evaluasi potensi genetik sifat pertumbuhan pejantan kambing PE dan Saanen di balai penelitian ternak, Ciawi- Bogor

(1)

EVALUASI POTENSI GENETIK SIFAT PERTUMBUHAN

PEJANTAN KAMBING PE DAN SAANEN DI BALAI

PENELITIAN TERNAK CIAWI-BOGOR

SKRIPSI

WIDIAN SETIYORINI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

RINGKASAN

Widian Setiyorini. D14063456. 2011. Evaluasi Potensi Genetik Sifat Pertumbuh-an PejPertumbuh-antPertumbuh-an Kambing PE dPertumbuh-an SaPertumbuh-anen di Balai PenelitiPertumbuh-an Ternak Ciawi-Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si

Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni M.Si., Ph.D

Kambing perah yang dipelihara dengan baik di Indonesia adalah kambing Peranakan Etawah (PE) dan Saanen. Potensi produksi susu dari pejantan dapat ditingkatkan dengan memperbaiki mutu genetik melalui program seleksi berdasarkan nilai pemuliaan (EBV) sehingga diperoleh pejantan unggul. Produksi susu ditentukan oleh performans pertumbuhan sebelum dikawinkan seperti bobot lahir dan bobot sapih. Pejantan mewariskan 50% sifat kepada keturunannya sehingga dapat diukur melalui keturunannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi genetik pejantan melalui bobot lahir dan bobot sapih keturunan pejantan kambing PE dan Saanen yang terdapat di Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor.

Penelitian ini menggunakan 133 anak kambing PE dari 8 ekor pejantan dan 48 ekor anak kambing Saanen dari 2 ekor pejantan yang berasal dari Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor. Data berasal dari pencatatan tahun 2006 hingga 2009. Peubah yang diamati adalah bobot lahir dan bobot sapih (120 hari) yang dianalisis dengan uji-t. Bobot lahir kambing Saanen dikoreksi kepada tipe kelahiran tunggal dan jenis kelamin jantan, sedangkan kambing PE dikoreksi kepada tipe kelahiran kembar dua dan jenis kelamin betina. Heritabilitas dihitung dengan metode paternal half sibs, dan nilai pemuliaan (Breeding Value) dihitung berdasarkan pendekatan Contemporary Comparison(CC).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot lahir kambing PE jantan 3,20±0,67 kg, sedangkan bobot lahir kambing PE betina 2,87±0,60 kg. Bobot lahir kambing Saanen jantan 3,31±0,39 kg dan kambing Saanen betina 2,98±0,39 kg. Bobot lahir kambing PE pada kelahiran tunggal dan kembar dua masing-masing sebesar 3,28±0,69 kg dan 2,83±0,53 kg. Bobot lahir kambing Saanen pada kelahiran tunggal 3,33±0,69 kg dan kembar dua 2,94±0,21 kg. Nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih kambing PE berada pada kisaran tinggi yaitu masing-masing adalah 0,50±0,34 dan 0,56±0,36. Nilai heritabilitas bobot lahir kambing Saanen termasuk sedang (0,36±0,68). Pejantan kambing PE yang memiliki nilai pemuliaan (BV) atau potensi genetik yang tinggi adalah pejantan dengan nomor identitas 261 (0,77), sedangkan kambing Saanen adalah pejantan dengan nomor identitas 9021(0,49).


(3)

ABSTRACT

Evaluation on the Genetic Quality Growth Trait of Etawah Grade and Saanen Bucks in Research Institute of Animal Production, Ciawi-Bogor

Setiyorini, W., Jakaria, and A. Anggraeni

Etawah Grade (EG) and Saanen goats are two types of small ruminant commonly raised for producing milk in Indonesia. Milk yield can be increased by doing selection programs based on breeding value (EBV) in order to obtain superior bukcs. The objective of this research was to evaluate the genetic quality growth trait of EG and Saanen bucks at the Research Institute for Animal Production (RIAP), Ciawi-Bogor. This research used 136 kids from 8 EG buks and 48 kids from 2 Saanen bucks from RIAP, Ciawi-Bogor. The data came from the recording in 2006 until 2009. Variables measured were birth weight and weaning weight then analyzed by t-test, weaning weight data were standardized to the age of 120 days and corrected to the type of single births and male (Saanen), and corrected to the type of twin births and female (EG). Heritability was calculated by the method of paternal half sibs, and the value of breeding (Breeding Value) was calculated by the Contemporary Comparison method. The results showed that male EG birth weight was 3,20±0,67 kg, while female birth weight was 2,87±0,60 kg. Male Saanen birth weight was 3,31±0,39 kg, while female birth weight was 2,98±0,39 kg. Etawah Grade birth weight in single birth was 3,28±0,69 kg and twins was 2,83±0,53 kg. Saanen birth weight in single birth was 3,33±0,69 kg, and twins was 2,94±0,21 kg. Heritability of EG birth weight and weaning weight were classified as high (0,50±0,34 and 0,56±0,36). Heritability of Saanen birth weight was 0,36 ± 0,68, this value was classified as moderate. Etawah Grade bucks with high breeding value (BV) was the identity number 261 (0,77), whereas that in Saanen buck was the identity number 9021 (0,49).


(4)

EVALUASI POTENSI GENETIK SIFAT PERTUMBUHAN

PEJANTAN KAMBING PE DAN SAANEN DI BALAI

PENELITIAN TERNAK CIAWI-BOGOR

WIDIAN SETIYORINI D14063456

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(5)

Judul : Evaluasi Potensi Genetik Sifat Pertumbuhan Pejantan Kambing PE dan Saanen di Balai Penelitian Ternak,

Ciawi-Bogor

Nama : Widian Setiyorini

NIM : D14063456

Menyetujui, Pembimbing Utama,

(Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si) NIP. 19660105 199303 1 001

Pembimbing Anggota,

(Ir. Anneke Anggraeni, M.Si., Ph.D) NIP. 19630924 199803 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP. 19591212 198603 1 004


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Juli 1988 di Ponorogo. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sumanto dan Ibu Suhariyanti. Pendidikan penulis diawali dengan pendidikan dasar yang diselesaikan pada tahun 2000 di SD Negeri Semanding 02, Ponorogo. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTP Negeri Jenangan, Ponorgo dan pendidikan lanjutan tingkat atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMAN 1 Ponorogo. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al-Hurriyyah sebagai staf divisi Keputrian (periode 2006-2007 dan 2007-2008), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Peternakan sebagai staf Komisi Keuangan (periode 2007-2008), Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) FAMM Al-An’aam Fakultas Peternakan sebagai staf divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (periode 2008-2009), serta menjadi asisten dan pengurus asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) IPB tahun 2010. Penulis juga pernah terlibat dalam Kepanitiaan SALAM ISC tahun 2008 divisi Layanan Informasi Kampus (LINK), Masa Perkenalan Fakultas (MPF) sebagai staf divisi Medis pada tahun 2008 dan sebagai Pemandu Anak Koboi (PAK) pada tahun 2009 dan 2010, serta terlibat sebagai panitia di Seminar dan Lokakarya 2011 kerjasama FORCES IPB dan Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI).


(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmannirrahim, penulis panjatkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi dengan judul Evaluasi Potensi Genetik Sifat Pertumbuhan Pejantan Kambing PE dan Saanen di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.

Kambing perah dapat menghasilkan susu melebihi kebutuhan anaknya dan dapat dijadikan galur kambing penghasil susu. Pejantan memegang peranan penting karena mewariskan separuh gennya kepada keturunannya. Pejantan yang memiliki nilai pemuliaan positif atau paling besar harus dipertahankan dan yang memiliki nilai negatif sebaiknya diafkir dan digantikan dengan pejantan lain yang memiliki nilai pemuliaan yang baik. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pejantan yang akan dipertahankan atau diafkir melalui nilai pemuliaan atau potensi genetik pejantan berdasarkan sifat pertumbuhan keturunannya.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya, Amien.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bogor, Mei 2011


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT... ii

LEMBAR PERNYATAAN... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Kambing ... 3

Kambing Perah ... 3

Peranakan Etawah ... 4

Saanen... 4

Sifat Pertumbuhan ... 5

Bobot Lahir ... 6

Bobot Sapih... 6

Sifat Produksi Susu... 6

Seleksi ... 7

Heritabilitas... 8

Uji Zuriat ... 9

MATERI DAN METODE... 13

Lokasi dan Waktu ... 13

Materi ... 13

Prosedur ... 13

Analisis Data ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN... 17

Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih ... 17

Bobot Lahir ... 17

Bobot Sapih... 20

Mortalitas... 22

Nilai Heritabilitas Bobot Lahir dan Bobot Sapih ... 23


(9)

KESIMPULAN DAN SARAN... 26

Kesimpulan... 26

Saran ... 26

UCAPAN TERIMA KASIH ... 27

DAFTAR PUSTAKA... 28


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Nilai Heritabilitas Bobot Lahir pada Kambing dan Domba ... 8 2. Nilai Heritabilitas Bobot Sapih pada Kambing dan Domba... 9 3. Analisis Sidik Ragam untuk Menghitung Heritabilitas... 15 4. Rataan dan Standar Deviasi Bobot Lahir Kambing PE

Berdasar-kan Tipe Kelahiran dan Jenis Kelamin... 17 5. Rataan Bobot Lahir Kambing Saanen Berdasarkan Tipe

Kelahiran dan Jenis Kelamin ... 18 6. Rataan Bobot Sapih Anak Kambing PE Berdasarkan Tipe

Kelahiran dan Jenis Kelamin ... 20 7. Rataan Deviasi Bobot Sapih Anak Kambing Saanen Berdasarkan

Tipe Kelahiran dan Jenis Kelamin ... 21 8. Nilai Dugaan Heritabilitas Bobot Lahir dan Bobot Sapih

Kambing PE dan Saanen ... 23 9. Nilai Contemporary Comparisondan Estimated Breeding Value


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Nilai Uji T Bobot Lahir dan Bobot Sapih Kambing Peranakan

Etawah ... 33 2. Nilai Analisis Sidik Ragam Bobot Lahir dan Bobot Sapih

Kambing Peranakan Etawah... 33 3. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Lahir Kambing Peranakan

Etawah ... 33 4. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Sapih Kambing Peranakan

Etawah ... 34 5. Nilai Uji T Bobot Lahir dan Bobot Sapih Kambing Saanen ... 35 6. Nilai Analisis Sidik Ragam Bobot Lahir dan Bobot Sapih

Kambing Saanen ... 35 7. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Lahir Kambing Saanen ... 35 8. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Sapih Kambing Saanen ... 36 9. Perhitungan Contemporary ComparisonPejantan Kambing PE... 37 10. Perhitungan Contemporary ComparisonPejantan Kambing

Saanen... 38 11. Perhitungan EBV Bobot Lahir Pejantan Kambing PE dan Saanen 39


(12)

PENDAHULUAN Latar belakang

Kambing adalah salah satu ternak ruminansia yang paling banyak dipelihara di Indonesia. Populasi ternak kambing di Indonesia beberapa tahun terakhir (2005-2006) cenderung meningkat. Tahun 2005, populasinya 13.409 ribu ekor, meningkat pada tahun 2006 menjadi 14.051 ribu ekor (BPS, 2007). Tipe kambing yang dipelihara di Indonesia sebagian besar merupakan tipe dwiguna sebagai penghasil daging dan susu.

