Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)
GAMBARAN POLA KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN
KONFLIK PADA WANITA INDONESIA YANG MENIKAH
DENGAN PRIA ASING (BARAT)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
SABETHIA MARISTHELLA CESSY SIHOMBING
081301109
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GANJIL, 2012/2013
(2)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 21 Desember 2012
Sabethia Maristhella Cessy Sihombing NIM 081301109
(3)
Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)
Sabethia Sihombing dan Elvi Andriani Yusuf
ABSTRAK
Komunikasi merupakan cara yang tepat guna mengatasi konflik yang timbul antar pasangan, terutama pasangan beda bangsa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola komunikasi dalam penyelesaian konflik pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (barat). Adapun pola
komunikasi yang dianalisa meliputi 4 pola dari DeVito (1997) yaitu Equality
Pattern(terjadi kesetaraan dalam berkomunikasi antar pasangan), Balance Split
Pattern(hubungan sejajar tetapi masing-masing pihak memiliki otoritas yang
berbeda)¸ Unbalanced Split Pattern(salah satu pihak yang memimpin dan pihak
yang lain berpegang pada pemimpin), Monopoly Pattern(salah satu pihak
memonopoli komunikasi).
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi terhadap 2 orang responden. Responden I menikah dengan pria Inggris selama 2 tahun dan responden II menikah dengan pria Amerika selama 11 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beragam konflik yang dialami oleh responden I dan II dikarenakan banyaknya perbedaan antar pasangan. Dari hasil didapat, responden I dan II menggunakan pola komunikasi yang berbeda-beda dalam mengatasi konflik-konflik yang muncul. Responden I lebih menggunakan
pola komunikasi Equalitty Pattern dan Balance Split Pattern, sedangkan
responden II lebih menggunakan pola komunikasi Equality Pattern¸ Balance Split
Pattern, dan Unbalanced Split Pattern. Walaupun responden I dan II
menggunakan beberapa pola komunikasi yang tidak ideal dalam penyelesaian konfliknya,tetapi didapat bahwa konflik mereka tetap terselesaikan.
Kata kunci: pola komunikasi, konflik pernikahan, wanita Indonesia, menikah
(4)
The Description of Communication Patternin Conflict Resolution on Indonesian Women Who Are Married to Foreigners (Westerners)
Sabethia Sihombing and Elvi Andriani Yusuf
ABSTRACT
Communication is the proper way to resolve the conflicts that arise between couples, particularly couples of different nationalities. This study aims to explore about the description of communication pattern in conflict resolution on Indonesian women who are married to foreigners (westerners). There are four communication pattern from DeVito (1997) analyzed : Equality Pattern (equality in communication between couples), Balance Split Pattern (parallel relations yet each partner has a different authority), Unbalanced Split Pattern (one as the leader and the other depends on the leader), Monopoly Pattern (one partner dominates the communication).
This research was qualitative method involving indepth interviews and observation at the two subjects. Respondents I has been married a England gentleman for 2 years and respondent II has been married to American gentleman for 11 month.
The results showed that a variety of conflicts experienced by respondents I and II because of the many differences between the couple. From the results obtained, respondents I and II use different communication patterns in addressing conflicts that appear. Respondents I leans more to using Equality Pattern and Balance Split Pattern, while respondents II leans more to using Equality Pattern, Balance Split Pattern, and Unbalanced Split Pattern.Although respondents I and II use some communication pattern that is not ideal in the settlement of the conflict, but it was obtained that their conflict remains intractable.
Keywords: communication pattern, marriage conflict, Indonesian women,
(5)
KATA PENGANTAR
Segala puji, hormat, dan syukur penulis panjatkan bagi Tuhan Yesus Kristus atas limpahan karunia dan kekuatan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan judul : Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat).
Rasa syukur tidak henti-hentinya penulis panjatkan karena kasih-Nya yang begitu besar telah menghadirkan orang-orang terkasih untuk memberikan bimbingan, dukungan, serta kasih sayang sehingga menjadi berkat bagi penulis, yaitu :
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara
2. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Si, psikolog, selaku dosen pembimbing utama
yang selalu mengarahkan, membimbing, dan memberikan semangat kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Siti Zahreni, M.Si, psi., selaku dosen pembimbing akademik yang
bersedia meluangkan waktunya untuk selalu membimbing saya, memberikan masukan, nasihat, dan semangat selama masa perkuliahan.
4. Seluruh staff pengajar Fakultas Psikologi yang telah memberikan segala
(6)
pegawai Fakultas Psikologi yang telah membantu penulis baik selama masa perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi.
5. Kedua orangtuaku “terima kasih super dad dan super mom” atas
dukungan serta doa untukku selama ini, dan terima kasih atas segala
pengertian dan kesabarannya selama ini, serta bantuannya “I love you
more and more my super dad and super mom”
6. Kakak-kakak dan abang tersayang Juli Anna Inggrid Maulisa Imelda
Sihombing, S.Si., Shelly Jocelyn Sihombing, S.P., dr. Ryki Sihombing, terima kasih atas semua dukungan, doa, nasihat dan semangat yang tidak ada hentinya untukku dan tidak lupa selalu bertanya “kapan sidang skripsi stella? kapan wisudanya?”
7. Abang-abang iparku tersayang Cipto Hosari P. Nababan, SH.MH., Palti
Unedo Silitonga, S.TP, MM., terima kasih atas setiap doa, dan dukungan serta penghiburannya selama ini.
8. Ucapan terima kasih terkhusus buat Alm. Amangboru Romulus
Simanjuntak dan Namboru Heddy Sihombing, atas bantuan serta
dukungan guna penyelesaian skripsi ini “amangboru namboru love you
more”
9. Sahabat-sahabat terbaikku, anak-anak UDIQ tersayang, Elka Putri, S.Psi., Puti Nilam Suri, S.Psi., Regina Ophelia, Vivi Fransiska, Anastasia Purba, dan Dinda Hasni, S.Psi., yang selalu membantu, memberi dukungan, semangat, selama pengerjaan skripsi ini, serta selalu memberikan
(7)
kebahagiaan dan keceriaan selama melalui masa kuliah bersama “I love
you so much girls”
10. Sahabat-sahabat tercintaku, Triyana Puji Astuti, Okky Tiffany, dan Ester Panjaitan, yang selalu memberikan semangat, serta selalu memberikan penghiburan dengan selalu mengajak jalan-jalan disaat ada waktu luang
“makasih sayangku”
11. Kakak senior paling baik, Indah Sebayang, yang selalu memberikan
masukan, pengertian, pembelajaran, serta semangat dalam pengerjaan dan penyusunan skripsi ini sampai selesai “makasih ya kakak ku…”
12. Semua saudara-saudarku yang tidak bisa disebutkan satu-satu, terima
kasih atas pertanyaan yang tidak henti-hentinya ditanyakan yaitu “kapan wisuda?” yang membuat saya merasa termotivasi untuk cepat menyelesaikan skripsi ini.
13. Teman seperjuangan skripsi yang saling menguatkan dan memberi
semangat serta doa, Calvina, Titien, Heny, Della Oktavia, Rica Amelia, Nadrah husnah, dan Beby Haryati. Terima kasih karena selalu memberi masukan dan saran yang bermanfaat untuk penelitian ini.
14. Teman-teman angkatan 2008 yang tidak pernah akan saya lupakan, terima
kasih karena kita semua selalu saling menyemangati satu sama lain, serta segala keceriaan dan pertemanan yang telah terjalin selama ini “miss you
(8)
15. Kedua responden penelitian saya yang mau meluangkan waktu serta mau membagi pengalaman kepada penulis sehingga menambah pengetahuan dan pemahaman penulis.
16. Segenap pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannya selama ini hingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna dan memiliki kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat terbuka terhadap masukan, kritikan, serta saran yang membangun, yang dapat digunakan untuk perbaikan skripsi ini di kemudian hari. Akhir kata penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya
Medan, 21 Desember 2012 Penyusun
(9)
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK
KATA PENGANTAR ………... i
DAFTAR ISI ……….. v
DAFTAR TABEL ……….. viii
DAFTAR GAMBAR ………. ix
DAFTAR LAMPIRAN ……….. x
BAB I PENDAHULUAN ……… 1
I.A Latar Belakang ……….. 1
I.B Perumusan Masalah ………. 11
I.C Tujuan Penelitian ……….. 11
I.D Manfaat Penelitian ……… 11
I.E Sistematika Penulisan ……….. 12
BAB II LANDASAN TEORI ……… 14
II.A Komunikasi ……….. 14
II.A.1 Pola Komunikasi …..………. 14
II.A.2 Pola Komunikasi Keluarga ………... 14
II.A.3 Definisi Komunikasi ………... 19
II.A.4 Komunikasi Efektif………... 20
II.A.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi… 21 II.B Pernikahan Antar Bangsa ……… 22
(10)
II.B.2 Permasalahan Pernikahan Antar Bangsa ………. 23
II.C Konflik dalam Pernikahan……….. 27
II.C.1 Konflik Interpersonal ………... 27
II.C.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konflik Interpersonal ………. 27
II.D Dewasa Awal ……… 28
II.E.1 Definisi Dewasa Awal ……….. 28
II.E.2 Tugas-tugas Perkembangan Dewasa Awal ……. 29
II.E Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Pada Wanita Indonesia yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat) ………... 29
BAB III METODE PENELITIAN ………. 34
III.A Metode Penelitian Kualitatif ……… 34
III.B Responden Penelitian ……….. 36
III.B.1 Karakteristik Responden Penelitian ……… 36
III.B.2 Jumlah Responden Penelitian ……….. 36
III.B.3 Prosedur Pengambilan Responden Penelitian …. 37 III.B.4 Lokasi Penelitian ………... 37
III.C Metode Pengumpulan Data ………. 38
III.D Alat Bantu Pengumpulan Data ……… 39
III.E Kredibilitas Penelitian ………...………….. 41
III.F Prosedur Penelitian ………...…….…….. 52
III.F.1 Tahap Persiapan Penelitian ………..……….….. 43
III.F.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian …….………..….. 45
(11)
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ……….. 53
IV.A Responden I ………. 53
IV.A.1 Identitas Diri ………. 53
IV.A.2 Jadwal Pelaksanaan Wawancara ……….. 54
IV.A.3 Gambaran Umum Responden I ………... 54
IV.A.4 Data Observasi Selama Wawancara ………. 56
IV.A.5 Analisa Data Wawancara ……….. 60
IV.B Responden II ……… 95
IV.B.1 Identitas Diri ……….. 95
IV.B.2 Jadwal Pelaksanaan Wawancara ………... 95
IV.B.3 Gambaran Umum Responden II ……….. 95
IV.B.4 Data Observasi Selama Wawancara ………. 98
IV.B.5 Analisa Data Wawancara ……….. 102
IV.C Pembahasan ……….. 142
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 158
V.A Kesimpulan ……….. 158
V.B Saran ………. 160
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Gambaran Umum Responden I ………... 53
Tabel 2 Jadwal Wawancara Responden I ………. 54
Tabel 3 Interpretasi Responden I ……….. 86
Tabel 4 Gambaran Umum Responden II ……….. 95
Tabel 5 Jadwal Wawancara Responden II ……… 95
Tabel 6 Intrpretasi Responden II……….. 132
Tabel 7 Rekapitulasi Pola Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik Antar Responden ……… 149
(13)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Paradigma berpikir ……….. 33
Gambar 2 Gambara Pola Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik pada Responden I ………. 93
Gambar 3 Gambaran Pola Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik pada Responden II ……… 140
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pedoman Wawancara
Lampiran 2 Pedoman Observasi
(15)
Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)
Sabethia Sihombing dan Elvi Andriani Yusuf
ABSTRAK
Komunikasi merupakan cara yang tepat guna mengatasi konflik yang timbul antar pasangan, terutama pasangan beda bangsa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola komunikasi dalam penyelesaian konflik pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (barat). Adapun pola
komunikasi yang dianalisa meliputi 4 pola dari DeVito (1997) yaitu Equality
Pattern(terjadi kesetaraan dalam berkomunikasi antar pasangan), Balance Split
Pattern(hubungan sejajar tetapi masing-masing pihak memiliki otoritas yang
berbeda)¸ Unbalanced Split Pattern(salah satu pihak yang memimpin dan pihak
yang lain berpegang pada pemimpin), Monopoly Pattern(salah satu pihak
memonopoli komunikasi).
