Pertumbuhan Dan Produktivitas Sekunder Larva Chironomidae Pada Dua Danau Berbeda
PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS SEKUNDER
LARVA CHIRONOMIDAE PADA DUA DANAU BERBEDA
SITI ANINDITA FARHANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pertumbuhan dan
Produktivitas Sekunder Larva Chironomidae pada Dua Danau Berbeda adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Siti Anindita Farhani
NIM C251120141
RINGKASAN
SITI ANINDITA FARHANI. Pertumbuhan dan Produktivitas Sekunder Larva
Chironomidae pada Dua Danau Berbeda. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO
dan MAJARIANA KRISANTI.
Produktivitas sekunder adalah salah satu metode untuk mengkuantifikasi
ketersediaan biomassa organisme heterotrof bagi tingkat trofik selanjutnya dalam
suatu rantai makanan. Penelitian mengenai produktivitas sekunder masih sangat
jarang dilakukan di Indonesia. Penulis memilih topik penelitian mengenai
perhitungan produktivitas sekunder mengingat peran produktivitas sebagai
indikator ekologis dan kesehatan lingkungan. Pengukuran produktivitas sekunder
dilakukan dengan objek organisme makroinvertebrata bentik seperti larva
serangga. Salah satu larva serangga yang ditemukan hampir di seluruh habitat
perairan adalah larva chironomid termasuk Danau Sipin dan Danau Teluk. Kedua
danau tersebut terletak di Provinsi Jambi dan memiliki kondisi yang berbeda.
Danau Sipin terletak di sekitar lingkungan padat kegiatan manusia dan hanya
memiliki ±20% tutupan lahan hijau di area sempadan sedangkan Danau Teluk
berada di daerah yang sangat sedikit mendapat pengaruh kegiatan antropogenik
serta masih memiliki tutupan lahan hijau lebih dari 80%.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan komunitas larva
chironomid dan kecenderungan pertumbuhan larva chironomid yang ditemukan
selama penelitian. Penelitian juga bertujuan untuk mengukur besarnya
produktivitas sekunder larva chironomid dan membandingkan produktivitas di
kedua danau lokasi penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei –
September 2014 di Danau Sipin dan Danau Teluk, Provinsi Jambi. Metode
analisis frekuensi ukuran digunakan untuk menghitung produktivitas sekunder
larva chironomid. Biomassa diperoleh dengan mengkonversi volume larva
menjadi berat kering.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi perairan Danau Sipin dan
Danau Teluk secara umum tidak berbeda secara signifikan. Parameter yang
menunjukkan perbedaan signifikan adalah parameter kecerahan (p-value =
0,0020). Tutupan lahan dan kecerahan mempengaruhi preferensi serangga dewasa
dalam memilih tempat memijah dan meletakkan massa telur (ovoposition).
Spesies dominan yang ditemukan di kedua danau adalah Chironomus riparius
dengan komposisi lebih dari 80%. Berdasarkan kurva distribusi frekuensi panjang
dapat disimpulkan bahwa larva Chironomus riparius mengalami pertumbuhan
yang signifikan selama penelitian.
Berdasarkan perhitungan jumlah individu, kelimpahan larva di Danau Teluk
lebih tinggi dibandingkan Danau Sipin, demikian pula dengan produktivitas
sekunder. Produktivitas Danau Teluk yang terukur sebesar 18 kali lipat
produktivitas Danau Sipin. Hal tersebut menggambarkan bahwa kualitas
lingkungan sekitar danau serta kondisi perairan Danau Teluk lebih cocok dan
mendukung bagi kehidupan larva chironomid.
Kata kunci: chironomid, Chironomus riparius, danau, produktivitas sekunder
SUMMARY
SITI ANINDITA FARHANI. Growth and Secondary Productivity of
Chironomidae Larvae at Two Different Lakes. Supervised by YUSLI
WARDIATNO and MAJARIANA KRISANTI.
Secondary productivity is a method for biomass quantifying of
heterotrophic organisms that will be used for the next trophic level in a food chain.
The research about secondary productivity is very rare in Indonesia. Therefore,
author choose research theme about secondary productivity considering the
important purpose of productivity as ecological and environmental health
indicator. Secondary productivity measurement is conducted with benthic
macroinvertebrate organism such as insect larvae. One of insect larvae which can
be found at whole water habitat is chironomid larvae. This larvae also can be
found in Lake Sipin and Lake Teluk. Both of them is in Jambi Province and have
different condition. Lake Sipin is located in heavy human activity region and only
has ±20% plant coverage at border area. On the other side, Lake Teluk is in the
area with sparse anthropogenic activity and has more than 80% plant coverage.
This research aimed to describe chironomid larvae community and the
tendency of chironomid growth which was found. The research also has purpose
to measure chironomid larvae secondary productivity and compare between two
lakes. Research was conducted from May through September 2014 in Lake Sipin
and Lake Teluk, Jambi Province. Size-frequency analysis method was used to
calculate chironomid larvae secondary productivity. Biomassa was obtained with
volume-dry weight conversion.
The result showed Lake Sipin and Lake Teluk water condition were not
different significantly. Water transparency showed significant difference with pvalue = 0,0020. Plant coverage and transparency influenced adult insect
preference at choosing mating place and placing egg masses (ovoposition).
Chironomus riparius was dominant species with composition more than 80%.
Based on length–frequency distribution curve, C. riparius experienced significant
growth.
According to total organism calculation, larvae abundance in Lake Teluk
was higher compared to Lake Sipin. Secondary productivity also showed higher
amount in Lake Teluk. Chironomid larvae in Lake Teluk was 18 times higher than
Lake Sipin. Those showed environmental quality and water condition in Lake
Teluk was more suitable for chironomid larvae.
Key words: chironomid, Chironomus riparius, lake, secondary productivity
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS SEKUNDER
LARVA CHIRONOMIDAE PADA DUA DANAU BERBEDA
SITI ANINDITA FARHANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Jojok Sudarso, SSi, MSi
Judul Tesis
Nama
NIM
: Pertumbuhan dan Produktivitas Sekunder Larva Chironomidae
pada Dua Danau Berbeda
: Siti Anindita Farhani
: C251120141
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc
Ketua
Dr Majariana Krisanti, SPi, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 13 Juli 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah produktivitas
sekunder, dengan judul Pertumbuhan dan Produktivitas Sekunder Larva
Chironomidae pada Dua Danau Berbeda.
Terima kasih Penulis ucapkan kepada Dr Ir Yusli Wardiatno dan Dr
Majariana Krisanti selaku komisi pembimbing serta Dr Jojok Sudarso sebagai
penguji luar komisi. Di samping itu, penghargaan Penulis sampaikan kepada
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia
yang telah membantu seluruh pembiayaan penelitian ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jambi,
Universitas Jambi dan Laboratorium Biomikro, Bagian Produktivitas dan
Lingkungan Perairan Institut Pertanian Bogor atas segala bantuan yang telah
diberikan kepada penulis selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Alm. Marzuki Nurdin, Zuleha Sy, Nur Rafidah serta seluruh
sahabat (Yunita M. Anzani, Dwi Y. Wulandari, Nuralim Pasisingi, Wahyu M,
Fuquh RS, Bambang K dan L Panji IA) atas segala doa dan semangatnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015
Siti Anindita Farhani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
1
1
3
3
3
2 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat
Bahan
Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Analisis Data
4
4
5
6
7
8
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Hasil
10
Pembahasan
17
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
20
20
20
DAFTAR PUSTAKA
20
LAMPIRAN
24
RIWAYAT HIDUP
25
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter
Karakteristik ukuran larva Chironomus sp. (Klemm 2001)
Parameter kualitas air dan uji statistika untuk melihat perbedaan
kondisi
Kelimpahan dan persentase masing-masing genus pada kedua lokasi
penelitian
Produktivitas sekunder Danau Sipin dan Danau Teluk
Perbandingan produktivitas sekunder beberapa perairan berbeda
7
9
11
12
16
17
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Diagram alir perumusan masalah
Lokasi penelitian (A: Danau Sipin, B: Danau Teluk)
Paket substrat buatan untuk pengambilan sampel larva chironomid
Kelimpahan larva Chironomidae di Danau Sipin dan Danau Teluk
Kepala dan idenfikasi gigi C. riparius
Kurva pertumbuhan C. riparius di Danau Teluk
Kurva regresi kelompok pergeseran modus subpopulasi C. riparius
Pengelompokkan larva Chironomus riparius berdasarkan instar
4
5
6
12
12
13
15
16
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
Peta satelit kondisi tutupan lahan hijau di sekitar danau lokasi
penelitian
Kegiatan pembuatan bronjong di sempadan Danau Sipin
24
24
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produktivitas sekunder didefinisikan sebagai biomassa yang dihasilkan
oleh suatu populasi (organisme heterotrof) pada suatu interval waktu dan luasan
tertentu, tanpa mempertimbangkan tingkat kelangsungan hidup populasi tersebut
hingga akhir interval (Kimmerer 1987). Estimasi produktivitas sekunder menjadi
dasar bagi para ekologis untuk mengkuantifikasi peran dari konsumen khususnya
makroinvertebrata bentik dalam siklus materi dan aliran energi dalam ekosistem
akuatik (Walther et al. 2006). Produksi dari suatu populasi biologi seringkali
menjadi fokus utama dari para peneliti karena dapat menjelaskan aliran energi
yang terjadi pada populasi dan dapat digunakan sebagai indikator fisiologi serta
status nutrisi. Estimasi nilai produktivitas sekunder menjadi informasi dasar yang
penting untuk pengelolaan sumberdaya alam secara rasional. Produktivitas
sekunder adalah instrumen pokok untuk evaluasi potensi suatu trofik sebagai salah
satu komponen dari ekosistem. Sebagai contoh, invertebrata bentik dapat
merepresentasikan hubungan antara produsen primer dan ikan dalam aliran energi
serta daur bahan organik (Tumbiolo & Dawning 1994).
Kelompok organisme yang sering digunakan dalam pengukuran
produktivitas sekunder adalah organisme invertebrata bentik (Benke 1994). Sifat
organisme bentik adalah tidak memiliki pergerakan luas sehingga sangat kuat
mendapat pengaruh dari lingkungan dan menjadi organisme yang tepat untuk
menggambarkan nilai produktivitas sekunder. Penelitian ini menggunakan larva
chironomid sebagai objek pengukuran produktivitas sekunder. Larva chironomid
dipilih karena memiliki kelimpahan tinggi, pertumbuhan dan siklus hidup yang
cepat, serta menjadi konsumen primer paling produktif dalam sebuah ekosistem
(Entrekin 2007; Ree 2012; Senderovich & Halpern 2012). Organisme heterotrof
ini digunakan oleh tingkat trofik di atasnya sebagai sumber energi dalam bentuk
pakan (Benke 1998).
Produktivitas sekunder merupakan fungsi dari lingkungan (ketersediaan
makanan, suhu, kadar oksigen terlarut, dan kedalaman). Kajian mengenai
produktivitas dapat digunakan sebagai indikator ekologis dan kesehatan suatu
perairan (Kirgiz 1988 in Ozkan et al. 2010). Pengukuran produksi invertebrata
bentik seringkali dihitung dari rata-rata tahunan biomassa populasi dan data
literatur mengenai tingkat turnover (P/B). Pendekatan dilakukan pada level
taksonomi tertentu seperti genus atau spesies dengan prosedur estimasi yield
(Lohlein 1999). Perhitungan dengan menggunakan rata-rata tahunan biomassa
seringkali digunakan di daerah subtropis karena siklus hidup organisme yang
memang tahunan (minimal 1 tahun), sedangkan untuk daerah tropis seperti
Indonesia penggunaan rentang tahunan kurang tepat karena organisme bentik ratarata memiliki siklus hidup yang singkat.
Chironomidae adalah organisme dengan level taksa famili yang dipilih
menjadi objek pada rancangan penelitian ini. Chironomidae adalah salah satu
anggota ordo Diptera yang ditemukan hampir di semua ekosistem perairan baik
perairan mengalir maupun tergenang. Organisme ini juga dapat ditemukan di
ekosistem laut (Epler 2001). Chironomidae bahkan dapat tumbuh dan berkembang
2
pada perairan yang telah terkontaminasi misalnya kolam stabilisasi limbah
(Halpern et al. 2002). Berdasarkan hasil penelitian mengenai siklus hidup
chironomid, diketahui bahwa chironomid memiliki 4 fase hidup yang terdiri dari
telur, larva, pupa, dan serangga dewasa. Chironomid dalam bentuk larva yang
memiliki habitat di air adalah salah satu organisme heterotrof yang dapat
digunakan sebagai objek dalam pengukuran produktivitas sekunder (Ramirez &
Pringle 2006). Famili Chironomidae menjadi penyusun 10% hingga 50%
biomassa makroinvertebrata air yang masing-masing subfamili maupun ordonya
memiliki preferensi tertentu terhadap kondisi suatu lingkungan perairan (Odume
& Muller 2011). Fase larva chironomid terutama genus Chironomus sp.
berlangsung dalam waktu 3 hingga 4 minggu dan terdiri dari 4 kelompok
berdasarkan ukuran atau instar (Farhani 2012). Larva Chironomidae berperan
sangat penting dalam rantai makanan di lingkungan perairan (Zilli et al. 2008).
Organisme ini bermanfaat sebagai pakan alami juvenil dan invertebrata lain serta
berperan penting dalam proses penguraian bahan organik (Bay 2003; Pinder 1986).
Larva chironomidae merupakan pemanfaat bahan organik langsung, hal ini
dibuktikan oleh penelitian Biasi et al. (2013) yang menyatakan bahwa keberadaan
Chironomidae dalam densitas tinggi berasosiasi dengan ketersediaan detritus
sehingga Chironomidae dapat dipertimbangkan sebagai salah satu pengurai yang
berperan dalam proses dekomposisi.
