar) dalam bank gen in
vitro (Bajaj dan Towill 2002; Roostika dan Mariska 2003; Lestari dan
Purnamaningsih 2005; Keller et al. 2006).
Kriopreservasi pada jaringan dapat berhasil hanya jika pembentukan kristal
es intra-seluler dapat dihindari, karena hal ini menyebabkan kerusakan permanen
pada membran sel sehingga menghancurkan semi-permeabilitasnya. Di alam,
beberapa spesies tanaman mengadopsi sistem di mana kristal es yang dibentuk
pada suhu dibawah 00C dapat dihindari dengan mensintesis zat spesifik (seperti
gula, prolin dan protein) yang dapat menurunkan titik beku dalam sel-sel
tumbuhan. (Panis et al. 1996; Panis dan Lambardi 2005).
9
3 ORGANOGENESIS AKSIS BUNGA
Pendahuluan
Tanaman pisang merupakan tanaman herba yang banyak terdapat di Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Jenis-jenis pisang di Indonesia sangat beragam
yang merupakan pisang liar yaitu, Musa acuminata dan M. balbisiana serta hasil
persilangan antar sesama atau keduanya yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Hasil persilangan tersebut membentuk kombinasi genom AA, BB, AB,
AAB, ABB, AAA, BBB, AABB dan ABBB (Simmonds dan Shepred 1955;
Valmayor et al. 2000; Heslop-Harrison 2011).
Koleksi secara ex-situ di lapangan berisiko terhadap hilangnya plasma
nutfah disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik (Panis 2009). Faktor biotik
merupakan organisme pengganggu tanaman pisang yang menyebabkan penyakit
layu fusarium, layu bakteri, bercak sigatoka, kerdil bunchy top, dan tumor
nematoda. Faktor abiotik adalah kondisi lingkungan pertanaman yang dapat
menyebabkan cekaman, antara lain kekeringan, kemasaman, dan salinitas (Daly et
al. 2006). Layu fusarium merupakan salah satu penyakit yang paling merugikan
pada tanaman pisang (Daly et al. 2006). Penyakit tersebut termasuk tular tanah
(soil borne) dan epideminya telah menghancurkan banyak populasi tanaman
pisang di lapangan maupun kebun koleksi (Visser et al. 2010). Penyimpanan
secara in vitro merupakan teknologi yang dapat diterapkan. Teknologi
penyimpanan secara in vitro memiliki kelebihan daripada penyimpanan secara
konvensional yaitu, lebih menghemat area, tenaga, waktu, dan biaya. Memiliki
risiko yang minimal terhadap hilangnya genotipe oleh karena cekaman
lingkungan biotik dan abiotik sehingga penyimpanan dapat dilakukan secara
efektif dan efisien (Roostika dan Mariska 2003).
Sebelum aplikasi penyimpanan in vitro, sistem regenerasi perlu dikuasai
terlebih dahulu. Kultur in vitro pisang melalui jalur organogenesis telah banyak
dilaporkan dan eksplan yang biasa digunakan adalah anakan (Khalil et al. 2002;
Roy et al. 2010). Organogenesis menggunakan eksplan bunga jantan juga telah
dilakukan (Darvari et al. 2010; Sultan et al. 2011). Penggunaa scalp (Elhory et al.
2009) dan meristem apikal (Al Amin et al. 2009) juga telah dilakukan. Dilaporkan
bahwa regenerasi tanaman pisang dipengaruhi oleh genotipe tanaman. Studi
organogenesis pisang menggunakan floral axis (aksis bunga) juga telah dilakukan
(Krikorian et al. 1993; Martin 2005).
Selain kendala kontaminasi, pencoklatan juga menjadi faktor penghambat
dalam kultur in vitro pisang, khususnya yang mengandung genom B (Resmi dan
Nair 2011). Pencoklatan yang terjadi selama kultur in vitro dapat menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan biakan atau bahkan menyebabkan kematian.
ZPT BA dan TDZ banyak digunakan dalam kultur in vitro pisang untuk
meningkatkan proliferasi tunas (Youmbi et al. 2006; Elhory et al. 2009).
