Evaluasi Indeks Eritrosit Kelinci New Zealand White pada Persembuhan Tulang dengan Implantasi Bifasik Kalsium Fosfat

EVALUASI INDEKS ERITROSIT KELINCI NEW
ZEALAND WHITE PADA PERSEMBUHAN TULANG
DENGAN IMPLANTASI BIFASIK KALSIUM FOSFAT

ZULFI NADHIRUL HIKMAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Evaluasi Indeks
Eritrosit Kelinci New Zealand White pada Persembuhan Tulang dengan
Implantasi Bifasik Kalsium Fosfat” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Zulfi Nadhirul Hikmah
NIM B04100161

ABSTRAK
ZULFI NADHIRUL HIKMAH. Evaluasi Indeks Eritrosit Kelinci New Zealand
White pada Persembuhan Tulang dengan Implantasi Bifasik Kalsium Fosfat.
Dibimbing oleh RIKI SISWANDI dan GUNANTI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi indeks eritrosit kelinci New
Zealand White (NZW) yang menerima implan tulang dengan bifasik kalsium
fosfat (BKF). Material BKF merupakan kombinasi dari hidroksiapatit (HA) dan
beta- trikalsium fosfat (β-TKF). Sebanyak delapan belas ekor kelinci NZW dibagi
menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama (BKF1) menerima implan tulang dengan
perbandingan 70% HA: 30% β-TKF. Kelompok kedua (BKF2) menerima implan
dengan perbandingan 60% HA: 40% β-TKF. Operasi penanaman implan
dilakukan secara aseptik pada bagian medial diafise os tibia. Pengambilan sampel
darah dilakukan pada saat sebelum operasi implantasi, yaitu hari ke-0 (H0) dan
pascaoperasi yaitu pada hari ke-7, 30, 60, dan 90. Hasil pemeriksaan darah
menunjukkan bahwa kelinci mengalami anemia megaloblastik akibat defisiensi

vitamin B12. Selain itu, kedua implan BKF tidak berpengaruh nyata terhadap
indeks eritrosit kelinci. Hal ini menunjukkan bahwa material BKF dapat diterima
oleh tubuh.
Kata kunci: beta- trikalsium fosfat, bifasik kalsium fosfat, hidroksiapatit, indeks
eritrosit, kelinci New Zealand White

ABSTRACT
ZULFI NADHIRUL HIKMAH. Erythrocytes Indices Evaluation of New Zealand
White Rabbits in Bone Healing with Biphasic Calcium Phosphate Bone Graft
Implantation. Under the supervision of RIKI SISWANDI and GUNANTI.
This study was conducted to evaluate erythrocytes indices of New Zealand
White (NZW) rabbits after biphasic calcium phosphate (BCP) bone graft
implantation. The BCP bone graft were composed from combination of betatricalcium phosphate (β-TCP) and hydroxyapatite (HA). Eighteen NZW rabbits
were divided into two groups. First group (BCP1) received a combination bone
implants with a ratio of 70% HA:30% β-TCP. Second group (BCP2) received a
combination bone implants of 60% HA:40% β-TCP. Implantion surgery
performed aseptically in the medial diafise of os tibia. Blood sampling was
performed at the time of preoperative implantation, on day 0 (H0) and
postoperatively on day 7, 30, 60, and 90. The result showed that the rabbit
suffered megaloblastic anemia caused by vitamin B12 deficiencies. Moreover,

both of BCP implantion were not significantly impaired erythrocyte indices of the
rabbits. This indicates that BCP material can be accepted by the body.
Keywords: beta- tricalcium phosphate, biphasic calcium phosphate, erythrocyte
indices, hydroxyapatite, New Zealand White rabbit

EVALUASI INDEKS ERITROSIT KELINCI NEW
ZEALAND WHITE PADA PERSEMBUHAN TULANG
DENGAN IMPLANTASI BIFASIK KALSIUM FOSFAT

ZULFI NADHIRUL HIKMAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Judul Skripsi : Evaluasi Indeks Eritrosit Kelinci New Zealand White pada
Persembuhan Tulang dengan Implantasi Bifasik Kalsium Fosfat
Nama
: Zulfi Nadhirul Hikmah
NIM
: B04100161

Disetujui oleh

Drh Riki Siswandi, MSi
Pembimbing I

Dr Drh Gunanti, MS
Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, Ph D, APVet
Wakil Dekan


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penelitian
dilakukan pada Juli hingga November 2013. Penelitian ini tergabung dalam
penelitian payung Hibah Lintas Departemen IPB tahun 2013 dengan judul
“Penggunaan Bahan Tandur Tulang Kombinasi Beta-trikalsium Fosfat dan Bifasik
Kalsium Fosfat sebagai Materi Substitusi pada Kerusakan Segmental Tulang”
yang didanai oleh Hibah BOPTN dengan peneliti utama Dr Drh Gunanti, MS.
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada bapak Drh Riki Siswandi, MSi dan ibu Dr Drh
Gunanti, MS selaku pembimbing atas saran, masukan, ilmu, perhatian dan
kesabarannya dalam membimbing penulis. Disamping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada teman-teman Departemen Fisika yang telah bersedia
membantu dalam melakukan penelitian. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis
sampaikan pada rekan-rekan sepenelitian dan keluarga besar IKALUM, CSS
MORA 47 serta ACROMION atas segala bantuan serta dukungannya. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada abi, umi, serta kakak-kakak tercinta, atas
segala doa dan semangat yang telah diberikan sehingga penulis mampu

menyelesaikan karya ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015
Zulfi Nadhirul Hikmah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA
Kelinci sebagai Hewan Percobaan

