Morphological Description, Molecular Identification and Phylogenetic Relationship of Tadpoles in Java Island Based on 12S rRNA and 16S rRNA Genes

(1)

i

BERDASARKAN GEN 12S rRNA DAN 16S rRNA

LUTHFIA NURAINI RAHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis DESKRIPSI MORFOLOGI, IDENTIFIKASI MOLEKULER DAN FILOGENI BERUDU DI PULAU JAWA BERDASARKAN GEN 12S rRNA DAN 16S rRNA adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Luthfia N. Rahman NRP. G352100031


(3)

iii

Phylogenetic Relationship of Tadpoles in Java Island Based on 12S rRNA and 16S rRNA Genes. Under supervision of ACHAMAD FARAJALLAH and MIRZA D. KUSRINI.

Within life cycle of frogs, larval phase is the most difficult phase to identify, as well as an important phase in the development of Anuran. This study aims to identify tadpoles using morphological and molecular characteristics and to assess the phylogenetic of Anuran in Java Island based on tadpoles. Molecular phylogenetic relationship of tadpoles was estimated using 1362 bp of sequences from the 12S and 16S rRNA genes. Morphological characteristics showed that tadpole samples (N=94) were differentiated to 17 species in 6 families. Based on molecular characteristics there are high similiarty between O. hosii and L. hasseltii, and between F. limnocharis and F. iskandari. Anuran as monophyletic group was well-supported except for Rhacophorid based on 12S rRNA gene. Based on 12S and 16S rRNA genes P. aspera was more closely related to of B. japonicus, while F. limnocharis was more closely related to F. iskandari based on 12S, 16S and 12S-16S rRNA genes.


(4)

iv

Berudu di Pulau Jawa Berdasarkan Gen 12S rRNA dan 16S rRNA. Dibimbing oleh: ACHAMAD FARAJALLAH, MIRZA D. KUSRINI

Identifikasi spesies pada sebagian besar berudu sulit dilakukan karena karakter morfologi yang mudah dikenali sangat beragam. Selain itu, berudu dan Anura dewasa yang ditemukan pada lokasi yang sama tidak mudah untuk saling dihubungkan terutama pada spesies-spesies yang melakukan aktivitas breeding dan non-breeding tidak di lokasi yang sama atau berdekatan. Identifikasi spesies berudu paling sulit dilakukan pada berudu yang berada pada tahap 23 – 25 dalam proses metamorfosisnya karena merupakan tahap awal diferensiasi oral disc.

Hasil identifikasi spesies berudu dapat menjadi data dasar dalam manajemen habitat demi kelestarian jenis Anura. Oleh karena itu diperlukan klustering data molekular yang menjadi alternatif pelengkap untuk memperkuat identifikasi spesies. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi spesies berudu di Pulau Jawa berdasarkan karakter morfologi dan molekuler, dan mengetahui posisi filogeni berudu berdasarkan gen 12S dan 16S rRNA.

Sampel berudu yang dianalisis berjumlah 94 individu. Identifikasi morfologi dilakukan berdasarkan kunci identifikasi Iskandar (1998). Deskripsi morfologi dan morfometrika berudu dilakukan berdasarkan Altig (2007), dan tahap perkembangan berudu ditentukan berdasarkan Gosner (1960). Genom diekstraksi dari jaringan menggunakan metode fenol-kloroform (Farajallah 2002). Ruas gen target (12S dan 16S rRNA) diamplifikasi menggunakan pasangan primer AF05 (5’-ACTGGGATTAGATACCCCACTAT) dan AF08 (5’ -ATGTTTTTGGTAAACAGGCG) dengan suhu annealing 550C. Jarak genetik antar sampel dihitung berdasarkan jumlah perbedaan nukleotida dan model subsitusi Kimura 2 Paramater (K2P) menggunakan program MEGA v.4. Rekonstruksi filogeni dilakukan dengan metode Maximum Parsimony dengan bootstrap 1000 kali berdasarkan gen 12S rRNA, gen 16S rRNA dan gabungan gen 12S dan 16S rRNA (disimbolkan dengan 12S-16S rRNA).

Identifikasi morfologi menunjukkan bahwa berudu terdiferensiasi dalam 17 spesies dari 6 famili. Berdasarkan nilai terendah dari jarak genetik, hasil identifikasi morfologi yang kongruen dengan hasil identifikasi molekuler antara lain P. leucomystax, P. aspera, L. microdiscus, dan R. margaritifer. Spesies yang hasil identifikasi morfologi tidak kongruen dengan hasil identifikasi molekuler adalah F. limnocharis, sedangkan spesies yang belum dapat dipastikan adalah O. hosii.

Percabangan monofiletik pada Anura didukung dengan baik pada penelitian ini kecuali kelompok Rhacophorid berdasarkan gen 12S rRNA. Spesies P. aspera berkerabat lebih dekat dengan Bufo berdasarkan gen 12S rRNA dan gen 16S rRNA, sedangkan berdasarkan gen 12S-16S rRNA spesies ini berkerabat lebih dekat dengan B. japonicus. Spesies F. limnocharis berkerabat lebih dekat dengan F. iskandari berdasarkan gen 12S rRNA, 16S rRNA dan 12S-16S rRNA. Kata kunci : Identifikasi, Berudu, 12S dan 16S rRNA, Filogeni, Pulau Jawa


(5)

v

@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

vi

BERDASARKAN GEN 12S rRNA DAN 16S rRNA

LUTHFIA NURAINI RAHMAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(7)

vii


(8)

viii Nama : Luthfia Nuraini Rahman NIM : G352100031

Mayor : Biosains Hewan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Achamad Farajallah, M.Si Ketua

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi Biosains Hewan

Dr. Bambang Suryobroto

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(9)

ix

sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biosains Hewan (BSH) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Achamad Farajallah, M.Si dan Dr. Mirza D. Kusrini, M.Si selaku komisi pembimbing dan Dr. Yeni A. Mulyani, M.Sc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan karya ini

2. Kelompok Studi Herpetologi (KSH) Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta atas bantuan spesimen berudu yang diberikan

3. The Mohamed bin Zayed Conservation Fund yang telah memberikan dana peneltian kepada penulis melalui dana penelitian Dr. Mirza D. Kusrini.

4. Annawaty dan Kamaliah yang telah membantu dalam proses pengumpulan data di laboratorium

5. Rekan-rekan BSH 2010 yang telah memberikan dukungan dan motivasi selama perkuliahan berlangsung

6. Kedua orang tua atas doa dan dukungannya yang tidak pernah berhenti kepada penulis

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2012 Luthfia N. Rahman


(10)

x

puteri kedua dari pasangan Asep Kusrahman, S.Pd, M.Pd.Si dan Mursilah, S.Pd, M.Pd Penulis memperoleh gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut) dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2010, dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Magister Sains di Program Studi Biosains Hewan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis aktif di Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH)-Phyton HIMAKOVA IPB sejak tahun 2006 dan terdaftar sebagai anggota Perhimpunan Herpetologi Indonesia (PHI) sejak tahun 2010.


(11)

xi

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. Anura ... 3

B. Morfologi Berudu Anura ... 4

C. Tahap Perkembangan Berudu ... 5

D. Karakter dalam Deskripsi Morfologi Berudu ... 8

E. Kladistik ... 11

F. Metode Analisis Filogeni ... 12

G. Filogenetik Anura ... 13

III. METODE PENELITIAN ... 15

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 15

B. Sampel Berudu ... 15

C. Deskripsi Morfologi ... 16

D. Ekstraksi dan Isolasi DNA ... 16

E. Amplifikasi (Perbanyakan) Ruas DNA... 17

F. Visualisasi Perbanyakan Ruas DNA ... 18

G. Perunutan (Sequencing) DNA Produk PCR ... 18

H. Analisis Data ... 18

IV. HASIL ... 20

A. Identifikasi Morfologi ... 20

B. Amplifikasi dan Visualisasi DNA ... 22

C. Kongruensi Identifikasi Berdasarkan Morfologi dan Genetik ... 22

D. Rekonstruksi Filogeni ... 24


(12)

xii

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

A. Kesimpulan ... 32

B. Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33


(13)

xiii

No. Halaman

1. Daftar nama spesies, asal lokasi sampel dan tahun koleksi sampel berudu ... 15 2. Daftar spesies, wilayah sebaran dan nomor akses GenBank yang digunakan

dalam analisis keragaman nukleotida dan rekonstruksi filogeni ... 19 3. Hasil identifikasi morfologi sampel berudu ... 20 4. Jumlah perbedaan nukleotida dan jarak genetik berdasarkan gen 12S rRNA dan

16S rRNA antar sampel berudu ... 23 5. Nilai CI (Consistency Index), RI (Retention index), RC (Rescaled consistency


(14)

xiv

No. Halaman

1. Morfologi berudu Anura secara umum ... 4

2. Tahapan perkembangan berudu ... 7

3. Berudu tampak dorsal dan lateral ... 8

4. Posisi mata berudu ... 9

5. Posisi vent tube pada berudu ... 9

6. Contoh oral disc berudu dengan formula geligi I+1-1/III ... 10

7. Pohon filogeni secara umum ... 12

8. Terminologi dan morfometrika berudu ... 16

9. Visualisasi amplikon pada PAGE 6% ... 22

10. Hasil rekonstruksi filogeni berdasarkan gen 12S dan 16S rRNA. ... 26


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anura merupakan salah satu ordo Amfibi yang dicirikan dengan tubuh tampak seperti berjongkok dengan empat kaki untuk melompat, leher tidak jelas, tidak berekor dan memiliki permukaan kulit bervariasi dari halus sampai kasar dengan benjolan-benjolan. Seperti amfibi lainnya, Anura juga mengalami tahapan perkembangan tidak langsung, yaitu dari embrio menjadi larva kemudian bermetamorfosis hingga menjadi katak muda (Verma & Pande 2002). Identifikasi spesies pada sebagian besar larva Anura (yang selanjutnya disebut berudu) sulit dilakukan. Kesulitan identifikasi berudu menurut Iskandar (1998) berkenaan dengan karakter morfologi yang mudah dikenali, seperti ukuran tubuh, pola warna dan formula geligi, sangat beragam. Beberapa berudu diketahui merespon keberadaan predator dengan mengembangkan sirip ekor menjadi lebih lebar, terkadang otot ekor menjadi lebih panjang dan badan menjadi lebih kecil. Berudu dengan keberadaan predator di habitatnya juga memiliki sirip ekor yang berwarna lebih transparan walaupun respon ini tidak ditemukan pada kebanyakan berudu (Van Buskirk dan McCollum 1999). Berudu dan Anura dewasa yang ditemukan pada lokasi yang sama tidak mudah untuk dihubungkan terutama pada spesies-spesies yang melakukan aktivitas breeding dan non-breeding tidak di lokasi yang sama atau berdekatan (Starrett 1960).

Selain pada berudu, kesulitan identifikasi juga terjadi pada beberapa spesies Anura dewasa. Identifikasi spesies Anura dewasa berdasarkan karakter morfologi tidak berhasil dilakukan pada Fejervarya limnocharis (Dubois 1984, 1987; Inger and Voris (2001). Fejervarya limnocharis merupakan spesies dengan penyebaran yang sangat luas. Morfologi antar populasi spesies tersebut sulit dibedakan karena variasi morfologinya kurang dikenali dan tidak adanya diagnosa spesifik antara spesies pada populasi lokal dan spesies pada populasi lainnya sehingga seluruh spesies ini dinamai dengan nama yang sama, yaitu F. limnocharis.