Dilaporkan bahwa regenerasi pisang Tanduk (AAB) dengan menggunakan anakan
memerlukan BA 2.5 µM, sedangkan pisang dengan genom ABB atau BBB
membutuhkan konsentrasi BA yang lebih tinggi (Elhory et al. 2009). Selain
modifikasi media melalui penggunaan ZPT, tipe eksplan juga dapat
mempengaruhi keberhasilan kultur in vitro pisang. Pada umumnya, anakan
10
digunakan sebagai sumber eksplan. Pada penelitian ini digunakan jenis eksplan
lainnya yaitu, male bud floral axis (aksis bunga jantan) yang diharapkan dapat
mengatasi masalah pencoklatan dan rendahnya faktor multiplikasi tunas sehingga
pertumbuhan biakan pisang yang bergenom AAB dan ABB dapat dioptimalkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi media yang efektif untuk
morfogenesis aksis bunga jantan pisang yang diregenerasikan secara
organogenesis.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 sampai September
2014 di Laboratorium Kultur Jaringan, Kelompok Peneliti Biologi Sel dan
Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Bogor.
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisang
Lampung (AA), Kepok (ABB), Rajabulu (AAB) dan Klutuk Awu (BB) yang
diperoleh dari kebun petani di Bogor (Jawa Barat), pisang Barangan (AAA) yang
diperoleh dari BB Biogen, Bogor, serta Udang (AAA), Kosta (AAB), Ambon
Kuning (AAA), Ambon Lumut (AAA) dan Siem (ABB) yang diperoleh dari
kebun koleksi milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong.
Braktea dan stamen dari bunga jantan dibuang hingga bunga jantan
berukuran ±15 cm, kemudian didesinfestasi dengan campuran detergen selama 1
jam, lalu direndam dalam larutan fungisida (Benomyl 50.4%) dan bakterisida
(Steptomicyn sulfat 20%) selama 1 jam. Selanjutnya, jantung direndam dalam
alkohol teknis 70%, clorox 30% (NaOCl 15.75 %) dan 20% (NaOCl 10.5 %)
selama masing-masing 5 menit kemudian dibilas dengan akuades sebanyak 3
(tiga) kali masing-masing selama 5 menit. Aksis bunga diiris secara melintang
dengan ketebalan sekitar 1 mm. Potongan melintang tersebut dibelah menjadi dua
keping yang berbentuk setengah lingkaran. Kepingan tersebut dijadikan sebagai
eksplan (Gambar 2). Media pertumbuhan in vitro yang digunakan adalah media
MS (Murashige dan Skoog 1962).
Percobaan ini dirancang dengan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dua faktor. Faktor pertama adalah BA (0, 1, 3 dan 5 mg L-1) dan faktor kedua
adalah TDZ (0 dan 0.1 mg L-1) sehingga terdapat 8 perlakuan. Setiap perlakuan
diulang 3 kali dan setiap satu ulangan terdiri dari 2 keping eksplan. Media yang
digunakan adalah media MS yang mengandung BA yang dikombinasikan dengan
TDZ dan polyvinylpyrollidone (PVP) dengan taraf 100 mg L-1.
Eksplan ditanam pada media perlakuan kemudian diinkubasi dalam ruang
kultur dengan suhu 250C, fotoperioditas 16 jam, dan intensitas cahaya 800 ̶ 1000
lux. Eksplan kemudian disubkultur setelah satu bulan pada media perlakuan yang
sama. Nodul yang terbentuk pada eksplan diregenerasikan menjadi tunas dan
pemanjangan tunas serta perakaran dilakukan pada media yang mengandung BA
10 µM, IAA (3-indole acetic acid) 1 µM dan asam askorbat 100 mg L-1 (Panis
2009).
Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 8–12 minggu setelah tanam
(MST). Peubah yang diamati meliputi jumlah nodul, jumlah tunas, waktu
terbentuknya nodul, dan tunas serta warna biakan.
11
Gambar 2 Tahapan sterilisasi dari eksplan aksis bunga pisang Kepok: (A) Jantung
pisang utuh, (B) Jantung yang sudah dibuang beberapa lapis brakteanya
hingga berukuran 15 cm, (C) Jantung yang sudah disterilisasi, (D & E)
Irisan aksis bunga, (F) Kepingan aksis bunga yang dijadikan sebagai
eksplan
Hasil dan Pembahasan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa eksplan aksis bunga dari pisang
dengan genom AA (Lampung), BB (Klutuk Awu), AAA (Ambon Kuning, Ambon
Lumut, Barangan, dan Udang), AAB (Nangka, Rajabulu, dan Kosta) dan ABB
(Kepok, dan Siem) memberikan respon in vitro terhadap formulasi media yang
diujikan. Respon tersebut diawali dengan pembentukan nodul pada area yang
awalnya terhubung dengan pangkal braktea. Secara umum, nodul sudah muncul
pada 2 MST pada semua genom (Gambar 3).