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi terhadap 2 orang responden. Responden I menikah dengan pria Inggris selama 2 tahun dan responden II menikah dengan pria Amerika selama 11 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beragam konflik yang dialami oleh responden I dan II dikarenakan banyaknya perbedaan antar pasangan. Dari hasil didapat, responden I dan II menggunakan pola komunikasi yang berbeda-beda dalam mengatasi konflik-konflik yang muncul. Responden I lebih menggunakan
pola komunikasi Equalitty Pattern dan Balance Split Pattern, sedangkan
responden II lebih menggunakan pola komunikasi Equality Pattern¸ Balance Split
Pattern, dan Unbalanced Split Pattern. Walaupun responden I dan II
menggunakan beberapa pola komunikasi yang tidak ideal dalam penyelesaian konfliknya,tetapi didapat bahwa konflik mereka tetap terselesaikan.
Kata kunci: pola komunikasi, konflik pernikahan, wanita Indonesia, menikah
(16)
The Description of Communication Patternin Conflict Resolution on Indonesian Women Who Are Married to Foreigners (Westerners)
Sabethia Sihombing and Elvi Andriani Yusuf
ABSTRACT
Communication is the proper way to resolve the conflicts that arise between couples, particularly couples of different nationalities. This study aims to explore about the description of communication pattern in conflict resolution on Indonesian women who are married to foreigners (westerners). There are four communication pattern from DeVito (1997) analyzed : Equality Pattern (equality in communication between couples), Balance Split Pattern (parallel relations yet each partner has a different authority), Unbalanced Split Pattern (one as the leader and the other depends on the leader), Monopoly Pattern (one partner dominates the communication).
This research was qualitative method involving indepth interviews and observation at the two subjects. Respondents I has been married a England gentleman for 2 years and respondent II has been married to American gentleman for 11 month.
The results showed that a variety of conflicts experienced by respondents I and II because of the many differences between the couple. From the results obtained, respondents I and II use different communication patterns in addressing conflicts that appear. Respondents I leans more to using Equality Pattern and Balance Split Pattern, while respondents II leans more to using Equality Pattern, Balance Split Pattern, and Unbalanced Split Pattern.Although respondents I and II use some communication pattern that is not ideal in the settlement of the conflict, but it was obtained that their conflict remains intractable.
Keywords: communication pattern, marriage conflict, Indonesian women,
(17)
BAB I
PENDAHULUAN
I. A LATAR BELAKANG
Manusia disebut sebagai mahluk sosial, karena setiap manusia saling membutuhkan satu sama lain. Sepanjang hidupnya manusia mempunyai tugas-tugas perkembangan yang berbeda pada masing-masing masa. Diantara masa-masa tersebut ada masa-masa yang disebut masa-masa dewasa awal yang mana merupakan masa yang paling lama dialami oleh seorang manusia dalam rentang kehidupannya (Hurlock, 2000). Pada masa ini, individu memiliki tugas perkembangan untuk mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan mengarahkan individu tersebut untuk melangsungkan ikatan pernikahan (Havighurst dalam Hurlock, 2000).
Pernikahan adalah penyatuan suami dan istri yang disetujui secara sosial dan melibatkan serangkaian peran dan tanggung jawab sebagai pasangan suami istri yang telah menikah (Duvall dan Miller, 1985). Pernikahan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa dan pada beberapa kelompok masyarakat, pernikahan dianggap sebagai alat agar seseorang mendapat status yang lebih diakui di tengah kelompoknya (Koentjaraningrat, 1994).
Secara umum, sebelum memasuki lembaga pernikahan yang sesungguhnya seseorang individu akan melakukan proses pemilihan pasangan sebagai langkah awal. Memilih pasangan merupakan salah satu keputusan terpenting yang akan dibuat oleh setiap individu sepanjang hidupnya (Degenova, 2008)
(18)
Sears et al (1992) mengatakan dalam hal pemilihan pasangan alasan seseorang untuk melangkah ke jenjang pernikahan biasanya cenderung untuk memilih pasangan yang mempunyai kesamaan antara dia dan pasangan, baik kesamaan dalam agama, hobi, sifat, bahasa, pola berpikir bahkan adat istiadat. Hal
ini disebut sebagai prinsip kesesuaian (matching principle). Namun,
perkembangan teknologi saat ini memungkinkan seseorang untuk berinteraksi walau dengan jarak yang cukup jauh, bahkan lebih dari sekedar interaksi yang biasa, tetapi juga dapat memungkinkan terjadinya pernikahan campur (Yoshida, 2008).
Pernikahan campur (intercultural marriage) dilatar belakangi dengan berbagai perbedaan, salah satunya adalah perbedaan kebangsaan (Yoshida, 2008). Pernikahan yang berasal dari latar belakang budaya dan bangsa yang berbeda dikategorikan sebagai pernikahan antar bangsa (Maretzki dalam Tseng, 1977). Saat ini pernikahan antar bangsa sudah menjadi fenomena yang terjadi pada masyarakat modern dan merupakan dampak dari semakin berkembangnya sistem komunikasi yang memungkinkan individu untuk mengenal dunia dan budaya lain (McDemott & Maretzki, 1977).
Berdasarkan catatan dari organisasi yang mengatasi permasalahan pernikahan antar bangsa, yaitu Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) pada tahun 2009, menyebutkan bahwa pada saat ini terdapat lebih dari 4200 wanita di Indonesia yang menikah dengan laki-laki asing. Data ini diyakini terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, meskipun data terakhir masih belum dipublikasikan.
(19)
Data-data tersebut menunjukkan bahwa wanita Indonesia memiliki minat yang tinggi untuk menikah dengan pria asing.
Secara umum, kebanyakan orang dulunya melihat pernikahan antar bangsa cenderung negatif, tidak dapat diterima ataupun tidak normal. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Mills & Daly (1995) menyimpulkan bahwa baik pria maupun wanita memandang negatif pada hubungan antar-ras. Hal ini terjadi karena baik pria maupun wanita tidak memiliki keberanian dan keoptimisan dalam menghadapi kesulitan yang nantinya akan mereka hadapi atas perbedaan budaya, bahasa, serta kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat kedua negara (Mills & Dally, 1995).
