Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kursi Rotan Dan Mebel Rotan Indonesia Di Pasar Internasional

(1)

ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KOMODITAS KURSI

ROTAN DAN MEBEL ROTAN INDONESIA DI PASAR

INTERNASIONAL

ACHMAD SUBCHIANDI MAULANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2017


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Mebel Rotan Indonesia Di Pasar Internasional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017 Achmad Subchiandi Maulana NIM H351140031


(4)

RINGKASAN

ACHMAD SUBCHIANDI MAULANA. Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kursi Rotan Dan Mebel Rotan Indonesia Di Pasar Internasional. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan SUHARNO.

Rotan merupakan salah satu kekayaan hutan Indonesia sebagai negara tropis. Saat ini ketersediaan rotan sangat banyak di hutan Indonesia terutama di wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera dengan jumlah produksi rata-rata sebesar 690.000 ton pada tahun 2010 sehingga menjadikan Indonesia sebagai pemasok utama kebutuhan rotan dunia. Sebagai salah satu kekayaan alam hayati Indonesia, rotan mampu menyumbang devisa terbesar dari hasil hutan bukan kayu dibandingkan komoditas hasil hutan bukan kayu lainnya dengan penerimaan ekspor pada tahun 2012 sebesar USD 286,72 juta, sedangkan minyak atsiri hanya menyumbang USD 222,97 juta dan hasil hutan ikutan sebesar USD 43,14 Juta. Sedangkan dari industri kursi rotan dan mebel rotan sendiri menyumbang sebesar USD 151,66 juta (Kemenprin, 2013).

Menurut Kemenprin (2013), pada tahun 2005 Indonesia menempati posisi ketiga (7,68%) dalam perdagangan kursi rotan dan mebel rotan di pasar global setelah China (20,72%) dan Italia (17,71%). Kemunduran industri rotan terjadi karena dikeluarkannya kebijakan pembukaan kran ekspor rotan mentah pada tahun 2005 yang menyebabkan industri rotan Indonesia memburuk, kemudian pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan pada tahun 2009 melalui SK Menteri Perdagangan No.36/M-DAG/PER/8/2009 tentang pembatasan ekspor rotan untuk jenis diameter tertentu. Peraturan ini melarang ekspor rotan asalan dari jenis rotan apapun. Kemudian di tahun 2011 pemerintah menegaskan pelarangan ekspor rotan mentah yang tertuang dalam SK Menteri Perdagangan No.35/M-DAG/PER/11/2011. Perubahan kebijakan diharapkan mampu meningkatkan daya saing serta nilai ekspor kursi rotan dan mebel rotan, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat daya saing komoditas kursi rotan dan mebel rotan serta faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ekspornya.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari berbagai sumber seperti BPS, Uncomtrade, World Bank, dan CEPII pada periode tahun 2007 sampai dengan tahun 2015 yang meliputi delapan negara terbesar pengimpor yaitu Amerika, Jerman, Jepang, Prancis, Belanda, Inggris, Belgia, dan Italia. Metode analisis yang digunakan yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA), Export Product Dynamic (EPD), estimasi faktor penentu nilai ekspor dengan model gravity yang variabel dependennya nilai ekspor dan variable independenya adalah GDP per kapita negara pegimpor, GDP per kapita Indonesia, jarak ekonomi, nilai tukar riil, harga barang, dan kebijakan larangan ekspor rotan mentah. Kemudian untuk mengetahui potensi perdagangan dilakukan analisis rasio potensi perdagangan.

Hasil analisis RCA menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan kursi rotan dan mebel rotan di delapan negara pengimpor, sedangkan hasil analisis EPD menunjukkan Indonesia berada di kuadran rising star di negara Amerika, Jepang, dan Inggris untuk komoditas kursi rotan, yang artinya kursi rotan Indonesia memiliki keunggulan kompetitif serta


(5)

pertumbuhan yang tinggi di ketiga negara tersebut. Sedangkan negara lainnya berada di kuadran lost opportunity yang artinya permintaan barang tersebut tinggi namun Indonesia belum mampu untuk memenuhinya. Untuk komoditas mebel rotan, hasil analisis EPD menunjukkan bahwa Indonesia berada di kuadran rising star di negara Amerika dan Jepang, sedangkan negara lainnya pada kuadran lost opportunity.

Analisis model gravity menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ekspor kursi rotan adalah semua variabel independen yang di amati, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ekspor mebel rotan adalah GDP per kapita pengimpor, GDP per kapita Indonesia, jarak ekonomi, dan harga barang. Indonesia berpotensi untuk mengembangkan pasar kursi rotan ke negara Jepang, Belanda, dan Belgia. Sedangkan untuk mebel rotan semua negara berpotensi untuk dilakukan pengembangan pasar.


(6)

SUMMARY

ACHMAD SUBCHIANDI MAULANA. Competitiveness Analysis of Indonesian Export Commodity of Rattan Chair and Rattan Furniture in the International Market. Supervised by RITA NURMALINA and SUHARNO.

Rattan is one of Indonesia's forest wealth as a tropical country. Nowadays the availability of rattan is very much in the forests of Indonesia, especially in Kalimantan, Sulawesi and Sumatra by the number of average production amounted to 690,000 tons in 2010, making Indonesia a major supplier of rattan world needs. As one of the natural wealth of Indonesia, rattan able to contribute the largest foreign exchange from non-timber forest products compared to commodities other non-timber products with export revenues in 2012 amounted to USD 286.72 million, while the essential oil only accounted for USD 222.97 million and results following forest amounted to USD 43.14 million. While the industry rattan chairs and rattan furniture alone accounted for USD 151.66 million (Ministry Industry of Indonesia, 2013).

According to Ministry Industry of Indonesia (2013), in 2005 Indonesia was third (7.68%) in trading rattan chairs and rattan furniture in the global market after China (20.72%) and Italy (17.71%). Rattan industry setback occurred because of the issuance of the policy of opening the tap export of raw rattan in 2005 that led to Indonesian rattan industry deteriorated, then the government again issued a policy in 2009 through a decree of the Minister of Trade No.36/M-DAG/PER/8/2009 concerning export restrictions diameter rod for certain types. These regulations prohibit the export of mixed rattan from any rattan species. Then in 2011 the government confirmed a ban on exports of raw rattan contained in Decree of the Minister of Trade No.35/M-DAG/PER/11/2011. The policy change is expected to improve the competitiveness and export value of rattan chairs and rattan furniture, therefore this study aims to determine the level of competitiveness of commodities rattan chairs and rattan furniture and the factors that affect the value of exports.

The data used in this research is secondary data from various sources such as BPS, Uncomtrade, World Bank and CEPII in the period 2007 to 2015 which includes the eight largest country importer that is America, Germany, Japan, France, Holland, England, Belgium and Italy. The analytical method used is Revealed Comparative Advantage (RCA), Export Product Dynamics (EPD), the estimated determinants of the value of exports to the model gravity dependent variable export value and variable independent are GDP per capita importer, GDP per capita Indonesia, within the economy, the real exchange rate, the price of goods and raw rattan export ban. Then to find out the potential trade analysis trade potential ratio.

The results of the analysis of RCA shows that Indonesia has a comparative advantage in trade rattan chairs and rattan furniture in eight of the importing country, while the result of the analysis of EPD shows Indonesia is in quadrant rising star in the Americas, Japan, and the United Kingdom for commodities rattan chairs, which means the rattan chairs Indonesia have a competitive advantage as well as high growth in these three countries. While other countries are in quadrant lost opportunity, which means high demand for such goods but


(7)

Indonesia has not been able to fulfill it. For commodities rattan furniture, EPD analysis results show that Indonesia is in quadrant rising star in the United States and Japan, while other countries in the quadrant of lost opportunity.

Analysis model of gravity showed that the factors that affect the value of the export of rattan chairs are all independent variables were observed, whereas the factors that affect the value of exports of rattan furniture is GDP per capita importer, GDP per capita Indonesia, within the economy, and the price of goods. Indonesia has the potential to develop markets rattan chairs to Japan, the Netherlands, and Belgium. As for rattan furniture all countries have the potential to do market development.

Keywords: Competitive Advantage, Government Policy, Gravity Model, Rattan Furniture


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KOMODITAS KURSI

ROTAN DAN MEBEL ROTAN INDONESIA DI PASAR

INTERNASIONAL

ACHMAD SUBCHIANDI MAULANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Magister Sains Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2017


(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Harianto, MS


(11)

Judul Tesis : Analisis Daya Saing Ekpor Komoditas Kursi Rotan dan Mebel Rotan Indonesia di Pasar Internasional

Nama : Achmad Subchiandi Maulana NIM : H351140031

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Diketahui oleh Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Ketua

Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dr Ir Suharno, MAdev Anggota

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2015 ini ialah kebijakan perdagangan, dengan judul Analisis Daya Saing dan Faktor Penentu Ekspor Komoditas Unggulan Indonesia ke Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini, khususnya kepada yang terhormat :

1. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS dan Dr Ir Suharno, MAdev selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dari awal sampai selesainya tesis ini.

2. Dr Ir Harianto, MS selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku perwakilan Program Studi Magister Sains Agribisnis yang telah memberikan masukan pada pelaksanaan ujian tesis.

3. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis beserta seluruh dosen pengajar dan staf tata usaha yang telah memberikan ilmu dan kelancaran dalam proses perkuliahan.