Hasil percobaan menunjukkan tidak terdapat interaksi yang nyata antara
BA dan TDZ pada semua genom pisang. Secara tunggal, BA memberikan
pengaruh yang nyata terhadap pembentukkan nodul pada hampir semua varietas
pisang, kecuali Ambon Kuning dan Nangka. Pada kedua varietas tersebut,
pemberian TDZ berpengaruh nyata terhadap pembentukkan nodul (Gambar 3).
Walaupun demikian, secara umum pengaruh pemberian BA lebih baik daripada
pemberian TDZ. Sebagaian besar varietas mampu membentuk nodul pada media
dengan atau tanpa ZPT, sedangkan varietas Ambon Lumut, Ambon Kuning dan
Kepok mutlak memerlukan ZPT. Perbedaan respon dari varietas tersebut sesuai
dengan yang dilaporkan Arinatwe et al. (2000) yaitu, respon terhadap zat pengatur
tumbuh ditentukan oleh genotipe atau bersifat genotype dependent. Perlakuan
yang terbaik untuk pembentukkan nodul Ambon Kuning adalah BA 1 mg L-1 dan
pisang Ambon Lumut adalah BA 1 mg L-1 atau TDZ 0.1 mg L-1. Sementara itu,
perlakuan yang terbaik untuk Barangan adalah BA 5 mg L-1. Perlakuan tersebut
hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Jafari et al. (2011) bahwa konsentrasi
terbaik pada pisang Barangan adalah BA 22 µM atau sekitar 4.9 mg L-1. Pada
pisang bergenom BB yaitu, Klutuk Awu, perlakuan terbaik adalah BA 5 mg L-1.
12
Gambar 3 Pengaruh BA dan TDZ terhadap pembentukan nodul pisang (A & E)
diploid AA dan BB, (B & F) triploid AAA, (C & G) triploid AAB, (D
& H) triploid ABB, 12 MST
Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa pisang triploid AAA memiliki
respon in vitro yang lebih baik dari genom lainnya karena mampu beregenerasi
pada media tanpa ZPT dan memiliki jumlah tunas yang lebih tinggi. Pada pisang
13
Barangan, perlakuan terbaik adalah pada media yang tidak mengandung BA.
Perlakuan terbaik untuk Ambon Lumut dan Ambon Kuning adalah BA 1 mg L-1
dan Udang 5 mg L-1. Perlakuan terbaik pada pisang Kepok Kuning (ABB) adalah
BA 3 mg L-1 dan Kosta (AAB) adalah BA 3 mg L-1.
Gambar 4 Pengaruh BA dan TDZ terhadap pembentukkan tunas pisang (A & E)
diploid AA dan BB, (B & F) triploid AAA, (C & G) triploid AAB, (D
& H) triploid ABB, 12 MST
14
Pembentukan tunas selain dipengaruhi oleh konsentrasi BA pada media
diduga dipengaruhi oleh TDZ. Youmbi et al. (2006) melaporkan bahwa TDZ pada
konsentrasi rendah dapat memacu proliferasi tunas pisang Topala, Fougamou,
Gros-Michel, Dwarf-Kalapua, Pelipita dan Kalapua. Namun demikian,
penggunaan TDZ pada penelitian ini tidak berbeda nyata pada hampir semua
varietas. Tidak terdapat interaksi yang nyata antara BA dan TDZ terhadap jumlah
tunas yang terbentuk dari aksis bunga (Gambar 4). TDZ memberikan pengaruh
yang nyata terhadap jumlah tunas pisang Ambon Lumut dan Nangka, dengan taraf
terbaik sebesar 0.1 mg L-1. Hasil ini sama dengan peubah jumlah nodul pada
pisang Ambon Lumut sehingga dapat dikatakan bahwa TDZ 0.1 mg L-1
merupakan perlakuan terbaik pada pisang Ambon Lumut. Muhammad et al.
(2007) menggunakan BA atau Kinetin dengan konsentrasi 6 mg L-1 untuk
meningkatkan proliferasi tunas adventif pisang Basrai, sedangkan apabila
konsentrasinya ditingkatkan menjadi 8 mg L-1 maka proliferasi tunas menurun.