Dewi Minangsari (dalam Konselor Keluarga, 2011) mengatakan bahwa
mereka yang melakukan pernikahan antar bangsa, harus siap mengalami culture
shock akibat dari menetap di negara asing mengikuti pasangan, atau
menyesuaikan diri dengan kebiasaan atau budaya pasangan. Adler (1975)
mendefinisikan culture shock sebagai rangkaian reaksi emosional yang
diakibatkan dari hilangnya reinforcement yang selama ini diperoleh dari kulturnya yang lama, diganti dengan stimulus dari kultur baru yang terasa tidak memiliki arti dan, karena adanya kesalahpahaman pada pengalaman yang baru dan berbeda. Keadaan ini dapat dipahami karena, pernikahan antar bangsa tidak akan terlepas dari perbedaan budaya; dan dengan latar belakang kebangsaan dan budaya yang berbeda, biasanya akan menghasilkan pandangan yang berbeda pula, sehingga cenderung lebih berpotensi menimbulkan konflik. Situasi ini cukup penting karena perbedaan budaya sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Hal
(20)
ini terlihat dari hasil wawancara yang peneliti dapatkan dari surat kabar online (Koran SI, 2010) dimana EH (wanita, 35 tahun) pada tanggal 16 Agustus 2010, menunjukkan bahwa terdapat banyak konflik yang timbul dalam pernikahan antar bangsa :
“sekitar dua tahun pernikahan saya, saya mengakui bahwa cukup sering terjadi perdebatan karena masalah sepele, seperti misalnya masalah masakan. Bukan hanya itu saja, bahkan mengenai waktu berkunjung dalam keluarga pun menjadi perdebatan kita di awal pernikahan…”
NSA (Pelancaran Komunikasi Pernikahan Campuran, 18 Agustus 2010)
Berdasarkan kutipan wawancara tersebut terlihat bahwa, pada saat wanita menikah dengan pria asing khususnya pria barat, tentunya masing-masing mereka akan membawa nilai-nilai, sikap, keyakinan, dan gaya penyesuaian sendiri-sendiri ke dalam pernikahan tersebut. Sesuai dengan itu Roland (1996) menyatakan ada banyak perbedaan yang dapat menyebabkan munculnya masalah di dalam pernikahan antar bangsa, yaitu adanya perbedaan konsep di dalam pernikahan, adanya perbedaan dalam berekspresi, perbedaan sistem nilai, dan perbedaan dalam penggunaan bahasa. Selain itu, di dalam sebuah pernikahan beda bangsa, yang juga sering menjadi masalah adalah perbedaan dalam hal pola asuh. Dimana budaya Asia khusunya Indonesia, anak dibesarkan tidak hanya dari orang tua, namun orang yang tinggal bersama seperti nenek dan kakek yang berkontribusi dalam pengasuhan, sedangkan pada budaya barat, anak diajarkan untuk menjadi mandiri sejak usia dini (Hofstede, 2005). Hal ini dapat terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan WM (wanita, 35 tahun) pada tanggal 23 April 2012, yang menunjukkan adanya perbedaan pola asuh pada budaya kolektif-individual:
(21)
“Perbedaannya sama kita Indonesia, kita lagi makan ya kan, kita suapin ke anak kita dari piring kita kan gitu nggak masalah, jadi anak kita pingin nyobain punya mama punya papa… kalo sama dia itu nggak boleh… anak kecil itu selalu harus uda mandiri, umur dua tahun tiga tahun itu uda harus mandiri dia itu, pokoknya semuanya sendiri gitu.”
(Komunikasi Interpersonal, 23 April 2012)
Berdasarkan kutipan wawancara tersebut terlihat bahwa pola asuh anak pada pernikahan antar bangsa berbeda dikarenakan adanya perbedaan budaya yang dianut oleh masing-masing pasangan, sehingga pada akhirnya hal tersebut dapat menimbulkan konflik di dalam kehidupan rumah tangga. Selain konflik yang disebabkan perbedaan dalam pola asuh anak, wanita yang menikah dengan pria asing (barat) juga mengalami konflik yang disebabkan oleh perbedaan bahasa yang digunakan. Perbedaan bahasa terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan JH (wanita, 32 tahun) yang sudah menikah selama 2 tahun dengan pria berkebangsaan Inggris yang menunjukkan adanya konflik dikarenakan perbedaan bahasa yang menyebabkan kesalahpahaman dengan suami :
“ada jugalah pasti dek...kadang karna masalah ini juga muncul pertengkaran kakak sama dia, hanya karna salah paham dengan apa yang kakak maksud dengan apa yang dia tanggepin…”
(Komunikasi Interpersonal, 26 July 2012)
Konflik lain yang dirasakan adalah dalam hal perbedaan nilai. Hal ini terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan DC (wanita, 29 tahun) yang sudah menikah selama 9 bulan dengan pria berkebangsaan Amerika yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan nilai dalam hal kebiasaan mengelola keuangan :
“.. kalo budaya kita lebih banyak mempercayai masalah keuangan kepada istri, kalo dia tidak.. dia memegang sendiri kendali keuangan.. tetapi apa yang saya butuhkan tetap dia penuhi, gitu gitu... jadi dia yang mengelola keuangan.. yaa pokoknya kalo mau beli ini atau belanja ya tinggal mintak
(22)
uangnya, misalnya beberapa bulan yang kamu butuhkan dia beri, nafkahi saya.. tapi kalo semua keuangan dari gaji dia gak pernah memberikan kepada saya full, karna dia yang megang, tapi tetap diketahui oleh saya.. karna dulu waktu menikah, konsep saya lebih ikut budaya timur karna orang tua saya seperti itu, ya yang namanya nafkah harus ke istri.. tapi kalo konsep dia, dia bilang ternyata bapaknya yang mengelola keuangan.. pas awal-awal menikah sih saya shock ya karna dia yang harus mengelola keuangan, sempat marah dan sebel juga..”
(Komunikasi Interpersonal, 09 Oktober 2012)
Berdasarkan kutipan wawancara diatas menunjukkan bahwa konflik yang terjadi pada pasangan suami-istri yang berbeda bangsa disebabkan oleh banyak hal. Bahkan masalah yang seharusnya tidak diributkan bisa menjadi persoalan besar yang tak kunjung selesai. Liliwery (2001) menyatakan bahwa konflik yang terjadi antar pasangan suami-istri biasa disebut sebagai konflik interpersonal, dimana konflik interpersonal merupakan konflik yang ditimbulkan oleh persepsi terhadap perilaku yang sama, namun bersumber dari harapan-harapan yang berbeda-beda. Konflik interpersonal selalu terjadi hanya karena mereka yang terlibat dalam komunikasi menampilkan persepsi yang berbeda (Liliwery, 2001).
Perbedaan persepsi merupakan hal yang wajar terjadi di dalam kehidupan pernikahan, karena setiap pasangan memiliki pandangan sendiri terhadap suatu masalah. Karena itulah dalam kehidupan pernikahan, konflik merupakan hal yang tidak bisa dihindari, karena terjadi penyatuan dua pribadi yang unik yang membawa sistem keyakinan masing-masing berdasarkan latar belakang kebangsaan atau kebudayaan serta pengalaman yang berbeda-beda.
Pasangan yang melakukan pernikahan antar bangsa, tidaklah semua didominasi oleh konflik dan juga berbagai kesulitan. Pernyataan tersebut sesuai
(23)
Inggris (suami) dan Indonesia (istri), yang menyebutkan bahwa kendala yang dihadapi pada pasangan pernikahan antar bangsa umumnya adalah kendala dalam pola komunikasi, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural. Perbedaan tersebut nyata terlihat, sehingga mereka berusaha saling mendukung dan saling percaya jika ada masalah yang terjadi di antara mereka, sehingga perbedaan tersebut tidak akan memunculkan konflik. Sama halnya dengan penelitian oleh Nabeshima (2007) dimana dia pernah meneliti 20 pasangan yang menikah antar-bangsa, khususnya laki-lakinya berkebangsaan Amerika dan wanita berkebangsaan Jepang yang banyak ditemui sejak Perang Dunia II; hasil penelitian Nabeshima menunjukkan bahwa dalam kasus pasangan antar-bangsa Amerika-Jepang, 80% justru memiliki keakraban yang lebih intens, kerjasama dan saling pengertian yang lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pola komunikasi yang harmonis lebih terjalin erat di antara mereka dengan adanya saling mendukung, saling berkomunikasi dengan lebih intim baik verbal maupun non verbal.
Berdasarkan hasil penelitian para ahli di atas, di dapat bahwa komunikasi diperlukan dalam penyelesaian masalah yang ada, dengan memilih pola komunikasi yang tepat untuk digunakan. Hal ini dapat terlihat dari hasil wawancara yang peneliti dapatkan dari surat kabar online (Bisnis Indonesia, 2011) dimana TI (wanita, 32 tahun) pada tanggal 15 Desember 2011, yang menunjukkan bahwa dengan pola komunikasi yang tepat dapat menyelesaikan konflik :
“ya kalo saya merasa perbedaan itu yang menjadi bumbu pemanis dalam rumah tangga, supaya gak monoton. Tapi ya harus tetep pintar-pintar
(24)
menerapkan pola komunikasi yang jujur dan juga terbuka sama suami kita,
trus bersikap konstruktif lah dalam menghadapi masalah di dalam rumah
tangga yang beda bangsa seperti saya.. mau itu masalah kecil atau besar..
kan kalo perbedaan itu bisa dikomunikasikan secara terbuka, trus jujur serta masih dapat dicari kesepakatan, tentunya kan konflik yang muncul dapat ditekan..”
Saleh dan Nugrahani (Kokoh dalam Perbedaan, 18 Desember 2011) Berdasarkan kutipan wawancara tersebut terlihat bahwa pola komunikasi merupakan hal penting dalam pernikahan antar bangsa dimana menuntut saling pengertian antar pasangan. Komunikasi yang baik merupakan hal penting dalam mencapai kesuksesan suatu pernikahan, dan juga menghasilkan dampak psikologis yang baik bagi pasangan pernikahan. Hal tersebut terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan JH (wanita, 32 tahun) yang menikah dengan pria berkebangsaan Inggris, yang menunjukkan bahwa jalinan komunikasi yang terjadi dengan baik dapat mengurangi kekhawatiran dalam diri responden :
“kakak sih ngerasa selama jalinan komunikasi antara kakak dan dia tetep baik dan terus dek, kakak ngerasa tenang aja gitu ya.. kakak ngerasa semua yang kakak khawatirkan jadi hilang.. beda halnya kalo kami misalnya udah berantem gitu kan, trus entah diem-dieman gitu, kakak ngerasa keknya banyak beban yang dipikirkan gitu.. stress aja gitu..”
(Komunikasi Interpersonal, 26 July 2012) Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa dan budaya yang berbeda, menghasilkan pola komunikasi yang berbeda juga. Budaya Asia khusunya Indonesia, umumnya memiliki jenis komunikasi High Context communication, di mana apa yang diucapkan belum tentu sama dengan maksud yang sebenarnya.
Sementara budaya di negara-negara Barat lebih ke arah Low Context
communication, yaitu mengemukakan apa yang ingin disampaikan secara tegas
(25)
Perbedaan pola komunikasi di atas jelas terjadi, dan jika tidak ada saling
pengertian antar pasangan, hal tersebut seringkali dapat memunculkan
miss-communication, dan akibat terburuknya adalah muncul konflik antara kedua pihak
(Degenova, 2008). Pada awalnya, pria dan wanita memang sudah memiliki perbedaan dalam hal berkomunikasi, dimana pria pada umumnya berkomunikasi lebih serius dan hanya membicarakan hal-hal yang perlu diselesaikan, sedangkan wanita pada umumnya berkomunikasi guna mengekspresikan dirinya dan guna mengungkapkan semua masalah yang ada dipikirannya (Kusuma, 2009 dalam Perbedaan Cara Berkomunikasi Pria dan Wanita). Dari perbedaan tersebut terlihat jelas bahwa pria dan wanita memiliki gaya berkomunikasi yang bertolak belakang satu sama lain, sehingga pasangan yang menikah, khususnya yang melakukan pernikahan antar bangsa membutuhkan pola komunikasi guna mengurangi konflik yang muncul antar pasangan.
