Analisis Vegetasi dan Pola Sebaran Salinitas di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

22

Lampiran 1. Rencana Kegiatan Penelitian
No.

Kegiatan
1

I
II
III
-

I
2

3

1

Bulan ke (2016)

II
III
2
3
1
2

3

1

IV
2

PERSIAPAN
Pembuatan Proposal
Konsultasi dan Bimbingan
Seminar Proposal
Perbaikan Proposal
PELAKSANAAN PENELITIAN

Pengambilan Data
Pengumpulan Data
Interpretasi/Pengolahan Data
PENULISAN SKRIPSI
Konsep Penulisan Skripsi
Konsultasi dan Bimbingan
Seminar Hasil
Perbaikan Skripsi
Ujian Skripsi/Meja Hijau
Wisuda

Universitas Sumatera Utara

3

39

Lampiran 2. Rincian Biaya Penelitian
No
1


2

3

4

5

6

Uraian

Vol.

Satuan

Harga
Satuan (Rp)


Penyusunan Proposal
Kertas A4
2
Rim
Tinta Printer
2
Kotak
Jilid Proposal (Biasa)
3
Eks
Jilid Proposal (Senyawa)
3
Eks
Fotocopy Proposal
10
Eks
Seminar Proposal
Administrasi
Sewa Proyektor
1

Buah
Konsumsi Dosen
12
Kotak
Konsumsi Peserta
2
Kotak
Konsumsi Pembahas
5
Kotak
Penelitian
Transportasi
1
PP
Konsumsi
1
Hari
Mess
1
Hari

Peralatan Penelitian
Refraktometer
1
Set
Perahu
1
Set
Penyusunan Skripsi
Kertas A4
3
Rim
Tinta Printer
3
Kotak
Jilid Skripsi (Biasa)
3
Eks
Jilid Skripsi (Lux)
6
Eks

Seminar Hasil
Administrasi
Sewa Proyektor
1
Buah
Konsumsi Dosen
12
Kotak
Konsumsi Peserta
2
Kotak
Konsumsi Pembahas
5
Kotak
Sidang
Administrasi
1
Konsumsi Dosen
12
Kotak

Bingkisan
2
Buah
Biaya Tak Terduga (10% Dari Biaya Total)
Jumlah

Jumlah (Rp)

30.000
40.000
3.000
20.000
5.000

60.000
80.000
9.000
60.000
50.000


200.000
50.000
10.000
50.000
10.000

200.000
50.000
120.000
100.000
50.000

50.000
50.000
50.000

50.000
50.000
50.000


20.000
150.000

20.000
150.000

30.000
40.000
10.000
30.000

90.000
120.000
30.000
180.000

300.000
50.000
10.000
50.000

10.000

300.000
50.000
120.000
100.000
50.000

500.000
25.000
100.000

500.000
300.000
200.000
313.900
3.452.900

Universitas Sumatera Utara

40

Lampiran 3. Gambar Alat dan Bahan

Universitas Sumatera Utara

41

Lampiran 1. Lanjutan

Universitas Sumatera Utara

42

Lampiran 4. Gambar Lokasi Penelitian

Universitas Sumatera Utara

43

Lampiran 5. Gambar Prosedur Penelitian

Universitas Sumatera Utara

44

Lampiran 6. Gambar Spesies Mangrove yang Ditemukan

Universitas Sumatera Utara

45

Lampiran 7. Perhitungan Indeks Keanekaragaman Semai, Pancang dan Pohon

Stasiun I
Indeks Keanekaragaman Semai (H’)
s

ni
ni
H′ = − �[� � ln � �]
N
N
i=1

= - {(

2

20

��

2
20

)+(

14
20

��

14
20

)+(

1
20

��

1
20

)+(

2
20

��

2
20

)+(

1
20

��

1
20

)}

= - {(- 0,230) + (- 0,249) + (- 0,149) + (- 0,230) + (- 0,149)}
= - {- 1,007}
= 1,01
Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada semai menurut
(Bengen, 2000) adalah 1,01. Sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener
(H’) pada semai termasuk dalam kategori tingkat keanekaragaman sedang.

Indeks Keanekaragaman Pancang (H’)
s

ni
ni
H′ = − �[� � ln � �]
N
N
i=1

= - {(

2

25

(

1

25

��

��

2
25
1
25

= - {- 2,05}

)+(

)+(

4
25
4

25

��

��

4
25
4
25

)+(

)+(

2
25
2

25

��

��

2
25
2
25

)+(

)}

1
25

��

1
25

)+(

6
25

��

6
25

)+(

3

25

��

3
25

)+

= 2,05
Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada pancang
menurut (Bengen, 2000) adalah 2,05. Sehingga indeks keanekaragaman Shannon
Wiener (H’) pada pancang termasuk dalam kategori tingkat keanekaragaman
sedang.

Universitas Sumatera Utara

46

Lampiran 7. Lanjutan

Indeks Keanekaragaman Pohon (H’)
s

ni
ni
H′ = − �[� � ln � �]
N
N
i=1

= - {(

5

23

(

2

23

5

��

��

23
2
23

)+(

)+(

= - {- 2,051}

2
23
1

23

��

��

2
23
1
23

)+(

)+(

1
23
1

23

��

��

1
23
1
23

)+(

)}

2
23

��

2
23

)+(

4
23

��

4
23

)+(

5

23

��

5
23

)+

= 2,01
Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada pohon
menurut (Bengen, 2000) adalah 2,01. Sehingga indeks keanekaragaman Shannon
Wiener (H’) pada pohon termasuk dalam kategori tingkat keanekaragaman
sedang.

Stasiun II
Indeks Keanekaragaman Semai (H’)
s

ni
ni
H′ = − �[� � ln � �]
N
N
i=1

1

1

1

1

1

1

1

1

3

3

1

1

8

8

8

8

8

8

8

8

8

8

8

8

= - {( �� ) + ( �� ) + ( �� ) + ( �� ) + ( �� ) + ( �� )}

= - {- 1,67}
= 1,67

Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada semai menurut
(Bengen, 2000) adalah 1,67. Sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener
(H’) pada semai termasuk dalam kategori tingkat keanekaragaman sedang.

Universitas Sumatera Utara

47

Lampiran 7. Lanjutan

Indeks Keanekaragaman Pancang (H’)
s

ni
ni
H′ = − �[� � ln � �]
N
N
i=1

= - {(

8

52

(

19

52

��

��

8
52
19
52

)+(

8
52

)}

��

8
52

)+(

2
52

��

2
52

)+(

8
52

��

8
52

)+(

1
52

��

1
52

)+(

6
52

��

6
52

)+

= - {- 1,68}
= 1,68
Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada pancang
menurut (Bengen, 2000) adalah 1,68. Sehingga indeks keanekaragaman Shannon
Wiener (H’) pada pancang termasuk dalam kategori tingkat keanekaragaman
sedang.