2

Tulang

2


Hidroksiapatit, Trikalsium Fosfat, Bifasik Kalsium Fosfat

3

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian

3

Alat dan Bahan

4

Tahap Persiapan

4

Tahap Pengambilan Darah


4

Tahap Operasi Penanaman Pelet Semen Tulang

5

Prosedur Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Eritrosit

6

Nilai Hemoglobin

7

Nilai Hematokrit


8

Volume Eritrosit Rata-rata

9

Hemoglobin Eritrosit Rata-rata

10

Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata

11

Pembahasan Umum

12

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

13

Saran

13

DAFTAR PUSTAKA

13

RIWAYAT HIDUP

14

DAFTAR TABEL
1. Pembagian kelompok perlakuan pada kelinci NZW yang diimplan
2.
3.
4.
5.
6.
7.

dengan BKF1 dan BKF2 pada hari ke-30, 60, dan 90 pascaoperasi
Rata-rata dan simpangan baku jumlah total eritrosit kelinci NZW
praoperasi dan pascaoperasi
Rata-rata dan simpangan baku nilai hemoglobin kelinci NZW
praoperasi dan pascaoperasi
Rata-rata dan simpangan baku nilai hematokrit kelinci NZW praoperasi
dan pascaoperasi
Rata-rata dan simpangan baku nilai VER kelinci NZW praoperasi dan
pascaoperasi
Rata-rata dan simpangan baku nilai HER kelinci NZW praoperasi dan
pascaoperasi
Rata-rata dan simpangan baku nilai KHER kelinci NZW praoperasi dan
pascaoperasi

4

7
8
9
10
11
11

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.

Kelinci New Zealand White
Pengambilan darah kelinci
Operasi penanaman implan tulang

2
5
5

Material implan BKF

6

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setiap tahun ribuan orang menderita berbagai penyakit tulang yang
diakibatkan oleh trauma, tumor, ataupun patah tulang, akibatnya kebutuhan
implan tulang untuk menggantikan jaringan tulang yang hilang atau rusak
semakin meningkat. Implan tulang atau bone graft merupakan peletakan tulang
baru atau material pengganti ke dalam ruang di sekitar tulang rusak atau fraktur
yang membantu dalam penyembuhan tulang (Andrew 2008). Implan tulang
digunakan untuk memperbaiki fraktur tulang komplek yang membahayakan
kesehatan serta memperbaiki tulang yang gagal sembuh dengan baik. Selain itu
implan tulang juga dapat memperbaiki kerusakan tulang oleh penyakit kongenital,
cedera traumatis, operasi kanker tulang maupun rekonstruksi wajah (Cato 2009).
Salah satu alternatif yang banyak digunakan untuk jenis dan sumber
jaringan pada implan tulang adalah kalsium fosfat. Fase kalsium fosfat yang
paling stabil adalah hidroksiapatit (HA) yang dapat ditemukan dalam tulang dan
gigi manusia. Sifat biokompatibel yang baik pada material HA membuatnya dapat
langsung berikatan dengan tulang (Kano et al. 1994). Penggunaan HA sering
dikombinasikan dengan material lain, salah satunya adalah dengan betatrikalsiumfosfat (β-TKF) yang kemudian disebut sebagai bifasik kalsium fosfat
(BKF). Material β-TKF memiliki laju degradasi yang sesuai dengan tingkat
pertumbuhan tulang yang baru (Stahli et al. 2010). Kombinasi HA dan β-TKF
diharapkan dapat menjadi material yang lebih baik untuk implan tulang. Dalam
mengetahui potensi BKF, perlu dilakukan pengujian baik secara in vitro maupun
in vivo. Material BKF diharapkan dapat digunakan sebagai bahan substitusi tulang
untuk menutup kerusakan tulang maupun dipergunakan dalam pemasangan
implan tulang.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara in vivo material BKF sebagai
implan tulang. Proses implantasi dapat mengakibatkan pendarahan, lisisnya
eritrosit, serta mempengaruhi proses eritropoiesis karena gangguan pada sumsum
tulang. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh proses implantasi digunakan
parameter. Indeks eritrosit bermanfaat untuk menyatakan status perdarahan secara
langsung, namun
tidak menutup kemungkinan adanya faktor lain yang
mempengaruhi misalnya dalam kasus defisiensi zat besi.
Hewan model seperti anjing, domba, kambing, babi atau kelinci adalah
spesies yang cocok untuk pengujian bahan implantasi tulang (Ravaglioli et al.
1996). Pada penelitian ini penggunaaan kelinci sebagai hewan model selain
karena kemudahan penanganan dan ukuran, tulang kelinci dengan tulang manusia
memiliki kesamaan kepadatan mineral tulang (Wang et al. 1998).

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana pengaruh penanaman material BKF terhadap indeks
eritrosit pada kelinci?

2
2. Bagaimana pengaruh penanaman
biokompatibilitas pada kelinci?

material

BKF

dalam

hal

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati indeks eritrosit (jumlah total
eritrosit, hemoglobin, hematokrit, volume eritrosit rata-rata, hemoglobin eritrosit
rata-rata, dan konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata) pada kelinci yang
diimplantasi dengan material implan tulang BKF.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
biokompatibilitas material BKF pada kelinci melalui parameter indeks eritrosit.

TINJAUAN PUSTAKA
Kelinci
Kelinci adalah salah satu hewan yang paling umum digunakan untuk
penelitian biomedis. Sekitar 35% pada studi penelitian muskuloskeletal
menggunakan kelinci sebagai hewan modelnya (Neyt et al.1998). Pemilihan
spesies ini antara lain karena mudah dalam hal penanganan dan ukuran.
Walaupun tidak banyak memiliki kesamaan dengan karakter tulang manusia,
beberapa persamaan yang dilaporkan adalah kepadatan mineral tulang dan
kekuatan bagian pertengahan diafise tulang terhadap kepatahan antara kelinci dan
manusia (Wang et al. 1998).