Perkembangan berudu dalam proses metamorfosisnya terjadi dalam 2 fase (Gosner 1960). Fase pertama disebut fase embrio (tahap 1-25), dimulai dengan


(16)

pembelahan sel telur hingga embrio menjadi berudu yang hidup bebas. Fase kedua disebut fase larva (tahap 25-46), dimulai dari berudu yang hidup bebas hingga menjadi katak muda. Akhir fase 1 (tahap 23-25) merupakan tahap yang paling sulit dalam mengidentifikasi spesies. Pada tahap ini, oral disc dan barisan geligi berada pada tahap awal diferensiasi. Barisan geligi terus berkembang secara bertahap dan biasanya terbentuk sempurna pada awal fase kedua (tahap 25-26), namun proporsi relatif pada oral disc akan terus berubah secara alometrik selama metamorfosis. Perubahan proporsi pada oral disc tersebut berhubungan dengan ekplorasi potensi pakan yang merupakan adaptasi awal berudu dengan habitatnya. Klustering data molekular merupakan salah satu alternatif pelengkap yang dapat mempermudah dan memperkuat identifikasi spesies. Penelitian mengenai identifikasi berudu menggunakan data molekuler dapat digunakan untuk mengetahui keanekaragaman hayati yang tersembunyi (hidden biodiversity). Identifikasi spesies berudu terutama dari Anura dewasa yang melakukan aktivitas breeding dan non-breeding di lokasi yang berbeda dan berjauhan dapat menjadi data dasar dalam manajemen habitat demi kelestarian jenis Anura.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi berudu di Pulau Jawa berdasarkan karakter morfologi dan molekuler

2. Mengetahui posisi filogeni berudu di Pulau Jawa berdasarkan gen 12S dan 16S rRNA


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anura

Anura merupakan salah satu ordo Amfibi selain Caudata (salamander) dan Gymnophiona (sesilia). Famili-famili dari Ordo Anura yang terdapat di Indonesia adalah Bombinatoridae (Discoglossidae), Megophryidae (Pelobatidae), Bufonidae, Lymnodynastidae, Myobatrachidae, Mycrohylidae, Pelodryadidae (sering dianggap sebagai anak famili dari Hylidae), Ranidae, Rhacophoridae dan Pipidae (Iskandar 1998).

Katak mudah dikenal dari bentuk tubuhnya yang tampak seperti berjongkok dengan empat kaki untuk melompat (kaki depan memiliki empat jari dan kaki belakang memiliki lima jari), leher tidak jelas dan tidak berekor. Matanya berukuran besar dengan pupil mata horizontal atau vertikal, ada yang berbentuk berlian atau segiempat yang khas untuk spesies-spesies tertentu. Kulit tubuhnya bervariasi dari halus pada beberapa spesies katak, sampai kasar dan tertutup oleh tonjolan-tonjolan pada spesies katak lainnya. Ukuran katak di Indonesia bervariasi, dari yang terkecil hanya 10 mm dengan berat 1-2 gram, sampai dengan spesies yang berukuran 280 mm dan berat lebih dari 1500 gram (Iskandar 1998).

Beberapa spesies Anura memiliki berudu dengan karakter morfologi yang berbeda. Spesies Kalophrynus dan Kaloula memiliki berudu yang tidak memiliki oral disc karena tidak makan sama sekali. Semua energi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan metamorfosis diperoleh dari kuning telur. Berudu Amolops, Meristogenys dan Huia disebut sebagai berudu Gastromyzophorus, yaitu berudu yang hidup di air deras. Berudu ini memiliki “mangkuk” penyedot pada ventral tubuhnya sebagai alat untuk bertahan dari arus yang deras (Inger 1996).

Semua spesies katak mempunyai berudu yang hidup bebas sehingga dapat diidentifikasi melalui berudu, kecuali spesies Oreophryne dan Philautus. Keduanya mempunyai telur berukuran besar di mana seluruh fase metamorfosis berlangsung di dalam telur, sehingga pada akhir metamorfosis telur akan menetaskan katak muda (Inger 1996).


(18)

B. Morfologi Berudu Anura

Berudu Anura memiliki tubuh berukuran pendek yaitu kira-kira 25-35% dari panjang total. Bentuk ekor memipih secara lateral dan terdiri dari sumbu utama caudal muscular dengan sirip ventral dan dorsal. Sirip ventral memanjang dari posterior hingga ujung ekor, sedangkan sirip dorsal memanjang dari tengah atau ujung badan hingga ujung ekor (Gambar 1).

Gambar 1. Morfologi berudu Anura secara umum (Gosner & Rosman 1960)

Tubuh berudu dicirikan dengan bentuk sedikit menggembung, tanpa kelopak mata, nares lebar dan mulut pada ujung tubuh. Posisi mata, nares dan mulut bervariasi antar spesies (Duellman & Trueb 1994). Rongga mulut berudu terdiri dari geligi atas, geligi bawah, papila yang berada pada pinggir mulut dan keratinous maxilla (Cogger & Zweifel 2003). Berudu memiliki kulit yang tipis, berlapis-lapis, epidermis tanpa keratin, dan pada area tubuh yang berbeda terdapat korium yang tebal dengan jaringan ikat (Hofrichter 1999).

Berudu memiliki insang luar pada awal perkembangannya. Insang luar tersebut dilapisi oleh lipatan operkular yang tumbuh pada posterior dan terbuka ke sebelah luar melalui spirakel. Letak dan jumlah spirakel bervariasi antar spesies (Duellman & Trueb 1994).

Orton (1953) dalam Duellman & Trueb (1994) menyatakan bahwa terdapat empat tipe utama berudu yaitu Tipe I – IV yang tergantung pada struktur operkular dan bukaannya dari tubuh dan bentuk mulut:

a. Berudu Tipe I; terdiri atas famili Pipidae dan Rhinophrynidae. Berudu tipe ini memiliki sepasang spirakel; rongga mulut tanpa keratin dan barisan geligi; mulut memiliki sungut sensorik yang sederhana.


(19)

b. Berudu Tipe II; yaitu dari famili Microhylidae. Berudu tipe ini memiliki spirakel tunggal pada posterior median; rongga mulut tanpa keratin dan barisan; mulut tanpa sungut sensorik

c. Berudu Tipe III; terdiri atas famili Ascaphidae dan Discoglossidae. Berudu tipe ini memiliki spirakel tunggal pada midventral tubuh; rongga mulut dengan keratin dan barisan geligi; mulut tanpa sungut sensorik

d. Berudu Tipe IV; merupakan tipe berudu Anura pada umumnya, selain berudu Tipe I – III. Berudu tipe ini memiliki spirakel sinistral (tunggal pada lateral kiri tubuh); rongga mulut dengan keratin dan barisan geligi; mulut tanpa sungut sensorik

C. Tahap Perkembangan Berudu

Gosner (1960) mengelompokkan dan mendeskripsikan perkembangan berudu dalam 2 fase, yaitu fase embrio dan fase larva (Gambar 2). Setiap perkembangan didasarkan pada perubahan morfologi dan fungsi tubuh berudu. Masing-masing fase terdiri dari beberapa tahap, sebagai berikut:

1. Fase Embrio (Tahap 1-25)

Fase ini terdiri dari 25 tahap embrio atau tahap pre-feeding sebelum berudu keluar dari clutch telur. Tahap awal perkembangan berudu yaitu fertilisasi (tahap 1), pembelahan zigot (cleavage) menjadi dua, empat, delapan, hingga zigot menjadi banyak sel (tahap 2-9). Tahap selanjutnya secara berurutan adalah gastrulasi (tahap 10-12), pembentukan dorsal (tahap 13), pembentukan sistem saraf (tahap 14-16), pembentukan ujung ekor (tahap 17), pembentukan otot dan insang (tahap 18), pembentukan jantung (tahap 19). Pada tahap 20 mulai terjadi sirkulasi pada insang. Perkembangan dilanjutkan dengan terbentuknya kornea transparan dan mulut terbuka (tahap 21). Pada tahap 22 sirip ekor menjadi transparan dan mulai terjadi sirkulasi pada sirip. Pada tahap 23 insang luar mulai tertutup oleh lipatan operkular, bibir dan geligi mulai terdiferensiasi. Pada tahap 24 operkular menutup insang pada sisi kanan tubuh berudu. Pada tahap 25 operkular menutup insang pada sisi kiri tubuh, terbentuk spirakel dan berudu menetas (keluar dari clutch telur).


(20)

2. Fase Larva (Tahap 25-46)

Fase ini terdiri dari 21 tahap larva atau tahap berudu hidup bebas setelah keluar dari clutch telur. Fase larva dimulai pada tahap 25. Tahap selanjutnya adalah proses pembentukan kaki belakang (hindlimb bud) (tahap 26-30). Tahap ini kemudian diteruskan dengan proses pembentukan jari kaki (toe development) (tahap 31-37). Setelah kelima jari kaki terpisah, tuberkula inter-metatarsal terbentuk (tahap 38). Tuberkula sub-artikular berkembang pada tahap 39. Tuberkula sub-artikular terbentuk sempurna pada tahap 40. Pada tahap 41 kulit yang menutupi kaki depan katak menipis dan transparan; bagian dalam rongga mulut berudu mulai rusak. Pada tahap 42 kaki depan katak keluar; sudut mulut sejajar nostril; barisan geligi hilang; bentuk mulut berudu menghilang. Tahap selanjutnya adalah perkembangan mulut katak (mouth development) dan proses menghilangnya ekor (tail resorption) (tahap 43-45). Tahap 46 adalah tahap akhir metamorfosis ditandai dengan ekor berudu telah hilang sama sekali.


(21)

(22)

D. Karakter dalam Deskripsi Morfologi Berudu

Karakter yang digunakan dalam proses deskripsi morfologi berudu adalah ciri-ciri pada tubuh dan ekor dan bagian mulut berudu. Altig (2007) menjelaskan terminologi morfologi yang digunakan dalam proses deskripsi, yaitu:

1. Tubuh a. Tubuh

Berudu terdiri dari tubuh dan ekor, di mana bentuk tubuh berkorelasi dengan habitat (Gambar 3). Tubuh berudu pada umumnya berbentuk compressed (lebih tinggi daripada lebar), dan dapat berbentuk depressed (lebih lebar daripada tinggi) yang biasanya dimiliki oleh jenis-jenis pemakan lumut dan hidup di aliran deras.

b. Spirakel

Spirakel merupakan lubang yang berfungsi mengeluarkan air dari ruang buchoparyngeal setelah dipompa masuk ke mulut melalui insang (Gambar 3). Secara umum terdapat 4 konfigurasi spirakel pada berudu, yaitu di bagian tengah pada dorsal, pada bagian tengah tubuh dekat vent tube, sinistral (satu pada bagian kiri tubuh, sangat umum), dan dua pada sisi kanan-kiri tubuh (lateral).

c. Lubang Narial

Lubang narial dimiliki oleh berudu secara umum kecuali pada jenis-jenis Microhylidae (Gambar 3). Posisi lubang narial dapat lebih dekat dengan mata daripada mulut, lebih dekat dengan mulut daripada mata, atau berada di tengah-tengah antara mata dan mulut.


(23)

d. Mata

Posisi dan ukuran diameter mata bervariasi antar taksa. Mata berudu dapat berada pada dorsal, berada seluruhnya pada siluet dorsal, atau lateral, termasuk pada siluet dorsal, mata menghadap ke samping (lateral) (Gambar 4A dan 4B).