Indeks Keanekaragaman Pohon (H’)
s

ni
ni
H′ = − �[� � ln � �]
N
N
i=1

= - {(

5

12

��

5
12

= - {- 1,24}

)+(

2
12

��

2
12

)+(

1
12

��

1
12

)+(

4
12

��

4
12

)}

= 1,24
Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada pohon
menurut (Bengen, 2000) adalah 1,24. Sehingga indeks keanekaragaman Shannon
Wiener (H’) pada pohon termasuk dalam kategori tingkat keanekaragaman
sedang.

Universitas Sumatera Utara

48

Lampiran 7. Lanjutan

Stasiun III
Indeks Keanekaragaman Semai (H’)
s

ni
ni
H′ = − �[� � ln � �]
N
N
i=1

14

= - {(

26

��

14
26

)+(

12
26

= - {- 0,96}

��

12
26

)}

= 0,96
Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada semai menurut
(Bengen, 2000) adalah 0.96. Sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener
(H’) pada semai termasuk dalam kategori tingkat keanekaragaman rendah.

Indeks Keanekaragaman Pancang (H’)
s

ni
ni
H′ = − �[� � ln � �]
N
N
i=1

= - {(

7

35

��

7
35

= - {- 1,21}

)+(

3
35

��

3
35

)+(

1
35

��

1
35

)+(

1
35

��

1
35

)+(

21
35

��

21
35

)+(

2
35

��

2
35

)}

= 1,21
Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada pancang
menurut (Bengen, 2000) adalah 1,21. Sehingga indeks keanekaragaman Shannon
Wiener (H’) pada pancang termasuk dalam kategori tingkat keanekaragaman
sedang.

Universitas Sumatera Utara

49

Lampiran 7. Lanjutan

Indeks Keanekaragaman Pohon (H’)
s

ni
ni
H′ = − �[� � ln � �]
N
N
i=1

= - {(

5

25

��

5
25

= - {- 1,64}

)+(

7
25

��

7
25

)+(

1
25

��

1
25

)+(

6
25

��

6
25

)+(

4
25

��

4
25

)+(

2
25

��

2
25

)}

= 1,64
Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada pohon
menurut (Bengen, 2000) adalah 1,64. Sehingga indeks keanekaragaman Shannon
Wiener (H’) pada pohon termasuk dalam kategori tingkat keanekaragaman
sedang.

Universitas Sumatera Utara

50

Lampiran 8. Ilustrasi Transek Analisis Vegetasi

80 Meter
10
5
2
10
2

5

25 Meter

10
5
2
10

5
2

25 Meter

10
5
2
10
2

5

`

Universitas Sumatera Utara

38

DAFTAR PUSTAKA

Arief, D. 1984. Pengukuran Salinitas Air Laut Dan Peranannnya Dalam Ilmu
Kelautan. Oseana, Vol 9. (1) : 3-10.
Asfiainnisa, Ydan A. D. Lesmono. 2015. Pendugaan Intrusi Air Laut Dalam
Persiapan Pengeboran Sumur Dalam Dengan Metode Geolistrik 2d
Konfigurasi Wenner Di Desa Keting Kecamatan Jombang Kabupaten
Jember. Jurnal Pendidikan. Pendidikan Fisika FKIP. Universitas Jember.
Jember. Vol. 3 (4): 390-396
Bengen, D. G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dahuri, R., J, Rais danS, Ginting. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, edisi revisi. PT Pradny Paramita.
Jakarta.
Diana. 2011. Ekosistem Mangrove. [Usulan Penelitian]. Fakultas Kehutanan.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Donato, D. C., J. B,Kauffman., D, Murdiyarso., S,Kurnianto., M, Stidham., M,
Kanninen. 2012. Mangrove Hutan Terkaya Karbon di Kawasan Tropis.
Cifor. Jakarta.
Heroldson, F. N. 2012. Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Mangrove di Desa
Kumu Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa. Universitas Sam
Ratulangi. Manado.
Huda, N. 2008. Strategi Kebijakan Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan Di
Wilayah Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Jamili. 2012. Ekosistem Mangrove. [Tesis]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Kapludin, Y. 2012. Karakteristik dan Keragaman Biota pada Vegetasi Mangrove
Dusun Wael Kabupaten Seram Bagian Barat. Universitas Airlangga.
Semarang.
Keputusan menteri Lingkungan Hidup No. 201. 2004. Kriteria Baku dan Pedoman
Penentuan Kerusakan Mangrove.

Universitas Sumatera Utara

39

Kitamura, S., C, Anwar., A. Chaniago dan S. Baba. 1997. Handbook of
Mangroves in Indonesia. The Development of Sustainable Mangrove
Management Project. Ministry of Forestry Indonesia and Japan
International Cooperation Agency. Japan.
Kusmana, C. 1997. Ekologi dan Sumberdaya Ekosistem Mangrove, Makalah
Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari Angkatan I PKSPL.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kusmana, C., W, Sri., H, Iwan., P, Prijanto., W, Cahyo., T, Tatang., T, Adi.,
Yunasfi dan Hamzah. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Noor, Y. R., M. Khazali dan I. N, Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme.
Bogor.
Noor, Y. M., Khazali, M danI. N. N, Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor.
Pratiwi, R. 2009. Komposisi Keberadaan Krustasea Di Mangrove Delta Mahakam
Kalimantan Timur.Oseanografi-LIPI. Jakarta.
Ramayani. 2012. Hutan Mangrove dan Karakteristiknya. Fakultas Kehutanan.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Rusdianti, K dan S, Sunito. 2012. Konversi Lahan Hutan Mangrove Serta Upaya
Penduduk Lokal Dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove. Jurnal ISSN
: 1978-4333, Vol. 06, No. 01.
Romimohtarto, K danJ, Sri. 2001. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta.
Saefuhrahman, G. 2008.Distribusi, Kerapatan Dan Perubahan Luas Vegetasi
Mangrove Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu Menggunakan Citra
Formosat 2 Dan Landsat 7/Etm+. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Salam, A dan A. Rachman. 1994. Peran Biologi Umum dalam Bidang Ilmu
Kelautan untuk Perguruan Tinggi Negeri Kawasan Timur Indonesia.
Universitas Hasanuddin. Makasar.
Setyawan, A. 2002. Biodiversitas Genetik, Spesies dan Ekosistem Mangrove di
Jawa, Surakarta: Kelompok Kerja Biodiversitas Jurusan Biologi fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas maret.
Surakarta.

