Analisis Pengaruh Pajak Daerah Terhadap Pelaksanaan Pembangunan Daerah Di Provinsi Jawa Tengah

ANALISIS PENGARUH PAJAK DAERAH TERHADAP
PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI
JAWA TENGAH

RAHMI BUDHY FATMASARI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pengaruh
Pajak Daerah terhadap Pelaksanaan Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa
Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Rahmi Budhy Fatmasari
NIM H14110049

ABSTRAK
RAHMI BUDHY FATMASARI. Analisis Pengaruh Pajak Daerah terhadap
Pelaksanaan Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Tengah.Dibimbing oleh SRI
HARTOYO.
Pajak daerah merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah daerah
dalam mendukung kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Penelitian ini
bertujuan menganalisis pengaruh pajak daerah terhadap pelaksanaan
pembangunan daerah di Provinsi Jawa Tengah, dengan menggunakan model
ekonometrika sistem persamaan simultan serta menggunakan data kombinasi time
series tahunan dan cross section 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dugaan parameter model sesuai dengan teori.
Pajak daerah berpengaruh signifikan dalam menurunkan tingkat konsumsi
masyarakat dan tingkat kemiskinan, namun tidak signifikan dalam mempengaruhi
investasi dan peningkatan nilai IPM. Berdasarkan hasil simulasi, peningkatan

pajak daerah dapat menurunkan nilai PDRB serta tidak berpengaruh terhadap
penurunan kemiskinan dan peningkatan nilai IPM. Hal ini mengindikasikan
bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah masih rendah dan tingkat
ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat justru semakin
meningkat di era otonomi daerah.
Kata Kunci: Jawa Tengah, Pajak Daerah, Pembangunan, Persamaan Simultan

ABSTRACT
RAHMI BUDHY FATMASARI. Analysis of Tax on Implementation of Regional
Development in Central Java Province. Supervised by SRI HARTOYO.
Tax is one source of revenue for local government, in support of the
government program and development. This study aims to analyze the influence
of taxes to the implementation of regional development in Central Java province,
by using econometric model system of simultaneous equations and using a
combination of data annual time series and cross section 35 districts/cities in
Central Java province. The analysis showed that the allegations in accordance
with the theoretical model parameters. Taxes have a significant effect in lowering
levels of consumption and poverty, but not significant in influencing investment
and an increase in value of HDI. Based on simulation results, an increase in taxes
may hold up the GDP growth rate and does not affect the reduction of poverty and

the increase in value of HDI. This indicates that the financial performance of local
governments is still low and the level of dependence of local governments on
the central government actually increased in the era of regional autonomy.
Keywords: Central Java, Tax, Development, Simultaneous Equation

ANALISIS PENGARUH PAJAK DAERAH TERHADAP
PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI
JAWA TENGAH

RAHMI BUDHY FATMASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelirian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah pembangunan
daerah, dengan judul Analisis Pengaruh Pajak Daerah terhadap Pelaksanaan
Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Tengah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada orang tua Bapak Ir. H. Budi Santoso,
MM dan Ibu Hj. Siti Mafricha atas segala do’a dan dukungan yang selalu
diberikan. Selain itu ucapan terima kasih juga ditujukan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S. selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan arahan, bimbingan dan saran dalam membantu
penulis menyelesaikan skripsi ini
2. Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku dosen penguji utama dan Ibu
Heni Hasanah, SE., M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas
kritik dan saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Saudara kandung penulis (Atika Budhy Setyani dan Farah Budhy
Fauziyah) yang senantiasa memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Sahabat penulis (Intan Fitria Sari, Ina Marlina, Aulia Novita, Fauziah Nur
Annisa, Yoga Afif Nurrahman dan Ajeng Agustianty) atas doa dan
dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Teman satu bimbingan skripsi (Cynthia A, Marsha Marlupi Maharani,
Khodijah Mustaqimah, Rizki Dwi dan Fadhlan Ihsanudin) yang saling
membantu dan memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Teman OMDA KKB (Dika, Sherly, Ani, Aulia, Venza, Reza, Fatku, Sefri
dan Rahmat) yang banyak memberikan motivasi dalam penyelesaian
skripsi ini.
7. Teman-teman Ilmu Ekonomi 48 (Siska, Diah, Masayu, Ririn, Sari, Ina
Fleury, Dian Rahmadhani, Ditta, Faisal, Randy, Idham dan Doni) yang
turut membantu dan memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi
ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2015
Rahmi Budhy Fatmasari

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

3

KERANGKA TEORI

3


METODE

5

Jenis dan Sumber Data

5

Metode Pengolahan dan Analisis Data

5

Identifikasi Model

7

Validasi Model Simulasi

7


GAMBARAN UMUM

8

Perkembangan Pajak Daerah

8

Perkembangan Retribusi Daerah

9

Perkembangan Laba Daerah

10

Perkembangan Pendapatan Asli Daerah

11


Perkembangan Konsumsi

12

Perkembangan Investasi

13

Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto

14

Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin

15

Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia

15


HASIL DAN PEMBAHASAN

16

Pendugaan Model Analisis

16

Analisis Model Pertumbuhan Ekonomi

17

Analisis Model Kemiskinan

21

Analisis Model Indeks Pembangunan Manusia

24

Hasil Simulasi Pajak Daerah

26

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

27
27

Saran

28

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

31

RIWAYAT HIDUP

33

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Identifikasi model persamaan simultan
Hasil pendugaan parameter model konsumsi
Hasil pendugaan parameter model investasi
Hasil pendugaan parameter model kemiskinan
Hasil pendugaan parameter model indeks pembangunan manusia
Hasil simulasi pajak daerah

7
17
19
21
24
26

DAFTAR GAMBAR
1 Kurva Laffer
2 Perkembangan Nilai Pajak Daerah Jawa Tengah tahun 2009-2013 (ribu
rupiah)
3 Perkembangan Nilai Retribusi Daerah Jawa Tengah tahun 2009-2013
(ribu rupiah)
4 Perkembangan Nilai Laba Daerah Jawa Tengah tahun 2009-2013 (ribu
rupiah)
5 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Jawa Tengah tahun 20092013(ribu rupiah)
6 Perkembangan Nilai Konsumsi Jawa Tengah tahun 2009-2013 (ribu
rupiah)
7 Perkembangan Nilai Investasi Jawa Tengah tahun 2009-2013 (ribu
rupiah)
8 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Jawa Tengah tahun
2009-2013(ribu rupiah)
9 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Jawa Tengah tahun 20092013 (jiwa)
10 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Jawa Tengah tahun
2009-2013

4
8
9
10
11
12
13
14
15
16

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil pendugaan parameter model pajak daerah
2 Hasil pendugaan parameter model retribusi daerah
3 Hasil pendugaan parameter model laba daerah