Gambar 4 Posisi mata berudu. A. Dorsal, B. Lateral

e. Vent Tube

Secara umum terdapat dua konfigurasi vent tube, yaitu medial vent (Gambar 5A) yang terletak pada tepi sirip ventral, dan dextral vent (Gambar 5B) yang terletak pada berbagai tempat pada sebelah kanan sirip ventral.

Gambar 5 Posisi Vent tube pada berudu. A. Medial, B. Dextral

f. Ekor

Ekor berudu terdiri dari otot tengah, otot myotomic dan notochord, namun tidak memiliki tulang. Sirip dorsal dan ventral berada di sepanjang otot ekor. Sirip dorsal dapat memanjang dari bagian tubuh dekat dengan mata, memanjang dari bagian dorsal ekor dan memanjang dari bagian posterior tubuh. Lebar sirip dorsal dan ventral bervariasi dari sangat lebar hingga sangat sempit. Lebar sirip ini berhubungan dengan habitat berudu tersebut. Sirip yang lebar dimiliki oleh berudu yang hidup pada air tenang


(24)

(genangan, kolam), sedangkan berudu yang hidup pada aliran sedang-deras memiliki sirip yang sempit.

2. Bagian Oral Disc

Pada sebagian besar taksa, oral disc berudu terdiri dari labial atas (anterior) dan bawah (posterior) yang masing-masing memiliki tonjolan gigi melintang dan papilla marjinal dan papilla sub-marjinal pada permukaannya (Gambar 6). Papila marjinal pada tepi oral disc memiliki tiga tipe, yaitu lengkap di seluruh tepi oral disc, dengan gap yang lebar pada dorsal (tipe paling umum), dan dengan gap yang lebar pada tepi dorsal dan ventral. Papilla bervariasi antar taksa dalam panjang, jumlah dan jumlah baris papilla marjinal. Tepi oral disc dapat berlekuk (emarginate) (Gambar 6) atau tidak berlekuk (not emarginate).

Gambar 6 Contoh oral disc berudu dengan formula geligi I+1-1/III. Keterangan: A-1 dan A-2 – baris geligi pertama dan kedua pada bibir atas (anterior), E – lekuk lateral pada oral disc, G – gap dorsal pada papilla marjinal, LJS - Lower Jaw Sheaths; bilah rahang bawah, MP – papilla merjinal, P-1-3 – baris geligi pertama sampai ketiga pada bibir bawah (posterior), SM – papilla submarjinal, TR – Tonjolan gigi pada baris geligi P2, dan UJS - Upper Jaw Sheath; bilah rahang atas.


(25)

Formula geligi merupakan jumlah baris geligi yang berupa garis-garis hitam pada bibir atas dan bawah berudu. Formula geligi dinyatakan dalam simbol angka romawi, angka arab, tanda (+), tanda (-) dan tanda (/). Angka romawi menunjukkan jumlah baris geligi yang utuh, sedangkan angka arab menunjukkan jumlah baris geligi yang mempunyai celah di tengah. Tanda (+) memisahkan jumlah baris geligi yang utuh dengan jumlah baris geligi yang memiliki celah di tengah. Tanda (-) menujukkan bahwa jumlah baris memiliki celah tunggal. Tanda (/) memisahkan jumlah baris geligi pada bibir atas dan bibir bawah.

E. Kladistik

Kladistik atau sistematika filogenetik adalah metode pengelompokan organisme berdasarkan karakter turunan yang dimiliki bersama (share derived characters). Taksa yang memiliki lebih banyak karakter turunan yang sama berhubungan lebih dekat daripada taksa yang tidak banyak memiliki karakter turunan. Hubungan antar taksa digambarkan secara hirarkial dalam percabangan yang disebut Kladogram (Lipscomb 1998).

Analisis filogeni mentransformasi karakter yang homolog dari sekelompok organisme ke dalam pohon filogeni. Karakter homolog adalah karakter yang berasal dari karakter nenek moyang yang sama. Sebagai contoh, sayap pada burung dan kelelawar merupakan karakter yang homolog dengan kaki depan anjing dan kuda serta tangan pada manusia dan primata. Karakter homolog tersebut dapat berupa shared primitive characters (Plesiomorf) dan shared derived characters (Apomorf) (Quicke 1993).

Pohon filogeni terdiri dari akar yang merupakan titik awal atau dasar dari pohon. Poin yang bercabang disebut nodus internal, sedangkan segmen antara nodus disebut cabang internal (atau lebih jarang disebut internodus). Taksa yang ditempatkan di ujung-ujung cabang disebut taksa terminal dan cabang yang mengarah pada taksa tersebut disebut cabang terminal (Lipscomb 1998) (Gambar 7).


(26)

Gambar 7 Pohon filogeni secara umum (Lipscomb 1998)

F. Metode Analisis Filogeni

Metode untuk merekonstruksi pohon filogeni dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu metode jarak (distance) dan metode kriteria (discrete) (Page & Holmes 1998).

1. Metode Jarak (Distance)

Metode jarak menghitung similaritas jarak antara karakter-karakter yang ada pada sepasang atau lebih taksa terminal (Quicke 1993). Metode jarak yang paling banyak digunakan adalah Neighbour Joining (NJ) dan UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic means) (Page & Holmes 1998). Neighbour Joining merupakan metode yang menghitung jarak clustering karakter-karakter pada dua atau lebih taksa terminal (Page & Holmes 1998). UPGMA adalah metode berdasarkan rata-rata jarak cluster dari taksa terminal satu dengan taksa terminal lainnya. Perhitungan jarak rata-rata antara dua cluster dilakukan dengan menambah jarak secara bersamaan dari semua kemungkinan kombinasi taksa terminal dan membagi dengan jumlah kombinasi tersebut (Quicke 1993). 2. Metode Kriteria (Discrete)

Metode kriteria yang paling sering digunakan adalah Maximum Parsimony (MP) (Page & Holmes 1998). Maximum Parsimony menilai karakter yang parsimoni untuk menentukan posisi taksa terminal dalam pohon dan mencari semua kemungkinan topologi (bentuk) pohon untuk mendapatkan pohon yang memiliki langkah paling pendek (Kitching et al. 1998).


(27)

G. Filogenetik Anura

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai hubungan filogenetik Anura baik pada spesies Indonesia maupun spesies dunia. Penelitian-penelitian tersebut antara lain:

1. Emerson et al. (2000), meneliti hubungan filogeni Katak Bertaring (Limnonectes) di Asia Tenggara berdasarkan gen 12S dan 16S rRNA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Limnonectes merupakan kelompok monofiletik yang terdiri dari 4 kelompok besar, yaitu kelompok L. kuhlii dan kerabatnya, kelompok L. leporinus yang terdapat di Kalimantan, kelompok yang tersebar di Filipina dan Sulawesi dan kelompok L. blythii dan kerabatnya

2. Liu et al. (2000), meneliti hubungan filogenetik Bufonidae Asia Timur berdasarkan DNA mitokondria. Hasilnya menunjukkan bahwa Bufonidae Asia Timur mengelompok menjadi 2 klad utama, klad pertama terdiri dari B. andrewsi, B. bankorensis, B. tibetanus, B. gargarizans, B.tuberculatus, klad sisternya B. cryptotympanicus, dan 2 spesies Torrentophryne, dan klad kedua terdiri dari B. galeatus, B. himalayanus.

3. Hillis dan Wilcox (2005), meneliti hubungan filogeni katak genus Rana di Dunia Baru berdasarkan gen 12S dan 16S rRNA. Hasilnya menunjukkan bahwa spesies-spesies Rana Amerika tidak monofiletik; spesies Amerana di daerah sebelah barat Amerika Utara lebih dekat dengan kelompok R. temporaria dari Eurasia. Spesies Amerika lainnya membentuk kelompok Novirana.

4. Yu et al. (2009), memeriksa ulang hubungan filogenetik Rhacophoridae dari penelitian Li et al. (2008) berdasarkan DNA mitokondria dan DNA inti. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa genus Feihyla dan Chiromantis merupakan sister taksa dari klad yang dibentuk oleh kelompok Feihyla, Polypedates, dan Rhacophorus. Spesies Aquixalus odontotarsus ditempatkan ke dalam Kurixalus, spesies Aquixalus lainnya dan Philautus jinxiuensis dimasukkan ke dalam genus Gracixalus.

5. Matsui et al. (2010) merekonstruksi hubungan filogenetik Leptobrachium berdasarkan DNA mitokondria. Hasilnya menunjukkan bahwa


(28)

Leptobrachium merupakan kelompok monofiletik dengan dua klad utama. Klad pertama terdiri dari 3 sub-klad yang beranggotakan spesies dari 3 daerah terpisah yaitu Borneo, Semenanjung Malaya dan Jawa, dan Thailand. Sub-klad Borneo terdiri dari satu spesies dari Filipina dan Sumatra. Klad kedua terdiri dari dua sub-klad yaitu dari Indocina dan lainnya dari Cina bagian selatan (Vibrissaphora).

6. McLeod (2010) menyusun sistematika spesies kriptik: Limnonectes kuhlii complex berdasarkan gen 12S rRNA, tRNA-valin, dan 16S rRNA. Hasil menunjukkan bahwa apa yang selama ini diakui secara historis sebagai satu spesies ternyata merupakan kompleks lebih dari 22 keturunan evolusi yang berbeda, 16 di antaranya saat ini dimasukkan ke dalam L. kuhlii. Hasil penelitian ini juga mendeteksi adanya kasus keturunan simpatrik, dan pada seluruh kasus simpatrik tersebut, masing-masing spesies tidak berhubungan dekat.

7. Hamidy et al (2011), meneliti ketidakselarasan hubungan antara morfologi dan genetik pada dua spesies Leptopbrachium di Borneo. Hasilnya memperlihatkan bahwa spesies L. hasseltii dan L. chapaense keturunan Borneo, Filipina dan Sumatera membentuk klad monofiletik bersama spesies L. lumadorum dari Mindanao sebagai klad basal. Sementara dua spesies Filipina lainnya dari Pelawan dan Mindoro membentuk klad dan lebih dekat dengan keturunan Borneo. Hubungan filogenetik tersebut tidak sama dengan variasi morfologi yang ada. Spesies L. montanum dan salah satu keturunan dari L. abbotti secara genetik sangat dekat namun memiliki perbedaan yang sangat jelas pada pola warna ventral.


(29)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari – April 2012 di Laboratorium Molekuler Departemen Biologi FMIPA IPB.

B. Sampel Berudu

Sampel berudu merupakan koleksi yang dikumpulkan dari beberapa daerah di Pulau Jawa. Jumlah spesies yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 17 spesies dari 6 famili. Nama spesies, asal lokasi dan tahun koleksi sampel disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Daftar nama spesies, asal lokasi sampel dan tahun koleksi sampel berudu

No Nama Spesies Asal Lokasi Tahun Koleksi N

Famili Bufonidae

1 Phrynoidis aspera Yogyakarta* 2009 3

2 Duttaphrynus melanostictus Jawa Barat 2012 14

3 Leptophryne cruentata Jawa Barat 2011 5

Famili Dicroglossidae

4 Fejervarya limnocharis Yogyakarta* 2009 6

5 Limnonectes microdiscus Yogyakarta* 2002 2

6 Limnonectes kuhlii Jawa Barat 2002 3

Famili Megophryidae

7 Leptobrachium hasseltii Yogyakarta* 2007 4

8 Megophrys montana Yogyakarta* 2002 5

Famili Microhylidae

9 Kaloula baleata Yogyakarta* 2007 2

10 Microhyla achatina Jawa Barat 2002 11

Famili Ranidae

11 Huia masonii Yogyakarta* 2009 4

12 Odorana hosii Yogyakarta* 2009 3

13 Hylarana chalconota Yogyakarta* 2011 2

Famili Rhacophoridae

14 Polypedates leucomystax Jawa Barat 2012 10

15 Philautus vittiger Jawa Barat 2008 7

16 Rhacophorus margaritifer Jawa Barat 2009 10

17 Rhacophorus reinwardtii Jawa Barat 2002 3

Total 94


(30)

C. Deskripsi Morfologi

Pengamatan morfologi berupa pola warna tubuh dan ekor, letak mata, nostril, anal, mulut dan geligi dilakukan dengan mikroskop stereo. Pengukuran morfometri seluruh individu berudu dilakukan untuk mendapatkan variasi ukuran tubuh berudu. Tahap perkembangan berudu ditentukan berdasarkan Gosner (1960). Terminologi dan pengukuran morfometri berudu dilakukan berdasarkan Altig (2007), yaitu: BL - body length, IND - internarial distance, IOD - interorbital distance, LB - limb bud, MTH - maximum tail height, OD - oral disc, SP - spiracle, TAL - tail length, TL - total length, TMA – tail muscle axis, TMH - tail muscle height, TMW - tail muscle width, and VT - vent tube (Gambar 8).