Kambing perah merupakan jenis kambing yang dapat memproduksi susu dengan jumlah melebihi kebutuhan anaknya. Kambing perah yang umum dipelihara dengan baik adalah kambing Peranakan Etawah (PE) dan Saanen. Kambing PE dan Saanen di daerah asalnya mampu menghasilkan susu yang banyak. Kambing PE mampu menghasilkan susu sekitar 136-253 kg/laktasi (Sutama, 2007), sedangkan kambing Saanen produksi susu per ekornya mencapai 800 kg/laktasi (Greenwood, 1997). Akan tetapi, produksi susu kambing PE dan Saanen di daerah tropis masih rendah, yaitu 0,3-0,8 kg/hari untuk kambing PE (Sutama et al., 1995) dan 1-3kg/hari untuk kambing Saanen (Devendra dan Burns, 1994).

Produktivitas ternak ditentukan oleh mutu genetik yang dimiliki oleh ternak dan dipengaruhi faktor lingkungan dimana ternak tersebut berada serta kemungkinan adanya interaksi antara keduanya. Produksi susu dipengaruhi oleh karakteristik bangsa, individu ternak, umur, masa bunting, pakan, kesehatan, kondisi lingkungan, frekuensi, metode pemerahan, dan iklim dimana ternak tersebut dipelihara.

Peningkatan produksi susu dari segi pemuliaan ditujukan ke arah perbaikan mutu genetik melalui seleksi pada pejantan karena 50% sifat diwariskan pejantan kepada keturunannya. Parameter dalam kegiatan seleksi yang digunakan adalah nilai heritabilitas sebagai dasar perhitungan nilai pemuliaan (Breeding Value). Seleksi dilakukan terhadap sifat-sifat yang bernilai ekonomis tinggi, seperti bobot lahir dan bobot sapih. Bobot lahir dan bobot sapih berkorelasi genetik positif dengan produksi susu (Mandonnet et al., 1998). Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi nilai pemuliaan terhadap bobot lahir dan bobot sapih untuk mengetahui keunggulan pejantan yang terdapat di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor.


(13)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi genetik pejantan melalui bobot lahir dan bobot sapih dari pejantan kambing PE dan Saanen yang terdapat di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor.


(14)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Kambing

Kambing merupakan hewan yang pertama kali didomestikasi dan dipelihara oleh manusia untuk memproduksi daging, susu, kulit, dan serat (Gall, 1981). Kambing telah didomestikasi sejak 9.000-7.000 tahun sebelum masehi (Devendra dan McLeroy, 1982).

Kambing memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap mutu pakan yang rendah. Ternak ini mampu memanfaatkan bemacam-macam hijauan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh ternah ruminansia lain seperti domba dan sapi (Abdulgani, 1981). Kambing dapat makan rumput-rumputan yang sangat pendek dan daun-daun atau semak-semak yang biasa tidak dimakan oleh ternak ruminansia lain (Smith dan Mangkoewidjojo, 1987). Kambing merupakan ternak ruminansia yang cukup berperan di Indonesia terutama bagi kehidupan petani karena harganya relatif murah dan memiliki daya reproduksi lebih tinggi dibandingkan ternak besar (Ngadiyono et al.,1983).

Kambing Perah

Kambing perah merupakan jenis kambing yang dapat memproduksi susu dengan jumlah melebihi kebutuhan untuk anaknya. Kambing perah yang biasa dipelihara antara lain kambing Peranakan Etawah (PE) dan Saanen yang dapat hidup dengan baik di daerah tropis (Devendra dan Burns, 1994). Dalam usaha peternakan kambing perah, ternak merupakan unsur produksi yang langsung menghasilkan produk, maka jumlah dan mutu kambing perah sangat menentukan tinggi rendahnya produksi susu yang dihasilkan (Wodzika-Tomaszewska et al., 1993).

Kambing perah yang tersebar di berbagi belahan dunia dikelompokkan berdasarkan daerah asalnya, sifat-sifat produksinya, dan karakteristiknya sebagai ternak penghasil susu. Ternak kambing perah yang dipelihara oleh petani ternak umumnya merupakan ternak asli atau lokal. Kambing lokal yang berkembang dengan baik di Indonesia yaitu kambing Peranakan Etawah (PE) (Murtidjo, 1993). Selain itu, ada kambing Saanen yang juga memiliki produksi susu tinggi dan mulai dikembangkan di Indonesia.


(15)

Kambing Peranakan Etawah

Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Kacang dengan kambing Etawah, dengan demikian kambing ini memiliki sifat-sifat diantara kedua tetuanya (Joesoep, 1986). Kambing PE merupakan keturunan kambing Jamnapari (Etawah) yang diimpor dari India pada tahun 1920-an. Secara fisik kambing PE memiliki ciri yang hampir sama dengan kambing Etawah yaitu bertelinga panjang dan menggantung, profil muka cembung, bertanduk pendek, dan memiliki warna bulu putih, merah coklat dan hitam (Devendra dan Burns, 1994).

Kambing PE digolongkan sebagai kambing tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil susu dan daging (Adiati et al., 2000). Kambing PE memiliki kemampuan menghasilkan susu cukup baik sekitar 136-253 kg/ekor/laktasi dan masa laktasi cukup panjang sekitar 175-287 hari (Sutama, 2007). Komposisi genetik kambing PE sekarang ini sangatlah beragam sehingga produksi susunya masih sangat bervariasi. Oleh karena itu, perlu dicari program seleksi yang tepat untuk memperbaiki potensi genetiknya dalam menghasilkan susu.

Kambing Saanen

Kambing Saanen berasal dari daerah Swiss Barat. Jenis kambing ini banyak dipelihara sebagai ternak penghasil susu. Produksi susu per ekor dapat mencapai 800 kg/ekor/laktasi dengan kandungan lemak antara 3-4%/laktasi yang berlangsung selama 250 hari (Greenwood, 1997). Menurut Ensminger dan Parker (1986), kambing Saanen merupakan bangsa terbesar dan penghasil susu terbaik di Swiss.

Menurut Devendra dan Burns (1994), kambing Saanen mempunyai rata-rata produksi susu tertinggi dibandingkan dengan bangsa kambing perah manapun, dan karena alasan ini, bangsa kambing ini telah dimasukkan ke banyak negara. Kambing Saanen memiliki bulu pendek, umumnya tidak bertanduk, dan telinganya tegak mengarah ke atas. Kambing ini berwarna putih, krem pucat atau cokelat muda dengan bercak hitam pada hidung, telinga, dan ambing.

Kambing Saanen memiliki konformasi tubuh yang baik sebagai penghasil susu. Bobot kambing Saanen pada saat dewasa dapat mencapai 65 kg pada betina dan 75 kg pada jantan. Tinggi kambing Saanen rata-rata 75-90 cm (Devendra dan


(16)

5 McLeroy, 1982). Kambing Saanen sangat sensitif terhadap cahaya sehingga pemeliharaanya harus menggunakan naungan (Sutama et al., 2000).

Sifat Pertumbuhan

Sifat-sifat pertumbuhan anak kambing penting untuk diperhatikan, karena sifat pertumbuhan tersebut berkorelasi genetik positif dengan produksi susu dan relatif mudah diukur (Mandonnet et al., 1998). Korelasi genetik adalah korelasi antara nilai pemuliaan aditif dari dua sifat atau diantara jumlah pengaruh aditif gen-gen yang mempengaruhi kedua sifat tersebut (Legates dan Warwick, 1990). Korelasi berdasarkan teori berkisar antara -1 sampai dengan 1. Korelasi genetik yang positif berarti bahwa seleksi untuk suatu sifat tidak saja berakibat diperbaikinya sifat tersebut, tetapi juga sifat keduanya yang berkorelasi.

Menurut Maynard dan Loosli (1956), pertumbuhan adalah pertambahan masa tubuh dalam kurun waktu tertentu yang sifatnya spesifik bagi masing-masing hewan. Tetapi bukan berarti setiap pertambahan bobot tubuh merupakan pertumbuhan. Hewan yang telah mencapai dewasa tubuh biasanya tidak mengalami pertumbuhan lagi, sehingga istilah yang sering dipakai untuk hewan dewasa adalah penggemukan.

Berdasarkan waktu pengukuran berat badan sebagai indikator laju pertumbuhan pada periode tertentu, maka pertumbuhan ternak dapat digolongkan dalam tiga periode, yaitu pertumbuhan sebelum lahir, sebelum sapih, dan sesudah disapih (Lasley, 1963; Harjosubroto, 1994). Pola pertumbuhan setelah lahir pada semua spesies dari hewan mamalia hampir sama yaitu berkarakteristik sigmoid (bentuk-S). Bobot badan mendekati maksimum setelah masa pubertas dan mulai menurun setelah hewan dewasa (Campbell dan Lasley, 1973), namun kecepatan pertumbuhan tersebut tidak terlepas dari faktor genetik dan lingkungan (Hardjosubroto, 1994).

Tampilan turunan merupakan hasil kombinasi antara pengaruh genetik dan lingkungan, sehingga diperlukan koreksi pengaruh faktor lingkungan pada sifat pertumbuhan seperti umur beranak dan tipe kelahiran (Kosum et al., 2004). Untuk mengestimasi nilai pemuliaan dari sifat pertumbuhan anak-anak pejantan yang diuji, dilakukan dengan cara membandingkan terhadap tampilan keturunan pejantan lain (Wiggans et al., 1984).


(17)

Bobot Lahir

Bobot lahir adalah bobot pada saat dilahirkan, yaitu bobot hasil penimbangan dalam kurun waktu 24 jam sesudah lahir (Hardjosubroto, 1994). Bobot lahir merupakan faktor penting yang mempengaruhi produktivitas ternak, karena bobot lahir sangat berkorelasi dengan laju pertumbuhan, ukuran dewasa, dan daya hidup kambing (Devendra dan Burns, 1994). Bobot lahir yang lebih tinggi di atas rataan umumnya akan memiliki bobot sapih yang lebih tinggi. Selain itu bobot lahir juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur induk, kondisi induk selama kebuntingan, dan jumlah anak sekelahiran (Hardjosubroto, 1994). Rata-rata bobot lahir anak kambing sekitar 1/15 atau 6,67% dari bobot induk (Gall, 1981). Bobot Sapih

Penyapihan adalah waktu ketika anak kambing berhenti menyusu. Bobot sapih merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan susu dan kemampuan anak kambing untuk mendapatkan susu dan tumbuh. Bobot sapih dipengaruhi oleh bobot lahir, jenis kelamin, umur penyapihan, dan bangsa (Abdulgani, 1981). Bobot sapih anak dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur sapih, umur induk, dan produksi susu induk. Bobot sapih juga ditentukan oleh bobot lahir yang merupakan akumulasi pertumbuhan embrio sampai fetus (Devendra, 1978).

Bobot sapih mempunyai korelasi positif dengan bobot lahir, artinya bobot lahir yang tinggi akan menentukan bobot sapih yang tinggi pula. Berdasarkan hasil pengamatan Joesoep (1986), bobot sapih kambing PE mencapai puncaknya pada kelahiran yang ke-4. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor induk yang telah cukup matang dalam mengandung dan membesarkan anak. Selain itu mungkin juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan tata laksana pemeliharaan.

Sifat Produksi Susu

Susu kambing memiliki butiran lemak yang halus dan menyebabkan proses pencernaan berlangsung mudah. Susu kambing juga tidak mengandung antigen penyebab alergi dalam proteinnya. Kualitas susu kambing juga tidak kalah dari susu sapi dan sangat baik diberikan kepada orang yang mengalami gangguan pencernaan (Devendra dan Burns, 1994).