Larva Chironomidae juga sangat cepat merespon perubahan kondisi perairan
(Heinrich et al. 2006). Oleh karena itu, larva insekta ini sering dimanfaatkan
sebagai bioindikator pencemaran lingkungan. Batas toleransi dan sensitivitas
masing-masing spesies chironomid berbeda sehingga dapat menjadi indikator
yang sempurna bagi pencemaran organik, kontaminasi logam berat maupun
degradasi habitat (Odume & Muller 2011; Carew et al. 2003). Sebagian besar
spesies Larva Chironomidae memiliki habitat di perairan yang kaya bahan organik
(Arimoro et al. 2007). Struktur komunitas seperti komposisi jenis, diversitas dan
kelimpahan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Oleh karena itu komunitas larva
Chironomidae diharapkan mampu menggambarkan kondisi perairan habitatnya.
Penelitian mengenai produktivitas sekunder larva chironomid sangat jarang
dilakukan di Indonesia. Penelitian mengenai larva chironomid dilakukan pertama
kali di Indonesia oleh Kikuchi & Sasa pada tahun 1990 di Danau Toba, Sumatera
Utara. Penelitian lain mengenai larva chironomid di Indonesia dilakukan di lahan
gambut, Kalimantan Tengah. Penelitian yang dilakukan oleh Yulintine et al.
(2007) ini bertujuan untuk menghitung densitas dan biomassa larva chironomid di
kanal irigasi pertanian di sekitar lahan gambut. Wardiatno & Krisanti (2013) juga
melakukan penelitian mengenai komposisi dan kelimpahan komunitas larva
chironomid dengan menggunakan substrat buatan di Danau Lido, Jawa Barat.
Lokasi penelitian yang dipilih pada penelitian ini adalah Danau Sipin, Kota
Jambi dan Danau Teluk, Kabupaten Batanghari. Sumber utama masukan limbah
bahan organik di kedua danau tersebut berasal dari pemukiman berupa limbah
domestik dan serasah tumbuhan hijau di sekitar danau. Penambahan kandungan
bahan organik ini akan mempengaruhi produktivitas sekunder larva chironomid
karena salah satu metode yang digunakan untuk menghitung produktivitas
sekunder suatu perairan adalah dengan menghitung pertumbuhan dan
pertambahan biomassa populasi. Kedua hal tersebut berkaitan erat dengan
ketersediaan makanan (bahan organik) bagi chironomid. Penelitian ini bertujuan
3
untuk melihat pertumbuhan populasi larva chironomid di kedua lokasi penelitian
dan produktivitas sekunder larva chironomid pada masing-masing danau. Kedua
data tersebut dapat digunakan sebagai dasar informasi biodiversitas dan
produktivitas sekunder larva chironomid pada kondisi yang berbeda sebagai dasar
pengelolaan untuk keberlanjutan dan kelestarian danau.
Perumusan Masalah
Aktivitas antropogenik seperti pemukiman, perkantoran, kegiatan pariwisata
di sekitar perairan, transportasi maupun Keramba Jaring Apung (KJA)
menyumbang masukan bahan organik ke suatu perairan. Masukan tersebut
mempengaruhi kualitas perairan baik secara fisik maupun kimia. Aktivitas
antropogenik juga menyebabkan perubahan kondisi habitat di sekitar badan air.
Kebutuhan maupun alih fungsi lahan untuk kepentingan manusia melalui kegiatan
pengurugan dan penimbunan, menjadi suatu ancaman tersendiri bagi habitat di
sekitar badan air. Di samping itu, aktivitas antropogenik secara tidak langsung
juga mempengaruhi struktur komunitas organisme yang mendiami suatu badan air.
Pengaruh dari kegiatan antropogenik baik kualitas air maupun perubahan kondisi
habitat menyebabkan perubahan kelimpahan, biomassa dan komposisi jenis
organisme termasuk larva chironomid. Perubahan-perubahan tersebut terkait
dengan bahan organik akan mempengaruhi pertumbuhan dan pertambahan
biomassa larva chironomid. Pertumbuhan dan pertambahan biomassa merupakan
parameter penting yang digunakan dalam kajian produktivitas sekunder suatu
perairan. Diagram alir perumusan masalah dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pertumbuhan larva
chironomid di kedua danau lokasi penelitian. Penelitian juga bertujuan untuk
menghitung dan membandingkan produktivitas sekunder larva chironomid di
kedua danau tersebut. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi
mengenai komunitas dan pertumbuhan larva chironomid di Danau Sipin dan
Danau Teluk serta menggambarkan pengaruh kualitas air dan lingkungan sekitar
danau terhadap pertumbuhan dan produktivitas sekunder larva chironomidae
sebagai dasar konsep pengelolaan danau.
Hipotesis Penelitian
Jika lingkungan sekitar dan kondisi kualitas air mendukung untuk
kehidupan larva chironomid maka perairan tersebut dapat menjadi habitat
organisme tersebut. Namun seringkali kegiatan antropogenik di sekitar badan air
menyebabkan perubahan kualitas perairan baik fisik, kimia maupun biologi.
Meningkatknya masukan bahan organik (BOD) ke suatu perairan akan
meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas sekunder larva chironomid serta
menyebabkan perubahan struktur komunitas larva chironomid.
4
Komunitas larva
chironomid
Aktivitas antropogenik
Kualitas fisik dan
kimia perairan
Kondisi habitat
Kelimpahan
Biomassa
Komposisi jenis
Pertumbuhan dan
pertambahan
biomassa larva
chironomid
Produktivitas sekunder
Gambar 1 Diagram alir perumusan masalah
2 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei - September 2014. Penelitian
lapang dilakukan selama dua bulan dengan waktu pengambilan contoh setiap 2
hari selama 2 bulan karena menurut Farhani (2012), chironomid pada fase larva
(khususnya genus Chironomus) memerlukan waktu lebih kurang 1 bulan untuk
mencapai fase pupa sehingga diharapkan dapat mewakili lebih dari satu siklus
hidup larva chironomid. Lokasi dan titik pengambilan contoh yang dipilih adalah
Danau Teluk dengan kedalaman rata-rata 4 m dan Danau Sipin yang memiliki
kedalaman rata-rata 8 m. Kedua danau tersebut terletak di Provinsi Jambi
(Gambar 2). Kedua danau tersebut memiliki perbedaan luas tutupan lahan hijau
pada area sempadan. Persentase tutupan lahan hijau dihitung dengan
menggunakan google earth.
5
103º35‟0”E
103º35‟30”E
A
103º35‟30”E
103º36‟15”E
103º35‟50”E
B
103º35‟30”E
Gambar 2 Lokasi penelitian (A: Danau Sipin, B: Danau Teluk)
Alat
Substrat buatan (Gambar 3) digunakan sebagai trap atau perangkap larva
chironomid (Krisanti 2012). Satu kerangka substrat berukuran 45 x 30 cm2 dibagi
menjadi tiga unit berukuran 15 x 15 cm2. Masing-masing unit terbuat dari jaring
dengan mesh-size 2 mm. Peralatan yang digunakan dalam proses identifikasi dan
6
pengukuran morfologi larva chironomid adalah mikroskop stereo dan mikroskop
cahaya trinokuler. Mikroskop cahaya trinokuler dihubungkan langsung dengan
Axio Camera ERc5s untuk pembuatan arsip visual dalam bentuk gambar
elektronik pada Personal Computer (PC). Pengukuran panjang total dilakukan
dengan menggunakan kamera dino-lite.
Bahan
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah organisme
chironomid yang berada pada fase larva. Larutan Rose Bengal dan alkohol dengan
konsentrasi 70% merupakan bahan yang digunakan untuk prosedur analisis
laboratorium. Bahan lain yang digunakan yaitu larutan KOH 10% dan larutan
Entellan.
b
f
a
c
40 cm
15 cm
15 cm
d
Keterangan :
a. Permukaan air danau
b. Pelampung
c. Tali tambang
d. Rangka substrat buatan (z=40 cm)
e. Pemberat pada dasar perairan
f. Substrat buatan dari kasa nyamuk (15 x
15) cm2, mesh size: 2 mm
e
Gambar 3 Paket substrat buatan untuk pengambilan sampel larva chironomid
7
Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan berupa percobaan langsung lapangan di
Danau Sipin dan Danau Teluk, Provinsi Jambi. Penelitian dilakukan dengan
pengambilan sampel larva chironomid dan beberapa parameter pendukung berupa
kondisi lingkungan di sekitar danau dan data kualitas air. Hasil penelitian yang
didapat dijabarkan secara deskriptif, kausal, dan komparatif. Data yang diperoleh
yaitu deskripsi pertumbuhan larva chironomid, produktivitas sekunder larva
chironomid serta beberapa parameter lingkungan sebagai data pendukung.
Berdasarkan data tersebut dijelaskan perbandingan kondisi di sekitar danau
terutama tutupan lahan hijau serta kualitas air kedua danau yang diukur.
Selanjutnya, dilakukan penentuan hubungan kausalitas dan faktor apa saja yang
paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas sekunder larva
chironomid. Produktivitas sekunder yang diperoleh akan dibandingkan secara
spasial antara Danau Teluk dan Danau Sipin. Hasil yang diperoleh diharapkan
dapat menjelaskan pengaruh kondisi lingkungan terhadap pertumbuhan dan
produktivitas sekunder larva chironomid.
Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter fisika-kimia
perairan pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 1. Penelitian dilakukan selama
40 hari dengan frekuensi pengambilan setiap 2 hari. Hari ke-0 seluruh unit
substrat buatan yang telah disiapkan dipasang di lokasi penelitian. Substrat buatan
dipasang sebanyak 20 unit pada masing-masing danau dengan kedalaman 40 cm
dari permukaan air. Kedalaman ditentukan berdasarkan pertimbangan kecerahan
yang cukup rendah di Danau Sipin. Selanjutnya substrat buatan diambil secara
acak pukul 08.00-10.00 WIB. Contoh biologi yang diambil adalah larva
chironomid. Pengambilan contoh larva dilakukan bersamaan dengan pengukuran
parameter fisika perairan yaitu suhu, kecerahan dan kedalaman perairan.
Sementara itu, parameter BOD (Biological Oxygen Demand) dan pH hanya diukur
sebanyak 5 kali selama waktu penelitian.
Tabel 1 Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter
fisika-kimia perairan
Parameter
FISIKA
1. Suhu
2. Kecerahan
KIMIA
1. DO
2. BOD
3. pH
Unit
o
C
m
mg/L
mg/L
-
Alat
Thermometer
Secchi disc
pH indikator
Metode
Pustaka
Acuan
Pemuaian
Penetrasi cahaya
APHA 2005
USGS 2007
Titrasi Modifikasi Winkler
Titrasi Modifikasi Winkler
Perubahan warna indikator
APHA 2005
APHA 2005
APHA 2005
Pengambilan contoh larva dilakukan dengan cara memisahkan (menyortir)
larva dari endapan lainnya pada substrat buatan dengan sikat, saringan halus dan
pipet tetes pada contoh yang telah ditetesi Rose Bengal. Contoh yang diperoleh
dimasukkan ke dalam botol film dan ditambahkan preservasi alkohol 70%.
Selanjutnya contoh awetan dipanaskan dengan KOH 10% selama ±10 menit.
Contoh awetan yang telah dipanaskan dibersihkan dengan cara direndam dengan
akuades selama ±5 menit. Prosedur selanjutnya yaitu hidrasi dengan
8
menggunakan alkohol bertingkat (70%, 80%, dan absolut) selama masing-masing
5 menit (modifikasi Epler 2001). Contoh larva selanjutnya ditetesi Entellan
secukupnya lalu ditutup dengan menggunakan kaca penutup. Tahap selanjutnya
yaitu identifikasi dan pengukuran parameter morfologi. Parameter morfologi
berupa panjang total dan lebar total digunakan sebagai dasar penentuan
produktivitas sekunder. Panjang dan lebar kapsul kepala digunakan sebagai dasar
pengelompokkan larva chironomid berdasarkan instar.
Analisis Data
Uji U Mann Whitney
Tujuan dari penggunaan prosedur ini adalah menguji perbedaan dua
kelompok data yang tidak memenuhi asumsi populasi normal. Uji U Mann
Whitney termasuk dalam uji non parametrik yang dipakai untuk ukuran contoh
yang kecil sampai sedang (Kvanli 1988). Uji U menjadi alternatif uji t untuk
menguji apakah parameter kualitas air pada kedua danau lokasi penelitian berbeda
secara signifikan. Berikut hipotesis yang digunakanpada uji U Mann Whitney
pada penelitian ini:
H0 : Parameter kualitas air (suhu, kecerahan, pH, DO, dan BOD) di Danau
Sipin dan Danau Teluk memiliki distribusi peluang yang identik
H1 : Parameter kualitas air di Danau Sipin dan Danau Teluk berbeda secara
signifikan
Penentuan kohort melalui analisis distribusi frekuensi panjang larva
chironomid
Data yang diperoleh selama pengamatan berlangsung akan diolah untuk
menghasilkan penjelasan secara deskriptif. Ciri-ciri penting sejumlah besar data
dengan segera dapat diketahui melalui pengelompokan data tersebut ke dalam
beberapa kelas dan kemudian dihitung banyaknya pengamatan yang masuk
kedalam tiap kelas. Susunan dari data ini biasanya disajikan dalam bentuk tabel
yang disebut sebaran frekuensi. Data yang disajikan dibuat dalam bentuk
kelompok untuk memperoleh gambaran yang lebih baik mengenai populasi yang
sedang diamati.