31
31
32

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan daerah merupakan pembangunan dengan segala sesuatu
yang dipersiapkan dan dilaksanakan oleh suatu daerah, mulai dari perencanaan,
pembiayaan, pelaksanaan hingga pertanggungjawabannya. Lahirnya Undangundang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan
keleluasaan kepada daerah untuk mengatur pelaksanaan pemerintahan daerahnya
sendiri. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah dengan sistem
pemerintahan desentralisasi yang terdiri dari 35 kabupaten/kota. Kebijakan
otonomi daerah yang berlaku di Provinsi Jawa Tengah memberikan kewenangan
lebih besar bagi tiap daerah untuk mengatur dan mengurus kegiatan
pemerintahannya secara mandiri.
Sejalan dengan kewenangan tersebut, pemerintah daerah (Pemda)
diharapkan mampu menggali sumber keuangan untuk pembiayaan pemerintahan
dan pembangunan di daerahnya melalui PAD (Pendapatan Asli Daerah). PAD
merupakan sumber penerimaan yang berpengaruh terhadap pembiayaan rutin
dimana perolehannya dihasilkan secara mandiri sesuai dengan potensi dan sumber
daya yang dimiliki. Otonomi daerah dapat diwujudkan apabila didukung dengan
otonomi keuangan yang efektif. Namun kemampuan daerah dalam membiayai
pembangunan masih terkendala dalam upayanya meningkatkan PAD. Derajat
kemandirian suatu daerah dalam pelaksanaan otonomi dapat dilihat dari rasio
PAD terhadap total penerimaan daerah. Semakin besar rasionya maka semakin
besar pula tingkat kemandirian suatu daerah.
Perolehan PAD kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah hanya mencapai
9-12 persen dari total penerimaan daerah. Sementara itu nilai rasio total PAD
kabupaten/kota terhadap total penerimaan daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah mengalami stagnasi selama tiga tahun, yakni pada tahun 2009 hingga
tahun 2011 nilai rasionya adalah 0,10. Kemudian nilai rasio PAD terhadap total
penerimaan daerah mengalami peningkatan pada tahun 2012 dan 2013 yakni naik
menjadi 0,11 dan 0,13 (BPS Jateng 2015). Rendahnya nilai rasio tersebut
menunjukkan masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah terhadap
pemerintah pusat dalam pelaksanaan otonomi, terutama dalam hal keuangan.
Guna mendukung pelaksanaan otonomi, maka masing-masing daerah harus
mampu meningkatkan penerimaan yang salah satunya bersumber dari pajak. Pajak
daerah merupakan salah satu sumber penerimaan yang digali secara mandiri dan
penerimaannya ditujukan untuk mengoptimalkan nilai PAD guna mendukung
pelaksanaan pemerintahan serta pembangunan.
Secara nyata, penerimaan daerah yang besar akan berpengaruh positif
terhadap kegiatan pembangunan daerah. Namun pembangunan daerah juga dapat
mempengaruhi besaran penerimaan masing-masing daerah karena berhasilnya
pembangunan daerah yang ditinjau dari tingkat kesejahteraan masyarakat, akan
menentukan pajak yang dibayarkan, bisnis usaha yang dijalankan serta meluasnya
investasi dengan banyaknya pendirian bangunan di suatu daerah. Oleh karena itu
kebijakan untuk penentuan pajak perlu dikaji terlebih dahulu karena pajak
memiliki konsekuensi positif dan negatif terhadap pembangunan daerah. Sebagai

2
perannya dalam meningkatkan penerimaan daerah, penulis ingin melihat
bagaimana pengaruh pajak daerah terhadap pelaksanaan pembangunan daerah di
Provinsi Jawa Tengah yang ditinjau dari nilai Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), jumlah penduduk miskin dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Perumusan Masalah
Lahirnya UU nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
merupakan dasar pendukung pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Sebagai
salah satu daerah yang menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi, Provinsi
Jawa Tengah yang terdiri dari 35 kabupaten/kota memeiliki kewenangan untuk
mengatur kegiatan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya secara mandiri,
serta menggali sumber dana untuk mendukung pelaksanaan kegiatan otonomi
daerah tersebut. Derajat kemandirian suatu daerah otonom dapat dilihat dari
perbandingan nilai PAD dengan total penerimaan daerah. Provinsi Jawa Tengah
memiliki nilai rasio berkisar antara 0,10 hingga 0,13 pada tahun 2009-2013. Hal
tersebut mengindikasikan masih lemahnya kinerja keuangan pemerintahan daerah.
Upaya memperbesar penerimaan daerah salah satunya dengan
meningkatkan penerimaan pajak daerah. Besar kecilnya penerimaan daerah
memiliki hubungan timbal balik dengan kegiatan pembangunan daerah. Sebagai
suatu kebijakan, pajak memiliki konsekuensi positif dan negatif. Untuk itu perlu
pengkajian yang matang mengenai dampak yang akan ditimbulkan dari
pemberlakuan pajak. Dari penjabaran di atas dapat dirumuskan dalam beberapa
pertanyaan yang akan ditelaah dalam penelitian ini yakni bagaimana pengaruh
dari pajak daerah serta dampak peningkatan penerimaannya terhadap pelaksanaan
pembangunan daerah di Provinsi Jawa Tengah, dengan dihubungkan pada tiga
indikator pembangunan yaitu PDRB, jumlah penduduk miskin serta IPM.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum ditujukan untuk menganalisis pengaruh pajak
daerah dan dampak peningkatan penerimaannya terhadap pelaksanaan
pembangunan daerah di Provinsi Jawa Tengah.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pengetahuan mengenai
pengaruh peningkatan pajak daerah terhadap pelaksanaan pembangunan daerah di
Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan masukan bagi aparatur pemerintah (khususnya aparatur Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah) yang dapat menjadi bahan masukan dalam pengembilan
kebijakan pemberlakuan pajak daerah pada masa yang akan datang.

3
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada 35 kabupaten/kota yang ada
di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 hingga 2013. Peningkatan
pembangunan daerah difokuskan pada aspek ekonomi dan sosial, yakni PDRB,
Kemiskinan dan IPM yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh pajak daerah.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
dari BPS Provinsi Jawa Tengah.