4. Orang tua dan saudara-saudaraku yang senantiasa mendoakan penulis sehingga mampu menyelesaikan pendidikan di IPB.

5. Teman-teman semua di Program Studi Magister Sains Agribisnis, khususnya angkatan 5.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang dalam kepada istri tercinta dr Annisa Yudistirani atas segala kesabaran, doa dan kasih sayangnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Januari 2017


(13)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Perdagangan Internasional 5

Daya Saing 6

KERANGKA PEMIKIRAN 8

Kerangka Pemikiran Teoritis 8

Kerangka Pemikiran Operasional 12

Hipotesis Penelitian 15

METODE PENELITIAN 15

Jenis dan Sumber Data 15

Revealed Comparative Advantage(RCA) 16

Export Product Dynamics (EPD) 17

Model Gravity 18

Rasio Potensi Perdagangan 19

Uji Statistika 20

HASIL DAN PEMBAHASAN 24

Analisis Daya Saing Rotan Indonesia 24

Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Nilai Ekspor

Mebel Rotan Indonesia di Delapan Negara Tujuan Ekspor 26 Pengujian Keseuaian Model Kursi Rotan dan Mebel Rotan 27 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Daya Saing Komoditas

Kursi rotan dan Mebel Rotan Indonesia

di Delapan Negara Pengimpor 29

Analisis Daya Saing dan Potensi Perdagangan Kursi Rotan

dan Mebel Rotan Indonesia di Delapan Negara Pengimpor 31 Pengaruh Kebijakan Pelarangan Ekspor Rotan Mentah Terhadap

Daya Saing Komoditas Kursi Rotan dan Mebel Rotan Indonesia 36

SIMPULAN DAN SARAN 37

Simpulan 37

Saran 38

DAFTAR PUSTAKA 39

LAMPIRAN 42


(14)

DAFTAR TABEL

1. Penerimaan Ekspor Di Bidang Pertanian Utama Tahun 2012 1

2. Sumber Data Penelitian 15

3. Nilai Ekspor Total Komoditas Rotan 25

4. Hasil estimasi model gravitynilai ekspor kursi rotan 27 5. Hasil analisis daya saing RCA, EPD, dan Potensi perdagangan

kursi rotan Indonesia di delapan negara pengimpor 33 6. Hasil analisis daya saing RCA dan EPD kursi rotan China

di delapan negara pengimpor 33

7. Nilai ekspor aktual kursi rotan Indonesia

ke delapan negara pengimpor (Juta USD) 34

8. Hasil analisis daya saing RCA, EPD, dan Potensi perdagangan

mebel rotan Indonesia di delapan negara pengimpor 35 9. Nilai ekspor aktual mebel rotan Indonesia

ke delapan negara pengimpor (Juta USD) 35

10.Hasil analisis daya saing RCA dan EPD mebel rotan China

di delapan negara pengimpor 36

DAFTAR GAMBAR

1. Trend Nilai Ekspor Komoditas Industri Rotan (USD) 2004-2012 2 2. Nilai ekspor mebel rotan Indonesia dan China

di pasar internasional tahun 2012 3

3. Kerangka pemikiran 14

4. Daya Tarik Pasar Dan Kekuatan Bisnis Dalam EPD 17 5. Nilai Ekspor Kursi rotan Indonesia dan China dari Tahun

2007-2015 Ke Delapan Importir Terbesar 25

6. Nilai Ekspor Mebel Rotan Indonesia dan China dari Tahun

2007-2015 Ke Delapan Importir Terbesar 26

DAFTAR LAMPIRAN

1. Analisis RCA Kursi Rotan Indonesia ke delapan negara pengimpor 43 2. Analisis RCA Kursi Rotan China ke delapan negara pengimpor 45 3. Analisis RCA Mebel Rotan Indonesia ke delapan negara pengekspor 47 4. Analisis RCA Mebel Rotan China ke delamapn negara pengekspor 49 5. Analisis EPD Kursi Rotan Indonesia ke delapan negara pengimpor 51 6. Analisis EPD Kursi Rotan China ke delapan negara pengimpor 53 7. Analisis EPD Mebel Rotan Indonesia ke delapan negara pengimpor 55


(15)

8. Analisis EPD Mebel Rotan China ke delapan negara pengimpor 57 9. Hasil analisis regresi gravity model kursi rotan 59 10.Hasil analisis regresi gravity model frunitur rotan 61 11.Analisis Rasio Potensi Perdagangan Kursi Rotan 63 12.Analisis Rasio Potensi Perdagangan Mebel Rotan 65


(16)

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Indonesia merupakan negeri penghasil rotan mentah terbesar di dunia. Hampir setiap tahun sekitar 80% bahan baku rotan diserap oleh industri rotan di berbagai belahan dunia berasal dari Indonesia. Rotan merupakan bahan baku industri yang tergolong ramah lingkungan, sehingga produk hasil industri olahan rotan secara langsung juga merupakan produk yang ramah lingkungan.

Rotan dan industrinya merupakan komoditas perdagangan yang cukup penting bagi Indonesia. Sebagai salah satu kekayaan alam hayati Indonesia, olahan rotan mampu menyumbang devisa terbesar dari hasil hutan bukan kayu dibandingkan komoditas hasil hutan bukan kayu lainnya dengan penerimaan ekspor pada tahun 2012 sebesar USD 286,72 juta, sedangkan minyak atsiri hanya menyumbang USD 222,97 juta dan hasil hutan ikutan sebesar USD 43,14 Juta. (Kemenperin, 2015). Namun pada dua tahun terakhir nilai ekspor olahan rotan mengalami penurunan, tahun 2014 nilai ekspor rotan olahan sebesar USD 214,33 juta dan tahun 2015 hanya sebesar USD 149,23 juta. Menurut Kemenperin, 2016, nilai ekspor yang menurun disebabkan oleh krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2014 – 2015.

Tabel 1 Nilai ekspor komoditas hasil hutan bukan kayu (USD)

Komoditas Tahun

2012 2013 2014 2015

Rotan Olahan 286.722.512 264.106.856 214.331.225 149.230.775 Minyak Atsiri 222.972.203 212.085.781 260.894.363 294.775.427

Olahan Hasil

Hutan Lainnya 43.139.745 42.989.549 45.433.810 51.514.915 Sumber: Kemenperin, 2015 diolah

Industri rotan yang berkembang telah memenuhi persyaratan pengembangan ekspor bukan migas, faktor yang menentukan yaitu, memanfaatkan sumberdaya dalam negeri, dapat memperbesar nilai tambah, dapat bersaing di pasar dunia, dan dapat menyerap tenaga kerja (Tambunan, 2008). Indonesia mengekspor rotan dalam bentuk rotan setengah jadi dan barang jadi rotan pada tahun 2005 sampai 2011.

Industri mebel rotan medapat dukungan dari pemerintah dengan adanya kebijakan pelarangan ekspor rotan mentah pada tahun 2011 setelah sebelumnya larangan tersebut berlaku pada tahun 1986 sampai 2004, tujuan diberlakukannya larangan ekspor rotan mentah adalah untuk memajukan industri rotan dalam negeri dan menjamin ketersediaan bahan baku, sebab pada tahun 2005 saat kran ekspor rotan mentah dibuka terjadi penurunan produksi industri rotan dalam negeri karena petani rotan cenderung menjual rotan mentah ke luar negeri dan berdampak langsung terhadap nilai ekspor produk rotan. Penurunan langsung terjadi pada tahun 2006, setahun setelah kran ekspor rotan mentah dibuka. Kebijakan pelarangan ekspor rotan mentah diharapkan mampu membangkitkan kembali daya saing produk rotan buatan dalam negeri di pasar internasional yang sempat mengalami penurunan selama kurun waktu 6 tahun dilihat dari nilai ekspor yang disajikan oleh grafik 1. Pemerintah mengharapkan peran aktif dunia


(17)

usaha untuk memanfaatkan keunggulan komparatif ini agar Indonesia tidak hanya menjadi produsen bahan baku terbesar, tapi juga menjadi produsen utama produk jadi rotan di dunia.

Grafik 1 Trend Nilai Ekspor Komoditas Industri Rotan (USD) 2004-2012 Sumber: BPS 2013 diolah

Indonesia memiliki keunggulan tersendiri di bidang industri rotan yang mampu menjadikan pemain dominan yaitu ketersediaan bahan baku yang melimpah, produksi rata-rata rotan mentah Indonesia pada tahun 2012 sebesar 530.000 ton dan apabila sudah diolah menjadi rotan setengah jadi siap pakai akan menyusut sekitar kurang lebih 88% menjadi 63.000 ton (Kemenperin, 2012). Selama 7 tahun dari 2005 sampai 2011 semenjak kran ekspor rotan mentah dibuka negara China mengusai pasar mebel rotan ditingkat Internasional, hal tersebut terjadi karena China mendapatkan pasokan bahan baku sebagian besar dari Indonesia.

Industri rotan dalam negeri mengalami keterpurukan karena kekurangan pasokan bahan baku, petani rotan lebih tertarik untuk mengekspor daripada menjualnya ke industri dalam negeri sebab harga rotan mentah dalam negeri cendrung rendah, menurut Kemenperin (2016) harga rotan mentah dalam negeri pada tahun 2013 sebesar Rp 6.000/kg sedangkan harga jualnya meningkat apabila di ekspor yaitu sebesar Rp 17.000/kg. Pada tahun 2012, setahun setelah kebijakan pelarangan ekspor bahan baku rotan diberlakukan posisi volume produk mebel rotan Indonesia berada diatas China, hal ini disebabkan oleh terhentinya pasokan bahan baku rotan ke negara tersebut. Perbandingan nilai ekspor kedua negara dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

336,888,537

347,068,246 343,775,586

319,691,359

239,001,189 167,753,576

138,079,002 117,220,000

202,680,000

0 50,000,000 100,000,000 150,000,000 200,000,000 250,000,000 300,000,000 350,000,000 400,000,000

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Nilai Ekspor


(18)

Grafik 2 Nilai ekspor mebel rotan Indonesia dan China di pasar internasional (USD) tahun 2012

Sumber: Uncomtrade, 2013 diolah

Perumusan Masalah

Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam persediaan bahan baku untuk industri rotan, sebab produksi rotan mentah terbesar di dunia adalah Indonesia, namun kebijakan yang sering berubah-ubah membuat keadaan industri rotan tidak stabil. Industri rotan dalam negeri diharapkan mampu menyumbang devisa negara seperti periode tahun 1988 disaat industri rotan sedang berjaya, sebab situasi saat tahun 1988 sama dengan situasi saat ini yaitu pemerintah melakukan proteksi dengan mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor rotan mentah.

Kemudian kemunduran industri rotan terjadi kembali dengan dikeluarkannya kebijakan pembukaan kran ekspor rotan mentah pada tahun 1996 dengan cara menurunkan pajak ekspor sebesar 10 persen, kebijakan tersebut berkaitan dengan Letter of Intent yang disepakati antara pemerintah Indonesia denga IMF yang salah satu poinnya kesepakatannya ialah menghapus larangan ekspor kecuali untuk alasan keamanan dan kesehatan. Keadaan diperparah dengan adanya krisis moneter pada tahun 1997-1998 yang membuat Indonesia harus mencabut ketentuan ekspor lampit rotan memalui SK Menperindag No.33/MPP/KEP/1998.

Pada pertengahan tahun 2005 industri hulu menuntut pemerintah untuk mengatur ketentuan ekspor rotan yang didalamnya juga berisi kebijakan pencabutan larangan eskpor rotan mentah, kebijakan tersebut tertuang dalam SK Menteri Perdagangan No.12/M-DAG/PER/6/2005. Dalam kebijakan tersebut rotan yang dapat diekspor adalah rotan asalan dari jenis taman/sega dan irit, dengan diameter 4-16 mm dan rotan setengah jadi dari jenis rotan apapun.