Penentuan banyaknya kelas yang dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut, dengan n sebagai jumlah data panjang:
Jumlah kelas =1+(3,32× log n )
Kemudian ditentukan wilayah dengan mengurangi nilai maksimum dengan
minimum data keseluruhan. Selanjutnya adalah penentuan lebar kelas sesuai
dengan rumus:
Lebar kelas=
(nilai maksimum -nilai minimum )
jumlah kelas
Langkah selanjutnya adalah mendaftar selang kelas atas dan selang kelas
bawah dengan data terkecil sebagai permulaan selang kelas bawah. Batas kelas
9
diperoleh dengan menambah atau mengurangi selang kelas dengan setengah kali
nilai satuan terkecil. Nilai tengah didapat dengan merata-ratakan batas kelas atas
dan batas kelas bawah. Selanjutnya nilai frekuensi ditentukan pada masingmasing kelas dan yang terakhir adalah pengecekan jumlah kolom frekuensi
memiliki jumlah yang sama terhadap banyaknya total pengamatan (Walpole 1992).
Penentuan kohort larva chironomid dilakukan dengan menggunakan data
yang sudah terdistribusi pada selang kelas tertentu. Kohort merupakan gambaran
mengenai organisme yang memiliki umur yang sama dan berada pada kondisi
lingkungan perairan yang sama (Battacharya 1967 in Spare & Venema 1999).
Penentuan nilai kohort pada larva chironomida dapat menjelaskan mengenai
kelompok ukuran larva chironomid pada setiap waktu pengamatan. Penentuan
kohort dan sebaran distribusinya per minggu dilakukan dengan metode
NORMSEP (Normal Separation) dan bantuan program FISAT II. Pergeseran
sebaran distribusi ke arah kanan memperlihatkan bahwa telah terjadi pertumbuhan.
Pengelompokan larva chironomid berdasarkan instar
Setelah dilakukan pengukuran panjang dan lebar kepala, data yang diperoleh
diolah dengan menggunakan MINITAB 15 untuk mengelompokkan data
berdasarkan instar. Larva chironomid terdiri dari 4 instar dan masing-masing
instar memiliki kisaran panjang tersendiri. Tabel 2 merupakan dasar
pengelompokan instar, tabel tersebut dijadikan pedoman dalam menentukan
centroid atau pemusatan data panjang dan lebar kapsul kepala dari larva
chironomida. Selanjutnya data diolah dengan menggunakan perangkat lunak
MINITAB 15.
Tabel 2 Karakteristik ukuran larva Chironomus sp. (Klemm 2001)
Instar
Panjang kepala (µm)
Lebar kepala (µm)
Panjang total
(mm)
Lebar total
(µm)
I
105-108; 123 ± 10,9
101-184; 112 ± 11,2
0,7-2,0
40-201
II
182-224; 199 ± 10,7
159-208; 190 ± 9,9
1,7-3,8
102-347
III
270-405; 355 ± 29,7
245-356; 311 ± 22,3
3,0-7,5
161-564
IV
494-649; 585 ± 40,3
409-592; 510 ± 37,1
4,7-12,8
353-1128
Biomassa
Biomassa dihitung per instar (instar I-IV) sehingga didapat biomassa ratarata per instar. Penentuan biomassa chironomid diperoleh dari bobot dikali dengan
jumlah individu. Pengukuran bobot seringkali tidak dapat dilakukan dengan
menggunakan timbangan digital karena tingkat ketelitian timbangan terlalu besar
sehingga tidak dapat mendeteksi bobot chironomid per individu. Oleh karena itu
digunakan pendekatan biovolume untuk menduga bobot chironomid. Pendekatan
ini dapat dihitung dari panjang total tubuh larva yang telah diperoleh dari analisis
laboratorium dengan menggunakan mikroskop dan kamera khusus yang
terhubung ke PC. Volume tubuh larva chironomid diperoleh dengan
menggunakan rumus tabung dengan asumsi bahwa tubuh larva chironomid
berbentuk seperti tabung. Berat basah dan volume memiliki perbandingan 1,05
sedangkan berat kering dan berat basah memiliki perbandingan 0,142 (Smit et al.
1993). Berat kering larva chironomid diperoleh dengan rumus sebagai berikut.
10
Berat kering=0,1491×
π
× Lt ×Wt
4
Keterangan:
22
π :
7
Lt : Panjang total
Wt : Lebar total
Produksi larva chironomid
Produktivitas sekunder larva chironomid dihitung menggunakan metode
non-kohort karena contoh yang diperoleh berasal dari penelitian lapang dan tidak
dapat ditelusuri kohortnya. Oleh karena itu digunakan metode distribusi frekuensi
ukuran (size-frequency method) dengan asumsi sampel yang dikumpulkan
mendekati kurva mortalitas dari kohort rata-rata (Benke 1979 in Benke & Huryn
2007). Metode ini membutuhkan data panjang total untuk menyusun selang kelas
ukuran. Data panjang total dikelompokkan dalam selang kelas. Selanjutnya
produktivitas sekunder ditentukan dengan formulasi berikut.
t
N∆W
P=Bawal +
1
P adalah produktivitas, Bawal adalah biomassa pada hari pertama
pengambilan contoh (gram), N adalah kepadatan rata-rata (ind/m2), sedangkan
∆W adalah pertambahan biomassa individu (gram) dan t menggambarkan waktu
pengambilan contoh produktivitas. Produktivitas sekunder yang dihitung hanya
untuk genus paling dominan yang ditemukan.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi sekitar dan kualitas air di Danau Sipin dan Danau Teluk
Danau Sipin dan Danau Teluk merupakan danau yang terletak di Provinsi
Jambi. Sungai Batanghari menjadi sumber air kedua danau tersebut (Lampiran 1).
Danau Sipin berbentuk seperti tapal kuda atau yang biasa disebut oxbow lake
sedangkan Danau Teluk berbentuk membulat agak menjari. Keduanya merupakan
danau alami yang sama-sama dimanfaatkan sebagai lokasi kegiatan penangkapan
ikan. Namun Danau Sipin juga dimanfaatkan sebagai lokasi wisata dan sarana
transportasi air. Selain itu, selama penelitian sedang dilakukan proses pemasangan
bronjong sebagai turap di sekitar Danau Sipin (Lampiran 2) dengan meratakan
dan menimbun area sempadan danau.
Danau Sipin terletak di tengah lokasi pemukiman dan hanya memiliki
sedikit tutupan ruang hijau di sekitarnya. Sebaliknya Danau Teluk tidak banyak
mendapat pengaruh dari kegiatan antropogenik dan sebagian besar lahan di
sekitarnya masih memiliki tutupan hijau yang baik. Berdasarkan perhitungan
tutupan lahan hijau, diketahui bahwa daerah di sekitar Danau Sipin memiliki
tutupan hijau sebesar 20,88% dan Danau Teluk sebesar 85,04%. Hasil analisis
parameter fisika dan kimia perairan selama penelitian disajikan pada Tabel 3.
11
Parameter pH, DO dan BOD di kedua danau lokasi penelitian menunjukkan
perbedaan yang tidak signifikan berdasarkan uji beda statistika. Hal ini
menggambarkan kesamaan kondisi kualitas air di Danau Sipin dan Danau Teluk
berdasarkan ketiga parameter tesebut. Parameter kualitas air yang berbeda secara
signifikan pada kedua danau lokasi penelitian adalah parameter kecerahan
(p=0,0020). Kecerahan rata-rata yang terukur di Danau Sipin adalah 58,62 cm.
Nilai tersebut jauh lebih rendah dibandingkan nilai rata-rata kecerahan pada
Danau Teluk yaitu sebesar 70,29 cm. Kedalaman menunjukkan rata-rata yang
sama yaitu 2,38 m, hal ini disebabkan pemasangan alat diatur pada lokasi dengan
kedalaman yang hampir sama.
Tabel 3 Parameter kualitas air dan uji statistika untuk melihat perbedaan kondisi
kedua danau yang diteliti
Parameter
Danau
Sipin
29,06±0,55
58,62±12,61
5,7±0,45
5,24±1,10
2,98±1,55
Teluk
29,85±0,56
70,29±9,49
5,6±0,22
4,03±1,32
3,38±1,81
Hasil Uji dengan
Mann-Whitney
*, p=0,0001 (n=20)
*, p=0,0020 (n=20)
ns, p=0,1508 (n=5)
ns, p=0,0556 (n=5)
ns, p=0,1000 (n=5)
Catatan: n=jumlah pengambilan contoh, *=berbeda secara signifikan, ns=tidak berbeda secara signifikan
Suhu (ºC)
Kecerahan (cm)
pH
DO (mg/l)
BOD (mg/l)
Kelimpahan dan struktur komunitas larva chironomid di Danau Sipin dan
Danau Teluk
Uji-t statistika menunjukkan bahwa kelimpahan rata-rata larva chironomid
di Danau Sipin dan Danau Teluk berbeda secara signifikan (p=7,96x10 -8).
Kelimpahan larva chironomid setiap pengambilan contoh ditunjukkan pada
Gambar 4. Kelimpahan rata-rata larva Chironomid pada Danau Sipin selama 40
hari penelitian sebesar 51 ekor/m2, sedangkan Danau Teluk sebesar 361 ekor/m2.
Gambar 4 menunjukkan variasi kelimpahan pada setiap pengambilan contoh.
Diagram batang tersebut menggambarkan bahwa kelimpahan larva chironomid
pada setiap pengambilan contoh lebih besar di Danau Teluk dibanding Danau
Sipin.
Berdasarkan hasil identifikasi, diperoleh 2 Sub famili larva Chironomidae
yaitu Chironominae dan Tanypodinae. Sub famili Chironominae terdiri dari
Chironomus, Kiefferulus, Polypedilum, Rheotanytarsus dan Paratanytarsus
sedangkan Sub famili Tanypodinae yang ditemukan adalah Pentaneura dan
Clinotanypus. Seluruh genus tersebut ditemukan di Danau Teluk, sementara di
Danau Sipin hanya ditemukan empat genus yaitu Chironomus, Polypedilum,
Paratanytarsus dan Rheotanytarsus. Tabel 4 menunjukkan kelimpahan masingmasing genus larva chironomid yang ditemukan. Chironomus merupakan genus
larva dominan yang ditemukan di Danau Sipin maupun Danau Teluk dengan
persentase berturut-turut 90,70% dan 87,32%.
12
800
Danau Sipin
Danau Teluk
2
Kelimpahan (ind/m )
600
400
200
0
-2 0
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42
Hari ke-
Gambar 4 Kelimpahan larva Chironomidae di Danau Sipin dan Danau Teluk
Tabel 4 Kelimpahan dan persentase masing-masing genus pada kedua lokasi
penelitian
Genus
Chironomus
Clinotanypus
Kiefferulus
Paratanytarsus
Pentaneura
Polypedilum
Rheotanytarsus
Kelimpahan (ind/m2)
Danau Sipin
Danau Teluk
117
868
5
4
1
2
27
10
87
1
1
Persentase (%)
Danau Sipin
Danau Teluk
90,70
87,32
0,50
0,40
0,78
0,20
2,72
7,75
8,75
0,78
0,10
Pertumbuhan larva Chironomidae (Chironomus riparius ) di Danau Teluk
Chironomus riparius merupakan spesies dominan yang ditemukan
(Gambar 5). Larva C. riparius yang diamati memperlihatkan perubahan ukuran
panjang total tubuh. Hal ini membuktikan bahwa larva chironomid mengalami
pertumbuhan. Perubahan ukuran tersebut digambarkan dengan menggunakan
grafik distribusi panjang yang menyatakan frekuensi larva teramati pada masingmasing selang kelas (Gambar 6).
Gambar 5 Kepala dan idenfikasi gigi C. riparius
13
Hari
Harike-8
ke-8
Hari ke-16
Hari ke-10
Hari ke-18
Hari ke-12
Hari ke-20
Hari ke-14
Hari ke-22
Gambar 6 Kurva pertumbuhan C. riparius di Danau Teluk
14
Hari ke-32
15
Analisis pertumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
NORMSEP (Normal Separation). C. riparius diklasifikasikan menjadi beberapa
selang kelas panjang dan diolah menjadi grafik distribusi panjang dengan piranti
lunak FISAT II. Gambar 6 menunjukkan kurva pertumbuhan larva C. riparius.
Berdasarkan Gambar 6 diketahui bahwa terjadi pergeseran nilai modus
setiap interval waktu penelitian. Hal ini dapat dilihat dari pergeseran garis merah
ke arah kanan. Pergeseran garis merah ke arah kanan menggambarkan terjadinya
perubahan nilai modus setiap interval waktu penelitian. Berdasarkan metode ini
dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan panjang larva chironomid cukup signifikan
dilihat dari perubahan nilai modus yang terjadi. Sementara itu, pertumbuhan larva
chironomid di Danau Sipin tidak bisa dinyatakan dalam grafik distribusi frekuensi
panjang total. Hal ini dikarenakan jumlah organisme yang ditemukan pada
masing-masing pengambilan contoh tidak mencukupi dalam pembuatan kurva
normal untuk melihat pergeseran modus.