Universitas Sumatera Utara

40

Sihombing, B. 1995. Analisis Degradasi Tegakan pada Kawasan Hutan Lindung
Wosi Rendani Manokwari. Fakultas Pertanian. Universitas Cendrawasih.
Manokwari.
Subiandono, E., N. M, Heriyanto danE, Karlina. 2010. Potensi Nipah (Nypa
Fructicans (Thunb.) WurmbSebagai Sumber Pangan Dari Hutan Mngrove .
Jurnal Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
No. 5. Jakarta.
Talib,M. F. 2008. Struktur Dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove Serta
Makrozoobenthos Yang Berkoeksistensi, Di Desa Tanah Merah Dan
Oebelo Kecil Kabupaten Kupang.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Whitten, A. J., Sengli, J. D., Jazanul, A and Nazaruddin, H. 1987. The Ecology of
Sumatra. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Universitas Sumatera Utara

18

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan
Maretsampai April Tahun 2016 di Kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan
Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Tahap persiapan data meliputi
pengumpulan data primer dan data sekunder/data pendukung penelitian,
selanjutnya dilakukan pengecekan lapangan dilokasi penelitian (Gambar 3).
Identifikasi dan analisis sampel mangrove dilakukan di Laboratorium Terpadu,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Rencana kegiatan penelitian
dapat dilihat pada Lampiran 1.

Peta di Print pada kertas A4
Gambar 3. Letak Lokasi Penelitian di Kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei
Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

19

Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan adalah parang, tali rafia, kantong plastik, gunting,
Global Positioning System (GPS), alat tulis, kamera, penggaris, kertas milimeter,
meteran, hand refraktometer, termometer, buku identifikasi mangrove “Handbook
of Mangoves in Indonesia” (Kitamura, dkk., 1997), pH meter (kertas lakmus),
pipet tetes dan tool box.
Bahan yang digunakan adalah bagian tumbuhan mangrove sebagai sampel,
akuades, tissue, karet gelang, tally sheet, lakbandan kertas label.Rincian biaya
penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

Prosedur Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer yang digunakan adalah hasil transek (pengamatan langsung dilapangan)
dan pengukuran parameter fisika kimia. Sementara data sekunder meliputi luas
kawasan mangrove dan data perubahan tutupan mangrove dari Balai Mangrove
Wilayah II Provinsi Sumatera Utara.
Teknik pengambilan data yang dipakai dalam penelitian ini dengan cara
Purposive Random Sampling (pengambilan data secara acak) dengan menentukan
tiga titik stasiun pengamatan dan menentukan tiga plot pada masing-masing
stasiun sebagai ulangannya. Penentuan titik koordinat stasiun dilakukan dengan
menggunakan alat GPS (Global Positioning System) dan pengukuran salinitas
menggunakan refraktometer.
Data pelengkap pada penelitian ini berupa dokumentasi foto yang
digunakan untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya, studi pustaka

Universitas Sumatera Utara

20

merupakan teknik yang digunakan untuk mendapatkan data-data sekunder, berupa
data kawasan mangrove, lokasi penelitian, luas wilayah dan data-data lain yang
dibutuhkan dalam penelitian. Data diperoleh dari Balai atau instansi terkait yang
memberikan bantuan data untuk melengkapi hasil penelitian ini. Pengolahan data
menggunakan program softwere ArcView dengan output peta sebaran salinitas di
wilayah mangrove percut.

Analisis Vegetasi
Teknik analisis vegetasi yang digunakan adalah metoda petak dengan unit
contoh berupa jalur (transek) berukuran 10 m x 100 m sebanyak 10 jalur, di dalam
setiap unit contoh (jalur) secara nested sampling dibuat sub-sub unit contoh untuk
permudaan, yakni 2 m x 2 m untuk tingkat semai, 5 m x 5 m untuk tingkat
pancang dan 10 m x 10 m untuk tingkat pohon, dapat dilihat pada Lampiran 3.
Kriteria tingkat permudaanyang digunakan adalah:
a. Pohon adalah pohon muda dan dewasa yang memiliki diameter ≥ 10 cm
b. Pancang adalah anakan pohon dengan diameter < 10 cm dan tinggi > 1,5 m.
c. Semai adalah anakan pohon mulai berkecambah sampai tinggunya ≤ 1,5 m.
Rumus-rumus yang digunakan dalam perhitungan analisis vegetasi dengan
metode garis berpetak adalah sebagai berikut:

Luas Petak Contoh (LPC)
=

2x2x3
8000

LPC pancang =

5x5x3
8000

LPC semai

LPC pohon =

10 x 10 x 3
8000

Universitas Sumatera Utara

21

Kerapatan Jenis
K=

∑ind
LPC

Keterangan :
K
= Kerapatan jenis dalam satuan Individu/Ha
LPC = Luas petak contoh
Kerapatan Relatif
Kr =

Ksuatu spesies
� 100 %
Ktotal seluruh spesies

Frekuensi
F=

∑sub petak ditemukan spesies
∑seluruh sub petak contoh

Frekuensi Relatif

Fr =

Fsuatu spesies
� 100 %
Ftotal seluruh spesies

Dominansi
D=
LBDS =

LBDS
LPC

1
xπxD
4

Keterangan :
D
= Dominansi dalam satuan m2/Ha
LBDS = Luas bidang dasar

Dominansi Relatif
Dr =

Dsuatu spesies
� 100 %
Dtotal seluruh spesies

Universitas Sumatera Utara

22

Indeks Nilai Penting
INP = KR + FR (Semai dan Pancang)
INP = KR + FR + DR (Pohon)
Keterangan:
INP = Indeks Nilai Penting
KR
= Kerapatan Relatif
FR
= Frekuensi Relatif
DR
= Dominasi Relatif

Indeks Keanekaragaman Mangrove
Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks keanekaragaman
mangrove setelah dilakukan metode transek adalah sebagai berikut:
s

ni
ni
H′ = − �[� � ln � �]
N
N
i=1

Keterangan:
H’
= Indeks keanekaragaman Shannon Wiener
Ni
= Jumlah individu jenis ke-i

= Jumlah
N
= Total jumlah individu seluruh jenis
ln
= Logaritma natural
Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan keanekaragaman
Shannon Wiener dalam Bengen (2000), yaitu:

H’ = < 1, Keanekaragaman tergolong rendah
H’ = 1-3, Keanekaragaman tergolong sedang
H’ = > 3, Keanekaragaman tergolong tinggi

Data Pendukung Kualitas Air
Suhu (° C)
Pengukuran suhu dilakukan secara langsung ke dalam air dengan
menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan ke dalam air selama kurang
lebih 5 menit dan kemudian dibaca skalanya.

Universitas Sumatera Utara

23

Derajat Keasaman (pH)
pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH
meter ke dalam sampel air yang diambil dari masing-masing kedalaman sampai
angka yang tertera pada alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter
tersebut.
Salinitas (‰)
Salinitas

diukur

dengan

menggunakan

refraktometer,

sebelumnya

dilakukan kalibrasi dengan menggunakan aquades. Pengukuran dilakukan dengan
cara memberikan beberapa tetes sampel air yang diambil dengan menggunakan
pipet tetes ke tempat yang telah disediakan yaitu di ujung alat refraktometer, lalu
baca angka yang tertera pada refraktometer.

Parameter Kualitas Air
Dalam penelitian ini terdapat beberapa parameter kualitas air yang diukur
seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian
No.

Parameter

Satuan

Alat

Lokasi

1.