Gambar 8. Terminologi dan morfometrika berudu; (A) dorsal dan (B) lateral

D. Ekstraksi dan Isolasi DNA

Isolasi DNA total dilakukan mengikuti metode Farajallah (2002). Potongan otot berudu sepanjang ± 2 mm dalam alkohol 70% dicuci dengan 500 µl buffer TE sebanyak 2 kali. Sampel yang telah dicuci tersebut kemudian dihancurkan menggunakan gunting dalam buffer 1×STE 300 µl. Penghancuran protein dilakukan dengan menambahkan enzim Proteinase-K sebanyak 20 µl dan 10% SDS sebanyak 50 µl. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 550C selama 1 jam sambil dikocok perlahan.

Material DNA dipisahkan dari material organik lainnya dengan metode ekstraksi fenol, yaitu dengan menambahkan larutan NaCl 5M sebanyak 50 µl, fenol sebanyak 400 µl dan kloroform-isoamil alkohol (CIAA; 24:1) sebanyak 400


(31)

µl. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang sambil dikocok pelan selama 1 jam. Bahan organik yang masuk ke fase fenol dipisahkan dari fase air dengan sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Fase air yang terbentuk di lapisan atas kemudian dipindahkan ke dalam tabung baru. DNA dimurnikan dengan teknik pengendapan alkohol yaitu dengan menambahkan alkohol absolut sebanyak 2× volume fase air yang dipindahkan dan NaCl 5M sebanyak 1/10 × volume fase air yang dipindahkan. Campuran diinkubasi pada suhu 40C selama 24 jam. Molekul-molekul DNA diendapkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Endapan DNA yang diperoleh kemudian dicuci dengan alkohol 70%. Setelah alkohol pencuci dibuang dan dievaporasi dalam ruang vakum selama 30 menit, molekul-molekul DNA disuspensikan dalam buffer TE 80% dan disimpan dalam freezer untuk digunakan lebih lanjut.

E. Amplifikasi (Perbanyakan) Ruas DNA

Ruas DNA diamplifikasi dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan mesin Thermo Cycler TaKaRa MP4. Primer yang digunakan adalah AF05 (5’-ACTGGGATTAGATACCCCACTAT) dan AF08 (5’ -ATGTTTTTGGTAAACAGGCG).

Primer AF05 menempel pada bagian tengah gen 16S rRNA dan AF08 menempel pada bagian akhir gen 12S rRNA. Kedua gen tersebut mengapit ruas DNA sebesar 1474 pb atau setara dengan posisi nukleotida 505 sampai dengan 1978 genom mitokondria Dogania subplana (Farajallah 2002).

Reaksi PCR dilakukan dalam volume 25µl dengan komposisi 2 µl cetakan DNA, Distilated water steril 15.3 µl, primer 10 ρmol/ µl masing-masing 1 µl, dNTP 2.5mM sebanyak 1.5 µl, MgCl2 sebanyak 1.5 µl dan Taq Polymerase 1.25

u/µl sebanyak 0.2 µl beserta bufernya sebanyak 2.5 µl. Amplifikasi DNA dilakukan dalam kondisi suhu pre-denaturasi 940C selama 4 menit, dilanjutkan dengan 30 siklus yang terdiri dari denaturasi 940C selama 1 menit, penempelan 550C selama 1 menit 30 detik, pemanjangan 720C selama 1 menit dan pemanjangan akhir 720C selama 7 menit.


(32)

F. Visualisasi Perbanyakan Ruas DNA

Amplikon diuji menggunakan metode elektroforesis gel poliakrilamid (PAGE) 6% yang dijalankan pada tegangan 200 V selama 35 menit atau sampai pewarna bromthymol blue mencapai bagian bawah gel. Setelah pemisahan elektroforesis, pita-pita DNA divisualisasi dengan pewarnaan perak (silver staining) (Tegelstrom 1986).

G. Perunutan (Sequencing) DNA Produk PCR

Perunutan merupakan tahap akhir untuk memperoleh data runutan nukleotida dari ruas DNA amplikon. Perunutan DNA dilakukan menggunakan jasa pelayanan sekuensing dari PT. Macrogen Inc. Perunutan tersebut dilakukan menggunakan pasangan primer yang digunakan pada saat PCR.

H. Analisis Data

Morfologi berudu masing-masing spesies disajikan dalam bentuk deskripsi. Urutan nukleotida yang diperoleh dari proses perunutan diedit secara manual berdasarkan kromatogram menggunakan program BioEdit Sequence Alignment Editor 6.32. Runutan nukleotida yang telah diedit kemudian disejajarkan bersama beberapa spesies Anura lainnya yang diakses dari GenBank dengan nomor akses terdapat pada Tabel 2. Proses penyejajaran dilakukan dengan program Clustal W kemudian diedit secara manual.

Analisis jumlah perbedaan nukleotida, jarak genetik dengan model Kimura 2 Parameter (K2P) dan rekonstruksi filogeni dilakukan menggunakan program MEGA version 4 (Tamura et al. 2007).

Rekonstruksi filogeni dilakukan dengan metode Maximum Parsimony (MP) berdasarkan gen 12S rRNA, 16S rRNA dan gabungan antara 12S dan 16S rRNA (selanjutnya disimbolkan dengan gen 12S-16S rRNA). Outgroup yang digunakan dalam rekonstruksi filogeni adalah Crocodylus porosus. Analisis bootstrap 1000 kali dilakukan untuk menguji tingkat kepercayaan dari sebuah titik cabang dalam topologi pohon filogeni.


(33)

Tabel 2. Daftar spesies, wilayah sebaran dan nomor akses GenBank yang digunakan dalam analisis keragaman nukleotida dan rekonstruksi filogeni

No Spesies No. Akses Sebaran (IUCN 2012)

Outgroup

Crocodylus porosus DQ273698

Ingroup

1 Fejervarya limnocharis NC005055 Asia Selatan dan Asia Tenggara

termasuk Indonesia

2 Fejervarya cancrivora NC012647 Cina Selatan, Asia Tenggara termasuk

Indonesia

3 Rhacophorus schlegelii NC007178 Jepang

4 Polypedates megacephalus NC006408 Cina dan India

5 Rana plancyi NC009264 Cina bagian timur

6 Rana nigromaculata NC002805 Rusia, Cina, Korea, Jepang

7 Microhyla ornata NC009422 Asia selatan

8 Kaloula pulchra NC006405 Asia Tenggara, Asia Selatan Cina

9 Limnonectes bannaensis NC012837 -

10 Limnonectes fujianensis NC007440 Cina bagian tengah dan selatan

11 Bufo japonicus NC009886 Endemik Jepang

12 Bufo melanostictus NC005794 Asia Selatan, Cina, Asia Tenggara

termasuk Indonesia

13 Hyla japonica NC010232 Jepang, Cina, Korea

14 Hyla chinensis NC006403 Cina bagian tengah

15 Fejervarya iskandari AB526324

16 Limnonectes hasseltii AB646408

17 Phrynoidis aspera Dalam penelitian ini 18 Polypedates leucomystax Dalam penelitian ini 19 Rhacophorus javanus Dalam penelitian ini

20 Odorana hosii Dalam penelitian ini

21 Limnonectes microdiscus Dalam penelitian ini 22 Fejervarya limnocharis Dalam penelitian ini


(34)

IV. HASIL

A. Identifikasi Morfologi

Hasil identifikasi morfologi berudu berdasarkan Iskandar (1998) menunjukkan bahwa sampel berudu yang dikumpulkan terdiri dari 17 spesies dalam 6 famili Anura (Tabel 3). Berdasarkan Orton (1953) dalam Duellman & Trueb (1994), berudu-berudu tersebut termasuk dalam berudu tipe I (Famili Microhylidae) dan tipe IV (Famili Bufonidae, Dicroglossidae, Megophryidae, Rhacophoridae, dan Ranidae)

Tabel 3. Hasil identifikasi morfologi sampel berudu

Famili Spesies Ukuran

Tubuh (mm)

Formula

Geligi Tahap

Bufonidae Dutaphrynus melanostictus 7-8 I+1-1/III 25

Phrynoidis aspera 9-20 II/III 25

Leptophryne cruentata 16-21 I+1-1/III 26

Dicroglossidae Fejervarya limnocharis 19-21 I+1-1/III 30

Limnonectes kuhlii 39-44 I/1-1+II 31

Limnonectes microdiscus 23-27 I+1-1/1-1+II 25

Megophryidae Leptobrachium hasseltii 51-74 I+5-5/4-4+I 30

Megophrys montana 36-43 - 26

Microhylidae Kaloula baleata 30-33 - 40

Microhyla achatina 10-15 II/1-1+III 25

Rhacophoridae Philautus vittiger 21-27 II+4-4/III 28

Polypedates leucomystax 25-33 I+3-3/III 25

Rhacophorus margaritifer 23-26 I+5-5/III 25

Rhacophorus reinwardtii 23-24 I+5-5/III 25

Ranidae Hylarana chalconota 25-30 I+3-3/III 32

Huia masonii 18-19 IV+5-5/1-1+VI 25

Odorana hosii 26-28 I+4-4/1-1+III 25

Perbedaan utama masing-masing spesies berudu terletak pada ukuran tubuh, posisi mulut dan formula geligi. D. melanostictus bertubuh sangat kecil; mulut berada di bagian ventral dengan formula geligi I+1-1/III. P. aspera berukuran sedikit lebih besar daripada D. melanostictus; mulut terletak pada ventral; bibir bawah dengan pelebaran lateral sehingga berbentuk semacam “mangkuk” dengan formula geligi II/III. Ukuran tubuh L. cruentata hampir sama dengan P. aspera dengan warna hitam; mulut terletak pada bagian depan kepala dengan formula geligi II/III atau I+1-1/III. Berudu L. cruentata memiliki 2 baris papilla di bagian bibir bawah, sedangkan D. melanostictus memiliki papilla hanya


(35)

pada ujung-ujung bibir saja. Hal ini yang membedakan jenis berudu L. cruentata dengan berudu D. melanostictus.

Tubuh F. limnocharis berukuran sedang; mulut berada di bagian ventral kepala dengan formula geligi I+1-1/III. Deret gigi terakhir pada spesies ini lebih pendek dari dua deret gigi lainnya. Ukuran tubuh L. kuhlii dua kali lebih besar daripada ukuran tubuh L. microdiscus. Mulut L. kuhlii dan L. microdiscus berada pada ujung kepala dengan formula geligi masing-masing adalah I/1-1+II dan I+1-1/1-1+II.