Degenova (2008), berpendapat bahwa pola komunikasi efektif merupakan satu syarat yang paling penting dalam hubungan intim. Dimana pola komunikasi dikatakan efektif apabila pasangan yang intim memiliki komunikasi verbal yang baik, mendengarkan dengan sungguh-sungguh, membahas isu-isu penting, saling mengerti, menunjukkan kepekaan terhadap perasaan orang lain, serta tetap menjaga pola komunikasi dengan baik (Degenova, 2008). Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Degenova (2008), bahwa terdapat 12 karakteristik dari pernikahan yang sukses, dimana komunikasi merupakan karakteristik utama dalam terciptanya pernikahan yang sukses. Namun masing-masing pasangan
(26)
memiliki cara tersendiri dalam berkomunikasi,yang dikenal dengan pola komunikasi.
Pola komunikasi yang kita gunakan, sudah pasti mempengaruhi kehidupan pernikahan. Devito (1997), mengemukakan terdapat 4 pola komunikasi yang digunakan oleh pasangan suami-istri atau keluarga pada umumnya, dimana pola komunikasi ini dapat berdampak terhadap hubungan antara suami dan istri yaitu :
Equality Pattern dimana terjadi kesetaraan dalam berkomunikasi antar pasangan;
Balance Split Pattern dimana hubungan antar pasangan tetap sejajar tetapi
masing-masing pihak memiliki otoritas yang berbeda; Unbalanced Split Pattern
dimana salah satu pihak ada keinginan untuk mendominasi dan pihak yang lain
berpegang pada pihak yang mendominasi; dan Monopoly Pattern dimana salah
satu pihak sudah memonopoli segala komunikasi yang berlangsung.
Pada pernikahan antar bangsa ini, perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing individu seperti latar belakang budaya, nilai, bahasa hokum, perbedaan pola pikir dan agama dapat menjadi kendala atau masalah dalam pernikahan (Lerrigo, 2005). Wanita dan pria jelas berbeda dalam hal berkomunikasi, sehingga wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (barat) membutuhkan pola komunikasi guna menyelesaikan segala konflik yang terjadi dikarenakan munculnya banyak perbedaan dalam pernikahan.
Berdasarkan fenomena yang dipaparkan diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimanakah pola komunikasi dalam penyelesaian konflik pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (Barat).
(27)
I. B PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka penulis mengajukan perumusan masalah, yaitu bagaimanakah pola komunikasi dalam penyelesaian konflik pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (Barat)?
I. C TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola komunikasi dalam penyelesaian konflik pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (Barat).
I. D MANFAAT PENELITIAN
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat :
a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan hal yang berguna bagi perkembangan ilmu Psikologi, khususnya ilmu Psikologi Perkembangan keluarga, dalam hal pola komunikasi dalam penyelesaian konflik pada wanita Indonesia yang melakukan pernikahan dengan pria barat
b. Menjadi masukan yang berguna dan menjadi referensi bagi
penelitian selanjutnya
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat :
a. Memberikan informasi kepada wanita Indonesia yang menikah dengan pria barat, mengenai pola komunikasi yang tepat untuk menyelesaikan setiap konflik diantara pasangan suami-istri.
(28)
b. Memberikan gambaran bagi masyarakat umumtentang pola komunikasi yang tepat pada pasangan antar bangsa dalam menyelesaikan konflik dan menjadi proses belajar untuk nantinya menjalani suatu pernikahan.
I. E SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah :
BABI : Pendahuluan
Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan teori-teori yang menjelaskan dan mendukung data penelitian. Diantaranya adalah masalah-masalah dalam pernikahan antar-bangsa, pola komunikasi pada pasangan, tugas perkembangan dewasa awal dan pernikahan antar bangsa.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini berisi penjelasan mengenai alasan dipergunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian serta prosedur penelitian.
(29)
Bab ini menguraikan mengenai data dan pembahasan hasil analisa data penelitian dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.
BAB V : Kesimpulan, diskusi, dan saran, berisikan hasil dari
penelitian yang telah dilaksanakan dan diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian selanjutnya.
(30)
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A KOMUNIKASI II.A.1 Pola Komunikasi
Devito (1997) pola komunikasi didefinisikan sebagai komunikasi yang terjadi antara dua orang atau diantara kelompok kecil orang-orang, dimana terjadi proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan, dengan beberapa umpan balik seketika. Sedangkan Djamarah (2004), pola komunikasi merupakan bentuk hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman pesan dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami dan dimengerti. Sehingga secara sederhana, dapat dikatakan bahwa komunikasi merupakan proses menyamakan persepsi, pikiran, dan rasa antara komunikator dengan komunikan (Mulyana, 2000).
Dari pengertian diatas maka suatu pola komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan secara tepat.
II.A.2 Pola Komunikasi Keluarga
Balswick dan Balswick (1990), menyatakan komunikasi yang terjadi dalam lingkungan keluarga merupakan jantung kehidupan, guna menunjang interaksi dan komunikasi antar anggota keluarga, di samping mengeksplorasi emosi. Keluarga menentukan bagaimana bentuk komunikasi yang disepakati dan
(31)
akhirnya membentuk suatu pola tertentu yang membedakan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya.
Pola komunikasi keluarga menentukan tingkat kepuasan anggota keluarga didalamnya. Kehadiran komunikasi memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam menciptakan suasana kondusif dalam keluarga. Sebab, setiap masalah yang mungkin muncul dalam sebuah keluarga dapat diselesaikan dengan cara berkomunikasi. John Gottman (dalam DeGenova, 2008) menemukan bahwa pola komunikasi pada keluarga atau pasangansangat penting dalam kebahagiaan pernikahan.
Triandis (1994), menyatakan bahwa pola komunikasi di dalam keluarga berbeda berdasarkan budayanya, dimana budaya Asia (atau sering disebut budaya
Timur) umumnya memiliki jenis komunikasi High Context communication, di
mana apa yang diucapkan belum tentu sama maksud yang sebenarnya. Sementara budaya di negara-negara Barat lebih ke arah Low Context communication, yaitu mengemukakan apa yang ingin disampaikan secara tegas dan apa adanya bahkan di depan public, apa yang disampaikan adalah apa yang dirasakan
Pola komunikasi keluarga merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan pernikahan. Menurut Joseph A. Devito (1997) terdapat empat pola komunikasi keluarga yang umum pada keluarga inti ataupun pasangan suami-istri yaitu :
a. Pola Komunikasi Persamaan (Equality Pattern)
Dalam pola ini, tiap individu membagi kesempatan komunikasi secara merata dan seimbang, peran yang dimainkan tiap orang dalam keluarga
(32)
adalah sama. Tiap orang dianggap sederajat dan setara kemampuannya, bebas mengemukakan ide-ide, opini, dan kepercayaan. Komunikasi yang terjadi berjalan dengan jujur, terbuka, langsung, dan bebas dari pemisahan kekuasaan yang terjadi pada hubungan interpersona lainnya. Dalam pola ini tidak ada pemimpin dan pengikut, pemberi pendapat dan pencari pendapat, tiap orang memainkan peran yang sama. Komunikasi memperdalam pengenalan satu sama lain, melalui intensitas, kedalaman dan frekuensi pengenalan diri masing-masing, serta tingkah laku nonverbal seperti sentuhan dan kontak mata yang seimbang jumlahnya. Tiap orang memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan, baik yang sederhana seperti film yang akan ditonton maupun yang penting seperti sekolah mana yang akan dimasuki anak-anak, membeli rumah, dan sebagainya. Konflik yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman. Masalah diamati dan dianalisa. Perbedaan pendapat tidak dilihat sebagai salah satu kurang dari yang lain tetapi sebagai benturan yang tak terhindarkan dari ide-ide atau perbedaan nilai dan persepsi yang merupakan bagian dari hubungan jangka panjang. Bila model komunikasi dari pola ini digambarkan, anak panah yang menandakan pesan individual akan sama jumlahnya, yang berarti komunikasi berjalan secara timbal balik dan seimbang.
(33)
b. Pola Komunikasi Seimbang Terpisah (Balance Split Pattern)
Dalam pola ini, persamaan hubungan tetap terjaga, namun dalam pola ini tiap orang memegang kontrol atau kekuasaan dalam bidangnya masing-masing. Tiap orang dianggap sebagai ahli dalam wilayah yang berbeda. Sebagai contoh, dalam keluarga biasa, suami dipercaya untuk bekerja/mencari nafkah untuk keluarga dan istri mengurus anak dan memasak. Dalam pola ini, bisa jadi semua anggotanya memiliki pengetahuan yang sama mengenai agama, kesehatan, seni, dan satu pihak tidak dianggap lebih dari yang lain. Konflik yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman karena tiap orang memiliki wilayah sendiri-sendiri. Sehingga sebelum konflik terjadi, sudah ditentukan siapa yang menang atau kalah. Sebagai contoh, bila konflik terjadi dalam hal bisnis, suami lah yang menang, dan bila konflik terjadi dalam hal urusan anak, istri lah yang menang. Namun tidak ada pihak yang dirugikan oleh konflik tersebut karena masing-masing memiliki wilayahnya sendiri-sendiri.
c. Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalanced Split Pattern)
Dalam pola ini satu orang mendominasi, satu orang dianggap sebagai ahli lebih dari setengah wilayah komunikasi timbal balik. Satu orang yang mendominasi ini sering memegang kontrol. Dalam beberapa kasus, orang yang mendominasi ini lebih cerdas atau berpengetahuan lebih, namun dalam kasus lain orang itu secara fisik lebih menarik atau berpenghasilan lebih besar. Pihak yang kurang menarik atau
(34)
berpenghasilan lebih rendah berkompensasi dengan cara membiarkan pihak yang lebih itu memenangkan tiap perdebatan dan mengambil keputusan sendiri. Pihak yang mendominasi mengeluarkan pernyataan tegas, memberi tahu pihak lain apa yang harus dikerjakan, memberi opini dengan bebas, memainkan kekuasaan untuk menjaga kontrol, dan jarang meminta pendapat yang lain kecuali untuk mendapatkan rasa aman bagi egonya sendiri atau sekedar meyakinkan pihak lain akan kehebatan argumennya. Sebaliknya, pihak yang lain bertanya, meminta pendapat dan berpegang pada pihak yang mendominasi dalam mengambil keputusan.
d. Pola Komunikasi Monopoli (Monopoly Pattern)
Satu orang dipandang sebagai kekuasaan. Orang ini lebih bersifat memerintah daripada berkomunikasi, memberi wejangan daripada mendengarkan umpan balik orang lain. Pemegang kekuasaan tidak pernah meminta pendapat, dan ia berhak atas keputusan akhir. Maka jarang terjadi perdebatan karena semua sudah mengetahui siapa yang akan menang. Dengan jarang terjadi perdebatan itulah maka bila ada konflik masing-masing tidak tahu bagaimana mencari solusi bersama secara baik-baik. Mereka tidak tahu bagaimana mengeluarkan pendapat atau mengugkapkan ketidaksetujuan secara benar, maka perdebatan akan menyakiti pihak yang dimonopoli. Pihak yang dimonopoli meminta ijin dan pendapat dari pemegang kuasa untuk
(35)
Pemegang kekuasaan mendapat kepuasan dengan perannya tersebut dengan cara menyuruh, membimbing, dan menjaga pihak lain, sedangkan pihak lain itu mendapatkan kepuasan lewat pemenuhan kebutuhannya dan dengan tidak membuat keputusan sendiri sehingga ia tidak akan menanggung konsekuensi dari keputusan itu sama sekali.
II.A.3 Definisi Komunikasi
Joseph A. Devito (1997) mengatakan bahwa komunikasi adalah suatu tindakan oleh dua orang atau lebih, yang mengirim dan menerima suatu pesan yang terdistorsi oleh suatu gangguan (noise), terjadi dalam konteks tertentu, dengan pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik.
Sedangkan, menurut Effendy (2000) komunikasi adalah proses
penyampaia mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan (langsung) ataupun tidak langsung (melalui media).
Untuk mencapai komunikasi yang efektif dan efisien tidak semudah seperti yang dibayangkan orang. Banyak hal-hal yang harus diperhatikan agar pesan atau pernyataan yang disampaikan kepada orang lain bisa dimengerti serta dipahami. Komunikasi akan dapat berhasil baik apabila timbul saling pengertian, yaitu jika kedua belah pihak, si pengirim dan penerima informasi memahami.
Definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian komunikasi tidak berarti hanya menyampaikan sesuatu kapada orang lain, akan tetapi bagaimana
(36)
caranya penyampaian itu agar penerima mudah mengerti dan memahami dengan perasaan ikhlas.
II.A.4 Komunikasi Efektif
Joseph A. Devito (1997), menyatakan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi komunikasi yang efektif, yaitu :
a. Keterbukaan (openess)
Keterbukaan yang menunjukkan adanya sikap untuk saling terbuka antara pelaku komunikasi dalam melangsungkan komunikasinya.
b. Empati (emphaty)
Kemampuan seseorang memproyeksikan dirinya dalam peran terhadap orang lain.
c. Sikap positif (positiveness)
Sikap yang positif terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.
d. Dukungan (Supportivenees)
Sikap pelaku komunikasi yang mendukung terjadinya komunikasi tersebut, tetapi pihak yang diajak berkomunikasi sudah menolak sejak awal, maka komunikasi yang diharapkan tidak akan terjadi.
e. Kesetaraan (equality)
Adanya unsur kesamaan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berkomunikasi. Misalnya, adanya unsur kesamaan bahasa dan budaya akan memudahkan terjadinya komunikasi yang efektif.
(37)
Effendy (2000) menambahkan bahwa komunikasi dapat dikatakan efektif jika dapat menimbulkan dampak sebagai berikut :
a. Kognitif meningkatan pengetahuan komunikan.
b. Afektif perubahan sikap dan pandangan komunikan, karena
hatinya tergerak akibat komunikasi.
c. Konatif perubahan perilaku atau tindakan yang terjadi pada
komunikan.
II.A.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi
Scott M. Cultip dan Allen H. Center (dalam IG. Wursanto, 1987) mengemukakan bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi, yaitu :
a. Keterpercayaan
Dalam komunikasi antara komunikator dengan komunikan harus saling mempercayai. Jika tidak ada unsur saling mempercayai, komunikasi tidak akan berhasil atau menghambat komunikasi.
b. Hubungan
Keberhasilan komunikasi berhubungan erat dengan situasi atau kondisi lingkungan pada waktu komunikasi berlangsung
c. Kepuasan
Komunikasi harus dapat menimbulkan rasa kepuasan, antara kedua belah pihak. Kepuasan ini akan tercapai apabila isi berita dapat dimengerti oleh komunikan dan sebaliknya pihak komunikan mau memberikan reaksi atau respon kepada pihak komunikator
(38)
d. Kejelasan
Kejelasan yang dimaksud adalah kejelasan yang meliputi kejelasan akan berita, tujuan yang hendak dicapai dan kejelasan istilah-istilah yang dipergunakan
e. Kesinambungan dan konsistensi
Komunikasi harus dilakukan terus-menerus dan informasi yang disampaikan jangan bertentangan dengan informasi yang terdahulu.
f. Kemampuan pihak penerima berita/pesan
Komunikator harus menyesuaikan istilah-istilah yang dipergunakan dengan kemampuan dan pengetahuan komunikan
g. Saluran pengiriman berita
Agar komunikasi berhasil, hendaknya dipakai saluran-saluran komunikasi yang sudah biasa dipergunakan dan sudah dikenal oleh umum.
II.B PERNIKAHAN ANTAR BANGSA II.B.1 Definisi Pernikahan Antar Bangsa
Pengertian pernikahan antar bangsa menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahun 1974 pasal 57 tentang pernikahan, menyatakan bahwa pernikahan antar bangsa adalah pernikahan antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan yang salah satu berkewarganegaraan asing dan salah satu berkewarganegaraan
(39)
Indonesia. Tseng, Dermott, J.F., & Maretzki, T.W (1977) mengatakan bahwa pernikahan antar bangsa adalah :
"Marriage which, takes place between spouses of different cultural background. They maybe different in their values, beliefs, customs, traditions, on style of life so that cultural dimensions are a relatively significant aspect of such marriage".
Pernikahan antar bangsa dapat diartikan sebagai pernikahan yang terjadi antar pasangan yang berbeda kultur atau budaya, dimana mereka berbeda dalam hal nilai-nilai, kepercayaan, adat istiadat, tradisi, gaya hidup, sehingga dimensi budaya itu menjadi aspek signifikan yang relatif dalam pernikahan.
Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan antar bangsa adalah pernikahan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya dan kewarganegaraan yang berbeda.
II.B.2 Permasalahan Pernikahan Antar Bangsa
Roland (1996) mengemukakan sumber-sumber masalah yang mungkin muncul dalam pernikahan antar bangsa, yang dapat menyebabkan konflik terutama pada pasangan individual-kolektif :
a. Perbedaan konsep “aku” (I-self)dan “kita” (we-self)
Pada budaya individualis konsep diri adalah sebagai aku individual, dimana fokusnya pada pikiran dan perasaan diri sendiri. Sedangkan pada budaya kolektivis, konsep diri mementingkan hubungan dengan orang lain, meliputi orang-orang terdekatnya yang dianggap signifikan
(40)
bagi dirinya. Misalnya keluarga, teman, masyarakat. Dalam budaya kolektivis, hubungan sesama individu adalah interdependent atau saling tergantung satu sama lain, sebaliknya dalam budaya individualis
hubungan antar individu adalah independent atau tidak tergantung
pada orang lain. Dalam pernikahan antar bangsa, perbedaan konsep ini dapat menimbulkan suatu permasalahan tersendiri. Misalnya di kebudayaan kolektivis, anak-anak tetap memiliki keterikatan yang erat pada keluarganya meskipun sudah menikah, bahkan membahas masalah keluarga bersama-sama. Sebaliknya dalam kebudayaan individualis, hubungan antar individu termasuk dengan keluarganya tidak terlalu bergantung.
b. Perbedaan dalam hubungan yang hierarkis
Dalam budaya kolektivis, hubungan ditandai dengan rasa hormat dari yang posisinya lebih rendah kepada yang lebih superior, dan bimbingan serta nasihat dari superior kepada yang lebih rendah. Usia dan kedudukan menentukan mana yang superior dan mana yang lebih rendah. Dalam budaya individualis, hubungan hierarkis ditandai dengan hak dan kewajiban yang setara. Orang dihargai bukan berdasarkan status dan kekuasaan yang dimilikinya, namun berdasarkan prestasi yang dimilikinya.
c. Perbedaan dalam menghadapi konflik
(41)
akibatnya orang lebih suka memendam hal yang tidak disukainya dibanding ia harus berkonflik dengan orang lain. Berbeda dengan kebudayaan individualis konflik harus dipecahkan secara terbuka dan diselesaikan secara terbuka pula. Perbedaan ini dapat menimbulkan masalah dalam pernikahan antar bangsa.
d. Perbedaan dalam berekspresi
Dalam kebudayaan individualis setiap emosi baik itu rasa senang, kekecewaan, penghargaan harus diekspresikan. Sebaliknya dalam budaya kolektivis emosi tidak perlu diekspresikan dengan asumsi bahwa orang disekitar kita dapat merasakan apa yang kita rasakan (Roland, 1996)
e. Perbedaan dalam pola asuh
Roland (1996) menyatakan dalam budaya kolektivis, anak sangat dekat dengan ibunya dan biasa tergantung dengan orang tuanya, sedangkan dalam budaya individualis anak sudah harus dibiasakan tidak tergantung dengan orang tua sejak kecil. Dalam kebudayaan kolektivis, anak-anak diajarkan untuk menghormati orang tuanya dan tidak berkata kasar. Sementara dalam budaya individualis anak diajarkan sejajar, dimana anak boleh bertanya dan mengkritik, karena perbedaan dalam pemilihan pola asuh inilah dapat menyebabkan konflik antar pasangan pernikahan antar bangsa.