Pergeseran modus ke arah kanan menggambarkan bahwa lingkungan
perairan di Danau Teluk mendukung pertumbuhan larva C. riparius. Selama 40
hari waktu penelitian dengan frekuensi pengambilan contoh setiap 2 hari terdapat
5 kelompok pergeseran modus. Masing-masing kelompok pergeseran modus
menunjukkan satu siklus hidup larva chironomid. Gambar 6 memperlihatkan
kurva regresi masing-masing kelompok pergeseran modus larva C. riparius.
y = 0,132x + 4,293
R² = 0,955
7
frekuensi (10^1)
6
5
y = 0,113x + 2,527
R² = 0,510
y = 0,099x + 1,444
R² = 0,858
4
sub populasi 1
y = 0,323x - 0,34
R² = 0,850
3
sub populasi 2
sub populasi 3
2
sub populasi 4
1
0
0
10
20
30
40
50
hari ke-
Gambar 7 Kurva regresi kelompok pergeseran modus subpopulasi C. riparius
Pengelompokan larva C. riparius pada danau berbeda berdasarkan instar
Larva chironomid memiliki tubuh yang beruas-ruas. Bagian anterior
berupa kepala mengeras membentuk kapsul. Kapsul kepala dari larva chironomid
terbuat dari zat kitin sehingga untuk setiap instar (stadia antar pergantian kulit),
kapsul kepala ini akan mengalami pergantian kulit (molting) (Epler 2001). Oleh
karena itu ukuran kapsul kepala dapat dijadikan dasar dalam pengelompokkan
larva chironomid berdasarkan instar. Berdasarkan pengelompokkan instar, pada
Danau Sipin dan Danau Teluk terbagi menjadi 2 kelompok (Gambar 7).
Pengelompokan larva ini didasarkan pada penelitian Klemm 2001. Penelitian
16
menunjukkan bahwa larva C. riparius yang diperoleh mengelompok menjadi
instar III dan instar IV.
Danau Teluk
Danau Sipin
Gambar 8 Pengelompokan larva Chironomus riparius berdasarkan instar
Produktivitas sekunder C. riparius pada danau berbeda
Produktivitas sekunder menggambarkan pertambahan biomassa populasi
organisme heterotrof di suatu lokasi pada waktu tertentu. Produktivitas sekunder
dapat diduga berdasarkan populasi dari umur yang sama (kohort), namun untuk
penelitian langsung di lapangan, kohort sulit dipisahkan. Oleh karena itu
digunakan metode distribusi frekuensi ukuran. Berdasarkan hasil perhitungan
produktivitas sekunder C. riparius, Danau Teluk memiliki nilai produktivitas
sekunder yang lebih besar dibandingkan Danau Sipin (Tabel 5).
Tabel 5 Produktivitas sekunder Danau Sipin dan Danau Teluk
Jumlah selang kelas
Rata-rata densitas (ind/m2)
Rata-rata bobot (mg)
Biomassa (g/m2)
Produktivitas (g/m2/tahun)
P/B kohort
P/B tahunan
Danau Sipin
8
22
0,63
0,10
0,25
2,5
5,91
Lokasi
Danau Teluk
11
118
1,40
1,06
4,50
4,3
10,24
Nilai produktivitas sekunder dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
terutama ketersediaan makanan. Tabel 5 menunjukkan nilai rata-rata bobot larva
C. riparius di Danau Teluk (1,40 mg) lebih besar dibandingkan Danau Sipin (0,63
mg). Bobot rata-rata tersebut berbanding lurus dengan biomassa sehingga dapat
dilihat pada tabel bahwa biomassa larva di Danau Teluk 10 kali lipat biomassa
larva di Danau Sipin yaitu sebesar 1,06 g/m 2. Demikian pula dengan produktivitas
sekunder. Nilai produkivitas sekunder di Danau Teluk yang diperoleh
menunjukkan nilai 18 kali lipat dibandingkan Danau Sipin. Hasil ini
menggambarkan bahwa keadaan lingkungan di Danau Teluk lebih mendukung
kehidupan larva chironomid. Tabel 6 memperlihatkan perbandingan nilai
produktivitas sekunder dari penelitian di beberapa daerah tropis.
17
Nilai produktivitas sekunder larva chironomid terutama yang berasal dari
subfamili Chironominae berkisar dari 0,25 – 9,89 g/m2/tahun. Produktivitas yang
tinggi diperoleh pada lokasi perairan dengan kandungan bahan organik tinggi
seperti daerah KJA (9,89 g/m2/tahun) dan lahan gambut (11,3 g/m2/tahun).
Tabel 6 Perbandingan produktivitas sekunder beberapa perairan berbeda
Organisme
Polypedilum
Produktivitas
9,89 g/m2/tahun (KJA)
1,90 g/m2/tahun (non-KJA)
Polypedilum
11,3 g/m2/tahun
Rheocricotopus 9,8 g/m2/tahun
Larva
0,79-9,35 g/m2/tahun
Chironomidae
C. riparius
0,25 g/m2/tahun
4,50 g/m2/tahun
Sumber
Krisanti 2012
Lokasi
D. Lido, Indonesia
Benke 1998
S. Ogeechee, USA
(lahan gambut)
Ramirez dan Hutan
LaSelva,
Pringle 2006
Costa Rica (hutan
tropis
Penelitian ini
D. Sipin, Indonesia
D. Teluk, Indonesia
Pembahasan
Pengukuran parameter fisika-kimia perairan menggambarkan bahwa
Danau Sipin dan Danau Teluk memiliki kondisi yang relatif sama berdasarkan
beberapa parameter kualitas air. Parameter lingkungan yang menunjukkan
perbedaan yang signifikan adalah kecerahan. Kecerahan yang terukur di Danau
Sipin jauh lebih rendah dibandingkan kecerahan di Danau Teluk. Rendahnya nilai
kecerahan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kurangnya tutupan hijau
(pepohonan) pada area sempadan danau. Hal ini menyebabkan tingginya tingkat
erosi sehingga meningkatkan masukan tanah permukaan ke danau. Aliran run-off
yang membawa tanah dan endapan dari darat meningkatkan nilai kekeruhan.
Kekeruhan secara langsung mempengaruhi proses respirasi organisme akuatik
termasuk larva chironomid. Menurut Dunlop et al. (2005), terdapat beberapa
penelitian yang membuktikan pengaruh kekeruhan terhadap komunitas avertebrata.
Penelitian oleh Quinn et al. (1992) in Dunlop et al. membuktikan bahwa
kelimpahan avertebrata akibat sedimentasi dengan nilai kekeruhan ±145 NTU
menyebabkan penurunan kelimpahan di lokasi penelitian mulai dari 9% hingga
45%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zuazo (2011), disimpulkan
bahwa penggunaan tutupan tanaman menjadi rekomendasi untuk menurunkan
tingkat erosi dan risiko pencemaran. Tutupan tanaman yang kurang menyebabkan
lahan di sekitar danau mudah tergerus aliran air permukaan. Tanah yang masuk
dari daratan di sekitar danau merupakan bagian dari padatan total tersuspensi yang
menyebabkan turunnya intensitas cahaya yang masuk ke badan air.
Parameter warna perairan yang diukur secara visual juga menunjukkan
perbedaan. Warna perairan Danau Sipin cenderung putih keruh hingga
kekuningan, sedangkan Danau Teluk menunjukkan warna hijau hingga hijau
gelap. Parameter kecerahan, tutupan lahan hijau, dan warna perairan
menyebabkan perbedaan kelimpahan larva chironomid di kedua danau tersebut.
Kecerahan yang tinggi berkaitan dengan ketersediaan oksigen terlarut dan kondisi
perairan yang lebih nyaman bagi kehidupan larva (Bhatnagar & Devi 2013). Nilai
kecerahan yang tinggi mendukung proses fotosintesis menjadi lebih optimal.
18
Kecerahan berkaitan dengan intensitas cahaya yang mampu menembus badan air.
Menurut Ryther (1956), cahaya akan selalu menjadi pembatas pada proses
fotosintesis populasi plankton. Darchambeau et al. (2014) menyatakan bahwa
pada musim kering dengan kedalaman eufotik lebih besar dibandingkan musim
penghujan menyebabkan perbedaan biomassa fitoplankton yang diperoleh.
Biomassa fitoplankton mencapai puncaknya pada musim kering. Hal ini
dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang cukup untuk proses fotosintesis pada
fitoplankton. Plankton dan perifiton juga merupakan makanan bagi larva
chironomid terutama chironomid jenis predator (Pinder 1986).
Danau Teluk memiliki rata-rata kecerahan lebih tinggi sehingga menjadi
habitat yang lebih cocok bagi larva chironomid. Berdasarkan perhitungan
kelimpahan diketahui bahwa kelimpahan rata-rata maupun kelimpahan harian
larva chironomid di Danau Teluk lebih tinggi dibandingkan Danau Sipin. Hal ini
juga disebabkan karena kondisi habitat di sekitar Danau Teluk lebih mendukung
untuk kehidupan larva maupun serangga dewasa chironomid. Tutupan vegetasi
tumbuhan di sekitar danau dijadikan tempat memijah (mating) oleh serangga
dewasa. Persentase lahan hijau yang lebih tinggi di Danau Teluk juga ikut
mendukung tingginya kelimpahan larva chironomid di danau tersebut. Di samping
itu, tumbuhan dapat menjadi sumber nektar sebagai makanan chironomid dewasa
(komunikasi pribadi) meskipun sebagian besar genus chironomid tidak
membutuhkan makanan saat fase dewasa (Houseman 2015).
Kelimpahan larva juga berkaitan dengan preferensi indukan (serangga
dewasa) dalam memilih tempat peneluran (oviposition). Preferensi serangga
betina chironomid dalam meletakkan telur tidak berkaitan dengan organ pembau
(olfaktori), namun berkaitan dengan organ visual. Serangga dewasa melakukan
pemijahan saat senja (Armitage et al. 1995). Setelah proses pemijahan, serangga
jantan akan mati dan serangga betina akan meletakkan telur di permukaan air.
Telur yang dihasilkan berbentuk massa telur berjumlah ratusan hingga ribuan dan
terbungkus gelatin bening. Meltser et al. 2008 in Lerner et al. (2008) menyatakan
bahwa serangga betina tidak meletakan telurnya secara acak, melainkan memilih
permukaan air yang memiliki lebih banyak substrat untuk tempat meletakan telur
seperti tumbuhan air atau benda mengapung lain (Halpern et al. 2003).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lerner et al. (2008), diketahui bahwa
chironomid betina memiliki preferensi peletakan telur pada perairan yang
cenderung berwarna hijau (panjang gelombang 490 – 510 nm). Preferensi ini juga
berkaitan dengan kesukaan serangga pada area yang lebih terang. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Frouz (1997) diketahui bahwa kelimpahan larva
Chironomidae maupun Chironomidae dewasa jenis terestrial lebih tinggi pada
habitat yang memiliki vegetasi terutama vegetasi yang cenderung terbuka dan
rendah (semak). Area dengan vegetasi tersebut dijadikan sebagai tempat memijah
serangga dewasa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa kelimpahan larva
chironomid lebih tinggi ditemukan pada Danau Teluk yang memiliki lebih banyak
vegetasi di sekitar danau sebagai lahan hijau.
Berkaitan dengan kelimpahan, jumlah genus yang diperoleh di Danau
Teluk juga lebih tinggi dibandingkan Danau Sipin. Genus yang ditemukan di
Danau Teluk berjumlah tujuh genus dan di Danau Sipin sebanyak empat genus
dengan genus yang dominan ditemukan pada kedua danau adalah Chironomus.
Genus tersebut merupakan bagian dari subfamili Chironominae. Epler (2001)
19
menyatakan bahwa subfamili Chironominae merupakan subfamili yang paling
melimpah di alam. Chironominae dapat ditemukan hampir di semua habitat
perairan mulai dari air tawar, payau hingga air laut. Sebagian besar larva
dilengkapi oleh tubes atau „rumah‟ yang berfungsi sebagai pelindung tempat
tinggal dan pelindung dari serangan predator. Larva Chironominae (terutama
Chironomus) memiliki haemoglobin (Hb) yang memberi warna merah pada tubuh
larva dan kemampuan untuk hidup pada kondisi perairan dengan kadar oksigen
rendah. Genus tersebut sangat toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang
baik. Chironomus memiliki kemampuan adaptasi karena dilengkapi oleh Hb
(Epler 2001). Genus Chironomus seringkali ditemukan sebagai genus dominan
dalam beberapa penelitian seperti penelitian yang dilakukan oleh Silva et al.
(2008) di sistem perairan mengalir di Brazil.
Berdasarkan pengelompokan instar, larva Chironomus yang ditemukan
hanya terdiri dari instar III dan IV. Hal ini disebabkan karena pada fase instar I
larva chironomid masih bersifat planktonik. Fase instar II berukuran sangat kecil
(kurang dari 3 mm) (Klemm 2001) sehingga dengan mudah dipredasi oleh juvenil
ikan maupun invertebrata lain. Larva Chironomus yang ditemukan di Danau
Teluk juga menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Hal ini digambarkan oleh
pergeseran nilai modus pada kurva distribusi frekuensi panjang total ke arah
kanan. Selama penelitian diperoleh lima kelompok pergeseran modus. Masingmasing kelompok menunjukkan satu siklus instar III dan instar IV larva
Chironomus. Setiap kelompok pergeseran modus menggambarkan bahwa rata-rata
satu siklus instar III dan instar IV larva Chironomus berlangsung selama ±9 hari.
Kondisi lingkungan berbanding lurus dengan data perbandingan
kelimpahan larva yang ditemukan. Kelimpahan larva yang lebih tinggi di Danau
Teluk menghasilkan biomassa yang lebih besar. Ketersediaan biomassa yang lebih
besar dan ditunjukkan oleh tingginya produktivitas sekunder menggambarkan
ketersedian nutrisi tingkat trofik selanjutnya yang lebih banyak di Danau Teluk
dibandingkan Danau Sipin. Penyebab utama produktivitas sekunder di Danau
Teluk lebih tinggi dibandingkan Danau Sipin adalah pengaruh kegiatan
antropogenik yang lebih besar di Danau Sipin sehingga menyebabkan penurunan
kualitas lahan maupun kualitas air.