Suhu

˚C

Thermometer

In situ

2.

pH

-

pH-Meter

In situ

3.

Salinitas



Refraktometer

In situ

Universitas Sumatera Utara

24

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Komposisi dan Struktur Vegetasi Mangrove
Hasil analisis data vegetasi mangrove diKawasan Ekosistem Mangrove
Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang yang disampling menggunakan metode
transek garis dengan beberapa plot berukuran 2x2 m, 5x5 m dan 10x10 m, pada 3
stasiun

yang

berbeda

sehingga

diperoleh

hasilkomposisi

dan

struktur

vegetasimangrove (jenis mangrove) pada masing-masing stasiun dengan total
hasil identifikasi jenis berjumlah 17 spesies mangrove, yang dapat dilihat pada
tabel 2.
Tabel 2. Komposisi dan Jenis Mangrove
No Nama Spesies Magrove
Stasiun I
+
1 Acrosticum aureum
+
2 Avicennia lanata
+
3 Avicennia marina
+
4 Avicennia officinalis
+
5 Bruguiera cylindrica
+
6 Bruguiera gymnorrhiza
+
7 Bruguiera sexangra
+
8 Excoecaria agallocha
9 Lumnitzera racemosa
10 Nypa fruticans
+
11 Rhizophora apiculata
12 Rhizophora mucronata
+
13 Rhizophora sylosa
+
14 Scyphiphora hydropyllacea
+
15 Sonneratia caseolaris
+
16 Xylocarpus granatum
+
17 Xylocarpus moluccensis
14
Total Spesies
Keterangan:

Stasiun II
+
+
+
+
+
+
+
+
+
9

Stasiun III
+
+
+
+
+
+
+
+
8

+ = Ada
- = Tidak Ada

Universitas Sumatera Utara

25

Data Vegetasi Mangrove
Stasiun I
Tabel 3. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Semai
No Spesies
∑ Ind
K
F
1 Acrosticum aureum
2
1333
0.3
2 Bruguiera sexangra
14
9333
0.6
3 Avicennia lanata
1
666
0.3
4 Excoecaria agallocha
2
1333
0.6
5 Scyphiphora hydropyllacea
1
666
0.3
Jumlah
20
13333
2.0

KR (%) FR (%)
10
14
70
29
5
14
10
29
5
14

Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada semai yang dapat
dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 1.01, sehingga
indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000) pada
tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong sedang.

Tabel 4. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pancang
No Spesies
∑ Ind
K
F
1 Avicennia lanata
2
213
0.3
2 Avicennia marina
4
427
0.7
3 Bruguiera cylindrica
2
213
0.7
4 Bruguiera gymnorrhiza
1
107
0.3
5 Bruguiera sexangra
6
640
0.3
6 Excoecaria agallocha
3
320
1.0
7 Rhizophora sylosa
1
107
0.3
8 Scyphiphora hydropyllacea
4
427
0.7
9 Xylocarpus granatum
2
213
0.7
Jumlah
25
2667
5.0

KR (%) FR (%)
8
7
16
13
8
13
4
7
24
7
12
20
4
7
16
13
8
13

Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada pancang yang
dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 2.05,
sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000)
pada tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong sedang.

Universitas Sumatera Utara

26

Tabel 5. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pohon
No Spesies
∑ Ind
K
F
KR (%) FR (%)
1 Avicennia lanata
5
133
0.7
22
14
2 Avicennia marina
2
53
0.7
9
14
3 Avicennia officinalis
1
27
0.3
4
7
4 Bruguiera sexangra
2
53
0.3
9
7
5 Excoecaria agallocha
4
107
1.0
17
21
6 Rhizophora apiculata
5
133
0.7
22
14
7 Sonneratia caseolaris
2
53
0.3
9
7
8 Xylocarpus granatum
1
27
0.3
4
7
9 Xylocarpus moluccensis
1
27
0.3
4
7
Jumlah
23
613
4.7

DR
25
8
6
7
16
22
9
4
5

Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada pohon yang dapat
dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 2.01, sehingga
indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000) pada
tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong sedang.

Stasiun II
Tabel 6. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Semai
No Spesies
∑ Ind
K
F
1 Avicennia lanata
1
666
0.3
2 Avicennia marina
1
666
0.3
3 Bruguiera cylindrica
1
666
0.3
4 Bruguiera sexangra
1
666
0.3
5 Nypa fruticans
3
2000
0.3
6 Rhizophora apiculata
1
666
0.3
Jumlah
8
5333
2.0

KR (%) FR (%)
13
17
13
17
13
17
13
17
38
17
13
17

Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada semai yang dapat
dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 1.67, sehingga
indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000) pada
tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong sedang.

Universitas Sumatera Utara

27

Tabel 7. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pancang
No Spesies
∑ Ind
K
F
1 Avicennia lanata
8
853
0.3
2 Avicennia marina
8
853
0.3
3 Bruguiera cylindrica
2
213
0.3
4 Bruguiera sexangra
8
853
0.3
5 Excoecaria agallocha
1
107
1.0
6 Rhizophora apiculata
6
640
0.6
7 Rhizophora mucronata
19
2027
0.3
Jumlah
52
5547
3.3

KR (%) FR (%)
15
10
15
10
4
10
15
10
2
30
12
20
37
10

Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada pancang yang
dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 1.68,
sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000)
pada tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong sedang.

Tabel 8. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pohon
KR (%) FR (%) DR (%)
No Spesies
∑ Ind
K
F
1 Avicennia lanata
5
133
0.6
42
29
35
2 Avicennia marina
2
53
0.6
17
29
20
3 Avicennia officinalis
1
27
0.3
8
14
14
4 Excoecaria agallocha
4
107
0.6
33
29
31
Jumlah
12
320
2.3
Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada pohon yang dapat
dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 1.24, sehingga
indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000) pada
tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong sedang.

Stasiun III
Tabel 9. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Semai
No Spesies
∑ Ind
K
F
1 Rhizophora apiculata
14
9333
0.3
2 Rhizophora mucronata
12
8000
0.3
Jumlah
26
17333
0.7

KR (%) FR (%)
54
50
46
50

Universitas Sumatera Utara

28

Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada semai yang dapat
dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 0.96, sehingga
indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000) pada
tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong rendah.

Tabel 10. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pancang
No Spesies
Jumlah
K
F
1 Avicennia lanata
7
747
0.3
2 Avicennia marina
3
320
0.3
3 Bruguiera sexangra
1
107
0.3
4 Excoecaria agallocha
1
107
0.3
5 Rhizophora apiculata
21
2240
0.7
6 Rhizophora mucronata
2
213
0.7
35
3733
2.7

KR (%) FR (%)
20
13
9
13
3
13
3
13
60
25
6
25

Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada pancang yang
dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 1.21,
sehingga indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000)
pada tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong sedang.