(42)
f. Perbedaan bahasa
Roland (1996) menyatakan yang dimaksud dalam perbedaan bahasa adalah dalam pemahaman bahasa, dimana seringkali perbedaan pemahaman bahasa ini menimbulkan kesalahpahaman dan akhirnya memicu konflik. Perbedaan bahasa dalam pernikahan antar bangsa ini perlu mendapat perhatian karena dapat menimbulkan kesalahpahaman jika masing-masing pasangan tidak berusaha mengerti perbedaan bahasa yang ditimbulkan karena perbedaan budaya ini.
g. Perbedaan sistem nilai
Sistem nilai berimplikasi pada pola pikir, kebiasaan, adat istiadat, dan kepribadian seseorang. Adanya perbedaan system nilai yang tertanam dalam diri individu dalam pernikahan antar bangsa dapat menimbulkan kesalahpahaman.
h. Perbedaan konsep peran
Hurlock (1999) menyatakan setiap lawan pasangan mempunya konsep yang pasti mengenai bagaimana seharusnya peranan seorang suami dan istri, atau setiap individu mengharapkan pasangannya memainkan perannya, jika harapan terhadap peran tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan konflik dan penyesuaian yang buruk.
(43)
II.C KONFLIK DALAM PERNIKAHAN II.C.1 Konflik Interpersonal
Joseph A. Devito (2004) mengemukakan “interpersonal conflict refers to a disagreement between or among connected individuals: close friends, lovers, or
family members”, dapat diartikan konflik interpersonal berarti suatu
ketidaksetujuan antar individu-individu yang saling berhubungan, sebagai contoh: teman dekat, pasangan kekasih, atau anggota-anggota keluarga. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Luthans (2005), yaitu konflik interpersonal merupakan konflik yang muncul di antara dua individu.
Liliwery (2001) menyatakan bahwa konflik yang terjadi antar pasangan suami-istri biasa disebut sebagai konflik interpersonal, dimana konflik interpersonal merupakan konflik yang ditimbulkan oleh persepsi terhadap perilaku yang sama, namun bersumber dari harapan-harapan yang berbeda-beda. Konflik interpersonal selalu terjadi hanya karena mereka yang terlibat dalam komunikasi menampilkan persepsi yang berbeda (Liliwery, 2001).
Dari uraian diatas disimpulkan konflik interpersonal adalah konflik yang muncul ataupun terjadi antara dua individu, yaitu baik dengan rekan sekerja, sesama pasangan, anggota keluarga ataupun teman, yang terjadi dikarenakan adanya perbedaan persepsi satu sama lain.
II.C.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Interpersonal
Menurut Luthans (2005), terdapat empat faktor yang mempengaruhi konflik interpersonal, yaitu:
(44)
a. Attitudes
Banyak orang memandang konflik sebagai sesuatu yang buruk dan destruktif, jadi mereka menghindari segala upaya yang berhubungan dengan
b. Perceptions
Menurut Luthans (2005), persepsi yaitu proses pengenalan arti dari apa yang kita lihat atau dengar, merupakan inti dalam menentukan dan mempengaruhi konflik menghadapi situasi konflik
c. Control or Power Imbalance
Faktor lain adalah tingkat dimana individu merasa diri mereka kehilangan kendali atas suatu situasi, dan dengan demikian menyebabkan suatu ketidakseimbangan kekuatan
d. Outcome Importance
Kepentingan hasil yaitu tingkat dimana kita merasa bahwa kita kehilangan kontrol atas masalah-masalah yang penting bagi kita dalam menentukan apakah konflik akan muncul
II.D DEWASA AWAL II.D.1 Definisi Dewasa Awal
Menurut Hurlock (2000), orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama orang dewasa lainnya. Transisi peran adalah suatu hal yang harus dicapai untuk menjadi seorang dewasa.Hurlock (2000) membagi masa dewasa ini menjadi
(45)
madya dimulai pada usia 40 sampai 60 tahun dan dewasa lanjut dimulai dari usia 60 tahun keatas. Hurlock (2000) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.
Dari uraian diatas disimpulkan bahwa dewasa awal adalah individu yangmenyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan baru dalam masyarakat, pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis dan berusia18 hingga 40 tahun.
II.D.2 Tugas-Tugas Perkembangan Dewasa Awal
Menurut Havighurs (dalam Hurlock, 2000), tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa dewasa awal adalah:
a. Mencari dan menemukan calon pasangan hidup.
b. Mulai membina kehidupan rumah tangga dan mengasuh anak.
c. Meniti karier dalam rangka rnemantapkan kehidupan ekonomi rumah
tangga.
d. Menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
e. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan.
II.E GAMBARAN POLA KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN
KONFLIK PADA WANITA INDONESIA YANG MENIKAH DENGAN PRIA ASING (BARAT)
Koentjaraningrat (1994) menyatakan di dalam pernikahan, suami istri adalah dua insan yang berbeda dalam hampir segala sifatnya. Sifat-sifat berbeda diantara keduanya sulit dipersatukan kecuali ada kesadaran diri untuk saling
(46)
memahami satu sama lain.Pernikahan antar bangsa merupakan salah satu pernikahan yang terjadi pada pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan adanya penyatuan pola pikir dan cara hidup yang berbeda (McDemott & Maretzki, 1977). Pernikahan antar bangsa pasti tidak akan terlepas dari perbedaan budaya; dimana wanita atau pria yang menikah dengan warga barat, dengan latar belakang kebangsaan dan budaya yang berbeda, biasanya akan memiliki pandangan yang berbeda pula, sehingga cenderung lebih berpotensi menimbulkan konflik dan kehancuran pernikahan dibandingkan pernikahan dalam budaya yang sama. Perbedaan budaya merupakan permasalahan yang mendasar dalam pernikahan antar bangsa. Hal ini dikarenakan pada masing-masing pasangan menganut kebudayaan yang berbeda, yang mana pada kebudayaan barat lebih mengesankan kehidupan yang bebas sedangkan pada kebudayaan timur lebih mengesankankehidupan kolektif yaitu kekeluargaan dan lebih berdasarkan pada norma-norma yang ada pada lingkungan sekitar (Matsumoto & Liang, 2006). Menurut Roland (1996), perbedaan budaya bukanlah satu hal yang mendasar dari permasalah dalam pernikahan antar bangsa, tetapi terdapat juga permasalahan mendasar lainnya seperti : perbedaan konsep, perbedaan dalam menghadapi konflik, perbedaan dalam berekspresi, perbedaan bahasa, perbedaan sistem nilai, dan lainnya; dimana perbedaan-perbedaan tersebutlah yang menjadi akar permasalahan dalam pernikahan antar bangsa, sehingga dapat menimbulkan konflik di dalam kehidupan pernikahan. Seperti halnya dengan hasil penelitianoleh Abigail (2009), terhadap pasangan Inggris (suami) dan Indonesia (istri), menyebutkan bahwa kendala yang dihadapi pada pasangan pernikahan
(47)
antar bangsa umumnya adalah kendala dalam pola komunikasi, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural; hal tersebutlah yang dapat memunculkan konflik.
John Gottman (dalam DeGenova, 2008) menyatakan bahwa pola komunikasi padapasangan suami dan istri sangat penting dalam kebahagiaan pernikahan. Hal ini juga didukung oleh pernyataan DeGenova (2008), dimana ketika pernikahan mendapati konflik, itu dikarenakan gagalnya komunikasi. Triandis (1994) menambahkan bahwa pola komunikasi dalam keluarga yang berbeda budaya memang berbeda, dimana budaya Asia (budaya timur) umumnya
menggunakan High Context communication, dimana memiliki karakteristik
komunikasi yang dicirikan oleh pesan bersifat eksplisit, tidak langsung, dan tidak terus terang. Pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dalam perilaku non verbalnya seperti intonasi suara, gerakan tangan, ekspresi wajah, tatapan mata atau bahkan konteks fisik. Sementara budaya di negara-negara Barat lebih ke arah
Low Context communication, dimana memiliki karakteristik komunikasi yang
dicirikan oleh pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas, dan berterus terang.
Gaya pola komunikasi yang digunakan di dalam kehidupan pernikahan atau dalam keluarga, sudah jelas berbeda dari satu keluarga dengan keluarga lainnya. Menurut Devito (1997) terdapat 4 pola komunikasi yang biasanya digunakan di dalam keluarga ataupun pasangan suami istri pada umumnya, yaitu :
Equality pattern, Balance Split pattern, Unbalance Split pattern, Monopoly
(48)
suami dan istri di dalam kehidupan pernikahan, agar terjalin pernikahan yang sehat dan dapat mencegah terjadinya konflik serta dapat menyelesaikan konflik dengan baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Dewi Minangsari (dalam Konselor Keluarga, 2011), yang menyatakan bahwa pola komunikasi yang tepat merupakan inti keberhasilan pernikahan pada pasangan pernikahan antar bangsa, karena melalui pola komunikasi yang tepat konflik dalam pernikahan dapat dihindari dan diselesaikan dengan baik.
Dapat dikatakan bahwa, komunikasi merupakan hal yang dapat digunakan dalam penyelesaian konflik dalam pernikahan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitianoleh Nabeshima (2007) menunjukkan bahwa dalam kasus pasangan antar-bangsa Amerika-Jepang, 80% memiliki keakraban yang lebih intens, kerjasama dan saling pengertian yang lebih tinggi ditunjukkan oleh mereka; hal ini dapat terjadi dikarenakan pola komunikasi yang harmonis lebih terjalin erat di antara mereka; sehingga pola komunikasi yang tepat merupakan hal yang dibutuhkan dalam penyelesaian konflik dalam pernikahan, khususnya pada pernikahan antar bangsa.