KERANGKA TEORI
Prakosa (2005) menyatakan bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung
yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan serta pembangunan daerah.
Perubahan penerimaan pajak daerah akan berdampak langsung terhadap
perolehan PAD kabupaten/kota. Sebagai suatu kebijakan, pajak daerah ditujukan
untuk mengoptimalkan perolehan PAD karena nilai penerimaannya yang besar di
setiap kabupaten/kota. Selain itu perannya sebagai kebijakan, pajak daerah tentu
memiliki konsekuensi positif dan negatif jika diterapkan di suatu daerah.
Konsekuensi positif yang dapat dihasilkan dari pemberlakuan pajak daerah adalah
perannya sebagai pengaturan ekonomi dan meningkatkan penerimaan daerah.
Sementara konsekuensi negatif yang ditimbulkan adalah pajak daerah dapat
meningkatkan harga-harga yang harus dibayarkan oleh pelaku ekonomi sehingga
beban yang ditanggung turut meningkat.
Tikson (2005) menyatakan beberapa indikator keberhasilan pembangunan
daerah, yaitu laju PDRB suatu daerah, angka penduduk miskin, struktur ekonomi
yang ditinjau dari besaran UMR, angka tabungan serta total nilai IPM suatu
daerah. Karena keterbatasan data yang diperoleh, indikator keberhasilan
pembangunan daerah yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai PDRB,
kemiskinan, dan nilai IPM, yang mana telah mencakup aspek ekonomi dan sosial
dalam pembangunan. Oleh karena itu untuk melihat pengaruh pajak daerah
terhadap pelaksanaan pembangunan daerah, maka dapat dihubungkan dengan tiga
indikator keberhasilan pembangunan, yakni PDRB, kemiskinan dan IPM.
Apabila dihubungkan dengan PDRB sebagai representasi pertumbuhan
ekonomi, pajak daerah memiliki pengaruh yang negatif terhadap tingkat konsumsi
dan investasi. Pemberlakuan pajak daerah menyebabkan biaya yang ditanggung
produsen dalam melaksanakan kegiatan/layanan tertentu menjadi tinggi. Karena
orientasi produsen adalah keuntungan, maka sebisa mungkin produsen akan
menekan biaya produksinya, yang salah satunya dilakukan dengan membagi
beban pajak yang ditanggungnya kepada konsumen yang menggunakan jasa
pelayanan kegiatan yang disediakan oleh produsen. Akibatnya tingkat harga yang
harus dibayarkan oleh konsumen menjadi tinggi, sehinga permintaan akan barang
dan jasa yang disediakan oleh produsen menjadi turun. Perubahan konsumsi
masyarakat selanjutnya akan secara langsung mempengaruhi besar kecilnya nilai

4
perolehan PDRB. Nilai PDRB akan mempengaruhi kegiatan investasi di suatu
daerah tertentu. Pemberlakuan pajak daerah merupakan salah satu faktor yang
dapat menghambat perluasan kegiatan investasi, karena dengan adanya pajak
daerah pendapatan investor akan berkurang dan tidak ada ketertarikan dari
investor untuk memperluas kegiatan investasinya. Berkurangnya investasi akan
mempengaruhi nilai IPM, karena ketersediaan lapangan pekerjaan yang turun,
jumlah pengangguran bertambah dan pendapatan masyarakat yang dapat
dialokasikan untuk kebutuhan bukan makanan menjadi berkurang.
Nilai IPM salah satunya diukur melalui Angka Harapan Hidup (AHH).
AHH menunjukan kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pada umumnya dan meningkatkan kesehatan masyarakat pada
khususnya, yang ditinjau dari meningkatnya perawatan kesehatan melalui
puskesmas dan meningkatnya daya beli masyarakat yang akan meningkatkan
akses pelayanan kesehatan. Maka apabila pendapatan masyarakat turun, alokasi
pengeluaran masyarakat yang dapat digunakan untuk kebutuhan bukan makanan
menjadi berkurang. Sehingga penggunaan fasilitas kesehatan seperti puskesmas
dan rumah sakit menjadi rendah. Berkurangnya penggunaan fasilitas kesehatan
tersebut tentu akan mempengaruhi perolehan retribusi daerah yang salah satunya
dipungut dari puskesmas dan rumah sakit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
penurunan nilai IPM akan berdampak pada berkurangnya perolehan retribusi
daerah. Rendahnya penerimaan retribusi daerah akansecara langsung mengurangi
perolehan PAD.
PAD merupakan salah satu bagian dari total penerimaan daerah, maka
apabila perolehan PAD mengalami penurunan, secara tidak langsung akan
mempengaruhi besaran pengeluaran pemerintah yang akan digunakan untuk
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah. Dalam konteks
desentralisasi fiskal, komponen penerimaan daerah tidak hanya mencakup PAD,
namun untuk melihat derajat kemandirian suatu daerah dalam pelaksanaan
otonomi, masing-masing daerah otonom harus memiliki nilai rasio antara PAD
dengan total penerimaan daerah minimalsebesar 20 persen. Apabila perolehan
PAD kurang dari 20 persen maka daerah tersebut akan kehilangan kredibilitasnya
sebagai kesatuan yang mandiri (World Bank, 1998).
Laffer (1978) menyatakan bahwa tarif pajak yang lebih tinggi tidak selalu
menghasilkan pendapatan pajak yang lebih tinggi.Tarif pajak yang lebih tinggi
akan menghambat aktivitas ekonomi dan mengakibatkan pendapatan pajak
menurun.

5

Penerimaan

0

t*

100

TarifPajak (%)

Gambar 1 Kurva Laffer
Dengan rentang nilai 0-100 persen, logika sederhana menunjukkan apabila
tarif pajak yang diberlakukan adalah nol maka pendapatan pajak juga akan nol.
Namun pada tarif 100 persen, secara rasional akan memberikan dorongan kepada
pembayar pajak untuk tidak bekerja, karena berapapun pendapatan yang diterima
pada akhirnya akan digunakan seluruhnya untuk membayar pajak. Hal ini
menimbulkan pemikiran pada pembayar pajak untuk tidak bekerja. Akibatnya
penerimaan pajak akan kembali turun. Dengan asumsi tax rate continues antara 0100 persen, maka penerimaan pajak akan mengalami peningkatan sampai pada
titik maksimum tertentu dan terus kembali turun menuju titik nol.
Guna mengukur keberhasilan pembangunan daerah dalam mengurangi
jumlah penduduk miskin dan meningkatkan nilai IPM, maka besaran perolehan
PAD menjadi salah satu faktor yang digunakan untuk melihat keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah. Dipilihnya PAD sebagai salah satu faktor yang
berpengaruh, karena penelitian ini ditujukan untuk melihat kinerja keuangan
pemerintah daerah dalam mendukung pelaksanaan pembanguan daerah. Pajak
daerah yang berperan sebagai penerimaan daerah selanjutnya akan menentukan
besar kecilnya perolehan PAD dan digunakan untuk mendukung pengeluaran
pemerintah yang salah satunya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
Pengaruh PAD terhadap kemiskinan selanjutnya akan kembali mempengaruhi
besarnya pajak yang dapat dibayarkan oleh masyarakat, serta pengaruh PAD
terhadap IPM selanjutnya akan kembali mempengaruhi penerimaan retribusi
daerah. Selain itu perubahan yang terjadi pada nilai PDRB, akan kembali
mempengaruhi nilai pajak daerah, retribusi daerah dan laba daerah yang berperan
sebagai sumber penerimaan daerah. Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara penerimaan daerah dengan
pelaksanaan pembangunan daerah

6
.