Dibukanya kran ekspor tahun 2005 membuat negara pesaing industri kursi rotan dan mebel rotan Indonesia mengalami kejayaan karena bahan baku mudah

53,869,286

115,680,039

0 20,000,000 40,000,000 60,000,000 80,000,000 100,000,000 120,000,000 140,000,000

Nilai Ekspor


(19)

diperoleh oleh mereka. Negara tersebut diantaranya adalah China yang mengimpor rotan mentah Indonesia dalam jumlah besar sekitar 300.000 ton per tahun, sedangkan industri dalam negeri hanya mendapat pasokan rotan mentah sebanyak 200.000 ton per tahun. China mampu memproduksi barang yang lebih bagus dengan harga lebih murah dan memasarkan produknya ke negara tujuan ekspor Indonesia diantaranya Amerika, Jepang, Jerman, dan lain-lain (Kemendag, 2013).

Pasca diberlakukannya pembukaan kran ekspor rotan mentah pada tahun 2005 yang menyebabkan industri rotan Indonesia memburuk, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan melalui SK Menteri Perdagangan No.36/M-DAG/PER/8/2009 tentang pembatasan ekspor rotan untuk jenis diameter tertentu. Peraturan ini melarang ekspor rotan asalan dari jenis rotan apapun. Kemudian di tahun 2011 pemerintah menegaskan pelarangan ekspor rotan mentah yang tertuang dalam SK Menteri Perdaganagn No.35/M-DAG/PER/11/2011.

Sehingga timbul pertanyaan yang mendasari penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kecenderungan nilai ekspor mebel rotan Indonesia setelah kran ekspor rotan mentah ditutup ?

2. Bagaimana perkembangan daya saing mebel rotan Indonesia di pasar Internasional?

3. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi nilai ekspor mebel rotan Indonesia?

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah :

1. Mendeskripsikan kecenderungan nilai ekspor produk mebel rotan Indonesia. 2. Menganalisis tingkat daya saing produk mebel rotan Indonesia.

3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aliran perdagangan komoditas mebel rotan Indonesia.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang memiliki minat dalam pengelolaan dan pengembangan potensi komoditas rotan, khususnya mebel rotan.

Ruang Lingkup Penelitian

Fokus penelitian ini diarahkan untuk mengamati kecenderungan aliran perdagangan ekspor komoditas rotan yang terjadi pada periode tahun 2007-2015 dengan menggunakan kode HS 6 digit yaitu 940151 (kursi rotan) dan 940381

(mebel rotan: tempat tidur, set mebel ruang keluarga, dapur, dan taman). Negara China

dipenelitian ini hanya sebagai pembanding dalam analisis daya saing. Negara yang diamati ialah Amerika, Jerman, Jepang, Prancis, Belanda, Inggris, Belgia, dan Italia. Variabel penelitian yang diamati meliputi nilai ekspor sebagai variable dependen, dan gross domestic product per capita, jarak ekonomi, nilai tukar riil, harga barang, dan kebijakan pemerintah sebagai variable independen.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional didasari adanya perbedaan keterbatasan dan perbedaan ketersediaan sumberdaya yang dimiliki setiap negara. Kondisi tersebut menggiring setiap negara untuk melakukan ekspor dan impor. Dalam prakteknya hambatan politik dan berbagai kebijakan setiap negara berbeda-beda. Proteksionisme merupakan salah satu kebijakan yang disengaja sebagai usaha untuk membentuk hambatan-hambatan perdagangan, seperti tarif dan kuota dalam rangka melindungi industry dalam negeri dari persaingan luar negeri. Permasalahan lainnya ialah nilai tukar mata uang, masalah ini timbul akibat setiap negara mempunyai mata uang nasional sendiri, sehingga apabila melakukan perdagangan dengan negara lain harus diperhitungkan nilai tukar uang yang disepakati oleh negara yang melakukan hubungan dagang (Murni, 2013).

Kegiatan perdagangan internasional (ekspor-impor), negara akan cenderung mengekspor barang-barang yang biaya produksi dalam negerinya relatif lebih rendah dibandingkan dengan barang yang sama di luar negeri dan dapat bersaing di pasar internasional (keunggulan komperatif). Namun sebaliknya, suatu negara akan mengimpor barang-barang yang biaya produksi dalam negerinya relatif lebih mahal dibandingkan dengan barang yang sama diluar negeri. Beberapa faktor pendukung suatu negara dapat bersaing di pasar internasional adalah sumberdaya manusia, sumberdaya alam, teknologi serta sosial budaya dimana faktor-faktor ini sebagai penentu harga dan mutu barang dan jasa yang dihasilkan.

Schaak (2015) melakukan penelitian berjudul The Impact of Free Trade Agreements on International Agricultural Trade: A Gravity Aplication on the Dairy Product Trade and The ASEAN-China-FTA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN-China terhadap produk susu dunia. Data yang digunakan untuk penelitian ini mulai dari tahun 1995-2013 dengan data terpilah meliputi 36 negara penghasil produk susu termasuk ASEAN dan China. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada penciptaan perdagangan, efek pengalihan impor dan ekspor empat kelompok komoditas. Estimasi efek net perdagangan secara keseluruhan adalah negatif. Oleh karena itu implementasi saat ini FTA harus kritis dievaluasi terhadap produk susu.

Sherif (2013) melakukan penelitian dengan judul penelitian Intra-Regional Trade, Evidence from the UAE: A Gravity Model Approach untuk mengetahui aliran perdagangan bilateral antara Uni Emirat Arab terhadap dua grup negara, yaitu grup A (Bahrain dan Qatar) dan grup B (Oman dan Kuwait). Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model gravity dengan menggunakan data panel dari tahun 1991-2009. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa koefisien GDP di masing-masing negara importir dan eksportir adalah positif, hal tersebut mengindikasikan bahwa perdagangan meningkat di bawah GDP proporsional negara importir namun meningkat di atas GDP proporsional negara eksportir (UEA). Sedangkan jarak berpengaruh positif terhadap perdagangan bilateral tersebut.

Khan et al (2013) meneliti tentang perdagangan bilateral antara Pakistan dengan partner dagangnya yaitu Jepang, Turki, Malaysia, India dan Iran dengan


(21)

judul An Empirical Analysis of Pakistan’s Bilateral Trade: A Gravity Model Aproach. Data yang digunakan untuk analisis mulai dari tahun 1990-2010 dengan frekuensi 2 tahun. Hasil dari penelitian tersebut memperlihatkan bahwa GDP dan GDP per kapita berpengaruh positif terhadap volume perdagangan sedangkan jarak dan variable dummy (kesamaan budaya) menunjukkan pengaruh negatif terhadap volume perdagangan. Rasio dari perdagangan aktual yang diprediksi untuk tahun 2010 terhadap negara partner dagang Pakistan tidak terealisasi dengan baik sebab terhambat oleh kebijakan yang diterapkan Pakistan. Hal yang hampir serupa juga terjadi di negara Georgia, penelitian yang dilakukan oleh Dilanchiev pada tahun 2012 dengan judul Empirical Analysis of Georgian Trade Pattern: Gravity Model memperlihatkan bahwa perdagangan Georgia dipengaruhi secara positif oleh faktor-faktor: tingkat ekonomi, GDP per kapita, dan sejarah umum. Hasil hipotesis juga menunjukkan bahwa foreign direct investment berpengaruh positif terhadap perdagangan Georgia.

Daya Saing

Daya saing adalah kemampuan dalam menciptakan cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mencapai pertumbuhan GDP per kapita yang tinggi serta unggul dalam produktifitas, efisiensi, dan profitabilitas yang secara global mengacu pada konteks spesialisasi internasional.

Indonesia sebagai negara berkembang harus mampu menjaga daya saingnya dalam konteks internasional maupun nasional. Daya saing ekonomi di suatu negara merupakan akumulasi dari daya saing setiap unit usaha yang ada dalam negara tersebut. Guna mencapainya, pemerintah harus menjadi stabilitas politik, budaya, serta sosial yang tentu memiliki multiplier effect terhadap faktor ekonomi. Hal ini mengimplikasikan seberapa pentingnya suatu negara menjadi unit-unit usaha yang dimilikinya sehingga bisa melindungi daya saing secara internasional, terutama terkait dengan era perdagangan bebas.

Krugman, et al (2003) menjelaskan bahwa Adam Smith mengajukan teori daya saing absolut pada tahun 1776. Ia berpendapat bahwa jika suatu negara menghendaki adanya persaingan, perdagangan bebas dan spesialisasi di dalam negeri, maka hal yang sama juga dikehendaki dalam hubungan antar bangsa. Karena hal itu ia mengusulkan bahwa sebaiknya semua negara lebih baik berspesialisasi dalam komoditas-komoditas di mana ia mempunyai keunggulan yang absolut dan mengimpor saja komoditas-komoditas lainnya. Kelebihan dari teori ini yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan.

Daya saing komparatif merupakan teori yang diungkapkan oleh JS Mill dan David Ricardo pada tahun 1817 menyatakan bahwa suatu Negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki daya saing komparatif terbesar dan mengimpor barang yang dimiliki daya saing komparatif (suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar). Teori ini menyatakan bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut. Kelebihan untuk teori daya saing komparatif


(22)

ini adalah dapat menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran dimana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori daya saing absolut.

Daya saing kompetitif dikembangkan oleh Michael E. Porter (1990) dalam

bukunya berjudul “The Competitive Advantage of Nations”. Menurutnya terdapat empat atribut utama yang bisa membentuk lingkungan dimana perusahaan-perusahaan lokal berkompetisi sedemikian rupa, sehingga mendorong terciptanya keunggulan kompetitif. Keempat atribut tersebut meliputi:

a. Kondisi faktor produksi, yaitu posisi suatu Negara dalam faktor produksi (misalnya tenaga kerja terampil, infrastruktur, dan teknologi) yang dibutuhkan untuk bersaing dalam industri tertentu.

b. Kondisi permintaan, yakni sifat permintaan domestik atas produk atau jasa industri tertentu.

c. Industri terkait dan industri pendukung, yaitu keberadaan atau ketiadaan industri pemasok dan industri terkait yang kompetitif secara internasional di negara tersebut.

d. Strategi, struktur dan persaingan perusahaan, yakni kondisi dalam negeri yang menentukan bagaiman perusahaan-perusahaan dibentuk, diorganisasikan, dan dikelola serta sifat persaingan domestik.