Tabel 11. Analisis Data Vegetasi Mangrove Tingkat Pohon
No Spesies
Jumlah K
F
KR (%) FR (%) DR (%)
1 Avicennia lanata
5
133
0.7
20
20
21
2 Avicennia marina
7
187
0.7
28
20
38
3 Lumnitzera racemosa
1
27
0.3
4
10
4
4 Rhizophora apiculata
6
160
0.7
24
20
18
5 Rhizophora mucronata
4
107
0.7
16
20
11
6 Rhizophora sylosa
2
53
0.3
8
10
8
25
667
3.3
Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman pada pohon yang dapat
dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh (H’) adalah sebesar 1.64, sehingga
indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) menurut (Bengen, 2000) pada
tingkat semai memiliki keanekaragaman tergolong sedang.

Universitas Sumatera Utara

29

Pola Sebaran Salinitas
Pengukuran salinitas dilakukan pada tiga titik (plot) pada masing-masing
stasiun pengamatan, sehingga di dapat sembilan titik sebaran salinitas. Hasil
pemetaan menggambarkan perbedaan lokasi transek dan lokasi penarikan garis
transek akan menghasilkan sebaran salinitas yang beragam sesuai dengan kondisi
dan keadaan saat pengukuran. Pada stasiun I terdapat keragaman sebaran salinitas
akan tetapi tidak terlalu jauh rangesnya, sementara pada stasiun II terdapat
keragaman sebaran salinitas yang cukup variatif dan memiliki ranges yang sedikit
jauh dibandingkan dengan stasiun I dan pada stasiun III tidak terdapat keragaman
sebaran salinitas, dikarenakan nilai hasil pengukuran salinitas pada stasiun ini
adalah bernilai sama. Hasil pemetaan salinitas di Kawasan Ekosistem Mangrove
Percut Sei Tuan dapat dilihat pada Gambar 4. dibawah ini.

Gambar 4. Peta Sebaran Salinitas di Kawasan Ekosistem Mangrove

Universitas Sumatera Utara

30

Parameter Kualitas Lingkungan
Parameter yang digunakan dalam penentuan kualitas air pada kawasan
ekosistem mangrove Percut Sei Tuan ini terdiri atas tiga (3) parameter, yang
meliputi pengukuran suhu, pH dan salinitas yang dapat dilihat pada Lampiran 2.
Hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Pengukuran Parameter Kualitas Lingkungan
Stasiun 1
Stasiun 2
No Parameter Satuan
P1
P2
P3
P1
P2 P3
28 27.5 28 28.5 30
29
⁰C
1 Suhu
9
8
8
8
8
8
2 pH
28
25
23
22
25
28

3 Salinitas

Stasiun 3
P1
P2
P3
31
28
29
8
8
8
26
26
26

Pengambilan Titi Salinitas
Pengambilan titik salinitas dilakukan untuk mendapatkan hasil dari pada
pola sebaran salinitas, dimana dengan titik-titik tersebut akan menggambarkan
sebaran salinitas di kawasan ekosistem mangrove Percut Sei Tuan. Titik dan nilai
salinitas dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Titik dan Nilai Salinitas
ID
X
1
98.77550
2
98.77842
3
98.77575
4
98.77564
5
98.77558
6
98.77508
7
98.77506
8
98.77514
9
98.77519
10
98.77503
11
98.77436
12
98.77461
13
98.77453
14
98.77486
15
98.775

Y
3.727306
3.727333
3.727528
3.727528
3.727083
3.727028
3.727194
3.727083
3.727111
3.726528
3.728861
3.728694
3.728611
3.7285
3.728694

Salinitas (‰)
25
25
26
25
26
30
31
30
29
29
25
24
29
23
25

Universitas Sumatera Utara

31

16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

98.77511
98.77406
98.77367
98.77369
98.77456
98.77511
98.77544
98.77506
98.77547
98.77428
98.77503
98.77489
98.77458
98.77456
98.77419

3.728556
3.728611
3.728722
3.729306
3.728944
3.731528
3.730583
3.730472
3.729833
3.730028
3.730806
3.731083
3.730694
3.730167
3.729722

29
28
28
27
25
26
28
30
29
30
29
30
28
29
29

Pembahasan
Berdasarkan hasil data transek yang dilakukan pada tiga stasiun, maka
diperoleh hasil kerapatan mangrove kategori pohon pada stasiun I adalah sebesar
613 ind/ha, pada stasiun II adalah sebesar 320 ind/ha dan pada stasiun III adalah
sebesar 667 ind/ha. Hasil ini menunjukkan bahwa kerapatan pada ketiga stasiun
tergolong jarang, hal ini menurut (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201
Tahun 2004) yang menyatakan bahwa kerapatan mangrove mulai dari
≤ 1000
dikategorikan dalam kriteria jarang. Maka dapat disimpulkan bahwa kondisi
mangrove pada ketiga stasiun tersebut termasuk dalam kategori rusak (jarang).
Berdasarkan pengamatan langsung ke lapangan yang telah dilakukan,
dapat dilihat bahwa banyaknya lahan mangrove yang dikonversi menjadi tambak
untuk kepentingan kehidupan masyarakat yang dapat dilihat pada Lampiran 2.
Kerusakan hutan mangrove yang semakin luas untuk dikonversi menjadi tambak
akan berdampak pada hilangnya biodiversitas dan sumberdaya lainnya serta
fungsi ekologi dari ekosistem mangrove. Selain itu, konversi lahan mangrove

Universitas Sumatera Utara

32

untuk pengembangan kegiatan perikanan tambak akan berdampak pada kondisi
ekonomi masyakarat disekitarnya. Noor dkk (1999) menyatakan bahwa sebagian
besar kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh kegiatan manusia akibat
penebangan liar dan juga mengkonversi lahan mangrove untuk pembukaan lahan
baru, hal ini menyebabkan fungsi dari hutan mangrove akan berkurang. Dampak
yang ditimbulkan antara lain berubahnya komposisi mangrove, erosi garis pantai,
mengancam regenerasi stok sumberdaya ikan diperairan lepas pantai yang
memerlukan hutan mangrove sebagai nursery ground, feeding ground dan
spawning ground. Selain itu Salam dan Rachman (1994) juga menyatakan bahwa
daerah mangrove berfungsi sebagai penyangga fisik yang kuat untuk melindungi
dan mengurangi terpaan angina, gelombang dan mencegah terjadinya abrasi
pantai. Disamping itu hutan mangrove dapat juga mencegah meluasnya
penyebaran sedimen dari daratan kearah laut, sehingga dapat mempertahankan
keutuhan ekosistem terumbu karang dan ekosistem lainnya yang ada di wilayah
pesisir.
Mangrove merupakan salah satu sumberdaya yang dapat dimanfaatkan
masyarakat di kawasan pesisir, mulai dari fungsi fisik, ekologi sampai fungsi
ekonomi yang dimiliki mangrove dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sehingga pemanfaatan secara besar-besaran pun dilakukan tanpa memikirkan
aspek ekologi nya, yang akan menyebabkan kerusakan ekosistem dan berdampak
negatif pada lingkungan. Menurut Sihombing (1995) yang menyatakan bahwa
masalah-masalah yang timbul dalam konservasi alam antara lain: masalah habitat
yang terdesak akibat bertambahnya penduduk yang mengakibatkan peningkatan
dalam pemanfaatan sumberdaya alam karena memerlukan lahan untuk