METODE
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel pooled
time series-cross section. Cross section dimaksud adalah seluruh (35)
kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah, sedangkan time series
dimaksud yakni data tahunan untuk periode 2009 hingga 2013. Pembangunan
daerah yang dimaksud didasarkan pada tiga indikator yakni PDRB, kemiskinan
dan IPM. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, Badan
Pusat Statistik Kabupaten/Kota, artikel dan jurnal terkait. Data yang memiliki
nilai satuan rupiah telah diriilkan dengan pembagi Indeks Harga Konsumen (IHK).

Metode Pengolahan dan Analisis Data
Model yang digunakan dalam menganalisis adalah sistem persamaan
simultan. Dapat dibuktikan bahwa setiap persamaan yang dibentuk bersifat
teridentifikasi berlebih (over identified), sehingga teknik pendugaan parameter
yang tepat untuk digunakan adalah metode Two Stage Least Square (2 SLS) untuk
data panel (Baltagi, 1995). Pendugaan nilai-nilai parameter dalam model
dilakukan dengan menggunakan program komputer SAS versi 9.1 dan Microsoft
Excel 2007. Berikut adalah model persamaan dalam penelitian ini:
1. Pajak Daerah

2. Retribusi Daerah
3. Laba Daerah
4. Pendapatan Asli Daerah
5. Konsumsi
6. Investasi

7. Kemiskinan
8. Indeks Pembangunan Manusia
9. Produk Domestik Regional Bruto

Keterangan:

7
PDt
RDt
LDt
LLPADSt
PADt
PDRBt
MSKNt
IPMt
PPLt
HTLt
WSTt
INDUSt
INVt
Gt
LJUMRt
LJTKt
UMRt
PNMt
INFt
Ct

: pajak daerah riil tahun t (ribu Rupiah)
: retribusi daerah riil tahun t (ribu Rupiah)
: laba daerah riil tahun t (ribu Rupiah)
: lain-lain PAD yang sah riil tahun t (ribu Rupiah)
: nilai PAD riil tahun t (ribu Rupiah)
: nilai PDRB riil tahun t(ribu Rupiah)
: kemiskinantahun t (jiwa)
: indeks pembangunan manusia tahun t (antara nol sampai seratus)
: populasi/jumlah penduduk tahun t (jiwa)
: jumlah hoteltahun t (unit)
: jumlah wisatawan tahun t (unit)
: jumlah industritahun t (unit)
: investasi riil tahun t (ribu Rupiah)
: belanja pemerintah riil tahun t(ribu Rupiah)
: laju perubahan upah minimum tahun t (persen)
: laju perubahan tenaga kerja tahun t (persen)
: upah minimum regionaltahun t (ribu Rupiah)
: pengeluaran bukan makanan tahun t(ribu Rupiah)
: inflasitahun t (persen)
: konsumsi riil tahun t (ribu Rupiah)
: error term
Identifikasi Model

Pada model persamaan simultan, identifikasi model ditentukan atas dasar
“order condition” sebagai syarat keharusan dan “rank condition” sebagai syarat
kecukupan. Dalam suatu persamaan dapat terjadi 3 kemungkinan identifikasi,
yaitu persamaan dinyatakan secara tepat (exactly identified), secara berlebih (over
identified), atau tidak teridentifikasi (unidentified). Hasil identifikasi pada setiap
persamaan struktural haruslah memenuhi exactly identified atau over identified
untuk dapat menduga parameter-parameternya. Pada Tabel 1 model persamaan
simultan yang dibangun pada penelitian ini adalah over identified, maka model
dapat diestimasi dengan menggunakan metode 2SLS (Two Stage Least Square).
Metode ini dapat menghasilkan nilai dugaan parameter yang konsisten, lebih
sederhana dan lebih mudah (Nanga, 2006).
Identifikasi persamaan simultan dengan cara order contition dilakukan
dengan tiga cara, yaitu apabila (K-M) > (G-1) maka dikategorikan sebagai over
identified, apabila (K-M) = (G-1) dikategorikan sebagai exactly identified dan
apabila (K-M) < (G-1) dikategorikan sebagai unidentified. Dengan K adalah
jumlah variabel dalam model (peubah endogen dan predetermined), M adalah
jumlah variabel eksogen dan endogen dalam model persamaan tertentu dan G
adalah jumlah variabel endogen dalam model/total persamaan
Tabel 1 Identifikasi model persamaan simultan
Persamaan
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
Laba Daerah

K
26
26
26

M
7
4
3

G
9
9
9

Keterangan
Over Identified
Over Identified
Over Identified

8
Konsumsi
Investasi
Kemiskinan
IPM

26
26
26
26

5
6
6
4

9
9
9
9

Over Identified
Over Identified
Over Identified
Over Identified

Validasi Model Simulasi
Setelah persamaan struktural dapat diduga maka dapat dilakukan simulasi.
Tujuan simulasi adalah untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel eksogen
terhadap variabel endogen secara simultan. Pada simulasi, persamaan pajak
daerah dihilangkan karena simulasi hanya dapat dilakukan pada variabel eksogen.
Sebelum model digunakan untuk simulasi alternatif kebijakan, perlu dilakukan uji
validitas model terlebih dahulu. Uji validitas model yang sering digunakan adalah
kesalahan rataan kuadrat terkecil (Root Mean Squares Percent Error, RMSPE)
dan koefisien ketidaksamaan Theil (Theil Inequality Coefficient, U).
RMSPE adalah rata-rata kuadrat dari proporsi perbedaan nilai estimasi
dengan nilai pengamatan suatu variabel endogen. Semakin kecil nilai RMSPE
maka estimasi variabel endogen semakin valid. Nilai U maksimum bernilai satu
dan minimum bernilai nol. Apabila nilai U semakin mendekati nol maka estimasi
variabel endogen dikatakan sempurna, namun jika nilai U=1 maka hasil simulasi
semakin buruk.

GAMBARAN UMUM
Perkembangan Pajak Daerah
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa
hasil pajak daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
ditetapkan melalui peraturan daerah. Dalam penelitian ini perkembangan
penerimaan pajak daerah di Provinsi Jawa Tengah digambarkan melalui
penerimaan total pajak daerah dari 35 kabupaten/kota yang ada di provinsi
tersebut. Di masing-masing daerah terdapat beberapa jenis pajak daerah yang
dipungut oleh pemerintah, yakni pajak hotel, restoran, hiburan, reklame,
penerangan jalan, pengambilan bahan galian golongan C serta parkir kendaraan.