Ukuran tubuh berudu famili Megophryidae sangat besar. Namun, ukuran tubuh berudu L. hasseltii 1,5 sampai 2 kali lebih besar daripada berudu M. montana. Mulut berudu L. hasseltii kecil, berada di bagian ujung ventral kepala dengan formula geligi I+5-5/4-4+5. Mulut berudu M. montana berada pada ujung kepala dan memiliki ciri khusus yaitu dengan perpanjangan lateral sehingga berbetuk seperti “kumis”. Berudu ini tidak memiliki formula geligi tertentu.

Ukuran tubuh berudu K. baleata sedang. Berudu ini tidak memiliki bentuk mulut seperti berudu pada umumnya, hanya berupa sebuah lubang kecil pada ujung kepalanya. Berudu M. achatina berukuran sangat kecil; mulut menghadap ke bawah; bibir bawah melebar dengan formula geligi II/1-1+III.

Berudu P. vittiger berukuran sedang, mulut berada pada bagian ventral kepala dengan formula geligi II+4-4/III. Berudu P. leucomystax, R. margaritifer dan R. reinwardtii berukuran sedang sampai besar. Seluruh berudu tersebut memiliki mulut yang terletak di bagian ventral kepala, menghadap ke bawah. Formula geligi masing-masing berudu berturut-turut adalah I+3-3/III, I+5-5/III atau II+4-4/III dan I+5-5/III. Berudu R. margaritifer dan R. reinwardtii dibedakan berdasarkan jumlah papilla marjinal di bibir bagian bawah, di mana R. margaritifer memiliki 2 baris papilla dan R. Reinwardtii memiliki 1 baris papilla.

Berudu H. masonii, H. chalconota dan O. hosii berukuran sedang. Ukuran tubuh H. masonii lebih besar dari ukuran tubuh kedua spesies lainnya. Berudu jenis ini memiliki ciri khas yaitu pada bagian ventral terdapat bentuk seperti mangkuk menghadap ke bawah. Mulut ketiga spesies berudu tersebut terletak pada bagian ventral tubuh dan menghadap ke bawah, dengan formula geligi masing-masing adalah IV+5-5/1-1+VI, I+3-3/III dan I+4-4/1-1+III.


(36)

B. Amplifikasi dan Visualisasi DNA

Amplifikasi gen 12S rRNA dan 16S rRNA berhasil dilakukan pada 9 sampel dari 17 sampel yang diamplifikasi. Amplifikasi menggunakan pasangan primer AF05 dan AF08 berukuran panjang sekitar 1500 pb (Gambar 9).

Gambar 9 Visualisasi amplikon gen 12S rRNA dan 16S rRNA pada PAGE 6%. Ket: M = Marker, 3-17 = nomor sampel

Sebanyak 9 sampel menampakkan pita DNA target dan dijadikan cetakan dalam PCR for sequencing. Setelah DNA target dijadikan cetakan dalam PCR for sequencing, maka diperoleh 6 sampel yang terbaca jelas. Keenam sampel tersebut adalah P. leucomystax, P. aspera, O. hosii, F. limnocharis, L. microdiscus, dan R. margaritifer.

C. Kongruensi Identifikasi Berdasarkan Morfologi dan Genetik

Hasil analisis dengan menghitung jumlah perbedaan nukleotida dan jarak genetik menunjukkan bahwa hasil penentuan spesies berdasarkan data genetik dapat berbeda dengan data morfologi. Tabel 4 menunjukkan jumlah perbedaan nukleotida dan jarak genetik antara sekuen DNA spesies pada penelitian ini dengan sekuen referensi dari GenBank.

Berdasarkan nilai terendah dari jumlah perbedaan nukleotida dan jarak genetik, hasil identifikasi yang kongruen antara identifikasi molekuler dan morfologi adalah pada spesies P. leucomystax, P. aspera, L. microdiscus dan R. margaritifer. Hasil identifikasi yang tidak kongruen adalah spesies F. limnocharis, sedangkan spesies O. hosii belum dapat dipastikan karena kualitas data kurang.

1500 pb 3 5 7 8 10 11 12 16 17


(37)

Tabel 4. Jumlah perbedaan nukleotida (bawah diagonal) dan jarak genetik (atas diagonal) berdasarkan gen 12S rRNA dan 16S rRNA antar sampel berudu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

1 B. japonicus11) - 0.12 0.20 0.34 0.34 0.30 0.30 0.38 0.32 0.25 0.30 0.31 0.33 0.29 0.35 0.33 0.14 0.36 0.34 0.50 0.34 0.77 2 B. melanostictus12) 35 - 0.22 0.35 0.40 0.31 0.31 0.40 0.34 0.24 0.31 0.32 0.30 0.32 0.37 0.34 0.16 0.35 0.38 0.50 0.36 0.75

3 H. japonica 13) 57 61 - 0.34 0.32 0.28 0.29 0.31 0.34 0.12 0.26 0.27 0.31 0.30 0.36 0.38 0.22 0.37 0.33 0.41 0.35 0.87

4 F. cancrivora2) 88 91 88 - 0.21 0.23 0.24 0.38 0.31 0.38 0.33 0.30 0.25 0.25 0.21 0.43 0.35 0.42 0.36 0.48 0.20 0.88

5 F. limnocharis1) 88 99 84 60 - 0.24 0.27 0.33 0.31 0.40 0.30 0.30 0.26 0.28 0.18 0.46 0.36 0.44 0.32 0.44 0.18 0.96

6 L. bannaensis9) 82 82 77 65 67 - 0.24 0.28 0.26 0.31 0.27 0.24 0.09 0.24 0.25 0.40 0.33 0.40 0.30 0.35 0.25 0.88

7 R. plancyi5) 80 82 78 68 73 66 - 0.27 0.25 0.32 0.27 0.19 0.24 0.02 0.28 0.40 0.33 0.39 0.27 0.35 0.28 0.84

8 P. megacephalus4) 97 101 82 97 87 76 73 - 0.28 0.33 0.28 0.28 0.27 0.27 0.32 0.44 0.42 0.43 0.27

0.11 0.32 0.83

9 R. schlegelii3) 85 88 89 82 82 72 69 76 - 0.31 0.31 0.25 0.28 0.25 0.30 0.35 0.36 0.34 0.21 0.32 0.29 0.82

10 H. chinensis14) 69 67 36 96 100 82 84 88 83 - 0.33 0.29 0.33 0.32 0.37 0.36 0.24 0.36 0.32 0.40 0.36 0.76

11 M. ornata7)

81 82 71 87 81 74 75 77 83 86 - 0.17 0.27 0.27 0.35 0.38 0.32 0.37 0.31 0.38 0.35 0.83

12 K. pulchra8) 84 85 75 80 80 67 55 77 70 78 49 - 0.27 0.18 0.31 0.40 0.31 0.38 0.28 0.32 0.31 0.83

13 L. fujianensis10) 87 81 82 70 71 29 66 75 77 88 75 73 - 0.24 0.24 0.40 0.35 0.41 0.31 0.36 0.24 0.87

14 R. nigromaculata6) 79 85 79 70 75 68 6 74 69 85 73 53 68 - 0.29 0.39 0.34 0.39 0.26 0.35 0.29 0.81

15 F. iskandari15) 90 94 91 59 52 70 77 85 80 94 90 83 68 79 - 0.41 0.38 0.44 0.31 0.46 0.01 0.89

16 L. hasseltii16) 88 89 96 107 110 100 100 108 92 93 96 100 101 98 103 - 0.35

0.03 0.36 0.52 0.41 0.51

17 P. aspera17) 41 46 62 91 92 86 87 104 92 67 84 83 92 89 96 90 - 0.36 0.37 0.52 0.38 0.81

18 O. hosii20) 93 90 95 105 108 101 99 107 89 92 95 96 103 98 107 9 92 - 0.36 0.50 0.44 0.47

19 R. javanus19)

90 97 87 93 86 81 75 74 61 86 82 77 82 73 83 93 96 94 - 0.31 0.31 0.82

20 P. leucomystax18) 118 118 102 114 106 91 92 34 85 101 97 85 94 92 110 121 121 119 83 - 0.45 0.93

21 F. limnocharis22) 89 93 90 58 51 69 76 84 79 93 90 83 67 78 3 103 96 107 83 109 - 0.89

22 L. microdiscus21) 158 155 167 169 176 168 165 164 163 156 164 163 168 162 170 121 162 115 163 174 170 -

Keterangan: No. akses GenBank mengikuti Tabel 2


(38)

D. Rekonstruksi Filogeni

Urutan basa nukleotida yang analisis berjumlah 1362 nt, terdiri dari 504 nt gen 12S rRNA dan 858 nt gen 16S rRNA. Pada rekonstruksi filogeni berdasarkan gen 12S rRNA, spesies P. leucomystax tidak disertakan dalam analisis karena jumlah nukleotida spesies tersebut dalam penelitian ini sangat pendek (< 20 nt). Tabel 5 menunjukkan nilai konsistensi dan kestabilan pohon filogeni yang direkonstruksi berdasarkan masing-masing gen dan gabungan gen 12S dan 16S rRNA (selanjutnya disimbolkan dengan 12S-16S rRNA). Berdasarkan tabel tersebut, nilai CI dan RI hasil rekonstruksi filogeni berdasarkan gen 16S rRNA tertinggi di antara dua rekonstruksi lainnya. Hal ini menujukkan bahwa pohon filogeni berdasarkan gen 16S rRNA merupakan pohon filogeni yang paling konsisten dan stabil.

Tabel 5. Nilai CI (Consistency Index), RI (Retention index), RC (Rescaled consistency index) ketiga pohon filogeni Anura

Gen CI RI RC

12S rRNA 0.4540 0.5702 0.2589

16S rRNA 0.5169 0.6103 0.3155

12S-16S rRNA 0.4786 0.5667 0.2713

Hasil rekonstruksi filogeni menghasilkan topologi yang yang berbeda pada gen 12S rRNA (Gambar 10(a)). Topologi pohon berdasarkan gen 16S rRNA (Gambar 10(b)) sama dengan topologi pohon berdasarkan gen 12S-16S rRNA (Gambar 11), di mana posisi basal ditempati oleh kelompok Rhacophorid dan posisi terluar ditempati oleh kelompok Bufonid. Posisi basal topologi pohon filogeni gen 12S rRNA ditempati oleh kelompok Dicroglossid dan posisi terluar ditempati oleh kelompok Ranid.

Kesamaan dari ketiga pohon filogeni tersebut adalah Bufonid berkelompok dengan Hylid dalam satu kelompok monofiletik. Kelompok-kelompok monofiletik lainnya antara lain Mycrohylid dan Ranid. Dicroglossid merupakan kelompok monofiletik pada topologi pohon gen 16S rRNA dan gen 12S-16S rRNA sedangkan berdasarkan gen 12S rRNA kelompok tersebut terpisah pada 2 kelompok, yaitu kelompok genus Fejervarya dan kelompok genus Limnonectes. Pada ketiga topologi pohon filogeni, kelompok Rhacophorid terpisah secara


(39)

parafiletik. Genus Polypedates membentuk cabang monofiletik dan berhubungan dekat dengan Rhacophorus.