Universitas Sumatera Utara

33

dikonversikan demi memenuhi kebutuhan, serta kurangnya kesadaran masyarakat
tentang konservasi itu sendiri. Kegiatan konversi mangrove menjadi lahan
pertanian dan perikanan akan mengancam regenerasi stok ikan, udang, kepiting
dan biota lainnya yang memerlukan hutan mangrove sebagai nursery ground
berbagai jenis juvenile (larva) organisme.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan disekitar lokasi penelitian, banyak
sekali dijumpai lahan mangrove yang sudah dikonversi menjadi tambak budidaya
dengan menggunakan konsep dan cara yang baik agar tambak tidak terlihat secara
langsung, para pengusaha tambak membiarkan atau menyisahkan sedikit
mangrove untuk menutupi tambak agra tidak kelihatan oleh banyak orang.
Sehingga saat masyarakat melewati jalur muara sungai, yang dijumpai adalah
mangrove-mangrove yang masih ada disepanjang bantaran muara sungai tersebut.
Apabila hal ini terus terjadi penurunan luasan mangrove dan kerusakan ekosistem
mangrove akan semakin meningkat. Heroldson (2012) menyatakan bahwa
dampak dari kerusakan hutan mangrove akan menurunkan fungsi ekologis
mangrove, dimana fungsi terpenting hutan mangrove adalah sebagai peredam
gelombang air laut, pelindung pantai, penghasil sejumlah besar dentritus dan
daerah mencari makan serta daerah beraktivitasnya berbagai macam organisme
laut baik yang hidup diperairan pantai maupun lepas pantai. Kerusakan total hutan
mangrove dapat menimbulkan hilangnya sumber mata pencarian masyarakat yang
berada di sekitar kawasan hutan mangrove serta menyebabkan keseimbangan
ekosistem akan terganggu.
Dari hasil pengamatan langsung dilapangan dengan menggunakan metode
analisis vegetasi, di dapat hasil bahwa jenis mangrove yang dominan terdapat

Universitas Sumatera Utara

34

dibarisan depan mangrove yang mengarah langsung kearah laut adalah jenis
Rhizophora apiculata. Pada pengamatan ini stasiun yang didominasi oleh jenis
tersebut adalah stasiun III, dimana posisi stasiun tersebut sangat dekat kearah laut
sehingga dapat dikaitakan dengan perubahan zonasi yang terjadi di ekosistem
mangrove tersebut. Menurut Kusuma (1997) menyatakan bahwa hutan mangrove
dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu: zonasi yang
terdekat dengan laut, akan didominasi oleh Avicennia spp dan Sonneratia spp
yang tumbuh pada substrat lunak dengan kandungan organik yang tinggi.
Avicennia spp tumbuh pada substrat yang agak keras, sedangkan Avicennia alba
tumbuh pada substrat yang agak lunak. Berdasarkan hasil dan analisi tersebut,
maka dapat diduga terjadi perubahan pola zonasi jenis mangrove yang terdapat di
kawasan mangrove Percut Sei Tuan dikarenakan kondisi jenis yang mendominasi
di lokasi tersebut seharusnya adalah kelompok Avicennia spp dan Sonneratia spp,
hal ini dapat terjadi akibat konversi lahan mangrove dan pemanfaatan lahan secara
buruk tanpa memikirkan aspek ekologi dari kawasan tersebut.
Salinitas

berperan

penting

dalam

proses

fisiologi

yang

dapat

mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan mangrove, untuk itu dalam penelitian
ini membuat sebaran salinitas yang di dapatkan pada masing-masing plot dari tiap
stasiun yang menghasilkan tingkat sebaran salinitas yang berbeda. Pada stasiun I
didominasi oleh mangrove jenis Bruguiera sexangra dengan kisaran salinitas
sebesar 25 - 31 ‰, pada stasiun II didominasi oleh mangrove jenis Rhizophora
mucronata yang memiliki kisaran salinitas sebesar 23 – 29 ‰ dan pada stasiun III
didominasi oleh mangrove jenis Rhizophora apiculata dengan nilai salinitas
sebesar 26 - 30 ‰. Menurut Noor dkk (2006) yang menyatakan bahwa kondisi

Universitas Sumatera Utara

35

salinitas

sangat

mempengaruhi

komposisi

mangrove.

Berbagai

jenis

mangrovemengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa
diantaranya secaraselektif mampu menghindari penyerapan garam dari media
tumbuhnya, sementarabeberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam
dari kelenjar khusus padadaunnya.Avicennia merupakan marga yang memiliki
kemampuan toleransi terhadap kisaransalinitas yang luas dibandingkan dengan
marga lainnya. A. marina mampu tumbuhdengan baik pada salinitas yang
mendekati tawar sampai 90 o/oo. Pada salinitas ekstrim, pohon tumbuh kerdil dan
kemampuanmenghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia umumnya ditemui
hidup di daerahdengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut, kecuali S.
caseolaris yang tumbuhpada salinitas kurang dari 10 o/oo. Beberapa jenis lain juga
dapat tumbuh pada salinitastinggi seperti Aegiceras corniculatum pada salinitas
20 – 40 o/oo, Rhizopora mucronatadan R. Stylosa pada salinitas 55 o/oo, Ceriops
tagal salinitas 60 o/oo dankondisiekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan Lumnitzera
racemosa dapat tumbuh sampaisalinitas 90 o/oo.
Berdasarkan hasil pengukuran langsung ke lapangan, diperoleh bahwa
kadar salinitas pada setiap titik pengambilan sampel berfluktuasi relatif cukup
kecil, pada setiap titik didapat rata-rata nilai salinitas sebesar 27.6‰ untuk stasiun
I, sebesar 26.3 ‰ untuk stasiun II dan sebesar 28.8 ‰ untuk stasiun III. Menurut
Setyawan (2002) yang menyatakan bahwa salinitas kawasan mangrove sangat
bervariasi, berkisar antara 0.5 - 35 ‰, dengan demikian bahwa kadar salinitas
kawasan mangrove Percut Sei Tuan berada dalam kondisi ideal, hal ini
dikarenakan adanya masukan air tawar dari daratan sehingga percampuran air laut
dan air tawar saat pasang surut terjadi secara normal.