(49)
Gambar 1. PARADIGMA BERPIKIR
MAKA
Tugas Perkembangan Dewasa Awal (usia 18 – 40 tahun)
Hurlock (2000) :
•Mencari pasangan hidup
•Mulai membina kehidupan
rumah tangga dan mengasuh anak
Pemilihan pasangan hidup
Adanyaperbedaan kebangsaan (Yoshida, 2008)
Matching principle (Sears dkk, 1992 )
Sumber masalah dalam pernikahan (Roland, 1996) :
•Perbedaan menghadapi konflik
•Perbedaan sistem nilai
•Perbedaan bahasa
•Perbedaan pola asuh
•Perbedaan persepsi KONFLIK
DeGenova (2008) “ketika pernikahan mendapati konflik, itu dikarenakan gagalnya
komunikasi”
Dibutuhkan pola komunikasi (Devito, 1997) :
• Equality Pattern
• Balance Split Pattern
• Unbalance Split Pattern
• Monopoly Pattern
John Gottman (1998) “Pola Komunikasi yang tepat pada keluarga inti / pasangan suami-istri sangat penting dalam
kebahagiaan pernikahan” Pernikahan antar
bangsa (wanita/pria – warga asing)
(50)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan unsur penting di dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2002). Pada bagian pendahuluan telah dijelaskan bahwa tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana penyesuaian pernikahan pada wanita yang menikah dengan pria asing (barat), maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih karena pada pendekatan ini memungkinkan individu untuk memfokuskan atensi dan mengungkapkan variasi pengalaman yang dijalaninya (Patton dalam Poerwandari, 2009). Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pendekatan yang akan dipakai, metode pengambilan data, lokasi penelitian, subjek penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian, kredibilitas dan analisis data.
III.A METODE PENELITIAN KUALITATIF
Dalam beberapa hal, memang perlu ditentukan manakah metode yang paling baik untuk melakukan sebuah penelitian. Dalam hal kaitannya dengan penelitian ini, ada beberapa hal yang dipertimbangkan kenapa yang dipilih berbentuk kualitatif. Pertama, penelitian kualitatif merupakan pendekatan yang lebih sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahami manusia dengan segala kompleksitasnya sebagai makhluk subjektif. Kedua, satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh
(51)
tentang fenomena yang diteliti. Dengan kata lain metode ini dipilih karena dapat memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif (Poerwandari, 2009).
Tak hanya itu, penelitian kualitatif juga bersifat lebih deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan semua yang dikumpulkan disini menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Kelebihan metode kualitatif adalah prosedur yang khusus menghasilkan data yang detail dan kaya tentang individu dan kasus kasusnya. Kelebihan lainnya adalah menghasilkan data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang, interaksi dan perilaku yang teramati (Poerwandari, 2009).
Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat studi kasus intrinsik, dimana penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep/teori ataupun tanpa ada upaya menggeneralisasi (Poerwandari, 2009). Peneliti sendiri beranggapan bahwa pentingnya dilakukan proses kualitatif agar dapat melihat sejauh apa pola komunikasi yang digunakan responden guna penyelesaian konflik yang terjadi di dalam pernikahannya dengan pria asing (barat). Setiap individu tentunya memiliki gaya dalam menghadapi konflik yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya begitu pula dalam hal pola komunikasi yang digunakan untuk penyelesaian konflik tersebut. Adanya perbedaaan itu pula yang menjadi alasan peneliti memilih metode kualitatif. Hal ini sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan kualitatif yaitu dapat melihat sesuatu secara mendalam, mehamai isu-isu yang sensitif dan rumit.
(52)
III.B RESPONDEN PENELITIAN
III.B.1 Karakteristik Responden Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, karakteristik responden penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a) Responden adalah seorang wanita yang berusia 18-40 tahun (dewasa
awal), yang menikah dengan pria asing (barat). Pengambilan responden disesuaikan dengan tugas perkembangan yang dipaparkan oleh Havighurst (dalam Hurlock, 2000), bahwa salah satu tugas perkembangan dewasa awal adalah mencari pasangan dan menikah
b) Memilik anak
c) Pernikahan masih berlangsung hingga sekarang
d) Subyek berdomisili di Medan dan sekitarnya
III.B.2 Jumlah Responden Penelitian
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2009) desain kualitatif memiliki sifat luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.
Sarakantos (dalam Poerwamdari, 2009) mengatakan bahwa sampel pada penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah yang besar dan tidak ditentukan secara baku sejak awal tetapi dapat berubah sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian. Untuk itu, dalam penelitian ini jumlah
(53)
responden yang digunakan adalahsebanyak dua orang wanita dewasa awal yang menikah dengan pria asing (barat)
III.B.3 Prosedur Pengambilan Responden Penelitian
Patton (dalam Poerwandari) menguraikan bahwa pengambilan sampel pada penelitian kualitatif, harus disesuaikan dengan masalah dan tujuan penelitian. Prosedur pengambilan responden yang digunkan dalam penelitian ini
adalah pengambilan sampel bola salju/berantai (snowball/chain sampling).
Menurut Patton (dalam poerwandari), teknik sampling ini dilakukan secara
berantai, dimana peneliti meminta informasi dengan bertanya pada subjek penelitian, pada orang yang telah diwawancarai atau pada orang yang dihubungi sebelumnya, demikian seterusnya.
Adapun pertimbangan dalam menggunakan teknik sampling ini adalah
karena wanita yang menikah dengan warga asing(barat) cukup sulit untuk ditemukan secara berkelompok atau dalam komunitas tertentu. Pengambilan responden dilakukan secara berantai mulai dari ukuran kecil dan makin lama makin besar.
III.B.4 Lokasi Penelitian
Lokasi pengambilan data dilakukan di Kota Medan. Lokasi penelitian disesuaikan dengan kemauan responden, dengan syarat responden merasa aman dan nyaman dengan keberadaannya dalam mengungkapkan hal-hal mengenai dirinya. Selain itu, pengambilan tempat penelitian tersebut adalah untuk kemudahan peneliti dalam mendapat informasi.
(54)
III.C METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancaradan observasi sebagai teknik pembantunya selama wawancara berlangsung. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 2009). Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna respondentif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dalam Poerwandari 2009).
Wawancara yang digunakan adalah dengan wawancara pedoman umum, dimana dalam proses wawancara, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan dan bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit yang tujuannya untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut relevan untuk dibahas atau ditanyakan (Poewandari,2009). Wawancara dalam penelitian ini yaitu dengan wawancara mendalam (in depth-interview) yang berbentuk open-ended question.
Wawancara mendalam (in depth-interview) dimana peneliti mengajukan
pertanyaan yang mendalam dari kehidupan atau pengalaman responden yaitu mengenai konflik antar pasangan serta pola komunikasi yang digunakan oleh responden secara utuh dan mendalam. Jika peneliti menganggap bahwa data wawancara yang diperoleh belum jelas untuk dapat ditarik kesimpulannya, maka
(55)
peneliti akan melakukan penggalian informasi lebih lanjut (probing) kepada
responden. Selain itu juga dilakukan wawancara yang berbentuk open-ended
question dimana peneliti mencoba mendorong responden untuk berbicara lebih
lanjut tentang topik pola komunikasi dalam penyelesaian konflik di dalam pernikahan responden tanpa membuat responden merasa diarahkan.
Selama wawancara berlangsung akan dilakukan obeservasi terhadap situasi dan kondisi serta perilaku yang muncul pada responden. Tujuan dilakukannya observasi dalam penelitian ini sebagai alat bantu tambahan agar peneliti mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai pola komunikasi dalam penyelesaian konflik pada wanita yang menikah dengan pria asing (barat). Poerwandari (2009), mengatakan observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Berdasarkan hal ini maka hasil observasi akan digunakan sebagai data pelengkap dari hasil wawancara. Adapun hal-hal yang akan diobservasi adalah lingkungan fisik dilakukannya wawancara, penampilan fisik responden, perilaku responden kepada peneliti selama wawancara, perubahan ekspresi wajah responden selama wawancara berlangsung, hal-hal yang mengganggu selama wawancara dan hal-hal yang sering dilakukan responden selama wawancara.
III.D ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA
Menurut Poerwandari (2009) peneliti sangat berperan dalam seluruh proses penelitian, mulai dari memilih topik, mendeteksi topik tersebut,
(56)
mengumpulkan data, hingga analisis, menginterprestasikan dan menyimpulkan hasil penelitian. Dalam mengumpulkan data-data penelitian penulis membutuhkanalat bantu (instrumen penelitian), yaitu :
1. Pedoman Wawancara
Menurut Poerwandari (2009), penggunaan pedoman wawancaraberfungsiuntuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang
diajukan yaituopen-ended questiostujuannya adalah menjaga arah
wawancara agartetap sesuai dengan tujuanpenelitian. Pelaksanaan wawancara tidakdigunakan secara kaku, dan tidak tertutupkemungkinan untukmenanyakan hal lain yang masih berhubungan dengan topikpenelitianagar data yang didapatkan lebih
lengkap dan akurat (Poerwandari,2009).Pedoman umum wawancara
dalam penlitian ini dibuatberdasarkan teori pola komunikasi yang dikemukakan oleh DeVito (1997) dan permasalahan perkawinan antar bangsa oleh Roland (1996). Pedoman umum wawancara dalam penelitianini bertujuan untukmengingatkan dan membantu peneliti saat melakukanwawancaramengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftarpengecek dari aspek-aspek tersebut telah ditanya atau dibahas.
2. Tape Recorder (Alat Perekam)
Poerwandari (2009), menyatakan bahwa sedapat mungkin wawancaraperludirekam dan dibuat transkipnya secara verbatim (kata
(57)
karena itu,dalam penelitian ini penelitimerasa perlu untuk menggunakan alatperekam agar peneliti dapat berkonsentrasipada proses pengambilandata tanpa harus berhenti untuk mencatat jawabanjawaban dariresponden. Dalam pengumpulan data, alat perekam baru dapatdipergunakan setelah mendapat ijin dari responden untukmempergunakan alat tersebut pada saat wawancara berlangsung.