(18)

7 Produksi susu dipengaruhi oleh karakteristik bangsa, individu ternak, umur, masa bunting, pakan, kesehatan, kondisi lingkungan, frekuensi, dan metode pemerahan (Sasimowski, 1987). Selain faktor-faktor tersebut, iklim suatu tempat sangat berpengaruh terhadap produksi susu (Bath et al., 1985).

Produksi susu pada ternak dengan umur tua lebih tinggi daripada ternak dengan umur muda, sebab ternak muda masih mengalami pertumbuhan. Pendistribusian zat-zat makanan pada ternak muda hanya sebagian untuk produksi susu dan sebagian lagi untuk pertumbuhan, termasuk kelenjar ambing yang masih pada tahap perkembangan (Phalepi, 2004).

Kambing PE berpotensi untuk menghasilkan susu, walaupun tingkat produksinya masih sangat beragam yakni sekitar 0,45-2,2 l/hari pada kambing PE dewasa (Obst dan Napitupulu, 1984), dan 0,3-0,8 kg/hari pada kambing PE muda (Sutama et al., 1995). Produksi susu akan meningkat sejak induk beranak, kemudian akan turun hingga akhir masa laktasi (Blakely dan Bade, 1992). Rataan produksi pada awal laktasi sekitar 500 gram/hari, kemudian meningkat dan mencapai produksi tertinggi antara minggu ke-3 sampai minggu ke-5, setelah itu menurun. Kambing Saanen memiliki rata-rata produksi susu di daerah tropis adalah 1-3 kg per ekor per hari (Devendra dan Burns, 1994).

Seleksi

Perbaikan mutu genetik ternak dapat dilakukan melalui seleksi dan persilangan. Persilangan biasanya dilakukan untuk pembentukan bangsa baru dengan introduksi gen baru dari luar (Gatenby, 1991). Seleksi ternak merupakan tindakan untuk mempertahankan sekelompok ternak tertentu sebagai tetua untuk menghasilkan keturunan pada generasi berikutnya serta menghilangkan kesempatan pada kelompok lain untuk berproduksi (Minkema, 1993). Seleksi menunjukkan keputusan yang diambil oleh pemulia untuk menurunkan keragaman ternak pada generasi berikutnya dan menyisihkan ternak yang tidak diinginkan untuk menghasilkan keturunan (Warwick et al., 1990).

Menurut Noor (2000), seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk membiarkan sejumlah ternak untuk tetap bereproduksi, sedangkan ternak yang lainnya tidak diberikan kesempatan untuk bereproduksi. Seleksi meliputi pemilihan individu yang didasarkan atas fenotip terarah (seleksi fenotipik), seleksi dengan


(19)

memanfaatkan informasi kerabat (silsilah dan turunan), dan seleksi sifat yang diwariskan secara sederhana atau simply inherited(Bourdon, 1997).

Seleksi menyebabkan frekuensi gen pembawa sifat yang diinginkan akan muncul lebih tinggi pada populasi berikutnya. Jika seleksi dilakukan untuk lebih dari satu sifat, maka diperlukan informasi korelasi genetik (Warwick et al.,1990). Seleksi akan lebih efektif dan memberikan respon lebih besar, jika sifat yang dijadikan kriteria seleksi memiliki keragaman yang tinggi. Seleksi individu memberikan hasil yang baik bila sifat kuantitatif yang diseleksi memiliki nilai heritabilitas tinggi atau sedang. Seleksi individu yang paling cepat jika dilakukan pada sifat-sifat yang dapat diukur pada ternak jantan dan betina sebelum dewasa.

Heritabilitas

Warwick et al. (1990) menyatakan bahwa heritabilitas merupakan rasio yang menunjukkan rata-rata persentase keunggulan tetua yang diwariskan kepada keturunannya. Secara teoritis, heritabilitas dapat berkisar antara 0 sampai 1, tetapi angka ekstrim ini jarang diperoleh untuk sifat-sifat kuantitatif ternak. Menurut Martojo (1992), dengan dapat diestimasinya nilai heritabilitas untuk sifat-sifat kuantitatif dapat dipakai untuk meramalkan atau menduga besarnya nilai pemuliaan individu ternak, sehingga dapat menyusun rancangan pemuliaan ataupun menduga besar respon seleksi.

Menurut Noor (2000), nilai heritabilitas dikatakan rendah jika nilainya berada antara 0-0,2, sedang antara 0,2-0,4 dan tinggi untuk nilai lebih dari 0,4. Nilai heritabilitas tinggi menunjukkan perbedaan fenotip hewan sebagian besar disebabkan oleh perbedaan nilai pemuliaan, bukan disebabkan oleh pengaruh kombinasi gen (dominan dan epistasis) maupun pengaruh lingkungan. Jika h2 suatu sifat rendah, maka perbedaan fenotip hanya sedikit dipengaruhi perbedaan nilai pemuliaan dan lebih banyak dipengaruhi faktor-faktor lainnya (Bourdon, 1997).

Tabel 1. Nilai Heritabilitas Bobot Lahir pada Kambing dan Domba

Ternak Nilai h2 Sumber

Kambing PE 0,32 Prihartini (2000)

Kambing Boer >< PE 0,33±0,04 Sulastri dan Dakhlan (2006)


(20)

9 Ada beberapa cara untuk mengukur nilai heritabilitas yang menurut Johansson dan Rendel (1968) adalah 1) dengan cara populasi isogenik, 2) dengan percobaan seleksi, dan 3) dengan cara populasi intrakelas dan adanya korelasi antara individu yang mempunyai hubungan keluarga. Cara populasi intrakelas ini terdiri dari tiga metode yaitu hubungan induk-anak (daughter-dam), hubungan saudara kandung (full-sibs) dan hubungan saudara tiri (half-sibs). Dari berbagai cara tersebut yang paling sering digunakan adalah cara half-sib, karena cara ini menghasilkan nilai yang mendekati kebenaran. Hal ini adalah karena tidak mengandung ragam dominan, sedikit mengandung ragam epistasis, dan tidak mengandung pengaruh induk bila dibandingkan dengan metode lain. Adapun tujuan pendugaan nilai heritabilitas adalah menyatukan ragam aditif dan memperkecil semua pengaruh lingkungan (Warwick et al.,1990). Data nilai heritabilitas beberapa bangsa ternak kambing dan domba disajikan pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 2. Nilai Heritabilitas Bobot Sapih pada Kambing dan Domba

Ternak Nilai h2 Sumber

Kambing Boer >< PE 0,25±0,12 Sulastri dan Dakhlan (2006)

Domba Priangan 0,24±0,10 Rahmat et al.(1997)

Uji Zuriat

Evaluasi keunggulan sifat produksi susu pejantan dapat dilakukan melalui uji zuriat, yakni penilaian atas dasar kemampuan produksi keturunannya. Pejantan tidak menghasilkan susu, sehingga kemampuan pejantan dapat diduga dari produksi susu anak-anaknya, mengingat pejantan mewariskan sifat yang dipunyai sekitar 50% kepada keturunannya (Schmidt dan Van Vleck, 1974). Pemilihan pejantan sebaiknya dilakukan sedini mungkin dengan demikian nilai genetik pejantan tersebut akan cepat diketahui, untuk dapat diambil keputusan dalam pemilihan pejantan (Diggins dan Bundy, 1961).

Ada berbagai cara dalam mengevaluasi pejantan berdasarkan performans anak-anaknya (Hardjosubroto, 1994) yaitu :

1. Perbandingan produksi antar-anak

Cara seleksi pejantan yang mula-mula sekali adalah membandingkan produksi antar anak betina dari pejantan satu dengan pejantan lainnya. Metode ini


(21)

di-kenal dengan Daughter-Comparison. 2. Membandingkan produksi anak-induk

Cara ini dikenal dengan Daughter-Dam Comparison. Metode ini merupakan cara yang paling sederhana dan didasarkan atas perbandingan antara rataan produksi susu anak dengan rataan produksi susu induknya. Metode ini dapat digunakan apabila paling sedikit diperoleh lima pasang perbandingan. Menurut Bath et al. (1985), kelemahan dari metode ini disamping adanya perbedaan waktu antar produksi induk dengan anaknya, juga sering induk tidak mempunyai catatan produksi yang lengkap. Perhitungan ini pada sapi perah adalah produksi susu distandarisasi berdasarkan masa laktasi 305 hari, frekuensi pemerahan dua kali, dan setara dewasa (mature equivalent). Metode ini kemudian berkembang menjadi Equal Parent Index dan Regression Index.

3. Membandingkan produksi Herdmate-nya

Metode ini dikenal dengan sebutan Herdmates Comparison, atau kadang-kadang disebut pula dengan Daughter-Herdmate Comparison. Produksi dari anak-anak pejantan dibandingkan dengan produksi dari Herdmate-nya yang beranak pada waktu yang hampir bersamaan. Dikemukakan oleh Johanson dan Rendel (1968), bahwa selain laktasi pertama, anak betina yang telah melengkapi produksi laktasi kedua dan ketiga serta rataan produksi bangsa ternak itu sendiri juga diperhitungkan.

Keuntungan dari metode ini adalah tidak diperlukan kesamaan lingkungan diantara peternakan, kecuali itu induk yang tidak mempunyai catatan masih dapat dipergunakan. Pengujian ini mempergunakan produksi susu selama laktasi. Maksud dari analisis ini adalah menghilangkan pengaruh dari kandang, tahun, dan musim.

Beberapa asumsi yang digunakan dalam metode ini yaitu : (1) Semua hewan yang digunakan dalam evaluasi genetik adalah sampel acak dari populasi genetik dari tiap bangsa, (2) Tidak ada tren genetik dalam setiap bangsa, (3) Herdmates semua sapi mempunyai kesempatan yang sama untuk disingkirkan, (4) Setiap sapi dan hertmates-nya mendapat perlakuan yang sama (Bath et al., 1985).

4. Contemporary Comparison

Metode ini adalah metode uji zuriat dengan cara membandingkan produksi susu anak betina pejantan yang diuji dengan anak betina pejantan lain yang


(22)

11 berproduksi pada tempat, tahun, dan musim yang sama (Ensminger, 1986). Pada dasarnya metode Contemporary Comparisonmempunyai prinsip yang sama dengan Herdmate-Comparison. Penggunaan metode ini dapat mengurangi kesalahan akibat faktor lingkungan yang disebabkan oleh umur.

5. Modified Contemporary Comparison(MCC)

Pada metode ini dibandingkan catatan produksi ternak betina dengan produksi ternak lain yang diperah pada waktu yang sama. Analisis yang dilakukan telah memperhitungkan tingkat perbedaan genetik diantara peternakan satu sama lainnya, serta kemungkinan adanya perbedaan manajemen. Penggunaan simpangan terhadap rataan produksi kelompok, telah memungkinkan untuk menghitung nilai Ramalan Beda Produksi (Predicted Different) dari setiap pejantan, yang merupakan ramalan perbedaan antara rataan keunggulan anak betinanya terhadap populasinya kelak dikemudian hari. Ramalan Beda Produksi ini merupakan penyempurnaan dari perhitungan Predicted Difference (PD) yang sudah ada, yaitu yang didasarkan atas CC. Perhitungan PD atas dasar MCC oleh karenanya sering disingkat dengan PD 74. Menurut Bath et al. (1985), metode MCC lebih sulit dihitung bila data yang digunakan sedikit.