Larva chironomid berperan sebagai pakan hidup ikan dan inver
LARVA CHIRONOMIDAE PADA DUA DANAU BERBEDA
SITI ANINDITA FARHANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pertumbuhan dan
Produktivitas Sekunder Larva Chironomidae pada Dua Danau Berbeda adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Siti Anindita Farhani
NIM C251120141
RINGKASAN
SITI ANINDITA FARHANI. Pertumbuhan dan Produktivitas Sekunder Larva
Chironomidae pada Dua Danau Berbeda. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO
dan MAJARIANA KRISANTI.
Produktivitas sekunder adalah salah satu metode untuk mengkuantifikasi
ketersediaan biomassa organisme heterotrof bagi tingkat trofik selanjutnya dalam
suatu rantai makanan. Penelitian mengenai produktivitas sekunder masih sangat
jarang dilakukan di Indonesia. Penulis memilih topik penelitian mengenai
perhitungan produktivitas sekunder mengingat peran produktivitas sebagai
indikator ekologis dan kesehatan lingkungan. Pengukuran produktivitas sekunder
dilakukan dengan objek organisme makroinvertebrata bentik seperti larva
serangga. Salah satu larva serangga yang ditemukan hampir di seluruh habitat
perairan adalah larva chironomid termasuk Danau Sipin dan Danau Teluk. Kedua
danau tersebut terletak di Provinsi Jambi dan memiliki kondisi yang berbeda.
Danau Sipin terletak di sekitar lingkungan padat kegiatan manusia dan hanya
memiliki ±20% tutupan lahan hijau di area sempadan sedangkan Danau Teluk
berada di daerah yang sangat sedikit mendapat pengaruh kegiatan antropogenik
serta masih memiliki tutupan lahan hijau lebih dari 80%.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan komunitas larva
chironomid dan kecenderungan pertumbuhan larva chironomid yang ditemukan
selama penelitian. Penelitian juga bertujuan untuk mengukur besarnya
produktivitas sekunder larva chironomid dan membandingkan produktivitas di
kedua danau lokasi penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei –
September 2014 di Danau Sipin dan Danau Teluk, Provinsi Jambi. Metode
analisis frekuensi ukuran digunakan untuk menghitung produktivitas sekunder
larva chironomid. Biomassa diperoleh dengan mengkonversi volume larva
menjadi berat kering.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi perairan Danau Sipin dan
Danau Teluk secara umum tidak berbeda secara signifikan. Parameter yang
menunjukkan perbedaan signifikan adalah parameter kecerahan (p-value =
0,0020). Tutupan lahan dan kecerahan mempengaruhi preferensi serangga dewasa
dalam memilih tempat memijah dan meletakkan massa telur (ovoposition).
Spesies dominan yang ditemukan di kedua danau adalah Chironomus riparius
dengan komposisi lebih dari 80%. Berdasarkan kurva distribusi frekuensi panjang
dapat disimpulkan bahwa larva Chironomus riparius mengalami pertumbuhan
yang signifikan selama penelitian.
Berdasarkan perhitungan jumlah individu, kelimpahan larva di Danau Teluk
lebih tinggi dibandingkan Danau Sipin, demikian pula dengan produktivitas
sekunder. Produktivitas Danau Teluk yang terukur sebesar 18 kali lipat
produktivitas Danau Sipin. Hal tersebut menggambarkan bahwa kualitas
lingkungan sekitar danau serta kondisi perairan Danau Teluk lebih cocok dan
mendukung bagi kehidupan larva chironomid.
Kata kunci: chironomid, Chironomus riparius, danau, produktivitas sekunder
SUMMARY
SITI ANINDITA FARHANI. Growth and Secondary Productivity of
Chironomidae Larvae at Two Different Lakes. Supervised by YUSLI
WARDIATNO and MAJARIANA KRISANTI.
Secondary productivity is a method for biomass quantifying of
heterotrophic organisms that will be used for the next trophic level in a food chain.
The research about secondary productivity is very rare in Indonesia. Therefore,
author choose research theme about secondary productivity considering the
important purpose of productivity as ecological and environmental health
indicator. Secondary productivity measurement is conducted with benthic
macroinvertebrate organism such as insect larvae. One of insect larvae which can
be found at whole water habitat is chironomid larvae. This larvae also can be
found in Lake Sipin and Lake Teluk. Both of them is in Jambi Province and have
different condition. Lake Sipin is located in heavy human activity region and only
has ±20% plant coverage at border area. On the other side, Lake Teluk is in the
area with sparse anthropogenic activity and has more than 80% plant coverage.
This research aimed to describe chironomid larvae community and the
tendency of chironomid growth which was found. The research also has purpose
to measure chironomid larvae secondary productivity and compare between two
lakes. Research was conducted from May through September 2014 in Lake Sipin
and Lake Teluk, Jambi Province. Size-frequency analysis method was used to
calculate chironomid larvae secondary productivity. Biomassa was obtained with
volume-dry weight conversion.
The result showed Lake Sipin and Lake Teluk water condition were not
different significantly. Water transparency showed significant difference with pvalue = 0,0020. Plant coverage and transparency influenced adult insect
preference at choosing mating place and placing egg masses (ovoposition).
Chironomus riparius was dominant species with composition more than 80%.
Based on length–frequency distribution curve, C. riparius experienced significant
growth.
According to total organism calculation, larvae abundance in Lake Teluk
was higher compared to Lake Sipin. Secondary productivity also showed higher
amount in Lake Teluk. Chironomid larvae in Lake Teluk was 18 times higher than
Lake Sipin. Those showed environmental quality and water condition in Lake
Teluk was more suitable for chironomid larvae.
Key words: chironomid, Chironomus riparius, lake, secondary productivity
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS SEKUNDER
LARVA CHIRONOMIDAE PADA DUA DANAU BERBEDA
SITI ANINDITA FARHANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Jojok Sudarso, SSi, MSi
Judul Tesis
Nama
NIM
: Pertumbuhan dan Produktivitas Sekunder Larva Chironomidae
pada Dua Danau Berbeda
: Siti Anindita Farhani
: C251120141
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc
Ketua
Dr Majariana Krisanti, SPi, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 13 Juli 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah produktivitas
sekunder, dengan judul Pertumbuhan dan Produktivitas Sekunder Larva
Chironomidae pada Dua Danau Berbeda.
Terima kasih Penulis ucapkan kepada Dr Ir Yusli Wardiatno dan Dr
Majariana Krisanti selaku komisi pembimbing serta Dr Jojok Sudarso sebagai
penguji luar komisi. Di samping itu, penghargaan Penulis sampaikan kepada
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia
yang telah membantu seluruh pembiayaan penelitian ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jambi,
Universitas Jambi dan Laboratorium Biomikro, Bagian Produktivitas dan
Lingkungan Perairan Institut Pertanian Bogor atas segala bantuan yang telah
diberikan kepada penulis selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Alm. Marzuki Nurdin, Zuleha Sy, Nur Rafidah serta seluruh
sahabat (Yunita M. Anzani, Dwi Y. Wulandari, Nuralim Pasisingi, Wahyu M,
Fuquh RS, Bambang K dan L Panji IA) atas segala doa dan semangatnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015
Siti Anindita Farhani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
1
1
3
3
3
2 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat
Bahan
Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Analisis Data
4
4
5
6
7
8
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Hasil
10
Pembahasan
17
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
20
20
20
DAFTAR PUSTAKA
20
LAMPIRAN
24
RIWAYAT HIDUP
25
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter
Karakteristik ukuran larva Chironomus sp. (Klemm 2001)
Parameter kualitas air dan uji statistika untuk melihat perbedaan
kondisi
Kelimpahan dan persentase masing-masing genus pada kedua lokasi
penelitian
Produktivitas sekunder Danau Sipin dan Danau Teluk
Perbandingan produktivitas sekunder beberapa perairan berbeda
7
9
11
12
16
17
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Diagram alir perumusan masalah
Lokasi penelitian (A: Danau Sipin, B: Danau Teluk)
Paket substrat buatan untuk pengambilan sampel larva chironomid
Kelimpahan larva Chironomidae di Danau Sipin dan Danau Teluk
Kepala dan idenfikasi gigi C. riparius
Kurva pertumbuhan C. riparius di Danau Teluk
Kurva regresi kelompok pergeseran modus subpopulasi C. riparius
Pengelompokkan larva Chironomus riparius berdasarkan instar
4
5
6
12
12
13
15
16
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
Peta satelit kondisi tutupan lahan hijau di sekitar danau lokasi
penelitian
Kegiatan pembuatan bronjong di sempadan Danau Sipin
24
24
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produktivitas sekunder didefinisikan sebagai biomassa yang dihasilkan
oleh suatu populasi (organisme heterotrof) pada suatu interval waktu dan luasan
tertentu, tanpa mempertimbangkan tingkat kelangsungan hidup populasi tersebut
hingga akhir interval (Kimmerer 1987). Estimasi produktivitas sekunder menjadi
dasar bagi para ekologis untuk mengkuantifikasi peran dari konsumen khususnya
makroinvertebrata bentik dalam siklus materi dan aliran energi dalam ekosistem
akuatik (Walther et al. 2006). Produksi dari suatu populasi biologi seringkali
menjadi fokus utama dari para peneliti karena dapat menjelaskan aliran energi
yang terjadi pada populasi dan dapat digunakan sebagai indikator fisiologi serta
status nutrisi. Estimasi nilai produktivitas sekunder menjadi informasi dasar yang
penting untuk pengelolaan sumberdaya alam secara rasional. Produktivitas
sekunder adalah instrumen pokok untuk evaluasi potensi suatu trofik sebagai salah
satu komponen dari ekosistem. Sebagai contoh, invertebrata bentik dapat
merepresentasikan hubungan antara produsen primer dan ikan dalam aliran energi
serta daur bahan organik (Tumbiolo & Dawning 1994).
Kelompok organisme yang sering digunakan dalam pengukuran
produktivitas sekunder adalah organisme invertebrata bentik (Benke 1994). Sifat
organisme bentik adalah tidak memiliki pergerakan luas sehingga sangat kuat
mendapat pengaruh dari lingkungan dan menjadi organisme yang tepat untuk
menggambarkan nilai produktivitas sekunder. Penelitian ini menggunakan larva
chironomid sebagai objek pengukuran produktivitas sekunder. Larva chironomid
dipilih karena memiliki kelimpahan tinggi, pertumbuhan dan siklus hidup yang
cepat, serta menjadi konsumen primer paling produktif dalam sebuah ekosistem
(Entrekin 2007; Ree 2012; Senderovich & Halpern 2012). Organisme heterotrof
ini digunakan oleh tingkat trofik di atasnya sebagai sumber energi dalam bentuk
pakan (Benke 1998).
Produktivitas sekunder merupakan fungsi dari lingkungan (ketersediaan
makanan, suhu, kadar oksigen terlarut, dan kedalaman). Kajian mengenai
produktivitas dapat digunakan sebagai indikator ekologis dan kesehatan suatu
perairan (Kirgiz 1988 in Ozkan et al. 2010). Pengukuran produksi invertebrata
bentik seringkali dihitung dari rata-rata tahunan biomassa populasi dan data
literatur mengenai tingkat turnover (P/B). Pendekatan dilakukan pada level
taksonomi tertentu seperti genus atau spesies dengan prosedur estimasi yield
(Lohlein 1999). Perhitungan dengan menggunakan rata-rata tahunan biomassa
seringkali digunakan di daerah subtropis karena siklus hidup organisme yang
memang tahunan (minimal 1 tahun), sedangkan untuk daerah tropis seperti
Indonesia penggunaan rentang tahunan kurang tepat karena organisme bentik ratarata memiliki siklus hidup yang singkat.
Chironomidae adalah organisme dengan level taksa famili yang dipilih
menjadi objek pada rancangan penelitian ini. Chironomidae adalah salah satu
anggota ordo Diptera yang ditemukan hampir di semua ekosistem perairan baik
perairan mengalir maupun tergenang. Organisme ini juga dapat ditemukan di
ekosistem laut (Epler 2001). Chironomidae bahkan dapat tumbuh dan berkembang
2
pada perairan yang telah terkontaminasi misalnya kolam stabilisasi limbah
(Halpern et al. 2002). Berdasarkan hasil penelitian mengenai siklus hidup
chironomid, diketahui bahwa chironomid memiliki 4 fase hidup yang terdiri dari
telur, larva, pupa, dan serangga dewasa. Chironomid dalam bentuk larva yang
memiliki habitat di air adalah salah satu organisme heterotrof yang dapat
digunakan sebagai objek dalam pengukuran produktivitas sekunder (Ramirez &
Pringle 2006). Famili Chironomidae menjadi penyusun 10% hingga 50%
biomassa makroinvertebrata air yang masing-masing subfamili maupun ordonya
memiliki preferensi tertentu terhadap kondisi suatu lingkungan perairan (Odume
& Muller 2011). Fase larva chironomid terutama genus Chironomus sp.
berlangsung dalam waktu 3 hingga 4 minggu dan terdiri dari 4 kelompok
berdasarkan ukuran atau instar (Farhani 2012). Larva Chironomidae berperan
sangat penting dalam rantai makanan di lingkungan perairan (Zilli et al. 2008).
Organisme ini bermanfaat sebagai pakan alami juvenil dan invertebrata lain serta
berperan penting dalam proses penguraian bahan organik (Bay 2003; Pinder 1986).
Larva chironomidae merupakan pemanfaat bahan organik langsung, hal ini
dibuktikan oleh penelitian Biasi et al. (2013) yang menyatakan bahwa keberadaan
Chironomidae dalam densitas tinggi berasosiasi dengan ketersediaan detritus
sehingga Chironomidae dapat dipertimbangkan sebagai salah satu pengurai yang
berperan dalam proses dekomposisi.