9

Milyar Rupiah

2 500
2 000
1 500
Pajak Daerah

1 000
500
0
2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah)
Gambar 2 Perkembangan Nilai Pajak Daerah Provinsi Jawa Tengah
Upaya pemerintah daerah dalam mengoptimalkan PAD salah satunya
dilakukan dengan meningkatkan penerimaan pajak daerah. Pada tahun 2009
penerimaan pajak daerah adalah sebesar 487 milyar rupiah, dimana perolehannya
mencapai angka 19 persen dari total PAD. Penerimaan pajak daerah dapat
ditingkatkan setiap tahunnya dengan meningkatkan tarif pajak dan perluasan
obyek pengenaan pajak, hingga pada tahun 2013 penerimaan pajak daerah
mencapai 234 milyar rupiah. Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS Jawa
Tengah, nilai rasio penerimaan pajak daerah terhadap total PAD pada tahun 20092013 mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2009 nilai rasionya
adalah sebesar 19 persen, kemudian meningkat menjadi 25 persen pada tahun
2010. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing daerah otonom
dalam melaksanakan kegiatan pemerintahannya adalah menetapkan peraturan
daerah (Perda) guna meningkatkan penerimaan daerah melalui pajak daerah.
Seiring berjalannya waktu, banyak Perda yang telah ditetapkan berkaitan dengan
pajak daerah, sehingga pada tahun 2011-2013 rasio penerimaan pajak daerah
terhadap total PAD berturut-turut adalah sebesar 32 persen, 34 persen dan 39
persen.
Perkembangan Retribusi Daerah
Riduansyah (2003) menyatakan bahwa retribusi daerah merupakan
penerimaan yang diterima oleh pemerintah daerah setelah memberikan pelayanan
tertentu kepada penduduk yang mendiami wilayah yuridiksinya. Dimana
kontribusi diberikan secara langsung oleh pemerintah daerah kepada penduduk
yang membayar retribusi tersebut. Retribusi daerah yang diberlakukan di masingmasing kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah terdiri dari retribusi jasa umum,
retribusi jasa usaha dan retribusi perijinan tertentu. Pada dasarnya retribusi daerah
dikenakan pada setiap aktivitas ekonomi tertentu. Di era otonomi daerah,
penetapan retribusi daerah semakin meluas seiring dengan kewenangan yang
dimiliki oleh masing-masing daerah dalam menggali sumber dana dari dalam
derahnya.

10

Milyar Rupiah

1000
950
900
Retribusi Daerah

850
800
750
2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah)
Gambar 3 Perkembangan Nilai Retribusi Daerah Provinsi Jawa Tengah
Total penerimaan nilai retribusi daerah di setiap kabupaten/kota Provinsi
Jawa Tengah cenderung berfluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2009 total
penerimaan retribusi adalah sebesar 947 milyar rupiah. Kemudian mengalami
kenaikan sebesar 2 persen pada tahun 2010 yakni penerimaannya mencapai angka
966 milyar rupiah dan kembali mengalami penurunan sebesar 2 persen pada tahun
2011 yakni 950 milyar rupiah. Fluktuasi yang terjadi pada penerimaan retribusi
daerah salah satunya dipengaruhi oleh aktivitas perekonomian. Ketika kegiatan
perekonomian sedang giat, maka pungutan yang dikenakan pada setiap pelaku
ekonomi juga akan meningkat begitu juga sebaliknya. Penerimaan retribusi daerah
turun secara drastis sebesar 13 persen pada tahun 2012, namun penerimaannya
dapat ditingkatkan kembali pada tahun 2013 yakni sebesar 944 milyar rupiah.
Apabila dilihat dari nilai rasio penerimaan retribusi daerah terhadap total
PAD, kontribusi retribusi daerah terhadap PAD mengalami penurunan pada tahun
2009-2013. Besarnya nilai rasio pada tahun 2009 adalah 37 persen dan terus
mengalami penurunan hingga mencapai angka 16 persen pada tahun 2013. Hal ini
menunjukkan bahwa kontribusi penerimaan retribusi daerah terhadap total PAD
masih rendah dan mengalami penurunan setiap tahunnya.
Perkembangan Laba Daerah
Nurcholis (2007) menyatakan bahwa bagi masing-masing daerah yang
memiliki BUMD seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Bank
Pembangunan Daerah (BPD), dan Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat
(BPR), pasar, tempat hiburan/rekreasi, villa, pesanggrahan dan lain-lain, dimana
keuntungannya merupakan penghasilan bagi daerah yang bersangkutan. Meskipun
perusahaan daerah merupakan salah satu komponen yang diharapkan mampu
memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah, namun tujuan utama dari
pendirian perusahaan daerah tidak berorientasi pada keuntungan, melainkan untuk
memberikan jasa dan menyediakan manfaat bagi masyarakat umum. Maka sudah
sewajarnya jika daerah sering menanggung dan menutupi kerugian dari
perusahaan daerah tersebut karena tujuan utamanya didasarkan pada kesejahteraan
rakyat.

11
Penerimaan laba daerah di Provinsi Jawa Tengah memiliki nilai yang tidak
sebesar perolehan pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini dikarenakan alasan
yang telah disebutkan, bahwa orientasi dari pendirian perusahaan daerah tidak
mengacu pada keuntungan semata, namun lebih ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat daerahnya. Seringkali perusahaan daerah seperti PDAM
mengalami kerugian, karena tarif yang ditetapkan tergolong rendah, mengingat
kesejahteraan masyarakat merupakanorientasi dari pendirian perusahaan daerah.

Milyar Rupiah

250
200
150
Laba Daerah

100
50
0
2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah)
Gambar 4 Perkembangan Nilai Laba Daerah Provinsi Jawa Tengah
Penerimaan laba daerah kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah rata-rata
mengalami peningkatan sebesar 10-16 persen setiap tahunnya. Namun penerimaan
laba daerah meningkat secara drastis sebesar 31 persen pada tahun 2012 yakni
berjumlah 199 milyar rupiah. Tingginya penerimaan tersebut dipengaruhi oleh
semakin meluasnya kegiatan perekonomian dan meningkatnya kinerja perusahaan
daerah dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Selain faktor
meningkatnya pertumbuhan ekonomi, besarnya penerimaan laba daerah juga
dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan masyarakat. Karena dengan semakin
baiknya tingkat kesejahteraan masyarakat, maka kinerja perusahaan daerah akan
meningkat karena pelayanan yang diberikan kepada masyarakat menghasilkan
dampak positif dan kerugian perusahaan daerah dapat ditekan.
Namun apabila dilihat dari nilai rasio laba daerah terhadap total PAD,
kontribusi laba daerah sebagai sumber penerimaan daerah tergolong sangat kecil.
Pada tahun 2009 nilai rasio penerimaan laba daerah terhadap total PAD adalah
sebesar 5 persen. Nilai rasio tersebut tergolong sangat kecil apabila dibandingkan
dengan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah. Mengingat orientasi dari
perusahaan daerah adalah untuk kesejahteraan masyarakat, maka tidak heran jika
perusahaan daerah sering menanggung kerugian dan menetapkan tarif yang
rendah kepada masyarakat, untuk mendapat pelayanan dari kegiatan perusahaan
daerah. Hingga pada tahun 2010-2013 kontribusi retribusi daerah terhadap total
PAD adalah stagnan, yakni hanya mencapai angka 4 persen.