Pada ketiga rekonstruksi filogeni, spesies L. microdiscus, L. hasseltii dan O. hosii (selanjutnya disebut kelompok Megophryid) membentuk kelompok monofiletik dengan dukungan bootstrap >90%, sedangkan spesies F. limnocharis menempati posisi lebih dekat dengan F. iskandari pada kelompok Dicroglossid dengan dukungan bootstrap 100%. Spesies P. aspera menempati posisi lebih dekat dengan genus Bufo berdasarkan gen 12S rRNA dan gen 16S rRNA, sedangkan berdasarkan gen 12S-16S rRNA spesies ini menempati posisi lebih dekat dengan spesies B. japonicus dengan dukungan bootstrap rendah (<50%).

Posisi basal kelompok Rhacophorid berbeda pada ketiga topologi pohon. Spesies R. schlegelii menempati posisi basal Rhacophorid berdasarkan gen 12S rRNA, spesies anggota genus Polypedates menempati posisi basal berdasarkan gen 16S rRNA, sedangkan berdasarkan gen 12S-16S rRNA posisi basal Rhacophorid ditempati oleh R. javanus.


(40)

(a) (b)

Gambar 10 Hasil rekonstruksi filogeni dengan metode Maximum Parsimony berdasarkan: (a) gen 12S rRNA, (b) gen 16S rRNA.

Bufonid Ranid

Rhacophorid Hylid

Microhylid

Dicroglossid Ranid

Bufonid

Dicroglossid Microhylid

Hylid

Rhacophorid Dicroglossid

Megophryid


(41)

Gambar 11 Hasil rekonstruksi filogeni dengan metode Maximum Parsimony berdasarkan gen 12S dan 16S rRNA.

Bufonid

Hylid

Microhylid Ranid

Dicroglossid

Rhacophorid Megophryid


(42)

V. PEMBAHASAN

A. Kongruensi Identifikasi Morfologi dan Molekuler

Ukuran tubuh sampel berudu O. hosii dan L. microdiscus sekitar 1-2 kali lebih kecil daripada berudu L. hasseltii pada tahap perkembangan yang sama. Perbedaan ukuran tubuh tersebut diduga sebagai akibat dari perbedaan peletakan telur oleh induk betina. Pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk meletakkan telur di genangan air di lantai hutan, katak betina L. hasseltii dapat meletakkan telur pada tempat lain seperti di tepi sungai berarus lambat atau tenang. Fenomena seperti ini juga terlihat pada jenis katak pohon (Kusrini et al. 2009). Berudu yang hidup pada kolam temporer, misal genangan air, akan lebih cepat tumbuh dan bermetamorfosis dibandingkan dengan berudu yang hidup pada kolam permanen, misal sungai. Hal ini dikarenakan kolam temporer memiliki kelebihan dalam hal potensi pakan (Wassersug 1975; Wilbur 1987) dengan lebih sedikit jumlah predator (Brendonck et al. 2002; Petranka & Kennedy 1999). Sifat sementara dari kolam menguntungkan dari aspek tersebut namun mengharuskan berudu untuk bermetamorfosis pada waktu tertentu.

Formula geligi O. hosii berbeda satu baris pada geligi atas dengan L. hasseltii. Iskandar (1998) menyebutkan bahwa pada berudu terdapat variasi formula geligi dalam satu spesies yang sama. Formula geligi berudu sempurna pada awal fase larva, namun proporsi relatif formula geligi dan oral disc terus berubah selama metamorfosis. Pada berudu Scaphiopus dan kelompok Ranid jumlah baris geligi bertambah selama metamorfosis (Gosner 1960).

Genus Philautus merupakan salah satu Anura yang seluruh fase metamorfosisnya terjadi di dalam telur sehingga pada akhir metamorfosis telur menetaskan katak muda (Inger 1996). Metamorfosis pada spesies P. vittiger diketahui memiliki berudu yang hidup bebas di dalam air (Kusrini et al. 2008), sehingga pengelompokkan spesies ini perlu dipelajari lebih lanjut untuk memastikan posisinya dalam taksonomi Anura.

Pada awal perkembangannya, data molekuler hanya digunakan oleh para taksonomis sebagai alat untuk mempelajari kekerabatan antar taksa dan proses evolusi sebuah kelompok organisme. Namun, saat ini data molekuler telah


(43)

berkembang penggunaannya, salah satunya dalam proses penentuan spesies oleh para ekologis untuk mempelajari keanekaragaman hayati suatu wilayah tertentu. Data molekuler dapat dengan cepat dan akurat dalam penentuan spesies, terutama pada spesies kriptik, spesies sibling dan spesies dengan variasi morfologi akibat pengaruh lingkungan. Sumber data molekuler tidak hanya dapat diperoleh dari darah atau jaringan otot saja, melainkan juga dari rambut, feses atau urin. Hal ini merupakan keuntungan lain dari data molekuler terutama pada kegiatan penelitian dengan target hewan yang jarang dan/atau sulit ditemukan secara langsung. Data molekuler merupakan data dasar yang tidak subjektif dan dapat dianalisis kembali.

Data molekuler mempunyai beberapa tantangan dalam penerapannya. Pertama, memerlukan keahlian khusus terutama pada teknik laboratorium molekuler, di mana tidak semua peneliti mampu melakukannya. Kedua, biaya relatif mahal bagi negara berkembang seperti Indonesia, tidak hanya peralatan mesin PCR dan sekuensing tetapi juga bahan kimia dan komponennya. Ketiga, jumlah basa minimal yang digunakan pada saat identifikasi spesies (>500 pb) sulit dicapai pada sampel bangkai atau DNA terdegradasi.

Hasil yang diperoleh dari data molekuler masih lebih besar bila dibandingkan dengan usaha yang dikeluarkan jika identifikasi spesies dilakukan dengan pendekatan ini. Selain identifikasi spesies, data molekuler juga dapat digunakan untuk mengetahui biodiversitas masa lampau (Paleoecology), mempelajari interaksi inter-spesies, mempelajari evolusi dan kekerabatan antar taksa, serta mengetahui jenis pakan satwa. Karakter morfologi kadang sudah tidak mampu lagi untuk menggambarkan proses evolusi suatu organisme karena karakter yang sangat kompleks. Selain itu, sering terjadi tentangan pada hubungan filogeni antara taksa berdasarkan karakter morfologi karena perbedaan pembobotan karakter dalam analisis. Alasan-alasan inilah yang menjadi dasar mengapa pendekatan molekuler perlu digunakan sebagai pelengkap dan penguat data morfologi.

B. Filogenetik

Dukungan nilai bootstrap yang rendah, ketidakstabilan topologi dapat terjadi karena gen yang digunakan dalam analisis hanya satu gen saja dan


(44)

berukuran lebih pendek (parsial). Cao et al. (1994) telah menunjukkan bahwa set data gen yang besar, seperti serangkaian gen-gen yang berurutan memberikan hasil analisis yang lebih kuat dibandingkan dengan analisis yang didasarkan pada gen tunggal.

Hasil analisis molekular sebelumnya mendukung bahwa kelompok Rhacophorid merupakan kelompok monofiletik (Li et al. 2008; Yu et al. 2009). Namun berdasarkan data morfologi, Channing (1989) menyatakan bahwa Rhacophorinae (Rhacophorus dan Polypedates) merupakan kelompok yang polifiletik. Hubungan yang dekat antara Rhacophorus dan Polypedates didukung dengan baik pada penelitian ini dan penelitian sebelumnya baik berdasarkan morfologi (Wilkinson dan Drewes 2000) maupun molekular (Wilkinson et al. 2002; Frost et al. 2006). Dubois (1986) menggabungkan genus Polypedates ke dalam genus Rhacophorus karena menganggap karakter morfologi kedua genus tersebut tidak cukup berbeda untuk dipisahkan. Sedangkan Duellman (1993) dan Frost et al. (2000) memisahkan kedua genus tersebut berdasarkan karakter morfologi yang dipakai oleh Channing (1989) karena Rhacophorus dan Polypedates bukan merupakan sister group. Berdasarkan uraian tersebut, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan hubungan kekerabatan antara kedua genus tersebut dalam kelompok Rhacophorid.

Rekonstruksi filogeni berdasarkan morfologi menunjukkan bahwa Ranid dan Dicroglossid dapat membentuk cabang parafiletik (Ford and Cannatella, 1993). Hasil tersebut juga didukung oleh Haas (2003) dengan menggunakan seluruh karakter morfologi larva Anura. Namun, hasil rekonstruksi filogeni dengan mengeluarkan 4 karakter morfometri dari analisis menghasilkan percabangan monofiletik pada kedua taksa tersebut. Optimasi karakter yang dilakukan tersebut menunjukkan bahwa terdapat 3 karakter synapomorfi pada Ranidae, yaitu firmisterny, adanya basihyal dan fenestrae parietals. Hubungan monofiletik kelompok ini didukung dengan kuat berdasarkan DNA mitokondria (Frost et al. 2006). Kelompok Dicroglossid merupakan kelompok monofiletik didukung dengan baik berdasarkan data morfologi (Anderson 1871; Emerson and Berrigan 1993) dan data DNA mitokondria (Emerson et al. 2000; Evans et al. 2003; Frost et al. 2006).


(45)

Fejervarya limnocharis merupakan spesies dengan penyebaran yang sangat luas. Morfologi antar populasi spesies tersebut terlalu sulit untuk dibedakan karena variasi morfologinya kurang dikenali dan tidak adanya diagnosa spesifik antara spesies pada populasi lokal dan spesies pada populasi lainnya sehingga seluruh spesies ini dinamai dengan nama yang sama, yaitu F. limnocharis (Dubois, 1984, 1987; Inger and Voris, 2001). Veith et al. (2001) berhasil mendeskripsikan satu spesies kriptik yang dideteksi oleh Toda et al. (1998) sebagai spesies baru, yaitu F. iskandari, berdasarkan data sekuen Allozyme dan DNA mitokondria. Data molekuler tersebut menunjukkan bahwa tidak ada aliran gen antara F. iskandari dan F. limnocharis.

Fejervarya iskandari dideskripsi pertama kali di Bandung dan Sukabumi, Jawa Barat namun diperkirakan spesies ini menyebar lebih luas di Pulau Jawa (Iskandar dan Mumpuni 2004) sehingga sangat mungkin jika sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah berudu F. iskandari.

Bufonid merupakan kelompok monofiletik didukung dengan baik oleh bootstrap pada penelitian ini. Hubungan filogenetik tersebut juga dihasilkan oleh Liu et al. (2000) dan Pramuk et al. (2001) berdasarkan data sekuen DNA mitokondria dan Haas (2003) berdasarkan data morfologi larva. Posisi spesies P. aspera pada topologi pohon filogeni berdasarkan gen 12S rRNA dan 16S rRNA berbeda dengan posisi spesies tersebut pada topologi pohon berdasarkan gen 12S-16S rRNA. Phrynoidis aspera dipindahkan dari sinonimnya, yaitu Bufo asper berdasarkan data DNA inti dan DNA mitokondria (Frost et al. 2006). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa B. asper berhubungan lebih dekat dengan genus Pedostibes dibandingkan dengan spesies Bufo lainnya. Frost et al. (2006) memasukkan B. asper ke dalam genus Phrynoidis juga berdasarkan pada karakter sinapomorfi yang dimiliki oleh genus Phrynoidis yang menguatkan percabangan kelompok B. asper.


(46)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Identifikasi berudu berdasarkan morfologi dapat dilakukan berdasarkan perbedaan bentuk mulut dan formula geligi. Penentuan spesies dengan menggunakan karakter morfologi dapat berbeda dari penentuan spesies dengan menggunakan data sekuen DNA. Berdasarkan karakter molekuler, spesies O. hosii memiliki kemiripan yang tinggi dengan L. hasseltii, dan spesies F. limnocharis memiliki kemiripan yang tinggi dengan F. iskandari. Untuk spesies yang menunjukkan kongruensi identifikasi morfologi dan molekuler, maka identifikasi di lapang cukup dilakukan dengan karakter morfologi, seperti jenis P. leucomystax, P. aspera, L. microdiscus dan R. margaritifer.

Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa sebagian besar taksa Anura membentuk kelompok monofiletik kecuali pada kelompok Rhacophorid berdasarkan gen 12S rRNA.

B. Saran

Penggunaan karakter ukuran tubuh sebaiknya tidak digunakan dalam identifikasi spesies karena sangat dipengaruhi oleh variasi lingkungan. Penggunaan gen tunggal, yaitu 16S rRNA dapat dilakukan dalam analisis filogenetik Anura untuk memperpendek data sekuen yang dianalisis serta meningkatkan peluang keberhasilan dalam proses ampllifikasi.


(47)

DAFTAR

PUSTAKA

Anderson J. 1871. A list of the reptilian accession to the Indian Museum, Calcutta from 1865 to 1870, with a description of some new species. Journal of the Asiatic Society of Bengal 40: 12-39.

Altig R. 2007. A Primer for the Morphology of Anuran Tadpoles. Herpetological Conservation and Biology 2(1):71-74.

Brendonck L, Michels E, DeMeester L, Riddoch B. 2002. Temporary ponds are not “enemy free”. Hydrobiologica 486: 147-159

Cao Y, Adachi A, Janke A, Paabo S, Hasegawa M. 1994. Phylogenetic relationships among eutherian orders estimated from inferred protein sequences of mithocondrial proteins: instability of a tree based on single gene. J Mol Evol 39: 519-527

Che J, Pang J, Zhao H, Wu G, Zhao E, Zhang Y. 2007. Phylogeny of Raninae (Anura: Ranidae) inferred from mitochondrial and nuclear sequences. Molecular Phylogenetics and Evolution 43: 1–13

Cogger HG, Zweifel RG. 2003. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians Second Edition. San Fransisco: Fog City Press

Dubois A. 1984. Note preliminaire sur le groupe de Rana limnocharis Gravenhorst, 1929 (Amphibiens, Anaures). Alytes 3: 143–159

Dubois A .1987. Miscellanea taxomica batrachologica (1). Alytes 5: 7–95

Duellman WE, Trueb L. 1994. Biology of Amphibians. New York: McGraw-Hill. Emerson SB, Inger RF, Iskandar DT. 2000. Molecular systematics and

biogeography of the fanged frogs of Southeast Asia. Molecular Phylogenetics and Evolution 16(1): 131–142

Emerson SB, Berrigan D. 1993. Systematics of Southeast Asia ranids: Multiple origin of voicelessness in the subgenus Limnonectes (Fitzinger). Herpetologica 49(1): 22-31.

Evans BJ, Brown RF, McGuire JA, Supriatna J, Andayani N, Diesmos A, Iskandar DT, Melnick DJ, Cannatella DC. 2003. Phylogenetics of Fanged Frogs: Testing Biogeographical Hypotheses at the Interface of the Asian and Australian Faunal Zones. Syst. Biol. 52(6): 794–819.

Farajallah A. 2002. Karakterisasi genom mitokondria labi-labi Dogania subplana (Trionychidae, Testudines, Reptilia) [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(48)

Frost, DR, Grant T, Faivovich J, Bain RH, Haas A, Haddad CFB, De Sá RO, Channing A, Wilkinson M, Donnellan SC, Raxworthy CJ, Campbell JA, Blotto BL, Moler P, Drewes RC, Nussbaum RA, Lynch JD, Green DM, Wheeler WC, 2006. The amphibian tree of life. Bull. Am. Mus. Nat. Hist. 297: 1–370

Ford LS, Cannatella DC. 1993. The major clades of frogs. Herpetological monographs 7: 94-117

Gosner LK. 1960. A Simplified Table for Staging Anuran Embryos and Larvae with Notes on Identification. Herpetologica 16(3): 183-190

Gosner LK, Rossman DA. 1960. Eggs and larval development of the tree frogs Hyla crucifer and Hyla ocularis. Herpetologica 16(4): 225-232.

Haas A. 2003. Phylogeny of frogs as inferred from primarily larval characters (Amphibia: Anura). Cladistics 19: 23–89.

Hamidy A, Matsui M, Shimada T, Nishikawa K, Yambun P, Sudin A, Kusrini MD, Kurniati H. 2011. Morphological and genetic discordance in two species of Bornean Leptobrachium (Amphibia, Anura, Megophryidae). Molecular Phylogenetics and Evolution 61: 904–913.

Hillis DM, Wilcox TP. 2005. Phylogeny of the New World true frogs (Rana). Molecular Phylogenetics and Evolution 34: 299–314.

Hofrichter R. 1999. The Encyclopedia of Amphibian. Canada: Key Porter Books Limited.

Inger RF. 1966. The systematic and zoogeography of the amphibian of Borneo. Fieldiana: Zoology Volume 52. Field Museum of Natural History. United States of America: Field Museum Press

Inger RF. 1972. Bufo of Eurasia. Di dalam W.F. Blair (editor), Evolution in the genus Bufo: 102–118. Austin: University of Texas Press.

Inger RF, Voris HK. 2001. Biogeographical relations of the frog and snake of Sundaland. J Biogeogr 28: 863–891

Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali – Seri Panduan Lapangan. Bogor: Puslitbang – LIPI.

Iskandar DT, Mumpuni 2004. Fejervarya iskandari. In: IUCN 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011.2. <www.iucnredlist.org>. [13 May 2012].

Kitching IJ, Forey PL, Humphries CJ, Williams DM. 1998. Cladistics second edition: The Theory and Practice of Parsimony Analysis. New York: Oxford University Press Inc


(49)

Kusrini MD, Lubis ML, Darmawan B. 2008. The Tree Frog of Chevron Geothermal Concession, Mount Halimun Salak National Park Indonesia. Technical report submitted to the Wildlife Trust – Peka Foundation.

Kusrini MD, Lubis MI, Darmawan B, Rahman NL, Hypananda W. 2009. Final Report: Integrated Ecological Research of Conservation of the Tree Frog in West Java, Indonesia. Technical report submitted to the Wildlife Truts – Peka Foundation.

Leong TM, Chou LM. 2000. Tadpole of the Celebes Toad Bufo Celebensis Gunther (Amphibia: Anura: Bufonidae) from Northeast Sulawesi. The Raffles Bulletin of Zoology 48(2): 297-30.

Li J, Che J, Bain RH, Zhao E, Zhang Y. 2008. Molecular phylogeny of Rhacophoridae (Anura): A framework of taxonomic reassignment of species within the genera Aquixalus, Chiromantis, Rhacophorus, and Philautus. Molecular Phylogenetics and Evolution 48: 302–312.

Lipscomb D. 1998. Basics of cladistic analysis. Washington DC: George Washington Univ.

Liu W, Lathrop A, Fu J, Yang D, Murphy RW. 2000. Phylogeny of East Asian Bufonids Inferred from Mitochondrial DNA Sequences (Anura: Amphibia). Molecular Phylogenetics and Evolution 14(3): 423–435.

Matsui M, Hamidy A, Murphy RW, Khonsue W, Yambun P, Shimada T, Ahmad N, Belabut DM, Jiang JP. 2010. Phylogenetic relationships of megophryid frogs of the genus Leptobrachium (Amphibia, Anura) as revealed by mtDNA gene sequences. Molecular Phylogenetics and Evolution 56: 259– 272.

McLeod DS. 2010. Of Least Concern? Systematics of a cryptic species complex: Limnonectes kuhlii (Amphibia: Anura: Dicroglossidae). Molecular Phylogenetics and Evolution 56: 991–1000.

Mistar. 2003. Panduan Lapang Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor: PILINGO Movement.

Ningsih WD. 2011. Struktur komunitas berudu anura di Sungai Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat [Skripsi] Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasi

Page RDM, Holmes EC. 1998. Molecular Evolution: A Phylogenetic Approach. United Kingdom: Blackwell Science.

Petranka JW, Kennedy CA. 1999. Pond tadpoles with generalised morphology: is it time to reconsider their functional roles in aquatic communities? Oecologia 120: 621-631


(50)

Pramuk JB, Hass CA, Hedges SB. 2001. Molecular Phylogeny and Biogeography of West Indian Toads (Anura: Bufonidae). Molecular Phylogenetics and Evolution 20(2): 294–301.

Quicke DLJ. 1993. Principles and Techniques of Contemporary Taxonomy. United Kingdom: Blackie Academic & Professional.

Starrett P. 1960. Descriptions of Tadpoles of Middle American Frogs. Museum of Zoology, University of Michigan 110: 5-37

Tamura K, Dudley J, Nei M dan Kumar S. 2007. MEGA4: Molecular evolutionary genetics analysis (MEGA) software version 4.0. Molecular Biology and Evolution 24: 1596-1599

Tegelstrom H. 1986. Mitochondrial DNA in natural population: An improved routine for screening of genetic variation based on sensitive silver staining. Electrophoresis 7(5): 226-229

Tjong DH, Iskandar DT, Gusman D. 2010. Hubungan filogenetik spesies Limnonectes (Ranidae: Amphibia) asal Sumatera Barat dan asal Asia Tenggara berdasarkan gen 16S ribosomal RNA. Makara sains 14(1): 79-87. Toda M, Matsui M, Nishida M, Ota H. 1998. Genetic divergence among

Southeast and East Asian population of Rana limnocharis (Amphibia: Anura), with species reference to sympatric cryptic species in Java. Zool Sci 14: 607–613

Van Buskirk, J, McCollum, SA. 1999. Plasticity and selection explain variation in tadpole phenotype between ponds with different predator composition. Oikos 85: 31-39

Veith M, Kosuch J, Ohler A, Dubois A. 2001. Systematics of Fejervarya limnocharis (Gravenhorst, 1829) (Amphibia, Anura, Ranidae) and related species. 2. Morphological and molecular variation in frogs from the Greater Sunda Islands (Sumatra, Java, Borneo) with the definition of two species. Alytes 19: 5–28

Verma PK, Pande N. 2002. Learning Amphibia through Latest Portfolio of Theory and Practice. New Delhi: Dominant Publishers and Distributors.

Wassersug RJ. 1975. The adaptive significance of the tadpole stage with comments on the maintenance of complex life cycles in anurans. American Zoology 15: 405-417

Wilbur H. 1987. Regulation of structure in complex systems: experimental temporary pond communities. Ecology 68: 1437-1452

Wilkinson JA, Drewes RC. 2000. Character assessment, genus level boundaries, and phylogenetic analyses of the family Rhacophoridae: a review and present day status. Cont. Herpetol. 2000, 2


(51)

Wilkinson JA, Drewes RC, Tatum OL. 2002. A molecular phylogenetic analysis of the family Rhacophoridae with an emphasis on the Asian and African genera. Mol. Phylogenet. Evol. 24: 265–273.

Yu G, Rao D, Zhang M, Yang J. 2009. Re-examination of the phylogeny of Rhacophoridae (Anura) based on mitochondrial and nuclear DNA. Molecular Phylogenetics and Evolution 50: 571–579.


(52)

(53)

Lampiran 1. Deskripsi morfologi masing-masing spesies berudu 1. Famili Bufonidae

a. Dutaphrynus melanostictus

Deskripsi dilakukan berdasarkan 12 individu spesimen yang seluruhnya berada pada tahap 25 berdasarkan Gosner (1960).