Larva Chironomidae juga sangat cepat merespon perubahan kondisi perairan
(Heinrich et al. 2006). Oleh karena itu, larva insekta ini sering dimanfaatkan
sebagai bioindikator pencemaran lingkungan. Batas toleransi dan sensitivitas
masing-masing spesies chironomid berbeda sehingga dapat menjadi indikator
yang sempurna bagi pencemaran organik, kontaminasi logam berat maupun
degradasi habitat (Odume & Muller 2011; Carew et al. 2003). Sebagian besar
spesies Larva Chironomidae memiliki habitat di perairan yang kaya bahan organik
(Arimoro et al. 2007). Struktur komunitas seperti komposisi jenis, diversitas dan
kelimpahan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Oleh karena itu komunitas larva
Chironomidae diharapkan mampu menggambarkan kondisi perairan habitatnya.
Penelitian mengenai produktivitas sekunder larva chironomid sangat jarang
dilakukan di Indonesia. Penelitian mengenai larva chironomid dilakukan pertama
kali di Indonesia oleh Kikuchi & Sasa pada tahun 1990 di Danau Toba, Sumatera
Utara. Penelitian lain mengenai larva chironomid di Indonesia dilakukan di lahan
gambut, Kalimantan Tengah. Penelitian yang dilakukan oleh Yulintine et al.
(2007) ini bertujuan untuk menghitung densitas dan biomassa larva chironomid di
kanal irigasi pertanian di sekitar lahan gambut. Wardiatno & Krisanti (2013) juga
melakukan penelitian mengenai komposisi dan kelimpahan komunitas larva
chironomid dengan menggunakan substrat buatan di Danau Lido, Jawa Barat.
Lokasi penelitian yang dipilih pada penelitian ini adalah Danau Sipin, Kota
Jambi dan Danau Teluk, Kabupaten Batanghari. Sumber utama masukan limbah
bahan organik di kedua danau tersebut berasal dari pemukiman berupa limbah
domestik dan serasah tumbuhan hijau di sekitar danau. Penambahan kandungan
bahan organik ini akan mempengaruhi produktivitas sekunder larva chironomid
karena salah satu metode yang digunakan untuk menghitung produktivitas
sekunder suatu perairan adalah dengan menghitung pertumbuhan dan
pertambahan biomassa populasi. Kedua hal tersebut berkaitan erat dengan
ketersediaan makanan (bahan organik) bagi chironomid. Penelitian ini bertujuan
3
untuk melihat pertumbuhan populasi larva chironomid di kedua lokasi penelitian
dan produktivitas sekunder larva chironomid pada masing-masing danau. Kedua
data tersebut dapat digunakan sebagai dasar informasi biodiversitas dan
produktivitas sekunder larva chironomid pada kondisi yang berbeda sebagai dasar
pengelolaan untuk keberlanjutan dan kelestarian danau.
Perumusan Masalah
Aktivitas antropogenik seperti pemukiman, perkantoran, kegiatan pariwisata
di sekitar perairan, transportasi maupun Keramba Jaring Apung (KJA)
menyumbang masukan bahan organik ke suatu perairan. Masukan tersebut
mempengaruhi kualitas perairan baik secara fisik maupun kimia. Aktivitas
antropogenik juga menyebabkan perubahan kondisi habitat di sekitar badan air.
Kebutuhan maupun alih fungsi lahan untuk kepentingan manusia melalui kegiatan
pengurugan dan penimbunan, menjadi suatu ancaman tersendiri bagi habitat di
sekitar badan air. Di samping itu, aktivitas antropogenik secara tidak langsung
juga mempengaruhi struktur komunitas organisme yang mendiami suatu badan air.
Pengaruh dari kegiatan antropogenik baik kualitas air maupun perubahan kondisi
habitat menyebabkan perubahan kelimpahan, biomassa dan komposisi jenis
organisme termasuk larva chironomid. Perubahan-perubahan tersebut terkait
dengan bahan organik akan mempengaruhi pertumbuhan dan pertambahan
biomassa larva chironomid. Pertumbuhan dan pertambahan biomassa merupakan
parameter penting yang digunakan dalam kajian produktivitas sekunder suatu
perairan. Diagram alir perumusan masalah dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pertumbuhan larva
chironomid di kedua danau lokasi penelitian. Penelitian juga bertujuan untuk
menghitung dan membandingkan produktivitas sekunder larva chironomid di
kedua danau tersebut. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi
mengenai komunitas dan pertumbuhan larva chironomid di Danau Sipin dan
Danau Teluk serta menggambarkan pengaruh kualitas air dan lingkungan sekitar
danau terhadap pertumbuhan dan produktivitas sekunder larva chironomidae
sebagai dasar konsep pengelolaan danau.
Hipotesis Penelitian
Jika lingkungan sekitar dan kondisi kualitas air mendukung untuk
kehidupan larva chironomid maka perairan tersebut dapat menjadi habitat
organisme tersebut. Namun seringkali kegiatan antropogenik di sekitar badan air
menyebabkan perubahan kualitas perairan baik fisik, kimia maupun biologi.
Meningkatknya masukan bahan organik (BOD) ke suatu perairan akan
meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas sekunder larva chironomid serta
menyebabkan perubahan struktur komunitas larva chironomid.
4
Komunitas larva
chironomid
Aktivitas antropogenik
Kualitas fisik dan
kimia perairan
Kondisi habitat
Kelimpahan
Biomassa
Komposisi jenis
Pertumbuhan dan
pertambahan
biomassa larva
chironomid
Produktivitas sekunder
Gambar 1 Diagram alir perumusan masalah
2 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei - September 2014. Penelitian
lapang dilakukan selama dua bulan dengan waktu pengambilan contoh setiap 2
hari selama 2 bulan karena menurut Farhani (2012), chironomid pada fase larva
(khususnya genus Chironomus) memerlukan waktu lebih kurang 1 bulan untuk
mencapai fase pupa sehingga diharapkan dapat mewakili lebih dari satu siklus
hidup larva chironomid. Lokasi dan titik pengambilan contoh yang dipilih adalah
Danau Teluk dengan kedalaman rata-rata 4 m dan Danau Sipin yang memiliki
kedalaman rata-rata 8 m. Kedua danau tersebut terletak di Provinsi Jambi
(Gambar 2). Kedua danau tersebut memiliki perbedaan luas tutupan lahan hijau
pada area sempadan. Persentase tutupan lahan hijau dihitung dengan
menggunakan google earth.
5
103º35‟0”E
103º35‟30”E
A
103º35‟30”E
103º36‟15”E
103º35‟50”E
B
103º35‟30”E
Gambar 2 Lokasi penelitian (A: Danau Sipin, B: Danau Teluk)
Alat
Substrat buatan (Gambar 3) digunakan sebagai trap atau perangkap larva
chironomid (Krisanti 2012). Satu kerangka substrat berukuran 45 x 30 cm2 dibagi
menjadi tiga unit berukuran 15 x 15 cm2. Masing-masing unit terbuat dari jaring
dengan mesh-size 2 mm. Peralatan yang digunakan dalam proses identifikasi dan
6
pengukuran morfologi larva chironomid adalah mikroskop stereo dan mikroskop
cahaya trinokuler. Mikroskop cahaya trinokuler dihubungkan langsung dengan
Axio Camera ERc5s untuk pembuatan arsip visual dalam bentuk gambar
elektronik pada Personal Computer (PC). Pengukuran panjang total dilakukan
dengan menggunakan kamera dino-lite.
Bahan
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah organisme
chironomid yang berada pada fase larva. Larutan Rose Bengal dan alkohol dengan
konsentrasi 70% merupakan bahan yang digunakan untuk prosedur analisis
laboratorium. Bahan lain yang digunakan yaitu larutan KOH 10% dan larutan
Entellan.
b
f
a
c
40 cm
15 cm
15 cm
d
Keterangan :
a. Permukaan air danau
b. Pelampung
c. Tali tambang
d. Rangka substrat buatan (z=40 cm)
e. Pemberat pada dasar perairan
f. Substrat buatan dari kasa nyamuk (15 x
15) cm2, mesh size: 2 mm
e
Gambar 3 Paket substrat buatan untuk pengambilan sampel larva chironomid
7
Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan berupa percobaan langsung lapangan di
Danau Sipin dan Danau Teluk, Provinsi Jambi. Penelitian dilakukan dengan
pengambilan sampel larva chironomid dan beberapa parameter pendukung berupa
kondisi lingkungan di sekitar danau dan data kualitas air. Hasil penelitian yang
didapat dijabarkan secara deskriptif, kausal, dan komparatif. Data yang diperoleh
yaitu deskripsi pertumbuhan larva chironomid, produktivitas sekunder larva
chironomid serta beberapa parameter lingkungan sebagai data pendukung.
Berdasarkan data tersebut dijelaskan perbandingan kondisi di sekitar danau
terutama tutupan lahan hijau serta kualitas air kedua danau yang diukur.
Selanjutnya, dilakukan penentuan hubungan kausalitas dan faktor apa saja yang
paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas sekunder larva
chironomid. Produktivitas sekunder yang diperoleh akan dibandingkan secara
spasial antara Danau Teluk dan Danau Sipin. Hasil yang diperoleh diharapkan
dapat menjelaskan pengaruh kondisi lingkungan terhadap pertumbuhan dan
produktivitas sekunder larva chironomid.
Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter fisika-kimia
perairan pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 1. Penelitian dilakukan selama
40 hari dengan frekuensi pengambilan setiap 2 hari. Hari ke-0 seluruh unit
substrat buatan yang telah disiapkan dipasang di lokasi penelitian. Substrat buatan
dipasang sebanyak 20 unit pada masing-masing danau dengan kedalaman 40 cm
dari permukaan air. Kedalaman ditentukan berdasarkan pertimbangan kecerahan
yang cukup rendah di Danau Sipin. Selanjutnya substrat buatan diambil secara
acak pukul 08.00-10.00 WIB. Contoh biologi yang diambil adalah larva
chironomid. Pengambilan contoh larva dilakukan bersamaan dengan pengukuran
parameter fisika perairan yaitu suhu, kecerahan dan kedalaman perairan.
Sementara itu, parameter BOD (Biological Oxygen Demand) dan pH hanya diukur
sebanyak 5 kali selama waktu penelitian.
Tabel 1 Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter
fisika-kimia perairan
Parameter
FISIKA
1. Suhu
2. Kecerahan
KIMIA
1. DO
2. BOD
3. pH
Unit
o
C
m
mg/L
mg/L
-
Alat
Thermometer
Secchi disc
pH indikator
Metode
Pustaka
Acuan
Pemuaian
Penetrasi cahaya
APHA 2005
USGS 2007
Titrasi Modifikasi Winkler
Titrasi Modifikasi Winkler
Perubahan warna indikator
APHA 2005
APHA 2005
APHA 2005
Pengambilan contoh larva dilakukan dengan cara memisahkan (menyortir)
larva dari endapan lainnya pada substrat buatan dengan sikat, saringan halus dan
pipet tetes pada contoh yang telah ditetesi Rose Bengal. Contoh yang diperoleh
dimasukkan ke dalam botol film dan ditambahkan preservasi alkohol 70%.
Selanjutnya contoh awetan dipanaskan dengan KOH 10% selama ±10 menit.
Contoh awetan yang telah dipanaskan dibersihkan dengan cara direndam dengan
akuades selama ±5 menit. Prosedur selanjutnya yaitu hidrasi dengan
8
menggunakan alkohol bertingkat (70%, 80%, dan absolut) selama masing-masing
5 menit (modifikasi Epler 2001). Contoh larva selanjutnya ditetesi Entellan
secukupnya lalu ditutup dengan menggunakan kaca penutup. Tahap selanjutnya
yaitu identifikasi dan pengukuran parameter morfologi. Parameter morfologi
berupa panjang total dan lebar total digunakan sebagai dasar penentuan
produktivitas sekunder. Panjang dan lebar kapsul kepala digunakan sebagai dasar
pengelompokkan larva chironomid berdasarkan instar.
Analisis Data
Uji U Mann Whitney
Tujuan dari penggunaan prosedur ini adalah menguji perbedaan dua
kelompok data yang tidak memenuhi asumsi populasi normal. Uji U Mann
Whitney termasuk dalam uji non parametrik yang dipakai untuk ukuran contoh
yang kecil sampai sedang (Kvanli 1988). Uji U menjadi alternatif uji t untuk
menguji apakah parameter kualitas air pada kedua danau lokasi penelitian berbeda
secara signifikan. Berikut hipotesis yang digunakanpada uji U Mann Whitney
pada penelitian ini:
H0 : Parameter kualitas air (suhu, kecerahan, pH, DO, dan BOD) di Danau
Sipin dan Danau Teluk memiliki distribusi peluang yang identik
H1 : Parameter kualitas air di Danau Sipin dan Danau Teluk berbeda secara
signifikan
Penentuan kohort melalui analisis distribusi frekuensi panjang larva
chironomid
Data yang diperoleh selama pengamatan berlangsung akan diolah untuk
menghasilkan penjelasan secara deskriptif. Ciri-ciri penting sejumlah besar data
dengan segera dapat diketahui melalui pengelompokan data tersebut ke dalam
beberapa kelas dan kemudian dihitung banyaknya pengamatan yang masuk
kedalam tiap kelas. Susunan dari data ini biasanya disajikan dalam bentuk tabel
yang disebut sebaran frekuensi. Data yang disajikan dibuat dalam bentuk
kelompok untuk memperoleh gambaran yang lebih baik mengenai populasi yang
sedang diamati.