Faktor-faktor ini, baik secara individu maupun sebagai satu sistem, menciptakan konteks dimana perusahaan-perusahaan dalam sebuah negara dibentuk dan bersaing. Ketersediaan sumber daya dan ketrampilan yang diperlukan untuk mewujudkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri informasi yang membentuk peluang apa saja yang dirasakan dan arahan kemana sumber daya dan ketrampilan dialokasikan, tujuan pemilik, manajer, dan karyawan yang terlibat dalam atau yang melakukan kompetisi, dan yang jauh lebih penting, tekanan terhadap perusahaan untuk berinvestasi dan berinovasi.

Boansi et al (2014) berpendapat pada penelitiannya yang berjudul Determinants Of Agriculturl Export Trade: Case Of Fresh Pineapple Exports From Ghana menunjukkan bahwa ekspor industri nanas segar Ghana memiliki daya saing dan lebih dipicu oleh harga daripada volume ekspor. Baik volume maupun nilai ekspor memiliki hubungan positif dengan produksi. Sedangkan penelitian Ragimun (2012) yang berjudul analisis daya saing komoditas kakao di indonesia menyatakan bahwa untuk mendorong ekspor kakao Indonesia di pasar internasional maka perlu adanya peningkatan daya saing kakao dan salah satu caranya adalah dengan diberlakukannya kebijakan fiskal berupa penerapan bea keluar berjenjang, subsidi ke petani, perbaikan infrastruktur serta riset dan pengembangan kakao nasional.

Penelitian Asriani (2011) yang berjudul analisis daya saing ekspor ubi kayu Indonesia menungkapkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk komoditas pati ubi kayu tetapi kurang berdaya saing karena Indonesia juga merupakan pengimpor pati ubi kayu. Hal tersebut disebabkan oleh tidak ada standarisasi produk, produksi dan pemasarannya kurang efisien, serta teknologi yang digunakan untuk pengolahan belum maju.


(23)

III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

Perdagangan Internasional

Secara teoritis, perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama. Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya setiap negara berbeda satu sama lain sehingga setiap negara dapat memperoleh keuntungan dengan melakukan perdagangan. Kedua, negara-negara melakukan perdagangan yang bertujuan untuk mencapai skala ekonomi (economic of scale) dalam produksi (Basri dan Munandar 2010).

Beberapa teori perdagangan internasional berkembang mulai dari teori praklasik merkantilisme, neo merkantilisme, teori klasik, teori modern, hingga teori perdagangan internasional saat ini. Teori perdagangan merkantilisme belum mengenal konsep keunggulan komparatif sebagai penentu pola perdagangan dan berpengaruh terhadap struktur produksi dan distribusi pendapatan. Penganut merkantilisme berpendapat bahwa satu-satunya cara agar sebuah negara kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sedikit impor. Surplus ekspor yang dihasilkan selanjutnya akan dibentuk dalam aliran logam mulia khususnya emas dan perak. Semakin banyak emas dan perak yang dimiliki sebuah negara maka semakin kaya dan kuatlah negara tersebut. Dengan demikian pemerintah harus menggunakan seluruh kekuatannya untuk ekspor tetapi mengurangi serta membatasi impor terutama impor barang mewah. Namun karena setiap negara tidak secara simultan dapat menghasilkan surplus ekspor serta karena nilai emas dan perak tetap pada satu saat tertentu, maka sebuah negara hanya dapat memperoleh keuntungan dengan mengorbankan negara lain (Salvatore 1997).

Krugman, et al (2003) menjelaskan bahwa Adam Smith mengajukan teori perdagangan internasional yang dikenal dengan teori keunggulan absolut pada tahun 1776. Ia berpendapat bahwa jika suatu negara menghendaki adanya persaingan, perdagangan bebas dan spesialisasi di dalam negeri, maka hal yang sama juga dikehendaki dalam hubungan antar bangsa. Karena hal itu ia mengusulkan bahwa sebaiknya semua negara lebih baik berspesialisasi dalam komoditas-komoditas di mana ia mempunyai keunggulan yang absolut dan mengimpor saja komoditas-komoditas lainnya. Kelebihan dari teori Absolute advantage yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan.

Comparative Advantage merupakan teori yang diungkapkan oleh JS Mill dan David Ricardo pada tahun 1817 menyatakan bahwa suatu Negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan mengimpor barang yang dimiliki comparative advantage (suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar). Teori ini menyatakan bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut. Kelebihan


(24)

untuk teori comparative advantage ini adalah dapat menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran dimana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori absolute advantage.

Teori klasik David Ricardo selanjutnya dikembangkan oleh Heckscher-Ohlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949–1977). Teori Heckscher-Ohlin (H-O) menjelaskan beberapa pola perdagangan dengan baik, negara-negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah secara intensif. Menurut Heckscher-Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan komparatif adalah:

1. Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi didalam suatu negara.

2. Faktor intensity, yaitu teksnologi yang digunakan didalam proses produksi, apakah labor intensity atau capital intensity.

Analisis teori H-O :

 Harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara

 Comparative advantage dari suatu jenis produk yang dimiliki masing-masing negara akan ditentukan oleh struktur dan proporsi faktor produksi yang dimilkinya.

 Masing-masing negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif banyak dan murah untuk memproduksinya

 Sebaliknya masing-masing negara akan mengimpor barang-barang tertentu karena negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif sedikit dan mahal untuk memproduksinya.

Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis akan sama pula sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi (Pugel, 2004).

Wassily Leontief seorang pelopor utama dalam analisis input-output matriks, melalui study empiris yang dilakukannya pada tahun 1953 menemukan fakta, fakta itu mengenai struktur perdagangan luar negri (ekspor dan impor). Amerika serikat tahun 1947 yang bertentangan dengan teori H-O sehingga disebut sebagai paradoks Leontief. Berdasarkan penelitian lebiih lanjut yang dilakukan ahli ekonomi perdagangan ternyata paradox liontief tersebut dapat terjadi karena empat sebab utama yaitu :

1. Intensitas faktor produksi yang berkebalikan 2. Tarif dan Non tarif barrier

3. Pebedaan dalam skill dan human capital 4. Perbedaan dalam faktor sumberdaya alam

Kelebihan dari teori ini adalah jika suatu negara memiliki banyak tenaga kerja terdidik maka ekspornya akan lebih banyak. Sebaliknya jika suatu negara kurang memiliki tenaga kerja terdidik maka ekspornya akan lebih sedikit.

Teori Porter tentang daya saing berangkat dari keyakinannya bahwa teori ekonomi klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparatif tidak mencukupi, atau bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh


(25)

keunggulan daya saing jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Porter menawarkan Diamond Model sebagai tool of analysis sekaligus kerangka dalam membangun resep memperkuat daya saing. Dalam perjalanan waktu, diamond model-nya Porter tak urung menuai kritik dari berbagai kalangan. Pada kenyataannya, ada beberapa aspek yang tidak termasuk dalam persamaan Porter ini, salah satunya adalah bahwa model diamond dibangun dari studi kasus di sepuluh negara maju, sehingga tidak terlalu tepat jika digunakan untuk menganalisis negara – negara sedang membangun. Selain itu, meningkatnya kompleksitas akibat globalisasi, serta perubahan sistem perekonomian mengikuti perubahan rezim politik, menjadikan model diamond Porter hanya layak sebagai pioner dan acuan pertama dalam kancah studi membangun daya saing negara (Salvatore, 1997).

Daya Saing

Faktor utama yang memengaruhi daya saing adalah permintaan dan atau penawaran. Data yang tersedia biasanya lebih memungkinkan untuk menelaah pada aspek penawaran sehingga aspek produksi lebih ditekankan sebagai ukuran daya saing. Pada aspek permintaan terdapat permasalahan kurang mampunya produsen menembus pasar internasional karena adanya dinamika pasar seperti perubahan selera, perkembangan teknologi maupun berbagai kebijakan di negara tujuan ekspor yang bersifat protektif. Faktor-faktor yang memengaruhi ekspor komoditas primer akan berbeda dengan barang-barang manufaktur.

Struktur sektor perdagangan dapat dilihat dengan menggunakan pendekatan, diantaranya yang terkait dengan daya saing produk. Beberapa kajian terhadap daya saing menggunakan analisis RCA dan Export Product Dynamic (EPD).

Firdaus AH (2011) melihat kinerja ekspor Indonesia terhadap ASEAN Plus Three yang mengukur daya saing secara komparatif dengan menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan untuk melihat pertumbuhan pangsa pasar di ASEAN Plus Three menggunakan metode Export Product Dynamics (EPD).

Jalil NA (2012) mengidentifikasi komoditas unggulan ekspor Indonesia ke Uni Eropa serta tingkat daya saing dan derajat integrasinya dengan menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA).

Kusuma dan Firdaus (2015) meneliti tentang daya saing dan faktor yang mempengaruhi volume ekspor sayuran Indonesia terhadap negara tujuan utama menggunakan RCA dan EPD. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komoditas sayuran Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif lebih baik dibandingkan dengan negara pesaingnya, yaitu Belanda dan Cina pada komoditas kentang, tomat, bawang, kubis, dan cabe terhadap dunia. Keunggulan komparatif sayuran Indonesia terhadap negara tujuannya dihasilkan oleh tomat, kubis, dan cabai dengan negara tujuan yang berbeda dari masing-masing komoditas. Disisi lain, Indonesia menduduki keunggulan kompetitif terbaik dibandingkan dengan kedua negara pesaingnya baik terhadap negara tujuan utama maupun terhadap dunia.

Zuhdi dan Suharno (2015) menggunakan analisis RCAdan EPD untuk melihat daya saing ekspor kopi Indonesia dan Vietnam di pasar Asean-5. Hasil analisis RCA menunjukkan bahwa ekspor kopi Indonesia dan Vietnam di pasar


(26)

ASEAN 5 memiliki daya saing dengan Indonesia memiliki nilai rata-rata RCA sebesar 10,16 dan Vietnam sebesar 53,44. Sedangkan hasil analisis EPD menunjukkan bahwa perdagangan kopi Indonesia maupun Vietnam berada pada kuadran rising star yang berarti bahwa kinerja perdagangan ekspor berjalan cepat dan dinamis dimana tingkat pertumbuhan ekspor kopi Indonesia terus meningkat seiring dengan meningkatnya pangsa ekspor di ASEAN 5.