Gambar 1 Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus)
Tulang
Bagian dari tubuh yang berfungsi menopang tubuh adalah tulang. Tulang
merupakan jaringan biologis dinamis terdiri dari metabolisme sel-sel aktif yang
diintegrasikan ke dalam kerangka kerja yang kaku (Kalfas 2001). Tulang terdiri
dari sel-sel tulang dan matriks, namun pada tulang matriksnya mengalami
mineralisasi. Mineral tulang adalah kalsium fosfat dalam bentuk kristal

3
hidroksiapatit. Mineralisasi tersebut menyebabkan tulang menjadi jaringan yang
keras sehingga mampu menjadi penunjang dan pelindung (Astawan 2002). Sel-sel
tulang terdiri dari empat jenis, yaitu:
1. Osteoprogenitor, dapat tumbuh dan berkembang menjadi osteoblast.
2. Osteoblast, mensintesis matriks tulang.
3. Osteosit, merupakan perkembangan dari osteoblast yang sudah
dikelilingi oleh matriks hasil sekretanya.
4. Osteoklas, adalah sel yang mampu menyerap tulang (fagositosis) pada
proses pertumbuhan tulang, bisa terletak pada permukaan tulang. Sel
osteoklas tumbuh dari sumsum tulang (Astawan 2002).
Komponen anorganik tulang terdiri dari kalsium fosfat dan kalsium
karbonat, dengan sedikit magnesium, fluorid dan sodium. Kalsifikasi osteosit awal
biasanya terjadi dalam beberapa hari dari sekresi tetapi lengkap setelah beberapa
bulan (Kalfas 2001).

Hidroksiapatit, Trikalsium Fosfat, Bifasik Kalsium Fosfat
Hidroksiapatit (HA) merupakan komponen yang dapat ditemukan dalam
tulang dan gigi manusia. Material HA umum digunakan dalam mengisi
kekosongan tulang akibat amputasi atau untuk mempromosikan pertumbuhan
tulang pada pemasangan implan. Material HA memiliki kandungan kimia yang
mirip dengan kandungan kimia tulang yang telah termineralisasi sehingga bersifat
osteokonduktif dan biokompatibel (Nandi et al. 2008). Berbagai studi
menyebutkan bahwa hidroksiapatit bersifat osteoinduktif dan menyokong
osteointegrasi (Hua et al. 2005).
Keramik kalsium fosfat merupakan salah satu keramik bioaktif yang
banyak digunakan untuk perbaikan tulang, termasuk diantaranya beta-trikalsium
fosfat (β-TKF), hidroksiapatit (HA), dan bifasik kalsium fosfat (BKF) yang terdiri
dari campuran intim HA dan β-TKF dari berbagai HA / β-TKF rasio.
Melalui kombinasi antara tahap yang lebih stabil (HA) dan yang lebih
mudah larut (β-TKF), kombinasi BKF memungkinkan terjadinya laju disolusi
terkontrol dan sifat mekanik yang berbeda (LeGeros dan Daculsi 1997). Sifat
kimia dan fisik, yang dihasilkan bervariasi ditentukan oleh pH, suhu, dan lama
proses sintesis sehingga mengakibatkan respon jaringan yang berbeda (Daculsi
2003) oleh karena itu pengujian secara in vitro dan in vivo perlu dilakukan.

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Pembuatan material implan dilakukan di Laboratorium Biofisika Material
Departemen Fisika FMIPA IPB. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bedah
Eksperimental Divisi Bedah dan Radiologi, Departemen KRP, FKH IPB pada

4
bulan Juli hingga November 2013. Kelinci diaklimatisasi selama 1 minggu di
kandang Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium (UPHL) FKH-IPB.

Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan hewan coba kelinci New Zealand white. Alat
dan bahan yang digunakan selama operasi penanaman implan dan pascaoperasi
adalah ketamin 10% (Ilium ketamil®, Troy), xylazin 2% (Ilium xylazil®, Troy),
atropine sulfat (Atropine®), alat bedah minor, bor tulang, meja operasi, material
implan BKF1 dan BKF2 berbentuk silinder dengan diameter 2 mm dan tinggi 4
mm, povidone iodine, alkohol 70%, hypafix, benang jahit Catgut (Catgut chrom®
3-0, Bbraun) dan Polygactin (Vicryl® 6-0, Ethicon), enrofloksasin (Roxine®-100,
Sanbe Farma), Flunixin®-50, Vet Tek.
Peralatan yang digunakan dalam pengambilan darah adalah disposable
syringe 3 ml dan 1 ml, vacuum tube EDTA 3 ml, cool box, pemeriksaan darah
menggunakan particle counter (ERMA Inc., Jepang).

Tahap Persiapan
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 18 ekor kelinci
New Zealand White jantan dewasa dengan berat badan 3-4 kg. Selama percobaan
dilakukan, hewan dipelihara di dalam kandang yang memiliki pencahayaan yang
cukup dan temperatur yang relatif stabil. Pemeliharaan kelinci dilakukan selama 7
hari sebelum perlakuan hingga 90 hari setelah pemasangan implan tulang untuk
keperluan pengamatan penelitian.
Hewan kemudian dipilih secara acak dan dibagi dalam dua kelompok
perlakuan (Tabel 1). Kelompok pertama (BKF1) menerima implan tulang dengan
perbandingan 70% HA: 30% β-TKF. Kelompok kedua (BKF2) menerima implan
dengan perbandingan 60% HA: 40% β-TKF. Masing-masing kelompok perlakuan
terdiri dari 9 ekor kelinci.
Tabel 1 Pembagian kelompok perlakuan pada kelinci NZW yang diimplan
dengan BKF1 dan BKF2 pada hari ke-30, 60, dan 90 pascaoperasi
Perlakuan