Karakter Rerata

(mm)

St. Deviasi

Min. (mm)

Maks. (mm)

Panjang total (TL) 7.42 0.31 6.82 7.94

Panjang tubuh (BL) 2.92 0.28 2.64 3.56

Panjang ekor (TAL) 3.63 0.35 2.74 3.96

Lebar tubuh (BW) 1.5 0.18 1.22 1.82

Tinggi ekor maksimum (MTH) 0.61 0.25 0.4 1.32

Tinggi otot ekor (TMH) 0.11 0.03 0.08 0.2

Lebar otot ekor (TMW) 0.09 0.01 0.08 0.1

Jarak interorbital (IOD) 0.48 0.08 0.4 0.6

Jarak internarial (IND) 0.1 0 0.1 0.1

Lebar oral disc (ODW) 0.49 0.12 0.3 0.7

Spesies ini memiliki tubuh dan ekor berwarna hitam dengan sirip yang tidak berpigmen. Ekor memanjang dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor (posterior tubuh). Mata terletak pada bagian dorsal tubuh, spirakel sinistral (tunggal pada bagian kiri tubuh), lubang narial terletak lebih dekat dengan mata daripada oral disc, dengan vent tube pada posisi dextral.

Bagian oral disc memiliki lekuk (emarginate) dengan 1 baris papilla marjinal pada bibir atas (ventral). Ketebalan keratin pada rahang (jaw) medium, berbentuk serrate dengan saw-toothed, perpanjangan posterolateral pada keratin sangat panjang. Formula geligi spesies ini adalah I+1-1/III.


(1)

b. Hylarana chalconota

Deskripsi dilakukan berdasarkan 2 spesimen yang terdiri dari 1 spesimen pada tahap 32 dan 1 spesimen pada tahap 34.

Karakter Tahap 32 Tahap 34

Panjang total (TL) 25.08 30.60

Panjang tubuh (BL) 9.28 10.40

Panjang ekor (TAL) 17.64 19.48

Lebar tubuh (BW) 5.08 5.60

Tinggi ekor maksimum (MTH) 4.58 5.20

Tinggi otot ekor (TMH) 2.64 2.16

Lebar otot ekor (TMW) 2.24 2.02

Jarak terjauh interorbital (IOD) 2.84 3.56 Jarak terjauh internarial (IND) 1.32 1.42

Lebar oral disc (ODW) 2.02 2.34

Berudu ini memiliki oral disc tidak berlekuk (not-emarginate) dengan 1 baris papila marjinal hanya pada sudut mulut dan 1 baris papila sub-marjinal. Rahang dengan keratin tebal, berbentuk serrate, saw-toothed dan dengan perpanjangan posterolateral panjang. Formula geligi adalah I+3-3/III.

Tubuh kuning kecoklatan sedangkan ekor tidak berpigmen. Ekor oval memanjang dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Posisi mata lateral, narial terletak di antara mata dan oral disc. Spirakel tunggal (sinistral) dan vent tube medial.


(2)

c. Odorrana hosii

Deskripsi dilakukan berdasarkan 3 spesimen yang masing-masing berada pada tahap 25, 27, dan 28.

Karakter Tahap 25 Tahap 27 Tahap 28

Panjang total (TL) 28.86 26.42 28.36

Panjang tubuh (BL) 9.98 8.86 9.94

Panjang ekor (TAL) 19.48 17.34 18.66

Lebar tubuh (BW) 4.68 4.88 4.24

Tinggi ekor maksimum (MTH) 5.50 3.26 3.66

Tinggi otot ekor (TMH) 3.54 1.82 1.82

Lebar otot ekor (TMW) 1.92 1.82 1.52

Jarak terjauh interorbital (IOD) 2.16 1.92 2.24 Jarak terjauh internarial (IND) 1.42 1.52 1.72

Lebar oral disc (ODW) 1.92 1.82 2.64

Berudu ini memiliki oral disc berlekuk (emarginated) dengan 1 baris papila marjinal dengan gap lebar pada bibir atas dan 1 baris papila sub-marjinal. Rahang dengan keratin tebal, berbetuk serrate, saw-toothed dengan perpanjangan posterolateral sangat panjang. Formula geligi I+4-4/1-1+III.

Tubuh berwarna coklat seluruhnya hingga ekor. Ekor berbentuk hampir lurus memanjang dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Posisi mata lateral, narial berada di antara mata dan oral disc. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral), dan posisi vent tube dextral.


(3)

6. Famili Rhacophoridae

a. Philautus vittiger

Deskripsi dilakukan berdasarkan 7 spesimen yang terdiri dari 1 spesimen tahap 28, 2 spesimen pada tahap 29, 2 spesimen pada tahap 35, 1 spesimen pada tahap 36, dan 1 spesimen pada tahap 41.

Karakter Tahap

28

Tahap 29

Tahap 29

Tahap 35

Tahap 35

Tahap 36

Tahap 41 Panjang total (TL) 24.68 24.78 24.38 27.24 21.32 25.40 24.98

Panjang tubuh (BL) 8.46 8.46 8.74 9.88 8.66 9.88 7.24

Panjang ekor (TAL) 16.62 16.42 16.42 18.96 11.42 17.54 16.92

Lebar tubuh (BW) 4.84 5.40 5.90 5.60 5.30 5.40 4.98

Tinggi ekor maksimum (MTH) 3.96 3.26 3.16 4.28 4.68 3.26 4.68 Tinggi otot ekor (TMH) 1.32 1.92 2.24 2.14 2.24 2.34 2.34 Lebar otot ekor (TMW) 1.22 1.52 1.52 1.42 1.72 1.92 1.82 Jarak terjauh interorbital (IOD) 3.36 3.16 2.94 3.66 3.86 3.66 3.66 Jarak terjauh internarial (IND) 1.32 1.22 1.32 1.32 1.22 1.32 1.32 Lebar oral disc (ODW) 2.44 2.94 3.16 2.84 2.54 3.04 2.24

Berudu ini memiliki oral disc berlekuk (emarginate) dengan 2 baris papila marginal dengan gap yang lebar pada bibir atas dan 3 baris papilla sub-marjinal pada bibir bawah. Rahang berkeratin medium, berbentuk cuspate, rounded dengan perpanjangan posterolateral medium. Formula geligi spesies ini II+4-4/III.

Pola warna tubuh coklat kemerahan dengan bintik hitam, ekor dan sirip dorsal hitam dan menjelang ujung ekor berpola. Sirip dorsal memanjang dari pangkal otot ekor (posterior tubuh). Ekor oval dengan ujung meruncing. Posisi mata lateral, narial lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral) dan vent tube dextral.


(4)

b. Polypedates leucomystax

Deskripsi dilakukan berdasarkan 8 spesimen yang masing-masing berada pada tahap 25, 26, 28, 31, 34, 35, 36, dan 37.

Karakter Tahap

25

Tahap 26

Tahap 28

Tahap 31

Tahap 34

Tahap 35

Tahap 36

Tahap 37 Panjang total (TL) 25.70 39.38 41.62 41.42 32.34 32.54 33.66 42.24 Panjang tubuh (BL) 11.22 15.30 14.68 15.40 12.44 11.92 13.16 15.90 Panjang ekor (TAL) 14.18 24.48 27.44 25.40 20.70 20.20 22.44 26.12 Lebar tubuh (BW) 4.88 7.54 7.74 6.72 6.52 11.22 11.62 8.36 Tinggi ekor maks. (MTH) 6.62 9.68 8.66 9.18 5.20 6.00 6.00 9.48 Tinggi otot ekor (TMH) 4.96 6.12 4.98 5.40 2.74 2.44 3.46 5.40 Lebar otot ekor (TMW) 1.92 2.44 2.74 2.74 1.92 1.62 2.34 3.96 Jarak interorbital (IOD) 5.70 7.34 6.72 6.72 3.66 4.38 4.38 7.84 Jarak internarial (IND) 2.44 2.84 2.74 2.94 1.72 2.14 2.34 2.94 Lebar oral disc (ODW) 1.92 2.94 2.74 3.00 2.94 2.84 3.16 3.56

Berudu ini memiliki oral disc tidak berlekuk (not-emarginate) dengan 1 baris papila marjinal dengan gap lebar dan 1 baris papila sub-marjinal pada bibir atas. Rahang dengan keratin tebal, berbentuk serrate, saw-toothed, dengan perpanjangan posterolateral panjang. Formula geligi I+3-3/III.

Tubuh berwarna coklat-hitam, ekor dan sirip tidak berpigmen atau dengan bintik hitam. Ekor dan sirip oval hingga membulat dengan ujung meruncing mulai dari 1/3 akhir. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Posisi mata lateral, narial berada di antara mata dan oral disc. Spirakel tunggal di sisi kiri tubuh (sinistral) dan vent tube dextral.


(5)

c. Rhacophorus margaritifer

Deskripsi dilakukan berdasarkan 3 spesimen yang masing-masing berada pada tahap 25, 30, dan 31.

Karakter Tahap 25 Tahap 30 Tahap 31

Panjang total (TL) 12.00 32.44 33.64

Panjang tubuh (BL) 3.64 11.64 12.64

Panjang ekor (TAL) 9.20 19.90 19.40

Lebar tubuh (BW) 5.70 8.26 4.78

Tinggi ekor maksimum (MTH) 4.98 5.70 4.68

Tinggi otot ekor (TMH) 1.92 3.44 2.44

Lebar otot ekor (TMW) 1.72 2.24 1.42

Jarak terjauh interorbital (IOD) 2.74 3.36 2.36 Jarak terjauh internarial (IND) 1.32 1.32 1.32

Lebar oral disc (ODW) 2.92 3.16 1.72

Berudu ini memiliki tubuh berwarna kecoklatan, ekor berbintik coklat pada 1/3 akhir. Ekor oval dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Posisi mata dorsal dan narial terletak lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral) dan vent tube dextral.

Oral disc berlekuk (emarginate) dengan 1 baris papila marjinal dengan

gap lebar pada bibir atas dan 2 baris papila marjinal pada bibir bawah. Rahang dengan keratin tebal, berbentuk serrate, saw-toothed dengan perpanjangan posterolateral panjang. Formula geligi I+5-5/III atau II+4-4/III.


(6)

d. Rhacophorus reinwardtii

Deskripsi dilakukan berdasarkan 3 spesimen yang terdiri dari 2 spesimen tahap 25 dan 1 spesimen tahap 28.

Karakter Tahap 25 Tahap 25 Tahap 28

Panjang total (TL) 23.76 24.78 34.38

Panjang tubuh (BL) 9.28 8.04 12.64

Panjang ekor (TAL) 14.18 15.40 20.90

Lebar tubuh (BW) 5.70 4.78 8.26

Tinggi ekor maksimum (MTH) 4.98 4.68 5.70

Tinggi otot ekor (TMH) 1.92 2.44 3.44

Lebar otot ekor (TMW) 1.72 1.42 2.24

Jarak terjauh interorbital (IOD) 2.74 2.36 3.36 Jarak terjauh internarial (IND) 1.32 1.32 1.32

Lebar oral disc (ODW) 2.92 1.72 3.16

Berudu ini memiliki oral disc (emarginate) dengan 1 baris papila marjinal dengan gap lebar pada bibir atas dan 1 baris papila marjinal pada bibir bawah. Rahang dengan keratin medium, berbentuk serrate, saw-toothed, dengan perpanjangan poterolateral panjang. Formula geligi I+5-5/III.

Tubuh berwarna coklat kemerahan dengan bercak coklat. Sirip tidak berpigmen dengan bercak coklat tidak merata. Ekor oval dengan ujung membulat. Sirip dorsal memanjang dari pangkal otot ekor. Posisi mata dorsal dan narial terletak lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral)