Analisis daya saing ekspor komoditas kakao Indonesia di bandingkan dengan Malaysia di pasar Singapura tahun 2003-2013

ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KOMODITAS KAKAO
INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN MALAYSIA DI
PASAR SINGAPURA TAHUN 2003-2013

AFIF NAUFAL

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Daya Saing
Ekspor Komoditas Kakao Indonesia Dibandingkan Malaysia di Pasar Singapura
Tahun 2003-2013 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014
Afif Naufal
NRP H34100005

ABSTRAK
AFIF NAUFAL. Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kakao Indonesia
Dibandingkan dengan Malaysia di Pasar Singapura Tahun 2003-2013 dibimbing
oleh HENY K S DARYANTO.
Sektor perkebunan kakao memiliki potensi untuk memberikan kontribusi
besar terhadap perkembangan nilai ekspor Indonesia. Sejak pelaksanaan kebijakan
bea keluar biji kakao 1 April 2010 menyebabkan ekspor kakao Indonesia
mengalami penurunan, sedangkan kebijakan bea keluar biji kakao untuk ekspor
biji kakao pada bulan April 2010 bertujuan untuk meningkatkan industri
pengolahan kakao Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
daya saing ekspor kakao Indonesia dibandingkan malaysia di Singapura sebagai
salah satu negara tujuan ekspor kakao di ASEAN. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder berupa data time series perdagangan Indonesia,
Malaysia dan dunia dengan Singapura pada periode 2003-2013. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Revealed Compare Analysis (RCA) untuk
menentukan keunggulan komparatif Indonesia dan Malaysia. Metode Constant
Market Share (CMS) adalah untuk menguraikan faktor-faktor penentu
pertumbuhan ekspor kakao Indonesia dan Malaysia ke Singapura. Berdasarkan
perbandingan nilai kakao RCA Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura selama
periode 2003-2013 terlihat bahwa nilai RCA Indonesia masih lebih tinggi
dibandingkan dengan Malaysia dalam produk biji kakao, sedangkan nilai RCA
Indonesia pada produk olahan kakao masih lebih rendah dibandingkan Malaysia.
Berdasarkan hasil nilai CMS di Indonesia, rata-rata pertumbuhan ekspor kakao
Indonesia ke Singapura pada periode 2003-2009 lebih dipengaruhi oleh efek efek
komposisi komoditas, sedangkan periode 2010-2013 perkembangan nilai CMS
Indonesia lebih dipengaruhi efek daya saing.
Kata kunci: kakao, daya saing, CMS, pajak ekspor, RCA

ABSTRACT
AFIF NAUFAL. Analysis of Export Competitiveness of the Indonesian Cocoa
Commodity Compared to Malaysia in Singapore 2003-2013 supervised by HENY
K S DARYANTO.
Cocoa plantation sector has the potential to contribute greatly to the
development of Indonesian exports. Since the implementation of tax policy on

cocoa beans 1 April 2010 led to the Indonesia's cocoa export into a significant
decline. On the other hand, tax policy for the export of cocoa beans in April 2010
to make Indonesian cocoa processing industry shows growth. The objective of this
study is to analyze the Indonesia's cocoa export competitiveness than malaysia's
in Singapore as one of the cocoa export destinations in ASEAN. Data used in this
study is secondary data in the form of time series data trade Indonesia, Malaysia
and the world with Singapore in the period 2003-2013. The method used in this
study is Revealed Compare Analysis (RCA) to determine Indonesia and Malaysia
cocoa competitiveness. Constant Market Share (CMS) method is for decomposing
the growth determinants of Indonesia and Malaysia cocoa exports to singapore.

Based on the comparison of the value of cocoa RCA Indonesia and Malaysia in
the Singapore market over the period 2003-2013 is seen that the value of RCA
Indonesia is still higher compared to Malaysia for cocoa beans, while the value of
Indonesia's RCA on processed cocoa products is lower than Malaysia. Based on
the results of the CMS in Indonesia, the average growth of Indonesian cocoa
exports to Singapore in the period 2003-2009 is more influenced by the effects of
the commodity composition effect, while the growth rate in 2010-2013 CMS
Indonesia is more influenced competitiveness effect.
Keywords: cocoa, competitiveness, CMS, export tax, RCA


ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KOMODITAS KAKAO
INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN MALAYSIA DI
PASAR SINGAPURA TAHUN 2003-2013

AFIF NAUFAL

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah
perdagangan internasional, dengan judul Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas
Kakao Indonesia Dibandingkan dengan Malaysia di Pasar Singapura Tahun 20032013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Rr Heny K S Daryanto selaku
pembimbing, yang telah membimbing, memberikan semangat dan motivasi,
Ungkapan terima kasih saya sampaikan kepada Mama, Siti Arisyah, dan Papa,
Ujang Jarnuji, SE, atas doa, dukungan, dan kasih sayang yang tak henti-hentinya
diberikan setiap saat kepada saya. Terima kasih kepada Ayumi F G, yang selalu
memberikan dukungan dan motivasi, serta Inesta Fulla Naldi, Atika Azariawati
Sugiono terima kasih saya ucapkan atas dukungan, motivasi, dan doa yang telah
diberikan. Tidak lupa kepada teman-teman satu bimbingan saya, serta kepada
seluruh teman-teman Agribisnis 47 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu,
terima kasih telah menjadi bagian dari hidup saya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014
Afif Naufal


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Rumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

4

Manfaat Penelitian

4

Ruang Lingkup Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA
KERANGKA PEMIKIRAN


5
10

Kerangka Pemikiran Teoritis

10

Kerangka Pemikiran Operasional

16

METODE PENELITIAN

18

Lokasi dan Waktu Penelitian

18

Jenis dan Sumber Data


18

Metode Analisis dan Pengolahan Data

18

HASIL DAN PEMBAHASAN

21

Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kakao Indonesia dan Malaysia di Pasar
Singapura

21

Dampak Kebijakan Bea Keluar Biji Kakao Terhadap Pertumbuhan Ekspor
Kakao dan Industri Pengolahan Kakao Indonesia

44


SIMPULAN DAN SARAN

47

Simpulan

47

Saran

47

DAFTAR PUSTAKA

47

LAMPIRAN

51


RIWAYAT HIDUP

53

vi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Produk kakao berdasarkan kode Harmonized System (HS-18) 4-dijit
Hasil analisis CMS kakao Indonesia di pasar Singapura
Hasil analisis CMS kakao Malaysia di pasar Singapura
Luas area perkebunan dan produksi kakao di Indonesia tahun 20032013
Penggolongan ukuran biji kakao Indonesia
Persyaratan umum biji kakao Indonesia
Persyaratan khusus biji kakao Indonesia
Standar mutu nasional Malaysia
Persyaratan umum standar mutu biji kakao Malaysia
Persyaratan khusus biji kakao Malaysia

5
25
26
29
40
40
41
41
42
42

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Keseimbangan dalam perdagangan internasional
Model Berlian Porter
Kerangka pemikiran operasional
Nilai RCA dan Indeks RCA biji kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar
Singapura periode tahun 2003-2013
5 Nilai RCA dan Indeks RCA produk olahan kakao Indonesia dan
Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013
6 Keterkaitan antar komponen Porter's Diamond System
7 Perbandingan nilai ekspor kakao umum (HS-18) dengan biji kakao
(HS-1801) Indonesia

14
16
17
22
23
43
44

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai RCA dan Indeks RCA biji kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar
Singapura periode tahun 2003-2013
2 Nilai RCA dan Indeks RCA produk olahan kakao Indonesia dan
Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013
3 Hasil perhitungan CMS Indonesia
4 Hasil perhitungan CMS Malaysia

51
51
52
52

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kakao merupakan salah satu produk ekspor perkebunan yang memiliki
peranan penting dan diandalkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia
selain kelapa sawit, rempah-rempah, karet dan kopi. Kakao menyumbang devisa
sebesar USD 1.053 Milyar dari ekspor biji kakao dan produk kakao olahan
(Kemenperin 2014). Namun pengembangan kakao terkendala rendahnya
pertumbuhan industri kakao dalam negeri dan belum optimalnya nilai tambah
produk kakao di Indonesia. Sucipto (2010) menyatakan bahwa masih ditemukan
bubuk kakao yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang
mengurangi pasar industri pengolahan kakao bermutu dalam negeri. Sebagian
besar produksi kakao Indonesia digunakan untuk keperluan ekspor dan hanya
sebagian kecil yang digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Dradjat dan
Wahyudi (2013) menyatakan bahwa produk yang diekspor sebagian besar (78,5
%) berupa produk primer, yakni dalam bentuk biji kering dan sebagian kecil (21,5
%) berupa hasil olahan. Negara sasaran ekspor kakao Indonesia adalah Amerika
Serikat, Malaysia, Brazil, dan Singapura. Selain mengekspor, Indonesia juga
mengimpor biji kakao yang berasal dari Pantai Gading, Ghana, dan Papua Nugini.
Hal ini karena biji kakao produksi Indonesia bermutu rendah. Senada dengan hal
tersebut, Helble dan Okubo (2006) menyatakan bahwa keberhasilan ekspor
berkelanjutan hanya dapat tercapai jika produktivitas tinggi dikombinasikan
dengan mutu tinggi.
The International Cocoa Organization (ICCO) pada tahun 2011
menyatakan bahwa pertumbuhan permintaan kakao dunia sekitar 4 juta ton per
tahun dan dalam lima tahun terakhir permintaan tumbuh rata-rata 5% per tahun.
Berdasarkan Data ICCO, Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar
ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, serta tertinggi pertama di Asia.
Komoditas kakao masih sangat potensial untuk dikembangkan dimana tingkat
konsumsi kakao khususnya di Indonesia masih rendah. Pada awal tahun 2014
tingkat konsumsi kakao Indonesia mencapai 0,3 kilogram per kapita, sedangkan
negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Singapura tingkat konsumsinya
mendekati 1 kilogram per kapita (Sikumbang 2014).
Permintaan kakao diprediksi masih positif seiring meningkatnya populasi,
pendapatan, urbanisasi, dan permintaan dalam perdagangan komoditas kakao
dunia (Panggabean dan Satyoso 2013). Meskipun demikian, seiring
terintegrasinya perekonomian dunia persaingan sesama produsen kakao semakin
ketat, khususnya Indonesia yang disebabkan setidaknya oleh dua faktor. Pertama,
rendahnya produktivitas dan mutu tanaman kakao. Kedua, ketatnya persaingan
juga terjadi akibat serangkaian kebijakan untuk menghadapi perdagangan bebas di
kawasan Asia Tenggara yaitu ASEAN Economy Community (AEC) atau
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 (MEA). Pada tahun 2015, apabila MEA
tercapai maka ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal
dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil, serta arus
modal yang lebih bebas diantara negara ASEAN. Terbentuknya pasar tunggal
yang bebas tersebut maka terdapat peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan

2

pangsa pasarnya di kawasan ASEAN khususnya dalam perkembangan komoditas
kakao.
Pada perkembangan kakao di Indonesia, industri hilir kakao di Indonesia
masih belum berkembang dan beroperasi secara optimal. Masalah utama terkait
daya saing kakao Indonesia dalam perdagangan internasional adalah masalah
produktivitas, kualitas mutu, dan industri kakao yang kurang berkembang. Pada
tahun 2005 rata-rata produktivitas kakao Indonesia sebesar 900 kg/ha/tahun.
Angka ini masih jauh dibawah rata-rata potensi yang diharapkan, yakni sebesar
2000 kg/ha/tahun (Asosiasi Kakao Indonesia 2005). Faktor yang menyebabkan
rendahnya produktivitas tanaman kakao mayoritas disebabkan karena penggunaan
bahan tanam yang kurang baik, teknologi budidaya yang kurang optimal, umur
tanaman serta masalah serangan hama dan penyakit. Kakao dalam bentuk
komoditas primer tersebut akan terkena diskon harga yang kemudian diinput
sebagai kerugian (Dradjat dan Wahyudi 2013). Kerugian tersebut seharusnya
dapat dikurangi apabila industri hilir Indonesia beroperasi secara optimal dan
dapat meningkatkan mutu dan nilai tambah komoditas kakao Indonesia. Industri
kakao dalam negeri juga kurang berkembang karena kurangnya pasokan bahan
baku dalam negeri yang disebabkan besarnya ekspor kakao keluar negeri. Hal
tersebut berbeda dengan Malaysia yang memiliki industri pengolahan kakao yang
sudah berkembang dapat mengeskpor kakao dalam bentuk olahan kakao ke negara
lain, termasuk Indonesia yang merupakan produsen biji kakao terbesar di Asia.
Industri kakao Indonesia belum memiliki pengolahan kakao yang baik jika
dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, sehingga kakao Indonesia lebih
banyak diekspor dalam bentuk biji kakao yang memiliki nilai tambah yang relatif
kecil. Nilai tambah yang lebih besar justru dimiliki oleh Malaysia dan Singapura
yang memiliki industri kakao yang lebih berkembang. Malaysia dipilih sebagai
negara pembanding karena Malaysia dengan Indonesia memiliki kesamaan
latarbelakang agroekosistemnya sehingga karakteristik kakao Indonesia memiliki
kesamaan dengan kakao Malaysia. Singapura merupakan negara tujuan ekspor
utama kakao Indonesia dan Malaysia di pasar ASEAN karena Singapura tidak
memiliki sumberdaya alam yang menunjang untuk memproduksi biji kakao.
Tingkat permintaan impor kakao yang tinggi untuk keperluan industri maupun
konsumsi dari Singapura juga menjadikannya pasar tujuan ekspor terbesar kakao
di ASEAN sehingga pasar Singapura dinilai mampu mempresentasikan
persaingan perdagangan ekspor kakao di ASEAN.
Pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan produksi dan
perdagangan produk olahan kakao untuk pengembangan dan peningkatan daya
saing produk kakao. Peningkatan daya saing produk merupakan tantangan
terbesar bagi komoditas kakao Indonesia, terutama untuk menghadapi
perdagangan bebas khususnya antar negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Mengingat iklim persaingan yang semakin ketat menyebabkan kakao Indonesia
mendapat ancaman yang serius dari negara-negara yang juga merupakan produsen
kakao di Asia Tenggara seperti Malaysia. Indonesia yang selama ini merupakan
negara pengekspor komoditas kakao terbesar di Asia Tenggara serta memiliki
peluang yang besar untuk menguasai pasar Asia Tenggara khususnya Singapura.
Besarnya potensi Indonesia tentunya menjadi tantangan terhadap ekspor
komoditas kakao Indonesia ke Singapura. Mengingat pentingnya komoditas kakao
dalam ekspor Indonesia sebagai penghasil devisa, maka kajian daya saing secara

3

komprehensif pada aspek produksi dan perdagangan serta mengetahui faktorfaktor penentu daya saing khususnya berkaitan dengan produktivitas dan
pemenuhan akan persyaratan mutu menjadi penting.
Rumusan Masalah
Menurut Lutfi (2014) Indonesia berpeluang menjadi produsen kakao terbesar
dunia mengingat potensi yang dimilikinya. Agribisnis kakao Indonesia sebagian
besar merupakan perkebunan rakyat yang tersebar di hampir seluruh provinsi di
tanah air sehingga agribisnis kakao secara langsung berkesinambungan dengan
kesejahteraan masyarakat kecil di pedesaan. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, area
kakao rakyat terus mengalami pertumbuhan yang nyata sehingga produksi kakao
nasional juga terus meningkat seiring dengan peningkatan luas area lahan kakao
(Apriyantono 2008).
Pada pasar perdagangan dunia, harga biji kakao dan produk olahannya
memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah di masa yang akan datang.
Adanya nilai tambah yang tinggi dalam industri pengolahan kakao dipandang
sangat perlu untuk mendorong perkembangan industri pengolahan di dalam negeri.
Sebagai salah satu produsen kakao terbesar dunia, Indonesia memiliki pengalaman
dalam dunia agribisnis kakao mulai dari aspek budidaya, pengolahan hulu dan
hilir, maupun pemasarannya. Namun demikian, masih banyak aspek yang belum
dapat dioptimalkan mulai dari tingkat produksi, penanganan pasca panen, maupun
industri hilirnya.
Menurut Apriyanto (2008), masalah utama yang perlu diatasi dalam
agribisnis kakao Indonesia antara lain rendahnya produktivitas yang masih jauh di
bawah potensi genetiknya, serangan hama dan penyakit utama yang merusak
tanaman dan menurunkan mutu, penanganan pasca panen yang belum optimal,
sistem tataniaga yang kurang mendukung, serta kemitraan dengan sektor
pengolahan yang belum berjalan lancar. Diperlukan pemahaman yang
komprehensif dalam mengembangkan komoditas kakao untuk memperoleh solusi
terhadap permasalahan yang dihadapi agribisnis kakao Indonesia.
Pangsa pasar produk kakao Indonesia, baik ekspor maupun domestik terus
meningkat secara signifikan (Djalil 2008). Pemerintah telah menetapkan kakao
sebagai komoditas prioritas untuk direvitalisasi. Penetapan kakao sebagai
komoditas prioritas tersebut didasarkan pada pertimbangan keunggulan kompetitif
dan komparatif di pasar internasional. Meskipun memiliki keunggulan komparatif
dibandingkan dengan negara-negara lainnya di ASEAN seperti Malaysia,
Singapura, Filipina dan Thailand, kondisi kakao Indonesia belum cukup
menggembirakan. Banyak kendala yang masih belum sepenuhnya bisa diatasi, baik
di tingkat produksi, pasca panen, maupun indistri hilirnya. Sampai saat ini, biji
kakao rakyat masih dicirikan dengan karakter cita rasa lemah, kadar kotoran tinggi,
serta banyak terkontaminasi bakteri (Djalil 2008).
Industri kakao nasional masih kekurangan bahan baku. Impor biji kakao
untuk bahan baku industri dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan (ICCO
2013). Keadaan tersebut menunjukkan adanya kepentingan mendesak untuk
melakukan perbaikan mutu biji kakao dan perbaikan industri olahannya. Ekspor
kakao Indonesia juga masih lebih banyak dalam bentuk setengah jadi dan biji
kakao. Berbeda dengan Singapura dan Malaysia yang mampu mengolah biji kakao

4

dalam bentuk hasil jadi dan setengah jadi, meskipun luas area tanam kakao mereka
lebih kecil dari Indonesia. Singapura dan Malaysia telah memiliki pabrik
pengolahan kakao yang berkualitas yang mampu menghasilkan kakao olahan
dengan mutu yang baik.
Selain permasalahan rendahnya produktivitas dan mutu seperti yang
diuraikan di atas, industri agribisnis kakao Indonesia juga menghadapi beberapa
masalah internal. Kendala internal tersebut antara lain efisiensi pemasaran yang
rendah dan belum optimalnya kebijakan pemerintah terkait upaya peningkatan
produktivitas dan mutu kakao nasional. Diberlakukannya kebijakan bea keluar biji
kakao pada tanggal 1 April 2010 mengakibatkan menurunnya nilai ekspor kakao
Indonesia. Dalam rangka mengembangkan industri pengolahan kakao nasional,
kebijakan bea keluar biji kakao diharapkan mampu memberikan efek positif.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa tantangan yang dihadapi oleh
kakao Indonesia dan negara ASEAN lainnya adalah daya saing produk, standar
mutu, stabilitas harga, dan pangsa pasar yang lebih kompetitif dengan dimulainya
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan dimulai pada tahun 2015.
Perkembangan pasar akan dikuasai oleh perusahaan atau negara yang mampu
menjual dengan mutu lebih baik pada kondisi constant return to scale dan
increasing to scale. Pada kondisi tersebut yang dapat bertahan dalam persaingan
adalah perusahaan atau negara yang mampu melakukan integrasi vertikal (Briggs
et al. 2005).
Hal di atas menunjukkan bahwa kakao Indonesia harus lebih memiliki daya
saing tinggi agar dapat bersaing dengan kakao dari negara pesaing seperti
Malaysia. Dengan demikian, rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimana daya saing komoditas kakao Indonesia dibandingkan dengan Malaysia
di pasar Singapura sebagai tujuan utama ekspor kakao di ASEAN. Berdasarkan
pada penjelasan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana daya saing perdagangan ekspor biji kakao dan produk olahan kakao
Indonesia dibandingkan dengan Malaysia di pasar Singapura?
2. Apa dampak Kebijakan pemerintah mengenai komoditas kakao terhadap
pertumbuhan ekspor kakao dan industri pengolahan kakao Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan,
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis daya saing perdagangan biji kakao dan produk olahan kakao
Indonesia dibandingkan dengan Malaysia di pasar Singapura.
2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah mengenai komoditas kakao
terhadap pertumbuhan ekspor kakao dan industri pengolahan kakao Indonesia.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan informasi serta bukti
empiris mengenai daya saing kakao Indonesia di pasar tujuan ekspor yaitu
Singapura. Manfaat penelitian ini secara lebih khusus adalah sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai daya saing kakao Indonesia

5

di salah satu pasar tujuan ekspor di ASEAN yaitu Singapura, sehingga
pemerintah mendapat informasi dan bahan masukan dalam merumuskan
berbagai kebijakan yang bersifat kompetitif di masa yang akan datang.
2. Bagi para pelaku pasar, hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi
tambahan atas kondisi perkebunan kakao di Indonesia saat ini dan dapat
mengeteahui langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing industri kakao
Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas mengenai daya saing komoditas kakao Indonesia di
pasar Asia Tenggara khususnya Singapura. Penelitian ini menggunakan beberapa
alat analisis yaitu analisis deskriptif dan metode kuantitatif. Metode desktiptif
digunakan untuk menganalisis perkembangan data-data yang digunakan dalam
penelitian ini. Metode kuantitatif dengan pendekatan Revealed Comparatif
Advantage (RCA) dan Constant Market Share (CMS). Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder deret waktu selama 10 tahun (2003-2013). Data
tersebut diperoleh dari Situs Resmi Perdagangan Komoditas Internasional dan The
International Cocoa Organization (ICCO). Data produk kakao yang dianalisis
dibagi menjadi enam jenis berdasarkan kode Harmonized System (HS-18) 4-dijit
ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Produk kakao berdasarkan kode Harmonized System (HS-18) 4-dijit
No Kode Harmonized System
Spesifikasi
1
1801
Cocoa beans, whole or broken, raw or roasted
2
1802
Cocoa shells, husks, skins and waste
3
1803
Cocoa paste
4
1804
Cocoa butter, fat, oil
5
1805
Cocoa powder, unsweetened
6
1806
Cocoa and other foods contaning cocoa
Sumber: Situs Resmi Perdagangan Komoditas Internasional (www.comtrade.un.org)

TINJAUAN PUSTAKA
Daya Saing
Hasil dari penelitian Kalaba (2012) dalam penelitiannya yang menggunakan
pendekatan RCA untuk menganalisis daya saing kakao Indonesia periode tahun
1991-2010 menjelaskan jika ekspor kakao Indonesia lebih tinggi daripada ekspor
kakao terhadap jumlah ekspor dunia, maka Indonesia memiliki keunggulan
komparatif atas produksi dan ekspor kakao. Kalaba (2012) dalam penelitiannya
juga mendiferensiasikan produk kakao dalam empat kategori yaitu biji kakao,
pasta kakao, lemak kakao, maupun bubuk kakao. Dalam kurun waktu 1991
sampai dengan 2010 Indonesia berada dalam tahap spesialisasi ekspor untuk
komoditas biji kakao dan lemak kakao sedangkan pasta kakao dan bubuk kakao

6

cenderung menjadi negara pengimpor. Hasil analisis Irnawaty (2008) dalam
penelitiannya tentang daya saing Komoditas kakao Indonesia menunjukkan bahwa
kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan
Internasional. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RCA yang dimiliki oleh Indonesia
periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 lebih dari satu. Irnawaty (2008)
dalam penelitiannya yang menggunakan Porter's Diamond Theory menjelaskan
walaupun komoditas kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif, Indonesia
masih berdaya saing lemah karena terdapat berbagai kendala yaitu kualitas kakao
Indonesia yang masih rendah dan belum memenuhi standar internasional.
Penelitian lain mengenai daya saing komoditas kakao Indonesia dilakukan
oleh Ragimun (2012) yang menganalisis daya saing kakao Indonesia dengan
beberapa negara dalam kurun waktu 2002 sampai dengan 2011. Negara tujuan
utama ekspor kakao dari Indonesia adalah Malaysia, Singapura, Amerika, China,
dan Brazil yang menguasai sebesar 93,1 % dengan nilai ekspor komoditas kakao
pada tahun 2002-2011 terus mengalami peningkatan walaupun nilai impor juga
terus mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil dari analisis RCA, komoditas
kakao merupakan komoditas unggulan Indonesia yang mempunyai daya saing
cukup bagus karena memiiki RCA lebih besar dari 1. Nilai RCA Indonesia juga
lebih tinggi dari Malaysia dari tahun 2002 hingga 2011, namun pada tahun 2011
RCA Indonesia mengalami penurunan menjadi 2,75 yang hampir sama dengan
RCA Malaysia yang sebesar 2,52.
Penelitian dengan metode Revealed Compared Advantage yang
menganalisis daya saing kakao Indonesia lainnya adalah Rahmanu (2009) yang
menunjukkan bahwa kakao olahan Indonesia tidak memiliki keunggulan
komparatif pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 dengan nilai RCA di
bawah satu dan memiliki keunggulan komparatif pada tahun 1995 sampai dengan
tahun 2006 dengan nilai RCA diatas satu. Hal ini disebabkan pada tahun 1988
sampai tahun 1995 nilai ekspor hasil olahan kakao masih relatif sedikit dan mulai
meningkat pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2006 seiring dengan
meningkatnya industri makanan dan minuman dunia.
Hasil dari penelitian Irwanto (2012) yang menganalisis keunggulan daya
saing dan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor komoditas kakao Indonesia ke
kawasan Uni Eropa menunjukkan posisi daya saing komoditas kakao Indonesia di
pasar Estonia, Prancis, Belanda, Polandia, dan Inggris berada pada kuadran
Falling Star. Sedangkan posisi daya saing komoditas kakao Indonesia di pasar
Jerman, Italia, Lithuania dan Spanyol berada pada kuadran Rising Star. Irwanto
(2012) menjelaskan bahwa secara keseluruhan industri pengolahan kakao
Indonesia kurang kompetitif di pasar Uni Eropa. Hadi dan Mardianto (2004) juga
melakukan penelitian mengenai analisis komparasi daya saing produk ekspor
pertanian antara nergara ASEAN dalam era perdagangan bebas AFTA. Analisis
dan pengolahan data untuk daya saing dilakukan secara kuantitatif menggunakan
metode Constant Market Share (CMS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
analisis pertumbuhan nilai ekspor produk pertanian Indonesia dan dunia ke
kawasan ASEAN periode 1997-1999 dan 1999-2001 dengan menggunakan
metode CMSA menunjukkan pertumbuhan ekspor Indonesia selama 1997-1999
ke kawasan ASEAN mencapai 0,313. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan ekspor dunia ke kawasan ASEAN yang justru menurun yaitu -0,177.
Namun pada periode 1999-2001 kondisinya berbalik, dimana pertumbuhan ekspor

7

menurun menjadi 0,024 sedangkan untuk dunia meningkat menjadi positif yaitu
0,046.
Hadi dan Mardianto (2004) juga menjelaskan bahwa dalam era liberalisasi
perdagangan, daya saing benar-benar menjadi kunci bagi setiap negara dalam
mengembangkan produk-produknya yang akan diekspor, termasuk produksi
pertainan. Negara yang tidak dapat mengembangkan dan mempertahankan daya
saing produk-produk yang dihasilkannya akan kalah bersaing dengan negaranegara yang berupaya meningkatkan daya saing produk-produknya melalui
rekayasa dan inovasi teknologi secara terus-menerus yang menghasilkan
keunggulan biaya dan keunggulan kualitas. Apabila dicermati lebih lanjut, dari 24
kelompok produk pertanian yang dianalisis, ternyata 10 kelompok produk bernilai
negatif dan 14 kelompok produk bernilai positif pada periode 1997-1999.
Beberapa kelompok produk yang bernilai positif memang merupakan produk
pertanian unggulan ekspor Indonesia, seperti CPO, sayuran dan umbi-umbian,
kopi, teh, dan kakao. Pada periode 1999-2001 hanya 8 kelompok yang bertanda
positif, sedangkan sisanya bertanda negatif. Kelompok kakao merupakan salah
satu kelompok produk yang bernilai positif dan nilainya meningkat dibanding
pada periode 1997-1999.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing
Kalaba (2012) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi daya
saing biji kakao dipengaruhi oleh harga domestik biji kakao, harga internasional
biji kakao, nilai tukar Rupiah, nilai tukar Ringgit Malaysia, dan nilai tukar Dollar
Singapura. Daya saing pasta kakao dipengaruhi oleh harga domestik pasta kakao
dan nilai tukar mata uang New Zealand (NZD). Menurut Irnawaty (2008) dalam
penelitiannya yang menggunakan analisis Porter's Diamond menjelaskan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan daya saing kakao
Indonesia disebabkan karena penggunaan bibit unggul yang masih rendah,
kualitas SDM yang rendah, kurangnya daya dukung sarana infrastruktur dan
masih kurangnya industri terkait dan industri pendukung dalam pengadaan bibit
unggul guna peningkatan kualitas kakao.
Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Irnawaty (2008), menurut
hasil analisis Porter's Diamond yang dilakukan oleh Rahmanu (2009)
menunjukkan bahwa industri pengolahan kakao nasional kurang kompetitif.
Beberapa hal yang menjadi kendala perkembangan industri pengolahan kakao
adalah infrastruktur yang terbatas, sulitnya akses terhadap sumber permodalan,
pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada komoditas primer serta kualitas
biji kakao yang rendah. Sedangkan Irwanto (2012) menjelaskan dengan
pendekatan Porter's Diamond menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi daya
saing komoditas kakao Indonesia adalah kondisi permintaan, industri terkait dan
industri pendukung, peran pemerintah, serta peran kesempatan. Keempat
komponen ini memiliki keunggulan yang mampu mengangkat daya saing
komoditas kakao Indonesia. Sementara itu, komoditas kakao Indonesia masih
memiliki kelemahan dalam komponen kondisi faktor serta strategi perusahaan,
struktur, dan persaingan.
Penelitian pada dampak faktor eksternal terhadap kinerja ekspor kakao
Indonesia juga dilakukan oleh Tupamahu dan Ivakdalam (2012) dengan

8

menggunakan data sekunder time series dari tahun 1990-2009 dan menggunakan
metode 2 SLS (Two stage Least Square). Dari hasil studi tersebut dapat diketahui
bahwa faktor eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja ekspor kakao Indonesia
adalah ekspor kakao Indonesia ke Amerika Serikat, ekspor kakao Pantai Gading,
ekspor kakao Ghana, dan harga dunia. Jika dikaji lebih rinci, maka dapat
disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao Indoneisa ke
Amerika Serikat adalah tambahan harga kakao dunia pada tahun ke-t, rasio nilai
tukar pada 1 tahun sebelum dengan tahun ke-t, dummy automatic detention, dan
dummy pajak ekspor. Sedangkan ekspor kakao Pantai Gading dipengaruhi oleh
rasio kakao dunia pada 1 tahun sebelum dengan tahun ke-t dan produksi kakao
Pantai Gading pada tahun sebelumnya. Lalu ekspor kakao Ghana dipengaruhi oleh
produksi kakao Ghana pada tahun ke-t dan ekspor kakao pada 1 tahun
sebelumnya. Sedangkan harga kakao dunia dipengaruhi oleh ekspor kakao dunia
pada tahun ke-t, impor kakao dunia pada 1 tahun sebelumnya, dan harga kakao
dunia pada 1 tahun sebelumnya.
Berdasarkan penggunaan sumberdaya agribisnis kakao domestik, Kalaba
(2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa biji kakao lebih murah diproduksi
di dalam negeri dibanding impor dari luar negeri. Saat ini produksi pabrik
pengolahan Indonesia tidak hanya memakai kakao dalam negeri, tetapi masih
memakai campuran kakao impor. Hal ini karena mutu kakao Indonesia yang
masih belum sebaik mutu kakao impor. Disamping itu, produk fermentasi juga
belum bermutu baik dan jumlahnya pun masih dibawah kebutuhan industri karena
keterbatasan petani dalam mendapatkan input produksi berkualitas dengan harga
yang terjangkau. Kalaba (2012) menjelaskan bahwa dengan adanya dukungan
seperti subsidi input mampu membantu petani kakao Indonesia walaupun harga
input setelah disubsidi masih cukup tinggi sehingga kebijakan pemerintah terkait
subsidi masih sangat perlu ditingkatkan.
Dampak Kebijakan Pemerintah
Penelitian yang membahas tentang kebijakan perdagangan kakao Indonesia
juga telah dilakukan oleh Lubis dan Nuryanti (2011) yang melakukan penelitian
tentang dampak ACFTA dan kebijakan perdagangan kakao di pasar domestik dan
China. Penelitian ini membandingkan Indonesia dengan Malaysia dalam
perdagangan kakao di pasar domestik dan China. Menggunakan analisis daya
saing Revealed Symentric Comparative Advantage (RSCA), Indeks Spesialisasi
Perdagangan (ISP), dan analisis regresi berganda diketahui bahwa daya saing biji
kakao Indonesia di pasar China terhadap Malaysia ternyata tidak meningkat sejak
pelaksanaan ACFTA. Analisis dengan menggunakan metode RSCA bertujuan
untuk membuat perbandingan daya saing Indonesia dengan produk Malaysia di
pasar China dan daya saing produk China dan Malaysia di pasar Indonesia.
Malaysia merupakan negara eksportir pesaing Indonesia karena ekspornya
meningkat pesat di China setelah ACFTA pada tahun 2005.
Lubis dan Nuryanti (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
Malaysia menunjukkan konsistensi dalam mempertahankan daya saing produk
kakao olahan mereka, khususnya bubuk kakao (cocoa powder) dan lemak dan
pasta kakao (cocoa butter and cocoa paste). Konsentrasi Malaysia di kedua pasar
produk tersebut sangat tepat karena permintaan China untuk kedua pasar produk

9

tersebut sangat tepat karena permintaan China untuk keduanya semakin besar dan
justru menurun untuk biji kakao. Kemampuan Malaysia mempertahankan daya
saing di pasar potensial seperti China untuk produk kakao ternyata berbanding
terbalik dengan kinerja Indonesia. Indonesia mempunyai daya saing tetapi hanya
untuk biji kakao dan bubuk kakao. Namun pangsa ekspor bubuk kakao Indonesia
di China juga relatif masih rendah. Pada tahun 2009 Indoensia sama sekali tidak
mempunyai daya saing untuk produk lemak dan pasta kakao di pasar China.
Kondisi ini lebih buruk dibandingkan tahun 2005 dan 2000, dimana Indonesia
masih mempunyai daya saing meskipun masih dibawah Malaysia. Indonesia dan
Malaysia keduanya tidak mempunyai daya saing untuk produk olahan kakao di
pasar China. Keduanya tidak mampu bersaing dengan produk yang berasal dari
Italia dan Singapura. Kemampuan Malaysia sebagai pemasok kedua terbesar pasar
kakao di China sebenarnya bertolak belakang dengan kemampuan negara tersebut
dalam memproduksi biji kakao. Pada tahun 2009 menunjukkan bahwa Indonesia
adalah produsen biji kakao terbesar kedua di dunia dengan volume produksi biji
kakao nasional mencapai 800 ribu ton setelah Pantai Gading, jauh lebih besar
dibandingkan Malaysia yang hanya memproduksi 18,2 ribu ton. Dari data tersebut
menunjukkan Malaysia sangat tergantung pada bahan baku biji kakao dari Pantai
Gading, Indonesia dan Ghana untuk menghasilkan produk setengah jadi dan
produk kakao untuk konsumsi
Penelitian Lubis dan Nuryanti (2011) juga menjelaskan bahwa daya saing
ekspor biji kakao Indonesia tidak meraih keuntungan dalam perdagangan bebas
ACFTA hanya dengan mengekspor produk primer seperti biji kakao ke China atau
Malaysia. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia tidak dapat mengoptimalkan
momentum ACFTA yang telah dimulai sejak 2005 untuk meningkatkan kinerja
ekspor di pasar China seperti Malaysia yang mengambil keuntungan dari ACFTA
dengan meningkatkan kinerja ekspor ke China, khususnya untuk komoditas kakao
dibandingkan Indonesia. Oleh karena itu, sejak 1 April 2010 ekspor biji kakao
telah dikenakan kebijakan bea keluar (BK) yang berlaku secara progresif
berdasarkan harga internasional atau dikenal sebagai harga referensi. Apabila
Indonesia hendak meningkatkan daya saing produk kakao, Indonesia memang
harus membatasi ekspor biji kakao dan meningkatkan produksi produk olahan
kakao seperti kakao bubuk, kakao pasta dan lemak kakao untuk diekspor dan
memperoleh nilai tambah serta memperbaiki daya saing kakao di pasar China
maupun Internasional.
Terkait dengan kebijakan bea keluar (BK) yang berlaku pada 1 April 2010,
penelitian yang dilakukan oleh Rifin dan Nauly (2013) memperoleh hasil bahwa
tujuan pemerintah menerapkan pajak ekspor terhadap biji kakao sejak April 2010
adalah untuk meningkatkan industri kakao olahan dan menggeser komposisi
produk ekspor kakao dari biji kakao menjadi produk olahan kakao. Disisi lain,
pertumbuhan ekspor kakao Indonesia masih dibawah pertumbuhan permintaan
kakao dunia yang menyebabkan daya saing Indonesia berkurang. Hal ini terbukti
dengan berkurangnya nilai ekspor kakao Indonesia pada 2011 dengan nilai US$
1 364 170 460 dibandingkan dengan tahun 2009 yang bernilai US$ 1 469 157
944, menurun sekitar 7,15%.
Rifin dan Nauly (2013) dalam penelitiannya juga menggunakan metode
Constant Market Share (CMS) yang membandingkan data pada tahun 2009 dan
2011. Penerapan pajak ekspor pada 2010 menunjukkan berkurangnya jumlah biji

10

kakao dan produk olahan kakao disebabkan karena efek komposisi komoditas
serta efek daya saing yang bernilai negatif, dengan nilai masing-masing -0,043
dan -2,082. Penerapan pajak ekspor telah mengurangi daya saing biji kakao dan
produk kakao Indonesia. Berbeda dengan negara produsen kakao terbesar dunia
yaitu Pantai Gading dan Ghana yang memperoleh pertumbuhan ekspor yang
positif pada periode 2009 dan 2011. Ghana yang merupakan produsen kakao
terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading memperoleh pertumbuhan ekspor
tertinggi yang secara signifikan meningkatkan daya saing produk kakaonya dan
Pantai Gading yang memperoleh pertumbuhan ekspor positif juga memperoleh
pasar dan komposisi produk yang positif, yang menunjukkan bahwa Pantai
Gading berfokus pada produk dan pasar yang memiliki pertumbuhan positif.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan antar negara atau perdagangan internasional sudah ada sejak
dahulu namun dalam jumlah dan ruang lingkup yang terbatas, dimana pemenuhan
kebutuhan yang tidak dapat diproduksi dalam negeri masing-masing negara yang
terlibat dalam perdagangan tersebut dipenuhi dengan cara barter. Pada awalnya
perdagangan internasional merupakan pertukaran atau perdagangan tenaga kerja
dengan barang dan jasa lainnya, yang selanjutnya diikuti perdagangan barang dan
jasa sekarang dengan kompensasi barang dan jasa dikemudian hari. Hal tersebut
memungkinkan setiap negara melakukan diversivikasi atau penganekaragaman
kegiatan perdagangan yang dapat meningkatkan pendapatan mereka melalui
perluasan komoditas ekspor dan memperbesar penerimaan devisa.
Menurut Basri (2010) Secara teoritis, perdagangan internasional terjadi
karena dua alasan utama. Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya
mereka berbeda satu sama lain. Kedua, negara-negara melakukan perdagangan
dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) dalam
produksi. Maksudnya, jika setiap negara hanya memproduksi sejumlah barang
tertentu, mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang
lebih besar dan karenanya lebih efisien jika dibandingkan dengan negara tersebut
memproduksi segala jenis barang. Pola-pola perdagangan internasonal yang
terjadi mencerminkan perpaduan dari kedua motif ini.
Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya taraf
kehidupan yang bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi menyebabkan
peningkatan kebutuhan masyarakat. Maka perdagangan internasional menjadi
suatu hal yang penting. Pada saat ini tidak ada satu negara pun yang berada dalam
kondisi autarki, yaitu negara yang terisolasi, tanpa mempunyai hubungan
ekonomi.
Terdapat beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan
internasional diantaranya dikarenakan perbedaan permintaan dan penawaran antar
negara juga turut menyebabkan terjadinya perdagangan internasional. Perbedaan
ini terjadi karena : (a) tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan

11

komoditas yang diperdagangkan, karena faktor-faktor alam negara tersebut tidak
mendukung, seperti letak geografis dan kandungan buminya dan (b) perbedaan
pada kemampuan suatu negara dalam menyerap komoditas tertentu pada tingkat
yang lebih efisien.
Menurut pandangan merkantilisme, perdagangan dilakukan dengan
mengekspor sebanyak-banyaknya dan menekan impor sesedikit mungkin adalah
satu-satunya jalan untuk menjadi negara kaya. Surplus ekspor yang diterima akan
dialihkan menjadi stok emas dan logam mulia. Para kaum merkantilisme
beranggapan bahwa negara yang kaya adalah negara yang paling banyak memiliki
cadangan emas dan logam mulia (Salvatore 1997).
Berbeda dengan pandangan kaum merkantilisme, Adam Smith beranggapan
bahwa perdagangan antara dua negara disebabkan karena adanya keunggulan
absolut. Jika sebuah negara lebih efisien dalam memproduksi sebuah komoditas
dibandingkan negara lain walaupun negara ini kurang efisien jika memproduksi
barang lainnya dibandingkan dengan negara lain maka kedua negara ini akan
memperoleh keuntungan dengan melakukan spesialisasi dalam memproduksi
barang yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkannya dengan barang
yang memiliki kerugian absolut (Salvatore 1997).
Daya Saing
Daya saing ekspor merupakan kemampuan suatu komoditas untuk memasuki
pasar luar negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan di dalam pasar tersebut,
dalam artian jika suatu produk mempunyai daya saing maka produk tersebutlah
yang banyak diminati konsumen (Salvatore 1997). Pembahasan daya saing tidak
dapat terlepas dari dua istilah yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif. Keunggulan komparatif tiap negara akan menentukan apa yang terjadi
jika terjadi perdagangan diantara mereka.
Sumber keunggulan komparatif tidak hanya berasal dari faktor alamiah tetapi
dapat juga diciptakan. Sumber keunggulan komparatif suatu negara dalam
memproduksi suatu produk dapat berasal dari keunggulan komparatif dari faktor
pengetahuan (learning factor) disebut sebagai keunggulan dinamis dan keunggulan
komparatif dalam proses produksi dengan memanfaatkan tenaga kerja dan atau
modal yang disebut sebagai keunggulan statis (Salvatore 1997). Indonesia sebagai
negara berkembang memiliki keunggulan statis berupa tenaga kerja sedangkan
negara-negara maju sebagai penyedia teknologi memiliki keunggulan dinamis
berupa teknologi. Salah satu metode untuk menganalisis keunggulan komparatif
adalah Revealed Compared Advantage (RCA). Konsep RCA merupakan rasio
antara pangsa pasar dari sebuah produk suatu negara dalam pasar dunia dengan
pangsa pasar ekspor suatu negara terhadap total ekspor dunia.
Menurut Gonarsyah (2007) para ekonom seperti Barkema, Drabenstotti dan
Tweeter, serta Shaples mengartikan keunggulan kompetitif sebagai hasil kombinasi
dari distorsi pasar dan keunggulan komparatif. Distorsi pasar dapat bersumber
karena kebijakan pemerintah (goverment
policy) maupun
adanya
ketidaksempurnaan pasar (market imperfectionist). Kebijakan pemerintah dapat
bersifat langsung seperti tarif maupun tidak langsung seperti regulasi.
Ketidaksempurnaan pasar misalnya adanya monopoli atau monopsoni domestik.
Menurut Gonarsyah (2007) sejalan dengan globalisasi ekonomi dan
liberalisasi perdagangan, pada masa mendatang hanya komoditas yang memiliki

12

keunggulan komparatif yang dapat memiliki keunggulan kompetitif. Upaya
peningkatan daya saing harus lebih bertumpu pada upaya peningkatan
produktivitas dan efisiensi. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, regulator,
dinamisator melalui kebijakan penelitian dan pengembangan, penyuluhan,
meningkatkan akses pasar, perbaikan infrastruktur dan sarana informasi pasar.
Dalam jangka panjang, upaya-upaya tersebut lebih memberikan proteksi bagi
masyarakat.
Sudaryanto (2005) menambahkan bahwa keunggulan komparatif tidak
menjamin keunggulan kompetitif. Selain keunggulan komparatif, keunggulan
kompetitif ditentukan oleh kemampuan memasok produk dengan atribut sesuai
dengan keinginan konsumen. Tambunan (2001) menyebutkan bahwa keunggulan
kompetitif suatu komoditas adalah suatu keunggulan yang dapat dikembangkan,
jadi keunggulan kompetitif ini harus diciptakan untuk dapat memilikinya.
Keunggulan kompetitif merupakan hasil interaksi dari tiga tingkatan pasar
yaitu pasar internasional dari produk, pasar domestik dari produk, dan pasar
sarana produksi. Keunggulan kompetitif merupakan hasil resultan dari rantai
agribisnis secara vertikal mulai dari perolehan sarana produksi, usahatani,
pemasaran domestik, dan pemasaran internasional. Dalam rangka meningkatkan
keunggulan kompetitif diperlukan koordinasi vertikal petani-agribisnis antaraagribisnis hilir.
Analisis keunggulan kompetitif dapat dilakukan melalui pendekatan pangsa
pasar konstan atau Constant Market Share Analiysis (CMSA). CMSA secara
umum adalah prosedur akunting untuk mengetahui sumber pertumbuhan ekspor
dari suatu negara. Asumsi dasar dari model pangsa pasar konstan adalah pangsa
pasar suatu negara di pasar dunia tidak berubah sepanjang waktu. Asumsi dasar
dari model CMSA adalah daya saing yang dimiiki suatu negara untuk ekspor
suatu komditas pada tingkatan yang sama, mempunyai pasar konstan. Akibatnya
setiap perbedaan antara perubahan aktual ekspor dari suatu negara dan
penjumlahan pasar dari pesaing menjadi penyebab perubahan komposisi ekspor
atau day saing. Nilai negatif menunjukkan bahwa negara tersebut gagal
memperthankan pangsa pasarnya. Efek daya saing pada analisis CMSA ini lebih
bersumber dari daya saing harga.
Salah satu kelebihan model CMSA dibandingkan RCA yaitu CMSA dapat
mendekomposisi perubahan ekspor menjadi beberapa komponen (Kustiari 2007).
Pertumbuhan ekspor suatu negara dapat dipisahkan menjadi komposisi komoditas,
distribusi pemasaran, dan efek daya saing yang menggambarkan interaksi
permintaan dan penawaran. Penggunaan model CMSA mempunyai keterbatasan
antara lain bahwa persamaan untuk menguraikan pertumbuhan ekspor merupakan
persamaan identitas. Oleh karena itu, alasan-alasan terjadinya perubahan daya
saing tidak dapat dievaluasi dengan hanya menggunakan analisis CMSA saja.
Kelemahan lainnya yaitu mengabaikan perubahan daya saing pada titik waktu
yang terdapat diantara dua titik waktu yang digunakan. Namun demikian analisis
CMSA ini sangat berguna untuk mengkaji kecenderungan daya saing produk yang
dihasilkan suatu negara.
Teori Revelaed Comparative Advantage (RCA)
Keunggulan komparatif merupakan sebuah konsep penting dalam teori
ekonomi. Konsep ini mengasumsikan setiap negara akan mampu mengidentifikasi

13

ke arah mana investasi harus dilakukan serta ke negara mana komoditas
perdagangan mereka harus diperjualbelikan dengan melihat nilai keunggulan
mereka secara komparatif. Dalam teori komparatif David Ricardo, dua negara akan
melakukan perdagangan apabila perdagangan tersebut menguntungkan kedua belah
pihak. Keuntungan pada kedua belah pihak dapat dilihat dari daya tukar domestik
negara tersebut. Apabila suatu negara dapat menghasilkan suatu komoditas dengan
harga yang sama dibandingkan dengan membeli dari negara lain maka
perdagangan antar dua negara tidak akan terjadi. Lain halnya jika negara tersebut
dapat membeli suatu komoditas dari negara lain lebih murah daripada
memproduksi sendiri komoditas tersebut. maka perdagangan antar dua negara akan
terjadi. Dengan catatan, negara yang menjual komoditas mendapatkan keuntungan
dari jual beli tersebut.
Revealed Comparatif Advantage (RCA) atau keunggulan komparatif yang
terungkap, merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur
keunggulan komparatif di suatu wilayah (negara, propinsi dan lain-lain) yang
cukup sering digunakan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Ballasa pada
tahun 1965, yang menganggap bahwa keunggulan komparatif suatu negara
direfleksikan atau terungkap dalam ekspornya. Basri (2010) menyatakan bahwa
Pada mulanya Balassa mengajukan postulasi tentang perdagangan internasional
yang didasarkan kepada nisbah atau rasio ekspor impor. Metode inilah yang
merupakan cikal bakal perumusan RCA yang kita kenal sekarang.
Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar
wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh
suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap
total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai
produk dalam perdagangan dunia.
Basri (2010) juga menyebutkan bahwa RCA dapat dikembangkan menjadi
suatu metode pengukuran yang bersifat dinamis dengan memasukkan unsur waktu,
sehingga dapat menunjukkan perkembangan pangsa relatifnya dari waktu ke
waktu. Dengan membandingkan angka RCA antara dua waktu, maka akan
diperoleh indeks RCA. Indeks ini menunjukkan perkembangan RCA dari waktu ke
waktu. Indeks yang lebih kecil dari satu menunjukkan terjadinya penurunan RCA.
Artinya, kinerja ekspor komoditas i dan negara j mengalami kemunduran relatif
dibandingkan dengan kinerja ekspor rata-rata dunia. Sebaliknya, indeks yang lebih
besar dari satu menunjukkan bahwa ekspor komoditas i dari negara j mengalami
peningkatan relatif dibandingkan dengan rata-rata dunia, sehingga pangsanya di
pasaran dunia meningkat.
Peneletian ini mengukur daya saing komoditas kakao Indonesia di pasar
Amerika Serikat, maka yang diukur adalah kinerja ekspor komodti kakao
Indonesia ke Singapura terhadap total ekspor Indonesia ke Singapura yang
selanjutnya dibandingkan dengan pangsa nilai ekspor komoditas kakao dunia
terhadap total nilai ekspor dunia.

14

Teori Constant Market Share (CMS)
Dalam perdagangan internasional ada berbagai faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan ekspor suatu negara. Diantara berbagai faktor tersebut faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekspor diantaranya terdapat faktor distribusi pasar,
komposisi komoditas dan daya saing. Tiga faktor tersebut masing-masing dapat
diukur berapa besar efek yang berpengaruh pada pertumbuhan ekspor suatu
negara. Salah satu metode untuk mengukur besarnya efek dari masing-masing
faktor adalah metode Constant Market Share.
Pendekatan Constant Market Share (CMS) digunakan untuk mengukur
dinamika tingkat daya saing suatu industri dari suatu negara. Penggunaan
pendekatan ini didasarkan pada pemahaman bahwa laju pertumbuhan