Hari
30
60
90

BKF1
3 ekor
3 ekor
3 ekor

BKF2
3 ekor
3 ekor
3 ekor

Tahap Pengambilan Darah
Pengambilan sampel darah dilakukan pada saat praoperasi implantasi,
yaitu praoperasi (H0), serta beberapa hari pascaoperasi, yaitu pada hari ke-7 (H7),

5
30 (H30), 60 (H60), dan 90 (H90). Sebanyak 3 ekor kelinci dipilih secara acak
untuk pengambilan sampel pada setiap perlakuan.
Darah diambil melalui vena auricularis dengan menggunakan disposable
syringe 3 ml sebanyak ± 3 ml (Gambar 2). Selanjutnya darah dimasukkan ke
dalam tabung EDTA vacuum tube dan dihomogenkan. Darah kemudian diperiksa
menggunakan particle counter (ERMA Inc., Jepang).

Gambar 2 Pengambilan darah kelinci NZW
Tahap Operasi Penanaman Semen Tulang
Penanaman semen tulang pada kelinci dilakukan dengan operasi secara
aseptik. Kelinci diberi premedikasi atropin lalu dibius dengan kombinasi xylazin
2% dan ketamin 10% yang dinjeksikan secara intramuskular. Penanaman semen
tulang dilakukan pada bagian medial dari diafise os tibia dekstra dengan
menggunakan bor tulang untuk membuat lubang sesuai dengan ukuran pelet
semen tulang (Gambar 3). Implan yang ditanamkan berbentuk silinder dengan
diameter 2 mm dan tinggi 4 mm (Gambar 4).

Gambar 3 Operasi penanaman implan: a) Pengeboran os tibia, b) penyisipan
material implan BKF pada kelinci NZW
Setelah penanaman material implan, tulang kemudian ditutup dengan urutan
penjahitan periosteum, otot, jaringan subkutan, dan kulit. Operasi dilakukan oleh
operator yang sama untuk mencegah variasi operasi. Perawatan pascaoperasi
dilakukan dengan pemberian antibiotik enrofloksasin (5 mg/kg BB). Luka akibat
operasi kemudian dibersihkan setiap hari dengan povidone iodine selama 5 hari
pascaoperasi.

6

Gambar 4 Material implan BKF
Prosedur Analisis Data
Data hasil pemeriksaan darah diolah menggunakan software Microsoft Excel
2010 dan kemudian dianalisis menggunakan One Way Analysis of Variance (One
Way ANOVA). Selanjutnya, data yang diperoleh dianalisis pada taraf nyata (p<
0.05) dengan menggunakan uji lanjutan yaitu uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Eritrosit
Data total eritrosit yang diperoleh, disajikan dalam bentuk tabel (Tabel 2).
Berdasarkan uji statistik hasil yang didapatkan untuk setiap kelompok tidak berbeda
nyata. Nilai normal jumlah total eritrosit kelinci yaitu 4-7x106/μL (Harcourt 2002).
Pada praoperasi (H0) jumlah eritrosit kedua kelompok perlakuan sudah berada di
bawah normal. Rendahnya jumlah eritrosit hingga di bawah normal menunjukan
kelinci mengalami anemia. Menurut Bakta et al. (2007) pada dasarnya penyebab
anemia ada 3 hal, yaitu gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang,
kehilangan darah (pendarahan) serta proses kerusakan eritrosit sebelum waktunya
(hemolisis).
Penurunan eritrosit pada hari ke-7 (H7) disebabkan trauma pascaoperasi
yang terjadi. Selama operasi kelinci tidak mengalami banyak pendarahan. Pada
minggu pertama terjadi hematoma di sekitar kerusakan tulang akibat pembuluh
darah yang robek. Bekuan darah kemudian membentuk granulasi berupa jaringan
ikat fibroblastik sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru pada persembuhan luka
(Liebermen dan Friedlaender 2005). Komponen vaskular merespon dengan
terjadinya hipertropi, peningkatan diameter, dan jumlah eritrosit (Piermatteii et al.
2006). Pada kondisi ini, vaskularisasi yang sangat diperlukan terjadi pada saat
kelinci yang anemia, sehingga terjadi penurunan sirkulasi eritrosit.
Peningkatan eritrosit pada hari ke-30 (H30) yang terjadi pada kedua
kelompok sebagai respon penurunan eritrosit yang terjadi pada hari ke-7 (H7).
Sumsum tulang merespon rendahnya eritrosit dengan memproduksi eritrosit untuk
mengembalikan kondisi normal. Peningkatan jumlah eritrosit terjadi karena
kondisi hipoksia pada proses persembuhan tulang. Saat jaringan kekurangan kadar
oksigen, eritropoeitin sehingga eritropoiesis bias terjadi (Guyton dan Hall 2006).

7
Pemberian vitamin B12 yang dilakukan dengan rutin dan perbaikan nutrisi dari
pakan membuat produksi eritrosit bisa mencapai homeostasis. Peningkatan
eritrosit dilakukan dengan cara memperbanyak pembentukan retikulosit dalam
sumsum tulang dan dilepaskan ke dalam darah untuk segera memperbaiki
fisiologis tubuh (Rodak 2002).

Tabel 2

Rata-rata dan simpangan baku jumlah total eritrosit kelinci NZW
praoperasi dan pascaoperasi
Eritrosit (106/μL)

Hari
BKF1
H0
H7
H30
H60
H90

BKF2
ax

3.87±0.42
3.47±0.15ax
4.50±0.25ax
4.00±0.10ax
4.00±0.70ax

3.97±0.12ax
3.53±0.21ax
4.10±0.17ax
4.13±0.31ax
3.70±0.44ax

Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p< 0.05) antar waktu pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang
sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antarkelompok perlakuan.