Secara umum BA dengan konsentrasi 3 mg L-1 merupakan konsentrasi
yang direkomendasikan untuk organogenesis aksis bunga pada genom AA, BB,
AAA, AAB dan ABB karena hampir semua genom menghasilkan nodul dan
tunas. Untuk memilih konsentrasi terbaik pada semua genom AA, BB, AAA,
AAB dan ABB, sebaiknya diambil konsentrasi yang berada ditengah-tengah tidak
terlalu bagus dan tidak terlalu jelek pada hasil jumlah nodul atau jumlah tunas
sehingga dapat diaplikasikan pada seluruh genom pisang tersebut. Gambar 5
menunjukkan nodul dan tunas yang terbentuk dari masing-masing varietas pisang,
dari gambar tersebut dapat terlihat bahwa pertumbuhan eksplan pada tiap varietas
tidak sama walaupun berada dalam satu kelompok genom yang sama.
Tunas yang terbentuk disubkultur pada media yang mengandung BA 10
µM, IAA 1 µM dan asam askorbat 100 mg L-1. Subkultur ini bertujuan untuk
meregenerasikan nodul yang telah terbentuk pada perlakuan sebelumnya. Hasil
pengamatan visual menunjukkan bahwa setelah disubkultur pada media yang
mengandung asam askorbat, nodul dari setiap varietas mengalami proliferasi dan
beregenerasi membentuk tunas, kecuali Siem (Gambar 5). Pada media yang sama,
tunas mengalami elongasi dan perakaran karena media tersebut mengandung IAA.
Auksin dilaporkan memberikan pengaruh fisiologis berupa elongasi sel dan
induksi perakaran (Muhammad et al. 2007). Pencoklatan yang terjadi pada
Rajabulu mengakibatkan nodul dan tunas yang telah terbentuk menjadi mati.
Diduga bahwa eksplan pisang Siem dan Rajabulu mengandung senyawa fenolik
yang tinggi sehingga terjadi akumulasi quinon setelah mengalami oksidasi oleh
enzim polifenol oksidase. Quinon dapat menghambat pertumbuhan bahkan
menyebabkan kematian pada biakan, sehingga dibutuhkan senyawa antioksidan
untuk menghambat oksidasi senyawa fenolik (Nisyawati dan Kariyana 2013; Ko
et al. 2009). Pada penelitian ini, digunakan senyawa antioksidan berupa PVP 100
mg L-1. Oleh karena pencoklatan yang terjadi pada biakan Rajabulu dan Siem
masih tinggi dan biakan masih sulit beregenerasi maka biakan disubkultur pada
media yang mengandung asam askorbat 100 mg L-1. Media yang mengandung
asam askorbat tersebut mampu mencegah pencoklatan biakan Rajabulu, namun
masih belum mampu mengatasi pencoklatan biakan Siem.
15
Gambar 5 Penampilan biakan pisang hasil organogenesis aksis bunga: (A)
Lampung, (B) Klutuk Awu, (C) Ambon Lumut, (D) Ambon Kuning,
(E) Barangan, (F) Udang, (G) Nangka, (H) Raja Bulu, (I) Kosta, (J)
Kepok, (K) Siem
Gambar 6 menunjukkan bahwa dengan menurunkan konsentrasi BA
menjadi 2.253 mg L-1 dan mengombinasikannya dengan IAA dan asam askorbat
dapat meningkatkan konversi nodul menjadi tunas. Pembentukan tunas dari
Rajabulu lebih lambat dibandingkan dengan varietas lainnya pada media
pertumbuhan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan senyawa fenol
yang tinggi sehingga pembentukan tunas terhambat. Menurut Nisyawati dan
Kariyana (2013), penambahan asam askorbat dalam media dapat menekan
pencoklatan pada tunas pisang Barangan. Selain penggunaan asam askorbat, arang
aktif dilaporkan dapat menekan pencoklatan biakan pisang (Nisyawati dan
Kariyana 2013). Untuk pisang Siem, formulasi media perlu dioptimasi untuk
meningkatkan respon in vitro atau daya regenerasi eksplan. Penggunaan media
cair dan peningkatan taraf antioksidan diduga dapat meningkatkan daya regenerasi
tersebut. Tahapan organogenesis dari aksis bunga dapat dilihat pada Gambar 7.
Tahapan tersebut dimulai dari penanaman eksplan pada media perlakuan,
pembentukan nodul dan tunas, multiplikasi tunas pada media regenerasi hingga
membentuk planlet dan aklimatisasi di rumah kaca.