Perkembangan Pendapatan Asli Daerah

12
Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka 18, menyatakan bahwa
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang
dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan PAD
sebagai sumber utama penerimaan daerah yang dapat dipergunakan untuk
mendukung pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai
dengan kebutuhan masing-masing daerah.
Upaya pemerintah dalam mengoptimalkan perolehan PAD terus dilakukan
dengan cara meningkatkan penerimaan dari masing-masing bagian PAD, yakni
pajak daerah, retribusi daerah, laba daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah
yang sah. Upaya yang dilakukan masing-masing daerah otonom di Provinsi Jawa
Tengah disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi daerah sesuai dengan peraturan
perundangan yang diberlakukan. Terlepas dari tujuan pemerintah daerah untuk
memperbesar penerimaannya, tingkat kesejahteraan masyarakat tetap diperhatikan
karena dapat berpengaruh secara timbal balik terhadap besaran penerimaan
daerah.
7000
Milyar Rupiah

6000
5000
4000
PAD

3000
2000
1000
0
2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah)
Gambar 5 Perkembangan Nilai Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Tengah
Secara umum total perolehan PAD Provinsi Jawa Tengah yang diakumulasi
dari PAD 35 kabupaten/kota mengalami peningkatan setiap tahunnya. Perolehan
PAD rata-rata meningkat sebesar 15-25 persen pada tahun 2009 hingga tahun
2013. Besarnya perolehan PAD pada tahun 2009 adalah 2,5 milyar rupiah dan
pada akhir tahun 2013 perolehannya mencapai 6,1 milyar rupiah. Peningkatan
perolehan PAD di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan upaya pemerintah daerah
di masing-masing kabupaten/kota dalam meningkatkan kemandirian fiskal yang
terus ditingkatkan dan mengalami perbaikan.
Meskipun perolehan PAD terus meningkat setiap tahunnya, namun nilainya
hanya mencapai 9-12 persen dari total penerimaan daerah, yang terdiri dari PAD,
dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Batas 20 persen perolehan PAD merupakan batas minimum untuk menjalankan
otonomi daerah yang efektif. Apabila perolehan PAD kurang dari 20 persen maka
daerah otonom tersebut akan kehilangan kredibilitasnya sebagai kesatuan yang
mandiri. Perolehan PAD yang kurang dari 20 persen tersebut mengindikasikan

13
masih rendahnya kinerja keuangan pemerintah daerah dan tingkat ketergantungan
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat semakin tinggi.

Perkembangan Konsumsi

Ribu Rupiah

Menurut Dumairy (1996) konsumsi merupakan pembelanjaan yang
dilakukan oleh rumah tangga atas barang-barang akhir dan jasa-jasa dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut
atau pendapatan yang dibelanjakan. Tingkat konsumsi masyarakat Jawa Tengah
baik untuk makanan maupun bukan makanan besarannya hampir sama meskipun
tingkat konsumsi untuk makanan rata-rata lebih besar 7 persen dari konsumsi
bukan makanan. Tingkat pengeluaran masyarakat yang diukur melalui besaran
konsumsi berbanding lurus dengan tingkat pendapatan atau upah minimum.
Besarnya konsumsi masyarakat mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat
di suatu daerah, artinya semakin tinggi konsumsi maka semakin sejahtera
masyarakat tersebut.
648
646
644
642
640
638
636
634
632
630

Konsumsi

2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah)
Gambar 6 Perkembangan Konsumsi Masyarakat Provinsi Jawa Tengah
Tingkat konsumsi masyarakat di Provinsi Jawa Tengah mengalami
peningkatan seiring dengan meningkatnya upah minimum yang ditetapkan atas
dasar Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Pada tahun 2009 tingkat konsumsi
masyarakat adalah sebesar 636,39 ribu rupiah dan meningkat sebesar 14 persen
pada tahun 2010 yakni menjadi 637,27 ribu rupiah. Standar penetapan upah yang
didasarkan pada KHL berimplikasi pada peningkatan upah minimum seiring
dengan kebutuhan hidup masyarakat yang semakin meningkat setiap tahunnya.
Akibatnya konsumsi masyarakat pada tahun 2011 hingga tahun 2013 mengalami
peningkatan hingga mencapai lebih dari 45 persen. Dengan demikian semakin
bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat,akan berpengaruh terhadap
peningkatan nilai PDRB Provinsi Jawa Tengah.

Perkembangan Investasi

14
Perkembangan perekonomian daerah tidak terlepas dari peranan investasi
yang ditanamkan di suatu wilayah. Meluasnya investasi yang ditandai dengan
semakin banyaknya pendirian bangunan di tiap-tiap daerah memberikan dampak
positif seperti bertambahnya lapangan pekerjaan, penyerapan tenaga kerja serta
peningkatan aktivitas ekonomi seiring dengan bertambahnya produktifitas output
dan tenaga kerja. Badan Penanaman Modal Daerah Jawa Tengah menyatakan
bahwa usaha domestik masih mendominasi, hal ini dikarenakan para investor
lokal mayoritas ingin memperluas investasinya di wilayah yang lebih murah biaya
upahnya. Selain itu faktor yang mendorong investor untuk memperluas
investasinya adalah keberhasilan dari rekan bisnis yang mendapat keuntungan
yang tinggi.
Tekstil merupakan salah satu investasi yang menjanjikan di Provinsi Jawa
Tengah. Terdapat banyak perusahaan yang bergerak di bidang industri tekstil
seperti PT. Sritex, PT. Tyfountex, PT. Apac Inti Corpora, PT. Mutu Gading
Tekstil dan sebagainya. Mitra usaha juga mulai tertarik pada komoditi getah pinus,
batik, logam, garam, peternakan sapi, kayu, enceng gondok, kain tenun dan bahan
bangunan. Guna mendukung kegiatan perekonomian dan investasi, Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah meningkatkan sarana penunjang seperti bandara, pelabuhan
dan infrastuktur jalan.

Milyar Rupiah

140
135
130
125

Investasi

120
115
110
2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah)
Gambar 7 Perkembangan Nilai Investasi Provinsi Jawa Tengah
Realisasi investasi di Provinsi Jawa Tengah rata-rata mengalami
peningkatan penerimaan sebesar 1-4 persen setiap tahunnya. Peningkatan laju
investasi yang tinggi terjadi pada tahun 2010, dimana besarnya nilai investasi
adalah 125 milyar rupiah yang meningkat sebesar 4,3 persen dibanding tahun
2009. Peningkatan nilai investasi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor baik
internal maupun eksternal, seperti besarnya upah yang dibayarkan kepada pekerja,
banyaknya jumlah tenaga kerja pada suatu daerah tertentu serta iklim investasi
yang dapat mempengaruhi investor untuk berinvestasi.
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto
Perkembangan ekonomi suatu daerah tidak terlepas dari keterkaitan
dengan perekonomian daerah lainnya. Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi

15
yang sering digunakan adalah adalah nilai Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), yang mana dapat dihitung berdasarkan PDRB harga berlaku dan PDRB
harga konstan. Peningkatan nilai PDRB di suatu daerah menggambarkan besarnya
nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan faktor-faktor produksi dan
berbagai lapangan usaha. Besaran nilai PDRB Jawa Tengah terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Hal ini didukung oleh kontribusi dari seluruh sektor
ekonomi, manusia, sistem dan potensi-potensi lain di dalamnya, baik berupa
investasi, sumber daya manusia, kebijakan daerah, belanja daerah dan faktor
lainnya.

Milyar Rupiah

200
150
100

PDRB

50
0
2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah)
Gambar 8 Perkembangan nilai PDRB Provinsi Jawa Tengah
Gambar di atas menunjukkan nilai PDRB Jawa Tengah yang cenderung
meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2009 besarnya perolehan PDRB Provinsi
Jawa Tengah adalah sebesar 148 milyar rupiah. Kemudian meningkat sebesar 5-6
persen setiap tahunnya, hingga pada tahun 2013 perolehan PDRB sebesar 183
milyar rupiah. Nilai PDRB tertinggi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah
dihasilkan oleh Kabupaten Cilacap, sementara nilai PDRB terkecil dihasilkan oleh
Kabupaten Wonosobo. Peningkatan nilai PDRB di Jawa Tengah dipengaruhi oleh
banyaknya tingkat konsumsi masyarakat dan kegiatan investasi yang semakin
meluas di setiap kabupaten/kota.
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin
Tingkat kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan masyarakat dari
sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan,
yang diukur dari sisi pengeluaran. Situasi perekonomian yang semakin membaik
menyebabkan berkurangnya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan,
yang ditunjukkan dengan penurunan jumlah penduduk miskin dari tahun ke
tahun.Dalam menanggulangi angka kemiskinan, upaya Pemprov Jawa Tengah
terus ditingkatkan melalui berbagai program bantuan sosial yang diadakan.

Ribu Jiwa

16
5800
5600
5400
5200
5000
4800
4600
4400
4200

Kemiskinan

2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah)
Gambar 9 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah
Upaya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam menekan laju penduduk
miskin dilaksanakan melalui program Percepatan dan Perluasan Perlindungan
Sosial (P4S) dan program khusus lainnya sebagai upaya menanggulangi
permasalahan yang muncul akibat pengurangan subsidi BBM. Hal tersebut terlihat
dari grafik jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Tengah yang dapat ditekan
pada tahun 2009 hingga tahun 2013, dimana setiap tahunnya jumlah penduduk
miskin berkurang pada kisaran angka 0,02-0,07 persen. Jumlah penurunan
tersebut masih tergolong rendah, karena banyaknya kendala yang dihadapi dalam
pelaksanaan program pengentasan kemiskinan seperti ketidaksesuaian tujuan
kebijakan, konsep, implementasi serta partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat.

Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia
IPM mengukur pencapaian hasil pembangunan dari suatu daerah/wilayah
dalam tiga dimensi dasar pembangunan, yaitu lamanya hidup,
pengetahuan/tingkat pendidikan dan standar hidup layak. Indikator yang sering
digunakan dalam menghitung nilai IPM suatu negara/daerah adalah Angka
Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Kasar
gabungan (APK) dan Purchasing Power Parity (PPP). Semakin tinggi nilai IPM
suatu daerah menunjukkan pencapaian pembangunan sosial yang semakin baik.
Provinsi Jawa Tengah memiliki peringkat IPM ke 16 dari seluruh provinsi di
Indonesia.
Nilai IPM Provinsi Jawa Tengah meningkat setiap tahunnya pada tahun
2009 hingga 2013. Nilai IPM pada tahun 2009-2013 berturut-turut adalah 72,1,
72,49, 72,94, 73,36 dan 74,05. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang
berpengaruh terhadap IPM dilakukan melalui program-program bantuan sosial
seperti dana bantuan siswa miskin, Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
(BLSM), BPJS dan sebagainya. Program bantuan sosial tersebut ditujukan untuk
masyarakat menengah ke bawah dengan tujuan meningkatkan taraf hidup
masyarakat teruatama dalam hal pendidikan dan kesehatan.

17
74.5
74
73.5
73
IPM

72.5
72
71.5
71
2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah)
Gambar 10 Perkembangan nilai IPM Provinsi Jawa Tengah
Peringkat nilai IPM tertinggi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 20092013 adalah Kota Surakarta.Sementara peringkat IPM terendah adalah Kabupaten
Brebes. IPM kabupaten/kota masih sangat perlu ditingkatkan guna meningkatkan
kualitas hidup penduduk di tiap kabupaten/kota khususnya dan untuk mendukung
pencapaian kualitas masyarakat Jawa Tengah pada umumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendugaan Model Analisis
Hasil pendugaan model memberikan nilai koefisien determinasi (R2) pada
masing-masing persamaan yang cukup besar, yaitu antara 0,59 hingga 0,99. Hal
ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas di dalam model dapat
menjelaskan variasi setiap peubah endogen dengan relatif baik. Selain itu, peubah
endogen didalam persamaan dipengaruhi secara nyata oleh sebagian besar peubah
penjelas secara individu pada taraf nyata (α) 0,10. Tanda dugaan parameter dalam
setiap persamaan struktural pada umumnya sesuai dengan teori dan logika
ekonomi. Maka berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model
cukup memadai untuk menganalisis pengaruh penerimaan pajak daerah terhadap
pelaksanaan pembangunan daerah di Provinsi Jawa Tengah.

Analisis Model Pertumbuhan Ekonomi
Dalam penelitian ini pertumbuhan ekonomi yang dapat diukur melalui
besaran nilai PDRB, dijelaskan melalui model konsumsi dan investasi. Hasil
estimasi model persamaan simultan terhadap konsumsi menunjukkan bahwa
model yang dibangun signifikan pada taraf nyata 10 persen dan mampu
menjelaskan permasalahan dengan cukup baik. Hal ini terlihat dari nilai R2 yaitu
0,98 yang berarti model cukup mampu menjelaskan keragaman masalah sebesar
98 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel di luar model.

18

Tabel 2 Hasil pendugaan parameter model konsumsi

Variabel
Intersep
PDRB
Inflasi
Pajak Daerah
Konsumsi tahun sebelumnya
R2
Durbin Watson
F hitung
Pr>F

Parameter Dugaan
Koefisien
Koefisien
Elastisitas
643,99420
3,70E-07
-0,00002
-36,64890
0,85731
0,98
1,85
1817,71
0,00

0,003
-0,002
-0,041
-

Probabilita
s
0,00
0,01
0,01
0,00
0,00

Hasil pendugaan persamaan konsumsi menunjukkan bahwa tingkat
konsumsi masyarakat dipengaruhi oleh nilai PDRB, inflasi, pajak daerah dan
tingkat konsumsi pada tahun sebelumnya. Peubah PDRB berpengaruh signifikan
secara positif terhadap tingkat konsumsi. Dari hasil estimasi didapatkan bahwa
setiap peningkatan PDRB sebesar satu persenakan mampu meningkatkan
konsumsi sebesar 0,003 persen dengan asumsi cateris paribus. Hasil dugaan
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhuda (2013), dimana
hasil penelitiannya menyatakan bahwa nilai PDRB memiliki hubungan positif
dengan konsumsi masyarakat. Yakni nilai PDRB yang menunjukkan tingkat
pertumbuhan ekonomi, apabila mengalami peningkatan maka pendapatan
masyarakat turut meningkat. Peningkatan pendapatan menyebabkan daya beli
masyarakat naik dan berimplikasi terhadap peningkatan permintaan barang dan
jasa, sehingga konsumsi masyarakat akan naik seiring dengan meningkatnya nilai
PDRB.
Keynes (1936) menyatakan dalam teorinya yang dikenal dengan
absolute income hypothesis, bahwa adanya hubungan positif antara konsumsi
dengan pendapatan, yakni semakin tinggi pendapatan maka semakin banyak
tingkat konsumsi yang dilakakukan oleh rumah tangga. Hal tersebut sesuai
dengan sifat manusia yang terdapat dalam teori perilaku konsumen, dimana
keinginan manusia bersifat tidak terbatas namun kemampuan untuk memenuhi
keinginannya tersebut dibatasi oleh perubahan faktor-faktor produksi atau
pendapatan yang dimilikinya. Maka dapat disimpulkan, semakin tinggi
pendapatan maka semakin banyak pula pembelanjaan rumah tangga.
Peubah inflasi berpengaruh signifikan secara negatif terhadap tingkat
konsumsi masyarakat. Dari hasil estimasi pada model didapatkan bahwa setiap
peningkatan inflasi sebesar satu persen maka maka tingkat konsumsi masyarakat
akan turun sebesar 0,002 persen dengan asumsi cateris paribus. Inflasi merupakan
keadaan dimana harga-harga mengalami kenaikan secara umum dan terus
menerus. Ketika harga barang dan jasa mengalami kenaikan, daya beli masyarakat

19
akan turun karena beban yang harus dibayarkan menjadi tinggi. Oleh karena itu
kenaikan inflasi akan berimplikasi terhadap penurunan konsumsi masyarakat.
Guritno (1998) menyebutkan inflasi memiliki hubungan yang kuat dengan
konsumsi. Dimana kenaikan harga barang dan jasa akan menyebabkan turunnya
nilai riil dari pendapatan. Sehingga dapat melemahkan daya beli masyarakat
terutama pada produksi dalam negeri, dan berakibat pada penurunan konsumsi
masyarakat. Dalam jangka pendek kenaikan laju inflasi dapat mengurangi nilai
konsumsi, karena masyarakat dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah lebih
memilih untuk mencari substitusi dari barang yang mengalami kenaikan harga ke
barang yang lebih murah namun memiliki manfaat yang hampir sama. Berbeda
dengan pengaruhnya dalam jangka panjang, inflasi berpengaruh positif terhadap
konsumsi masyarakat, karena masyarakat telah menyesuaikan tingkat
kebutuhannya dengan tingkat harga yang ada.
Peubah pajak daerah berpengaruh signifikan secara negatif terhadap tingkat
konsumsi masyarakat. Dari hasil estimasi didapatkan bahwa setiap kenaikan nilai
pajak daerah sebesar satu persen maka akan mengurangi tingkat konsumsi
masyarakat sebesar 0,041 persen dengan asumsi cateris paribus. Pajak daerah
yang diberlakukan di setiap kabupaten/kota terdiri dari pajak hotel, restoran,
hiburan, reklame, penerangan jalan, pengambilan bahan galian golongan C serta
parkir kendaraan. Pajak daerah yang diberlakukan tersebut merupakan pajak yang
dikenakan atas pelayanan kegiatan tertentu. Ketika tarif pajak diberlakukan untuk
setiap pelayanan, maka biaya produksi yang ditanggung oleh produsen/pemilik
suatu unit usahaakan meningkat. Guna mengurangi beba

Dokumen yang terkait

ANALISIS TINGKAT KEMAMPUAN KEUANGAN DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

0 3 17

Analisis dampak penerimaan pajak daerah terhadap pembangunan infrastruktur jalan di provinsi jawa barat

0 18 66

ANALISIS PENGARUH PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH PERIODE 2010-2012.

0 3 14

Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pajak Daerah Serta Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah di Provinsi Jawa Tengah.

0 4 11

ANALISIS DISTRIBUSI PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 Analisis Distribusi Pendapatan Antar Daerah Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011.

0 2 12

ANALISIS PENGARUH PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) Analisis Pengaruh Pajak Dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Di Kota Surakarta Jawa Tengah Tahun 1991-2012.

0 2 13

ANALISIS PENGARUH PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) Analisis Pengaruh Pajak Dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Di Kota Surakarta Jawa Tengah Tahun 1991-2012.

0 1 15

PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK AIR PERMUKAAN BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH DI UP3AD SUKOHARJO DAN BPSDA BENGAWAN SOLO - UNS Institutional Repository

0 0 13

PENGARUH PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO DI PROVINSI JAWA TENGAH - Unissula Repository

0 0 8

ANALISIS PERKEMBANGAN PAJAK DAERAH SEBAGAI SUMBER UTAMA PENDAPATAN ASLI DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

0 0 16