Pada hari ke-60 (H60) dan hari ke-90 (H90) jumlah eritrosit mengalami
penurunan. Penurunan kemungkinan disebabkan kelinci mengalami stres sehingga
berpengaruh terhadap nafsu makan. Asupan pakan yang tidak mencukupi
membuat beberapa bahan pembentuk eritrosit seperti zat besi tidak tercukupi.
Bentuk dan jumlah eritrosit dapat dipengaruhi oleh spesies, umur, kondisi tubuh,
jenis kelamin, asupan makanan, dan lingkungan (Gottrup 2004). Fungsi utama
dari eritrosit adalah mengangkut hemoglobin yang membawa oksigen ke jaringan.
Terjadinya anemia dapat berpengaruh terhadap proses persembuhan luka karena
kurangnya oksigen pada jaringan. Kurangnya aliran darah dapat menyebabkan
morbiditas lanjutan misalnya, terjadi luka kronis yang menyebabkan
penyembuhan luka pascaoperasi yang lebih lama serta terjadi infeksi sekunder.

Nilai Hemoglobin
Rataan nilai hemoglobin kelinci (Tabel 3) menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan. Secara umum kedua kelompok
perlakuan memiliki kadar hemoglobin yang masih berada dalam kisaran normal
yaitu 10.4-17.4 g/dL (Zimmerman et al. 2010). Pengukuran konsentrasi
hemoglobin merupakan salah satu bagian yang umum dilakukan sebagai bagian
pemeriksaan darah, tingkat dehidrasi, maupun hiperhidrasi (Holsworth et al.
2013). Selain itu konsentrasi hemoglobin menunjukkan berat ringannya anemia
yang terjadi.
Hemoglobin berfungsi mengikat oksigen sehingga dapat disalurkan ke
semua jaringan. Oksigen sangat diperlukan untuk proses persembuhan luka

8
sehingga kadar hemoglobin yang kurang dari normal akan memperlambat proses
tersebut. Peningkatan signifikan kadar hemoglobin terjadi pada hari ke-30 (H30)
baik pada kelinci BKF1 maupun BKF2. Peningkatan ini seiring dengan
peningkatan jumlah eritrosit. Tubuh berhasil merespon kurangnya oksigen untuk
kebutuhan jaringan dengan meningkatkan jumlah eritrosit sehingga kadar
hemoglobin meningkat. Pada hari ke-60 (H60) dan hari ke-90 (H90) kadar
hemoglobin mengalami penurunan seperti yang terjadi pada jumlah eritrosit.

Tabel 3 Rata-rata dan simpangan baku nilai hemoglobin kelinci NZW praoperasi
dan pascaoperasi
Hemoglobin(g/dL)
Hari
H0
H7
H30
H60
H90

BKF1

BKF2

10.83±2.03ax
10.37±0.25ax
12.40±0.26bx
11.07±1.54ax
10.13±1.78ax

11.00±0.56ax
10.67±0.78ax
11.87±0.40bx
11.03±2.63ax
10.53±1.40ax

Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p< 0.05) antar waktu pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang
sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antarkelompok perlakuan.

Kadar hemoglobin yang rendah dapat meningkatkan komplikasi
pascaoperasi akibat kurangnya asupan oksigen (hipoksia) yang menyebabkan
kematian jaringan. Kematian jaringan dapat menyebabkan gangguan dan
memperpanjang proses persembuhan luka (Kuriyan dan Carson 2005) serta
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi pascaoperasi (Lindholm et al. 2011).

Nilai Hematokrit
Rataan nilai hematokrit pada kedua kelompok perlakuan (Tabel 4)
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Nilai hematokrit digunakan
untuk mengetahui derajat hemokonsentrasi pada syok yang berhubungan dengan
kesehatan, trauma, luka bakar, dan pendarahan (Zimmerman et al. 2010).
Nilai normal hematokrit kelinci menurut Zimmerman et al. (2010) berkisar
33-50%. Sejak praoperasi (H0) nilai hematokrit pada kedua kelompok perlakuan
berada dibawah normal yaitu BKF1 32% dan BKF2 32.3%. Pada hari ke-7 (H7)
terlihat penurunan pada kedua kelompok perlakuan sama seperti penurunan pada
jumlah total eritrosit hingga nilainya berada di bawah kisaran normal. Pada hewan
normal hematokrit sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin.
Fisiologis tubuh menurun akibat trauma pascaoperasi dan defisiensi nutrisi, serta
kehilangan jumlah darah, dan gagalnya respon sumsum tulang merupakan faktorfaktor penyebab turunnya hematokrit. Hematokrit dapat juga digunakan sebagai
parameter untuk mengetahui tingkat dehidrasi (Thrall 2004).

9
Tabel 4 Rata-rata dan simpangan baku nilai hematokrit kelinci NZW praoperasi
dan pascaoperasi
Hematokrit (%)

Hari
H0
H7
H30
H60
H90

BKF 1

BKF 2

32.00±6.08ax
30.33±0.58ax
37.00±1.00ax
33.00±4.36ax
31.00±5.29ax

32.33±2.08ax
32.00±2.65ax
34.33±1.53ax
34.67±4.93ax
32.00±4.00ax

Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p< 0.05) antar waktu pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang
sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antarkelompok perlakuan.

Hari ke-30 (H30) nilai hematokrit pada BKF1 dan BKF2 mengalami
peningkatan sehingga berada dalam rentang normal. Namun pada hari selanjutnya
yaitu hari ke-60 (H60) dan hari ke-90 (H90), penurunan kembali terjadi.
Meskipun demikian, penurunan tidak terlihat signifikan sehingga hemolisis tidak
terjadi dalam hal ini. Menurut Waterbury (2000), penghentian total produksi
sumsum tulang tanpa adanya hemolisis akan menyebabkan penurunan
hematokrit tidak lebih dari 3-4 angka per minggu. Penurunan hematokrit yang
lebih cepat tanpa adanya perubahan volume yang nyata mengindikasikan adanya
hemolisis. Dengan demikian anemia yang terjadi pada kelinci disebabkan oleh
gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang. Menurut Bakta et al.
(2007) anemia ini dapat terjadi karena kurangnya bahan esensial pembentuk
eritrosit, gangguan penggunaan zat besi dan kerusakan sumsum tulang.
Kadar hemoglobin dan hematokrit secara umum berada dalam kisaran
normal. Bila kadar hemoglobin dan hematokrit cukup, maka asupan oksigen ke
jaringan menjadi tercukupi. Oksigen merupakan kebutuhan yang penting dalam
proses persembuhan luka selain juga menghindari infeksi pascaoperasi (Gottrup
2004).
Volume Eritrosit Rata-rata (VER)
Volume eritrosit rata-rata menggambarkan volume rata-rata satu sel eritrosit
dalam satuan femtoliter (Meyer dan Harvey 2004). Rataan nilai VER pada kedua
kelompok perlakuan (Tabel 5) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antar kelompok dan waktu.
Pada kedua kelompok perlakuan nilai VER praoperasi (H0) sudah berada
di atas normal yaitu 58.5-66.5 fl (Zimmerman et al. 2010). Pada H7 peningkatan
nilai VER terjadi pada kedua perlakuan. Nilai VER di atas nilai normal
menunjukkan eritrosit berukuran besar (makrositik). Tingginya nilai VER
(makrositik) biasanya berhubungan dengan anemia regeneratif karena volume sel
retikulosit lebih besar dibandingkan dengan volume eritrosit dewasa, dengan
demikian beberapa sel makrositik hadir untuk meningkatkan nilai VER di atas

10
interval normal. Hal ini berarti penyebab anemia bukan akibat kerusakan sumsum
tulang dan merupakan anemia makrositik berdasarkan morfologinya.
Peningkatan retikulosit pada kadar hemoglobin yang normal menunjukkan
eritrosit mengalami kerusakan tetapi sumsum tulang meningkatkan produksi
eritrositnya sebagai kompensasi, sehingga saat eritrosit mengalami peningkatan
pada hari ke-30 (H30), nilai VER menurun. Pada hari ke-90 (H90) terjadi
peningkatan nilai VER pada kelompok BKF2 sedangkan kelompok BKF1 nilai
VER mengalami penurunan namun masih berada di atas normal.

Tabel 5 Rata-rata dan simpangan baku nilai VER kelinci NZW praoperasi dan
pascaoperasi
VER(fl)
Hari
H0
H7
H30
H60
H90

BKF1

BKF2

82.27±8.30ax
87.57±3.89ax
87.53±4.62ax
82.5±10.87ax
77.54±0.72ax

81.47±5.18ax
90.40±2.25ax
83.73±1.25ax
83.53±6.32ax
86.51±4.06ax

Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p< 0.05) antar waktu pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang
sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antarkelompok perlakuan.

Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (HER)
Hemoglobin eritrosit rata-rata (HER) adalah konsentrasi atau kandungan
hemoglobin rataan dari setiap eritrosit dalam satuan pikogram (pg). Nilai HER
bertujuan untuk mengetahui nilai rataan hemoglobin dalam setiap eritrosit. Rataan
nilai HER pada kedua kelompok perlakuan (Tabel 6), menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antar kelompok dan waktu. Nilai HER pada kedua
kelompok perlakuan sejak awal praoperasi (H0) memiliki nilai di atas normal
yaitu 18.7-22.7 pg (Zimmerman et al. 2010).
Pada beberapa jenis anemia, tinggi atau rendahnya ukuran eritrosit (VER)
berhubungan dengan tinggi atau rendahnya jumlah hemoglobin dalam sel (HER)
(Meyer dan Hervey 2004). Volume eritrosit yang lebih besar (makrositik)
biasanya memiliki nilai HER yang lebih tinggi. Sebaliknya, volume eritrosit yang
lebih kecil (mikrositik) akan memiliki nilai HER yang lebih rendah. Nilai HER
bukan yang mempengaruhi ukuran eritrosit, sehingga nilai HER tidak bisa
diinterpresentasikan tanpa mempertimbangkan dengan nilai VER.

11
Tabel 6 Rata-rata dan simpangan baku nilai HER kelinci NZW praoperasi dan
pascaoperasi
HER(pg)
Hari
H0
H7
H30
H60
H90

BKF 1

BKF 2

27.83±2.75ax
29.87±0.95ax
29.30±1.39ax
27.63±3.86ax
25.33±0.02ax

27.67±1.51ax
30.10±0.46ax
28.93±0.49ax
27.83±4.71ax
28.47±1.68ax

Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p< 0.05) antar waktu pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang
sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antarkelompok perlakuan.

Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER)
Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER) merupakan nilai
konsentrasi hemoglobin di dalam satu desiliter eritrosit (Cunningham 2002). Nilai
KHER mengindikasi konsentrasi hemoglobin per unit satuan volume. Rataan nilai
KHER pada kedua kelompok perlakuan (Tabel 7) menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang nyata. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada kedua kelompok
perlakuan, sejak H0 hingga H90 nilai KHER berada pada kisaran normal yaitu 3350 % (Zimmerman et al. 2010).