Penentuan banyaknya kelas yang dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut, dengan n sebagai jumlah data panjang:
Jumlah kelas =1+(3,32× log n )
Kemudian ditentukan wilayah dengan mengurangi nilai maksimum dengan
minimum data keseluruhan. Selanjutnya adalah penentuan lebar kelas sesuai
dengan rumus:
Lebar kelas=
(nilai maksimum -nilai minimum )
jumlah kelas
Langkah selanjutnya adalah mendaftar selang kelas atas dan selang kelas
bawah dengan data terkecil sebagai permulaan selang kelas bawah. Batas kelas
9
diperoleh dengan menambah atau mengurangi selang kelas dengan setengah kali
nilai satuan terkecil. Nilai tengah didapat dengan merata-ratakan batas kelas atas
dan batas kelas bawah. Selanjutnya nilai frekuensi ditentukan pada masingmasing kelas dan yang terakhir adalah pengecekan jumlah kolom frekuensi
memiliki jumlah yang sama terhadap banyaknya total pengamatan (Walpole 1992).
Penentuan kohort larva chironomid dilakukan dengan menggunakan data
yang sudah terdistribusi pada selang kelas tertentu. Kohort merupakan gambaran
mengenai organisme yang memiliki umur yang sama dan berada pada kondisi
lingkungan perairan yang sama (Battacharya 1967 in Spare & Venema 1999).
Penentuan nilai kohort pada larva chironomida dapat menjelaskan mengenai
kelompok ukuran larva chironomid pada setiap waktu pengamatan. Penentuan
kohort dan sebaran distribusinya per minggu dilakukan dengan metode
NORMSEP (Normal Separation) dan bantuan program FISAT II. Pergeseran
sebaran distribusi ke arah kanan memperlihatkan bahwa telah terjadi pertumbuhan.
Pengelompokan larva chironomid berdasarkan instar
Setelah dilakukan pengukuran panjang dan lebar kepala, data yang diperoleh
diolah dengan menggunakan MINITAB 15 untuk mengelompokkan data
berdasarkan instar. Larva chironomid terdiri dari 4 instar dan masing-masing
instar memiliki kisaran panjang tersendiri. Tabel 2 merupakan dasar
pengelompokan instar, tabel tersebut dijadikan pedoman dalam menentukan
centroid atau pemusatan data panjang dan lebar kapsul kepala dari larva
chironomida. Selanjutnya data diolah dengan menggunakan perangkat lunak
MINITAB 15.
Tabel 2 Karakteristik ukuran larva Chironomus sp. (Klemm 2001)
Instar
Panjang kepala (µm)
Lebar kepala (µm)
Panjang total
(mm)
Lebar total
(µm)
I
105-108; 123 ± 10,9
101-184; 112 ± 11,2
0,7-2,0
40-201
II
182-224; 199 ± 10,7
159-208; 190 ± 9,9
1,7-3,8
102-347
III
270-405; 355 ± 29,7
245-356; 311 ± 22,3
3,0-7,5
161-564
IV
494-649; 585 ± 40,3
409-592; 510 ± 37,1
4,7-12,8
353-1128
Biomassa
Biomassa dihitung per instar (instar I-IV) sehingga didapat biomassa ratarata per instar. Penentuan biomassa chironomid diperoleh dari bobot dikali dengan
jumlah individu. Pengukuran bobot seringkali tidak dapat dilakukan dengan
menggunakan timbangan digital karena tingkat ketelitian timbangan terlalu besar
sehingga tidak dapat mendeteksi bobot chironomid per individu. Oleh karena itu
digunakan pendekatan biovolume untuk menduga bobot chironomid. Pendekatan
ini dapat dihitung dari panjang total tubuh larva yang telah diperoleh dari analisis
laboratorium dengan menggunakan mikroskop dan kamera khusus yang
terhubung ke PC. Volume tubuh larva chironomid diperoleh dengan
menggunakan rumus tabung dengan asumsi bahwa tubuh larva chironomid
berbentuk seperti tabung. Berat basah dan volume memiliki perbandingan 1,05
sedangkan berat kering dan berat basah memiliki perbandingan 0,142 (Smit et al.
1993). Berat kering larva chironomid diperoleh dengan rumus sebagai berikut.
10
Berat kering=0,1491×
π
× Lt ×Wt
4
Keterangan:
22
π :
7
Lt : Panjang total
Wt : Lebar total
Produksi larva chironomid
Produktivitas sekunder larva chironomid dihitung menggunakan metode
non-kohort karena contoh yang diperoleh berasal dari penelitian lapang dan tidak
dapat ditelusuri kohortnya. Oleh karena itu digunakan metode distribusi frekuensi
ukuran (size-frequency method) dengan asumsi sampel yang dikumpulkan
mendekati kurva mortalitas dari kohort rata-rata (Benke 1979 in Benke & Huryn
2007). Metode ini membutuhkan data panjang total untuk menyusun selang kelas
ukuran. Data panjang total dikelompokkan dalam selang kelas. Selanjutnya
produktivitas sekunder ditentukan dengan formulasi berikut.
t
N∆W
P=Bawal +
1
P adalah produktivitas, Bawal adalah biomassa pada hari pertama
pengambilan contoh (gram), N adalah kepadatan rata-rata (ind/m2), sedangkan
∆W adalah pertambahan biomassa individu (gram) dan t menggambarkan waktu
pengambilan contoh produktivitas. Produktivitas sekunder yang dihitung hanya
untuk genus paling dominan yang ditemukan.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi sekitar dan kualitas air di Danau Sipin dan Danau Teluk
Danau Sipin dan Danau Teluk merupakan danau yang terletak di Provinsi
Jambi. Sungai Batanghari menjadi sumber air kedua danau tersebut (Lampiran 1).
Danau Sipin berbentuk seperti tapal kuda atau yang biasa disebut oxbow lake
sedangkan Danau Teluk berbentuk membulat agak menjari. Keduanya merupakan
danau alami yang sama-sama dimanfaatkan sebagai lokasi kegiatan penangkapan
ikan. Namun Danau Sipin juga dimanfaatkan sebagai lokasi wisata dan sarana
transportasi air. Selain itu, selama penelitian sedang dilakukan proses pemasangan
bronjong sebagai turap di sekitar Danau Sipin (Lampiran 2) dengan meratakan
dan menimbun area sempadan danau.
Danau Sipin terletak di tengah lokasi pemukiman dan hanya memiliki
sedikit tutupan ruang hijau di sekitarnya. Sebaliknya Danau Teluk tidak banyak
mendapat pengaruh dari kegiatan antropogenik dan sebagian besar lahan di
sekitarnya masih memiliki tutupan hijau yang baik. Berdasarkan perhitungan
tutupan lahan hijau, diketahui bahwa daerah di sekitar Danau Sipin memiliki
tutupan hijau sebesar 20,88% dan Danau Teluk sebesar 85,04%. Hasil analisis
parameter fisika dan kimia perairan selama penelitian disajikan pada Tabel 3.
11
Parameter pH, DO dan BOD di kedua danau lokasi penelitian menunjukkan
perbedaan yang tidak signifikan berdasarkan uji beda statistika. Hal ini
menggambarkan kesamaan kondisi kualitas air di Danau Sipin dan Danau Teluk
berdasarkan ketiga parameter tesebut. Parameter kualitas air yang berbeda secara
signifikan pada kedua danau lokasi penelitian adalah parameter kecerahan
(p=0,0020). Kecerahan rata-rata yang terukur di Danau Sipin adalah 58,62 cm.
Nilai tersebut jauh lebih rendah dibandingkan nilai rata-rata kecerahan pada
Danau Teluk yaitu sebesar 70,29 cm. Kedalaman menunjukkan rata-rata yang
sama yaitu 2,38 m, hal ini disebabkan pemasangan alat diatur pada lokasi dengan
kedalaman yang hampir sama.
Tabel 3 Parameter kualitas air dan uji statistika untuk melihat perbedaan kondisi
kedua danau yang diteliti
Parameter
Danau
Sipin
29,06±0,55
58,62±12,61
5,7±0,45
5,24±1,10
2,98±1,55
Teluk
29,85±0,56
70,29±9,49
5,6±0,22
4,03±1,32
3,38±1,81
Hasil Uji dengan
Mann-Whitney
*, p=0,0001 (n=20)
*, p=0,0020 (n=20)
ns, p=0,1508 (n=5)
ns, p=0,0556 (n=5)
ns, p=0,1000 (n=5)
Catatan: n=jumlah pengambilan contoh, *=berbeda secara signifikan, ns=tidak berbeda secara signifikan
Suhu (ºC)
Kecerahan (cm)
pH
DO (mg/l)
BOD (mg/l)
Kelimpahan dan struktur komunitas larva chironomid di Danau Sipin dan
Danau Teluk
Uji-t statistika menunjukkan bahwa kelimpahan rata-rata larva chironomid
di Danau Sipin dan Danau Teluk berbeda secara signifikan (p=7,96x10 -8).
Kelimpahan larva chironomid setiap pengambilan contoh ditunjukkan pada
Gambar 4. Kelimpahan rata-rata larva Chironomid pada Danau Sipin selama 40
hari penelitian sebesar 51 ekor/m2, sedangkan Danau Teluk sebesar 361 ekor/m2.
Gambar 4 menunjukkan variasi kelimpahan pada setiap pengambilan contoh.
Diagram batang tersebut menggambarkan bahwa kelimpahan larva chironomid
pada setiap pengambilan contoh lebih besar di Danau Teluk dibanding Danau
Sipin.
Berdasarkan hasil identifikasi, diperoleh 2 Sub famili larva Chironomidae
yaitu Chironominae dan Tanypodinae. Sub famili Chironominae terdiri dari
Chironomus, Kiefferulus, Polypedilum, Rheotanytarsus dan Paratanytarsus
sedangkan Sub famili Tanypodinae yang ditemukan adalah Pentaneura dan
Clinotanypus. Seluruh genus tersebut ditemukan di Danau Teluk, sementara di
Danau Sipin hanya ditemukan empat genus yaitu Chironomus, Polypedilum,
Paratanytarsus dan Rheotanytarsus. Tabel 4 menunjukkan kelimpahan masingmasing genus larva chironomid yang ditemukan. Chironomus merupakan genus
larva dominan yang ditemukan di Danau Sipin maupun Danau Teluk dengan
persentase berturut-turut 90,70% dan 87,32%.
12
800
Danau Sipin
Danau Teluk
2
Kelimpahan (ind/m )
600
400
200
0
-2 0
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42
Hari ke-
Gambar 4 Kelimpahan larva Chironomidae di Danau Sipin dan Danau Teluk
Tabel 4 Kelimpahan dan persentase masing-masing genus pada kedua lokasi
penelitian
Genus
Chironomus
Clinotanypus
Kiefferulus
Paratanytarsus
Pentaneura
Polypedilum
Rheotanytarsus
Kelimpahan (ind/m2)
Danau Sipin
Danau Teluk
117
868
5
4
1
2
27
10
87
1
1
Persentase (%)
Danau Sipin
Danau Teluk
90,70
87,32
0,50
0,40
0,78
0,20
2,72
7,75
8,75
0,78
0,10
Pertumbuhan larva Chironomidae (Chironomus riparius ) di Danau Teluk
Chironomus riparius merupakan spesies dominan yang ditemukan
(Gambar 5). Larva C. riparius yang diamati memperlihatkan perubahan ukuran
panjang total tubuh. Hal ini membuktikan bahwa larva chironomid mengalami
pertumbuhan. Perubahan ukuran tersebut digambarkan dengan menggunakan
grafik distribusi panjang yang menyatakan frekuensi larva teramati pada masingmasing selang kelas (Gambar 6).
Gambar 5 Kepala dan idenfikasi gigi C. riparius
13
Hari
Harike-8
ke-8
Hari ke-16
Hari ke-10
Hari ke-18
Hari ke-12
Hari ke-20
Hari ke-14
Hari ke-22
Gambar 6 Kurva pertumbuhan C. riparius di Danau Teluk
14
Hari ke-32
15
Analisis pertumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
NORMSEP (Normal Separation). C. riparius diklasifikasikan menjadi beberapa
selang kelas panjang dan diolah menjadi grafik distribusi panjang dengan piranti
lunak FISAT II. Gambar 6 menunjukkan kurva pertumbuhan larva C. riparius.
Berdasarkan Gambar 6 diketahui bahwa terjadi pergeseran nilai modus
setiap interval waktu penelitian. Hal ini dapat dilihat dari pergeseran garis merah
ke arah kanan. Pergeseran garis merah ke arah kanan menggambarkan terjadinya
perubahan nilai modus setiap interval waktu penelitian. Berdasarkan metode ini
dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan panjang larva chironomid cukup signifikan
dilihat dari perubahan nilai modus yang terjadi. Sementara itu, pertumbuhan larva
chironomid di Danau Sipin tidak bisa dinyatakan dalam grafik distribusi frekuensi
panjang total. Hal ini dikarenakan jumlah organisme yang ditemukan pada
masing-masing pengambilan contoh tidak mencukupi dalam pembuatan kurva
normal untuk melihat pergeseran modus.
Pergeseran modus ke arah kanan menggambarkan bahwa lingkungan
perairan di Danau Teluk mendukung pertumbuhan larva C. riparius. Selama 40
hari waktu penelitian dengan frekuensi pengambilan contoh setiap 2 hari terdapat
5 kelompok pergeseran modus. Masing-masing kelompok pergeseran modus
menunjukkan satu siklus hidup larva chironomid. Gambar 6 memperlihatkan
kurva regresi masing-masing kelompok pergeseran modus larva C. riparius.
y = 0,132x + 4,293
R² = 0,955
7
frekuensi (10^1)
6
5
y = 0,113x + 2,527
R² = 0,510
y = 0,099x + 1,444
R² = 0,858
4
sub populasi 1
y = 0,323x - 0,34
R² = 0,850
3
sub populasi 2
sub populasi 3
2
sub populasi 4
1
0
0
10
20
30
40
50
hari ke-
Gambar 7 Kurva regresi kelompok pergeseran modus subpopulasi C. riparius
Pengelompokan larva C. riparius pada danau berbeda berdasarkan instar
Larva chironomid memiliki tubuh yang beruas-ruas. Bagian anterior
berupa kepala mengeras membentuk kapsul. Kapsul kepala dari larva chironomid
terbuat dari zat kitin sehingga untuk setiap instar (stadia antar pergantian kulit),
kapsul kepala ini akan mengalami pergantian kulit (molting) (Epler 2001). Oleh
karena itu ukuran kapsul kepala dapat dijadikan dasar dalam pengelompokkan
larva chironomid berdasarkan instar. Berdasarkan pengelompokkan instar, pada
Danau Sipin dan Danau Teluk terbagi menjadi 2 kelompok (Gambar 7).
Pengelompokan larva ini didasarkan pada penelitian Klemm 2001. Penelitian
16
menunjukkan bahwa larva C. riparius yang diperoleh mengelompok menjadi
instar III dan instar IV.
Danau Teluk
Danau Sipin
Gambar 8 Pengelompokan larva Chironomus riparius berdasarkan instar
Produktivitas sekunder C. riparius pada danau berbeda
Produktivitas sekunder menggambarkan pertambahan biomassa populasi
organisme heterotrof di suatu lokasi pada waktu tertentu. Produktivitas sekunder
dapat diduga berdasarkan populasi dari umur yang sama (kohort), namun untuk
penelitian langsung di lapangan, kohort sulit dipisahkan. Oleh karena itu
digunakan metode distribusi frekuensi ukuran. Berdasarkan hasil perhitungan
produktivitas sekunder C. riparius, Danau Teluk memiliki nilai produktivitas
sekunder yang lebih besar dibandingkan Danau Sipin (Tabel 5).
Tabel 5 Produktivitas sekunder Danau Sipin dan Danau Teluk
Jumlah selang kelas
Rata-rata densitas (ind/m2)
Rata-rata bobot (mg)
Biomassa (g/m2)
Produktivitas (g/m2/tahun)
P/B kohort
P/B tahunan
Danau Sipin
8
22
0,63
0,10
0,25
2,5
5,91
Lokasi
Danau Teluk
11
118
1,40
1,06
4,50
4,3
10,24
Nilai produktivitas sekunder dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
terutama ketersediaan makanan. Tabel 5 menunjukkan nilai rata-rata bobot larva
C. riparius di Danau Teluk (1,40 mg) lebih besar dibandingkan Danau Sipin (0,63
mg). Bobot rata-rata tersebut berbanding lurus dengan biomassa sehingga dapat
dilihat pada tabel bahwa biomassa larva di Danau Teluk 10 kali lipat biomassa
larva di Danau Sipin yaitu sebesar 1,06 g/m 2. Demikian pula dengan produktivitas
sekunder. Nilai produkivitas sekunder di Danau Teluk yang diperoleh
menunjukkan nilai 18 kali lipat dibandingkan Danau Sipin. Hasil ini
menggambarkan bahwa keadaan lingkungan di Danau Teluk lebih mendukung
kehidupan larva chironomid. Tabel 6 memperlihatkan perbandingan nilai
produktivitas sekunder dari penelitian di beberapa daerah tropis.
17
Nilai produktivitas sekunder larva chironomid terutama yang berasal dari
subfamili Chironominae berkisar dari 0,25 – 9,89 g/m2/tahun. Produktivitas yang
tinggi diperoleh pada lokasi perairan dengan kandungan bahan organik tinggi
seperti daerah KJA (9,89 g/m2/tahun) dan lahan gambut (11,3 g/m2/tahun).
Tabel 6 Perbandingan produktivitas sekunder beberapa perairan berbeda
Organisme
Polypedilum
Produktivitas
9,89 g/m2/tahun (KJA)
1,90 g/m2/tahun (non-KJA)
Polypedilum
11,3 g/m2/tahun
Rheocricotopus 9,8 g/m2/tahun
Larva
0,79-9,35 g/m2/tahun
Chironomidae
C. riparius
0,25 g/m2/tahun
4,50 g/m2/tahun
Sumber
Krisanti 2012
Lokasi
D. Lido, Indonesia
Benke 1998
S. Ogeechee, USA
(lahan gambut)
Ramirez dan Hutan
LaSelva,
Pringle 2006
Costa Rica (hutan
tropis
Penelitian ini
D. Sipin, Indonesia
D. Teluk, Indonesia
Pembahasan
Pengukuran parameter fisika-kimia perairan menggambarkan bahwa
Danau Sipin dan Danau Teluk memiliki kondisi yang relatif sama berdasarkan
beberapa parameter kualitas air. Parameter lingkungan yang menunjukkan
perbedaan yang signifikan adalah kecerahan. Kecerahan yang terukur di Danau
Sipin jauh lebih rendah dibandingkan kecerahan di Danau Teluk. Rendahnya nilai
kecerahan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kurangnya tutupan hijau
(pepohonan) pada area sempadan danau. Hal ini menyebabkan tingginya tingkat
erosi sehingga meningkatkan masukan tanah permukaan ke danau. Aliran run-off
yang membawa tanah dan endapan dari darat meningkatkan nilai kekeruhan.
Kekeruhan secara langsung mempengaruhi proses respirasi organisme akuatik
termasuk larva chironomid. Menurut Dunlop et al. (2005), terdapat beberapa
penelitian yang membuktikan pengaruh kekeruhan terhadap komunitas avertebrata.
Penelitian oleh Quinn et al. (1992) in Dunlop et al. membuktikan bahwa
kelimpahan avertebrata akibat sedimentasi dengan nilai kekeruhan ±145 NTU
menyebabkan penurunan kelimpahan di lokasi penelitian mulai dari 9% hingga
45%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zuazo (2011), disimpulkan
bahwa penggunaan tutupan tanaman menjadi rekomendasi untuk menurunkan
tingkat erosi dan risiko pencemaran. Tutupan tanaman yang kurang menyebabkan
lahan di sekitar danau mudah tergerus aliran air permukaan. Tanah yang masuk
dari daratan di sekitar danau merupakan bagian dari padatan total tersuspensi yang
menyebabkan turunnya intensitas cahaya yang masuk ke badan air.
Parameter warna perairan yang diukur secara visual juga menunjukkan
perbedaan. Warna perairan Danau Sipin cenderung putih keruh hingga
kekuningan, sedangkan Danau Teluk menunjukkan warna hijau hingga hijau
gelap. Parameter kecerahan, tutupan lahan hijau, dan warna perairan
menyebabkan perbedaan kelimpahan larva chironomid di kedua danau tersebut.
Kecerahan yang tinggi berkaitan dengan ketersediaan oksigen terlarut dan kondisi
perairan yang lebih nyaman bagi kehidupan larva (Bhatnagar & Devi 2013). Nilai
kecerahan yang tinggi mendukung proses fotosintesis menjadi lebih optimal.
18
Kecerahan berkaitan dengan intensitas cahaya yang mampu menembus badan air.
Menurut Ryther (1956), cahaya akan selalu menjadi pembatas pada proses
fotosintesis populasi plankton. Darchambeau et al. (2014) menyatakan bahwa
pada musim kering dengan kedalaman eufotik lebih besar dibandingkan musim
penghujan menyebabkan perbedaan biomassa fitoplankton yang diperoleh.
Biomassa fitoplankton mencapai puncaknya pada musim kering. Hal ini
dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang cukup untuk proses fotosintesis pada
fitoplankton. Plankton dan perifiton juga merupakan makanan bagi larva
chironomid terutama chironomid jenis predator (Pinder 1986).
Danau Teluk memiliki rata-rata kecerahan lebih tinggi sehingga menjadi
habitat yang lebih cocok bagi larva chironomid. Berdasarkan perhitungan
kelimpahan diketahui bahwa kelimpahan rata-rata maupun kelimpahan harian
larva chironomid di Danau Teluk lebih tinggi dibandingkan Danau Sipin. Hal ini
juga disebabkan karena kondisi habitat di sekitar Danau Teluk lebih mendukung
untuk kehidupan larva maupun serangga dewasa chironomid. Tutupan vegetasi
tumbuhan di sekitar danau dijadikan tempat memijah (mating) oleh serangga
dewasa. Persentase lahan hijau yang lebih tinggi di Danau Teluk juga ikut
mendukung tingginya kelimpahan larva chironomid di danau tersebut. Di samping
itu, tumbuhan dapat menjadi sumber nektar sebagai makanan chironomid dewasa
(komunikasi pribadi) meskipun sebagian besar genus chironomid tidak
membutuhkan makanan saat fase dewasa (Houseman 2015).
Kelimpahan larva juga berkaitan dengan preferensi indukan (serangga
dewasa) dalam memilih tempat peneluran (oviposition). Preferensi serangga
betina chironomid dalam meletakkan telur tidak berkaitan dengan organ pembau
(olfaktori), namun berkaitan dengan organ visual. Serangga dewasa melakukan
pemijahan saat senja (Armitage et al. 1995). Setelah proses pemijahan, serangga
jantan akan mati dan serangga betina akan meletakkan telur di permukaan air.
Telur yang dihasilkan berbentuk massa telur berjumlah ratusan hingga ribuan dan
terbungkus gelatin bening. Meltser et al. 2008 in Lerner et al. (2008) menyatakan
bahwa serangga betina tidak meletakan telurnya secara acak, melainkan memilih
permukaan air yang memiliki lebih banyak substrat untuk tempat meletakan telur
seperti tumbuhan air atau benda mengapung lain (Halpern et al. 2003).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lerner et al. (2008), diketahui bahwa
chironomid betina memiliki preferensi peletakan telur pada perairan yang
cenderung berwarna hijau (panjang gelombang 490 – 510 nm). Preferensi ini juga
berkaitan dengan kesukaan serangga pada area yang lebih terang. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Frouz (1997) diketahui bahwa kelimpahan larva
Chironomidae maupun Chironomidae dewasa jenis terestrial lebih tinggi pada
habitat yang memiliki vegetasi terutama vegetasi yang cenderung terbuka dan
rendah (semak). Area dengan vegetasi tersebut dijadikan sebagai tempat memijah
serangga dewasa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa kelimpahan larva
chironomid lebih tinggi ditemukan pada Danau Teluk yang memiliki lebih banyak
vegetasi di sekitar danau sebagai lahan hijau.
Berkaitan dengan kelimpahan, jumlah genus yang diperoleh di Danau
Teluk juga lebih tinggi dibandingkan Danau Sipin. Genus yang ditemukan di
Danau Teluk berjumlah tujuh genus dan di Danau Sipin sebanyak empat genus
dengan genus yang dominan ditemukan pada kedua danau adalah Chironomus.
Genus tersebut merupakan bagian dari subfamili Chironominae. Epler (2001)
19
menyatakan bahwa subfamili Chironominae merupakan subfamili yang paling
melimpah di alam. Chironominae dapat ditemukan hampir di semua habitat
perairan mulai dari air tawar, payau hingga air laut. Sebagian besar larva
dilengkapi oleh tubes atau „rumah‟ yang berfungsi sebagai pelindung tempat
tinggal dan pelindung dari serangan predator. Larva Chironominae (terutama
Chironomus) memiliki haemoglobin (Hb) yang memberi warna merah pada tubuh
larva dan kemampuan untuk hidup pada kondisi perairan dengan kadar oksigen
rendah. Genus tersebut sangat toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang
baik. Chironomus memiliki kemampuan adaptasi karena dilengkapi oleh Hb
(Epler 2001). Genus Chironomus seringkali ditemukan sebagai genus dominan
dalam beberapa penelitian seperti penelitian yang dilakukan oleh Silva et al.
(2008) di sistem perairan mengalir di Brazil.
Berdasarkan pengelompokan instar, larva Chironomus yang ditemukan
hanya terdiri dari instar III dan IV. Hal ini disebabkan karena pada fase instar I
larva chironomid masih bersifat planktonik. Fase instar II berukuran sangat kecil
(kurang dari 3 mm) (Klemm 2001) sehingga dengan mudah dipredasi oleh juvenil
ikan maupun invertebrata lain. Larva Chironomus yang ditemukan di Danau
Teluk juga menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Hal ini digambarkan oleh
pergeseran nilai modus pada kurva distribusi frekuensi panjang total ke arah
kanan. Selama penelitian diperoleh lima kelompok pergeseran modus. Masingmasing kelompok menunjukkan satu siklus instar III dan instar IV larva
Chironomus. Setiap kelompok pergeseran modus menggambarkan bahwa rata-rata
satu siklus instar III dan instar IV larva Chironomus berlangsung selama ±9 hari.
Kondisi lingkungan berbanding lurus dengan data perbandingan
kelimpahan larva yang ditemukan. Kelimpahan larva yang lebih tinggi di Danau
Teluk menghasilkan biomassa yang lebih besar. Ketersediaan biomassa yang lebih
besar dan ditunjukkan oleh tingginya produktivitas sekunder menggambarkan
ketersedian nutrisi tingkat trofik selanjutnya yang lebih banyak di Danau Teluk
dibandingkan Danau Sipin. Penyebab utama produktivitas sekunder di Danau
Teluk lebih tinggi dibandingkan Danau Sipin adalah pengaruh kegiatan
antropogenik yang lebih besar di Danau Sipin sehingga menyebabkan penurunan
kualitas lahan maupun kualitas air.
Larva chironomid berperan sebagai pakan hidup ikan dan inver