16
Gambar 6 Tunas pisang setelah diregenerasi pada media BA 10 µM, IAA 1 µM
dan asam askorbat 100 mg L-1 : (A) Lampung, (B) Klutuk Awu, (C)
Ambon Lumut, (D) Ambon Kuning, (E) Barangan, (F) Udang, (G)
Nangka, (H) Raja Bulu, (I) Kosta, (J) Kepok, (K) Siem
Gambar 7 Tahapan organogenesis dari eksplan aksis bunga pisang Kepok: (A)
Pertumbuhan kultur pada 1MST, (B) Pertumbuhan kultur pada 6 MST,
(C) Pertumbuhan kultur pada 12 MST, Tahap pemanjangan (D) dan
Perakaran, (E) pada media BA 2,253 mg L-1 + IAA 0,175 mg L-1 +
asam askorbat 100 mg L-1
17
Simpulan
Tidak ada interaksi yang nyata antara BA dan TDZ dalam induksi
organogenesis aksis bunga pisang. Respon in vitro yang terbaik adalah pada
varietas bergenom AAA. Perlakuan yang terbaik untuk induksi organogenesis
aksis bunga adalah BA 3 mg L-1.
18
4 KULTUR EMBRIO ZIGOTIK
Pendahuluan
Plasma nutfah pisang dewasa ini semakin menurun yang diakibatkan oleh
adanya cekaman biotik dan abiotik. Penurunan populasi tersebut dapat
menyebabkan kelangkaan tanaman pisang. Pisang jenis plantain banyak
digunakan sebagai makan pokok. Plantain dan cooking banana merupakan hasil
persilangan dari pisang wild type M. acuminata X M. balbisiana sehingga
menghasilkan M. praradisiaca. Kata Banana cenderung untuk menggambarkan
buah-buahan yang dimakan segar saat matang atau digunakan sebagai produk
manis, Plantain dan Cooking Banana biasanya dimasak. Meskipun tidak ada
perbedaan botani antara keduanya, banyak jenis cooking banana interspesifik
(AAB atau ABB) sementara banyak jenis Banana adalah AAA (Valamyor et al.
2000; Heslop-Harrison JS 2011).
Tanaman pisang biasanya diperbanyak secara vegetatif menggunakan
sucker atau anakan, namun pertumbuhannya memerlukan waktu yang lama. Pada
jenis wild type, biji sulit berkecambah dikarenakan tidak adanya endosperma
sehingga menyebabkan embrio mati. Oleh karena itu, diperlukan strategi lainnya
dalam perbanyakan tanaman pisang yaitu, melalui teknik kultur jaringan (Uma et
al. 2012). Teknik kultur jaringan juga dapat dilakukan melalui teknik kultur
embrio sehingga embrio dapat berkecambah secara in vitro.
Sedikit yang diketahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
perkecambahan benih pada pisang, kecuali perkecambahan yang sangat bervariasi
dan relatif sulit. Biji pisang subspesies acuminata malaccensis telah digunakan
untuk mengoptimalkan kultur in vitro embrio zigotik dan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan dan regenerasi (Asif et al.
2001). Pada percobaan ini digunakan embrio zigotik pisang lainnya yaitu,
Breviformis, Tomentosa dan Zebrina yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh
durasi simpan buah terhadap embrio zigotik ketiga pisang tersebut.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2014 sampai September
2014 di Laboratorium kultur jaringan, Kelompok Peneliti Biologi Sel dan
Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen), Cimanggu, Bogor.
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji pisang
Breviformis, Tomentosa dan Zebrina, media MS (Murashige dan Skoog 1962),
BA, IAA, casein hydrolisate, sukrosa, tetrazolium 1%, alkohol serta akuades
steril. Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi Laminar Air
Flow Cabinet (LAF), mikroskop, alat tanam seperti, pinset, scalpel, gunting, dan
bunsen, botol tanam, otoklaf, oven dan pH meter.
Buah pisang yang belum masak dilepas dari tandannya, kemudian dicuci
dengan detergen dan direndam alkohol 96% selama 20 menit. Selanjutnya, buah
diinkubasi selama 1, 3 dan 4 bulan pada kotak kedap udara dan disimpan pada
lemari pendingin dengan suhu 5±20C. Buah pisang yang sudah disimpan
kemudian disterilisasi kembali dengan direndam larutan alkohol 70% selama 3
19
menit dan dilanjutkan dengan direndam Clorox 20 % (NaOCl 10.5%) dan 10 %
(NaOCl 5.25%) masing-masing selama 5 menit, dan dibilas dengan akuades steril
3 kali masing-masing selama 5 menit. Buah yang sudah steril kemudian dibongkar
dan dipisahkan antara biji dan daging buahnya. Selanjutnya, dilakukan isolasi
embrio zigotik dibawah mikroskop. Penelitian ini dirancang dengan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan lama penyimpanan buah (1, 3 dan 4
bulan). Setiap