Tabel 7 Rata-rata dan simpangan baku nilai KHER kelinci NZW praoperasi dan
pascaoperasi
Hari
H0
H7
H30
H60
H90

KHER (%)

BKF 1
33.83±0.15ax
34.10±0.50ax
33.47±0.32ax
33.50±0.26ax
32.67±0.33ax

BKF 2
34.00±0.53ax
33.30±0.36ax
34.53±0.38ax
33.33±0.21ax
32.89±0.42ax

Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p< 0.05) antar waktu pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang
sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p< 0.05) antarkelompok perlakuan.

Peningkatan KHER (hiperkromik) terdapat pada keadaan dimana
hemoglobin yang abnormal terkonsentrasi di dalam eritrosit. Nilai KHER yang
lebih rendah dari rentang normalnya (hipokromik) dapat menyebabkan warna
eritrosit pucat. Apabila KHER meningkat di atas kisaran normalnya (hiperkromik)
dapat menyebabkan warna eritrosit lebih gelap (Meyer dan Harvey 2004).

12
Berdasarkan hasil gambaran eritrosit yang ada, kelinci mengalami anemia
makrositik bentuk megaloblastik akibat defisiensi vitamin B12. Menurut Corwin
(2009) anemia megaloblastik terjadi ketika nilai HER meningkat karena volume
sel yang membesar (VER meningkat) namun nilai KHER normal. Defisiensi
vitamin B12 dan asam folat pada pakan merupakan penyebab kegagalan eritrosit
untuk berkembang menjadi dewasa. Vitamin B12 berperan dalam metabolisme
intraseluler sehingga meskipun sumsum tulang tetap dapat memproduksi eritrosit
namun eritrosit muda tidak berkembang dimana hal ini meningkatkan nilai VER
(Bakta et al. 2007).

Pembahasan umum
Kombinasi implan BKF merupakan kombinasi dua biomaterial yaitu HA
dan β-TKF. Material HA yang memiliki sifat stabil namun kemampuan
penyerapannya kecil, diimbangi dengan β-TKF yang memiliki daya penyerapan
yang lebih tinggi. Kedua kombinasi biomaterial ini telah sering digunakan sebagai
bahan implan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa HA dan β-TKF memiliki
sifat biokompatibel, bioresorbable, dan osteoconductive (Oryan et al. 2014).
Pada penelitian ini, biokompatibilitas implan dinilai melalui parameter
indeks eritrosit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implan kombinasi BKF
tidak berpengaruh nyata pada jumlah eritrosit, hemoglobin, hematokrit, VER,
HER, dan KHER. Namun nilai VER dan HER pada kedua kelompok perlakuan
berada di atas normal dengan hemoglobin dan nilai KHER normal. Hal ini
menunjukkan kelinci mengalami anemia makrositik akibat defisiensi vitamin B12.
Vitamin B12 berperan dalam metabolisme intraseluler. Sel-sel muda pada awal
hematopoietik mengalami gangguan akibat sintesis DNA yang tidak sempurna.
Pembelahan sel terjadi lambat, namun perkembangan sitoplasma tetap berjalan
normal sehingga sel cenderung menjadi besar. Sel-sel awal cenderung
dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian selularitas sumsum tulang
cenderung meningkat tetapi produksi eritrosit berkurang (Bakta et al. 2007).
Kematian intraoperatif dalam hal implantasi jarang terjadi, namun hampir
secara umum terkait dengan penanaman semen tulang. Kematian biasanya hasil
dari kardiopulmonal seperti infark miokard dan emboli. Embolisasi dalam hal ini
mengakibatkan terjadinya bone cement implantation syndrome (BCIS). Menurut
Donaldson et al. (2009) adanya peningkatan tekanan intramedula saat penanaman
semen tulang menyebabkan embolisasi. Semen tulang mengalami reaksi
eksotermik (Frost 1970) dan mengembang pada ruang di antara semen dan tulang
sehingga menyebabkan udara dan isi medula tertekan dan terdesak ke dalam
sirkulasi (Michel 1980). Emboli dapat menyebar menuju ke bagian tubuh lain
seperti jantung dan paru-paru (Koessler et al. 2001). Sindroma implantasi semen
tulang ditandai dengan hipotensi sistemik, hipoksemia, hipertensi pulmonal,
aritmia jantung, atau serangan jantung (David et al. 2013).
Polisitemia dimana hematokrit meningkat yang mengakibatkan aliran
darah lambat menunjukkan salah satu keadaan terjadinya emboli (Kosasih dan
Kosasih 2002). Pada hasil penelitian, jumlah eritrosit berada di bawah normal dan
nilai hematokrit normal. Hal ini menunjukkan bahwa penanaman semen tulang
yang dilakukan tidak menimbulkan terjadinya BCIS.

13

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penanaman material implan BKF1 dan BKF2 tidak berpengaruh nyata
pada hasil gambaran eritrosit. Secara umum, jumlah total eritrosit pada kedua
kelompok perlakuan berada di bawah normal, hemoglobin, hematokrit, dan
KHER berada dalam kisaran normal, sedangkan nilai VER dan HER berada di
atas normal.

Saran
Saran yang dapat diberikan adalah perlu penambahan perhitungan
retikulosit pada pemeriksaan darah untuk lebih memudahkan dalam menduga
jenis anemia dan kemungkinan penyebabnya. Selain itu juga, perlu dilakukan
pemeriksaan darah beberapa hari atau minggu sebelum dilakukan penanaman
implan.