Universitas Sumatera Utara

36

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan terkait kondisi kerapatan, frekuensi
dan dominansi mangrove di Percut Sei Tuan tergolong jarang, hal ini menurut
(Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004) yang
menyatakan bahwa kerapatan mangrove mulai dari
≤ 1000 dikategorikan
dalam kriteria jarang, sedangkan nilai Indeks Keanekaragaman pohon
mangrove pada stasiun I, II dan III tergolong dalam kriteria sedang
dikarenakan menurut Bengen (2000) saat nilai H’ (indeks keanekaragaman)
bernilai H’= 1-3 maka keanekaragaman tergolong dalam kategori sedang.
2. Hasil sebaran salinitas pada masing-masing stasiun berfluktuasi relatif kecil
dimana pada stasiun I didapat nilai sebaran salinitas rata-rata sebesar 27.6‰,
pada stasiun II didapat nilai sebaran salinitas sebesar 26.3 ‰ dan pada stasiun
III di dapat nilai sebaran salinitas sebesar 28.8 ‰.
3. Jenis Mangrove yang mendominasi pada stasiun I adalah Bruguiera sexangra
dengan salinitas berkisar antara 25 - 31‰, pada stasiun II didominasi oleh
mangrove jenis Rhizophora mucronata dengan salinitas berkisar antara 23 29‰ dan pada stasiun III didominasi oleh mangrove jenis Rhizophora
apiculata dengan salinitas berkisar anatar 26 - 30‰.

Universitas Sumatera Utara

37

Saran
1. Diharapkan adanya pengamatan lanjutan mengenai hubungan kerapatan
mangrove dengan perubahan kualitas lingkungan yang mengakibatkan
perubahan garis pantai dan intrusi air laut kedaratan Percut Sei Tuan.
2. Diharapkan diadakannya monitoring mangrove setiap tahunnya agar dapat
diketahui keadaan perubahan luasan lahan mangrove yang terjadi dan
dilakukannya pengelolaan melalui rehabilitasi (penanaman kembali)
mangrove

untuk

mengembalikan

keseimbangan

ekologis

dan

meningkatkan nilai kerapatan serta luasan lahan mangrove di kawasan
Percut Sei Tuan.

Universitas Sumatera Utara

7

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang terdiri dari
gabungan komponen daratan dan komponen laut, dimana termasuk didalamnya
flora dan fauna yang hidup saling bergantung satu dengan yang lainnya.
Ekosistem mangrove dikenal sebagai hutan yang mampu hidup beradaptasi pada
lingkungan pesisir yang sangat ekstrim, tapi keberadaannnya rentan terhadap
perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan tersebut disebabkan adanya tekanan
ekologis yang berasal dari alam dan manusia. Bentuk tekanan ekologis yang
berasal dari manusia umumnya berkaitan dengan pemanfaatan mangrove seperti
konversi lahan menjadi pemukiman, pertambakan, pariwisata dan pencemaran
(Pratiwi, 2009).
Mangrove adalah salah satu di antara sedikitnya tumbuh-tumbuhan tanah
timbul yang tahan terhadap salinitas laut terbuka. Walaupun tidak sama dengan
istilah mangrove banyak orang atau penduduk awam menyebut mangrove sebagai
mangrove atau secara singkat disebut mangrove. Mangrove merupakan komunitas
vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon
(seperti Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,Lumnitzera,
Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa) yang mampu tumbuh
dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Huda, 2008).
Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri
khusus karena lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi
oleh salinitas serta fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut

Universitas Sumatera Utara

8

air laut. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forestcoastal woodland,
vloedbos dan hutan payau yang terletak di perbatasan antara darat dan laut,
tepatnya di daerah pantai dan di sekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh
pasang surut air laut. Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di
daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai)
yang tergenang waktu air laut pasang dan bebas dari genangan pada saat air laut
surut, yang komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam. Adapun ekosistem
mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme yang berinteraksi
dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove (Diana, 2011).
Ekosistem

mangrove

sangat

penting

artinya

dalam

pengelolaan

sumberdaya pesisir terutama pulau-pulau kecil. Mangrove berperan sebagai filter
untuk mengurangi efek yang merugikan dan perubahan lingkungan utama dan
sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota baru. Selain itu,
ekosistem ini juga berfungsi dalam mengolah limbah melalui penyerapan
kelebihan nitrat dan phospat sehingga dapat mencegah pencemaran dan
kontaminasi di perairan sekitarnya (Huda, 2008).
Ekosistem mangrove yang terjadi karena perpaduan antara habitat-habitat
yang bertentangan adalah unik. Untuk menghadapi lingkungan yang unik ini
jasad-jasad hidup yang hidup di lingkungan ini yang telah mengembangkan
kemampuan meneysuaikan diri dengan keadaan yang unik tersebut. Kemampuan
adaptasi ini dapat dilihat pada sejumlah mangrove yang termasuk ke dalam suku
yang berbeda. Mangrove juga hidup diah yang miskin zat asam, sedangkan zat
asam dari tanah diperlukan untuk respirasi akar. Sebagai penyesuaian hidup
anbaerobik, akar yang terkhususkan yang disebut akar nafas (pneumatophore)

Universitas Sumatera Utara

9

tumbuh dipermukaan tanah. Dalam lingkungan yang serba berat ini, sangat sulit
untuk tumuh-tumbuhan mangrove berkembang biak seperti tumbuh-tumbuhan
biasa. Suatu penyesuaian perkembangan biakan yang disebut viviparitas
(Romimohtarto dan Sri, 2001).
Hutan mangrove merupakan komunitas pantai tropis yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah
pasang surut baik pantai berlumpur atau berpasir Mangrove sebagai karaktersitik
formasi tanaman littoral tropis dan sub tropis di sekitar garis pantai yang
terlindung. Bakau untuk suatu komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi
oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak dengan kemampuan
untuk tumbuh di perairan asin. Mangrove juga didefinisikan sebagai ekosistem
hutan yang memiliki toleransi terhadap kadar garam pada daerah intertidal di
sepanjang garis pantai (Saefurahman, 2008).
Mangrove sangat peka terhadap pengendapan atau sedimentasi, tinggi ratarata

permukaan

air,

pencucian

serta

tumpahan

minyak.

Keadaan

ini

mengakibatkan penurunan kadar oksigen dengan capat untuk kebutuhan respirasi,
dan menyebabkan kematian mangrove. Perubahan faktor-faktor tersebut yang
mengontrol pola salinitas substrat dapat menyenankan perubahan komposisi
spesies; salinitas yang lebih dari 90 ppt mengakibatkan kematian biota dalam
jumlah besar. Perubahan salinitas dapat diakibatkan oleh perubahan siklus
hidrologi, aliran air tawar dan pencucian terus menerus seperti kegiatan
pengerukan, bendungan dan penyekatan (Dahuri, dkk., 2004).
Hutan

mangroveseringdianggap

berbedahampirmembutuhkandisiplin

yang

sebagaiekosistemyang
terpisahdariilmu.

Bahkan,

sangat
hutan

Universitas Sumatera Utara

10

mangrovehanyasalah satu dari banyakjenishutan di Sumateramemilikitertutup,
bahkankanopiterdiri darijenis pohonyangdidominasihijau. Kondisilingkungandi
manatumbuhadalahekstrim, namun, karenamereka tunduk padasalinitasairtanah
dangenangan

air.