6. Cummulative Difference(CD)

Metode Cumulative Difference merupakan pengembangan dari metode Contemporary Comparison, dengan memasukkan unsur pejantan pembanding. Metode ini menggunakan dua sumber informasi, yaitu informasi dari pejantan yang sedang diuji saat itu (saat t) dan informasi yang berupa rataan nilai genetik pejantan lain pada saat sebelumnya. Kebaikan metode ini disamping dapat menilai kemampuan seekor pejantan juga dapat menilai kemajuan genetik yang telah dicapai sebelumnya.

7. Indeks Pemuliaan (Breeding Index)

Metode ini dimulai di Selandia Baru. Pejantan yang akan diukur, dibandingkan dengan nilai genetik pada tahun 1960. Tahun 1960 sebagai tahun dasar penilaian. Indeks Pemuliaan (IP) akhir ternak dihitung berdasarkan informasi IP tetua dan IP turunannya. Sebagai contoh, misalnya ternak mempunyai IP 120 pada tahun 1983. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ternak yang diuji 20% lebih baik


(23)

keunggulan genetiknya daripada IP 100 pada tahun 1960 (Holmes dan Wilson, 1984).

8. Best Linier Unbiased Prediction(BULP)

Metode ini adalah kombinasi dari indeks seleksi dengan teknik analisis Least square. Metode ini sangat baik, karena kesalahan pendugaan sangat diminimalkan dengan korelasi antara yang diduga dengan pendugaan maksimum. Bath et al. (1985) mengemukakan bahwa beberapa ahli berpendapat bahwa metode BULP adalah salah satu cara evaluasi genetik yang paling akurat. Metode BULP merupakan metode baru dalam uji zuriat (Abe, 1993).


(24)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Balai Penelitian Ternak dari Mei sampai dengan Juli 2010 dengan mengambil data pertumbuhan anak kambing PE dan Saanen dari Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.

Materi

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data yang berasal dari data sekunder pencatatan tahun 2006 hingga tahun 2009 di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor. Kelengkapan data antara lain meliputi nomor pejantan, nomor induk, tanggal kawin, nomor anak, tanggal lahir, tipe kelahiran, jenis kelamin, tanggal sapih, dan bobot sapih.

Penelitian ini menggunakan kambing PE dan Saanen. Kambing PE yang digunakan adalah 133 ekor anak dari delapan ekor pejantan. Anak kambing PE terdiri atas 62 ekor anak jantan dan 71 ekor anak betina dengan tipe kelahiran tunggal (61 ekor) dan kembar dua (72 ekor). Kambing Saanen yang digunakan adalah 48 ekor anak dari dua ekor pejantan. Kambing Saanen terdiri atas 25 ekor anak jantan dan 23 ekor anak betina dengan tipe kelahiran tunggal (26 ekor) dan kembar dua (23 ekor).

Prosedur

Data yang dikumpulkan meliputi bobot lahir (BL) dan bobot sapih (BS) pada anak kambing PE dan Saanen. Standarisasi dilakukan untuk mengeliminasi faktor-faktor yang mempengaruhi bobot lahir dan bobot sapih yaitu faktor-faktor koreksi tipe lahir

dan jenis kelamin anak yang diperoleh dari perbandingan nilai Least Square Means.

Bobot lahir kambing Saanen distandardisasi berdasarkan jenis kelamin jantan dan tipe kelahiran tunggal. Bobot lahir kambing PE distandarisai berdasarkan jenis kelamin betina dan tipe kelahiran kembar dua (PE). Bobot sapih distandarisasi pada umur sapih 120 hari. Data terstandardisasi digunakan untuk perhitungan nilai heritabilitas.

Faktor koreksi digunakan untuk menstandardisasi bobot lahir dan bobot sapih (Kurnianto et al., 2007) :


(25)

Keterangan :

BLst = Bobot lahir terstandarisasi

FKTL = Faktor koreksi tipe kelahiran FKJK = Faktor koreksi jenis kelamin

BSst = BL + [( x 120) x FKTL]

Keterangan :

BSst = Bobot sapih standarisasi umur 120 hari

FKTL = Faktor koreksi tipe kelahiran

BS = Bobot sapih sesungguhnya

BL = Bobot lahir sesungguhnya

Umur = Umur saat sapih

Analisis Data 1. Bobot Lahir dan Bobot Sapih

Perbedaan rataan bobot badan baik pada bobot lahir dan bobot sapih antara jantan dengan betina dan antara kelahiran tunggal dengan kembar dianalisis menggunakan uji-t (Mendenhall, 1969):

= ∑= − ++∑= −

= −

+ Keterangan :

s = Standar deviasi

t = Nilai uji-t

dan = Rataan sifat yang diamati

dan = Jumlah individu

2. Heritabilitas (h2)

Pendugaan nilai heritabilitas sifat pertumbuhan dipergunakan metode korelasi saudara tiri sebapak (Paternal Half Sib Correlation) dengan jumlah anak per pejantan tidak sama, menurut Becker (1975):

Yik= μ + αi+ εik,


(26)

15 Yik = Nilai bobot lahir/ sapih individu anak ke-i pejantan ke-k

μ = Rataan populasi

αi = Pengaruh pejantan ke-i individu anak ke-k, i = 1,2,3,…,n; k = 1,2,3,…,n

εik = Deviasi karena pengaruh lingkungan yang tidak terkontrol individu anak ke-k

pejantan ke-i

Tabel 3. Analisis Sidik Ragam untuk Menghitung Heritabilitas

SK Db JK KT Komponen KT

Antar Pejantan S-1 JKs KTs σ2w+ k σ2s

Anak dalam Pejantan n.-S JKw KTw σ

2 w

Estimasi Heritabilitas :

h = σ s

σs+ σ w Salah baku heritabilitas :

s.e.(hs)= 4 n.− −t [ + k − t]

k n.−S S−

Keterangan :

S = Banyaknya pejantan

ni = Jumlah anak dari pejantan ke-i

k = Koefisien komponen ragam

=

S− n. − ni

n.

n. = Jumlah anak seluruhnya

σ2

s = Komponen ragam antar pejantan

= σ2

w = Komponen ragam anak dalam pejantan

= KTw

3. Evaluasi Pejantan

Evaluasi pejantan dilakukan dengan menggunakan metoda Contemporary

Comparison (CC) yang diperkenalkan oleh Robertson dan Rendel pada tahun 1954 sebagai berikut :

Faktor pembobot perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan jumlah ternak

di dalam kelompok (herds) diperhitungkan dengan inverse dari ragam perbedaan

individu, yang dinyatakan dalam : w = (nD. nM)/(nD+ nM)


(27)

Faktor pembobot anak betina dari pejantan ke-i di kelompok herds ke-j : wi= ∑ wij

sehingga, CC dari pejantan ke-i (Johanson dan Rendel, 1968; Pirchner, 1969) adalah: CCi = ∑i wijdij/∑i wij

Prediksi nilai pemuliaan (EBV) (Pirchner, 1969) adalah : EBV = 2bCCi

dengan :

b = wi/(wi+ k), dan k = (4 – h2)/h2

Keterangan :

nD = Jumlah anak betina pejantan yang akan diuji

nM = Jumlah herdmates(M) di dalam kelompok (herds)

wij = Faktor pembobot anak betina dari pejantan ke-i di dalam herd ke-j

dij = Perbedaan antara record anak pejantan dari seekor pejantan yang diuji

dengan record dari contemporarydari herdmates

b = Koefisien regresi


(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Bobot Lahir

Rataan dan standar deviasi bobot lahir kambing PE berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Bobot Lahir Kambing PE berdasarkan Tipe Kelahiran dan Jenis Kelamin

Tipe Kelahiran Jenis Kelamin Jumlah

(ekor)

Rataan dan Standar Deviasi

(kg)

Tunggal Jantan 29 3,52±0,68a

Betina 32 3,06±0,64A

Total 61 3,28±0,69a1

Kembar Dua Jantan 33 2,96±0,51b

Betina 39 2,73±0,54B

Total 72 2,83±0,53b1

Total Jantan 64 3,20±0,67A1

Betina 72 2,87±0,60B1

Keterangan : superscript a dan b = perbandingan antara jantan tipe kelahiran tunggal dengan jantan tipe kelahiran kembar, A dan B = perbandingan antara betina tipe kelahiran tunggal dengan betina tipe kelahiran kembar, a1 dan b1 = perbandingan antara tipe kelahiran tunggal dengan tipe kelahiran kembar, A1 dan B1 = perbandingan antara jantan dengan betina. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 95%.

Hasil analisis pada bobot lahir kambing PE menunjukkan bahwa rataan bobot lahir tipe kelahiran tunggal secara nyata (P<0,05) berbeda dengan rataan bobot lahir tipe kelahiran kembar dua. Rataan bobot lahir tipe kelahiran tunggal menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan tipe kelahiran kembar dua. Rataan bobot lahir pada tipe kelahiran tunggal dan kembar dua masing-masing adalah 3,28±0,69 kg dan 2,83±0,53 kg.

Menurut Devendra dan Burns (1994), bobot lahir pada anak tipe kelahiran tunggal lebih tinggi daripada anak kembar dua. Hal tersebut disebabkan zat makanan yang diperoleh fetus dari induk. Makin banyak jumlah anak sekelahiran semakin berkurang kecepatan pertumbuhan individual pra lahir karena kompetisi fetus di dalam uterus, sehingga anak dengan tipe kelahiran tunggal memiliki bobot lahir yang lebih besar daripada anak kelahiran kembar.


(29)

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa rataan bobot lahir pada jantan berbeda nyata (P<0,05) dengan rataan bobot lahir pada betina, dimana rataan bobot lahir jantan lebih tinggi jika dibandingkan dengan rataan bobot lahir betina. Rataan bobot lahir anak kambing PE adalah 3,20±0,67 kg untuk jantan dan 2,87±0,60 kg untuk betina. Rataan bobot lahir pada Balai Penelitian Ternak Ciawi lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh Atabany (2001), dimana bobot lahir anak kambing PE adalah 3,97 kg untuk anak jantan dan 3,73 kg untuk anak betina.

Apabila dilihat dari tipe kelahiran per jenis kelamin, rataan bobot lahir jantan pada tipe kelahiran tunggal berbeda nyata (P<0,05) dengan rataan bobot lahir jantan pada tipe kelahiran kembar. Hal yang sama juga diperoleh dari hasil statistik pada rataan bobot lahir betina pada tipe kelahiran tunggal yang berbeda nyata (P<0,05) dengan rataan bobot lahir betina pada kelahiran kembar.

Rataan bobot lahir anak jantan kambing PE dengan tipe kelahiran tunggal adalah 3,52±0,68 kg, sedangkan anak tunggal betina adalah 3,06±0,64 kg. Rataan bobot lahir anak kambing PE jantan pada tipe kelahiran kembar dua adalah 2,96±0,51 kg dan yang betina adalah 2,73±0,54 kg.

Rataan bobot lahir kambing Saanen berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Bobot Lahir Kambing Saanen Berdasarkan Tipe Kelahiran dan Jenis Kelamin

Tipe Kelahiran Jenis Kelamin Jumlah

(ekor)

Rataan dan Standar Deviasi

(kg)

Tunggal Jantan 11 3,85±0,61a

Betina 15 2,95±0,47A

Total 26 3,33±0,69a1

Kembar Dua Jantan 14 2,89±0,22b

Betina 8 3,05±0,18A

Total 22 2,94±0,21b1

Total Jantan 25 3,31±0,39A1

Betina 23 2,98±0,39B1

Keterangan :superscripta dan b = perbandingan antara jantan tipe kelahiran tunggal dengan jantan tipe kelahiran kembar, A = perbandingan antara betina tipe kelahiran tunggal dengan betina tipe kelahiran kembar, a1 dan b1 = perbandingan antara tipe kelahiran tunggal dengan tipe kelahiran kembar, A1 dan B1 = perbandingan antara jantan dengan betina. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 95%.


(30)

19 Berdasarkan hasil analisis pada bobot lahir kambing Saanen, rataan bobot keturunan jantan pada tipe kelahiran tunggal berbeda nyata (P<0,05) dengan jantan pada tipe kelahiran kembar, akan tetapi rataan bobot lahir betina pada kelahiran tunggal tidak berbeda (P<0,05) dengan rataan bobot lahir betina pada kelahiran kembar. Rataan bobot lahir kelahiran tunggal berbeda nyata (P<0,05) dengan rataan bobot lahir kelahiran kembar. Hal yang sama juga diperoleh pada rataan bobot lahir berdasarkan jenis kelamin, dimana rataan bobot lahir jantan berbeda nyata (P<0,05) dengan betina.

Rataan bobot lahir anak jantan kambing Saanen lebih tinggi daripada anak betina. Rataan bobot lahir anak jantan sebesar 3,31±0, 39 kg dan anak betina sebesar 2,98±0,39 kg. Rataan bobot lahir kambing Saanen pada kelahiran tunggal lebih tinggi daripada kelahiran kembar dua, yaitu 3,33±0,69 kg untuk kelahiran tunggal dan 2,94±0,21 kg untuk kelahiran kembar dua. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Atabany (2001), dimana bobot lahir jantan (3,15 kg) lebih tinggi daripada bobot lahir betina (3,13 kg) dan bobot lahir kambing Saanen kelahiran tunggal (3,40 kg) lebih tinggi daripada kelahiran kembar dua (3,04 kg).

Bobot lahir jantan lebih besar daripada betina diakibatkan oleh hormon androgen yang dimiliki oleh anak jantan akan menyebabkan adanya retensi nitrogen lebih banyak dibandingkan dengan anak betina, sehingga akan mengakibatkan pertumbuhan anak jantan yang lebih besar (Ihsan, 1990). Selain itu, menurut Nalbandov (1990), hormon estrogen yang dihasilkan hewan betina akan membatasi pertumbuhan tulang pipa dalam tubuh. Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa hormon estrogen pada ternak betina berpengaruh terhadap pengapuran tulang rawan (epifise), sehingga pertumbuhan tulang betina menjadi lebih pendek daripada jantan.

Bobot lahir berkorelasi dengan laju pertumbuhan dan ukuran dewasa serta daya hidup anak. Bobot lahir yang tinggi di atas rataan, umumnya akan memiliki kemampuan hidup lebih tinggi dalam melewati masa kritis, pertumbuhannya cepat dan akan memiliki bobot sapih yang lebih tinggi (Gunawan dan Noor, 2006).

Kambing Saanen, pada Tabel 5, memiliki bobot kelahiran anak tunggal jantan 3,85±0,61 kg sedangkan anak tunggal betina 2,95±0,47 kg. Tipe kelahiran kembar dua memiliki bobot lahir pada anak jantan 2,89±0,22 kg dan anak betina 3,05±0,18 kg.


(31)

Bobot Sapih

Rataan bobot sapih kambing PE berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Bobot Sapih Kambing PE berdasarkan Tipe Kelahiran dan Jenis Kelamin

Tipe Kelahiran Jenis Kelamin Jumlah

(ekor)

Rataan dan Standar Deviasi

(kg)

Tunggal Jantan 29 11,44±2,86a

Betina 29 11,33±2,98A

Total 58 11,39±1,90a1

Kembar Dua Jantan 25 11,23±2,24a

Betina 36 11,14±2,77A

Total 61 11,18±2,55a1

Total Jantan 55 11,41±2,59A1

Betina 56 11,24±2,83A1

Keterangan : superscript a = perbandingan antara jantan tipe kelahiran tunggal dengan jantan tipe kelahiran kembar, A = perbandingan antara betina tipe kelahiran tunggal dengan betina tipe kelahiran kembar, a1 = perbandingan antara tipe kelahiran tunggal dengan tipe kelahiran kembar, A1 = perbandingan antara jantan dengan betina. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 95%.

Analisis statistik pada bobot sapih kambing PE berdasarkan jenis kelamin, tipe kelahiran maupun tipe kelahiran per jenis kelamin diperoleh hasil yang tidak nyata (P>0,05). Rataan bobot sapih anak jantan kambing PE yaitu 11,41±2,59 kg dan anak betina sebesar 11,24±2,83 kg. Atabany (2001) melaporkan bobot sapih anak jantan dan anak betina kambing PE masing-masing adalah 13,5 kg dan 11,5 kg.

Bobot sapih anak kambing PE pada kelahiran tunggal sebesar 11,39±2,90 kg, bobot kelahiran kembar dua sebesar 11,18±2,55 kg. Apabila ditinjau dari tipe kelahiran per jenis kelamin, rataan bobot sapih anak jantan kambing PE dengan tipe kelahiran tunggal adalah 11,44±2,86 kg sedangkan anak tunggal betina adalah 11,33±2,98 kg. Rataan bobot sapih anak kambing PE jantan pada tipe kelahiran kembar adalah 11,23±2,24 kg dan yang betina adalah 11,14±2,77 kg.

Rataan bobot sapih kambing Saanen berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 7.


(32)

21 Tabel 7. Rataan Bobot Sapih Kambing Saanen Berdasarkan Tipe Kelahiran dan Jenis

Kelamin

Tipe Kelahiran Jenis Kelamin Jumlah

(ekor)

Rataan dan Standar Deviasi

(kg)

Tunggal Jantan 11 12,48±1,42a

Betina 15 9,10±1,90A

Total 26 10,53±2,40a1

Kembar Dua Jantan 12 8,72±1,34b

Betina 8 9,41±2,13A

Total 26 9,00±1,68b1

Total Jantan 23 10,52±2,35A1

Betina 23 9,21±1,94B1

Keterangan : superscripta dan b = perbandingan antara jantan tipe kelahiran tunggal dengan jantan tipe kelahiran kembar, A= perbandingan antara betina tipe kelahiran tunggal dengan betina tipe kelahiran kembar, a1 dan b1 = perbandingan antara tipe kelahiran tunggal dengan tipe kelahiran kembar, A1 dan B1 = perbandingan antara jantan dengan betina. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 95%. Berdasarkan hasil analisis pada bobot sapih kambing Saanen, rataan bobot sapih keturunan jantan pada tipe kelahiran tunggal berbeda nyata (P<0,05) dengan jantan pada tipe kelahiran kembar dua. Anak kambing Saanen dengan kelahiran tunggal memiliki bobot sapih sebesar 10,53±2,40 kg, sedangkan bobot sapih pada kelahiran kembar sebesar 9,00±1,68 kg.

Rataan bobot sapih anak kambing Saanen pada kelahiran tunggal lebih tinggi dibandingkan kelahiran kembar disebabkan oleh anak kambing Saanen kelahiran tunggal memiliki bobot lahir yang lebih tinggi daripada kelahiran kembar. Hal ini sesuai dengan laporan Abdulgani (1981) yang menyatakan bahwa bobot sapih ditentukan oleh bobot lahir. Subandriyo (1996) juga menyatakan bahwa terbatasnya produksi susu induk menyebabkan anak kembar harus berbagi susu, pertumbuhan pra sapih anak kembar menjadi lebih lama dibandingkan anak tunggal, sehingga anak kembar memiliki bobot sapih yang lebih rendah.

Rataan bobot sapih jantan berbeda nyata (P<0,05) dengan betina. Rataan bobot sapih anak jantan lebih tinggi daripada anak betina. Bobot sapih anak jantan dan betina kambing Saanen pada hasil penelitian masing-masing adalah 10,52±2,35 kg dan 9,21±1,94 kg. Rataan bobot sapih pada penelitian ini lebih rendah dari data yang diperoleh oleh Atabany (2001), dimana bobot sapih anak jantan dan anak betina kambing Saanen masing-masing adalah 20,6 kg dan 16,2 kg.


(33)

Rataan bobot sapih betina kelahiran tunggal dengan rataan bobot sapih betina kelahiran kembar dua tidak berbeda nyata (P>0,05), akan tetapi rataan bobot sapih jantan pada kelahiran tunggal berbeda nyata (P<0,05) dengan jantan pada kelahiran kembar dua. Rataan bobot sapih anak jantan kambing Saanen pada tipe kelahiran tunggal adalah 12,48±1,42 kg sedangkan anak tunggal betina 9,10±1,96 kg. Tipe kelahiran kembar dua memiliki bobot lahir pada anak jantan 8,72±1,37 kg dan anak betina 9,41±2,13 kg.

Menurut Lasley (1963), berat sapih berkorelasi positif dengan berat lahir,

sehingga seleksi terhadap bobot sapih akan meningkatkan bobot pasca lahir pada

generasi berikutnya (Triwulaningsih, 1986). Abdulgani (1981) dan Acker (1983)

melaporkan bahwa anak kambing yang mempunyai berat lahir yang tinggi akan tumbuh lebih cepat, sehingga akan mencapai berat sapih yang tinggi pula. Menurut Abdulgani (1981), Sutama et al.(1995), dan Setiadi et al. (2001), jenis kelamin juga mempengaruhi berat sapih, dimana jantan lebih tinggi daripada betina.

Mortalitas

Tingkat kematian anak dihitung berdasarkan kematian anak dibandingkan jumlah kelahiran (Mulyadi, 1992). Berdasarkan data dari tahun 2006 hingga 2009, diperoleh data kematian pada anak kambing PE adalah sebanyak 8,3% (11 dari 133 ekor) lebih rendah dari penelitian Atabany (2001) sebesar 11%, dan data kematian anak kambing Saanen sebanyak 18,75% (9 dari 48 ekor) lebih tinggi dibandingkan data penelitian Atabany (2001) sebesar 15%.

Tingginya kemampuan hidup dalam suatu populasi ditunjukkan dengan rendahnya laju kematian. Anak kambing PE memiliki persentase kematian yang lebih kecil dibandingkan dengan anak kambing Saanen, hal ini menunjukkan bahwa kambing PE memiliki kemampuan hidup yang lebih baik karena kambing PE merupakan persilangan antara kambing Etawah dan kambing Kacang. Kambing Kacang merupakan kambing lokal asli Indonesia yang sudah beradaptasi baik dengan lingkungan tropis. Kambing Saanen merupakan kambing yang berasal dari daerah beriklim sejuk basah dan masih kurang baik beradaptasi dengan lingkungan tropis (Devendra dan Burns, 1994).

Menurut Kostaman (2003) dalam penelitiannya, tingginya kematian anak dipengaruhi oleh berat lahir yang rendah, kelahiran terjadi di malam hari sehingga


(34)

23 terlambat memberikan pertolongan terutama bagi anak dengan bobot lahir rendah, dan juga faktor seperti kejang. Anak kambing yang mati dalam penelitian ini disebabkan karena mencret, kejang dan kembung.

Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kematian anak merupakan proporsi yang tinggi dari kematian total dan kematian dapat disebabkan oleh kedinginan, kekurangan makanan (susu induk), penyakit dan kesulitan beranak (distokia). Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa anak kambing sepenuhnya tergantung pada susu induk sampai kurang lebih 7-8 minggu setelah lahir. Usaha yang dapat dilakukan untuk menekan laju kematian anak menurut Subandriyo et al.(1994), yaitu dengan perbaikan dalam perawatan induk bunting tua, induk menyusui, dan perbaikan tatalaksana pemberian pakan.

Nilai Heritabilitas Bobot Lahir dan Bobot Sapih

Besarnya nilai heritabilitas suatu sifat penting dalam program seleksi dan rencana perkawinan untuk memperbaiki mutu ternak. Nilai dugaan heritabilitas bobot lahir kambing PE dan Saanen disajikan Tabel 8.

Tabel 8. Nilai Dugaan Heritabilitas Bobot Lahir Kambing PE dan Saanen

No. Jenis Ternak Bobot lahir Bobot Sapih

1. PE 0,50±0,34 0,56±0,36

2. Saanen 0,36±0,68 *

Keterangan : *= tidak dapat diidentifikasi

Berdasarkan Tabel 8, nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih kambing PE masing-masing adalah 0,50±0,34 dan 0,56±0,36. Nilai heritabilitas bobot lahir kambing PE termasuk dalam kategori tinggi (>0,4) (Noor, 2000). Nilai heritabilitas tinggi menunjukkan perbedaan fenotip hewan sebagian besar disebabkan oleh perbedaan nilai pemuliaan, bukan disebabkan oleh pengaruh kombinasi gen (dominan dan epistasis) maupun pengaruh lingkungan (Bourdon, 1997).

Nilai heritabilitas bobot lahir kambing Saanen adalah 0,36±0,68. Nilai heritabilitas kambing Saanen termasuk sedang karena berada diantara 0,2-0,4. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilakukan seleksi berdasarkan bobot lahir pada kambing PE dan Saanen di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor karena menurut


(35)

Warwick et al. (1990), seleksi yang dilakukan pada nilai heritabilitas yang dikategorikan sedang sampai tinggi lebih efisien dalam meningkatkan mutu genetik dibandingkan dengan seleksi pada nilai heritabiliras rendah. Akan tetapi seleksi terhadap bobot sapih hanya dapat dilakukan pada kambing PE. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya data yang tersedia sehingga heritabilitas bobot sapih kambing Saanen tidak dapat diidentifikasi.

Warwick et al. (1995) menyatakan bahwa nilai heritabilitas negatif atau lebih dari satu secara biologis tidak mungkin. Bila hal tersebut ditemukan kemungkinan disebabkan oleh: (1) keseragaman yang disebabkan oleh lingkungan yang berbeda untuk kelompok keluarga berbeda, (2) metode statistik yang digunakan tidak tepat sehingga tidak dapat memisahkan antara ragam genetik dan ragam lingkungan dengan efektif, dan (3) kesalahan dalam pengambilan contoh.

Evaluasi Pejantan

Evaluasi pejantan dilakukan dengan pendekatan Contemporary Comparison yang selanjutnya dilakukan estimasi nilai pemuliaannya (Breeding Value). Nilai Contemporary Comparison (CC) dan Estimated Breeding Value (EBV) dari pejantan kambing PE dan Saanen disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Daftar nilai Contemporary Comparison dan Estimated Breeding Value Kambing PE dan Saanen

Bangsa

Kambing No Pejantan CC 2b EBV = 2bCC Peringkat

PE

178 -0,35 1,37 -0,48 8

179 0,15 1,46 0,22 3

261 0,42 1,52 0,64 1

2031 0,27 1,37 0,37 2

Cariu -0,06 1,18 -0,07 6

Hitam -0,38 0,79 -0,30 7

7085 0,22 0,24 0,05 4

198 -0,02 0,96 -0,02 5

Saanen 9021 0,6 0,80 0,49 1

163 0,5 0,86 0,40 2

Keunggulan pejantan yang terdapat di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor diuji dengan menggunakan metode Contemporary Comparison (CC). Berdasarkan


(36)

25 Tabel 9, urutan pejantan dari nilai CC terendah sampai tertinggi pada kambing PE adalah pejantan Hitam (-0,38), 178 (-0,35), Cariu (-0,06), 198 (-0,02), 7085 (0,22), 179 (0,15), 2031 (0,27) dan 261 (0,42), sedangkan pejantan dengan nilai CC terendah pada kambing Saanen adalah pejantan no. 9021 (0,6) dan CC tertinggi adalah pejantan no. 163 (0,5).

Berdasarkan hasil evaluasi dari 8 pejantan kambing PE yang digunakan, empat pejantan mempunyai nilai CC positif yang berkisar antara 0,02 sampai 0,42; sedangkan empat pejantan lainnya mempunyai nilai CC negatif berkisar antara -0,38 sampai -0,02. Pejantan kambing Saanen memiliki nilai CC positif berkisar antara 0,5 sampai 0,6. Nilai CC positif berarti bahwa pejantan yang diuji, jika dikawinkan dengan betina akan mewariskan keunggulan sifat bobot lahir kepada keturunannya di atas rata-rata pembandingnya (contemporary).

Nilai pemuliaan (breeding value, BV) didefinisikan sebagai nilai suatu individu sebagai kontributor dari gen-gen untuk generasi yang akan datang. Nilai pemuliaan tidak dapat diukur secara langsung, namun dapat diperkirakan atau diprediksi atau diestimasi berdasarkan Estimated Breeding Value (EBV) (Subandriyo, 2006).

Cara yang paling mudah untuk mengkaji nilai pemuliaan adalah dengan jalan mengukur rataan performans dari anak dibandingkan dengan pembandingnya (contemporary). Metode Contemporary Comparison(CC) dari Robertson dan Rendel pada tahun 1954 diperkenalkan dan merupakan dasar untuk perhitungan estimasi nilai pemuliaan dari pejantan.

Nilai pemuliaan dari Tabel 9, diperoleh hasil dari peringkat yang tertinggi sampai terendah pada kambing PE secara berurutan adalah pejantan no. 261 (0,64), 2031 (0,37), 179 (0,22), 7085 (0,05), 198 (-0,02), Cariu (-0,07), Hitam (-0,30) dan 179 (0,05). Peringkat pejantan kambing Saanen dari tertinggi sampai terendah adalah pejantan no. 9021 (0,49) dan 163 (0,40). Peringkat pejantan berdasarkan nilai Estimated Breeding Value (EBV) sama dengan peringkat pejantan berdasarkan nilai Contemporary Comparison kecuali pada pejantan no. 178 dan pejantan Hitam. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengetahui pejantan yang unggul, dapat diperkirakan dari nilai Contemporary Comparison (CC) yang paling tinggi diantara pejantan lain.


(37)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Bobot lahir kambing PE berbeda berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran, sedangkan bobot sapih kambing PE tidak berbeda. Bobot lahir dan bobot sapih kambing Saanen berbeda berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran.

Nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih kambing PE termasuk tinggi. Nilai heritabilitas bobot lahir kambing Saanen termasuk sedang. Pejantan kambing PE di Balai Penelitian Ternak Ciawi yang memiliki nilai pemuliaan atau potensi genetik yang tinggi adalah pejantan no. 261 (0,77), sedangkan pada kambing Saanen adalah pejantan no. 9021 (0,49).

Saran

Perlu penelitian lebih lanjut untuk menghitung nilai pemuliaan pejantan berdasarkan data produksi susu keturunannya, selain itu juga diperlukan identifikasi dan pencatatan (recording) yang lebih baik di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.


(38)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat serta para pengikutnya sampai akhir zaman.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si dan Ir. Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D yang telah membimbing, mengarahkan, meluangkan waktu serta membantu penulis, mulai saat penyusunan proposal, tahap penulisan skripsi dan ujian akhir sarjana. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor bagian Ruminansia Kecil yang telah membantu dalam pengumpulan data, serta Ir. Hj. Komariah, M.Si sebagai pembimbing akademik yang senantiasa memberikan bimbingan yang tulus. Ucapan terima kasih kepada dosen penguji, Dr. Ir. Rarah Ratih Adji Maheswari, DEA dan Ir. M. Agus Setiana, MS serta dosen panitia, M. Baihaqi, S.Pt, M.Sc yang telah banyak memberikan saran perbaikan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Sumanto dan Ibunda Suhariyanti yang senantiasa memberikan kasih sayangnya yang tulus, mengajarkan, mendidik, memberikan motivasi dan mendo’akan yang terbaik untuk keberhasilan penulis. Terima kasih kepada kakak tercinta, Dewi Wulandari dan keluarga yang selalu memberikan do’a dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi selama di IPB, serta seluruh keluarga besar yang ada di Ponorogo, Madiun, Surabaya dan Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar ROIA-D dan ID atas ukhuwah yang telah diberikan, dan motivasi serta pelajaran hidup yang sangat berharga bagi penulis. Teman-teman di FAMM Al-An’aam, DPM Fapet 2007/2008, IPTP 43, keluarga besar Pondok Dewi 2007/2011 dan sahabat-sahabat tercinta atas segala dukungan, semangat, kebersamaan, kesabaran, perhatian dan nasehat yang selalu diberikan. Terakhir, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Bogor, Mei 2011


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, I.K. 1981. Beberapa ciri populasi kambing di Desa Ciburuy dan Desa Cigombong serta kegunaannya bagi peningkatan produktivitas. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Abe, T. 1993. Dairy Farming in Asia : Progeny Testing of Dairy Bulls in Japan. Asian Productivity Organization, Tokyo.

Acker, D. 1983. Animal Science and Industry. Prentice Hall Inc., Anglewood Cliffs, New Jersey.

Adiati, U., K. Sutama, I.W. Mathius, & Yulistiani. 2000. Produktivitas Kambing PE pada Sistem Pemeliharaan yang Berbeda. Kumpulan Hasil Penelitian Anggaran 1998/99, Buku II, Ternak Ruminansia. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Hal: 17-25.

Atabany, A. 2001. Studi kasus produktivitas kambing Peranakan Etawah dan kambing Saanen pada peternakan kambing perah Barokah dan PT. Taurus Dairy Farm. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia (Statistical Yearbook of Indonesia).

Jakarta, Indonesia.

Bath, D.L., F.N. Dickinson, H.A. Tucker, & R.D. Aplleman. 1985. Dairy Cattle Principles, Practice, Problem and Profit. 3th Edition. Lea and Febinger, Philadelphia.

Becker, W.A. 1975. Manual Quantitative Genetics. 4th Edition. Academic Enterprises Pullman, Washington.

Blakely, J. & D.H. Bade. 1992. Ilmu Peternakan. Terjemahan : B. Srigandono. 4th Edition. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Bourdon, R.M. 1997. Understanding Animal Breeding. Prentice Hall Inc., Upper Suddle River, New Jersey.

Campbell, J.R. & J.F. Lasley. 1973. The Science of Animals that Serve Mankind. 2nd Edition. Tata McGrow-Hill Publishing Company Limited, New Delhi.

Devendra C & GB Mc Leroy. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. General Payne.W.J.A. Logman London and New York. General Editor Payne. W.J.A. Intermediate Tropical Agriculture Series. Toppan Printing Co. (S) Pte .Ltd, Singapore.

Devendra, C. & M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan. IDK Harya putra. Penerbit ITB, Bandung.

Devendra, C. 1978. Small ruminants : imperatives for productivity enhancement improved livelihoods and rural growth. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14(10) : 1483-1496.

Diggins, V.R. & E.C. Bundy. 1961. Dairy Production. 2nd Edition. Prentice-Hall, INC Englewood Cliff, New York.

Ensminger, M.E. & R.O. Parker. 1986. Sheep and Goat Science (Animal Agriculture Series). 5thEdition. The Interstate Printers and Publishers Inc., Illinois.


(40)

29 Gall, C. 1981. Goat Production. Academic Press Inc Ltd., London.

Gatenby, R.M. 1991. Sheep. The Tropical Agriculturalist. McMillan Education Ltd, London.

Greenwood, P. 1997. Goat Breed Saanen. Ag-fact A7. 3. 4. 2ndEdition.

Gunawan, A. & R.R. Noor. 2006. Pendugaan nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih domba Garut tipe laga. Media Peternakan. 29(1): 7-15.

Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Ternak. Airlangga University Press, Surabaya.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiaan Ternak di Lapangan. Grasindo, Jakarta.

Hardjosubroto, W., M. Astuti, & D. Sularsasa. 1979. Peranan usaha pemuliaan ternak di Indonesia. Proc. Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Holmes, C.W. & G.F. Wilson. 1984. Milk Production from Pasture. Butterworths of New Zaeland (Ltd).

Ihsan, M.N. 1990. Penampilan produksi dan reproduksi kambing Peranakan Ettawah dan persilangannya dengan Saanen. J. Univ. Brawijaya 2(3) :60-66.

Joesoep, E.T. 1986. Beberapa parameter genetik sifat kuantitatif kambing Peranakan Etawah. Tesis. Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor.

Johansson I. & J. Rendel. 1968. Genetic and Animal Breeding. 1st Edition. W.H. Freeman and Company, San Francisco.

Kostaman, T. 2003. Penampilan reproduksi kambing Peranakan Etawah betina yang dikawinkan dengan kambing Boer jantan dan pertumbuhan anaknya sampai sapih. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kosum, N., T. Taskin, Y. Akbas, & M. Kaymakci. 2004. Heritability estimates of

birth and weaning weights in Saanen, Bornova and Saanen x Kilis Goats. Pakistan J. Bio. Sci. 7(11): 1963-1966

Kurnianto, E., S. Johari, & H. Kurniawan. 2007. Komponen ragam bobot badan kambing Peranakan Etawa di Balai Pembibitan Ternak Kambing Sumberrejo Kabupaten Kendal. J.Indon.Trop.Anim.Agric.32[4].

Lasley, J.F. 1963. Genetic of Livestock Improvement. 4thEdition. Prentice Hall, New Jersey.

Legates, J.E. & E.J. Warwick. 1990. Breeding and Improvement of Farm Animals. 8thEdition. Mc Grow-Hill Book Co., Singapure.

Mandonnet, N., G. Alexander, M. Naves, J. Fleury, G. Aumont, & A. Menendez Buxadera. 1998. Genetic parameters of litter size and pre-weaning growth rate of Creole Goats of GuaDeloupe (F.W.I). 6thWorld Congress on Genetic Applied to Livestock Peoduction. Januari 11-16, Armidale, NSW (Australia), 25: 265-268.


(41)

Martojo, H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen pendidikan dan Kebudayaan Dirjen-Dikti. PAU. Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Maynard, A. Leonard, & J.K. Loosli. 1956. Animal Nutrition. 4thEdition. Mc Graw Hill Book, New York.

Mendenhall, W. 1967. Introduction to Probability and Statistics. Wadsworth Pub., Belmont.

Minkema, D. 1993. Dasar Genetika dan Pembudidayaan Ternak. Bharata Karya Aksara, Jakarta.

Mulyadi, H. 1992. Penampilan fenotipik sifat-sifat produksi dan reproduksi kambing Peranakan Etawah. Buletin Peternakan 16 : 1-5.

Murtidjo, B.A. 1993. Memelihara Ternak Domba. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Nalbandov A.V. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Cetakan

Pertama Edisi Ketiga. UI Press, Jakarta.

Ngadiyono, N., P. Basuki, & G. Murtidjo. 1983. Beberapa data performa ternak kambing yang dipelihara secara tradisional di pedesaan sejak lahir sampai umur disapih. Prosiding pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian, Yogyakarta. Hal: 122-125.

Noor, R.R. 2000. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.

Obst, J.M. & Z. Napitupulu. 1984. Milk yields of Indonesian goats. Proc. Aist. Soc. Anim. Prod. 15: 501-504.

Phalepi, M. A. 2004. Performa Kambing Peranakan Etawah (studi kasus di Peternakan Pusat Pelatihan dan Pedesaan Swadaya Citarasa). Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.

Pirchner, F. 1969. Population Genetics in Animal Breeding. W.H. Freeman dan Company, San Francisco.

Prihartini, I. 2000. Uji nilai korelasi genetik karakteristik bobot lahir dan bobot sapih dari generasi yang berbeda pada kambing Peranakan Etawah (PE) di UPT atau HMT Singosari Malang. JIPTUMM - Universitas Komputer Indonesia. http : elib.unikom.ac.id [20 Desember 2010].

Rahmat, D., A. Anang, & Dudi. 1997. Kecermatan dugaan respon seleksi bobot badan prasapih domba Priangan berdasarkan catatan tunggal dan catatan berulang pada uji zuriat. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.

Sasimowski, E. 1987. Animal Breeding and Production. An Outline. Elseiver. Amsterdam. Oxford. New York. PWN. Polish Scientific Publisher, Warzawa. Schmidt, G.H. & L.D. Van Vleck. 1974. Principles of Dairy Sciences. W. H.

Free-man and Co., San Francisco.

Setiadi, B., Subandriyo, M. Martawidjaja, D. Priyanto, D. Yulisstiani, T. Sartika, B. Tiesnamukti, K. Diwyanto & L. Praharani. 2001. Evaluasi peningkatan


(42)

31 produktivitas kambing persilangan. Kumpulan Hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 1999/2000. Buku I. Penelitian Ternak Ruminansia Kecil. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 157-178.

Smith, J.B. & S. Mangkoewidjojo. 1987. The Care, Breeding and Management og Experimental Animals for Research in the Tropics. International Development of Australian Universities and Colleges, Canberra.

Subandriyo, B. Setiyadi, T.D. Soedjana, & P. Sitorus. 1994. Produktivitas usaha ternak domba di pedesaan. Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia 1:17. Subandriyo. 1996. The Small Ruminant CRSP in Indonesia 1980-1993 :

Achievement and impact. Small Ruminant Workshop Proceedings. Humid Tropics : Hair Sheep Integration of Sheep into Tree Crop Plantation : 57-65. Sulastri & A. Dakhlan. 2006. Perbandingan potensi genetik dan kemampuan

mewariskan sifat pertumbuhan berdasarkan Nilai Pemuliaan (Breeding Value) dan Nilai ETA (Estimated Transmitting Abillity) pada pejantan kambing Boer dan Boerawa. Laporan Penelitian Dosen Muda. Universitas Lampung, Lampung.

Sutama, I.K. 2007. Petunjuk Teknis Beternak Kambing Perah. Balai Penelitian Ternak Kerjasama dengan Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Sutama, I.K., I.G.M. Budiarsa, H. Setiyanto, & A. Priyanti. 1995. Productive and reproductive performance of young Ettawah-Cross does. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 1(2) : 1-6

Sutama, I.K., R. Dharsana, B. Setiadi, U. Adiati, R.S.G. Sianturi, I.G.M. Budiarsana, Hastono, & A. Anggraeni. 2000. Respon fisiologi dan produktivitas kambing PE yang dikawinkan dengan kambing Saanen. Kumpuan Hasil Penelitian Anggaran 1998/99, Buku II, Ternak Ruminansia, Balai Penelitian Ternak, Bogor. Hal: 49-63.

Triwulaningsih, E.J. 1986. Beberapa parameter genetik sifat kuantitatif kambing Peranakan Etawah. Tesis. Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Warwick, E.J., J.M. Astuti, & W. Hardjosubroto. 1990. Pemuliaaan Ternak. Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta.

Wiggans, G.R., F.N. Dickinson, G.J. King, & J.I. Weller. 1984. Genetic evaluation of dairy goat bucks for daughter milk and fat. J. Dairy Sci. 67: 201-207.


(43)

(44)

32 Lampiran 1. Nilai Uji T Bobot Lahir dan Bobot Sapih Kambing Peranakan Etawah

No. P-value

Bobot Lahir Bobot Sapih

1. Tipe kelahiran tunggal- kembar dua 0,000 0,680

2. Jenis kelamin betina – jantan 0,004 0,734

3. Jenis kelamin jantan pada tipe kelahiran tunggal

- kembar dua 0,001 0,760

4. Jenis kelamin betina pada tipe kelahiran tunggal

– kembar dua 0,025 0,797

Lampiran 2. Nilai Analisis Sidik Ragam Bobot Lahir dan Bobot Sapih Kambing Peranakan Etawah

Peubah SK db JK KT

Bobot lahir Antar pejantan 7 9,229 1,318

Anak dalam pejantan 125 49,789 0,398

Total 132 59,018

Bobot sapih Antar pejantan 7 504,72 72,10

Anak dalam pejantan 125 2503,38 20,03

Total 132 3008,11

Lampiran 3. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Lahir Kambing Peranakan Etawah

k1= . −

.

= −

= , =

= ,

= −

= , ,

, = ,

ℎ =

= . ,

, , = ,

se (h2) = 4 . [ ]

.

= 4 , [ , , ]

,

= , t = 0,125


(45)

Lampiran 4. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Sapih Kambing Peranakan Etawah

k1= . − .

= −

= ,

=

= ,

= −

= , ,

, = ,

ℎ =

= . ,

, , = ,

se (h2) = 4 . [ ]

.

= 4 , [ , , ]

,

= , t = 0,14


(46)

34 Lampiran 5. Nilai Uji T Bobot Lahir dan Bobot Sapih Kambing Saanen

No. P-value

Bobot Lahir Bobot Sapih

1. Tipe kelahiran tunggal- kembar dua 0,012 0,014

2. Jenis kelamin betina – jantan 0,038 0,046

3. Jenis kelamin jantan pada tipe kelahiran tunggal

- kembar dua 0,000 0,000

4. Jenis kelamin betina pada tipe kelahiran tunggal

– kembar dua 0,462 0,734

Lampiran 6. Nilai Analisis Sidik Ragam Bobot Lahir dan Bobot Sapih Kambing Saanen

Peubah SK db JK KT

Bobot lahir Antar pejantan 1 0,8542 0,8542

Anak dalam pejantan 46 12,2124 0,2655

Total 47 13,0667

Bobot sapih Antar pejantan 1 86,925 86,925

Anak dalam pejantan 44 169,190 3,845

Total 45 256,115

Lampiran 7. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Lahir Kambing Saanen

k1= . − .

= −

= , = = ,

= −

= , ,

, = ,

ℎ =

= . ,

, , = ,

se (h2) = 4 . [ ]

.

= 4 , [ , , ]

,

= , t = ,


(47)

Lampiran 8. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Sapih Kambing Saanen

k1= . −

.

= −

= , = = ,

= −

= , ,

, = ,

ℎ =

= . ,

, , = ,

se (h2) = 4 . [ ]

.

= 4 , [ , , ]

,

= , t = 0,496


(48)

36

Lampiran 9. Perhitungan Contemporary ComparisonPejantan Kambing PE

178 179 261 2031 Cariu Hitam 7085 198

n 2007 11 7 21 8

2008 7 16 14 13 8 4

2009 1 2 0 3 4 1 1 12

wi 2007 8,426 5,957 11,617 2,489

2008 6,21 11,87 10,84 10,27 6,97 3,76

2009 0,96 1,83 0 3 3,33 0,96 0,96 6,67

Σwij 15,596 19,657 22,457 15,759 10,3 4,72 0,96 6,67

Rataan Bobot

Lahir

2007 3,4 3,4 3,8 3,6

2008 3 3,6 3,8 3,5 3,2 3,1

2009 1,8 3,1 0 3,4 2,9 2,2 2,9 2,7

dij 2007 -0,2 -0,2 0,333 0,067

2008 -0,44 0,28 0,52 0,16 -0,2 -0,32

2009 -1,07 0,45 0 0,8 0,22 -0,6 0,22 -0,02

widij 2007 -1,6852 -1,1914 3,868461 0,166763 0 0 0

2008 -2,7324 3,3236 5,6368 1,6432 -1,394 -1,2032 0

2009 -1,0272 0,8235 0 2,4 0,7326 -0,576 0,2112 -0,1334

Σwidij -5,4448 2,9557 9,505261 4,209963 -0,6614 -1,7792 0,2112 -0,1334


(49)

Lampiran 10. Perhitungan Contemporary Comparison pada pejantan kambing Saanen

Tahun 9021 163

n

2007 9

2008 9 26

2009 3

wi

2007 1

2008 6,69 6,69

2009 1

Σwij 7,69 7,69

Rataan Bobot Lahir

2007 0,0

2008 3,5 3,5

2009 3,6

dij

2007 4,1

2008 0 0

2009 3,6

widij

2007 4,1

2008 0 0

2009 3,6

Σwidij 4,1 3,6


(50)

1 Lampiran 11. Perhitungan EBV Bobot Lahir pada Pejantan Kambing PE dan Saanen

PE Saanen

178 179 261 2031 Cariu Hitam 7085 198 9021 163

EBV=2bCC -0,48193 0,221758 0,645365 0,36996 -0,07646 -0,30362 0,053065 -0,01952 0,488066 0,404472

2b 1,380421 1,47481 1,524731 1,384859 1,190751 0,805461 0,241206 0,97586 0,796381 0,863996

b=wi/(w+k) 0,690211 0,737405 0,762365 0,692429 0,595376 0,40273 0,120603 0,48793 0,398191 0,431998

w 15,596 19,657 22,457 15,759 10,3 4,72 0,96 6,67 6,69 7,69

k=(4-h2)/h2 7 10,11111


(51)

EVALUASI POTENSI GENETIK SIFAT PERTUMBUHAN

PEJANTAN KAMBING PE DAN SAANEN DI BALAI

PENELITIAN TERNAK CIAWI-BOGOR

SKRIPSI

WIDIAN SETIYORINI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(52)

RINGKASAN

Widian Setiyorini. D14063456. 2011. Evaluasi Potensi Genetik Sifat Pertumbuh-an PejPertumbuh-antPertumbuh-an Kambing PE dPertumbuh-an SaPertumbuh-anen di Balai PenelitiPertumbuh-an Ternak Ciawi-Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si

Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni M.Si., Ph.D

Kambing perah yang dipelihara dengan baik di Indonesia adalah kambing Peranakan Etawah (PE) dan Saanen. Potensi produksi susu dari pejantan dapat ditingkatkan dengan memperbaiki mutu genetik melalui program seleksi berdasarkan nilai pemuliaan (EBV) sehingga diperoleh pejantan unggul. Produksi susu ditentukan oleh performans pertumbuhan sebelum dikawinkan seperti bobot lahir dan bobot sapih. Pejantan mewariskan 50% sifat kepada keturunannya sehingga dapat diukur melalui keturunannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi genetik pejantan melalui bobot lahir dan bobot sapih keturunan pejantan kambing PE dan Saanen yang terdapat di Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor.

Penelitian ini menggunakan 133 anak kambing PE dari 8 ekor pejantan dan 48 ekor anak kambing Saanen dari 2 ekor pejantan yang berasal dari Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor. Data berasal dari pencatatan tahun 2006 hingga 2009. Peubah yang diamati adalah bobot lahir dan bobot sapih (120 hari) yang dianalisis dengan uji-t. Bobot lahir kambing Saanen dikoreksi kepada tipe kelahiran tunggal dan jenis kelamin jantan, sedangkan kambing PE dikoreksi kepada tipe kelahiran kembar dua dan jenis kelamin betina. Heritabilitas dihitung dengan metode paternal half sibs, dan nilai pemuliaan (Breeding Value) dihitung berdasarkan pendekatan Contemporary Comparison(CC).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot lahir kambing PE jantan 3,20±0,67 kg, sedangkan bobot lahir kambing PE betina 2,87±0,60 kg. Bobot lahir kambing Saanen jantan 3,31±0,39 kg dan kambing Saanen betina 2,98±0,39 kg. Bobot lahir kambing PE pada kelahiran tunggal dan kembar dua masing-masing sebesar 3,28±0,69 kg dan 2,83±0,53 kg. Bobot lahir kambing Saanen pada kelahiran tunggal 3,33±0,69 kg dan kembar dua 2,94±0,21 kg. Nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih kambing PE berada pada kisaran tinggi yaitu masing-masing adalah 0,50±0,34 dan 0,56±0,36. Nilai heritabilitas bobot lahir kambing Saanen termasuk sedang (0,36±0,68). Pejantan kambing PE yang memiliki nilai pemuliaan (BV) atau potensi genetik yang tinggi adalah pejantan dengan nomor identitas 261 (0,77), sedangkan kambing Saanen adalah pejantan dengan nomor identitas 9021(0,49).


(53)

ABSTRACT

Evaluation on the Genetic Quality Growth Trait of Etawah Grade and Saanen Bucks in Research Institute of Animal Production, Ciawi-Bogor

Setiyorini, W., Jakaria, and A. Anggraeni

Etawah Grade (EG) and Saanen goats are two types of small ruminant commonly raised for producing milk in Indonesia. Milk yield can be increased by doing selection programs based on breeding value (EBV) in order to obtain superior bukcs. The objective of this research was to evaluate the genetic quality growth trait of EG and Saanen bucks at the Research Institute for Animal Production (RIAP), Ciawi-Bogor. This research used 136 kids from 8 EG buks and 48 kids from 2 Saanen bucks from RIAP, Ciawi-Bogor. The data came from the recording in 2006 until 2009. Variables measured were birth weight and weaning weight then analyzed by t-test, weaning weight data were standardized to the age of 120 days and corrected to the type of single births and male (Saanen), and corrected to the type of twin births and female (EG). Heritability was calculated by the method of paternal half sibs, and the value of breeding (Breeding Value) was calculated by the Contemporary Comparison method. The results showed that male EG birth weight was 3,20±0,67 kg, while female birth weight was 2,87±0,60 kg. Male Saanen birth weight was 3,31±0,39 kg, while female birth weight was 2,98±0,39 kg. Etawah Grade birth weight in single birth was 3,28±0,69 kg and twins was 2,83±0,53 kg. Saanen birth weight in single birth was 3,33±0,69 kg, and twins was 2,94±0,21 kg. Heritability of EG birth weight and weaning weight were classified as high (0,50±0,34 and 0,56±0,36). Heritability of Saanen birth weight was 0,36 ± 0,68, this value was classified as moderate. Etawah Grade bucks with high breeding value (BV) was the identity number 261 (0,77), whereas that in Saanen buck was the identity number 9021 (0,49).


(1)

Lampiran 4. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Sapih Kambing Peranakan Etawah

k1= . − .

= −

= ,

=

= ,

= −

= , ,

, = ,

ℎ =

= . ,

, , = ,

se (h2) = 4 . [ ] .

= 4 , [ , , ] ,

= , t = 0,14


(2)

34 Lampiran 5. Nilai Uji T Bobot Lahir dan Bobot Sapih Kambing Saanen

No. P-value

Bobot Lahir Bobot Sapih 1. Tipe kelahiran tunggal- kembar dua 0,012 0,014 2. Jenis kelamin betina – jantan 0,038 0,046 3. Jenis kelamin jantan pada tipe kelahiran tunggal

- kembar dua 0,000 0,000

4. Jenis kelamin betina pada tipe kelahiran tunggal

– kembar dua 0,462 0,734

Lampiran 6. Nilai Analisis Sidik Ragam Bobot Lahir dan Bobot Sapih Kambing Saanen

Peubah SK db JK KT

Bobot lahir Antar pejantan 1 0,8542 0,8542

Anak dalam pejantan 46 12,2124 0,2655

Total 47 13,0667

Bobot sapih Antar pejantan 1 86,925 86,925

Anak dalam pejantan 44 169,190 3,845

Total 45 256,115

Lampiran 7. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Lahir Kambing Saanen k1= . − .

= − = , = = , = − = , , , = ,

ℎ =

= . ,

, , = ,

se (h2) = 4 . [ ]

.

= 4 , [ , , ] ,

= ,


(3)

Lampiran 8. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Sapih Kambing Saanen k1= . −

.

= −

= ,

=

= ,

= −

= , ,

, = ,

ℎ =

= . ,

, , = ,

se (h2) = 4 . [ ]

.

= 4 , [ , , ] ,

= , t = 0,496


(4)

36 Lampiran 9. Perhitungan Contemporary ComparisonPejantan Kambing PE

178 179 261 2031 Cariu Hitam 7085 198

n 2007 11 7 21 8

2008 7 16 14 13 8 4

2009 1 2 0 3 4 1 1 12

wi 2007 8,426 5,957 11,617 2,489

2008 6,21 11,87 10,84 10,27 6,97 3,76

2009 0,96 1,83 0 3 3,33 0,96 0,96 6,67

Σwij 15,596 19,657 22,457 15,759 10,3 4,72 0,96 6,67

Rataan Bobot

Lahir

2007 3,4 3,4 3,8 3,6

2008 3 3,6 3,8 3,5 3,2 3,1

2009 1,8 3,1 0 3,4 2,9 2,2 2,9 2,7

dij 2007 -0,2 -0,2 0,333 0,067

2008 -0,44 0,28 0,52 0,16 -0,2 -0,32

2009 -1,07 0,45 0 0,8 0,22 -0,6 0,22 -0,02

widij 2007 -1,6852 -1,1914 3,868461 0,166763 0 0 0

2008 -2,7324 3,3236 5,6368 1,6432 -1,394 -1,2032 0

2009 -1,0272 0,8235 0 2,4 0,7326 -0,576 0,2112 -0,1334

Σwidij -5,4448 2,9557 9,505261 4,209963 -0,6614 -1,7792 0,2112 -0,1334


(5)

Lampiran 10. Perhitungan Contemporary Comparison pada pejantan kambing Saanen

Tahun 9021 163

n

2007 9

2008 9 26

2009 3

wi

2007 1

2008 6,69 6,69

2009 1

Σwij 7,69 7,69

Rataan Bobot Lahir

2007 0,0

2008 3,5 3,5

2009 3,6

dij

2007 4,1

2008 0 0

2009 3,6

widij

2007 4,1

2008 0 0

2009 3,6

Σwidij 4,1 3,6


(6)

1 Lampiran 11. Perhitungan EBV Bobot Lahir pada Pejantan Kambing PE dan Saanen

PE Saanen

178 179 261 2031 Cariu Hitam 7085 198 9021 163

EBV=2bCC -0,48193 0,221758 0,645365 0,36996 -0,07646 -0,30362 0,053065 -0,01952 0,488066 0,404472 2b 1,380421 1,47481 1,524731 1,384859 1,190751 0,805461 0,241206 0,97586 0,796381 0,863996 b=wi/(w+k) 0,690211 0,737405 0,762365 0,692429 0,595376 0,40273 0,120603 0,48793 0,398191 0,431998

w 15,596 19,657 22,457 15,759 10,3 4,72 0,96 6,67 6,69 7,69

k=(4-h2)/h2 7 10,11111