Kanaya dan Firdaus (2014) meneliti tentang daya saing dan permintaan ekspor produk biofarmaka Indonesia di negara tujuan utama periode 2003-2012 menggunakan metode RCA dan EPD. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang baik terhadap komoditi kunyit dan kayu gaharu apabila dibandingkan dengan negara pesaing berdasarkan analisis RCA dan EPD dengan posisi daya saing lost pppportunity.

RCA digunakan oleh Serin, et al (2008) untuk menganalisis daya saing kompetitif dan komparatif produk pertanian turki terhadap pasar eropa, yang menyimpulkan bahwa produk pertanian turki tidak memiliki daya saing di eropa disebabkan kualitas produk yang tidak stabil. Oduro, et al (2014) menjelaskan bahwa produk pertanian olahan yang diproduksi Ghana memiliki daya saing terhadap produk pertanian olahan dunia. Dengan menggunakan analisis RCA maka dapat diketahui bahwa produk gana memiliki daya saing.

Model Gravity

Model gravity (Gravity Model) adalah sebuah model yang diperkenalkan pertama kali oleh Jan Tinbergen pada tahun 1961. Model ini terbentuk berdasarkan kinerja hukum gravitasi yang ditemukan oleh Sir Isaac Newton dan digunakan untuk menerka perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi antar negara. Hukum gravitasi menyatakan bahwa sebuah interaksi antar dua benda adalah sebanding dengan massanya dan berbanding terbalik dengan jarak masing-masing. Jika persamaan tersebut diaplikasikan kepada perdagangan internasional maka (Anderson, 2010):

Fij = G

...(1) F = Volume aliran perdagangan

M = Ukuran ekonomi untuk kedua negara D = Jarak ekonomi kedua negara

G = Konstanta

Analogi di atas dapat dijelaskan bahwa volume aliran perdagangan (ekspor) dipengaruhi secara langsung oleh ukuran ekonomi masing-masing negara (GDP) dan berhubungan terbalik dengan jarak masing-masing negara. Dengan demikian suatu negara yang memiliki volume aliran perdagangan yang besar maka akan melakukan perdagangan yang besar pula dan di sisi lain negara yang memiliki jarak berjauhan akan memiliki perdagangan yang relatif lebih kecil.

Model gravity dalam praktiknya telah digunakan oleh banyak peneliti dan berdasarkan hasil penelitian, terbukti bahwa model gravity merupakan sebuah model yang memiliki predektibilitas besar untuk pengalaman empiris (Anderson, 2010; Kulkarni, et al. 2015). Penelitian Mark Funk, et al (2006) dengan judul Intra-NAFTA Trade in Mid-South Industries: A Gravity Model, menyimpulkan bahwa model gravity menunjukkan perbedaan signifikan terhadap perdagangan intra NAFTA baik antar negara dan besarnya industri. Sehingga kebijakan yang


(27)

diambil adalah memberikan variasi impor dan ekspor antar Negara. Model gravity juga digunakan oleh Tran, et al (2012) dengan judul Choosing The Best Model In The Presence Of Zero Trade: A Fish Product Analysis, yang menjelaskan bahwa model gravity mampu menjelaskan perdagangan produk ikan mempunyai potensi yang bagus apabila standar pengolahan pada Negara berkembang sesuai dengan standar internasional. Khiyavi, et al (2013) mengungkapkan, model gravity memberikan informasi bahwa perdagangan produk pertanian meningkat baik bagi Negara ekportir maupun negara importer.

Kerangka Pemikiran Operasional

Larangan terhadap ekspor bahan baku rotan merupakan kebijakan baru yang diterapkan pemerintah pada tahun 2011, sebenarnya kebijakan ini sebelumnya pernah diterapkan pada tahun 1979-1996, pada periode tersebut industri rotan Indonesia berkembang pesat dan produk-produknya diminati oleh pasar Amerika, Jepang, dan Jerman dengan nilai ekspor sebesar USD 2.475.236.838. Kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan pencabutan larangan ekspor pada periode 1996-2004 (Kemendag, 2013).

Pada tahun 1996 pemerintah melonggarkan ekspor rotan mentah dengan menurunkan pajak ekspor melalui SK No.666/KMK/017/1996 tentang ketentuan pajak ekspor sebesar USD 10/kg. Hal ini diperkuat dengan Letter of Intent antara pemerintah Indonesia dan IMF pada tahun 1998, yang salah satu poin kesepakatannya adalah menghapus larangan-larangan ekspor kecuali untuk alasan keamanan dan kesehatan (butir 38) dan mengganti pajak ekspor dengan resources rent taxes, dengan besaran 10% pada akhir Desember 2000. Pada tahun ini industri mebel rotan Indonesia mengalami kemunduran, ditambah lagi adanya krisis moneter tahun 1997-1998 membuat Indonesia mencabut ketentuan ekspor lampit rotan melalui SK Memperindag No.33/Mpp/Kep/1998 (KPPU, 2010).

Akibat dari dibukanya kran ekspor pada saat itu, industri rotan mulai mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan baku karena terjadi kenaikan harga yang sangat nyata. Selain itu nilai tukar rupiah yang terus melemah membuat industri mebel rotan Indonesia mengalami kelesuan dan kebangkrutan. Banyaknya tuntutan dari pihak industri hulu membuat pemerintah mengeluarkan kembali kebijakan pada pertengahan tahun 2005 melalui SK Menteri Perdagangan No.12/M-DAG/PER/6/2005 pada tanggal 30 Juni 2005 tentang ketentuan ekspor rotan yang di dalamnya juga berisikan kebijakan pencabutan larangan ekspor rotan.

Berlakunya kembali larangan ekspor rotan mentah pada tahun 2011 melalui SK Menteri Perdagangan No.35/M-DAG/PER/11/2011 diharapkan mampu membangkitkan kembali industri rotan yang sempat lesu, hal itu terbukti pada kuartal pertama tahun 2012 ekspor produk rotan meningkat sebesar 36% dari tahun sebelumnya (Kemenperin, 2011).

Penilaian kinerja perdagangan kursi rotan dan mebel rotan perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana peran kedua produk rotan Indonesia tersebut dibandingkan dengan negara China di pasar internasional. Potensi ekonomi sutau negara dapat dilihat dari jumlah populasi negara tersebut, perkembangan nilai ekspor dan impor dari negara pengimpor serta pendapatan per kapita yang dimiliki setiap negara pengimpor. Setelah hal tersebut dilakukan maka analisis mengenai daya saing kursi rotan dan mebel rotan Indonesia di pasar internasional


(28)

dapat dilakukan. Analisis daya saing dapat diukur dengan menggunakan metode analisis Revealed Comparative Advantage (RCA), sementara itu untuk mengetahui atau mengidentifikasi daya saing suatu produk serta untuk mengetahui apakah suatu produk dalam performa yang dinamis atau tidak dilakukan analisis Export Product Dynamics (EPD). Hasil dari analisis tersebut akan menjabarkan daya saing yang dimiliki oleh komoditas kursi rotan dan mebel rotan Indonesia serta tingkat integrasi perdagangan ekspor kursi rotan dan mebel rotan Indonesia di pasar internasional. Ketika telah diketahui tingkatan daya saing dan tingkat integrasi perdagangan ekspor kursi rotan dan mebel rotan Indonesia di pasar internasional, perlu dilakukan analisis tambahan untuk memastikan ekspor kursi rotan dan mebel rotan dapat berjalan dengan efektif dan efisien sehingga dapat memberi keuntungan bagi Indonesia. Oleh sebab itu, analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi ekspor kursi rotan dan mebel rotan Indonesia di pasar internasional perlu dilakukan. Analisis ini dilakukan agar pemerintah Indonesia dapat mencari solusi serta alternatif berupa kebijakan yang tepat guna mengembangkan ekspor kursi rotan dan mebel rotan Indonesia ke pasar internasional. Kemudian analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi nilai ekspor kursi rotan dan mebel rotan Indonesia ke pasar internasional menggunakan persamaan regresi yang sebelumnya diturunkan dari model gravity dimana di setiap variabel tersebut menggunakan data panel. Variabel-variabel yang dimasukan ke dalam persamaan regresi tersebut mencakup:

1. GDP per kapita negara pengimpor, hal ini didasari pada kenyataan bahwa negara yang memiliki pendapatan tinggi cenderung memiliki aktivitas jual beli yang tinggi.

2. GDP per kapita Indonesia, hal ini didasari pada kenyataan bahwa negara yang memiliki pendapatan tinggi cenderung memiliki aktivitas jual beli yang tinggi. 3. Jarak ekonomi, hal ini didasari pada kenyataan bahwa harga suatu komoditas

dipengaruhi oleh biaya distribusi. Negara yang memiliki jarak lebih jauh, maka biaya distribusi yang dikeluarkan pun akan lebih tinggi dan begitu pun sebaliknya.

4. Nilai tukar rill, hal ini didasari pada perbedaan nilai tukar masing-masing negara akan memengaruhi harga komoditas yang akan dijual.

5. Harga Barang, harga mebel rotan yang diekspor ke negara tujuan.

6. Kebijakan, merupakan keputusan pemerintah tentang pelarangan ekspor rotan mentah yang diterbitkan pada tahun 2011 dengan nomor SK Menteri Perdagangan No.35/M-DAG/PER/11/2011.

Setelah mendapatkan nilai koefisien dari model gravity kemudian di cari rasio potensi perdagangannya dengan cara membandingkan hasil estimasi dari persamaan gravity dengan nilai aktual perdagangan, sehingga dapat diketahui negara mana yang masih berpotensi untuk dikembangkan perdagangannya.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disusun sebuah kerangka operasional seperti yang digambarkan pada gambar 1.


(29)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Mebel Indonesia di Pasar Internasional

Keterangan:

= menunjukan alur hubungan langsung = menunjukan hubungan berdasarkan analisis

Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Nilai Ekspor : 1. GDP Per Kapita Indonesia,

2. GDP Per Kapita

Pengimpor, 3. Jarak Ekonomi, 4. Nilai Tukar Riil, 5. Harga Produk, 6. Kebijakan

Implikasi Kebijakan Pemerintah

Model Gravity

Potensi

Perdagangan Rasio PP

Nilai Ekspor Kursi rotan dan Mebel

rotan Indonesia

Analisis Daya Saing Produk

RCA

EPD Larangan Ekspor

Rotan Mentah

Pengaruh Terhadap Industri Rotan Indonesia

Ketersediaan Bahan Baku Rotan Mentah


(30)

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:

1. GDP per kapita (GDPCAP) negara tujuan ekspor memiliki pengaruh positif terhadap aliran perdagangan mebel rotan Indonesia.

2. GDP per kapita Indonesia (GDPCAPI) memiliki pengaruh positif terhadap aliran perdagangan.

3. Jarak ekonomi antara negara Indonesia dengan negara tujuan ekspor memiliki pengaruh negatif terhadap aliran perdagangan mebel rotan Indonesia

4. Nilai tukar mata uang Indonesia terhadap negara tujuan ekspor memiliki pengaruh positif terhadap aliran perdagangan kursi rotan dan mebel rotan Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa saat nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang negara tujuan melemah (terdepresiasi) maka komoditas ekspor dari Indonesia relatif lebih murah sehingga aliran perdagangan (permintaan ekspor) meningkat.

5. Harga Produk memiliki pengaruh yang positif terhadap mebel rotan Indonesia ke pasar internasional..

6. Kebijakan pelarangan ekspor memiliki pengaruh positif terhadap ekspor mebel rotan ke pasar internasional.

IV. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder selama sembilan tahun pengamatan (2007-2015). Negara tujuan ekspor yang menjadi obyek dalam penelitian adalah delapan besar pengimpor mebel rotan yaitu Amerika, Jerman, Jepang, Prancis, Belanda, Inggris, Belgia, dan Italia. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan bantuan software Eviews 9.

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi : Nilai tukar mata uang negara tujuan ekspor terhadap mata uang Dollar Amerika; GDP masing-masing negara; Jarak ekonomi antara negara Indonesia dengan negara tujuan ekspor; Total produksi. Uraian mengenai sumber data yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari : Badan Pusat Statistik; Comtrade; World Bank; International Financial Statistic (IMF); Publikasi Riset Bank Indonesia; Perpustakaan Institut Pertanian Bogor dan artikel atau publikasi hasil penelitian dan informasi lainnya serta situs-situs yang terkait dengan topik penelitian.

Tabel 2 Sumber data penelitian

No Jenis Data Sumber Data Satuan

1 Nilai Ekspor BPS dan UN Comtrade USD

2 Volume Ekspor BPS Ton / Tahun

3 GDP per Kapita World Bank USD / Tahun

4 Nilai Tukar Riil X-Rate Rupiah / Mata Uang

Negara j 5 Indeks Harga

Konsumen

World Bank


(31)

Kinerja perdagangan suatu negara dapat diukur dengan cara melihat pertumbuhan nilai ataupun volume ekspor di negara yang bersangkutan. Pertumbuhan nilai ekspor ataupun volume ekspor tersebut dapat dilihat secara berkala atau atau dari tahun ke tahun sehingga terlihat pertumbuhan jangka penjangnya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan kajian untuk mengetahui kinerja perdagangan Indonesia ke pengimpor dengan melihat sisi ekspor perdagangan Indonesia ke negara-negara pengimpor. Tidak hanya itu, potensi ekonomi setiap negara-negara pengimpor juga perlu dikaji mengingat potensi ekonomi suatu negara dapat memengaruhi tingkat impor yang akan dilakukan oleh negara yang bersangkutan. Semakin tinggi potensi ekonomi yang dimiliki suatu negara maka akan tinggi pula daya beli masyarakat akan suatu produk. Selain itu, diversifikasi produk dan pasar menjadi indikator lain untuk mengukur perkembangan pasar dimana kinerja ekspor dapat dikatakan baik apabila diversifikasi produk dan pasarnya luas.

Metode analisis yang dilakukan dalam penelitian ini terbagi menajadi dua metode yaitu metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Metode analisis secara deskriptif digunakan untuk menganilisis hal-hal yang terkait dengan kinerja perdagangan Indonesia dan potensi ekonomi negara-negara yang menjadi tujuan ekspor. Sedangkan metode analisis secara kuantitatif menggunakan empat alat analisis yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA), Export Product Dynamics (EPD) serta regresi model gravity dengan menggunakan data panel dan rasio potensi perdagangan.

Revealed Comparative Advantage (RCA)

RCA merupakan salah satu metode pengukuran yang berbentuk dinamis. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Basri dan Munandar (2010) yang menyatakan bahwa RCA merupakan salah satu metode yang dinamis dan mampu digunakan untuk melakukan analsis daya saing. RCA digunakan dalam banyak penelitian untuk mengukur perubahan keunggulan komparatif atau tingkat daya saing dari suatu produk dari suatu negara terhadap dunia. Konsep dari RCA itu sendiri merupakan rasio antara pangsa pasar dari sebuah produk suatu negara di dalam pasar dunia, dengan pangsa ekspor dari suatu negara terhadap total ekspor dunia.

Menurut Tambunan 2003 dalam Y.A.D 2012, metode RCA memiliki beberapa keunggulan yaitu dapat mengurangi dampak pengaruh campur tangan pemerintah, sehingga keunggulan komparatif suatu produk dari waktu ke waktu dapat terlihat secara jelas. Secara matematis, RCA dapat dihitung menggunakan rumus seperti berikut:

RCAij =

... (2) Dimana:

Xij : Nilai ekspor komoditas j Indonesia ke negara pengimpor Xi : Nilai total ekspor Indonesia ke negara pengimpor

Xaj : Nilai ekpor komoditas j dunia ke negara pengimpor Xa : Nilai total ekspor dunia ke negara pengimpor

Adapun indikator yang digunkan untuk untuk menghitung nilai RCA index adalah yaitu jika nilai RCA index > 1, maka terdapat keunggulan komparatif terhadap suatu produk dan jika nilai RCA index < 1, maka tidak


(32)

terdapat keunggulan komparatif terhadap suatu produk. Semakin tinggi nilai RCA maka semakin tinggi suatu komoditas memiliki daya saing.

Export Product Dynamics(EPD)

Analisis Export Product Dynamics (EPD) digunakan untuk mengetahui atau mengidentifikasi daya saing suatu produk serta untuk mengetahui apakah suatu produk dalam performa yang dinamis atau tidak. Meskipun tidak semua produk memiliki nilai ekspor yang tinggi, bukan berarti produk tersebut tidak memiliki daya saing. Suatu produk yang memiliki pertumbuhan nilai ekspor melebihi nilai rata-rata ekspor secara kontinyu, maka produk tersebut produk tersebut bisa menjadi sumber pendapatan yang besar bagi suatu negara. Analisis EPD juga merupakan suatu metode yang dapat menganalisis posisi pasar barang atau produk suatu negara ke negara tujuan. Hal tersebut dikarenakan EPD menggunakan share export total (X) dan share export commodity (Y). Berdasarkan penelitian Esterhuizen (2006), matriks posisi dikategorikan menjadi empat kategori yaitu rising star, falling star, lost opportunity dan retreat yang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Daya Tarik Pasar Dan Kekuatan Bisnis Dalam EPD Sumber: Esterhuizen (2006)

Gambar 2 menggambarkan 4 kategori umum dalam ekspor (berdasarkan posisi pangsa pasar). Rising star menggambarkan posisi pasar tertinggi atau dapat dikatakan pasar yang paling ideal. Lost opportunity merupakan kondisi dimana pasar mengalami penurunan daya saing sehingga produk yang dihasilkan di suatu negara kehilangan kesempatan untuk menjangkau ekspor di pasar internasional. Falling star merupakan kondisi yang tidak diharapkan oleh suatu negara (sama dengan kondisi lost opportunity), namun kondisi falling star tidak seburuk kondisi lost opportunity karena pada kondisi ini masih terdapat peningkatan pangsa pasar meskipun tidak terjadi untuk produk barang yang dinamis. Retreat merupakan kondisi dimana keberadaan suatu produk tidak lagi diingninkan oleh pasar.

Secara matematis, untuk menghitung pangsa ekspor suatu negara (negara i) dan pangsa pasar produk (produk n) dalam sebuah perdagangan dunia adalah sebagai berikut:

Lost

Opportunity

Rising Star


(33)

Sumbu X : Pertumbuhan pangsa pasar ekspor Indonesia (persen) ∑

………..(3)

Sumbu Y : Pertumbuhan pangsa pasar produk n ∑

………....(4)

Dimana:

Xij : Nilai ekspor komoditas j dari Indonesia ke negara i Xt : Total nilai ekspor negara Indonesia ke dunia Wij : Nilai ekspor komoditas j dunia ke negara i Wt : Nilai ekspor total dunia

t : Tahun ke-t

t-1 : Tahun sebelumnya T : Jumlah tahun analisis

Model Gravity

Model gravity adalah model yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor ekonomi maupun non ekonomi yang dapat memengaruhi perdagangan antar dua negara berdasarkan hukum gravity yang dikemukakan Sir Isaac Newton. Dalam penelitian ini, model gravity digunakan untuk menganalisis faktor penentu ekspor produk rotan Indonesia ke negara pengimpor. Model yang sebagai berikut: ln(EXijt) = β0 + β1ln (GDPCAPjt) + β2ln (GDPCAPIt) + β2ln (EXRATE) + β3ln

(DIST) + β4ln (HARGA) + β5 KBJKN +

Eijt…………...(5) Dimana:

EXijt :Nilai ekspor mebel rotan Indonesia ke negara j pada tahun t (USD)

GDPCAPjt : GDP per kapita negara j pada tahun t (USD) GDPCAPIt : GDP per kapita Indonesia pada tahun t (USD)

EXRATEijt : Nilai tukar riil antara negara Indonesia dengan negara j pada tahun t (Rp/Mata uang negara tujuan)

DISTjt : Jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara j pada tahun t HARGAjt : Harga mebel rotan Indonesia di negara j pada tahun t

KBJKN : Variabel dummy kebijakan pemerintah tentang pelarangan bahan baku rotan mentah (2007-2010 = 0, 2011-2015 = 1)

Eijt : Error Term Definisi Operasional

Untuk memperjelas variabel-variabel yang dituliskan dalam persamaan (5), maka definisi operasional variabel-variabel tersebut yaitu:


(34)

1. Nilai ekspor (EX) nominal menjadi variabel tak bebas dalam model yang merupakan total nilai ekspor produk prospektif Indonesia ke negara pengimpor yang dinyatakan dalam US $.

2. GDP per kapita (GDP) merupakan pengukuran total GDP per tahun dibagi dengan total penduduk atau populasi.

3. Nilai tukar riil (EXRATE) merupakan nilai tukar riil mata uang negara tujuan terhadap Rupiah Indonesia, dinyatakan dalam mata uang asing/rupiah. Rumus untuk mendapatkan nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara tujuan adalah:

EXRATE = Nilai tukar nominal (e) X

... (6) 4. Jarak ekonomi (ECODIST) merupakan pendekatan yang mewakili biaya

transportasi antara Indonesia dengan negara tujuan merupakan hasil kali jarak tempuh dari ibukota negara Indonesia ke ibukota negara tujuan dinyatakan dalam satuan Dollar Amerika. Semakin jauh jarak antar kedua negara maka semakin besar pula biaya transportasi yang diperlukan. Jarak ekonomi didapatkan dengan rumus:

ECODIST =

...(7)

5. HARGA merupakan harga ekspor mebel Indonesia di negara tujuan diperoleh dengan membagi nilai ekspor pada tahun t dengan jumlah produksi pada tahun yang sama.

6. Kebijakan merupakan variable dummy tentang kebijakan pelarangan ekspor rotan mentah yang dikeluarkan pada tahun 2011 dengan nomor SK Menteri Perdagangan No.35/M-DAG/PER/11/2011.

Rasio Potensi Perdagangan

Pengukuran potensi perdagangan antar negara digunakan untuk menganalisis tujuan perdagangan di masa yang akan datang. Potensi perdagangan antar negara dapat diukur dengan memanfaatkan estimasi koefisensi yang dihasilkan dari persamaan model gravity yaitu dalam memprediksi nilai perdagangan dan perdagangan aktual suatu negara (Yuniarti 2008; Gul dan Yasmin 2011; Meiri 2013). Adapun rumus rasio potensi perdagangan aktual suatu negara adalah sebagai berikut.

= ………...………(8)

Dimana :

PP = Rasio potensial perdagangan

P = Nilai perdagangan prediksi dari estimasi gravity model A = Nilai perdagangan aktual dari estimasi gravity model

Rasio potensi perdagangan antar negara memiliki dua kemungkinan hasil, yaitu:

1. PP > 1, artinya perdagangan Indonesia dengan mitra dagang mengalami under trade atau belum melebihi potensi perdagangan yang ada. Implikasinya adalah


(35)

Indonesia berpotensi untuk melakukan ekspansi perdagangan ke negara mitra dagangan di masa yang akan datang.

2. PP < 1, artinya perdagangan Indonesia dengan mitra dagang mengalami over trade atau telah melebihi potensi perdagangan yang ada. Implikasinya adalah Indonesia sudah tidak berpotensi untuk melakukan ekspansi perdagangan ke negara mitra di masa yang akan datang.

Uji Statistika

Pemilihan model yang digunakan dalam penelitian harus dipertimbangkan dalam statistik. Penelitian ini menggunakan data panel dimana data panel adalah gabungan antara data time series dan data cross section. Data time series adalah data terhadap suatu objek tetapi memiliki beberapa periode waktu yang berbeda. Sedangkan data cross section adalah data yang terdiri dari banyak objek tetapi terdapat hanya dalam satu periode tertentu. Data panel memiliki beberapa keunggulan daripada data time series maupun data cross section, karena data panel merupakan gabungan dari keduanya maka data yang akan dihasilkan pun semakin banyak sehingga akan mengahsilkan degree of freedom yang lebih besar sehingga efek bias pun bisa terminimalisir.

Dalam melakukan analisis data panel, terdapat tiga teknik estimasi regresi yaitu dengan model Pooled Leasts Square (PLS), model Fixed Effect dan model Random Effect. Untuk mendapatkan model yang efisien maka dilakukan uji statistika untuk menetukan teknik estimasi mana yang paling sesuai. Terdapat dua pengujian yang umum digunakan dalam menentukan model yang akan digunakan dalam pengolahan data panel yaitu Chow Test dan Hausman Test.

1. Chow Test

Chow Test adalah uji yang digunakan untuk memilih model terbaik diantara model Pooled Least Square (PLS) dengan model fixed effect. Hipotesis dari pengujian ini adalah

sebagai berikut :

H0 : model pooled least square

H1 : model fixed effect

Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan F statistik

seperti berikut:

...(9) Dimana:

ESS1 : Residual Sum Square hasil pendugaan pooled least squares ESS2 : Residual Sum Square hasil pendugaan fixed effect

N : Jumlah data cross section T : Jumlah data time series K : Jumlah variabel penjelas

Chow Test merupakan uji statistik yang mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas (N-1, NT-N-K). Apabila nilai Chow statistic hasil pengujian lebih besar dari F tabel maka tolak H0 sehingga model yang


(36)

2. Hausman Test

Hausman Test adalah uji yang digunakan untuk memilih model terbaik diantara model fixed effect dengan random effect. Dalam Huasman Test dapat dibuat hipotesis sebagai berikut:

H0 : Model random effect

H1 : Model fixed effect

Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan Statistik Hausman dan

membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan sebagai berikut:

M = (β - b) (M0-M1)-1 (β – b) ~X2 (K) ...(10)

Dimana:

β : Vektor statistik variabel fixed effect, b : Vektor statistik variabel random effect,

M0 : Matriks kovarians untuk dugaan random effect.

Jika nilai M hasil pengujian lebih besar dari x2-tabel, maka cukup melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model terbaik yang dapat digunakan adalah model fixed effect, dan begitu pula sebaliknya.

3. Uji F-statistic

Uji F-statistic dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen atau independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen atau dependen. Adapun langkah-langkah untuk menguji hipotesis dengan distribusi F adalah sebagai berikut :

1. Merumuskan hipotesis.

H0 : β1 = β2 = β3 = β4 = β5 = β6 = 0

H1 : minimal ada satu slope (β) yang ≠ 0

2. Menentukan taraf nyata (α) atau derajat keyakinan yang digunakan sebesar α = 1%, 5%, 10%

3. Menentukan uji statistik seperti yang disajikan di bawah ini. F hitung =

(

dfs

) (

dfr

)

………(11)

dimana :

RSS = jumlah kuadrat regresi, ESS = jumlah kuadrat error, dfr = derajat bebas regresi, dfs = derajat bebas error.

4. Penentuan kriteria uji. H0 ditolak apabila Fhitung > Ftabel dengan derajat bebas pembilang = DFregression = v1 = k, dan derajat bebas penyebut = DFError =

v2 = (n-k-1) atau < α, artinya semua variabel independen secara bersama-sama merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen.

4. Uji t-statistic

Uji t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen. Tujuan dari uji t adalah untuk menguji koefisien regresi secara individual. Adapun langkah-langkah dalam pengujian ini adalah sebagai berikut :

1. Merumuskan hipotesis.

Ho : βi = 0, artinya variabel independen bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen


(37)

Ha : βi ≠ 0, artinya variabel independen merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen.

2. Menentukan taraf nyata (α) atau derajat keyakinan yang digunakan sebesar α = 1%, 5%, 10%.

3. Menentukan uji statistik seperti yang disajikan di bawah ini.

⁄ ………(12)

dimana :

Sd (b1) = simpangan baku dari parameter dugaan, b1 = parameter dugaan.

4. Penentuan kriteria uji. H0 ditolak apabila |thitung| > t (α / 2; n– k-1) atau < α, artinya ada pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen. 5. R-Squared (R2)

Kesesuaian model dihitung dengan nilai koefisien determinasi (R2) yang bertujuan untuk mengukur keragaman variabel independen yang dapat diterangkan oleh variabel dependen. R2 menunjukkan besarnya pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen.

⁄ ……….………..(13) dimana :

RSS = jumlah kuadrat regresi, TSS = jumlah kuadrat total.

Selang R2 yang digunakan adalah 0 ≤ 2 ≤ 1. 2 = 1 berarti 100 persen variasi dalam variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independennya. Sedangkan R2 = 0 berarti tidak satupun variabel dependen tidakdapat dijelaskan oleh variabel- variabel independennya.

Pengujian Asumsi Model

Dalam permasalahan analisis regresi termasuk panel data sering ditemukan masalah yang perlu dilakukan pengujian klasik, antara lain pengujian normalitas, multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas.

1. Normalitas

Uji normalitas ditujukan untuk mengetahui apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah model yang memiliki nilai residual yang terdistribusi normal. Sehingga uji normalitas bukan dilakukan pada masing-masing variabel tetapi pada nilai residualnya. Dalam penerapan OLS untuk regresi linier klasik, diasumsikan bahwa distribusi residual memiliki nilai rata-rata yang diharapkan sama dengan nol, tidak berkorelasi dan mempunyai varian yang konstan. Dengan asumsi ini OLS estimator atau penaksir akan memenuhi sifat-sifat statistik yang diinginkan seperti unbiased dan memiliki varian yang minimum.

Ada beberapa uji untuk mengetahui normal atau tidaknya nilai residual antara lain dengan menggunakan Jarque-Bera test atau J-B test. Uji ini menggunakan hasil estiminasi residual dan chisquare probability distribution. Statistik uji J-B test dapat dilihat dibawah ini (Gujarati 2006).


(38)

………(14) dimana :

n = jumlah observasi

S = skewness (kemencengan) K = kurtosis (keruncingan)

Statistik J-B mengikuti distribusi Chi-square dengan d.k.2 secara asimtotis (asy) atau dalam sampel besar yang secara simbolis daituliskan sebagai berikut.

Bila nilai J-B hitung > nilai X2 tabel atau Prob < 0.05, maka hipotesis yang menyatakan bahwa residual berdistribusi normal dapat ditolak. Bila nilai J-B hitung < nilai X2 tabel, atau Prob > 0,05 maka yang menyatakan bahwa residual berditribusi normal tidak dapat ditolak.

2. Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabelvariabel independen dalam persamaan regresi berganda. Adanya multikolinearitas menyebabkan pendugaan koefisien regresi tidak nyata walaupun nilai R2-nya besar. Hal tersebut dapat dideteksi dari nilai R2 yang tinggi (0,7-1), tetapi tidak terdapat atau hanya sedikit sekali koefisien dugaan yang berpengaruh nyata (Gujarati, 2006). Multikolinearitas dapat diketahui dengan meregresikan variabel independen dengan variabel independen lainnya, dengan uji F(uji signifikansi).

Jika Fhitung > Ftabel, artinya tolak H0 yang berarti terdapat multikolinearitas pada model dugaan jika Fhitung < Ftabel, artinya terima H0 yang berarti tidakterdapat multikolinearitas pada model dugaan atau dapat dilihat pula dari nilai R2-nya. Jika nilai R2 pada variabel yang diregresikan lebih tinggi daripada nilai R2 pada model awal regresi dugaan, maka variabel tersebut menyebabkan terjadinya multikolineritas pada model regresi dugaan (Gujarati, 2006).

Tindakan perbaikan model dugaan akibat adanya multikolinearitas dapat dilakukan dengan menambah observasi atau menghilangkan satu atau lebih variabel independen yang memiliki kolinearitas yang tinggi.

3. Heteroskedastisitas

Jika seluruh residual pada model tidak memiliki varian yang konstan maka diduga model mengalami masalah heteroskedastisitas. Pengujian terhadap adanya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan uji park, uji goldfeld-quant dan uji white.

Pada penelitian ini, untuk melihat apakah model telah memenuhi asumsi klasik dapat dilhat berdasarkan nilai sum squared residual pada hasil pengolahan menggunakan E-views 9. Permasalahan heteroskedastisitas dapat diatasi dengan memberikan bobot Weighted Least Square (WLS) melalui Generalized Least Squares (GLS) pada model atau transformasi data kedalam bentuk logaritma natural.

4. Autokorelasi

Autokorelasi sering terjadi pada pengamatan yang dilakukan pada data runtun waktu (time series). Autokorelasi adalah keadaan di mana terdapat trend di


(1)

Uji Multikolinieritas

GDPCAP GDPCAPI ER DIST HARGA KBJKN

GDPCAP 1.000000 0.010289 0.291329 0.546007 0.148968 -0.064993 GDPCAPI 0.010289 1.000000 -0.048421 0.043366 0.374866 0.665398 ER 0.291329 -0.048421 1.000000 0.815982 -0.034275 -0.014852 DIST 0.546007 0.043366 0.815982 1.000000 0.024058 0.003377 HARGA 0.148968 0.374866 -0.034275 0.024058 1.000000 -0.180812 KBJKN -0.064993 0.665398 -0.014852 0.003377 -0.180812 1.000000 Uji Normalitas 0 2 4 6 8 10

-1.0 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8

Series: Standardized Residuals Sample 2007 2015

Observations 72 Mean 1.23e-17 Median 0.080627 Maximum 0.845021 Minimum -1.078556 Std. Dev. 0.420069 Skewness -0.400807 Kurtosis 2.806695 Jarque-Bera 2.039859 Probability 0.360620

Uji Heteroskedastisitas -1.2 -0.8 -0.4 0.0 0.4 0.8 1.2 1 - 07 1 - 09 1 - 11 1 - 13 1 - 15 2 - 08 2 - 10 2 - 12 2 - 14 3 - 07 3 - 09 3 - 11 3 - 13 3 - 15 4 - 08 4 - 10 4 - 12 4 - 14 5 - 07 5 - 09 5 - 11 5 - 13 5 - 15 6 - 08 6 - 10 6 - 12 6 - 14 7 - 07 7 - 09 7 - 11 7 - 13 7 - 15 8 - 08 8 - 10 8 - 12 8 - 14 EX Residuals


(2)

Lampiran 11. Analisis Rasio Potensi Perdagangan Kursi Rotan Negara Tahun EX

Estimasi

EX

Aktual PP Rata-rata Amerika 2007 15,10361 15,82238 0,954573

2008 14,52272 15,70746 0,924575 2009 14,58988 15,71348 0,928494 2010 13,95479 16,65409 0,83792 2011 13,96015 16,56175 0,842915 2012 13,90251 15,8344 0,877994 2013 13,69496 15,83087 0,865079 2014 13,79194 15,85585 0,869833

2015 13,85409 15,60721 0,887673 0,887673 Jerman 2007 14,50249 15,91332 0,911343

2008 14,31246 15,48572 0,924236 2009 14,21463 15,37339 0,924626 2010 13,72623 15,49972 0,885579 2011 13,95296 13,98045 0,998033 2012 13,91284 14,76201 0,942476 2013 13,58217 14,05352 0,966461 2014 14,04976 14,01466 1,002505

2015 13,87929 13,65509 1,016419 0,952409 Jepang 2007 24,78576 14,73964 1,681572

2008 24,24933 14,42247 1,681358 2009 24,53354 13,32993 1,840486 2010 24,02546 12,88032 1,865285 2011 24,15696 12,4342 1,942783 2012 24,24434 13,97317 1,735063 2013 23,93161 13,62041 1,757041 2014 24,06639 12,94004 1,859839

2015 23,89673 13,23977 1,80492 1,796483 Prancis 2007 13,78958 15,38678 0,896196

2008 13,53329 15,06873 0,898105 2009 13,39582 14,13196 0,94791 2010 12,80378 13,927 0,919349 2011 12,95878 13,41534 0,965967 2012 12,68325 13,64386 0,929594 2013 12,49882 14,29323 0,874457 2014 12,69295 14,39452 0,881791

2015 12,49261 14,04761 0,889305 0,911408 Belanda 2007 15,95959 15,5693 1,025068

2008 15,74861 15,29875 1,029405 2009 15,6013 14,56699 1,071004 2010 14,9777 14,2323 1,052374 2011 15,10232 13,64322 1,106947


(3)

2012 14,80925 14,15369 1,046317 2013 14,63413 14,28903 1,024151 2014 14,88847 14,18024 1,049945

2015 14,69773 14,31274 1,026898 1,048012 Inggris 2007 14,06538 15,14951 0,928438

2008 13,73275 14,52072 0,945734 2009 13,27352 13,31474 0,996905 2010 12,67394 12,99444 0,975336 2011 12,75217 11,14193 1,144521 2012 12,58916 13,39442 0,939881 2013 12,3648 13,18758 0,937609 2014 12,67573 13,28185 0,954364

2015 12,58878 12,29985 1,02349 0,98292 Belgia 2007 14,78982 15,74829 0,939138

2008 14,49533 14,73585 0,983678 2009 14,36088 15,37519 0,93403 2010 13,74826 13,70908 1,002858 2011 13,79818 12,75891 1,081454 2012 13,51932 12,65861 1,067994 2013 13,32561 12,70219 1,04908 2014 13,59294 12,29805 1,105292

2015 13,37101 12,27552 1,089241 1,028085 Italia 2007 12,92766 15,45999 0,836201

2008 12,62668 13,79197 0,91551 2009 12,46323 13,69316 0,91018 2010 11,85187 13,83912 0,856404 2011 12,00956 13,63857 0,880559 2012 11,68765 14,2179 0,822038 2013 11,38704 13,9915 0,813854 2014 11,56644 13,93062 0,830289


(4)

Lampiran 12. Analisis Rasio Potensi Perdagangan Mebel Rotan Negara Tahun EX

Estimasi

EX

Aktual PP Rata-Rata Amerika 2007 16.85241 15.82238 1.0651

2008 16.69671 15.70746 1.062979 2009 16.83715 15.71348 1.07151 2010 16.813 16.65409 1.009541 2011 16.5846 16.56175 1.00138 2012 16.09076 15.8344 1.01619 2013 16.06322 15.83087 1.014677 2014 16.11437 15.85585 1.016304

2015 16.10129 15.60721 1.031657 1.032149 Jerman 2007 16.72838 15.91332 1.051219

2008 16.86151 15.48572 1.088843 2009 16.63093 15.37339 1.0818 2010 17.40085 16.70336 1.041757 2011 17.73277 16.43776 1.078782 2012 16.385 14.76201 1.109944 2013 16.33415 14.13555 1.155538 2014 16.6389 14.24303 1.168214

2015 16.37505 13.866 1.18095 1.106339 Jepang 2007 20.68506 15.89213 1.301592

2008 20.78339 15.29803 1.358566 2009 20.81324 15.64734 1.330146 2010 21.02146 16.46987 1.276359 2011 20.68186 16.31987 1.267281 2012 20.69306 15.95817 1.296706 2013 20.45094 15.91103 1.285331 2014 20.40526 15.60798 1.30736

2015 20.48789 15.51987 1.320107 1.304828 Prancis 2007 16.00676 14.73964 1.085967

2008 16.02373 14.42247 1.111025 2009 15.64223 13.32993 1.173467 2010 16.57582 15.17452 1.092345 2011 16.67635 14.84312 1.123507 2012 15.16967 14.31588 1.05964 2013 15.28577 14.01658 1.090549 2014 15.4204 13.49838 1.142389

2015 15.04028 13.23977 1.135992 1.112765 Belanda 2007 18.12667 15.38678 1.178068

2008 18.19107 15.06873 1.207207 2009 17.90994 14.13196 1.267336 2010 18.11441 15.27924 1.185557 2011 18.16451 14.82152 1.22555 2012 17.41501 13.87338 1.255283


(5)

2013 17.38397 14.38946 1.208104 2014 17.48339 14.49742 1.205966

2015 17.3193 14.38153 1.204274 1.21526 Inggris 2007 16.51844 15.5693 1.060963

2008 16.18935 15.29875 1.058214 2009 15.71979 14.56699 1.079138 2010 16.13774 15.60625 1.034056 2011 16.02123 14.79479 1.082897 2012 15.52553 14.18099 1.094813 2013 15.58862 14.35202 1.086162 2014 15.73566 14.28095 1.101864

2015 15.59023 14.31274 1.089255 1.076373 Belgia 2007 16.99897 15.14951 1.122081

2008 16.99823 14.52072 1.170619 2009 17.58753 15.09813 1.164881 2010 17.54072 15.28114 1.147867 2011 17.63329 13.99243 1.260203 2012 15.92553 13.51812 1.178087 2013 15.98666 13.2678 1.204922 2014 16.09171 13.46169 1.195371

2015 16.13342 13.16094 1.225856 1.185543 Italia 2007 15.13581 15.45999 0.979031

2008 14.02217 13.79197 1.016691 2009 14.86248 13.69316 1.085394 2010 14.47207 13.83912 1.045736 2011 14.43158 13.63857 1.058144 2012 14.20524 14.2179 0.99911 2013 14.14989 13.9915 1.01132 2014 14.1845 13.93062 1.018225


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Cirebon Jawa Barat pada tanggal 26 April 1991 dari ayah Ahmad Rifai dan ibu Noorlia. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar sampai menengah di kota Cirebon. Penulis lulus dari SMU Negeri 7 Cirebon pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dan lulus pada tahun 2013.

Penulis sempat bekerja di Oto Finance pada tahun 2013 dan pada tahun 2014 penulis melanjutkan studi di Program Pasca Sarjana Magister Sains Agribisnis IPB. Selama kuliah penulis aktif menjadi pegawai honorer Kementerian Agama Kota Cirebon.

Penulis dapat dihubungi melalui email