Hutan

mangrovememiliki

berbagaipentingpedulilingkungandengantanah, satwa liar danperikanan, dantelah
dimanfaatkanoleh

manusiauntuk

manusiainimemiliki

berbagaiproduk

efekpentingpada

alami.

ekosistem.

Eksploitasioleh

Disumatra,

hutan

mangrovetelahmempelajari lebih darihampir semuaekosistemalam lainnya. setiap
provinsisumatramemiliki

beberapapantainya,

hanyadalamtelukterlindungsedikit

ataupintu

masuksungai

jika
ataudi

sekitar

pulaulepas pantaitetapidari1.470.000hahutan mangrovelebih dari 60% berada
diRiaudanSumatera

Selatan,

danini

di

manapenelitian

telahterkonsentrasi

(Whitten, dkk., 1987).

Fungsi Mangrove
Karakteristik habitat mangrove yakni; (1) umumnya tumbuh pada daerah
intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, atau berpasir, (2) daerah yang tergenang
air laut secara berkala baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat
pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi mangrove,
(3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, (4) terlindung dari
gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Cakupan sumberdaya
mangrove secara keseluruhan terdiri atas: (1) satu atau lebih spesies tumbuhan
yang hidupnya terbatas di habitat mangrove, (2) spesies-spesies tumbuhan yang
hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove,

Universitas Sumatera Utara

11

(3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak,
cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap,
sementara, sekali-kali, biasa ditemukan kebetulan maupun khusus hidup di habitat
mangrove, (4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan
ekosistem ini baik yang berada di daerah bervegetasi maupun diluarnya, dan (5)
daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya
dengan laut (Huda, 2008).
Tumbuhan mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimum
dalam kodisi dimana terjadi penggenangan dan sirkulasi air permukaan yang
menyebabkan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus menerus. Sirkulasi
yang tetap (terus menerus) meningkatkan pasokan oksigen dan nutrien, untuk
keperluan respirasi dan prosuksi yang dilakukan oleh tumbuhan. Perairan dengan
salinitas rendah akan menghilangkan garam-garam dan bahan-bahan alkalin,
mengingat air yang mengandung garam dapat menetralisir kemasaman tanah.
Mangrove dapat tumbuh pada barbagai macam substrat. Mangrove tumbuh pada
berbagai jenis substrat yang bergantung pada proses pertukaran air untuk
memelihara pertumbuhan mengrove (Dahuri, dkk., 2004).
Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai
yang datar. Biasanya di tempat yang tidak ada muara sungainya hutan mangrove
terdapat agak tipis, namun pada tempat yang mempunyai muara sungai besar dan
delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur dan pasir, mangrove
biasanya tumbuh meluas. Mangrove tidak tumbuh di pantai yang terjal dan
berombak besar dan arus pasang surut yang kuat karena hal ini tak memungkinkan
terjadinya pengendapan lumpur dan pasir, substrat yang diperlukan untuk

Universitas Sumatera Utara

12

pertumbuhannya. Karena berada di antar perbatasan antar darat dan laut maka
kawasan mangrove ini merupakan suatu ekosistem yang rumit dan mempunyai
kaitan baik dengan ekosistem darat maupun dengan ekosistem lepas pantai di
luarnya. Kawasan mangrove ini sering dianggap sebagai daerah yang tak
bermanfaat dan karenanya sering disalahgunakan. Namun sekarang makin banyak
orang menyadari betapa penting kawasan mangrove ini bukan saja sebagai
sumberdaya hutan tetapi juga peranannya menunjang sumberdaya perikanan di
perairan lepas pantai (Nontji, 1993).

Pola Penyebaran Mangrove
Mangrove dapat berkembang sendiri yakni tempat di mana tidak terdapat
gelombang, kondisi fisik pertama yang harus terdapat pada daerah mangrove ialah
gerakan air yang minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang
nyata. Gerakan air yang lambat dapat menyebabkan partikel sedimen yang halus
cenderung mengendap dan berkumpul di dasar (Huda, 2008).
Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi.
Menurut Hutching dan Saenger (1987) telah diketahui lebih dari 20 famili flora
mangrove dunia yang terdiri atas 30 genus dan lebih kurang 80 spesies.
Sedangkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia
adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis
perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Diana, 2011).
Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta
hektar atau 3,93 % dari seluruh luas hutan Indonesia. Areal hutan mangrove yang
luas antara lain terdapat di pesisir timur Sumatera, pesisir Kalimantan dan
pesisirselatan Irian Jaya. Hutan mangrove di Jawa telah banyak mengalami

Universitas Sumatera Utara

13

kerusakan atau hilang sama sekali karena ulah manusia. Tetapi di Irian Jaya
terdapat hutan Mnagrove yang sangat luas, 2.94 juta Ha, atau 69% dari semua
hutan mangrove Indonesia dan masih banyak hutan asli yang belum terganggu.
Mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi,
seluruhnya tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan, 35 jenis diantaranya berupa
pohon dan selebihnuya berupat terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis),
epifit (29 jenis), dan parasit (2 jenis). Beberapa contoh mangrove yang dapat
berupa pohon antara lain bakau (Rhizophora), api-api (Avicennia), pedada
(Sonneratia), tanjang (Bruguiera), nyirih (Xylocarpus), tengar (Ceriops), butabuta (Excoecaria) (Nontji, 1993).
Menurut Saefurahman (2008), salah satu zonasi hutan mangrove dapat
dilihat pada Gambar 2., yaitu:
a. Daerah yang paling dekat dengan laut dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp. Di zona ini biasa berasosiasi jenis Sonneratia
spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
b. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora
spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
c. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
d. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa
ditumbuhi oleh Nypa fruticans dan beberapa spesies palem lainnya.

Universitas Sumatera Utara

14

Gambar 2. Pola Penyebaran Mangrove (Sumber: Saefurrahman, 2008)
Hutan mangrove dapat dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi
air pasang, yaitu; zonasi terdekat dengan laut, akan didominasi oleh Avicennia
spp. dan Sonneratia spp., tumbuh pada lumpur lunak dengan kandungan organik
yang tinggi. Avicennia spp. tumbuh pada substrat yang agak keras, sedangkan A.
alba tumbuh pada substrat yang agak lunak; zonasi yang tumbuh pada tanah kuat
dan cukup keras serta dicapai oleh beberapa air pasang. Zonasi ini sedikit lebih
tinggi dan biasanya didominasi oleh B. cylindrica; ke arah daratan lagi, zonasi
yang didominasi oleh R. mucronata dan R. apiculata. Jenis R. mucronata lebih
banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam.
Pohon-pohon yang dapat tumbuh setinggi 35-40 m. Pohon lain yang juga terdapat
pada hutan ini mencakup B. parviflora dan X. granatum; hutan yang didominasi
oleh B. parvi