3. Alat Tulis dan Kertas untuk Mencatat
Pencatatan dilakukan untuk menunjang data yang terekam melalui perekam dan kertas untuk mencatat berfungsi sebagai data kontrol dan jalannya wawancara dan observasi.
III.E KREDIBILITAS PENELITIAN
Kredibilitas merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk mengganti konsep validitas, yaitu ketepatan suatu alat ukur dalammengukurapa yang hendak diukur. Kredibilitas studi kualitatif terletak padakeberhasilannyamencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikansetting, proses,kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari,2009).Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitiandalammengungkapkan bagaimana pola komunikasi dalam penyelesaian konflik padawanitayang menikah dengan pria asing (barat).
Penelitian ini akan menggunakan professional judgment untuk menilai
apakah pedoman yang telah dibuat sudah dapat menggali informasi yang diinginkan peneliti. Selain itu, peneliti juga akan mencatat secara terperinci dan
(58)
menyimpan secara lengkap data yang terkumpul untuk meningkatkan kredibilitas penelitian. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Marshall dan Rossman (dalam Poerwandari, 2009) yang mengatakan langkah-langkah yang dapat meningkatkan kredibilitas suatu penelitian adalah mencatat hal-hal penting serinci mungkin, mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul. Secara keseluruhan adapun upaya peneliti nantinya dalam menjaga keabsahan data dalam penelitian ini, antara lain dengan:
a) Memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian.
b) Membuat pedoman wawancara berdasarkan teori pola komunikasi
yang dikemukakan oleh DeVito (1997) dan permasalahan pada perkawinan antar bangsa oleh Roland (1996). Selain itu, peneliti juga menjaga standarisasi pedoman wawancara dengan melakukan profesional judgement bersama beberapa ahli.
c) Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk
mendapatkan data yang akurat. Pernyataan responden yang ambigu atau kurang jelas akan ditanyakan kembali (probing) di saat wawancara atau pada pertemuan selanjutnya, hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang akurat.
d) Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan
pengamatan objektif terhadap setting, responden ataupun hal lain yang terkait.
e) Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul,
(59)
f) Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing dan dosen yang ahli dalam bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.
g) Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking and
rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.
III.F PROSEDUR PENELITIAN III.F.1 Tahap Persiapan Penelitian
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melakukan penelitian:
a) Mencari informasi mengenai dewasa awal. Bagaimana tugas-tugas
perkembangan mereka dan apa yang menunjang mereka untuk dapat berkembang.
b) Mencari informasi mengenai perkawinan antar bangsa. Berapa banyak
wanita yang menikah dengan pria asing, khususnya pria barat. Mencari informasi mengenai alasan mereka melakukan pernikahan antar bangsa dan mencari jurnal pendukung mengenai pernikahan antar bangsa.
c) Melakukan wawancara awal terhadap wanita yang menikah dengan
pria barat. Hal ini dilakukan pada tahap paling awal penelitian, yang bertujuan untuk melihat aspek psikologis apa yang dialami pria atau wanita ini, permasalahan apa yang biasanya terjadidi dalam
(60)
perkawinan mereka. Setelah itu, merumuskanpermasalahan yang akan diteliti.
d) Mengumpulkan konsep teori mengenai dewasa awal, penyesuaian pola
komunikasi, dan interculturalmarriage,khususnya pernikahan antar bangsa. Pada tahap ini, peneliti berusahamengumpulkan dan mempelajari informasi serta konsep teori tersebut.
e) Peneliti menganalisa dan memilih teori-teori mengenai dewasa
awal,penyesuaian pernikahan dan perkawianan antar bangsa yang akandigunakan dalam penelitian ini.
f) Mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan selama penelitian. Hal yang
dibutuhkan dimulai dari pedoman dasar wawancara, menyusun serangkaian pertanyaan untuk dijadikan sebagai pedoman wawancara yang didasarkan dari teori-teori yang dipakai yaitu pola komunikasi oleh DeVito (1997). Selain itu juga peneliti mempersiapkan alat-alat pembantu seperti recorder, kamera, alat tulis untuk pengolahan data dan sebagainya.
g) Membuat informed consent (Pernyataan pemberian izin
olehresponden). Pernyataan ini dibuat sebagai bukti bahwa responden telahmenyepakatibahwa dirinya akan berpartisipasi sebagai respondendalam penelitian initanpa adanya paksaan dari siapapun. Penelitimenjelaskan tentangpenelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya.
(61)
h) Mengurus izin pengambilan data. Pengurusan izin dilakukan denganmeminta Surat Permohonan IzinPenelitian pada Administrasi Fakultas Psikologi USU
i) Persiapan untuk mengumpulkan data. Peneliti mengumpulkan
informasi tentang calon responden penelitian dariteman – temanpeneliti dan memastikan bahwa calon responden tersebuttelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Setelah mendapatkannya,lalu peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian. Dalam tahap ini disertai pembanggunan rapport antara peneliti dan responden penelitian
III.F.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian
Pada tahap ini, peneliti melakukan beberapa hal yang diperlukan dalam penelitian, yaitu:
a) Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara
Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.
b) Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara
• Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk
(62)
menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan. Responden juga mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
• Peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman
wawancara yang telah dibuat sebelumnya dan meminta izin kepada responden untuk merekam pembicaraan dengan menggunakan tape recorder dari awal sampai akhir wawancara. Peneliti melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.
c) Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip
verbatim. Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).
d) Melakukan analisa data
Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa
(63)
data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara. Peneliti membagi penjabaran analisa data responden ke dalam faktor-faktor penyesuaian pernikahan.
e) Menarik kesimpulan. Akhir dari penelitian, setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian
III.F.3 Tahap Pencatata Data
Pencatatan data dapat dipermudah dengan menggunakan alat perekam oleh peneliti sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan dengan tape recorder. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.
III.G ANALISA DATA
Marshall (1985) menyarankan adanya patokan-patokan yang perlu dipahami, yang akan memudahkan evaluasi terhadap laporan penelitian kualitatif.
(1)
2. Bagaimana menurut responden mengenai pengekspresian emosi setiap pasangannya
3. Apakah reseponden merasa terganggu dengan cara pasangannya dalam berekspresi
f. Perbedaan dalam pola asuh
1. Bagaimana penerapan pola asuh anak di dalam perkawinan? 2. Apakah responden merasa terganggu dengan pola asuh tersebut? g. Perbedaan dalam keluarga besar
1. Apa pandangan anda terhadap perbedaan dalam keluarga besar anda?
2. Perbedaan apa saja yang anda rasakan dari keluarga besar suami anda?
3. Apakah anda ada melakukan penyesuaian terhadap keluarga besar suami anda? jelaskan
4. Penanganan konflik dalam perkawinan
a. Apakah pendapat responden mengenai penanganan konflik yang baik dalam perkawinannya
b. Apakah penanganan tersebut sangat membantu mengurangi konflik di dalam perkawinan
c. Apa harapan responden terhadap pasangannya, agar perkawinan tetap terjalin dengan baik
5. Komunikasi dalam perkawinan
a. Seberapa sering pasangan menghabiskan waktu berkomunikasi dengan pasangannya
b. Apa saja yang sering dibicarakan pada saat berkomunikasi
c. Apakah ada terjadi hambatan-hambatan ketika melakukan komunikasi dengan pasangan. Hambatan seperti apa
(2)
170
Universitas Sumatera Utara 6. Pola komunikasi dalam perkawinan
a. Equality Pattern
1. Bagaimana kesempatan dalam berkomunikasi yang terjadi dalam perkawinan responden
2. apakah responden mereasa bebas dalam mengemukakan pendapat ataupun ide-ide di dalam perkawinannya
3. Apakah responden merasa komunikasi yang terjadi dalam perkawinannya terbuka dan jujur. Mengapa
b. Balance Split Pattern
1. Apakah responden merasa puas dengan komunikasi yang terterap di dalam perkawinannya. Mengapa
2. Apakah responden merasa selalu menang atau kalah dalam pertengkaran dengan pasangannya. Mengapa
3. Apakah di dalam perkawinan pembagian peran terjadi secara merata atau tidak. Mengapa
c. Unbalanced Split Pattern
1. Apakah responden merasa dirinya atau pasangannya mendominasi dalam hal berkomunikasi. Alasannya
2. Apakah responden merasa bahwa dirinya lebih bergantung dengan keputusan pasangannya. Mengapa
d. Monopoly Pattern
1. Apakah responden merasa dirinya atau pasangannya suka memberi perintah ketika berkomunikasi. Alasannya
2. Apakah responden selalu merasa dirinya lebih berhak dalam keputusan akhir atau tidak. Mengapa
3. Apakah responden merasa bahwa perdebatan yang terjadi tidak pernah terselesaikan. Mengapa
(3)
LAMPIRAN II
(4)
172
Universitas Sumatera Utara
LEMBARAN OBSERVASI
Responden :
Hari/ Tanggal :
Waktu :
Tempat :
Hal-hal yang akan diobservasi adalah :
1. Penampilan fisik partisipan
2. Tempat wawancara
3. Perilaku partisipan ketika wawancara berlangsung
4. Perilaku partisipan kepada peneliti ketika wawancara berlangsung
5. Perubahan ekspresi tubuh, wajah, dan sikap ketika wawancara berlangsung
(5)
LAMPIRAN III
(6)
174
Universitas Sumatera Utara
LEMBAR PERSETUJUAN
JUDUL PENELITIAN : GAMBARAN POLA KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK PADA WANITA INDONESIA YANG MENIKAH DENGAN PRIA ASING (BARAT)
PENELITI : SABETHIA SIHOMBING
NIM : 081301109
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, secara sukarela dan tanpa unsur paksaan dari pihak manapun, bersedia untuk berperan serta dalam penelitian ini.
Saya menyetujui untuk diwawancarai sebagai salah satu responden dalam penelitian mengenai Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Pada Wanita Indonesia Yang Melakukan Perkawinan Antar Bangsa.
Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak keberatan untuk memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti kepada saya.
Peneliti menjamin kerahasiaan identitas diri saya dan juga kerahasiaan informasi yang saya berikan, dan informasi tersebut hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian saja.
Medan, Juli 2012
Responden, Peneliti
( Responden ) ( Sabethia Sihombing )