DAFTAR PUSTAKA
Andrew LC. 2008. Orthopedist. The Alpine Clinic. NH (USA): Littleton.
Astawan TW. 2002. Jaringan Tulang. Bogor (ID): IPB Pr.
Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. 2007. Anemia Defisiensi Besi. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed ke-4. Jakarta (ID): IPD FKUI
Cato TL. 2009. Bone Graft Substitutes. West Conshohocken, PA: American
Society for Testing and Materials.
Corwin EJ. 2009. Handbook of Pathophysiology. Ed ke-3. Philadelphia (USA):
Lippincott Williams & Wilkins.
Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Ed ke-3. London (GB): Saunders
Company.
Daculsi G. 2003. Current state of the art of biphasic calcium phosphate
bioceramics. J Mater Sci. 14(3):195-200.
David L, Rothberg, Erik N, Kubiak R, Chris LP, Lor R, Stephen K, Aoki. 2013.
Reducing the risk of bone cement implantation syndrome during femoral
arthroplasty. Orthopedics. 36(4):e463-e467.
Donaldson AJ, Thomson HE, Harper NJ, Kenny NW. 2009. Bone cement
implantation syndrome. Br J Anaesth. 102(1):12-22.
Frost PM. 1970. Cardiac arrest and bone cement. Br Med J. 3:524
Gottrup F. 2004. Oxygen in wound healing and infection. World J Surg.
28(3):312-315.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia (USA):
Elsevier.
Harcourt BF. 2002. Textbook of Rabbit Medicine. Oxford (GB): ButterworthHeinemann.

14
Holsworth RE, Jr YI Cho, Weidman J. 2013. Effect of hydration on whole blood
viscosity in firefighters. Altern Ther Health Med. 19(4):44-49.
Hua Y, Ning C, Xiaoying L, Buzhong Z, Wei C, Xiaoling S. 2005. Natural
hydroxyapatite/chitosan composite for bone substitute materials. Med Biol
Soc. 5:4888-91.
Kalfas IH. 2001. Principles of bone healing. Neurosurgery Focus.10:7-10.
Kano S, Yamazaki A, Otsuka R, Ohgaki M, Akao M, Aoki H. 1994. Application
of hydroxyapatite-sol as drug carrier. Bio-Med. Mater. Eng. 4(4):283-290.
Koessler MJ, Fabiani R, Hamer H, Pitto RP. 2001. The clinical relevance of
embolic events detected by transesophageal echocardiography during
cemented total hip arthroplasty: a randomized clinical trial. Anesth Analg.
92:49-55
Kosasih EN, Kosasih AS. 2002. Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Klinik. Ed ke-2. Tangerang (ID): Karisma.
Kuriyan M, Carson JL. 2005. Anemia and clinical outcomes. Anesthesiol Clin
North Am. 23(2):315-325.
LeGeros RZ, Daculsi G. 1997. In vivo transformation of biphasic calcium
phosphate
ceramics:
ultrastructural
and
physico-chemical
characterizations. Di dalam: Yamamuro T, Wilson-Hench J, editor.
Handbook of Bioactive Ceramics. Florida (USA): CRC Press. 11:17-28.
Lieberman JR, Friedlaender GE. 2005. Bone Regeneration and Repair. Biology
and clinical applications. New Jersey (USA): Humana Press. 57-65.
Lindholm PF, Annen K, Ramsey G. 2011. Approaches to minimize infection risk
in blood banking and transfusion practice. Infect Disord Drug Targets.
11(1):45-56.
Meyer DJ, Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and
Diagnosis. Missouri (USA): Saunders Company.
Michel R. 1980. Air embolism in hip surgery. Anaesth. 35:858-862
Nandi SK, Kundu B, Ghosh SK, De DK, Basu D. 2008. Efficacy of nanohydroxyapatite prepared by an aqueous solution combustion technique in
healing bone defects of goat. J Vet Sci. 9(2):183-189.
Neyt JG, Buckwalter JA, Carroll NC. 1998. Use of animal models in
musculoskeletal research. Iowa Orthop. J. 18:118-123.
Oryan A, Alidadi S, Moshiri A, Maffulli N. 2014. Bone regenerative medicine:
classic options, novel strategies, and future directions. J Orthop Surg Res.
9:18.
Piermatteii DL, Gretchen LF, De Camp CE. 2006. Handbook of Small Animal
Orthopedics and Fracture Repair. Ed ke-4. Missouri (USA): Saunders
Company.
Ravaglioli A, Krajewski A, Celotti GC, Piancastelli A, Bacchini B, Montanari L,
Zama G, Piombi L. 1996. Mineral evolution of bone. Biomaterials. 17:617622.
Rodak BF. 2002. Hematology: Clinical Principle and Applications. Dalam: Rosita L,
Mulyaningrum U. 2006. Pemeriksaan Retikulosit Metode Manual pada
Pengamatan per 1000 Eritrosit dan per 500 Eritrosit Dibanding Metode
Automatik. 1(3):57. Yokyakarta (ID): FKUII.

15
Stahli C, Bohner M, Zadeh MB, Doebelin N, Baroud G. 2010. Aqueous
impregnation of porous β-tricalcium phosphate scaffolds. Acta
Biomater.6(7): 2760-2772.
Thrall MA. 2004. Veterinary Hematology and Clinical Chemistry. Maryland (USA):
Lippincott Williams and Wilkins.
Wang X, Mabrey JD, Agrawal CM. 1998. An interspecies comparison of bone
fracture properties. Biomed Mater Eng. 8:1-9.
Waterbury I. 2000. Keadaan-keadaan yang Berhubungan Dengan Abnormalitas
Pembekuan dan Trombosis. Dalam Hematology Ed ke-3. Jakarta (ID): ECG.
Zimmerman KL, Moore DM, Smith SA. 2010. Hematology of Laboratory Rabbits
(Oryctolagus cuniculus). Dalam Weiss DJ, Wardrop KJ, editor. Schalm’s
Veterinary Hematology. Ed ke-6. Lowa (USA): Wiley-Blackwell.